Anda di halaman 1dari 17

Pesantren, Madrasah, dan Sekolah

Karya Karel Steenbrink


(Sebuah Model Penelitian Pendidikan Islam di Indonesia)

Mukroji*

Abstract: The study of Islam from among the West (as well as from among the East), can
be organized according to some discipline. Discussion about the pesantrens, madrasas
and schools, written by Karel A. Steenbrink be very interesting, because it is told how the
upheaval of Islam. In the course of history, the origins of schools can not be separated from
the arrival and spread of Islam in Indonesia. Because discussion pesantrens have a great
impact on the education model in Indonesia.
And changes in the form and content of Islamic education in Indonesia can not be separated
from the demands of the times that it faces. But the process of change is not an event
that is smooth and seamless with no disagreement among those involved in it. Political
background of the Dutch colonial education in determining the changes in the world of
sports peantrens, madrasas and schools in Indonesia

Keywords: Study, Karel A Steenbrink, Pesantrens, Madrasas, Schools

Pendahuluan
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka kita tidak
mung­kin melepaskan dari tiga institusi pendukungnya, yakni pesantren,
madrasah dan sekolah (agama). Ketiga institusi ini merupakan penopang
gerak langkah dan dinamika dari apa yang dinamakan dengan pendidikan
Islam di Indonesia.

* Dosen LB STAIN Purwokerto


Mukroji, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...

Indonesia sebagai negara yang pernah dijajah oleh Kolonial Belanda


mengalami hal-hal tersebut di atas. Mengapa hal ini sampai terjadi? Tidak lain
adalah karena penjajah ingin menerapkan model pendidikan yang mereka
inginkan dan mereka anut di negaranya, akan tetapi mereka terbentur oleh
model pendidikan pribumi negara terjajah.
Tidak banyak penelitian yang dilakukan oleh para cendekiawan/ tokoh
di bidang pendidikan Islam yang meliputi pesantren, madrasah, dan sekolah.
Di antara mereka yang meneliti tentang pesantren dan perkembangan Islam
di Indonesia adalah Dr. Deliar Noer dan Dr. Zamakhsyari Dhofier. Studi
ten­tang perkembangan Islam modern di Indonesia sering ditulis melalui
perspektif atau dengan latar belakang utama gerakan modernis. Misalnya,
Clifford Geertz memberikan gambaran mengenai pesantren (dan organisasi
besar, yang mengelola lembaga itu: Nahdlatul Ulama (NU) dari persepsi res­
ponden yang paling akrab dengan dia, yaitu orang Muhammadiyah dari
kota. Juga Dr. B.J. Boland, dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern
In­do­nesia (The Haque 1971) khusus memperhatikan lembaga baru dalam
Islam di Indonesia: tradisi yang dianjurkan begitu saja di pedesaan tidak
di­perhatikan dengan seksama.
Banyak para tokoh yang menganggap bahwa pendidikan Islam yang
ada pada saat itu adalah kebiasaan yang jelek. Satu di antaranya adalah J.A.
van der Chijs. Alasannya karena metode yang diterapkannya (membaca teks
Arab yang hanya dihafal tanpa pengertian) tidak mengarah pada proses pe­
mikiran maju.
Pandangannya terhadap sejarah pendidikan ini diilhami oleh sifat ku­
rang senang terhadap politik asosiasi dan oleh sikap positif mempertahankan
unsur ketimuran. Pandangan ini memang tidak dapat dipertahankan, jika
membicarakan usaha penggabungan pendidikan Islam yang telah ada.
Karel sebelum keberangkatannya ke Indonesia, telah memperoleh in­­
for­masi secara garis besar baik dari Dr. Boland maupun dari buku Dr. De­­
liar Noer mengenai gerakan modern Islam di Indonesia. Sesudah satu bu­
lan orientasi pertama di kota Bandung untuk aklimatisasi dan latihan ber­
bahasa Indonesia, Karel mulai mengunjungi pesantren di Jawa Barat dan
merasa tertarik meneliti lembaga-lembaga ini secara lebih mendalam. Karel
tertarik melakukan penelitian ini karena dua hal: pertama, karena kehidupan
di pesantren, jika diperhatikan dan dialami untuk waktu yang lebih lama,
memberikan sebuah pengalaman yang sangat menarik menegnai kehidupan

42
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012

dalam lingkungan khas Islam. Kedua, sebab ilmiah, Karel mempunyai ke­
yakinan, bahwa aspek kehidupan itu belum digambarkan dalam studi
modern mengenai Islam di Indonesia. Juga ada sebab lain mengapa Karel
memilih kehidupan pesantren sebagai fokus perhatian khusus dalam pe­
nelitiannya. Dan sebagai peneliti Karel yang mempunyai latar belakang Ka­
tolik, merasa lebih dekat dengan orang pesantren, dari pada dengan orang
Muhammadiyah atu Persatuan Islam (Persis), karena ekspresi keagamaan
Katolik seperti ekspresi keagamaan ummat Islam tradisional di Indonesia,
lebih bervariasi dan beraneka ragam.
Kalau dibandingkan dengan karya Dr. Deliar Noer dan Dr. Zamakhsyari
Dhofier, karya Karel ini terdapat beberapa perbedaan walau mungkin bukan
pertentangan, karena dipengaruhi oleh latarbelakang agama yang berbeda.
Sebenarnya buku ini (Pesantren, Madrasah dan Sekolah) adalah disertasinya
yang dipertahankan pada Universitas Katolik Nijmegen pada bulan Juni
1974. Dan buku ini merupakan hasil penelitian dan pengamatan di sejumlah
pesantren di Jawa dan Sumatera, yang memakan waktu kurang lebih 8 bulan,
ternyata kehidupan dalam pesantren tidak begitu mahal, sehingga dana yang
dulu diberikan hanya untuk periode 6 bulan, akhirnya cukup untuk masa
penelitian selama 12 bulan di Indonesia.
Dalam penelitian ini, Karel menetap lebih lama (3 bulan) di Pesantren
Modern Gontor, Ponorogo, sebab menurutnya pesantren ini masih cukup
ber­akar dalam tradisi pesantren, di samping sudah menempuh jalan baru.
Dalam hipotesanya, ia menjelaskan bahwa sejak permulaan abad ini telah
terjadi sebuah perubahan besar dalam pendidikan Islam di Indonesia, di
samping lembaga tradisional seperti pesantren dan pengajian Qur’an se­
derhana, didirikan lembaga yang memakai metode moderen dan sering
disebut madrasah. Malah perubahan yang paling drastis menurutnya adalah
metodik yang dipakai Muhammadiyah untuk HIS: di sana sistemsekolah di­
ikuti saja, ditambah dengan sedikit (2-4 jam per minggu) pelajaran agama.
Pendidikan modern ummat Islam di Indonesia sejak saat itu bersifat aneka
ragam dengan dua pola ekstrim: lembaga tradisional di samping sekolah
moeren. Di antara dua pola ini memang ditemukan cukup banyak bnetuk
sebagai upaya mencari jalan tengah atau sintesa antara dua pola ekstrim ini,
dengan mengambil unsur yang lebih baik dari dua sistem ini.
Uraian di atas memberikan gambaran yang jelas mengenai ketertarikan
Karel dalam meneliti pesantren, madrasah, dan sekolah yang ada di Indonesia.

43
Mukroji, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...

Buku ini merupakan sumbangan yang berharga bagi pengembangan pen­


didikan Islam di Indonesia, baik di pesantren, madrasah maupun sekolah
atau sebagai renungan terhadap diri sendiri, dan ummat Islam di Indonesia
(self­reflection).
Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah tersebut di atas, maka muncul be­
berapa masalah :
1. Apa sebenarnya yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia khu­
susnya mengenai perjalanan pesantren, madrasah dan sekolah pada ma­
sa kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia?
2. bagaimana pesantren, madrasah, dan sekolah merespon adanya ide
pem­baruan yang semangatnya telah dimulai sejak memasuki abad ke
dua puluh dalam bidang pendidikan yang digambarkan sebagai masa
ke­bangkitan, pembaruan, dan pencerahan?
Kajian Pustaka
Studi mengenai perkembangan Islam modern di Indonesi memang
sering ditulis melalui perspektif atau dengan latarbelakang utama gerakan
modernis. Misalnya, Clifford Geertz yang memberikan gambaran mengenai
pe­santren (dan organisasi besar, yang mengelola lembaga itu: Nahdlatul
Ulama) dari persepsi responden yang paling akrab dengan dia, yaitu orang
Muhammadiyah dari kota. Juga Dr. B.J. Boland, dalam bukunya “The Struggle
of Islam in Modern Indonesia” (The Haque 1971) yang khusus memperhatikan
lembaga baru dalam Islam di Indonesia: tradisi yang dilanjutkan begitu saja
di pedesaan tidak diperhatikan secara seksama.
Ada beberapa buku yang membahas mengenai pesantren, madrasah
dan sekolah yang mendasari karya Karel ini. Di antaranya adalah karya Dr.
Deliar Noer yaitu: Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta,
LP­3ES, 1980), mengenai gerakan moderen Islam di Indonesia, mengambil
gerakan kota, gerakan reformis sebagai fokus perhatiannya. Dan juga kar­
ya Dr. Zamakhsyari Dhofier yang berjudul: Tradisi Pesantren (Jakarta, LP3­
ES, 1984). Buku ini membahas tradisi pesantren dengan fokus utama pada
peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam tradi­
sional di Jawa. Juga menggambarkan dan mengamati perubahan-perubahan
yang terjadi dalam lingkungan pesantren dan Islam tradisional di Jawa yang
dalam periode Indonesia moderen tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai

44
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012

kekuatan sosial, kultural dan keagamaan yangturut membentuk bangunan


kebudayaan Indonesia modern.
Studi mengenai Islam dari kalangan orang Barat (seperti juga dari ka­
langan orang Timur), bisa diselenggarakan menurut beberapa disiplin ilmu.
Walaupun kebanyakan sarjana memakai beberapa disiplin ilmu, sering salah
satu pendekatan bisa mendapat dominasi dalam pendekatannya.
Dari tulisan-tulisan di atas, kajiannya lebih menitik beratkan pada pe­
ranan kyai dan gerakan reformasi Islam. Sehingga perlu kajian yang lebih
mendalam lagi, yaitu tentang bagaimana perkembangan pendidikan pe­
santren, madrasah, dan sekolah dalam menatap masa depan. Padahal kajian
tentang pesantren, madrasah, dan sekolah di tinjau dari pendidikan Islam
memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan Islam
di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Pembahasan mengenai pesantren, madrasah dan sekolah yang ditulis
oleh Karel A. Steenbrink menjadi sangat menarik, karena di dalamnya di­
ceritakan bagaimana terjadi pergolakan Islam. Dan perubahan bentuk serta
isi pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepas dari tuntutan perkembangan
zaman yang dihadapinya. Namun proses perubahan itu bukan suatu peristiwa
yang lancar dan mulus tanpa perselisihan pendapat di antara mereka yang
terlibat di dalamnya. Latar belakang politik pendidikan kolonial Belanda ikut
menentukan ketegangan perubahan dalam dunia pesantren, madrasah dan
sekolah di Indonesia. Lalu apa yang dimaksud dengan pesantren, Madrasah,
dan sekolah?
Pengertian Pesantren, Ciri dan Unsur-unsurnya
Pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier berasal dari kata santri, de­
ngan awalan pe dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri.1Soegarda
Poerbakawatja juga menjelaskan pesantren berasal dari kata santri, yaitu
seorang yang belajar agama Islam, dengan demikian pesantren mempunyai
arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.2 Menurut Manfred
Ziamek bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an,”tempat
santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pela­
jaran dari pimpinan pesantren (kyai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz).
Pelajaran mencakup berbagai bidang tentang pengethuan Islam.3

45
Mukroji, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa


pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan
untuk mendalami ilmu agam Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman
hidup keseharian, atau disebut tafaqqahu fid-din dengan menekankan pen­
tingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Adapun orientasi pesantren
adalah memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Ciri-ciri umum
pesantren adalah diajarkannya ilmu-ilmu agama (tauhid, fiqh, tafsir, ushul
fiqh, hadits, akhlak, tasawuf, bahasa Arab, dan lain-lain. Sedangkan unsur-
un­sur pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier ada lima elemen yaitu: pon­
dok, masjid, santri, pengajaran, kitab-kitab klasik, dan kyai.4
Pengertian Madrasah, Ciri dan Unsur-Unsurnya
Madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar. Per­
kataan madrasah ditanah Arab ditujukan untuk semua sekolah secara umum,
tetapi di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah yang mata pelajaran
dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam. Unsur yang diutamakan di ma­
drasah adalah pimpinan, guru, siswa, perangkat keras, perangkat lunak dan
pengajaran mata pelajaran agama Islam.5
Departemen Agama RI, merumuskan pengertian madrasah sebagai
berikut :
1. Menurut Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan Peraturan
Men­teri Agama RI No. 7 Tahun 1950, madrasah mengandung makna:
2. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan
dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok pengajaran
3. Pondok dan pesantren yang memberi pendidikan setingkat dengan ma­
drasah.6
4. Menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, menje­
laskan pengertian madrasah adalah : Lembaga Pendidikan yang menja­dikan
mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30 % di samping, mata pelajaran umum.7
5. Menurut UU No. 2 tahun 1989, dan PP 28 dan 29 Tahun 1990 serta Su­
rat Keputusan Menteri Pendidikan dan pengajaran No. 0489/U/1992 dan
Surat Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 1993, madrasah adalah
sekolah yang berciri khas agama Islam.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat dikemukakan beberapa ciri
madrasah:

46
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012

1. Lembaga pendidikan yang mempunyai tata cara yang sama dengan


sekolah
2. Mata pelajaran agama Islam di madrasah dijadikan mata pelajaran pokok,
di samping diberikan mata pelajaran umum
3. Sekolah yang berciri khas agama Islam
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak dapat di­
pisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran
di kalangan umat Islam. Di permulaan abad ke-20 timbul beberapa per­
bahan pemikiran bagi umat Islam Indonesia dengan masuknya ide-ide pem­
baruan.
Ada beberapa faktor pendorong timbulnya ide-ide pembaruan yaitu :
1. Adanya kecenderungan umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an
dan Al-Hadits
2. Timbulnya dorongan perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial
Belanda
3. Usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasi
di bidang sosial ekonomi, baik untuk kepentingan mereka sendiri mau­
pun untuk kepentingan masyarakat
4. Dari pembaruan pendidikan Islam. Pertama, pada penghujung abad ke-19
dan awal abad ke-20 telah banyak kembali ke Indonesia alumnus Timur
Tengah (Kairo, Mekkah). Mereka yang kembali itu sesampainya di tanah
air memiliki posisi penting dalam bidang pendidikan agama. Atas dasar
upaya-upaya mereka timbullah perubahan-perubahan dalam sistem dan
isi pendidikan Islam. Kedua, ingin mencontoh sistem pendidikan Belanda.
Sistem pendidikan Belanda di kala itu jauh lebih maju daripada sistem
pendidikan Islam. Kaum kolonial Belanda telah memiliki sistem klasikal,
dilengkapi dengan alat-alat pengajaran dan metode mengajarnya pun
telah tergolong moderen.
Pengertian Sekolah, Ciri dan Unsur-Unsurnya
Sekolah, merupakan salah satu dari tripusat pendidikan, di samping ru­
mah tangga dan masyarakat. Sekolah menitikberatkan pendidikan formal,
prosedur pendidikannya telah diatur sedemikian rupa, ada guru, siswa, jad­
wal pelajaran yang berpedoman kepada kurikulum, silabus dan GBPP, ada
jam-jam tertentu waktu belajar serta dilengkapi dengan sarana dan fasilitas
pendidikan, baik perangkat keras maupun perangkat lunak.8

47
Mukroji, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...

Sekolah pada hakekatnya bertujuan membantu orang tua mengajar­kan


kebiasaan-kebiasaan baik, dan menanamkan budi pekerti yang baik, juga
di­berikan bekal untuk kehidupan dalam masyarakat yang sukar diperoleh
da­lam rumah tangga.9
Dengan demikian sebenarnya pendidikan di sekolah adalah bagian dari
pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus juga merupakan lanjutan dari
pendidikan dalam keluarga. Di samping itu, kehidupan di sekolah merupakan
jembatan bagi anak untuk menghubungkan kehidupan dalam keluarga de­
ngan kehidupan dalam masyarakat. Jadi sekolah merupakan lembaga pen­
didikan formal yang menekankan inti pelajaran kepada pelajaran umum,
bukan mata pelajaran agama, sebagaimana di pesantren dan madrasah.
Dalam penelitian ini, Karel A. Steenbrink membagi permasalahan
menjadi empat bab.
Bab I: Dari Pesantren Hingga Madrasah dan Sekolah (Sebuah Tin­
jauan Historis dari Zaman Kolonial Belanda Hingga Zaman Kemer­
dekaan In­donesia
Bab pertama mambahas problematika studi melalui pendeka­tan sejarah.
Dualisme pendidikan yang sekarang mendapat bentuk formal dalam usaha
pendidikan yang diselenggarakan oleh dua departemen, yaitu Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan serta departemen Agama, ternyata muncul
pada akhir abad ke-19. Dualisme ini diperkuat dalam periode kolonial
abad ke-20, karena di samping perkembangan lembaga pendidikan yang
diselenggarakan oleh penguasa kolonial, maka lembaga pendidikan Islam
di Indonesia berjuang supaya tidak ketinggalan.
Bab I meliputi sebelas pembahasan:
1. Asal Usul Sistem Pendidikan yang Dualistis
Dengan surat keputusan tanggal 8 Maret 1819, Gubernur Jendral Van
der Capellen memerintahkan untuk mengadakan penelitian ten­tang pendi­
dikan masyarakat Jawa. Tujuannnya adalah meningkatkan kemam­puan
mem­baca dan menulis di kalangan mereka. Sehingga dengan penelitian itu
pelaksanaan undang-undang dan peraturan pendidikan da­pat diperbaiki.
Ketika tumbuh keinginan untuk mengembangkan satu sistem pendi­
dikan umum bagi semua orang pada pergantian abad ke-20, beberapa tokoh
berfikir untuk mencari kemungkinan melibatkan pendidikan Islam dalam
pengembangan tersebut. Mengapa? Hal ini disebabkan karena pendidikan

48
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012

Islam dibiayai oleh diri sendiri, sedangkan pendidikan umum akan dapat
direalisasikan dengan biaya relatif lebih murah. Karena ala­san politik, peng­
gabungan sistem tersebut tidak terlaksana, sebagai kon­sekuensi logis dari
kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang ti­dak mau campur tangan
dalam persoalan Islam.
Pada tahun 1888 Menteri Kolonial menolak memberi subsidi kepa­
da sekolah-sekolah Islam dengan alasan menghambur-ham­burkan (me­
ngorbankan) uang negara. Akhirnya Kolonial Belanda men­di­rikan se­ko­lah
desa, sebuah lembaga sederhana yang membuka ja­lan ke arah terwujudnya
pendidikan umum.
Semenjak itulah sekolah Islam mengambil jalan sendiri, lepas dari
gubernemen, tetap berpegang pada tradisinya sendiri, tetapi juga ter­buka
untuk perubahan. Oleh karena itu wajar saja bila lama ke­lamaan pen­didikan
Islam mampu menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan umum bahkan
mungkin akan lebih maju dari pendidikan umum.
2. Situasi Pendidikan Islam pada Awal Abad Ke-20
Pada akhir abad 19 banyak peneliti yang menjelaskan tentang si­tu­­asi
pendidikan Islam di Indonesia, antara lain Snouck Hurgronje yang mem­
berikan gambaran tentang lembaga pendidikan Islam yang ada di Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Aceh, dan Verkerk Pistorius di Mi­nangkabau.
Pada umumnya mereka, para pelapor Barat memberikan gambar­an dan
kesan tentang salah satu lembaga yang agak aneh dan khusus menekankan
adanya perbedaan dengan sekolah-sekolah Barat. Ba­gaimana gambaran se­
jarah perkembangan pendidikan Islam dalam ka­itannya dengan sekolah-
sekolah model Barat?
Dalam hal ini Karel A. Steenbrink memberikan gambaran tersebut dari
penelitian yang dilakukannya dengan rincian meliputi:
a. Pengajian Al-Qur’an, yang merupakan pendidikan Islam yang paling
sederhana. Seluruhnya dipusatkan pada Al-Qur’an. Pada dasarnya
pendidikan ini berupa pelajaran membaca beberapa bagian dari Al-
Qur’an, mulai dari surat Al-Fatihah kemudian surat-surat pendek
dalam juz ‘Amma sampai 30 juz (surat 1-114) yang penting untuk
me­laksanakan ibadah. Dan pengajian ini diberikan secara individual
kepada para murid, baik oleh guru laki-laki maupun wanita. Setelah
tamat atau khatam mereka melanjutakan ke pengajian kitab.
b. Pengajian Kitab: Pendidikan Lanjutan

49
Mukroji, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...

Ada perbedaan antara pengajian kitab dengan pengajian Al-Qur’an. Hal


ini dapat dilihat dari tiga segi yaitu :
a. Murid mulai masuk asrama dalam lingkungan pendidikan agama
Islam yang disebut pesantren
b. Mata pelajarannya lebih banyak dari pada pengajian Al-Qur’an, yang
pada umumnya dimulai dari pendidikan bahasa
c. Pendidikan diberikan tidak hanya secara individual, tetapi juga se­
cara berkelompok.
Kehidupan sehari-hari dalam pesantren hampir seluruhnya diatur oleh
para santri sendiri. Kyai tidak terlibat langsung dalam kehidupan santri. Dia
hanya mengajar membaca kitab, menjadi imam dan khatib shalat Jum’at,
menasehati orang-orang yang butuh dan mengobati orang sakit yang datang
dengan do’a-do’a.
Dalam perjalanan historisnya, asal-usul pesantren tidak lepas dari
kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia. Karena pembahasan ten­
tang pesantren mempunyai dampak yang besar bagi model pendidikan di
Indonesia.
Sistem pendidikan pesantren terus dipertahankan dan dikembangkan
agar tetap lestari disamping sistem pendidikan Barat. Hubungan Islam In­
donesia dengan pusat-pusat Islam terutama Mekkah, terjadi setelah di­
operasikannya kapal uap dan pembukaan terusan Suez. Semua itu membuk­
tikan bahwa praktek pendidikan Islam pada abad ke-19, pada garis besarnya
merupakan usaha penyesuaian diri dengan pendidikan Islam yang diberikan
di Mekkah. Dari sinilah asal semua kitab tebal dan kitab tipis, dan semua
guru besar mendapatkan pendidikan.
Pendidikan Kolonial ini sangat berbeda dengan pendidikan Islam In­
donesia, bukan saja dari segi metode, tapi lebih khusus dari segi isi dan tuju­
annya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah. Kolonial ini khususnya
berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pendidikan
umum. Sedangkan pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan
dan ketrampilan bagi penghayatan agamanya.
Perkembangan zaman menuntut dunia pendidikan untuk terus meng­
ikutinya dengan peningkatan metode dan sistem pendidikannya. Pendidikan
Barat telah turut mempengaruhi sistem pendidikan Islam. Hal ini dibuktikan
adanya reaksi dari rakyat Indonesia, ada yang menolak, persaingan maupun
imitasi yang terlalu cepat.

50
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012

3. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Sebagai Salah satu Aspek


Pembaharuan Islam dalam Permulaan Abad Ke-20
Faktor pendorong penting bagi perubahan Islam di Indonesia pada
permulaan abad ke-20 adalah :
a. Munculnya keinginan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Tema sentralnya adalah menolak taqlid. Tokohnya adalah Muhammad
Abduh dan murid-muridnya dari Mesir. Antara tahun 1910-1930 ter­
jadi perdebatan antara kaum muda ( reformis/modernis) dan kaum
tua (ortodhok/konservatif).
b. Sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda,
mempunyai arti yang cukup penting
c. Usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat orga­
nisasinya di bidang sosial ekonomi, baik demi kepentingan sendiri
maupun kepentingan rakyat banyak. Seperti SI, Muhammadiyah
maupun NU.
d. Berasal dari pembaharuan pendidikan Islam, karena cukup banyak
orang dan organisasi Islam yang tidak puas dengan metode tra­
disional dalam mempelajari Al-Qur’an dan studi agama. Mereka ber­
usaha memperbaiki pendidikan Islam, baik metode maupun isinya.
Mereka juga mengusahakan kemungkinan memberikan pendidikan
umum untuk orang Islam.
4. Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau 1906-1930
Tokoh yang berperan penting dalam pembaharuan Islam di Indonesia
di antaranya adalah Abdullah Ahmad ( Seorang Modernisatoris yang Menjadi
Hol­landisator ), Abdul Karim Amrullah. Kedua tokoh besar tersebut memang
memberikan bimbingan murid-muridnya, namun inisiatif yang cocok bagi
zamannya berasal dari murid-murid mereka sebagai pembaharu dalam
sistem pendidikan Islam, walaupun dalam bentuk sederhana. Di samping
tokoh lainnya seperti Zainuddin Labai (sebagai ketua organisasi PGAI) dan
Djamil Djambek (sebagai penasehat bersama Abdul Karim Amrullah).
5. Muhammadiyah
Muhammadiyah berdiri tanggal 18 November 1912 oleh Ahmad Dah­
lan dan teman-temannya dengan tujuan untuk mendalami agama Islam di
kalangan anggota sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota
inti dengan cara tabligh.

51
Mukroji, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...

Dalam bidang pendidikan Muhammadiyah melanjutkan model seko­lah


yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen, juga mendiri­kan
sekolah agama dengan maksud untuk mengganti dan memperbaiki pengajian
Al-Qur’an yang tradisional. Tanggal 8 Desember 1921 Muhammadiyah dapat
mendirikan pondok Muhammadiyah sebagai sekolah pendidikan guru aga­
ma. Di kalangan umat Islam Indonesia, Muhammadiyah mempunyai pe­
nga­ruh yang lebih luas di banding dengan usaha Abdullah Ahmad yang
ter­batas di Padang. Dan Muhammadiyah merupakan pembaharuan yang
berbeda dengan Madrasah Diniyah dan Sumatera Thawalib yang tidak mau
menyesuaikan diri dengan sistem gubernemen. Pembaharuan yang sebe­
narnya terjadi pada masa selanjutnya di bawah naungan organisasi seperti
Nahdlatul Ulama, Jamiatul Washliyah, Perti dan sebagainya.
6. Masyarakat Arab di Jakarta, Surabaya dan Beberapa Tempat Lainnya
Pada tahun 1901, masyarakat Arab di Jakarta mengusahakan sekolah
dan madrasah dengan tujuan menyelenggarakan pendidikan umum dan
agama yang lebih baik, namun gagal. Baru pada tahun 1905 organisasai Al-
Jami’at Khairiyah berasil mendirikan sekolah pertama bagi masyarakat Arab
di Jakarta, yang kegiatannya diselenggarakan berdasarkan sistem Barat.
Pada tahun 1910 terjadi perselisihan tajam antara keturunan nabi Mu­
hammad SAW dengan yang bukan keturunan Nabi SAW, sehingga pada ta­
hun 1913 pecah menjadi dua golongan, yaitu reformis/modernis yang kita
kenal dengan nama Al Irsyad ( jami'ah al Islam wal Irsyad) dengan tokohnya
yaitu Ahmad Sukarti.
7. Menolak Sambil Mengikuti di Minangkabau : PERTI
Pada tanggal 5 Mei 1928 di rumah dan atas bimbingan Sulaiman ar-Ra­
suli mengadakan rapat untuk mendirikan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islam)
de­ngan mengundang ulama yang tidak setuju dengan aliran pendidikan
Madrasah Diniyah, Sumatera Thawalib dan PGAI atau kelompok kaum
muda.
Penolakan kaum muda disamping masalah taqlid pada mazhab Sya­fi’i
juga disebabkan terhadap tarekat dan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli sebagai
pemimpin tarekat Naqsyabandiyah yang terlemuka. Juga disebabkan oleh
sikap kaum tua yang lebih dekat dengan Belanda. PERTI timbul dari ke­

52
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012

inginan yang sederhana untuk memperbaharui dan memperbaiki sistem


pen­didikan. PERTI telah memberikan sumbangan yang cukup besar kepada
penye­baran suatu sifat hidup yang lebih moderen, melalui sistem klasikal
dan pelajaran umum, walaupun dalam taraf yang agak terbatas.
8. Menolak dan Mencontoh di Jawa: Nahdlatul Ulama
Bermula dari “Comite Merembuk Hijaz” yang dibentuk oleh Abdul
Wahab Hasbullah, maka pada tanggal 31 Januari 1926 didirikanlah Nah­
dla­tul Ulama (NU). NU muncul sebagai protes terhadap gerakan refor­
masi, juga kebutuhan untuk membela mazhab Syafi’i dan menyaingi orga­
nisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Tiga tahun kemudian Wahab Has­
bul­lah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk
membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadah dan pengajar­
an agama menurut mazhab Syafi’i. Pada saat itu Raja Ibnu saud menjanji­kan
tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU tersebut.
Di bidang pendidikan, ada beberapa prakarsa yang timbul dalam NU, bukan
dari pimpinan terasnya, melainkan dari para murid KH. Hasyim Asy’ari, se­
perti KH. Moh. Ilyas (murid tertua dan keponakan) dan KH. Abdul Wahid
Ha­syim (putra beliau sendiri), yaitu dengan memasukkan mata pelajaran
umum seperti membaca dan menulis huruf latin, ilmu bumi, sejarah dan
ba­hasa Melayu. Semenjak itu koran berbahasa Melayu diizinkan masuk ke
pesantren.
NU tidak mempunyai statistik yang pasti mengenai pendidikannya
yang disebabkan oleh sifat organisasinya yang agak longgar, sehingga da­
lam hal ini Karel A. Steenbrink mengalami kesulitan yang cukup besar untuk
me­ne­tapkan kapan sesungguhnya NU mengadakan pembaharuan pendi­
dikan di Jawa, terutama dalam membuka bagian yang masih tertutup untuk
pendidikan yang sudah setengah dimoderenisasikan, dan diperkirakan tahun
20-an dan 30-an Tebuireng telah menjadi pesantren yang paling masyhur,
dan sistem yang diterapkan di Tebuireng, memberika sumbangan kepada
dunia Islam, terutama di wilayah Jawa Timur dan Madura, untuk lebih ter­
buka bagi pembaharuan pendidikan seperti yang tejadi di Tebuireng.
Departemen Agama RI pada tahun-tahun pertama sesudah 1945 me­
ng­ambil keputusan untuk menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan
Barat.

53
Mukroji, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...

9. Persyariktan Ulama dan K.H. Abdul Halim dari Majalengka : Ahli


Pendidikan dari Jawa Barat
Antara tahun 1909-1911 Abdul Halim belajar di Mekkah, diantara te­
mannya adalah Ahmad Dahlan dan Wahab Hasbullah. Selama belajar di
Mekkah dan Jeddah, KH. Abdul Halim sudah tertarik pada beberapa lem­
baga pendidikan yang tidak memakai sistem halaqah, tetapi memakai kelas
dan kurikulum tertentu serta memasukkan beberapa peralatan seperti pa­
pan tulis lengkap dengan meja dan kursi. Dia lebih bersifat pendidik dan or­
ganisator dari pada pemikir agama yang mempelajari ilmu agama demi ilmu
pengetahuan semata. Diantara jerih payah Abdul Halim adalah:
a. Mendirikan Hayatul Qulub tahun 1911. Tujuannya sebagai usaha
pen­didikan agama dan juga koperasi simpan pinjam. Tahun 1915
per­kumpulan ini dilarang pemerintah belanda.
b. Mendirikan madrasah dengan bantuan beberapa kawannya, ta­
hun 1916, yang hanya mempelajari agama seperti pesantren tradi­
sional.
c. Mendirikan Persyarikatan Ulama, sebagai sarana menyebarkan dan
memperluas ide-ide dan kegiatannya, tahun 1917. Dan tahun 1920
ber­hasil mendirikan rumah yatim piatu.
d. Mendirikan “Santi Asrama”sebuah sekolah berasrama, tahun 1932.
Nama Santi Asrama dipengaruhi oleh “Shantiniketan” Rabindra­
nath Tagore.
Persyarikatan Ulama bergabung dengan perkumpulan yang hampir se­
rupa di Sukanumi menjadi Persatuan Umat Islam (PUI), tahun 1945, meliputi
wi­layah beberapa kota di Jawa barat dengan Majalengka dan Sukabumi
sebagai pusatnya.
Ada beberapa hal yang menjadikan Persyarikatan Ulama yang mencoba
meng­gabungkan antara sistem pendidikan umum, agama dan ketrampilan
tidak dapat dilanjutkan. Hal ini bisa dilihat pada halaman 75-76.
10. Pembaharuan Pendidikan di Sumatera Utara: Jamiatul Washliyah di
Medan
Dibanding dengan organisasi lainnya, Jamiatul Washliyah lebih ketat
dan sentralistis, sehingga sering timbul konflik. Di samping watak orang
Batak yang agak berbeda dengan orang Jawa. Jamiatul Washliyah telah
mengubah sistem, guru ngaji dan guru kitab, berdiri sendiri.

54
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012

Untuk membentuk kader sendiri dibentuklah studi fond yang mengi­


rimkan dua mahasiswanya ke Kairo tahun 1936, tidak ke Mekkah yang lebih
tradisional. Perkumpulan ini dalam pendidikan memakai dua sistem, disatu
pihak mendirikan sekolah swasta dengan memakai sistem gubernemen,
pelajaran umum lebih banyak dan agama, juga didirikan sekolah yang meng­
ajarkan agama dan hanya sedikit menambah pelajaran umum.
11. Perkembangan Sejak tahun 1945. Kebijaksanaan Pendidikan
Departemen Agama Republik Indonesia: Cita-cita Konvergensi
Departemen Agama RI yang didirikan pada tanggal 3 Januari 1946 yang
dulunya Kementrian agama, menindaklanjuti apa yang sudah dilakukan
sebelumnya. Pada zaman Kolonial Belanda telah berdiri kantor agama
dengan nama resminya “Kantoor voor Inlandsche Zaken” sedang zaman
Je­pang bernama “Shumuka”. Lebih lanjut Karel A. Steenbrink menjelaskan,
bagaimana proses perjalanan kebijaksanaan pendidikan Departemen Agama
RI dalam merealisasikan cita-cita konvergensi (dapat dilihat pada halaman
83-102).
Bab II: Profil Guru Agama Moderen; Dari Kyai Haji (K.H) ke Drs
Bab ini meliputi:
1. Kyai (guru) versus Penghulu (pegawai): Klasifikasi Pemimpin Agama
dalam Zaman Kolonial
2. Faktor Keluarga
3. Faktor Kesalehan
4. Faktor Kewibawaan Penafsiran
5. Guru Agama Sebagai Perantara antara Manusia dan Tuhannya
6. Struktur Baru masyarakat Islam
Bab III: Perubahan dalam Materi Pengajaran Agama
Bab ini meliputi:
1. Kurikulum dan Silabus Mata Pelajaran
2. Studi Bahasa Arab
3. Lingkungan Hidup Khas Santri
Bab IV: Penghargaan Agama Terhadap Pendidikan Umum
Bab ini meliputi:
1. Penolakan Teoritis Adanya Perbedaan antara Ilmu Agama dan Umum

55
Mukroji, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ...

2. Berbagai Penghargaan Positif Terhadap Pendidikan Umum


3. Beberapa Keberatan Terhadap Masuknya Pelajaran Umum
Metode dan Pendekatan
Metode yang digunakan oleh Karel A. Steenbrink dalam penelitian
ini menurut penulis adalah melalui tinjauan historis, yang banyak meng­
gambarkan psoses sejarah pendidikan yang ada di Indonesia semenjak
zaman Kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia. Metode
yang digunakan adalah penelusuran sejarah pendidikan, baik yang menyang­
kut masalah sejarah pesantren, madarsah, maupun sekolah yang ada di In­
donesia.
Dalam penelitian ini menurut penulis Karel mengalami sedikit kesulitan
dalam penelusuran data, khususnya data mengenai pesantren. Sedangkan
pendekatan yang dilakukan oleh Karel adalah pendekatan sosio-kultural
history, yaitu data yang telah ada diolah, dianalisa dan dibahas dalam pro­
blem yang diangkat melalaui pendekatan sosial, kultural dan sejarah, karena
penelitian ini menyangkut sejarah masa lalu yang menyangkut peran pribadi
maupun kelompok.
Kontribusi untuk Pengetahuan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karel A. Steenbrink sedikit banyak
telah menggugah kita akan pentingnya faktor sejarah dalam perjalanan
pendidikan Islam di Indonesia. Ternyata dari hasil penelitiannya banyak di­
temukan fakta-fakta sejarah yang sangat berarti bagi peningkatan dan pe­
ngembangan pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan Islam.
Penelitian ini juga menjadi wacana penting untuk menggugah para
sar­jana muslim melakukan riset atau penelitian baik pesantren, madrasah
maupun sekolah.
Kesimpulan
Dunia pendidikan sangatlah menarik untuk di kaji dan diteliti, baik pe­
santren, madrasah maupun sekolah. Indonesia kaya akan itu semua. Akan
tetapi mutu pendidikannya masih jauh dari harapan. Gerangan apakah yang
menjadikan mutu pendidikan Indonesia kurang? Ternyata kompleksitas
dunia pendidikan di Indonesia terutama pendidikan Islam menjadi komoditi
para peneliti luar Indonesia dibanding peneliti dari Indonesia. Mengapa hal
ini bisa terjadi? Menurut hemat penulis, karena kita para sarjana muslim In­

56
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2012

donesia telah dininabobokan oleh hasil penelitian orang luar. Dan juga ke­
seriusan kita yang masih sangat kurang untuk menggali potensi dan sumber-
sumber data yang ada yang bisa dijadikan sebagai obyek kajian, di samping
masalah dana yang sangat mahal untuk sebuah penelitian. Sehingga hasil
penelitiannya tidak maksimal, berbeda dengan hasil penelitian orang luar
In­donesia, karena ditopang oleh dana dan semangat yang membara, maka
ke­banyakan penelitian merekapun berhasil.
Dari uraian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa per­
ubahan yang berlangsung selama itu merupakan suatu proses penyesuaian
dari sistem asli Indonesia kepada sistem pendidikan Barat. Dan kebijaksanaan
kon­vergensi yang menjadi dasar dari proses tersebut nempaknya memang
bermaksud mengadakan sintesa antara sistem pendidikan pesantren dengan
pendidikan sekolah. [ ]

Endnotes
1
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1984) hlm. 18
2
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976)
hlm. 223
3
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Butche B. Soendjono, Pent.
(Jakarta: LP3ES, 2985) hlm. 16.
4
Zamakhsyari, Tradisi......hlm. 44
5
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah,
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2001), hlm. 59
6
Soegarda, Ensiklopedia.....hlm. 221
7
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pasal 1
8
Haidar, Historisitas..... hlm. 35
9
Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta, FIP IKIP,
1986), hlm. 142

DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari, 1984 Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES
Poerbakawatja, Soegarda, 1976 Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pasal 1
Sutari, Imam Barnadib, 1986 Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta,
FIP IKIP
Ziemek, Manfred, 1985 Pesantren dalam Perubahan Sosial, Butche B. Soedjono,
Pent. Jakarta: LP3ES

57

Anda mungkin juga menyukai