Anda di halaman 1dari 21

TUGAS HP Geospasial

“Tugas Ke-6”

Nama : Riska Ayu Safitri

NIM : 15120003

Kelas : 01

Mata Kuliah GD2205


Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Institut Teknologi Bandung
Tahun Ajaran 2021/2022
HAK MILIK

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 yang menyebutkan bahwa Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Hak milik ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Terkait dengan siapa yang dapat memperoleh hak milik ini dalam Pasal 21 UUPA dijelaskan
bahwa:

 Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.


 Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.
 Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang
ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun
sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka
waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum
dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
 Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan
asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan
dalam ayat 3 pasal ini.

Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah
(Pasal 20 UUPA). Ini berarti Hak Milik memiliki sifat 3T ( turun temurun, terkuat dan
terpenuhi). Turun temurun artinya hak atas tanah tersebut tetap berlangsung meskipun yang
mempunyai Hak Milik meninggal dunia dan berlanjut kepada ahli warisnya sepanjang masih
memenuhi persyaratan sebagai Hak Milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah ini berlangsung
untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan secara yuridis dapat dipertahankan terhadap pihak
lain.Selanjutnya makna terpenuhi dalam Hak Milik artinya pemegang Hak Milik memiliki
wewenang yang luas, yaitu pemegang Hak Milik dapat mengalihkan, menjaminkan,
menyewakan bahkan menyerahkan penggunaan tanah tersebut kepada pihak lain dengan
memberikan hak atas tanah yang baru (Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai). Termasuk dalam
lingkup terpenuhi adalah bahwa dari segi peruntukannya Hak Milik dapat dipergunakan untuk
keperluan apa saja baik untuk usaha pertanian maupun non pertanian (rumah tinggal atau
mendirikan bangunan untuk tempat usaha).

Terkait dengan siapa yang dapat memperoleh hak milik ini dalam Pasal 21 UUPA dijelaskan
bahwa:

 Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.


 Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.
 Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang
ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun
sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka
waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum
dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.

Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan


asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan
dalam ayat 3 pasal ini. Hak Milik di dalam Hukum Perdata di atur di dalam Pasal 570 KUH
Perdata s.d. Pasal 624 KUH Perdata. Bahwa dinyatakan Hak Milik adalah hak untuk menikmati
kegunaan suatu kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya,asal tidak bertentangan dengan
UU, ketertiban umum dan tidak menganggu hak orang lain (Pasal 570 KUH Perdata). Pengertian
Hak Milik dalam Pasal 570 itu dalam arti luas karena benda yang dapat menjadi objek Hak
Milik, tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga benda yang bergerak. Lain halnya apa yang
dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA dimana dalam rumusan itu hanya mengatur benda yang tidak
bergerak khususnya atas tanah, sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa Pasal 20 UUPA
berbunyi “ Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuhi yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 UUPA bahwa tanah
mempunyai fungsi sosial termasuk pula tanah yang berstatus Hak Milik. Luasnya kewenangan
yang diberikan oleh undang-undang kepada pemegang Hak Milik sebagaimana yang tersebut
diatas, tidak berarti pemegang Hak Milik dapat berbuat apa saja atau tanpa batas atas
penggunaan tanah tersebut. Meskipun tanah itu berstatus Hak Milik, pemegang Hak Milik
dibatasi dalam suatu koridor aturan yang berlaku dimana pemegang hak wajib memperhatikan
fungsi sosial atas tanah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok
Agraria yang artinya:

 Dalam aktivitas penggunaan atau pemanfaatan tanah tidak boleh menimbulkan kerugian
kepada orang lain.
 Penggunaan tanah wajib disesuaikan dengan peruntukan yang telah di tetapkan sesuai
dengan rencana tata ruang.
 Penggunaan atau pemanfaatan tanah wajib memperhatikan kepentingan umum selain
kepentingan pribadi.
 Tanah yang digunakan atau dimanfaatkan harus dipelihara dengan baik dan mencegah
terjadinya kerusakan tanah.
 Tanah yang digunakan tidak boleh diterlantarkan sehingga menimbulkan kerugian atas
tanah tersebut, baik dari sisi kesuburan, penggunaan dan kemanfaatan atas tanah tersebut.

Kapan hapusnya Hak Milik atas tanah? Hapusnya Hak Milik atas tanah telah diatur dalam Pasal
27 UUPA46 yang menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus dan berakibat tanahnya jatuh
kepada Negara yaitu: 1.

1. Karena pencabutan hak atas tanah berdasarkan Pasal 8


2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
3. Kerena ditelantarkan
4. Karena ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat 3, yaitu karena subjek
haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah dan Pasal 26 ayat 2,
yaitu: karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain
tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah.

HAK GUNA USAHA

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan
atau peternakan. Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang
layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Hak guna usah
dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain. Hak ini diberikan selama jangka waktu 25 tahun,
jika memang diperlukan khusus bagi Perusahaan dapat berlangsung selama 35 Tahun, jangka
waktu yang diberikan untuk perpanjangan hak paling lama adalah 25 Tahun.

Dalam Pasal 29 UUPA dijelaskan bahwa yang dapat memiliki hak guna usaha adalah:

 warganegara Indonesia;
 badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
 Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-
syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan
ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi
syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
dalam jangka waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal 28 ayat 1). Kemudian, PP Nomor 40 Tahun 1996
menambahkan guna perusahaan perkebunan. Ketentuan yang mengatur mengenai Hak Guna
Usaha adalah: Pasal 16 ayat 1 huruf b UUPA, kemudian secara khusus Hak Guna Usaha diatur
dalam Pasal 28 sampai 34 UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha diatur
dengan Peraturan Perundangan (Pasal 50 ayat 2 ). Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai atas tanah, yang kemudian secara khusus pengaturannya dalam Pasal 2 sampai dengan 18.

Luas tanah Hak Guna Usaha untuk perseorangan minimum 5 hektar dan luas maksimum 25
hektar. Sedangkan untuk badan hukum luas minimum 5 hektar dan luas maksimum ditetapkan
oleh Badan Pertanahan Nasional (Pasal 28 ayat 2 UUPA jo Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996). Menurut Pasal 30 Subjek dalam hukum Hak Guna Usaha adalah:

a. Warga Negara Indonesia


b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
(Pasal 30 UUPA jo Pasal 2 PP Nomor 40 Tahun 1996).
c. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun
wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak
memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau
dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Jangka waktu Hak Guna Usaha 25 tahun dan untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang
lebih lama dapat diberikan paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat 1, 2 dan 3 UUPA). Kemudian di dalam Pasal 8 PP No. 40
tahun 1996 mengatur jangka waktu Hak Guna Usaha untuk pertama kalinya paling lama 35
tahun, dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, dan diperbaharuan untuk waktu paling lama 35
tahun. Permohonan perpanjangan atau pembaharuan HGU diajukan selambat-lambatnya dua
tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU tersebut. Perpanjangan atau pembaharuan HGU
tersebut di catatkan.
Dalam buku tanah pada kantor pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Persyaratan untuk
melakukan perpanjangan yang dilakukan oleh pemegang hak adalah:

a. anah masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian
hak tersebut.
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak (Pasal 9 ayat 1).

Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha adalah: a.

a. Membayar uang pemasukan kepada Negara b.


b. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan/atau peternakan sesuai
peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian hak. c.
c. Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis. d.
d. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada di
lingkungan HGU. e.
e. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga
kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. f.
f. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU g.
g. Menyerahkan kembali tanah diberikan dengan HGU kepada Negara setelah HGU
tersebut dihapus. h.
h. Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan (Pasal
12 ayat 1 PP Nomor 40 Tahun 1996),

Apakah Hak Guna Usaha bisa hilang? Di Pasal 34 UUPA dijelaskan bahwa hapusnya Hak Guna
Usaha jika:

a) Jangka waktunya telah berakhir


b) Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
terpenuhi
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d) Dicabut untuk kepentingan umum
e) Ditelantarkan
f) Tanahnya musnah
g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2 UUPA

HAK GUNA BANGUNAN

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan- bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang selama 20 Tahun. Hak ini dapat beralih dan dialihkan.

Yang dapat memiliki hak guna bangunan adalah:

 warganegara Indonesia;
 badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi
syaratsyarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan
atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Dalam Pasal 35 UUPA dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk
mendirikan bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu 30
tahun. Atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan dan keadaan bangunan-
bangunannya. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Penggunaan tanah yang dipunyai dengan HGB adalah
untuk mendirikan bangunan-bangunan, meliputi bangunan rumah, tempat tinggal, usaha
perkantoran, pertokoan industri dan lain-lain. Orang atau bandan hukum yang mempunyai HGB
dan tidak lagi memenuhi syarat, dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika dalam waktu tersebut tidak
diperhatikan/dilaksanakan, maka hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan bahwa hak
pihak lain akan dipindahkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal seseorang mendapatkan wasiat HGB, sedangkan dia adalah warga negara asing, maka
HGB tersebut tidak sekaligus hapus. Begitu juga seorang warga negara Indonesia yang
mempunyai HGB, kemudian berubah jadi warga negara asing (WNA), maka dalam satu tahun
harus diakhiri. Jika tidak diakhiri, maka haknya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi
tanah Negara, namun bagi yang bersangkutan dapat saja mengajukan permohonan hak sesuai
dengan kedudukan subjek yang bersangkutan, misalnya dengan Hak Pakai. Jika ahli waris HGB
orang yang memenuhi syarat dan bersama-sama dengan orang yang tidak memenuhi syarat,
maka dalam jangka waktu satu tahun bagi yang tidak memenuhi syarat harus memindahkan/
melepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu tersebut
pemilikan pihak pihak yang tidak memenuhi syarat tidak diakhiri, menurut Boedi Harsono
(2009) bukan hanya bagiannya yang hapus, seluruh hak atas tanah menjadi hapus. Hal ini
disebabkan oleh:

a. HGB milik bersama tidak dapat ditentukan bagian tanah mana kepunyaaan pihak yang
memenuhi syarat, dan bagian mana pula kepunyaan pihak yang tidak memenuhi syarat. b.
b. Apabila HGB tersebut tidak hapus, maka akan timbul keadaan seseorang yang tidak
memenuhi syarat dapat terus mempunyai HGB. Keadaan ini bertentangan dengan UUPA.

Yang menjadi objek HGB menurut ketentuan Pasal 37 ayat (1) UUPA adalah tanah-tanah:

a. Tanah Negara
b. Tanah Hak Milik

Sedangkan yang menjadi objek HGB menurut ketentuan Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996 adalah:

a. Hak Milik
b. Hak Pengelolaan
c. Tanah Negara

Siapakah yang dapat mempunyai HGB? Adapun yang dapat mempunyai HGB berdasarkan Pasal
48 UUPA adalah:

a. Warga Negara Indonesia


b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Adapun ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB) adalah:

a. Dapat beralih dan dialihkan


b. Jangka waktu terbatas
c. Dapat dijadikan jaminan hutang
d. Dapat dilepaskan oleh pemegang haknya
e. Dapat terjadinya dari Hak Milik dan Tanah Negara

Berdasarkan Pasal 40 UUPA HGB dapat hapus karena beberapa sebab:

a. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan


b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang /pemegang hak pengelolaan/pemeganng Hak
Milik sebelum waktunya berakhir, karena:
1. Tidak dipenuhinya kewajibankewajiban pemegang hak
2. Tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian penggunaan
tanah hak milik atau hak pengelolaan.
3. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegangnya sebelum jangka waktu berakhir.
d. Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.
e. Ditelantarkan
f. Tanahnya musnah
g. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) UUPA, yaitu dimana pemegangnya tidak memenuhi syarat
dan dalam waktu satu tahun tidak mengakhiri penggunaan HGB.
HAK PAKAI

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang.

Hak Pakai dapat diberikan dengan cara :

 Selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu;
 Dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapaun;

Kemudian, yang dapat memiliki hak pakai ini adalah:

 warga negara Indonesia;


 orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
 badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
 badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah Hak Milik atau di atas Tanah Pengelolaan. Hak Pakai memberi
wewenang dan juga kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya oleh pejabat
yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah yang bersangkutann yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Makna kata “menggunakan” berarti
dapat mendirikan bangunan di atas tanah tersebut, sedang kata “memungut hasil”berarti
memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan pemegang haknya, misalnya pertanian,
peternakan, perikanan atau perkebunan.

Kewenangan yang terdapat dalam Hak Pakai tersebut diatas, memberikan gambaran bahwa Hak
Pakai tersebut seolaholah hampir sama atau menyerupai jenis hak atas tanah yang lain seperti
Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha karena di dalamnya memberikan
wewenang untuk mendirikan bangunan atau mengambil hasil pemanfaatan atas tanah tersebut.
Di samping itu terhadap Hak Pakai juga dapat didaftarkan, sehingga mempunyai alat bukti hak
berupa sertipikat. Kesamaan lain adalah Hak Pakai juga sama dengan Hak Milik, Hak Guna
Bangunan dan Hak Guna Usaha.

Perbedaannya dengan hak-hak tanah yang lain tersebut adalah Hak Pakai merupakan satu-
satunya jenis hak atas tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang dapat diberikan kepada
warga negara asing atau badan hukum asing, karena hak atas tanah ini memberikan wewenang
yang terbatas (Pasal 42 UUPA). Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu tertentu. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor, Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat
diperpanjang. Perpanjangan ini sering diartikan untuk selama 15 tahun akan tetapi Hak Pakai
yang diberikan kepada subyek hukum tertentu diberikan dengan jangka waktu selama tanah
tersebut digunakan, yaitu hanya diberikan kepada kementerian, lembaga pemerintah non
departemen, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perwakilan badan internasional, badan
keagamaan dan badan-badan sosial. Sedangkan bagi para warga atau badan hukum perpanjangan
masa Hak Pakai diberikan sesuai dengan keputusan pemberian haknya oleh kantor pertanahan
setempat. Hak Pakai daapat diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan.

HAK SEWA

Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada
pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Pembayarannya dapat dilakukan dengan cara kontak
atau diangsur. Yang dapat mempunyai hak sewa adalah:

 warga negara Indonesia;


 orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
 badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
 badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak sewa untuk bangunan disebutkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf e UUPA dan diatur dalam
Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA. Tanah hak milik yang tidak ada bangunan di atasnya dapat
disewakan untuk jangka waktu tertentu oleh pemiliknya kepada pihak lain. Hak atas tanah yang
lahir dari penyewaan tanah hak milik adalah hak sewa untuk bangunan. Dari uraian pendahuluan
di atas dapat dikaji permasalahan yang dirumuskan, yaitu: asas dalam pembebanan hak sewa
untuk bangunan atas tanah hak milik dan pembuktian dalam pembebanan hak sewa untuk
bangunan atas tanah hak milik. Hak sewa untuk bangunan disebutkan dalam Pasal 16 ayat 1
huruf e UUPA.

Secara khusus hak sewa untuk bangunan diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 UUPA. Menurut
Pasal 50 ayat 2 UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan
perundangan yang secara khusus mengatur hak sewa untuk bangunan sebagaimana dimaksudkan
oleh Pasal 50 ayat 2 UUPA sampai sekarang belum terbentuk. Dalam pembidangan hak atas
tanah, hak sewa untuk bangunan merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu
hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum diganti dengan
undang-undang yang baru. Selain UUPA, hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.

Dari aspek asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi dua, yaitu pertama, hak atas tanah yang
bersifat primer adalah hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara. Hak atas tanah yang
bersifat primer, yaitu meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas tanah negara
dan hak pakai tanah negara. Kedua, hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah
yang berasal dari tanah pihak lain. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, meliputi hak guna
bangunan atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak pakai tanah
hak pengelolaan, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk bangunan, hak gadai, hak usaha
bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.

Hak sewa untuk bangunan merupakan hak atas tanah yang bersifat sekunder disebabkan asal
tanah hak sewa untuk bangunan adalah tanah hak milik. UUPA menyebut hak sewa untuk
bangunan, sedangkan Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997) mengatur
pembebanan hak sewa untuk bangunan atas tanah hak milik. Pembebanan hak sewa untuk
bangunan merupakan hak milik yang dibebani hak sewa untuk bangunan. Hak sewa untuk
bangunan adalah hak atas tanah yang lahir dari tanah hak milik. UUPA tidak memberikan
pengertian hak sewa untuk bangunan. Pasal 44 ayat 1 UUPA menyatakan bahwa seseorang atau
suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik
orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa.

Hak sewa untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah hak milik orang lain dengan membayar
sejumlah uang sebagai sewa dan dalam jangka waktu tertentu untuk menggunakan tanah
berdasarkan kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan. Dalam
hak sewa untuk bangunan, pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada
penyewa tanah dengan maksud agar penyewa dapat mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.
Bangunan itu menurut hukum menjadi milik penyewa, kecuali ada perjanjian lain.6 Pada hak
sewa untuk bangunan, objek sewa menyewanya adalah tanah kosong yang berstatus hak milik
yang disewa oleh penyewa tanah untuk jangka waktu tertentu dengan membayar sejumlah uang
sebagai sewa. Pasal 45 UUPA menetapkan bahwa yang dapat menjadi pemegang hak sewa untuk
bangunan, adalah warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pemegang hak sewa untuk bangunan dapat berupa perseorangan yang berasal dari warga negara
Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia, atau berupa badan hukum yaitu
badan hukum privat atau badan hukum publik yang berasal dari badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 44 ayat 2 UUPA menetapkan bahwa pembayaran
uang sewa dapat dilakukan satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu, atau sebelum atau
sesudah tanahnya digunakan. Pasal tersebut menetapkan bahwa ketentuan mengenai uang sewa
dalam hak sewa untuk bangunan, yaitu:
1. uang sewa dibayar sekali oleh pemegang hak sewa untuk bangunan selama hak sewa untuk
bangunan berlangsung;
2. uang sewa dibayar oleh pemegang hak sewa untuk bangunan pada waktu-waktu tertentu
selama hak sewa untuk bangunan berlangsung;
3. uang sewa dibayar oleh pemegang hak sewa untuk bangunan sebelum hak sewa untuk
bangunan terjadi; atau
4. uang sewa dibayar oleh pemegang hak sewa untuk bangunan setelah hak sewa untuk
bangunan terjadi.

Ketentuan mengenai pembayaran uang sewa dalam hak sewa untuk bangunan oleh pemegang
hak sewa untuk bangunan kepada pemilik tanah bergantung pada kesepakatan antara pemilik
tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan yang dituangkan dalam perjanjian kedua belah
pihak. Pada Pasal 44 UUPA tidak mengatur jangka waktu hak sewa untuk bangunan. Oleh
karena penggunaan tanah hak milik oleh pihak lain guna keperluan mendirikan bangunan
dengan pembayaran sejumlah uang sebagai sewa, maka hak sewa untuk bangunan mempunyai
jangka waktu tertentu. Jangka waktu hak sewa untuk bangunan berdasarkan kesepakatan antara
pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan. Pasal tersebut juga tidak mengatur
setelah berakhirnya jangka waktu hak sewa untuk bangunan. Hak sewa untuk bangunannya
dapat diperpanjang jangka waktunya ataukah diperbaharui haknya. Ada tidaknya perpanjangan
jangka waktu hak sewa untuk bangunan ataukah pembaharuan hak sewa untuk bangunan
bergantung pada kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan
yang dituangkan dalam perjanjian kedua belah pihak.

Kesepakatan untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak sewa untuk bangunan
dapat dilakukan diawal terjadinya hak sewa untuk bangunan atau setelah jangka waktu hak sewa
untuk bangunannya berakhir. Pasal 44 UUPA tidak mengatur peralihan hak sewa untuk
bangunan. Oleh karena hak sewa untuk bangunan itu merupakan suatu hak, maka hak sewa
untuk bangunan dapat beralih dan dialihkan oleh pemegang haknya kepada pihak lain. Kata
“dapat” beralih dan dialihkan pada hak sewa untuk bangunan menunjukkan bahwa dapat
tidaknya hak sewa untuk bangunan beralih dan dialihkan oleh pemegang haknya kepada pihak
lain bergantung pada kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk bangunan
yang dituangkan dalam perjanjian kedua belah pihak. Peralihan hak sewa untuk bangunan
dibuktikan dengan perjanjian tertulis antara pemilik tanah dan pemegang hak sewa untuk
bangunan, yang dapat berbentuk akta di bawah tangan, atau akta autentik, yaitu akta notaris atau
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Pasal 44 UUPA tidak mengatur
hak sewa untuk bangunan dapat dijadikan jaminan utang. UUPA menetapkan bahwa hak milik,
hak guna usaha dan hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT) menetapkan bahwa hak yang dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai yang menurut ketentuannya wajib didaftarkan dan menurut sifatnya
dapat dipindahtangankan dan hak milik atas satuan rumah susun. UUPA dan UUHT tidak
menetapkan bahwa hak sewa untuk bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
hak tanggungan. Hak sewa untuk bangunan tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan disebabkan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh UUHT.

Pada hak sewa untuk bangunan terdapat pemisahan dalam pemilikan tanah dan pemilikan
bangunan di atas tanah hak milik. Tanahnya adalah milik pemilik tanah, sedangkan bangunan
adalah milik pemegang hak sewa untuk bangunan. Bangunan pada hak sewa untuk bangunan
mempunyai nilai ekonomis yang dapat dinilai dengan uang sehingga dapat dijadikan jaminan
utang. Bangunan pada hak sewa untuk bangunan dapat dijadikan jaminan utang apabila ada
persetujuan dari pemilik tanah disebabkan tanah pada hak sewa untuk bangunan terikat dengan
tanah hak milik orang lain. Lembaga jaminan yang dapat mewadahi bangunan pada hak sewa
untuk bangunan dijadikan jaminan utang adalah jaminan fidusia.

Bangunan pada hak sewa untuk bangunan termasuk objek jaminan fidusia disebabkan hak sewa
untuk bangunan tidak termasuk objek hak tanggungan sebagaimana ditetapkan dalam UUPA
dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Pasal 44 UUPA tidak mengatur hapusnya hak sewa
untuk bangunan. Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab hapusnya hak sewa untuk
bangunan adalah jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir
disebabkan pemegang hak sewa untuk bangunan tidak memenuhi kewajiban yang diperjanjikan
dengan pemilik tanah, pemegang hak sewa untuk bangunan meninggal dunia, hak milik
dilepaskan oleh pemiliknya, hak milik dicabut untuk kepentingan umum atau tanahnya musnah.
Ketentuan-ketentuan dalam hak sewa untuk bangunan yang diatur dalam UUPA, yaitu:

1. pemilik tanah menyewakan tanah hak miliknya tanpa bangunan di atasnya kepada penyewa
tanah atau pemegang hak sewa untuk bangunan;
2. hak sewa untuk bangunan terjadi dengan perjanjian antara pemilik tanah dan pemegang hak
sewa untuk bangunan;
3. pemegang hak sewa untuk bangunan berhak mendirikan bangunan di atas tanah yang
disewanya;
4. pemegang hak sewa untuk bangunan wajib membayar uang sewa tanah kepada pemilik
tanah yang besarnya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
5. hak sewa untuk bangunan berjangka waktu tertentu;
6. pemegang hak sewa untuk bangunan adalah perseorangan dan badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
7. hak sewa untuk bangunan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan
dari pemilik tanah;
8. hak sewa untuk bangunan tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia
kecuali ada persetujuan dari pemilik tanah;
9. hak sewa untuk bangunan hapus dengan berakhirnya jangka waktu hak sewa untuk
bangunan kecuali ada kesepakatan kedua belah pihak untuk perpanjangan jangka waktu atau
pembaharuan hak sewa untuk bangunan.

HAK MEMBUKA TANAH DAN MEMUNGUT HASIL HUTAN

Dalam pasal 46 ayat (1) dan (2) UUPA menyatakan bahwa: 1. Hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia dan diatur dengan
peraturan pemerintah. 2. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak
dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. 30 Lebih lanjut hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan di atur dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976, tanggal
13 Januari 1976 Tentang Pedoman Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan, Dengan Bidang
Tugas Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi Dan Pekerjaan Umum, mengenai pelaksanaan
pemberian hak pengusahaan hutan dan hak pemungutan hasil hutan.

Sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 1999 memungut hasil hutan dilaksanakan berdasarkan azas
rasionalitas, optimalitas serta kelestarian hutan dan keseimbangan fungsi ekosistem dengan
memperhatikan rasa keadilan dan manfaat bagi masyarakat. Pemungutan hasil hutan bertujuan
untuk mewujudkan keberadaan sumberdaya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat
ekonomi, sosial dan ekologi yang maksimum dan lestari, serta menjamin distribusi manfaatnya
secara adil dan merata, khususnya terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar
hutan. Hak Pemungutan Hasil Hutan diberikan untuk mengambil hasil hutan dengan ketentuan
luas maksimal 100 (seratus) hektar atau dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun. Hak Pemungutan Hasil Hutan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
setempat. Setiap Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk kayu wajib membayar Profisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Setiap Pemegang Hak Pemungutan
Hasil Hutan untuk hasil hutan non kayu wajib membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).

HAK GUNA AIR, HAK PEMELIHARAAN,

Dan PENANGKAPAN IKAN

Dalam pasal 46 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk
keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain. Pada ayat (2) dikatakan
bahwa hak guna air diatur dengan Peraturan Pemerintah, dimana peraturan pemerintah tersebut
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2014. Dalam pasal 1 dijelaskan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan hak guna air. Sebagaimana dengan pasal 5 guna air terdiri dari HPGA
(Hak Guna Pakai Air) dan HGUA (Hak Guna Usaha Air).
1. HPGA
HPGA diperoleh dengan :
a. Tanpa memerlukan izin
HPGA tanpa memerlukan izin diperuntukkan bagi perseorangan guna pemenuhan
kebutuhan pokok sehari-hari tanpa mengubah kondisi alami Sumber Air dan
perkumpulan petani pemakai Air yang berada dalam sistem irigasi. Pemegang HPGA
memperoleh Air dan memakai Air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
dan/atau pertanian rakyat dan mengalirkan Air dari atau ke tanahnya melalui tanah
orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.
b. Memerlukan izin
HPGA yang diperoleh dengan memerlukan izin apabila cara menggunakannya
dilakukan dengan mengubah kondisi alami Sumber Air, ditujukan untuk keperluan
kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah besard atau digunakan untuk pertanian
rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada. HGPA yang diperoleh dengan memerlukan
izin, lahir dalam hal izin penggunaan Sumber Daya Air atau izin pemakaian Air Tanah
memuat penetapan kuota Air yang dapat diperoleh dan dipakai. Dalam hal izin
penggunaan Sumber Daya Air atau izin pemakaian Air Tanah tidak menetapkan kuota
Air yang dapat diperoleh dan dipakai, izin penggunaan Sumber Daya Air atau izin
pemakaian Air Tanah tidak mengakibatkan timbulnya HGPA.
2. HGUA
HGUA diperoleh berdasarkan Izin pengusahaan Sumber Daya Air yang terdiri atas:
 izin pengusahaan Sumber Daya Air untuk Air Permukaan
 Izin pengusahaan Sumber Daya Air untuk Air laut yang berada di darat; dan
 Izin pengusahaan Air Tanah untuk pengusahaan Air Tanah.

Izin pengusaha Sumber Daya Air diberikan oleh Menteri, untuk Air Permukaan pada
Wilayah Sungai lintas provinsi, Wilayah Sungai lintas negara, dan Wilayah Sungai strategis
nasional; Gubernur, untuk Air Permukaan pada Wilayah Sungai lintas kabupaten/kota; atau
bupati/walikota, untuk Air Permukaan pada Wilayah Sungai dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
Izin pengusahaan Sumber Daya Air diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Penangkapan
ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal
untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan,
dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

HAK GUNA RUANG ANGKASA

Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan
itu. Menurut UU nomor 21 Tahun 2013 antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di
luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara. Keantariksaan adalah segala
sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa.
Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang
mengandung udara yang bersifat gas. Penyelenggaraan Keantariksaan adalah setiap kegiatan
eksplorasi dan pemanfaatan Antariksa yang dilakukan, baik di dan dari bumi, Ruang Udara,
maupun Antariksa.

Referensi:

http://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/1960/5TAHUN~1960UU.HTM

http://notarismichael.com/ppat/hak-atas-tanah-menurut-uupa/

https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-guna-air-lt57ea194b24b14
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-21-2013-keantariksaan

file:///C:/Users/user/Downloads/PP%20Nomor%2069%20Tahun%202014.pdf

https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/1999/6TAHUN1999PP.htm

https://jdih.kkp.go.id/peraturan/1-uu-2009-45.pdf

http://nawasis.org/portal/digilib/read/peraturan-pemerintah-nomor-69-tahun-2014-tentang-hak-guna-
air/51292

https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2004/31TAHUN2004UU.htm

Anda mungkin juga menyukai