Setelah proses legislasi kebijakan selesai, maka kebijakan publik di implementasikan, isi kebijakan dan akibat-akibatnya mungkin akan mengalami modifikasi dan elaborasi bahkan mungkin akan dinegasikan. Menurut Lester & Steward (2000), imlementasi adalah sebuah tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalui proses politik. James anderson (1979) menyatakan bahwa implementasi kebijakan / program merupakan bagian dari administrative proses (proses administrasi). Proses administrasi sebagaimana di ungkapkan oleh Anderson, digunakan untuk menunjukan desain atau pelaksanaan sistem administrasi yang terjadi pada setiap saat. Proses administrasi mempunyai konsekuensi terhadap pelaksanaan, isi, dan dampak suatu kebijakan. Secara lebih luas, implementasi dapat didefinisikan sebagai proses, administrasi dari hukum yang didalamnya tercakup keterlibatan berbagai macam aktor, organisasi, prosedur,dan teknik yang dilakukan agar kebijakan yang telah ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya tujuan kebijakan. Dari dua pengertian tentang implementasi diatas dapat ditafsirkan bahwa kebijakan-kebijakan yang di implementasikan belum tentu dapat mencapai tujuannya. James anderson (1979) mencontohkan implementasi kebijakan kredit
perumahan di amerika serikat. Sejak tahun 1930-an federal housing adminitration (FHA) merupakan agen yang melaksanakan program kredit perumahan. Pada waktu itu prosedur yang ditetapkan atas resiko terjadinya tunggakan dan penyitaan merupakan wewenang pemerintah, bukan agen swasta. Sampai dengan tahun 1967, pemerintah juga menetapkan persyaratan kemampuan ekonomi bagi mereka yang ingin memperoleh bantuan perumahan. Akibatnya kalangan masyarakat
berpenghasilan rendah yang hidup didaerah kumuh tidak punya keberanian untuk mengajukan kredit. Hal ini disebabkan disamping tingkat harga yang sulit terjangkau, berbagai resiko yang mereka tanggung jika melakukan tunggakan pembayaran dinilai sangat eksesif. Secara demikian program kredit perumahan akhirnya hanya menguntungkan kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi. Pada tahun 1964, hanya 2,4% pinjaman perumahan FHA dimanfaatkan oleh keluarga berpenghasilan $4800/tahun ke bawah. Dengan reputasi ini maka program FHA dianggap tidak ramah sekali dengan kelompok miskin AS. Akhirnya dirancang legalisasi baru program kredit perumahan pada tahun 1964, khususnya yang menyangkut prioritas programnya.
Legislasi ini akhirnya melahirkan kebijakan publik baru yang lebih memperhatikan kelompok berpenghasilan rendah. Selain pengertian diatas, implementasi kebijakan dipahami juga sebagai suatu proses, output,dan outcome. Implementasi dapat dikonseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi beberapa rangkaian aktifitas yang berkelanjutan. Sebagai contoh, pada tahap awal setelah statuta kebijakan ditetapkan, para legislator melakukan hearing dengan lembaga-lembaga terkait dengan kebijakan yang dibuat. Setelah itu aparat birokrasi menetapkan serangkaian keputusan administratif dan menetapkan rutinitas administratif untuk melaksanakan aturan yang telah dibuat. Berikutnya dipersiapkan resources seperti uang dan sumber daya manusia yang dibutuhkan negara untuk melaksanakan kebijakan. Setelah aktivitas ini dilakukan, para legislator menjalankan pengawasan mempersiapkan langkah -langkah untuk mendesain kembali kebijakan sebagai respon terhadap kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada saat implementasi Impementasi juga diartikan sebagai outputs, yaitu melihat apakah aktivitas dalam rangka mencapai tujuan program telah sesuai dengan arahan implementasi sebelumnya atau bahkan mengalami penyimpangan-penyimpangan. Akhirnya, implementasi juga dikonseptualisasikan sebagai outcomes. Konseptualisasi ini terfokus pada akibat yang ditimbulkan dari adanya implementasi kebijakan, yaitu apakah implementasi suatu kebijakan mengurangi masalah atu bahkan menambah masalah baru dalam masyarakat (Lester dan Stewat, 2000) Sebagai contoh singkatnya adalah UU no.22 tahun 1999 yang mulai di implementasikan januari 2001, dua tahun setelah dilegitimasi. Undang-undang No.22/1999 merupakan koreksi terhadap hubungan vertikal (antara pusat dan daerah) yang bersifat sentralistik dibawah UU No. 5 tahun 1974, dan merupakan perwujudan penerapan desentralisasi di indonesia lebih jauh lagi, filosofi UU No.22/1999 ini adalah mengembangkan partisipasi masyarakat daerah, melakukan pemberdayaan dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat melalui pembentukan daerah -daerah otonom yang dititikberatkan di tingkat kabupaten dan kota. Namun ternyata birokrasi memerlukan waktu satu tahun untuk menetapkan serangkaian keputusan administratif dan menetapkan rutinitas administrasi untuk melaksanakan berbagai ketentuan dan program yang dibuat (E.Koswara;dalam Analisis CSIS tahun XXIX/2000). Setelah dilaksanakan, seharusnya memanfaatkan peluang pemerintah daerah yang seharusnya melalui diskresi
kebijakan, mengalami penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan seharusnya. Beberapa penyimpangan yang menonjol adalah 1. Mengemukannya separatisme 2. Munculnya konflik legislatif dan eksekutif didaerah 3. Korupsi di daerah, sebagian besar dari hasil tawar menawar politik antara DPRD dan pemerintah daerah 4. Ketidakjelasan alokasi dana-dana dari pusat oleh daerah (DAU dan DAK) 5. Tidak adanya korelasi antara peningkatan dana didaerah dengan peningkatan kesejahtraan rakyat daerah (Ditjen Otda,2002) Berbagai penyimpangan yang terjadi menunjukan bahwa implementasi UU No.22 tahun 1999 dipandang tidak menyelesaikan masalah tapi justru menciptakan masalah di daerah-daerah juga menyisakan persoalan prinsip indonesia sebagai negara kesatuan. Penjelasan diatas menunjukan bahwa studi implementasi mencakup fenomena yang luas dan bahkan dianggap overlaping dengan studi evaluasi (Ripley, 1985). Sekalipun fenomenanya kompleks para pengkaji implementasi kebijakan disarankan untuk memperhatikan berbagai aspek pemahaman seperti :proses, output, dan outcome. Juga perlu diperhatikan bermacam aktor yang terlibat,organisasi, dan teknik pengawasannya.