2.3.1 Joran (Pole)
Joran bambu yang digunakan perahu kecil biasanya berukuran 2,40-
3,00 m. Pada bagian pangkalnya berukuran diameter 50 mm dan
meruncing kearah ujung. Diantara ruasnya ditelitikan tali dilekatkan
dengan pita perekat untuk mencegah patah. Selalu ada cara
menghubungkan tali sambungan ke joran adalah dengan
menyediakan sebuah tali kasar yang bagian ujungnya keras. Tali
sambungan diikatkan pada tali ini dengan simpul double sheet bend,
dan pengaturan panjang tali sambungan dilakukan ditempat ini. Joran
harus dipilih olh pemakainya. Panjang dan beratnya ditentukan oleh
ketrampila n dan kekuatan nelayan. Pangkalnya dilapisi benang agar
enak dipegang dan tidak licin seperti bagian joran lainnya (Yami,
1989).
2.3.2 Tali (Line)
Tali untuk huhate biasanya dari bahan sintetis. Namun bahan alami
juga dipakai dibeberapa tempat. Tali tradisional ini terdiridari tali
utama yang dih pendek ibuat dari rami dan tali cabang dari kawat
namun dewasa ini kebanyakan terbuat dari nylon monofilament. Tali
pendek lagi biasanya 40 cm lebih pendek dari joran, bahkan bisa lebih
pendek lagi untuk memudahkan nelayan mengayun ika di atas kapala
dan menanggalkan dengan cara mengendorkan tali.
Menurut Usemahu dan Tomasila (2001), pole and line (huhate)
merupakan salah satu jenis alat penangkapan ikan yang dapat
diklasifikasikan sebagai alat pancing yang umumnya digunakan untuk
penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Alat tersebut
digunakan secara perorangan, sehingga salah satu faktor yang
mempengaruhi suksesnya penangkapan ialah ketrampilan individu,
selain masalah-masalah lainnya seperti tersedianya umpan hidup,
padat tidaknya gerombolan ikan cakalang di daerah tersebut dan lain-
lain. Konstruksi alat tersebut sangat sederhana dan hanya terdiri dari
bagian-bagian sebagai berikut :
1) Joran/galah yang terbuat dari bambu atau plastik dengan panjang
berkisar antara 2-3, 2-5 m.
2) Tali dari bahan synthetis, monofilment atau multifilament dengan
panjang 1,5-2,5 m dan diameter tali 0,2-0,3 cm.
3) Kawat baja (wire leader) yang panjangnya 5-10 cm, terdiri dari 2-3
urat yang disatukan/dipintal dengan diameter 1,2 mm.
4) Mata kail (hook) yang khusus, yang ujungnya tidak berkait.
2.5.4 Pila-pila
Pila-pila digunakan sebagai tempat duduk atau berdiri tempat
pemancing, yang letaknya bisa pada bagian haluan dan buritan antara
sepanjang lambung kiri dan kanan (Direktorat Jenderal Perikanan,
1994).
2.5.6 Rumpon
Rumpon adalah suatu alat bantu dalam kegiatan penangkapan ikan
yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut di lokasi daerah
penangkapan (fishing ground) agar ikan-ikan tertarik untuk berkumpul
disekitar rumpon sehingga mudah untuk ditangkap dengan alat
penangkapan ikan. Ikan-ikan kecil berkumpul disekitar rumpon karena
terdapat lumut dan plankton yang menempel pada atraktor rumpon.
Ikan-ikan kecil ini mengundang ikan-ikan lebih besar untuk
memangsanya dan demikian seterusnya sampai ikan Tuna juga
berada disekitar rumpon pada jarak tertentu (food chains). Rumpon
laut dalam adalah salah satu jenis bantu penangkapan yang dipasang
pada kedalaman perairan lebih dari 200 meter bertujuan untuk
memikat dan mengumpulkan terutama ikan pelagis besar, seperti ikan
tuna (Thunnus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis) dan
tongkol (Auxis thazard) sehingga dengan demikian lebih
mempermudah penangkapannya (Direktorat Sarana Perikanan
Tangkap, 2004)
Menurut BPPI Semarang (2005), rumpon merupakan alat bantu
pengumpul ikan FAD (Fishing Aggragating Device) dimana
peranannya sangat penting. Alat bantu tersebut menjadi alat tangkap
yang operasionalnya lebih efektif (menghemat waktu dan tenaga)
serta efisien (menghemat bahan bakar/perbekalan). Hal ini akan
sangat terasa pada kegiatan perikanan tuna-cakalang, karena jenis-
jenis ikan tuna merupakan ikan oceanic pelagis dan memiliki
kebiasaan migrasi jarak jauh, sehingga keberadaannya sulit ditangkap
dengan jumlah banyak bila tanpa terlebih dahulu dikosentrasikan
pada areal yang sempit. Salah satu bentuk alat bantu pengumpul ikan
jenis tuna yang sudah dikenal dan digunakan adalah rumpon laut
dalam atau payaos.
Direktorat Sarana Perikanan Tangkap (2004), mengatakan
payaos (payau) adalah jenis rumpon namun berkuran besar, dipasang
di perairan laut dalamyang digunakan sebagai pengumpul ikan
pelagis. Teknologi payaos (payau) berasal dari Philipina sejak tahun
1978, yang kemudian diadopsi nama istilah dan teknologi tersebut di
Indonesia oleh BUMN Perikanan dan Perushaan Perikanan yang
bermodal kuat. Penggunaan rumpon laut dalam (payaos) sebenarnya
telah lama dikembangkan oleh nelayan Indonesia yaitu daerah
Mandar – Sulawesi Selatan dan daerah Teluk Tomini-Sulawesi
Tengah yang dikenal dengan sebutan nama daerah (local name) “
Rompong Lompo/Mandar ”.
Direktorat Sarana Perikanan Tangkap (2004), Beberapa tipe rumpon
laut dalam (payaos) yang telah dikembangkan di Indonesia dengan
daerah penyebaran diantaranya, yaitu :
a) Type Mandar : Perairan Selat Makasar dan Teluk
Tomini
b) Type BPPI/Parigi : Perairan Kep. Banggai dan Teluk
Tomini
c) Type PN Perikanan Sulteng : Perairan Kep. Banggai dan Teluk
Tomini
d) Type PT. Usaha Mina : Sekitar Kep. Halmahera dan
Sorong
e) Type Rompong Raja Mamuju : Perairan Selat Makasar dan
sekitarnya
Cakalang
Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai
kondisilingkunngan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai
pengaruh yang besarterhadap periode migrasi musiman serta
terdapatnya ikan di suatu tempat(Gunarso, 1985). Faktor oseanografi
yang secara langsung mempengaruhikeberadaan ikan cakalang yaitu
suhu, arus dan salinitas perairan.
Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang
yangterkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan
permukaansangat tergantung pada jumlah bahang dari sinar matahari
(Weyl, 1970). Suhuperairan bervariasi baik secara vertikal maupun
horizontal. Secara horizontalsuhu bervariasi sesuai dengan garis
lintang dan secara vertikal sesuai dengankedalaman. Variasi suhu
secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnyadapat dibedakan
menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) dibagian
atas, lapisan termoklin di bagian tengah dan lapisan dingin di
bagianbawah. Lapisan homogen berkisar sampai kedalaman 50-70
meter, pada lapisanini terjadi pangadukan air yang mengakibatkan
suhu lapisan menjadi homogen(sekitar 28 C), lapisan termoklin
merupakan lapisan dimana suhu menurun cepatterhadap kedalaman,
terdapat pada lapisan 100-200 meter (Gambar 4). Lapisandingin
biasanya kurang dari 5 C, terdapat pada kedalaman lebih dari 200
meter(Nontji, 1993).
Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh panas matahari, arus
permukaan, keadaan
awan, upwelling, divergensi dan konvergensi terutama pada daerah
muara dan sepanjang garis pantai (Hela dan Laevastu, 1981). Faktor-
faktor meteorologi juga berperan yaitu curah hujan, penguapan,
kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas
radiasi matahari. Variasi suhu musiman pada permukaan untuk
daerah tropis sangat kecil, dimana variasi rata-rata musiman kurang
dari 2 C yang terjadi di daerah khatulistiwa.
Suhu di perairan nusantara umumnya berkisar antara 28 C-31 C. Pada
lokasi yang sering terjadi penaikan air (upwelling) seperti di Laut
Banda, suhu air permukaan bisa turun sampai 25 C karena air yang
dingin di lapisan bawah terangkat ke permukaan. Suhu dekat pantai
biasanya sedikit lebih tinggidibandingkan dengan suhu di lepas pantai
(Nontji, 1993). Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar
antara 26 C-29 C, dan variasinya mengikuti perubahan musim
(Birowo, 1979 diacu dalam Dahuri et al.,1996). Suhu permukaan laut
hangat untuk perairan Indonesia berkisar antara 27 C-31 C dan suhu
permukaan laut dingin berada pada kisaran dibawah 27 C.