Penyusun :
Fidansa Rizki Aziz 2105036040
i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang bertema implementasi
akad hiwalah.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Lembaga
Keuangan Syariah. Disamping itu makalah ini diharapkan dapat menjadikan sarana pembelajaran
serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Drs. H. Wahab, MM selaku dosen
Mata Kuliah . Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini. Disamping itu penulis juga menyadari akan segala kekurangan dan
tidak kesempurnaan. Oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi
perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
JUDUL...................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
ABSTRAK.............................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................................................1
B. Identifikasi masalah...................................................................................................2
C. Rumusan masalah......................................................................................................2
D. Tujuan makalah..........................................................................................................2
E. Manfaat penelitian.....................................................................................................2
iii
Abstact
Financing is the most important part of the milestone of an Islamic financial institution, its
existence must be able to avoid the problematic financing that can hamper the value of its
income. So that the existence of hawalah contract becomes a new solution in minimizing problem
financing. So that in this study there are two formulations of the problem namely the practice of
hawalah by reviewing the MUI fatwa and the type used by BMT Sidogiri. The research method
used is descriptive qualitative in which the researcher descends directly to the study site by
conducting interviews and collecting primary and secondary data sources as a complement and
then from there an analysis of the date.
Abstrak
Pembiayaan merupakan bagian terpenting dari tonggak sejarah lembaga keuangan
syariah,keberadaannya harus dapat menghindari pembiayaan bermasalah yang dapat
menghambat nilai penghasilan.Sehingga keberadaan akad hawalah menjadi solusi baru dalam
meminimalisir pembiayaan bermasalah.Sehingga dalam penelitian ini ada dua rumusan masalah
yaitu amalan hawalah dengan mengkaji fatwa MUI dan jenis yang digunakan oleh BMT Bringin.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dimana peneliti turun langsung ke
lokasi penelitian dengan melakukan wawancara dan mengumpulkan sumber data primer dan
sekunder sebagai pelengkap dan dari situ dilakukan analisis data.
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Pada Hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan,
jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan,
hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada
orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi
(dibayar).
Akad hawalah dapat memberikan beberapa manfaat dan keuntungan, di
antaranya: Memungkinkan penyelesaian hutang piutang dengan cepat, tersedianya
talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan,
dan dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi
Bank Syariah.37 Akad hawalah ini banyak digunakan untuk pengalihan hutang nasabah
dan menjadi suatu produk tersendiri di dalam dunia perbankan syariah. Hal ini sesuai
dengan praktik di Bank Muamalat Indonesia dan BPRS Al Salaam yang menerapkan
akad hiwalah terhadap pembiayaan yang bermasalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk memberikan
judul penelitian ini dengan judul‟‟Implementasi Hawalah Pada Pembiayaan Bermasalah
di Perbankan Syariah Ditinjau dari Fatwa DSN MUI”.’’
B. Identisikasi masalah
Dari latar belakang yang terungkap, ada beberapa permasalahan terkait dalam kajian ini:
1. Formulasi penerapan akad hawalah menimbulkan adanya biaya yang harus
ditanggung oleh nasabah
2. Akad ini memberikan altenatif kemudahan kepada kedua belah pihak antara Bank
dan Nasabah.
3. Konsepsi biaya dan keuntungan dari produk pembiayaan yang adil dalam sistem
ekonomi syariah.
4. Penentuan biaya atas pengalihan hutang di Perbankan Syariah hanya
menguntungkan pihak pemilik modal.
5. Adanya kesamaan implementasi yang berpedoman dengan fatwa DSNMUI.
C. Perumusan Masalah
a) Jelaskan bagaimana pengertian dan dasar hukum akad hiwalah?
b) Bagaimana implementasi akad hiwalah di BMT artha bumi semarang?
c) Bagaimana cara penetapan ujrah?
D. Tujuan Makalah
a) Untuk Menjelaskan implementasi akad hawalah pada pembiayaan yang
bermasalah di Perbankan Syariah
b) Untuk Menjelaskan cara penetapan ujrah
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai nilai manfaat atau kegunaan bagi berbagai
pihak, sebagai berikut:
a. Kegunaan Akademisi
Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian
selanjutnya dan sebagai bahan referensi yang diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan bagi pembaca terutama tentang Implementasi akad
hawalah pada pembiayaan yang bermasalah.
2
b. Kegunaan Praktisi
1) Bagi Pihak Praktisi Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi
pihak Bank Syariah untuk mengetahui kesesuaian praktik akad hawalah
dengan fatwa DSN-MUI. Selain itu, untuk memberikan sumbangan
pemikiran yang bermanfaat bagi perusahaan dalam mengevaluasi atau
memperbaiki kinerjanya guna meningkatkan strategi kesyariahan sehingga
dapat dijadikan sebagai masukan untuk memahami dan memenuhi
kebutuhan konsep syariah.
2) Bagi Regulator Hasil penelitian ini bisa memberikan gambaran praktik
akad hawalah pada pembiayaan bermasalah sehingga menjadi salah satu
bentuk penanganan terhadap pembiayaan bermasalah di Bank Syariah.
BAB II
3
AKAD HIWALAH DALAM HUKUM ISLAM
4
Menurut bahasa, kata "al-hiwalah"--huruf ha‟ dibaca kasrah atau kadangkadang
dibaca fathah--berasal dari kata "at-tahawwul" yang berarti 'alintiqal'
(pemindahan/pengalihan)16 Orang Arab biasa mengatakan, "Hala ’anil’ahdi" yaitu
'berlepas diri dari tanggung jawab'. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan "al-hiwalah", menurut bahasa adalah, “Pemindahan dari suatu
tempat ke tempat yang lain.”
Secara etimologi, al Hawalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna
kulit, memikul sesuatu diatas pundak. Sedangkan secara terminologi al hawalah
didefinisikan dengan: Pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang membayar
hutang (al Muhil) kepada orang yang berhutang lainya (al muhtal alaih)
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama‟ berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
a) Menurut Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul)
pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang
lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang
memindahkan.
b) menurut Fuqaha bahwa Hiwalah (perpindahan utang) merupakan suatu
muamalah yang memandang persetujuan dari kedua belah pihak.
c) Menurut Zainul Arifin yang di kutip dalam buku Abdul Ghofur Anshori.
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang suatu pihak kepada pihak
lain.Menurut Hanafiyah, yang dimaksud "al-hiwalah" adalah,
“Memindahkan beban utang dari tanggung jawab muhil (orang yang
berutang) kepada tanggung jawab muhal’alaih (orang lain yang punya
tanggung jawab membayar utang pula).
Pada prinsipnya akad hiwalah difungsikan untuk menyediakan dana sebagai
pengganti pembayaran utang yang timbul sehingga bisnis pemilik utang/usaha tetap
berjalan. Dalam lembaga keuangan Syariah, pembiayaan dengan menggunakan akad
hiwalah didasarkan atas hukum ta‟awun (saling tolong menolong) untuk menciptakan
kemaslahatan. Hiwalah dikenal dengan istilah factoring atau anjak piutang yaitu sebagai
kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan
piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam
atau luar negeri.
Dengan demikian dalam prakteknya akad hiwalah dalam perbankan syariah terdiri
dari tiga pihak, yaitu: Bank sebagai faktor (muhal ‘alaihi), Nasabah selaku klien (muhil),
Customer sebagai pihak yang memiliki utang.
d. Jenis-jenis Hiwalah
a) Hiwalah Muthlaqoh Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang
(orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak
penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang
kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak
penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang
5
kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab
Hanafi dan Syi‟ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah
ini sebagai kafalah.
b) Hiwalah Muqoyyadah Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika muhil mengalihkan
hak penagihan muhal kepada muhal alaih karena yang terakhir punya hutang
kepada muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para
ulama. Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya
membolehkan hiwalah muqayyadah dan mensyaratkan pada hiwalah
muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada
muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan
jumlahnya, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka
hiwalah tidak sah.
B. Dasar Hukum Hiwalah
a. Al-Qur’an
"Dan Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". 7(Q.S. Al-Baqarah : 280)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita untuk bersabar terhadap orang yang berada
dalam kesulitan, di mana orang tersebut belum bisa melunasi utang. Oleh karena itu,
Allah Ta‟ala berfirman (yang artinya), “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” Hal ini tidak seperti
perlakuan orang jahiliyah dahulu. Orang jahiliyah tersebut mengatakan kepada orang
yang berutang ketika tiba batas waktu pelunasan: “Kamu harus lunasi utangmu
tersebut. Jika tidak, kamu akan kena riba.” Memberi tenggang waktu terhadap orang
yang kesulitan adalah wajib.
Selanjutnya jika ingin membebaskan utangnya, maka ini hukumnya sunnah
(dianjurkan). Orang yang berhati baik seperti inilah (dengan membebaskan sebagian
atau seluruh utang) yang akan mendapatkan kebaikan dan pahala yang melimpah.
Oleh karena itu, Allah Ta‟ala berfirman (yang artinya), “Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
b. Hadist
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw,
bersabda:
"Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan
perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah
membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(8HR
alBukhari dan Muslim)
Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang
mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya
kepada orang yang dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika
7
https://rumaysho.com/149-mudahkanlah-orang-yang-berutang-padamu.html,diakses,15 Januari
2017 Pukul.10.00 WIB
8
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz 2, Dar al-Fikr, (Beirut, tt,) h.. 37
6
pengutang memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi
pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.
c. Ijma'
Para ulama sepakat membolehkan Hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada hutang yang
tidak berbentuk barang/ benda, karena hiwalah adalah perpindahan utang, oleh sebab
itu harus pada utang atau kewajiban finansial.
C. Berakhirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini :
a. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hiwalah belum dilaksanakan
sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari muhal
akan kembali lagi kepada muhil.
b. Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia
mengingkari adanya akad hiwalah sementara muhal tidak dapat menghadirkan
bukti atau saksi.
c. Jika muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal. Ini berarti akad
hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
d. Meninggalnya muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena
pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah
muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
e. Jika muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal
Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
f. Jika muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada muhal Alaih.
D. Beban muhil setelah akad hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur.
Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau
meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah
pendapat ulama jumhur9.Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal,
ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar,
maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang
menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil.10Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa
dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang
yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
E. Pembiayaan Bermasalah
1. Pengertian Pembiayaan Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berupa:
9
Sayyid sabiq,Fikih Sunnah 13 (Bandung : PT Al Ma‟rif, Cet 1, 1987), h.42
10
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,2002), h.103
7
a) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
b) Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik.
c) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna’.
d) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh.
e) Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.
Suatu pembiayaan akan terwujud atas dasar persetujuan atau kesepakatan antara
Bank Syariah maupun Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
2. Fungsi Pembiayaan
Dalam pembiayaan, memiliki beberapa fungsi yang sangat beragam, karena
keberadaan Bank syariah yang menjalankan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
bukan hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan bisnis perbankan di
Indonesia, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman, diantaranya :
a) Memberikan pembiayaan dengan prinsip syariah yang menerapkan sistem
bagi hasil yang tidak memberatkan debitur.
b) Membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh bank konvensional
karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank
konvensional.
c) Membantu masyarakat ekonomi lemah yang selalu dipermainkan oleh
rentenir dengan membantu melalui pendanaan untuk usaha yang
dilakukan.
Setelah melihat beberapa fungsi diatas, bisa terlihat bahwa adanya pembiayaan
dalam sebuah Bank dan lembaga keuangan juga itu untuk meningkatkan peredaran uang
di masyarakat, sehingga Bank sebagai lembaga intermediasi antara pihak surplus dengan
pihak defisit mampu bekerja secara optimal.
3. Jenis-jenis Pembiayaan
Berkenaan dengan jenis-jenis pembiayaan, maka dapat dikatakan bahwa jenis-jenis
pembiayaan antara lain dapat dibedakan menurut sifatnya dan menurut tujuan
penggunaannya. Menurut sifatnya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha
produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut keperluannya, pembiayaan
produktif dapat dibagi menjadi pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan
untuk memenuhi kebutuhan: peningkatan produksi, baik secara kuantitatif,
yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan
kualitas atau mutu hasil produksi, untuk keperluan perdagangan atau
peningkatan utility of place dari suatu barang, dan pembiayaan investasi, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan barangbarang modal (capital goods);
b) Pembiayaan konsumtif, pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan kousumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
8
9
BAB III
PENERAPAN AKAD HAWALAH DI BMT ARTHA BUMI ASRI
10
Mengenai kepengurusan KSPPS BMT Artha Bumi Asri Semarang pada dasarnya
secara operasional di lembaga ini tidak mengenal periode atau masa jabatan selama
masih mampu mengelola lembaga ini, maka pengelolaannya tetap dipegang dan
apabila tidak mampu mengelola baru ada pergantian jabatan.11
11
Sumber Dokumen Akta Pendirian KJKS BMT Artha Bumi Asri Semarang, h, 8
12
Wawancara dengan bapak H. Ir. Ashadi selaku manager KSPPS BMT Semarang
11
Gambar 1.1
Gambar 1.2
12
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian di KSPPS BMT artha bumi semarang Bentuk akad
hawalah yang diterapkan di KSPPS BMT adalah hawalah muthlaqah dengan pengenaan
ujrah/fee. Nasabah yang ingin menggunakan akad hawalah ini terlebih dahulu diteliti
tingkat kemampuannya dalam melakukan pembayaran pembiayaanya ditakutkan ada
masalah diakhir pembayarannya. KSPPS BMT tidak menerapkan hawalah muqayyadah
dalam transaksi perbankan sehari-hari, akan tetapi menerapkan hawalah muthlaqah
dengan pengenaan ujrah/fee. Untuk itu nasabah dapat memilih sendiri model angsuran
yang diinginkan. Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.
B. Saran
1. Disarankan kepada perbankan syariah untuk lebih memperhatikan asasasas dari
perjanjian Islam baik dalam pembuatan produk-produk pembiayaan perbankan
maupun dalam pengaplikasiannya. Hal ini bertujuan agar perbankan syariah dapat
benar-benar terhindar dari unsurunsur riba. Dengan demikian dapat terciptanya
sebuah lembaga keuangan berbasis syariah yang sesuai dengan konsep Islam dan
para nasabah perbankan syariah menjadi lebih yakin dan merasa nyaman karena
dapat terbebas dari unsur riba.
2. Disarankan bagi peneliti , agar hasil penelitian dapat digunakan secara umum dan
luas, maka peneliti berikutnya dapat menggunakan subjek penelitian lainya atau
menambah subjek penelitian, serta menggunakan akad-akad lain yang sekiranya
untuk penyelesaian pembiayaan bermasalah.
C.
13
DAFTAR PUSTAKA
Iswandi, Andi, Peran Etika Qur’ani Terhadap Sistem Ekonomi Islam “Jurnal AlIqtishad Ilmu
Ekonomi Syariah, Vol. VI. No. 1” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, Januari , 2014.
Basri, Hasan Model Penelitian Fiqh; Pradigma Penelitian Fiqh Dan Fiqh Penelitian, Jilid 1
Jakarta: Kencana, 2003.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Cetakan Kedua,
Yogyakarta: UII Press, 2004.
Buchori, Nur Syamsudin, Koperasi Syari’ah, Tangerang: Pustaka Aufa Media, 2012
Ghazaly, Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010
Rusyd, Ibnu, "Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujatahid" Kitab Al-Hiwalah, Jakarta :
Pustaka Amani, 2002
Yulianti, Rahmani Timorita, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah,
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, Jurnal Ekonomi
Islam La-Riba Vol.11, No. 1, Juli 2008
14
15
16
17