Anda di halaman 1dari 26

TUGAS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

DISUSUN OLEH:

FIA LUTFI ALHAURA

(1913351009)

MATA KULIAH: KESELAMATAN DAN KESEHATAN


KERJA (K3)

PROGRAM STUDI DIV SANITASI LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021

1
Hubungan Antara Karakteristik Individu, Paparan Debu Asap Las
(Welding Fume) dan Gas Karbon Monoksida (CO) Dengan
Gangguan Faal Paru Pada Pekerja Bengkel Las
(Studi di Kelurahan Ngagel Kecamatan Wonokromo Surabaya) The
Correlation Between Individual Characteristic, Exposure of Welding
Fumes and Carbon Monoxide With Pulmonary Function Disorder of
Welding Workers

(Study in Ngagel Village, Wonokromo Sub district, Surabaya)

Ahmad Aris Febrianto, Anita Dewi Prahastuti Sujoso, Ragil Ismi


Hartanti
Bagian kesehtan Lingkungan dan Kesehatan Keselamatan Kerja
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37 Kampus
Tegal Boto Jember 68121 e-mail
: Ahmad_aris69@yahoo.com

Pengelasan merupakan proses pengikat metalurgi pada sambungan logam


atau logam paduan yang dilakukan ketika logam dalam keadaan cair. Proses
mencairkan logam menggunakan energi panas yang dialirkan pada bagian logam
yang ingin disambung. Kemudian proses penyambungan logam dapat dilakukan
dengan atau tanpa tekanan. Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, berbagai cara pengelasan baru telah dikembangkan sehingga boleh
dikatakan hampir tidak ada logam yang tidak dapat dipotong dan dilas dengan cara-
cara yang ada pada waktu ini. Pengelasan menghasilkan sisa berupa debu asap las
(welding fume) dan gas-gas berbahaya berupa gas karbon monoksida, gas karbon
dioksida, gas ozon, nitrogen monoksida dan nitrogen dioksida [1].

2
Dampak pengelasan pada kesehatan dapat dikategorikan menjadi dampak
jangka pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek antara lain
metal fumes fever, iritasi, gangguan pencernaan sampai kematian. Dampak jangka
panjang diantaranya masalah pernapasan, gangguan saraf, penyakit jantung,
penyakit kulit dan peningkatan risiko kanker. Dampak jangka panjang bagi
kesehatan juga dapat mengakibatkan penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh
pemajanan di lingkungan kerja [2].
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa ada hubungan pada pengelasan
dengan gangguan faal paru seperti yang dilakukan pada pekerja las di Pisangan
Ciputat diketahui bahwa pekerja las yang mengalami restriksif sebanyak 14 pekerja
(37,8%)[3]. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkhopulmoner) yang
disebabkan oleh debu dan logam keras merupakan salah satu penyakit yang timbul
akibat hubungan kerja[4].
Gangguan faal paru adalah gangguan fungsi paru yang ditandai dengan
dengan penurunan proses pernafasan pada fase inspirasi dan ekspirasi. Gangguan faal
paru dapat digolongkan menjadi 3 yaitu obstruktif, restriktif dan campuran (mixed).
Obstruktif disebabkan karena terhambatnya aliran udara karena penyempiran saluran
nafas sehingga mempengaruhi proses ekspirasi. Restriktif ditandai dengan kekakuan
paru sehingga membatasi pengembangan paru dan berpengaruh pada inspirasi.
Campuran (mixed) berupa kombinasi antara obstruktif dan restriktif[5].

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara


karakteristik individu (umur, lama paparan, masa kerja, kebiasaan merokok, jumlah
konsumsi rokok, status gizi), suhu, kelembaban, kadar debu asap las (welding
fume), karbon monoksida (CO) dengan gangguan faal paru pada pekerja bengkel
las di Kelurahan Ngagel Kecamatan Wonokromo Kota Surabaya.

3
Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional.


Berdasarkan waktu penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian cross sectional
karena variabel bebas (independent variable) yaitu umur, lama paparan, masa kerja,
kebiasaan merokok, jumlah konsumsi rokok, status gizi, suhu, kelembaban, kadar
debu asap las (welding fume), karbon monoksida (CO) serta variabel terikat
(dependent variable) yaitu gangguan faal paru akan diteliti pada waktu
bersamaan[6]. Tempat penelitian di bengkel pengelasan yang berada di Kelurahan
Ngagel Kecamatan Wonokromo Kota Surabaya dan waktu penelitian bulan
Desember 2014. Sampel penelitian ini sebanyak 36 pekerja yang ada di 5 bengkel
pengelasan. Teknik pengambilan sampel menggunakan cluster random sampling
yaitu pengambilan sampel bukan dari unit individu tetapi kelompok atau gugusan
(cluster). [7]. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara, observasi dan dokumentasi. Instrumen pengumpulan data berupa
kuesioner untuk wawancara, bathroom scale dan microtois untuk mengukur status
gizi, high volume dust sampler (HVDS) untuk Mengukur debu asap las, CO monitor
untuk mengukur kadar karbon monoksida (CO) serta spirometer untuk mengukur
gangguan faal paru. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji statistik korelasi
spearman’s dengan α = 0,05.

4
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara umur dengan
gangguan faal paru pekerja bengkel las. Hasil penelitian ini sama dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2009) tentang gangguan faal paru dan
faktor yang mempengaruhinya bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
umur dan gangguan faal paru[8]. Hal ini terjadi karena umur yang semakin tua
secara fisiologi kemampuan organ-organ didalam tubuhnya mengalami penurunan
tidak terkecuali faal parunya.
Lama paparan memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan faal
paru pada pekerja bengkel las. Hasil penelitian ini sama dengan hasil yang
dilakukan oleh Triatmo (2006) yang menunjukkan bahwa lama paparan >8 jam per
hari mempunyai risiko terkena gangguan faal paru 2,2 kali dibandingkan responden
dengan lama paparan kurang dari 8 jam per hari[9]. Hasil ini dapat tejadi
karena semakin lama pekerja menghirup partikel yang ada di lingkungan kerja maka
semakin banyak pula partikel yang mengendap dalam paru dan dapat berpengaruh
pada faal paru pekerja.
Terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan faal
paru pada pekerja bengkel las. Hasil penelitian ini sama hasilnya dengan teori yang
dikemukakan oleh Hyat,et al (2006) yang menyakatan bahwa masa kerja
mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja
di industri berdebu lebih dari 5 tahun[10]. Hasil penelitian ini sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2007) tentang faktor risiko gangguan faal
paru pada pekerja pengecatan mobil yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara masa kerja dengan gangguan faal paru[11]. Hal ini dapat terjadi
karena masa kerja yang terlalu lama menjadikan jumlah partikel yang mengendap
dalam tubuh pekerja juga akan semakin banyak.

5
Bila partikel yang mengendap dalam tubuh semakin banyak dalam kurun
waktu lama menyebabkan gangguan faal paru dan bisa menyebabkan terjadinya
penyakit paru kerja.
Kebiasaan merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan
faal paru pada pekerja las Hasil penelitian ini sama dengan teori yang dikemukakan
oleh Suyono (2001) merokok dapat lebih merendahkan kapasitas vital paru (FEV)
pekerja[12]. Hasil penelitian ini juga sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Rahmatullah (2009) bahwa besarnya penurunan fungsi paru berhubungan langsung
dengan kebiasaan merokok[13]. Hal ini dapat terjadi karena merokok yang
dilakukan setiap hari dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran
pernafasan dan jaringan paru.

Jika dilihat dari jumlah rokok yang dikonsumsi maka terdapat hubungan
yang signifikan dengan gangguan faal paru pada pekerja las. Hasil penelitian ini
sama dengan teori yang dikemukakan oleh Mangku (1997) bahwa bila seseorang
dalam sehari bisa menghabiskan sejumlah 20 batang maka dalam setahun perokok
bisa menghisap rokok sebanyak 70.000 hisap asap rokok. Beberapa zat kimia yang
ditimbun suatu saat racunnya akan bersifat toksik sehingga akan mulai kelihatan
gejala kesehatan yang ditimbulkan[14]. Hal ini dapat terjadi karena jumlah konsumsi
rokok yang berlebihan menyebabkan timbunan zat kimia dalam tubuh dan dalam
dosis tertentu zat kimia akan berubah menjadi toksik serta semakin banyak zat
toksik yang masuk dapat mengganggu fungsi paru untuk bernafas.
Adapun hasil analisis secara statistik menunjukkan hubungan yang
signifikan antara status gizi dengan gangguan faal paru pada pekerja bengkel las.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Triatmo, et al
(2009) bahwa status gizi tidak mempunyai hubungan yang signifikam terhadap
timbulnya gangguan faal paru[9]. Hal ini dapat terjadi karena status gizi pekerja,
baik atau buruk tidak mempengaruhi kemampuan faal paru disebabkan faal paru
sudah terbiasa dengan kondisi tempat kerja yang buruk.

6
Suhu udara yang berada di tempat kerja tidak menunjukkan hubungan
signifikan dengan gangguan faal paru. Hasil dari penelitian ini tidak sama dengan
KepMenKes RI (2002) bahwa untuk lingkungan kerja yang nyaman suhunya
berkisar 18-300C [14].

Hal ini dapat terjadi hasil yang berbeda antara penelitian dan KepMenKes
RI karena kemampuan bernafas dalam lingkungan tertentu menyebabkan pekerja
dapat beradaptasi dengan baik karena kebaisaan pekerja bekerja dalam suhu tertentu
serta dilakukan setiap hari sehingga pernafasan menjadi terbiasa.
Kelembaban yang ada di tempat kerja juga tidak terdapat hubungan yang
signifikan dengan gangguan faal paru pada pekerja bengkel las. Hasil dari penelitian
ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2009) bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan gangguan faal paru[8]. Hal ini
dapat terjadi karena kelembaban sangat erat hubungannya dengan suhu udara
sehingga bila suhu udara dalam lingkungan kerja tinggi menyebabkan kemampuan
jamur dan bakteri tidak bisa berkembang biak dalam kondisi yang panas.
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara debu asap las (welding
fume) dengan gangguan faal paru pada pekerja las. Permenakertrans (2011) tentang
nilai ambang batas faktor fisika dan kimia di tempat kerja, untuk debu tak
terklasifikasi yang mengganggu kerja adalah 10 mg/Nm3[16]. Hasil ini dapat terjadi
hubungan karena debu asap las yang dikeluarkan pengelasan saling bersinergi
dengan lama paparan dan masa kerja pekerja sehingga debu asap las memiliki
hubungan dengan gangguan faal paru.

Simpulan dan Saran


Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah: terdapat
hubungan yang signifikan antara umur, lama paparan, masa kerja, kebiasaan
merokok, jumlah konsumsi rokok dan kadar debu asap las (welding fume) dengan
gangguan faal paru pada pekerja bengkel las di Kelurahan Ngagel Kecamatan
Wonokromo Kota Surabaya.

7
Berdasarkan kesimpulan, maka saran yang dapat diberikan kepada beberapa
pihak dalam penelitian ini adalah: 1) Pekerja yang berumur >40 tahun lebih
memperhatikan kondisi kesehatannya dengan bekerja tidak lebih dari >8 jam per
hari dan mengurangi atau bahkan berhenti merokok; 2) Pemilik bengkel las
memberikan waktu kerja yang <8 jam per hari serta memeberikan istirahat yang
cukup; 3) Pemerintah dalam hal ini DISNAKERTRANSDUK
Provinsi Jawa Timur bagian pengawas ketenagakerjaan besama Puskesmas Ngagel
lebih memberikan pengawasan, pembinaan dan perlindungan kepada pekerja las di
Kelurahan Ngagel; 4) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dilihat dari gas-gas
yang dihasilkan di pengelasan yang berpengaruh pada saluran pernafasan yang
menyebabkan gangguan faal paru.

Daftar Pustaka

[1] Wiryosumarto, Okumura. Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta. Penerbit PT


Pradnya Paramitha; 2014
[2] Siswanto A. Penyakit Paru Kerja. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja
Departemen Tenaga Kerja Jawa Timur; 1991. Prasetyo D. Faktor-Faktor Yang
Berhubungna Dengan Kapasitas Paru Pada Pekerja Bengkel Las di Pisangan
Ciputat. [internet] Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. [diakses tanggal 10
Juli 2014]. Availabel from/123456789/1021/1/DIAN%20RAWA%20PRASETYO-
FKIK. pdf
[3] Buchori. Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Terkait Kerja. USU Repository;
2007.
[4] Sloane E. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC; 2003.
[5] Siswanto A. Toksikologi Industri. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja
Departemen Tenaga Kerja Jawa Timur; 1994.
[6] Notoatmodjo S. Metode Penelitian Keehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.

8
PERBEDAAN GAMBARAN FAAL PARU PEKERJA
PADA BAGIAN PSA INJECTION DAN BAGIAN
MANAJEMEN DI PT. X
Desy Sustriyani Hasanah, Tjipto Suwandi

Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga


dcy.she@gmail.com

PENDAHULUAN

Salah satu industri di Indonesia yang tetap bertahan meskipun pernah


mengalami krisis moneter tahun 1997-1998 adalah industri sepatu (footwear
manufacture), karena jahitan sepatu buatan Indonesia lebih rapi. Jumlah unit usaha
industri sepatu di Jawa Timur dengan kategori industri kecil, sedang, maupun besar
mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 jumlah unit usaha industri sepatu hanya
sebesar 21.616 unit usaha, namun pada tahun 2012 telah mencapai 28.161 unit usaha.
Peningkatan jumlah unit usaha mampu meningkatkan jumlah pekerja yang
direkrutnya, karena industri sepatu merupakan industri yang padat karya. Jumlah
tenaga kerja pada tahun 2009 masih sebesar 81.828 orang dan pada tahun 2012 sudah
mencapai 107.306 orang (Prasetyo, 2013).

PT. X merupakan salah satu usaha di bidang pembuatan sepatu kulit mulai
dari ukuran anak sampai orang dewasa. Salah satu proses yang dilakukan pada
bagian produksi yaitu menginjeksi sol pada sepatu ke dalam cetakan (mould) atau
yang dinamakan Injection. Pada bagian Injection terdapat pekerjaan yang disebut
spraying release agent baik yang dilakukan oleh robot spray maupun yang dilakukan
manual oleh operator PSA. Pekerja pada bagian PSA Injection bisa terpapar release
agent yang berbahan dasar Isoalkana dua kali lipat karena letak robot spray yang

9
sangat dekat dengan pekerja bagian PSA Injection. TLV (Threshold Limit Value)
Isoalkana sebesar 200 ml/m3 atau 1000 mg/m3. Penggunaan release agent yang
melebihi TLV dapat mengganggu pernafasan khususnya paru pekerja pada bagian
PSA (Anonim, 2003).
Selama ini belum terdapat data hasil pemeriksaan khusus pada paru pekerja
bagian PSA Injection. Untuk mengetahui kondisi faal paru pekerja di bagian PSA
Injection akibat pekerjaannya yang sering terpapar release agent, maka diperlukan
juga pekerja bagian lain yang tidak terpapar release agent. Selain itu, kondisi faal
paru pekerja juga dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu karakteristik pekerja meliputi
usia, masa kerja, dan status gizi turut mempengaruhi kondisi faal paru pekerja pada
bagian PSA Injection di PT. X.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross
sectional serta di analisis menggunakan uji statistik menggunakan software
SPSS 16 dan Lisrel 5.84. Penelitian ini dilakukan di PT. X yang bertempat di
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Waktu penelitian terhitung sejak pembuatan
proposal sampai pembuatan laporan akhir yaitu bulan April- Agustus 2013,
sedangkan waktu pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-Juli 2013.
Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja bagian PSA Injection
dan manajemen di PT. X yang memenuhi kriteria inklusi yaitu: berjenis
kelamin laki- laki, berusia ≤40 tahun, tidak merokok, sehat jasmani termasuk
tidak mempunyai riwayat penyakit paru (Tuberkulosis, asma, dan Bronchitis),
dan bersedia menjadi responden. Terdapat 16 orang dari kelompok terpapar
(bagian PSA Injection) dan 13 orang dari kelompok tidak terpapar (bagian
manajemen). Penghitungan sampel menggunakan rumus Lameshow (Hidayat,
2010) berikut:
Keterangan:
n = perkiraan besar sampel
N = perkiraan besar populasi
z = nilai standar normal untuk α = 0,05 (1,96)
p = perkiraan proporsi (50% = 0,5) q =1–p=

10
(100% - 50% = 0,5)
d = tingkat kesalahan yang dipilih (0,1)

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
1. Gambaran karakteristik responden meliputi usia, masa kerja,
dan status gizi:
a. Usia responden didominasi oleh usia 20-30 tahun dengan
rata-rata usia adalah 28 tahun. Terdapat perbedaan usia
antar kelompok.
b. Masa kerja responden didominasi oleh masa kerja antara 1-
10 tahun
dengan rata-rata masa kerja 5 tahun. Tidak ada beda masa
kerja antar kelompok.
c. Status gizi responden didominasi oleh status gizi normal.
Tidak ada beda status gizi antar kelompok.

Gambaran faal paru responden sebagian besar dalam kategori


normal, hanya terdapat satu orang pada tiap- tiap kelompok yang
mengalami gangguan faal paru berupa gangguan obstruksi.
2. Analisis perbedaan gambaran faal paru pada kelompok terpapar dan
kelompok tidak terpapar menunjukkan tidak adanya perbedaan antar
kelompok baik pada ketegori %FEV1 (p-value = 0,226) maupun pada
kategori %FVC (p-value = 0,691).
3. Analisis hubungan antara pekerjaan dengan hasil faal paru (%FEV1
dan
%FVC) menunjukkan tidak adanya hubungan antara pekerjaan
sebagai PSA Injection (kelompok terpapar) maupun sebagai
manajeme n (kelompok tidak terpapar) dengan hasil %FEV1 (p-value
= 0,219) maupun dengan hasil %FVC (p-value= 0,886).

11
4. Analisis hubungan antara karakteristik individu dengan hasil faal
paru (%FEV1 dan %FVC) meliputi hubungan antara usia dengan
%FEV1 dan %FVC, masa kerja dengan
%FEV1 dan %FVC, dan status gizi dengan %FEV1 dan %FVC:
a. Analisis hubungan antara usia dengan %FEV1 terdapat hubungan
pada kelompok terpapar (p-value = 0,001) dengan korelasi -0,755,
sedangkan pada kelompok tidak terpapar serta pada hubungan
antara usia dengan %FVC tidak terdapat hubungan.
b. Analisis hubungan antara masa kerja dengan %FEV1 terdapat
hubungan pada kelmpok terpapar (p-value = 0,000) dengan
korelasi - 0,830, sedangkan pada kelompok tidak terpapar serta
pada hubungan antara masa kerja dengan %FVC tidak terdapat
hubungan.

Saran

1. Bagi PT. X:
a. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala serta
melakukan pemeriksaan kesehatan khusus untuk memantau
kondisi kesehatan para pekerja.
b. Melakukan pengujian lingkungan, khususnya kadar
Isoalkana pada bagian PSA Injection untuk memantau
kondisi lingkungan sehingga tidak merugikan pekerja
maupun orang lain yang berada di tempat tersebut.
c. Menyesuikan alat pelindung pernafasan untuk setiap jenis
paparan yang terdapat pada tempat kerja.
d. Melakukan pemeriksaan rutin pada local exhaust,
khususnya pada area kerja PSA Injection.
e. Melakukan pengendalian secara administratif yaitu
melakukan rotasi pekerjaan maksimal 5 tahun pada seorang
pekerja.

12
2. Bagi pekerja pada bagian PSA
Injection:
a. Menggunakan masker yang sesuai setiap berada pada
tempat kerja maupun pada tempat yang sekiranya terdapat
bahaya bahan kimia dan debu.
b. Menjaga pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan
seimbang, cukup istirahat, serta cukup olahraga, khususnya
olahraga senam dan renang untuk meningkatkan kapasitas
paru.
c. Bersedia dirotasi ke bagian atau ke pekerjaan yang lain
(yang tidak terpapar release agent).
3. Bagi pekerja pada bagian manajemen:
a. Menjaga pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan
seimbang, cukup istirahat, serta cukup olahraga, khususnya
olahraga senam dan renang untuk meningkatkan kapasitas
paru.
b. Menggunakan masker yang sesuai setiap berada pada
tempat yang sekiranya terdapat tempat kimia dan berdebu.
4. Bagi peneliti lain:
Perlu dilakukan penelitian pengujian dan berapa kadar bahan
kimia isoalkana yang terhirup agar bisa diketahui apakah hasil
faal paru pekerja dipengaruhi oleh kadar isoalkana yang
terhirup.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim (2003). Material Safety Data Sheet Gorapur RT 17-2B.
2. Alsagaff, Hood dan Abdul Mukty. 2009. Dasar – dasar Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya. Airlangga University Press.
3. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2010. Metode Penelitian
Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya: Health Books
Publishing.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.
Per-
02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.

5. Setiawan, Adi. 2010. Beberapa Faktor yang


Mempengaruhi Kapasitas Fungsi Paru Pengrajin
Pengasapan Ikan di Kenjeran. Skripsi. Surabaya: Universitas
Airlangga.
6. Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja (Hiperkes). Jakarta: Sagung Seto.
7. WHO. 1995. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Alih
bahasa: Joko Suyono. Jakarta: EGC.

14
ANALISIS TINGKAT KELELAHAN PADA PEKERJA SHIFT
DEPARTEMEN FINISHING PT. GRAND TEXTILE INDUSTRY

Mohamad Azis Hakistian1, Ade Geovania2


1,2
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas
Sangga Buana Email :hakistian@gmail.com

ABSTRAK
PT. Grand Textile Industry merupakan perusahaan yang bergerak dibidang tekstil.
Aktivitas pekerjaan produksi membutuhkan tenaga otot serta konsentrasi penuh
karena berhubungan dengan mesin berukuran besar. Penyebab beban kerja mental
yang dihadapi karyawan, yaitu target pengukuran dan pengecekan hasil proses
kain, pembagian shift kerja yang dimiliki perusahaan berkaitan dengan ritme
sirkandian manusia, faktor lingkungan kerja (kebisingan, temperature,
pencahayaan, dll). Metode SOFI dan NASA-TLX merupakan metode yang
digunakan untuk mengukur tingkat kelelahan yang terjadi pada seseorang. NASA-
TLX memiliki 6 dimensi, yaitu: Kebutuhan Fisik, Kebutuhan Mental, Kebutuhan
Waktu, Performansi, Usaha, dan Tingkat Frustasi. Metode SOFI memiliki 5
dimensi, yaitu: kurang energi, aktivitas fisik, ketidak nyamanan fisik, kurang
motivasi, dan kantuk. Hasil penelitian tingkat kelelahan kerja yang diterima oleh
pekerja shift karyawan departemen finishing memiliki nilai diantaranya shift pagi
33%, shift siang, dan shift malam 34% dengan pengukuran NASA-TLX. Karyawan
shift malam memiliki tingkat kelelahan yang tertinggi dari dimensi tingkat kantuk
yaitu sebesar 5,19, yang dimana nilai ini menjadi nilai tertinggi dalam pengukuran
SOFI. Hasil analisis menggunakan uji anova kuesioner SOFI nilai (sig) sebesar
0,203 > 0,05 (ada perbedaan kelelahan fisik pada shift pagi, shift siang, dan shift
malam). Sedangkan kuesioner NASA-TLX hasilnya tidak berdistribusi normal,
sehingga dilakukan pengujian alternative yaitu uji kruskal wallis yang hasilnya
asymp sig 0,977 > 0,05 (tidak ada perbedaan kelelahan mental pada shift pagi, shift
siang, dan shift malam).

15
PENDAHULUAN

Pada dasarnya, aktivitas manusia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu
kerja fisik (otot) dan kerja mental (otak). Walaupun tidak dapat dipisahkan, namun
masih dapat dibedakan pekerjaan dengan dominasi aktivitas fisik dan pekerjaan
dengan dominasi aktivitas mental. Aktivitas fisik dan mental menimbulkan
konsekuensi, yaitu munculnya beban kerja. (Nugraha et al, 2013).

PT. Grand Textile Industry merupakan perusahaan yang bergerak


dibidang tekstil. Aktivitas pekerjaan pada bagian produksi membutuhkan tenaga
otot serta konsentrasi penuh. Dalam kegiatannya, pekerjaan tersebut berhubungan
dengan berbagai mesin yang berukuran besar. Penyebab beban kerja mental yang
dihadapi karyawan antara lain target pengukuran dan pengecekan hasil proses kain,
pembagian waktu/shift kerja yang dimiliki perusahaan sebanyak 3 shift (06.00
pagi-14.00 siang, 14.00 siang-22.00 malam, 22.00 malam-06.00 pagi) yang juga
berkaitan dengan ritme sirkandian manusia, faktor lingkungan kerja (kebisingan,
temperature, pencahayaan, dll). Konsentrasi dan ketelitian yang cukup merupakan
sikap kerja yang baik dilakukan pada saat bekerja, karena sangat menunjang untuk
kelancaran produksi yang berlangsung. Sikap kerja kurang baik (kurang ergonomic)
seperti bekerja dengan posisi berdiri berlebihan, jongkok, membungkuk,
serta adanya getaran dari mesin dan peralatan yang digunakan dapat menimbulkan
Occupational Fatigue yang bisa berdampak pada performansi pekerja menurun
(Nugraha et al.,2013). Penggunaan tenaga otot secara terus menerus bisa
menimbulkan kelelahan yang cepat pada pekerja tidak hanya kelelahan secara
fisikis tapi juga kelelahan secara mental atau masalah beban kerja.

16
TINJAUAN PUSTAKA
Ergonomi

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu ergon, yang artinya kerja dan
nomos yang artinya hokum atau aturan‟. Dimana ergonomic dapat disimpulkan
bahwa ergonomi adalah hukum atau kebijakan tentang kerja yang saling
berhubungan dengan pekerjaan, yang dapat disebut juga ilmu kerja. Ergonomi
berdasarkan ilmunya merupakan hubungan antara manusia dengan keadaan dan
lingkungan yang berkaitan dengan pekerjaan. Ergonomi juga menggali dan
mengaplikasikan informasi, perilaku manusia, kemampuan karakteristik untuk
pekerjaan dan juga untuk meningkatkan produktivitas, keselamatan, efektivitas,
kenyamaan dalam bekerja.

FAAL KERJA
Ruang lingkup ergonomi memiliki aspek yang luas, diantaranya yaitu
fisiologi kerja atau faal kerja. Faal kerja adalah hasil kerjasama dalam koordinasi
yang sebaik-baiknya dari kelima indra yaitu (penglihat, pendengar, peraba, perasa
dan pencium), dalam otak dan saraf- saraf yang ada dipusat dan perifer tubuh , dan
juga otot-otot pada tubuh. Selain itu untuk petukaran zat-zat yang diperlukan dan
tidak diperlukan oleh otot-otot dan tubuh.

Fisiologi kerja biasannya lebih terfokus pada faal tubuh dalam kata lain
koordinasi antara saraf perifer tubuh dan saraf pusat, baik panca indra, otot, rangka
tubuh, saat pertukaran zat tubuh dan juga energi tubuh serta adanya pengaruh
terhadap sistem peredaran darah, paru-paru, alat pernafasan dan jaringan organ-
organ termasuk sistem gastro intestinal yaitu (mulut, esophagus, usus, hati dan lain-
lainnya) pada saat bekerja.

17
Fisiologi kerja adalah ilmu yang mempelajari informasi tentang seberapa
besar aktivitas sistem tubuh baik itu sirkulasi darah, pernafasan, pencernaan dan
juga aktivitas musculoskeletal dapat bertahan atau optimal tanpa mengalami fungsi
kerja yang berlebih dan mengalami kelelahan.

Kelelahan Kerja
Kelelahan merupakan proses yang menimbulkan penurunan kesejahteraan,
kapasistas kinerja sebagai akibat dari aktivitas kerja menurut Mississauga, 2012.
Kelelahan didefinikan sebagai suatu keadaan ketika seseorang merasakan lelah baik
itu secara fisik maupun mental, yang dapat ditimbulkan oleh beberapa kegiatan,
diantarnya :
a) Jam kerja yang berlangsung terlalu panjang tanpa intervensi istirahat atau
periode waktu pemulihan kondisi tubuh,
b) Kegiatan yang menggunkan fisik yang kuat dan berkelanjutan setelahnya,
c) Usaha secara mental yang kuat dan berkelanjutan setelahnya
d) Bekerja selama waktu alami untuk tidur (sebagai akibat dari shift atau bekerja
untuk waktu yang panjang)
e) Tidur dan instirahat yang kurang cukup (Suma‟mur, 2009)

Ritme Sirkandian
Ritme sirkadian merupakan proses biologis yang berpatokan pada siklus
pada 24 jam atau siklus pagi-malam yang dapat mempengaruhi sistem fungsional
tubuh pada manusia. Waktu sirkadian otak dapat mengatur tidur, pola makan, suhu
dalam tubuh, produksi hormon tubuh, regulasi level glukosa dan insulin, produksi
urin, regenerasi sel, dan aktivitas biologis lainnya.
Menurut Kuswadji tahun 1997 masing-masing orang mempunyai jam
biologis yang berbeda- beda, kehidupan mereka diatur menjadi sama dan seragam
dalam daur hidup 24 jam sehari.Faktor-faktor seperti cahaya, temperatur, aktivitas
sosial, dan rutinitas kerja memengaruhi siklustidur-bangun sehari-hari. Semua
orang mempunyai jam yang sinkron terhadap siklus tidu rmereka.

18
Namun beberapa orang yang berbeda juga memiliki performa yang paling
baik pada waktu yang berbeda dalam satu hari kegiatannya.

NASA-TLX National Aeronautics and Space Administration Task


Load Index
Metode National Aeronautics and Space Administration Task Load Index
(NASA-TLX) merupakan metode untuk mengevaluasi beban kerja yang bersifat
subjektif, dimana pekerja diminta untuk memberikan pendapatnya pada pekerjaan
yang tengah dilakukannya baik itu pekerjaan yang berat atau pun yang ringan.

Metode NASA-TLX itu sendiri meminta pekerja untuk menilai (antara 0 –


100) dari pada 6 aspek yang ada dalam pekerjaannya. Menurut Iridiastadi tahun
2014, Pada metode NASA-TLX, dikembangkan kembali oleh Sandra G. Dari
NASA-Ames Research Center dan Lowell E. Staveland dari San Jose State
University (1981), berdasarkan kutipan (Simanjuntak, 2010).

Metode ini dikembangkan berdasarkan munculnya kebutuhan pengukuran


subjektif yang terdiri dari skala sembilan faktor (kesulitan tugas, tekanan waktu,
jenis aktivitas, usaha fisik, usaha mental, performansi, frustasi, stress, dan
kelelahan). Dari sembilan faktor ini disederhanakan lagi menjadi 6 faktor, yaitu:
1. Kebutuhan Fisik (KF),
2. Kebutuhan Mental (KM),
3. Kebutuhan Waktu (KW),
4. Performansi (P),
5. Usaha (U),
6. dan Tingkat Frustasi (TF).

19
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dari hasil analisis yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :

1. Beban kerja yang diterima oleh pekerja shift karyawan Departemen Finishing
memiliki nilai yang tidak jauh berbeda antara shift pagi 33%, shift siang, dan
shift malam 34% berdasarkan pada hasil pengukuran NASA-TLX. Hal ini
menunjukan bahwa tingkat kelelahan yang diterima untuk setiap shift sama.
2. Karyawan shift malam memiliki tigkat kelelahan yang teringgi dari dimensi
tingkat kantuk yaitu sebesar 5,19, yang dimana nilai ini menjadi nilai tertinggi
dalam pengukuran SOFI pada pekerja shift karyawan Departemen Finishing.
Nilai tertinggi kedua 4,23 kurangnya energi, 2,68 aktivitas fisik, 2,12 kurang
motivasi, 1,07 ketidaknyamanan fisik. Sedangkan untuk shift siang relative
sama 3,23 untuk kurangnya energi, 2,43 aktivitas fisik, 2,35 kurang motivasi,
2,27 ketidaknyamanan fisik, 1,56 kantuk. Nilai yang terendah adalah shift pagi
2,76 kurangnya energi, 1,71 kantuk, 1,63 aktivitas fisik, 1,47
kurangnya motivasi, 1,28 ketidaknyamanan fisik.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Aminah, Soleman. 2011. Analisis Beban Kerja Ditinjau Dari Faktor Usia
Dengan Pendekatan Recommended Weiht Limit. ARIKA, Vol. 05, No. 2.

Ahsberg, E. (1998). Perceived Fatigue Related to Work. National Institute for


Working Life.

[2] Budiono, AMS, Jusuf, RMF, Pusparini, A. 2003. Hiperkes dan Keselamatan
Kerja.
Semarang: Bunga Rampai

[3] Hancock, A. Peter and N. Meshkati (1988). Human Mental Workload.


Netherlands: Elsevier Science Publishing Company, INC

[4] Mississauga. 2012. A Review of mechanisms, outcomes, and measurement of


fatigue at work : The Toronto Workshop. Ontario: CRE-MSD.

20
[5] Mississauga. 2012. A Review of mechanisms, outcomes, and measurement of
fatigue at work : The Toronto Workshop. Ontario: CRE-MSD.

[6] Nugraha, H.A., Astuti, M., Rahman, A. 2013. Analisis Perbaikan Kerja
Operator Menggunakan Metode RULA Untuk Mengurangi Risiko
Musculoskeletal Disorders (Studi Kasus pada Bagian Bad Stock Warehouse
PT. X Surabaya). Jurnal Rekayasa dan Manajemen Industri. Vol 1, No 2.
P.229-240.

21
ANALISIS LINGKUNGAN FISIK DAN KARAKTERISTIK
INDIVIDU DENGAN FAAL PARU PEKERJA INDUSTRI
KERUPUK BAWANG X KEDIRI

(Analysis of Physical Environment and Individual Characteristics with function of


Pulmonary on Industry Workers “Crackers Onion” X Kediri)

Salsabila Al Firdausi*, R. Azizah*

*S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Email: salsabilafirdausi@gmail.com

ABSTRAK
Kualitas lingkungan fisik terkait dengan kadar debu,
suhu, kelembaban, cahaya, kondisi dinding, lantai, ventilasi,
langit-langit, serta adanya cerobong pembakaran dapat
mempengaruhi kesehatan pekerja. Industri Kerupuk berpotensi
terjadi gangguan faal paru pekerja. Penelitian ini bertujuan
mengetahui hubungan antara lingkungan fisik dan karakteristik
individu dengan status faal paru pekerja. Penelitian ini
menggunakan model cross sectional analitik. Pengambilan
data karakteristik individu dengan kuesioner, uji faal paru
dengan spirometri, kondisi lingkungan fisik dengan uji
laboratorium dan observasi langsung. Hasil penelitian
menunjukkan semua pekerja tidak menggunakan APD saat
kerja, mayoritas pekerja tidak merokok, masa kerja 2-3 tahun,
status pendidikan SD, status BMI normal, lama kerja sehari 5
jam. Kondisi lingkungan fisik kurang baik, parameter yang

22
tidak memenuhi syarat KMK 1405 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri adalah
kadar debu, suhu, cahaya, kondisi dinding kotor, lantai licin,
atap kotor dan ketidaktersediaan langit-langit. Komponen yang
memenuhi syarat adalah ventilasi serta keberadaan cerobong. 2
orang pekerja mengalami gangguan faal paru restriksi.
Karakteristik individu yang didukung dengan kualitas
lingkungan fisik kurang baik memberikan hubungan cukup
status faal paru pekerja, dikarenakan lama kerja kurang dari 5
tahun.

PENDAHULUAN
Lingkungan kerja merupakan salah satu lingkungan yang berpotensi
menimbulkan pencemaran. Pencemaran udara dalam ruangan erat kaitannya
dengan kondisi bangunan, perlengkapan dalam bangunan, suhu, kelembaban,
perilaku orang-orang di dalamnya seperti merokok serta kondisi pertukaran udara
dalam industri. Lingkungan yang bebas kontaminasi sulit untuk tercapai, namun
usaha untuk mencapai kualitas udara yang optimal dalam ruang perlu harus
diusahakan hingga sesuai dengan persyaratan kesehatan lingkungan., Nugroho et
al., 2013. Dampak dari kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat dapat
menimbulkan penyakit pernapasan, hal ini selaras dengan penelitian Munaya
(2015) jenis lantai nilai, jenis atap, jenis dinding, kepadatan hunian, keberadaan
perokok dalam rumah, dan penggunaan bahan bakar memasak memiliki
hubungan bermakna dengan kejadian Infeksi infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) non- pneumonia.

23
Hal ini sejalan dengan Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh
Balitbangkes (2013), asap dari rumah tangga yang masih menggunakan
kayu bakar juga menjadi salah satu faktor risiko pneumonia. Hal ini dapat
diperparah jika kondisi lingkungan fisik, seperti ventilasi rumah kurang
baik dan dapur menyatu dengan ruang keluarga atau kamar. Timbulnya
gangguan pernapasan ini selain dipengaruhi oleh lingkungan juga
dipengaruhi oleh adanya karakteristik individu yang berbeda- beda,
karakteristik individu ini antara lain adalah usia, masa kerja, maupun
penggunaan masker (Sholikhah & Sudarmaji, 2015).
Data nasional ISPA berdasar Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2013, ISPA merupaka n salah satu penyebab utama kunjungan pasien di
Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%- 30%). Lima provinsi
dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua
(31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur
(28,3%). Salah satu wilayah di Jawa Timur yang mengalami peningkatam
laporan kasus ISPA adalah Kabupaten Kediri, dimana pada bulan Januari-
Oktober 2009 jumlah kasus mencapai 85.601 untuk yang non pneumonia
sedangkan yang pneumonia mencapai 1.207 kasus (Dinkes, 2009 dalam
Susilowati, 2012). Adanya industri dengan potensi Perlu dilakukan upaya
pengendalian lingkungan industri agar tidak menimbulkan dampak
kesehatan serta kesehatan pekerja terlebih dalam hal pernapasan terjaga.
Industri Kerupuk Bawang X Kediri merupakan industri yang
menggunakan bahan bakar kayu, serta memiliki hazard fisik berupa debu
dan suhu yang berasal dari proses produksi. Dampak akibat debu bagi
pernapasan adalah timbulnya keluhan pernapasan maupun gangguan faal
paru. Hal ini disebabkan oleh adanya jaringan paru-paru yang rusak dan
dapat mempengaruhi produktivitas pekerja (Darmawan, 2013).

24
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara
kualitas lingkungan fisik dan karakteristik individu dengan status faal paru
pekerja Industri Kerupuk Bawang X Kediri memenuhi kriteria inklusi,
serta sisanya 20 orang memenuhi kriteria inklusi menjadi sampel
penelitian.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Kondisi lingkungan fisik dalam industri kerupuk bawang X
yang tidak memenuhi syarat dari KMK Nomor 1405 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri
adalah kadar debu, suhu, kondisi lantai, kondisi dinding, langit-langit
yang tidak ada, kondisi atap yang berlubang, serta pencahayaan yang
kurang. Kondisi lingkungan fisik yang memenuhi syarat adalah
kelembaban, ventilasi serta adanya sarana pembuangan asap yakni
cerobong. Pekerja di industri kerupuk bawang X mayoritas memiliki
rentang umur 26-35 tahun, jenis kelamin terbanyak perempuan, masa
kerja terbanyak 2-3 tahun, lama kerja sehari mayoritas
1 jam, mayoritas pekerja tidak merokok, mayoritas memiliki
status BMI normal, mayoritas pekerja memiliki pendidikan terakhir SD.
Kondisi fungsi paru pekerja industri kerupuk bawang X Kediri sebagian
besar normal, namun terdapat 2 pekerja atau 10% yang mengalami
gangguan faal paru restriksi.
Korelasi antara status faal paru pekerja karakteristik
individu yang cukup adalah jenis kelamin, masa kerja, lama
pajanan sehari, status merokok, riwayat penyakit dan status BMI,
sedangkan umur memiliki korelasi yang lemah dengan status faal
paru. Keluhan pernapasan dimungkinkan muncul karena kadar
debu yang tidak memenuhi syarat, gangguan faal paru yang rendah
dimungkinkan karena masa paparan kurang dari 5 tahun.

25
Saran
Saran bagi industri adalah melakukan kegiatan pembersihan
industri secara berkala agar tidak menimbulkan potensi debu bagi pekerja,
serta pekerja menggunakan alat pelindung diri masker saat bekerja sebagai
penghalang debu dari lingkungan ke tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
1. Darmawan, A. 2003. Penyakit Sistem Respirasi Akibat Kerja.
JMJ,68-83.
2. Fajrin, N., Naiem, F.& Rahim, R, 2014. Faktor yang Berhubungan
dengan Keluhan Kesehatan Akibat Tekanan Panas pada
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan
Industri.
3. Mengkidi, D. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya Pada Karyawan PT. Semen Tonasa
Pangkep Sulawesi Selatan. Thesis. Universitas Diponegoro.

26

Anda mungkin juga menyukai