Anda di halaman 1dari 33

1 Definisi Huhate

Huhate atau sering disebut


dengan pole and line adalah alat tangkap yang menggunkan
tongkat/joran (pole) dan tali (line). Huhate termasuk alat tangkap yang
selektif karena pada umumnya hanya menangkap ikan cakalang saja.
Jika ditinjau dari cara penangkapan dan pengopersian alat,
huhatetermasuk alat tangkap yang ramah lingkungan. Ikan yang
menjadi target tangkapan huhate adalah ikan pelagis besar, yaitu
cakalang (skipjack). Ada kalanya tuna berukuran kecil, sekitar 5-10
kg, juga tertangkap. Di Indonesia huhate pada umumnya dioperasikan
di kawasan perairan Indonesia tengah dan timur. Di kawasan perairan
Indonesia barat, pancing huhate jarang digunakan oleh para nelayan.
       Penangkapan dengan huhate menggunakan umpan berupa ikan-
ikan kecil yang disukai oleh cakalang. Umpan yang digunakan adalah
umpan hidup. Oleh karena itu, kapal huhate selalu dilengkapi
ddengan palka ikan hidup untuk mempertahankan umpan yang
diangkut tetap hidup smapai di fishing ground. Namun uniknya, pada
saat huhate dioperasikan, umpan tidak  dipasang pada pancing.
Umpan hidup ditaburkan ke laut untuk menahan gerombolan ikan
cakalang tetap berada disekitar kapal penangkap sehingga
gerombolan cakalang sibuk memakan umpan yang diberikan.
Gerombolan ikan harus dipertahankan sedekat mungkin dengan kapal
sehingga dapat dengan mudah ditangkap dengan menggunakan
pancing huhate.
       Huhate termasuk kategori kelompok alat tangkap aktif. Sebelum
memulai penangkapan kapal terlebih dahulu mencari gerombolan ikan
cakalang  yang berada disekitar permukaan perairan. Pencarian
gerombolan ikan pada umumnya menggunakan tanda-tanda alam
yang dapat dilihat secara visualyang berada disekitar permukaan
perairan. Pencarian gerombolan ikan pada umumnya menggunakan
tanda-tanda alam yang dapat dilihat secara visual seperti adanya buih
atau riak di permukaan perairan karena gerombolan ikan sedang
berenang atau melompat-melompat di sekitar permukaan perairan.
Tanda- tanda alam lainnya adalah kelompok burung yang
berterbangan di sekitar permukaan perairan. Biasanya kelompok
burung mengikuti gerakan gerombolan ikan cakalang yang sedang
berada di sekitar permukaan karena burung-burung tersebut turut
memperebutkan ikan-ikan kecil yang sedang dimakan oleh
gerombolan cakalang. Lama trip penangkapan bervariasi ada yang
sekitar 1-4 minggu,namun ada juga yang hanya sekitar 2-3 hari. Lama
trip penangkapan pada umumnya sangat tergantung pada ukuran
kapal dan jarak pelabuhan pangakalan dengan fishing
ground (Nainggolan, 2007).
       Menurut Adi dan Djaja (2008), huhate (skipjack pole and
line) atau umumnya disebut dengan pole and line  adalah alat tangkap
ikan cakalang dengan menggunakan pancing.
       Lanjut Adi dan Djaja, konstruksi alat tangkap pole and line terdiri
dari bagian-bagian bambu (bamboe’s pole), tali pancing dan mata
pancing. Mata pancing untuk huhate (pole and line) ada dua macam
yaitu mata pancing yang tidak berkait dan yang berkait.
Pole and Line atau biasa disebut juga dengan “pancing andar” karena
pancing ini menggunakan gandar, walesan, joran atau tangkai (rod or
pole). Jadi semua pancing yang menggunakan gandar sebenarnya
adalah pole and line, walaupun terakhir salah kaprah karena
sebutan pole and line hanya untuk penangkapan cakalang. Pada
pengopersiannya ia dilengkapi dengan umpan, baik umpan
benar (true bait) dalam bentuk mati atau hidup maupun umpan tipuan
atau imitasi (Subani dan Barus, 1989).

2.2 Spesifikasi Kapal Penangkap Ikan

2.2.1 Kapal Perikanan


Pengertian kapal menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, adalah kendaraan air
dengan bentuk dan jenis apapun,  yang digerakkan dengan tenaga
mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang
berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta
alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
Selanjutnya, kapal Indonesia adalah kapal yang memiliki kebangsaan
Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah.
Paragraf di atas menjelaskan pengertian kapal secara umum,kapal
berdasarkan fungsinya terdiri dari beberapa spesifikasi salah satunya
adalah jenis kapal perikanan adalah sub bagian dari kapal secara
umum. Untuk mengetahui pengertian kapal perikanan maka penulis
meninjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun
2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Selanjutnya dikatakan
kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang
digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan,
pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi
perikanan.
Menurut Setianto (2007), kapal perikanan sebagaimana layaknya
kapal penumpang dan kapal niaga lainnya maupun kapal barang,
harus memenuhi syarat umum sebagai kapal. Berkaitan dengan
fungsinya yang sebagian besar untuk kegiatan penangkapan ikan,
maka harus juga memenuhi syarat khusus untuk mendukung
keberhasilan kegiatan tersebut yang meliputi: kecepatan, olah
gerak/manouver, ketahanan stabilitas, kemampuan jelajah, konstruksi,
mesin penggerak, fasilitas pengawetan dan prosesing serta peralatan
penangkapan.
Pengetahuan mengenai keselamatan kapal perikanan minimal
meliputi bagaimana merencanakan kapal, mengidentifikasi jenis dan
ukuran kapal, permesinan, akomodasi perlengkapan, stabilitas, dan
penanganan ikan di atas kapal. Sedangkan pengetahuan minimal
keselamatan jiwa di atas kapal hanya terkait dengan beberapa
peralatan yang digunakan, baik untuk keselamatan dirinya sendiri
maupun untuk berkomunikasi dalam upaya meminta dan memberikan
pertolongan di laut (Ardidja, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa
kapal perikanan secara umum terdiri dari: Kapal Penangkap Ikan,
Kapal Pengangkut Hasil Tangkapan, Kapal Survei, Kapal Latih dan
Kapal Pengawas Perikanan.

2.2.2 Kapal Huhate (Pole and Line)


Kapal pole and line umumnya telah dikenal oleh para nelayan sebagai
kapal huhate, dilengkapi dengan bak umpan hidup (linebait tank),
sistem percikan air (spray water) dan palka ikan (fish hold). Tetapi
penggunaan kapal tersebut oleh para nelayan masih secara
tradisional, baik dari bentuk serta ukurannya masih belum sempurna,
oleh karena rancang bangun kapal tersebut tanpa didukung dengan
rancangan/desain yang tepat dan cermat.
       Kapal pole and line adalah kapal dengan bentuk yang strem
line dan mampu berolah gerak kapal dengan lincah dan tergolong
kapal yang mempunyai service speed di atas 10 knot dengan
stabilitas yang baik untuk mengejar gerombolan ikan, yaitu kapal
tersebut berolah gerak sambil menangkap ikan (Direktorat Jenderal
Perikanan, 1994).
       Menurut Ardidja (2010), tipe kapal pole and line terdiri dari dua,
yaitu tipe Amerika dan tipe Jepang. Huhate yang dioperasikan di
indonesia umumnya tipe Jepang. Tipe kapal ini dibedakan
berdasarkan diman operasi pemancing dilakukan. Tipe Amerika
dilakukan di buritan, sedangkan tipe Jepang di haluan. Pemancing
berdiri atau duduk di pila-pila (plying deck) yang dipasang sekeliling
kapal di luar bulwark. Kamar kemudi dan akomodasi ditempatkan di
bagian buritan (aft). Palka ditempatkan di tengah-tengah kapal
Kapal pole and line dilengkapi dengan tangki umpan hidup dan water
sprayer untuk menarik atau memecah perhatian ikan. Kapal pole and
line berukuran besar dilengkapi dengan sistem refrigerasi untuk
menyimpan hasil tangkapan. Sedangkan untuk kapal berukuran kecil
dengan sistem operasi harian (one day fishing), ikan hasil tangkapan
cukup diawetkan dengan menggunakan es.
       Kapal pole and line pada dasarnya digunakan untuk menangkap
ikan tuna dan cakalang. Pada saat pelaksanaan penangkapan ikan,
nelayan berada di haluan kapal kemudian memancing ikan dengan
menggunakan pancing dengan tali disertai dengan sistem
penyemprotan air untuk menaikkan ikan merupakan ciri khusus dari
kapal ini. Kapal pole and line biasanya dipakai untuk memancing ikan
cakalang yang terpikat dengan umpan hidup serta semprotan/siraman
air. Oleh karena itu, kapal pole and line harus dilengkapi dengan bak
atau palka penampung umpan hidup dan dibantu dengan sirkulasi air.
Biasanya juga dilengkapi dengan motor bantu untuk
mengalirkan spray water ataus emprotan air yang fungsinya untuk
mengelabui gerombolan ikan cakalang pada saat penangkapan
(Direktorat Jenderal Perikanan, 1994).
       Menurut Adi dan Djaja (2008), bentuk kapal cakalang mempunyai
beberapa kekhususan antara lain :
1.      Dibagian atas deck kapal bagian depan (haluan) terdapat pelataran
digunakan sebagai tempat pemancing untuk melakukan
pemancingan.
2.      Dalam kapal harus tersedia bak-bak untuk menyimpan umpan hidup.
3.      Dilengkapi dengan sistem semprotan air (water splinkers
system) yang dihubungkan dengan suatu pompa.
       Sedangkan menurut Subani dan Barus (1989), bentuk kapal
cakalang mempunyai beberapa pengkhususan, antara lain :
1.      Di bagian atas deck kapal bagian depan terdapat plataran (plat
form) dimana pada tempat tersebut para pemancing melkukan
pemancingan.
2.      Dalam kapal harus tersedia bak-bak unruk menyimpan ikan umpan
hidup.
3.      Kapal cakalang perlu dilengkapi dengan sistem semprotan air (water
splinkers system) yang dihubungkan dengan suatu pompa. Kapal
cakalang yang umumnya digunakan mempunyai ukuran 20 GT
dengan kekuatan 40-60 HP.
      Menurut Nainggolan (2007), seperti umumnya kapal penangkap
ikan, kapal huhate memiliki ciri antara lain mempunyai :
1.      Geladak yang luas tempat kegiatan penangkapan dilakukan (huhate
dioperasikan).
2.      Geladak yang rendah (jarak geladak kapal dengan permukaan air
relatif pendek), sehingga mudah untuk mengoperasikan alat tangkap.
3.      Palka ikan untuk menyimpan hasil tangkapan.
4.      Kemampuan olah gerak yang tinggi sehingga dapat dengan mudah
mengikuti pergerakan gerombolan ikan yang sedang diburu.
5.      Stabilitas yang baik, agar oleng kapal yang diakibatkan oleh
gelombang maupun angin dapat diminimalkan pada saat
penangkapan dilakukan.
       Sementara itu, beberapa ciri khusus kapal huhate yang tidak
dimiliki oleh kapal penangkap ikan lainnya, (Nainggolan, 2007) :
1.      Dilengkapi dengan Palka Umpan Hidup
       Kapal huhate dilengkapi dengan palka khusus untuk menyimpan
ikan hidup yang akan digunakan sebagai umpan pada saat
melakukan pemancingan. Palka ini berisi air laut, danterhubung
dengan air laut di luar kapal melalui suatu sistem saluran masuk dan
keluar. Jika kapal berjalan, air laut dariluar akan masuk menggantikan
air yang di dalam palka sehingga selalu segar dan ikan yang disimpan
dapat tetap hidup. Palka ikan hidup juga dilengkapi dengan pompa
sirkulasi air yang dapat digunakan untuk mengganti air laut di dalam
palka jika kapal tidak sedang berlayar dan sebagai cadangan jika
sistem sirkulasi itu macet.
2.      Dilengkapi dengan Pila-pila
       Pada huhate geladak yang digunakan untuk memancing dirancang
secara khusus, yakni dengan menyediakan tempat para pemancing
mengambi lposisi, bisa duduk maupun berdiri pada pinggiran geladak
tersebut. Tepian geladak tempat pemancing dapat bergerak dengan
leluasa, serta mudah melihat langsung ke air laut dan ikan yang akan
dipancing. Pinggiran khusus yang dinamai pila-pila ini dirancang
dengan baik sehingga cukup aman dan meminimalkan resiko jatuhnya
para pemancing ke laut.
3.      Dilengkapi Sistem Penyemprotan Air di Sekeliling Kapal
Umpan pada teknik pemancingan huhate tidak dikaitkan pada kail,
melainkan ditaburkan hidup-hidup di sekeliling kapal, pada saat tiba
di fishing ground. Tujuannya adalah untuk menarik gerombolan ikan
yang akan ditangkap serta untuk mempertahankan agar gerombolan
itu selalu berada di sekitar kapal, sementara para pemancing
mengayunkan alat pemancingnya. Namun demikian, jumlah umpan
hidup yang dibawa jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, perlu dihemat
dengan sebaik-baiknya. Jika umpan hidup sampai habis maka
penangkapan tidak mungkin dilakukan. Untuk mengelabui gerombolan
ikan itu disemburkanlah percikan air, seperti hujan di sekitar kapal dan
pada saat yang sama umpan ikan hidup dilemparkan ke arah
geombolan ikan.
4.      Memiliki Kecepatan yang Tinggi
Kapal huhate pada umumnya memiliki kecepatan yang relatif tinggi.
Kecepatan ini dibutuhkan untuk dapat dengan cepat memburu
gerombolan ikan yang muncul di sekitar permukaan perairaan. Kerap
kali juga terjadi persaingan antara nelayan dalam menemukan
gerombolan ikan. Jika suatu gerombolan ikan terlihat oleh beberapa
kapal di kejahuan maka para nelayan akan muncul kapal masing-
masing menuju gerombolan tersebut. Kapal yang terlebih dahulu
sampai pada lokasi gerombolan ikan adalah yang berhak melakukan
pemancingan. Kapal lain yang ada di sekitar daerah tersebut tidak
boleh melakukan pemancingan tanpa seijin kapal yang sampai lebih
dulu di lokasi gerombolan tersebut. Kapal-kapal lain hanya boleh
melakukan pemancingan jika sudah memperoleh ijin atau jika
gerombolan ikan tersebut sudah meninggalkan daerah tersebut
meskipun hal ini jarang terjadi. Dalam upaya memiliki kecepatan
tinggi, ukuran mesin pada kapal huhate pada umumnya relatif lebih
besar dibandingkan dengan kapal perikanan lainnya. Di samping
memperbesar ukuran mesin, desain dan bentuk kapal dioptimalkan
dan dibuat sebaik mungkin sehingga kapal dapat melaju lebih cepat.

2.3 Konstruksi Huhate (Pole and Line)


Menurut Nainggolan (2007), ragam konstruksi huhate tidak banyak
dan relatif sederhana. Pada prisipnya huhate hanya terdiri atas
tongkat yang juga disebut joran, tali dan mata pancing. Pada ujungnya
tongkat diberi tali dan pada ujung di tali yang lain dilengkapi dengan
mata pancing. Joran pada umumnya terbuat dari bambu atau
campuran plastik yang lentur sehingga dapat melengkung dan
memiliki daya elastisitas yang besar. Elastisitas joran tersebut
berfungsi untuk mengangkat ikan yang terpancing, melontarkannya ke
udara, dan melepaskan ikan dari kaitan pancing sehingga jatuh di
atas deck kapal. Panjang joran berkisar antara 2-4 m sesuai dengan
keinginan si pemancing yang menggunakannya.
       Pada salah satu ujung joran diberi tali. Pada ujung tali yang lain
dipasang mata pancing. Tali yang digunakan biasanya dari bahan
sintetis berupa monofilament. Panjang tali pancing pada umumnya
sekitar 2 m, namun sebetulnya tergantung pada keinginan si
pemancing. Sebagai patokan umum, panjang tali pancing yang
digunakan adalah lebih pendek dibandingkan dengan panjang joran.
Tujuannya adalah agar upaya memancing ini bisa lebih mudah dan
lebih cepat dilakukan.

       Mata pancing yang digunakan pada huhate adalah pancing tanpa


kait (pancing polos), berbeda dengan mata pancing yang yang
digunakan secara umum. Tanpa adanya kait (pengunci) di ujung kail,
ikan yang tertangkap akan mudah di lepaskan. Teknik
memancing  biasanya, bertumpu pada kecepatan gerakan. Sesaat
ikan menggigit kail, pancing disentakkan, ikan yang tertangkap
diangkat dari air laut dan dengan teknik khusus, mata kail dilepaskan
pada saat yang sama ketika ikan dilontarkan ke udara dan diarahkan
jatuh ke deck kapal. Teknik melepaskan ikan yang terkait pada
pancing huhate ini membutuhkan ketrampilan khusus dan biasanya
hanya dapat dilakukan oleh pemancing yang terampil dan
berpengalaman.

2.3.1 Joran (Pole)
Joran bambu yang digunakan perahu kecil biasanya berukuran 2,40-
3,00 m. Pada bagian pangkalnya berukuran diameter 50 mm dan
meruncing kearah ujung. Diantara ruasnya ditelitikan tali dilekatkan
dengan pita perekat untuk mencegah patah. Selalu ada cara
menghubungkan tali sambungan ke joran adalah dengan
menyediakan sebuah tali kasar yang bagian ujungnya keras. Tali
sambungan diikatkan pada tali ini dengan simpul double sheet bend,
dan pengaturan panjang tali sambungan dilakukan ditempat ini. Joran
harus dipilih olh pemakainya. Panjang dan beratnya ditentukan oleh
ketrampila n dan kekuatan nelayan. Pangkalnya dilapisi benang agar
enak dipegang dan tidak licin seperti bagian joran lainnya (Yami,
1989).

2.3.2 Tali (Line)
Tali untuk huhate biasanya dari bahan sintetis. Namun bahan alami
juga dipakai dibeberapa tempat. Tali tradisional ini terdiridari tali
utama yang dih pendek ibuat dari rami dan tali cabang dari kawat
namun dewasa ini kebanyakan terbuat dari nylon monofilament. Tali
pendek lagi biasanya 40 cm lebih pendek dari joran, bahkan bisa lebih
pendek lagi untuk memudahkan nelayan mengayun ika di atas kapala
dan menanggalkan dengan cara mengendorkan tali.
       Menurut Usemahu dan Tomasila (2001), pole and line (huhate)
merupakan salah satu jenis alat penangkapan ikan yang dapat
diklasifikasikan sebagai alat pancing yang umumnya digunakan untuk
penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Alat tersebut
digunakan secara perorangan, sehingga salah satu faktor yang
mempengaruhi suksesnya penangkapan ialah ketrampilan individu,
selain masalah-masalah lainnya seperti tersedianya umpan hidup,
padat tidaknya gerombolan ikan cakalang di daerah tersebut dan lain-
lain. Konstruksi alat tersebut sangat sederhana dan hanya terdiri dari
bagian-bagian sebagai berikut :
1)     Joran/galah yang terbuat dari bambu atau plastik dengan panjang
berkisar antara 2-3, 2-5 m.
2)     Tali  dari bahan synthetis, monofilment atau multifilament dengan
panjang 1,5-2,5 m dan diameter tali 0,2-0,3 cm.
3)     Kawat baja (wire leader) yang panjangnya 5-10 cm, terdiri dari 2-3
urat yang disatukan/dipintal dengan diameter 1,2 mm.
4)     Mata kail (hook) yang khusus, yang ujungnya tidak berkait.

2.4 Daerah Penangkapan


Daerah penangkapan untuk jenis tuna kecil atau Bonito terbatas pada
perairan bersifat oceanis. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) hidup
bergerombol secara pelagis di daerah perairan pantai sampai di laut
bebas. Dae rahnya ditandai  dengan keadaan air yang jernih dan tidak
berkarang, jauh dari muara sungai. Daerahnya merupakan perairan
yang tenang tidak bergelombang besar dan bukan daerah angin
topan. Alat tangkap untuk cakalang adalah pole and line atau di
Maluku disebut Huhate. Daerah penangkapan ikan cakalang yang
terkenal ialah perairan Maluku di sekitar pulau Buru, pulau Seram,
pulau Ternate dan di laut Banda sampai sekitar kepulauan Tanimbar
dan Aru ( Usemahu dan Tomasila, 2001).
       Ikan cakalang termasuk ikan pelagis besar. Ikan kelompok
pelagis ini biasanya hidup di perairan yang relatif dalam. Pada
perairan yang relatif dangkal, misalnya di Laut Jawa, sangat jarang
ditemukan ikan cakalang. Biasanya ikan cakalang hidup perairan
sekitar Indonesia tengah dan timur. Ikan cakalang juga dapat
ditemukan di perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumstera dan
selatan Jawa. Dari berbagai penelitian dan pengamatan lapangan
ikan  cakalang biasa hidup pada permukaan samoai kedalaman
sekitar 200 m. Suhu perairan tempat cakalang biasanya berada
berkisar antara suhu permukaan sampai 20 0C di perairan subtropis
dan tropis (Nainggolan, 2007).

2.5 Alat Bantu Penangkapan


Menurut Yami (1989), alat bantu pada kapal huhate mencakup hand
net, seser, ember umpan dan bak umpan (bait chumming tanks).

2.5.1 Jaring Tangguk dan Seser


Jaring tangguk (hand net) dipakai untuk memojokkan umpan kesuatu
sudut agar mudah diserok dengan seser. Alat ini terdiri dari selebar
bak umpan dan dalamnya 1 m. Dibagian sisinya dipasang dua
tangkai, sehingga dapat dipakai dengan dua tangan. Tangkai ini 1 m
lebih panjang dari lebar jaring sehingga mudah digunakan. Jaring
tangguk ini dipakai dengan cara memegang kedua tangkainya dan
menyesernya sampai sejumlah ikan terkumpul dikantung jaring.
Setelah itu jaring dirapatkan dan diangkat kemudian salah satu sisinya
dimasukan kedalam bak umpan sehingga terkurung.
       Seser digunakan untuk beberapa tujuan, tergantung ukurannya.
Yang besar dengan ukuran diameter 40 cm dan kedalaman 20-30 cm
dipakai untuk memindahkan umpan hidup dari tangki ke ember atau
untuk membuang bukan jenis ikan umpan dari tangki. Kadang-kadang
dipakai sebagai pengganti ember untuk memindahkan umpan dari
keramba ke tangki umpan di kapal. seser kecil berukuran diameter 20
cm dipakai untuk menyebar umpan atau meminai.
2.5.2 Bak Pinai dan Ember
       Ember umpan hidup terbuat dari kayu atau plastik diameter 25-30
cm dan tingginya 20 cm. Selama operasi ember ini dipakai untuk
menempatkan beberapa umpan hidup (sampai 10) letaknya
disamping bui-bui (peminai). Bak pinai diletakkan di dek dekat
pemancing. Umpan hidup yang diambil dari tangki dengan memakai
jaring tangguk dan siap untuk disebar. Bak-bak kecil berukuran
diameter 1 m dan tinggi 90-100 cm ini semula terbuat dari kayu.
Tetapi sekarang umumnya dari plastik. Bak dirancang agar pergantian
airnya mudah yaitu dengan membuat pipa 25 mm yang berlubang-
lubang melingkar di dasar bak. Sistem penyemprotan dipasang untuk
memompakan air melalui pipa agar terbagi melalui lubang-lubang dan
sistem semprotan dipasang dibagian atas.

2.5.3 Alat Pelindung Tubuh


Sewaktu operasi penangkapan berlangsung kebanyakan nelayan
memakai pelindung terbuat dari kulit tebal dan dilekatkan pad sabuk
yang dapat diatur untuk memikul beban joran. Suatu bagian dari tali
berdiameter 25-32 mm berbentuk U diikatkan kebagian tengah
pelindung, dimana tali U ini lebih besar dari pangkal joran. Memakai
helm pengaman (seperti pada industri) sangat dianjurkan.

2.5.4 Pila-pila
Pila-pila digunakan sebagai tempat duduk atau berdiri tempat
pemancing, yang letaknya bisa pada bagian haluan dan buritan antara
sepanjang lambung kiri dan kanan (Direktorat Jenderal Perikanan,
1994).

2.5.5 Pipa Penyemprot


       Pipa penyemprot digunakan untuk menyemprot air secara
percikan ke permukaan laut. Tujuannya adalah untuk mengelabui
ikan-ikan seolah pada permukaan laut terdapat banyak ikan terutama
cakalang (Direktorat Jenderal Perikanan, 1994).
       Pipa penyemprot ditempatkan disepanjang pila-pila. Pipa tersebut
bisa terbuat dari paralon atau dari besi dan pada bagian ujungnya
dipasang kran untuk dipergunakan untuk menyemprot air.
Penyemprot kran air terjadi karena dilengkapi dengan water
pump (pompa air).

2.5.6 Rumpon
Rumpon adalah suatu alat bantu dalam kegiatan penangkapan ikan
yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut di lokasi daerah
penangkapan (fishing ground) agar ikan-ikan tertarik untuk berkumpul
disekitar rumpon sehingga mudah untuk ditangkap dengan alat
penangkapan ikan. Ikan-ikan kecil berkumpul disekitar rumpon karena
terdapat lumut dan plankton yang menempel pada atraktor rumpon.
Ikan-ikan kecil ini mengundang ikan-ikan lebih besar untuk
memangsanya dan demikian seterusnya sampai ikan Tuna juga
berada disekitar rumpon pada jarak tertentu (food chains). Rumpon
laut dalam adalah salah satu jenis bantu penangkapan yang dipasang
pada kedalaman perairan lebih dari 200 meter bertujuan untuk
memikat dan mengumpulkan terutama ikan pelagis besar, seperti ikan
tuna (Thunnus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis) dan
tongkol (Auxis thazard) sehingga dengan demikian lebih
mempermudah penangkapannya (Direktorat Sarana Perikanan
Tangkap, 2004)
       Menurut BPPI Semarang (2005), rumpon merupakan alat bantu
pengumpul ikan FAD (Fishing Aggragating Device) dimana
peranannya sangat penting. Alat bantu tersebut menjadi alat tangkap
yang operasionalnya lebih efektif (menghemat waktu dan tenaga)
serta efisien (menghemat bahan bakar/perbekalan). Hal ini akan
sangat terasa pada kegiatan perikanan tuna-cakalang, karena jenis-
jenis ikan tuna merupakan ikan oceanic pelagis dan memiliki
kebiasaan migrasi jarak jauh, sehingga keberadaannya sulit ditangkap
dengan jumlah banyak bila tanpa terlebih dahulu dikosentrasikan
pada areal yang sempit. Salah satu bentuk alat bantu pengumpul ikan
jenis tuna yang sudah dikenal dan digunakan adalah rumpon laut
dalam atau payaos.
       Direktorat Sarana Perikanan Tangkap (2004), mengatakan
payaos (payau) adalah jenis rumpon namun berkuran besar, dipasang
di perairan laut dalamyang digunakan sebagai pengumpul ikan
pelagis. Teknologi payaos (payau) berasal dari Philipina sejak tahun
1978, yang kemudian diadopsi nama istilah dan teknologi  tersebut di
Indonesia oleh BUMN Perikanan dan Perushaan Perikanan yang
bermodal kuat. Penggunaan rumpon laut dalam (payaos) sebenarnya
telah lama dikembangkan oleh nelayan Indonesia yaitu daerah
Mandar – Sulawesi Selatan dan daerah Teluk Tomini-Sulawesi
Tengah yang dikenal dengan sebutan nama daerah (local name) “
Rompong Lompo/Mandar ”.
Direktorat Sarana Perikanan Tangkap (2004), Beberapa tipe rumpon
laut dalam (payaos) yang telah dikembangkan di Indonesia dengan
daerah penyebaran diantaranya, yaitu :
a)     Type Mandar                               : Perairan Selat Makasar dan Teluk
Tomini
b)     Type BPPI/Parigi                         : Perairan Kep. Banggai dan Teluk
Tomini
c)     Type PN Perikanan Sulteng        : Perairan Kep. Banggai dan Teluk
Tomini
d)     Type PT. Usaha Mina                  : Sekitar Kep. Halmahera dan
Sorong
e)     Type Rompong Raja Mamuju     : Perairan Selat Makasar dan
sekitarnya

2.6 Penanganan Hasil Tangkapan


   Menurut Nainggolan, (2007) Penanganan hasil tangkapan dilakukan
untuk menjaga dan mempertahankan mutu ikan hasil tangkapan tetap
baik. Prinsip mempertahankan mutu ikan adalah dengan cara
mencegah dan menghambat proses kemunduran mutu ikan.
Penanganan ikan hasil tangkapan pada kapal huhate, seperti juga
halnya di kapal penangkapan ikan lainnya adalah dengan
berpedoman pada hal-hal berikut :
1.      Bekaerja dengan cepat.
2.      Bekerja pada suhu rendah. Menghindari ikan yang sedang ditangani
terkena sinar matahari secara langsung atau panas lainnya.
3.      Segera menurunkan suhu ikan agar proses penurunan diminimalkan.
4.      Mejaga agar tubuh ikan tidak memar, luka atau kekkerasan fisik
lainnya.
2.7 Biologi Ikan Cakalang

2.7.1 Taksonomi Ikan Cakalang


Sistematika cakalang menurut Matsumoto, Skillman dan Dizon
(1984)adalah:
Filum : Vertebrata
     Subfilum : Craniata
          Superclass : Gnatnostomata
              Series : Pisces
                   Class : Teleostomi
                        Subclass : Actinopterygii
                            Order : Perciformes
                                 Suborder : Scombroidei
                                      Family : Scombridae
                                           Subfamily : Scombrinae
                                               Tribe : Thunnini
                                                    Genus : Katsuwonus
                                                         Spesies : Katsuwonus pelamis

Matsumoto et al. (1984), mengemukakan bahwa cakalang memiliki


tubuhyang padat, penampang bulat, lateral line melengkung ke bawah
tepat di bawahsirip punggung kedua, sirip dada pendek dan berbentuk
segitiga. Warna tubuhpada saat ikan masih hidup adalah biru baja
(steel blue), tingled dengan lustrousviolet di sepanjang permukaan
punggung dan intensitasnya menyusut di sisi tubuhhingga ketinggian
pada pangkal sirip dada. Sebagian dari badannya termasukbagian
abdomen, berwarna putih hingga kuning muda, garis-garis
vetikalevanescent muda tampak di bagian sisi tubuhnya pada saat
baru tertangkap. Jenisikan cakalang secara normal adalah
heteroseksual yaitu dapat dibedakan ataspenentuan jenis kelamin
jantan dan betina. Sesuai dengan pertumbuhan. MakaNakamura
(1969), membagi cakalang ke dalam enam tingkatan ekologi, yaitu:
1.      Tingkat larva dan post larva, yaitu untuk ikan yang panjang kurangdari
15 mm
2.      Prajuvenil, yaitu ikan yang berukuran antara tingkatan post
larvadengan tingkatan dimana ikan mulai diusahakan secara
komersial
3.      Juvenil, yaitu ikan muda yang ada di perairan neritik dengan ukuran15
cm
4.      Adolescent, yaitu ikan muda yang menyebar dari perairan neretik
ketengah lautan mencari makan
5.      Spawners, yaitu ikan yang sudah mencapai kedewasaan
kelamin(seksual)
6.      Spent fish, yaitu ikan yang sudah pernah memijah
Ukuran ikan cakalang diberbagai perairan dunia pada saat pertama
kali memijah/matang gonad adalah berbeda. Dalam
perkembangannya, cakalang akanmencapai tingkat dewasa pada
tahap ke empat. Pada tahap ini cakalang dapatmencapai panjang
39,1 cm untuk jantan dan 40,7 untuk yang betina (Waldrom,1962).
       Matsumoto (1984), mengemukakan bahwa ikan cakalang mulai
memijahketika panjang sekitar 40 cm dan setiap kali memijah dapat
menghasilkan 1.000.000-2.000.000 telur. Cakalang memijah
sepanjang tahun di perairanekuator atau antara musim semi sampai
awal musim gugur untuk daerahsubtropis. Masa pemijahan akan
menjadi semakin pendek dengan semakin jauhdari ekuator. FAO
(1983), mengemukakan bahwa cakalang umumnya berukuran40-80
cm dengan ukuran maksimum 100 cm.
Berdasarkan pengamatan Muhammad (1970), diacu dalam
Amiruddin(1993) di perairan Indonesia terdapat hubungan yang nyata
antara kelimpahan cakalang dengan ikan pelagis kecil serta plankton.
Dengan semakin banyaknyaikan kecil dan plankton, maka cakalang
akan berkumpul untuk mencari makan.Ikan cakalang mencari makan
berdasarkan penglihatan dan rakus terhadapmangsanya. Cakalang
sangat rakus pada pagi hari, kemudian menurun padatengah hari dan
meningkat pada waktu senja (Ayodhyoa, 1981).

2.7.2 Tingkah Laku Cakalang


Cakalang biasanya membentuk gerombolan (schooling) pada saat
ikantersebut aktif mencari makanan. Bila ikan tersebut aktif mencari
makan, makagerombolan tersebut bergerak dengan cepat sambil
melocat-loncat di permukaanair (Amiruddin, 1993). Penyebaran
cakalang di kawasan barat Samudera Pasifikmelebar dari lintang
utara ke lintang selatan tetapi menyempit di kawasan timurkarena
terbatasnya penyebaran air hangat yang cocok untuk pemijahan oleh
arusdingin yang mengalir menuju kawasan tropik di kedua belah bumi.
Di SamuderaHindia, penyebaran ikan cakalang melebar menuju
selatan ke arah ujung selatanbenua Afrika, sekitar 36  LS. Ada tiga
alasan utama yang menyebabkan beberapajenis ikan melakukan
migrasi yaitu :
1.      Mencari perairan yang kaya akan makanan
2.      Mencari tempat untuk memijah; dan
3.      Terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan perairan seperti
suhu air,salinitas dan arus (Nikolsky, 1963).
Ikan cakalang bersifat epipelagis dan oseanik, peruaya jarak jauh.
Cakalangsangat menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus
atau arus konvergensiyang banyak terjadi pada daerah yang
mempunyai banyak pulau. Selain itu,cakalang juga menyenangi
pertemuan antara arus panas dan arus dingin sertadaerah upwelling.
Penyebaran cakalang secara vertikal terdapat mulai daripermukaan
sampai kedalaman 260 m pada siang hari, sedangkan pada malam
hariakan menuju permukaan (migrasi diurnal). Penyebaran geografis
cakalangterdapat terutama pada perairan tropis dan perairan panas di
daerah lintangsedang.
       Ikan cakalang dikenal sebagai ikan pelagis yang hidup
bergerombol (schooling) dalam kelompokan yang padat serta bersifat
rakus (voracious) sehingga tidak dapat lagi membedakan antara
umpan buatan dengan umpan hidup (Balai Ketrampilan Penangkapan
Ikan Ambon, 1981).

2.7.3 Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran

Cakalang
Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai
kondisilingkunngan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai
pengaruh yang besarterhadap periode migrasi musiman serta
terdapatnya ikan di suatu tempat(Gunarso, 1985). Faktor oseanografi
yang secara langsung mempengaruhikeberadaan ikan cakalang yaitu
suhu, arus dan salinitas perairan.
Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang
yangterkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan
permukaansangat tergantung pada jumlah bahang dari sinar matahari
(Weyl, 1970). Suhuperairan bervariasi baik secara vertikal maupun
horizontal. Secara horizontalsuhu bervariasi sesuai dengan garis
lintang dan secara vertikal sesuai dengankedalaman. Variasi suhu
secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnyadapat dibedakan
menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) dibagian
atas, lapisan termoklin di bagian tengah dan lapisan dingin di
bagianbawah. Lapisan homogen berkisar sampai kedalaman 50-70
meter, pada lapisanini terjadi pangadukan air yang mengakibatkan
suhu lapisan menjadi homogen(sekitar 28 C), lapisan termoklin
merupakan lapisan dimana suhu menurun cepatterhadap kedalaman,
terdapat pada lapisan 100-200 meter (Gambar 4). Lapisandingin
biasanya kurang dari 5 C, terdapat pada kedalaman lebih dari 200
meter(Nontji, 1993).
Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh panas matahari, arus
permukaan, keadaan
awan, upwelling, divergensi dan konvergensi terutama pada daerah
muara dan sepanjang garis pantai (Hela dan Laevastu, 1981). Faktor-
faktor meteorologi juga berperan yaitu curah hujan, penguapan,
kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas
radiasi matahari. Variasi suhu musiman pada permukaan untuk
daerah tropis sangat kecil, dimana variasi rata-rata musiman kurang
dari 2 C yang terjadi di daerah khatulistiwa.
Suhu di perairan nusantara umumnya berkisar antara 28  C-31 C. Pada
lokasi yang sering terjadi penaikan air (upwelling) seperti di Laut
Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai 25 C karena air yang
dingin di lapisan bawah terangkat ke permukaan. Suhu dekat pantai
biasanya sedikit lebih tinggidibandingkan dengan suhu di lepas pantai
(Nontji, 1993). Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar
antara 26 C-29 C, dan variasinya mengikuti perubahan musim
(Birowo, 1979 diacu dalam Dahuri et al.,1996). Suhu permukaan laut
hangat untuk perairan Indonesia berkisar antara 27  C-31 C dan suhu
permukaan laut dingin berada pada kisaran dibawah 27 C.

Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara


untukmenduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya
ikan. Hal ini karenasebagian besar organisme bersifat poikilotermik.
Tinggi rendahnya suhupermukaan laut pada suatu perairan terutama
dipengaruhi oleh radiasi. Perubahanintensitas cahaya akan
mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut baikhorizontal,
mingguan, bulanan maupun tahunan (Edmondri, 1999).
Pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut adalah
dalam lajufotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan,
khususnya derajatmetabolisme dan siklus reproduksi. Secara tidak
langsung suhu berpengaruhterhadap daya larut oksigen yang
digunakan untuk respirasi biota laut (Edmondri,1999). Pengaruh suhu
terhadap tingkah laku ikan akan terlihat jelas pada waktuikan
melakukan pemijahan. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu
untukmelakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus
musiman yangtertentu pula (Gunarso, 1985).
Aktifitas metabolisme serta penyebaran ikan dipengaruhi oleh suhu
perairandan ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun
hanya sebesar 0,03 Csekalipun. Suhu merupakan faktor penting untuk
menentukan dan menilai suatudaerah penangkapan ikan.
Berdasarkan variasi suhu, tinggi rendahnya variasi suhumerupakan
faktor penting dalam penentuan migrasi suatu jenis ikan
(Gunarso,1985).
Pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang, suhu permukaan laut
yangdisukai oleh jenis ikan tersebut biasanya berkisar antara 16-26  C,
walaupun untukIndonesia suhu optimum adalah 28-29  C (Gunarso,
1985). Selanjutnya Hela and Laevastu (1981), mengatakan bahwa
penyebaran ikan cakalang di suatu perairan adalah pada suhu 17-
23 C dan suhu optimum untuk penangkapan adalah 20-22  Cdengan
lapisan renang antara 0-40 m.
       Ikan cakalang sensitif terhadapperubahan suhu, khususnya waktu
makan yang terikat pada kebiasaan-kebiasaantertentu (Tampubolon,
1990). Gunarso (1985), mengatakan bahwa suhu yangterlalu tinggi,
tidak normal atau tidak stabil akan mengurangi kecepatan makanikan.
Ikan cakalang dapat tertangkap secara teratur di Samudera Hindia
bagian timur pada suhu 27-30 C (Tampubolon, 1990).
Hela and Laevastu (1981), mengatakan bahwa pengaruh suhu
permukaanlaut terhadap penyebaran cakalang untuk perairan tropis
adalah kecil karena suhurelatif sama (konstan) sepanjang tahunnya.
Walaupun demikian suhu dapatmenandakan adanya current
boundaries. Kemudian dijelaskan penyebaran tunadan cakalang
sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Garis konvergensidi
antara arus dingin dan arus panas merupakan daerah yang banyak
makanan dandiduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang
baik untuk perikanan tunadan cakalang.Arus merupakan gerakan
mengalir suatu massa air yang dapat disebabkanoleh tiupan angin,
perbedaan dalam densitas air laut, gerakan gelombang panjangdan
arus yang disebabkan oleh pasang surut. Angin yang berhebus di
perairanIndonesia terutama adalah angin musim yang dalam setahun
terjadi dua kaliperbalikan arah yang mantap, masing-masing disebut
angin barat dan angin timur(Nontji, 1993). Penyebaran ikan cakalang
sering mengikuti penyebaran atausirkulasi arus. Daerah pertemuan
antara arus panas dan arus dingin merupakandaerah yang banyak
organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishingground yang
baik bagi perikanan cakalang (Hela and Laevastu, 1981).
Blackburn (1965), berpendapat bahwa kuat lemahnya arus
menentukan arahpergerakan tuna dan cakalang. Pada kondisi arus
kuat, tuna dan cakalang akanmelawan arus dan pada arus lemah
akan mengikuti arus. Peranan arus terhadaptingkah laku ikan menurut
Hela and Laevastu (1981), adalah sebagai berikut :
1.      Arus mengangkat telur-telur ikan dan anak-anak ikan dari spawning
groundke nursery ground dan selanjutnya dari nursery
ground ke feeding ground.
2.      Migrasi ikan dewasa dapat dipengaruhi oleh arus yaitu sebagai alat
orientasi.
3.      Tingkah laku ikan diurnal juga dipengaruhi oleh arus, khususnya oleh
arus pasang surut.
4.      Arus, khususnya pada daerah-daerah batas alih perairan
berbedamempengaruhi distribusi ikan dewasa dimana pada daerah
tersebut terdapat makanan ikan.
5.      Arus dapat mempengaruhi aspek-aspek lingkungan dan secara
tidaklangsung menentukan spesies-spesies tertentu dan bahkan
membatasidistribusi spesies tersebut secara geografis.
Selanjutnya Gunarso (1985), menambahkan bahwa ikan-ikan yang
menginjakdewasa akan mengikuti arus balik ke masing-masing
daerah pemijahan, tempatmereka akan melakukan pemijahan.
Nontji (1993), menyatakan bahwa salinitas merupakan salah satu
perameteryang berperan penting dalam sistem ekologi laut. Beberapa
jenis organisme adayang bertahan dengan perubahan nilai salinitas
yang besar (euryhaline) dan adapula organisme yang hidup pada
kisaran nilai salinitas yang sempit (stenohaline).Salinitas dapat
dipergunakan untuk menentukan karakteristik oseanografi,selanjutnya
dapat dipergunakan untuk memperkirakan daerah
penyebaranpopulasi ikan cakalang di suatu perairan.Ikan cakalang
hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35%. Cakalang
banyak ditemukan pada perairan dengan salinitas permukaan berkisar
antara 32-35% dan jarang ditemui pada perairan dengan salinitas
rendah(Suharto, 1992). Gunarso (1985), mengemukakan bahwa
cakalang hidup padaperairan dengan kadar salinitas antara 33-
35% dan jarang dijumpai padaperairan dengan kadar salinitas yang
lebih rendah atau tinggi dari itu. Blackburn(1965), menyatakan bahwa
salinitas perairan yang biasa dihuni oleh beberapa jenistuna berbeda-
beda, yaitu 18-38% untuk madidihang dan tuna sirip biru, 33-35%
untuk tuna albakor dan 32-35% untuk cakalang.

2.8 Umpan Hidup

2.8.1 Jenis-jenis Umpan Hidup


       Umpan hidup benar-benar merupakan faktor pembatas (limiting
factor) dalam pennangkapan ikan cakalang. Hal berdasarkan
penelitian para ahli sebelumnya yang memberi petunjuk bahwa
banyak sedikitnya persediaan ikan umpan yang digunakan dalam
penangkapan umumnya menentukan banyak sedikitnya hasil
tangkapan yang diperoleh (Rumahrupute et al, 1987).
       Umpan pada pemancingan dengan huhate hanya berfungsi untuk
menjaga agar gerombolan ikan tidak menjauh dari kapal penangkap
dan selalu berada di sekitar permukaan air sehingga dapat terlihat
dengan mata dan tidak menyelam ke dalam perairan.
       Umpan yang digunakan pada penangkapan dengan huhate
adalah ikan hidup. Oleh karena itu, kapal huhate selalu membawa
ikan hidup yang jenisnya disukai oleh ikan cakalang (dari jenis teri
atau anchovy dengan ukuran antara 5-10 cm). Jenis-jenis ikan yang
digunakan menjadi umpan pada kapal huhate yang beroperasi di
sekitar Sulawesi (Nainggolan, 2007) antara lain :
1.    Puri kepala merah (Stollephorus devisi).
2.    Puri gelas (Stollephorus indicus).
3.    Kepala batu (Hypotherina leognesi).
4.    Gosao (Spratteloides delicatulus).
5.    Lompa (Thrissina baelama).
6.    Kira (Herongula ovalis).
       Dalam penangkapan ikan cakalang dengan menggunakan pole
and line biasanya dibutuhkan beberapa jenis umpan untuk
mengumpulkan ikan cakalang yaitu :
1.    Umpan tiruan yang biasa dibuat dari bulu ayam dan dipasang pada
mata kail (hook).
2.    Umpan hidup yang terdiri dari jenis-jenis ikan teri, make, momar,
lalosi dan tatahari.
3.    Selain itu pada saat umpan hidup dilepaskan juga disemprotkan air
dari sisi sepanjang badan kapal, sehingga timbul buih-buih yang
mengakibatkan ikan-ikan kecil senang bemain sehingga ikan cakalang
berkumpul di daerah tersebut.
       Jadi fungsi dari pada umpan hidup dan semprotan air tadi
hanyalah sebagai penarik perhatian agar gerombolan ikan cakalang
tetap berkumpul dan berenang di sekitar kapal, dengan demikian akan
mempermudah dalam proses pemancingan (Balai Keterampilan
Penangkapan Ikan Ambon, 1981).
a)    Umpan tiruan
Umpan tiruan untuk huhate dirancang dengan sangat memperhatikan
bentuk dan warna maksudnya untuk menarik perhatian ikan. Biarpun
demikian tidak perlu membuatnya betul-betul menyerupai ikan
biasanya dibuat dari bulu ayam dan dipasang pada mata kail, dan ada
juga terbuat dari bermacam bahan seperti tanduk, tulang, kuku,
plastik, karet seng, dan kayu yang dicat dengan serbuk kulit kerang
mutiara, buli burung atau bulu tiruan, kulit ikan atau rumput laut
sebagai ekor umpan. Pengaturan warna yang serasi dan lebih cerah
serta bentuk yang menyerupai ikan akan lebih merangsang ikan untuk
menyambar mata pancing. Umpan tiruan ini dibuat untuk menutupi
dari bulu ayam, tali rapiah, dan juga dapat diberi bahan kelopak
insang atau kulit ijing/kerang yang warnanya mengkilap (Badan Riset
Perikanan Tangkap, 2006).
b)    Umpan hidup
Umpan hidup merupakan syarat utama bagi usaha penangkapan
huhate (pole and line) dengan kata lain, tanpa ikan umpan  hidup,
usaha ini tidak akan berhasil dengan baik. Umpan hidup digunakan
untuk mengumpulkan dan merangsang ikan-ikan cakalang dan tuna
untuk bergerombol disekitar kapal huhate dengan cara umpan hidup
dilemparkan dari atas kapal den dibantu semprotan air agar
gerombolan ikan tetap berenang disekitar kapal, sehingga timbul buih-
buih yang mengakibatkan ikan-ikan kecil senang berkumpul di sekitar
daerah tersebut serta ikan cakalangnya pun ikut berkumpul di daerah
tersebut.

2.8.2 Penangkapan Umpan Hidup


Alat tangkap yang sangat umum digunakan untuk menangkap ikan
umpan hidup ialah termasuk jaring yang dioperasikan dari pantai atau
kapal, jaring lingkaratau melingkarkan jaring kemudian diangkat ke
kapal (round haul net) jaring lampara, purse seine, dan ring net, jaring
yang digerakkan (drive in net) dan lift net, termasuk stickheld
dipnet dan jaring kantong (FAO, 1980).

2.8.3 Pemeliharaan Umpan Hidup


Segera setelah penangkapan ikan umpan selesai, maka yang  perlu
diperhatikan adalah kelangsungan hidup ikan tersebut sampai dengan
waktu penggunaannya di fishing ground, oleh karena itu perlu
diperhatikan benar-benar pemeliharaan ikan umpan, cara-cara
pemeliharaan yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut :
1)    Setelah penangkapan dengan jaring redi selesai, ikan umpan segera
dipindahkan ke dalam gona-gona dengan menggunakan tangguk atau
ember biasa. Dalam hal ini perlu diperhatikan agar tempat
penampungan dapat memberikan kebebasan ruang gerak bagi ikan-
ikan tersebut, oleh karena itu ukuran gona-gona tidak boleh terlalu
kecil.
2)    Pada waktu malam hari diatas gona-gona perlu diberi lampu obor, hal
ini untuk menghindari tabrakan dengan waring maupun dengan
sesamanya.
3)    Gona-gona sebaiknya ditempatkan diperairan yang cukup
kedalamannya terlindung dari arus dan ombak serta perairan yang
jernih.
4)    Bila ikan umpan telah dipindahkan ke dalam palka umpan pada
keesokan harinya, maka haruslah diusahakan agar sirkulasi air laut di
dalam palka tersebut, sirkulasi air laut diatas kapal dikerjakan
denganmenggunakan pompa atau pun dengan cara membuat
lubang filter pada bagian bawah kapal.
       Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
ikan umpan di dalam palka umpan di kapal antara lain kandungan
oksigen di dalam air dan konsumsi oksigen, penyinaran, suhu air dan
kualitas air beserta perubahannya.
       Selain itu kondisi lingkungan dapat dibuat lebih mendukung
dengan cara meningkatkan sejumlah oksigen ke dalam palka umpan,
menurunkan temperatur, menurunkan salinitas dan pada saat yang
sama menghindari kepadatan ikan dan menghindari rangsangan
unruk membantu agar mereka mejadi tenang (FAO, 1980).

2.8.4 Sifat-sifat Umpan


Menurut Tampubolon (1980), ada beberapa ikan umpan yang
digunakan sebagai umpan hidup pada penangkapan ikan cakalang
dengan alat tangkap pole and line, diantaranya :
         Puri kepala merah (Stoleporus devisi), berukuran antara 65-72 mm,
memberikan refleksi yang baik di air dan baik digunakan untuk
penangkapan ikan cakalang.
         Puri gelas (Stoleporus indikus), berukuran kurang lebih 73 mm,
memberikan refleksi yang baikdi air.
         Kepala batu, terdiri dari dua macam spesies, yaitu :
1)    Sypotherina bresesi
2)    Pranaus cendrachtenaris
Panjang ukuran 60 mm, warna hitam, kurang memberi refleksi yang
baik di air.
         Gasoa (Sprattelloides delicatulus), berukuran panjang 52 mm, warna
merah menyolok dan bergerak cepat di air.
         Lompa (Trissina baelana forskal), berukuran panjang antara 73-77
mm, memberikan refleksi yang baik dan kuat sekali serta hidupnya
diantara pahon-pohon bakau pinggir pantai.
         Kira (Marangula cwalis), berukuran panjang kurang lebih 75 mm,
memberikan refleksi yang baik.

       Menurut Waluyo Subani (1982), jenis umpan yang baik umumnya


mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1)    Warna terang mengkilat atau keputih-putihan, menarik perhatian ikan
cakalang.
2)    Tahan hidup lama dalam pengangkutan selama dilakukan operasi
penangkapan.
3)    Bila disebar diantara gerombolan ikan cakalang mempunyai sifat
cenderung mendekati kapal.
4)    Sisik tidak mudah lepas.
5)    Ukuran panjang umurnya berkisar antara 10-12,5 mm.
       Tampubolon (1980), mengemukakan bahwa umpan yang baik
untuk penangkapan ikan cakalang harus memiliki sifat-sifat sebagai
berikut :
1)    Berenang cepat menuju permukaan.
2)    Berwarna perak atau lain yang menimbulkan refleksi yaang bak di air.
3)    Segera kembali mendekati kapal jika sudah dilempar ke laut.
4)    Mempunyai ukuran yang wajar sebagai makanan untuk ikan
cakalang.
5)    Dapat hidup lama di dalam bak.
2.9 Peranan Ikan Umpan Terhadap Hasil Tangkapan
Umpan hidup benar-benar merupakan faktor pembatas dalam
penangkapan ikan cakalang, berdasarkan hasil penelitian
memberikan petunjuk, banyak sedikitnya persediaan ikan umpan yang
digunakan dalam penangkapan umumnya menentukan banyak
sedikitnya ikan hasil tangkapan yang diperoleh. Hasil analisa
menunjukan rata-rata ratio hasil penangkapan ikan cakalang dan ikan
umpan berkisar 4,8-8,6 (Widodo, 1973). Artinya dalam satu kilogram
ikan umpan menghasilkan 4,8-8,6 kg ikan cakalang. Besarnya ratio ini
dapat dipengaruhi oleh :
1)    Besar kecilnya gerombolan ikan cakalang yang dijumpai.
2)    Keadaan ikan cakalang waktu dijumpai (lapar dan kenyang), juga
selera/nafsu makan ikan cakalang terhadap jenis umpan yang
digunakan.
Hasil tangkapan yang baik umumnya terjadi pada jam 06.00-11.00
dan menjelang sore hari sekitar 13.00-18.00.

2.9.1 Taksonomi Ikan Umpan


Taksonomi ikan umpan yang diuraikan adalah jenis ikan umpan yang
sering digunakan dalam penangkapan ikan cakalang dengan
menggunakan alat tangkap pole and line, yaitu jenis teri (Adnan,
1977).
Class               : Teleostasi
Ordo                : Clupelfornes
Sub ordo         : Clupeicides
Family             : Clupeidase
Sub family       : Engrauline
Genus             : Stolephorus
Species           : Stolephorus commersonii

2.9.2 Mutu Ikan Umpan


Balai Penelitian Perikanan Laut (1983), walaupun jenis-jenis ikan
umpan dapat digunakan untuk penangkapan/pemancing ikan
cakalang namun perlu juga diperhatikan mutunya. Untuk itu mutu ikan
umpan yang baik umumnya memiliki sifat-sifat :
1)    Warna terang atau mengkilat keputih-putihan, mudah menarik
perhatian cakalang. Untuk ikan teri atau puri menduduki tempat
utama.
2)    Tahan lama (tahan hidup beberapa hari) dalam pengangkutan di bak-
bak penyimpanan ikan umpan dalam kapal penangkap.
3)    Bila ditebarkan diantara gerombolan ikan cakalang ada sifat
cenderung untuk kembali mendekati kapal (untuk berlindung).
4)    Sisik tidak mudah terlepas atau terkelupas (untuk mengurangi
mortalitas kematian).
5)    Ukuran panjang pada umumnya berkisar antara 10-12,5 cm,
tergantung dari jenis yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai