Anda di halaman 1dari 7

TUGAS INDIVIDU

PL 4201 TEORI PERENCANAAN

RELEVANSI KONSEP KOTA PASCA-PANDEMI COVID-19:


URBANISME 3.0 DI INDONESIA

Oleh:
Dinda Alshauma Dwi Harman 15417055

Dosen:
Dr. Ir. Heru Purboyo Hidayat P., DEA

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2021
Abstrak

Seperti wabah-wabah penyakit sebelumnya, pandemi COVID-19 juga berkontribusi terhadap


perkembangan bentuk perkotaan. Studi yang dilakukan Veaceslav (2020) mengusulkan gagasan
mengenai sebuah konsep kota yang dianggap mampu mengakomodasi berbagai bentuk perubahan
akibat pandemi COVID-19: Urbanisme 3.0. Konsep ini memungkinkan evolusi dan kemajuan kota
berdasarkan tiga pilar: budaya, teknologi hijau, dan teknologi pintar. Namun, konteks yang dijelaskan
dalam penelitian Veaceslav ialah apa yang terjadi di negara-negara maju di Eropa maupun Amerika
Serikat. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk merefleksikan relevansi konsep Urbanisme 3.0.
dengan kondisi eksisting di Indonesia. Metode yang digunakan ialah studi literatur dari berbagai
artikel, baik ilmiah maupun populer. Hasilnya, kondisi ketiga pilar tersebut di Indonesia masih belum
menjadi fokus utama saat ini. Diseminasi budaya di banyak kota Indonesia ketika masa pandemi
justru mengalami keterhambatan akibat kesenjangan sarana dan prasarana sehingga transformasi dari
institusi budaya masih sulit diakses oleh beberapa kelompok penduduk, terutama di daerah terpencil.
Perkembangan teknologi hijau sudah cukup mendapat perhatian, namun perkembangannya masih
perlu terus dipantau. Sementara itu, teknologi pintar nyatanya belum dimanfaatkan secara optimal
bagi kepentingan penanganan pandemi COVID-19 ini.

1. Pendahuluan
Sejak akhir tahun 2019, dunia mulai dikhawatirkan oleh kehadiran suatu wabah penyakit yang
penyebarannya sangat cepat. Kejadian ini mulai disadari keberadaannya oleh dunia ketika Pemerintah
China melaporkan adanya penyakit baru sejenis pneumonia di Kota Wuhan kepada pihak perwakilan
World Health Organization (WHO) di negaranya pada tanggal 31 Desember 2020 (WHO, 2020).
Beberapa minggu setelahnya, wabah tersebut mendapatkan perhatian penuh dari WHO untuk
diinvestigasi dan kemudian diumumkan sebagai jenis penyakit pandemi global akibat virus baru yang
diberi nama SARS n-Cov-19 dari varian Virus Corona. WHO pun mengumumkan status darurat
kesehatan masyarakat secara global pada tanggal 30 Januari 2020, dan menetapkannya sebagai
pandemi pada 11 Maret 2020.
Penyakit yang disebut dengan COVID-19 (Corona Virus Desease-19) ini menjalar ke seluruh
benua dan hampir setiap negara dalam kurun waktu yang singkat, hanya 1-2 bulan sejak pertama kali
ditemukan. Tingginya mobilitas masyarakat, didukung perkembangan sistem dan moda transportasi
saat ini yang mempermudah mobilitas tersebut, disinyalir menjadi faktor utama penyebaran COVID-
19 di seluruh belahan dunia. Berbagai peringatan disampaikan guna setiap negara melakukan langkah
yang serius untuk menghindari transmisi penyebaran virus ini, termasuk di Indonesia. Meskipun
awalnya terdapat banyak perdebatan terkait tiadanya kasus infeksi virus ini di Indonesia hingga
Februari 2020, namun perkembangan penyakit COVID-19 masih terus melaju mengkhawatirkan
setidaknya hingga tulisan ini dibuat sejak diumumkannya kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020.
Semenjak hari itu, pemerintah telah melakukan berbagai langkah serius dalam merespon
perkembangan penyebaran virus, mulai dari kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) hingga
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Skala Mikro (PPKM Mikro) yang pada dasarnya
menganjurkan pemusatan seluruh aktivitas di rumah masing-masing (physical distancing).
Pandemi ini tentu mengubah berbagai kebiasaan dan rutinitas masyarakat. Bahkan, perubahan
ini disinyalir bukan bersifat sementara melainkan berkelanjutan dan akan menjadi kebiasaan baru
peradaban. Secara global, terjadi penurunan secara drastis mobilitas masyarakat. Banyak pemenuhan
kebutuhan saat ini yang semulanya harus dilakukan secara langsung bertatap muka kemudian
bertransformasi menjadi virtual, seperti kebutuhan pekerjaan di kantor (work from home), sekolah
(school from home), bahkan kebutuhan rekreasi seperti konser (virtual concert). Selain itu, terdapat
pula perubahan kepedulian terhadap lingkungan dan kesehatan; kebiasaan mencuci tangan, sterilisasi
berbagai peralatan, juga aktivitas olahraga yang seakan-akan tiba-tiba menjamur.
Perubahan tersebut selaras dengan apa yang dituliskan oleh Veaceslav (2020) dalam
makalahnya, Post-Pandemic City: Historical Context for New Urban Design. Perubahan kebiasaan
tidak hanya terjadi ketika pandemi COVID-19 mencuat, melainkan sejak berabad-abad lalu ketika
terjadi epidemi maupun pandemi di permukaan bumi ini. Tiga diantaranya yang terdokumentasi
pertama kali adalah Antonie Plague pada 165-180 SM, Justinianic Plague pada 541–549 SM, dan
pandemi Black Death pada 1347–1351—yang menjadi pandemi terbesar dalam sejarah (Veaceslav,
2020). Berbagai wabah, epidemi, maupun pandemi terbukti telah mempengaruhi semua bidang
kehidupan, dari aspek ekonomi hingga budaya.
Secara khusus, fenomena ini pun berkontribusi terhadap pembangunan serta perkembangan
bentuk perkotaan. Berbagai bentuk wabah penyakit mengharuskan pemerintah kota untuk mengubah
bentuk kota: melakukan penyediaan air, membangun perumahan sewa yang relatif terjangkau dengan
sanitasi yang memadai, dan menata ulang ruang publik perkotaan (Veaceslav, 2020). Misalkan,
Spanish Flu yang merebak pada awal abad ke-20 mendorong perkembangan konstruksi perumahan
tipe baru. Standar baru dideklarasikan bagi setiap hunian: harus memiliki cukup sinar matahari, ruang
dan udara segar, dengan tetap memerhatikan estetika yang dileburkan dengan fungsi sehari-hari.
Investasi dikeluarkan negara guna mendukung pembangunan perumahan publik massal yang layak
untuk dapat dibeli atau disewa masyarakat. Pandemi COVID-19 pun diyakini akan mengubah kota
dengan cara yang sama: membangun kembali infrastrukturnya untuk meningkatkan kualitas hidup di
kota.
Dari studinya tersebut, Veaceslav mengusulkan gagasan mengenai sebuah konsep kota yang
komprehensif dan fleksibel dalam mengakomodasi berbagai bentuk perubahan akibat pandemi
COVID-19: Urbanisme 3.0. Konsep ini memungkinkan evolusi dan kemajuan kota berdasarkan tiga
pilar: budaya, teknologi hijau, dan teknologi pintar. Selain dibentuk sesuai dengan persyaratan baru
physical distancing untuk melindungi kesehatan masyarakat dari penyebaran virus, konsep ini juga
melindungi lingkungan serta memungkinkan untuk mengkonsolidasikan soft power (budaya,
teknologi) perkotaan untuk menciptakan citra kota yang positif. Hal ini diharapkan dapat mewujudkan
kehidupan yang berkualitas dari segala sudut pandang.
Namun, konteks yang dijelaskan dalam penelitian Veaceslav ialah apa yang terjadi di negara-
negara maju di Eropa maupun Amerika Serikat. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk
merefleksikan relevansi konsep Urbanisme 3.0. dengan kondisi eksisting di Indonesia. Metode yang
digunakan ialah studi literatur dari berbagai artikel, baik ilmiah maupun populer, dengan juga
mempertimbangkan diskusi yang telah terjadi di beberapa pertemuan kelas PL4201 Teori
Perencanaan.

2. Relevansi Konsep Kota Pasca-Pandemi COVID-19: Urbanisme 3.0 di Indonesia


Salah satu persoalan kota-kota masa kini, terutama yang relevan dalam konteks upaya
mencegah percepatan penyebaran epidemi di masa mendatang, ialah penyebaran penduduk yang tidak
merata. Dalam suatu kota atau wilayah, sangat mungkin terdapat daerah padat penduduk yang
bergengsi, daerah padat yang kumuh, juga beberapa daerah lainnya yang berpenduduk jarang—
umumnya terletak di pinggiran kota. Diskusi yang mengemuka sejak merebaknya pandemi COVID-
19 ialah pilihan pengembangan kota: apakah harus dirancang memadat (densification) atau memisah
(disaggregation)?
Pada tahun 1980-an, gagasan perkotaan yang muncul ialah bagaimana menciptakan kota-kota
kecil yang menerapkan konsep nol kilometer: bekerja di tempat Anda tinggal, tinggal di tempat Anda
bekerja. Bentuk kota seperti ini diharapkan dapat mendistribusikan penduduk secara merata dengan
cara membuat kota-kota ini sama menariknya antara satu dengan yang lainnya. Hal ini mungkin
serupa dengan teori pusat pelayanan yang digagas oleh Chistaller (1933). Beberapa waktu ke
belakang, gagasan tersebut juga relevan dengan apa yang dikenal sebagai kota kompak (compact city),
sebuah bentuk kota dengan metode mix-used guna mereduksi pergerakan penduduk.
Namun, merebaknya pandemi COVID-19 menyebabkan keraguan atas konsep tersebut.
Gagasan penurunan kepadatan kota, seperti perpindahan penduduk dari kota-kota besar ke pinggiran
kota atau desa, menjadi populer kembali. Terdapat beberapa alasan, salah satunya dikarenakan ruang
dari aktivitas esensial penduduk, seperti bekerja dan sekolah, tidak lagi berhubungan dengan waktu
tempuh dari transportasi yang digunakan. Penduduk dapat tinggal di bagian kota manapun, bahkan
kota yang berbeda, untuk bisa mengakses kebutuhan tersebut dengan cara virtual. Selain itu, bentuk
kota yang padat dikhawatirkan mempercepat penyebaran virus, termasuk virus penyebab COVID-19
ini, juga virus-virus lainnya yang mungkin saja menjadi wabah di masa mendatang.
Terdapat satu fenomena menarik yang ditemukan di Indonesia terkait dengan ‘ramalan’ tren
penurunan kepadatan kota ini. Meskipun tidak terjadi secara signifikan, namun Jokowi (2020)
menyebutkan telah terjadi perpindahan penduduk dari kota ke desa (ruralisasi) akibat COVID-19. Hal
ini bukan diakibatkan oleh dua penyebab yang disebutkan di paragraf sebelumnya, yang merupakan
privilese bagi kelompok sosial menengah ke atas, melainkan akibat krisis ekonomi yang cukup terasa
di perkotaan. Kelompok masyarakat menengah ke bawah yang tidak mampu bertahan terpaksa
kembali ke kampung halamannya. Pernyataan Presiden Indonesia ini diperkuat dengan data Badan
Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan kenaikan tenaga kerja pertanian, dari 36,7 juta jiwa menjadi
41,13 juta jiwa, pada Agustus 2020.
Richard Sennett (dalam Veaceslav, 2020) berpendapat bahwa situasi ini menciptakan sebuah
paradoks: kota yang lebih padat dinilai lebih hemat energi namun mempercepat penyebaran virus,
dam sebaliknya tren depopulasi kota dikhawatirkan dapat memicu konflik antara manusia dan
lingkungan. Oleh karena itu, konsep Urbanisme 3.0. mengembalikannya kepada sebuah prinsip:
membuat setiap kota sama menariknya untuk ditinggali dan juga mandiri dalam penghidupannya,
terlepas apakah harus dirancang memadat atau memisah. Kota-kota di era pasca pandemi harus
mampu bersaing memperebutkan penduduk, menyajikan rencana dan strategi untuk mencegah dan
menanggulangi bencana wabah di masa yang akan datang, dan pada saat yang sama harus menjaga
kualitas hidup yang baik di kota. Pendekatan yang ditawarkan Urbanisme 3.0. ialah kemajuan kota
berdasarkan tiga pilar: budaya, teknologi hijau, dan teknologi pintar.

2.1. Perubahan Sosial-Budaya Akibat Pandemi COVID-19 di Indonesia


Perkotaan pada dasarnya merupakan wujud dari pusat budaya yang dihasilkan dari tindakan
manusia di dalamnya. Dua aspek utama yang dibahas pada studi yang dilakukan Veaceslav adalah
pendidikan dan aktivitas rekreasi. Seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya, kegiatan
tersebut di Indonesia pun bertransformasi format menjadi online.
Akibat pandemi, kebijakan belajar dari rumah telah dilaksanakan di Indonesia oleh sekitar
28,6 juta siswa dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK di berbagai provinsi. Per 18 Maret 2020,
sebanyak 276 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia telah menerapkan kuliah online (bebas.
kompas.id, 31 Maret 2020 dalam Arifa, 2020). Namun, berbeda dengan apa yang ditunjukkan
Universitas Babes-Bolyai, Rumania, pembelajaran online sebagian besar institusi pendidikan di
Indonesia masih menghadapi begitu banyak tantangan. Hal ini terkait dengan kesiapan sumber daya
manusia, kurang jelasnya arahan pemerintah daerah, belum adanya kurikulum yang tepat di masa
pandemi, dan yang paling menjadi sorotan: ketimpangan ketersediaan sarana dan prasarana, terutama
dukungan teknologi dan jaringan internet. Oleh karena itu, tidak seluruh wilayah di Indonesia
menerapkan apa yang disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini. Beberapa wilayah yang termasuk
zona hijau-kuning COVID-19 (dianggap aman), yang biasanya jauh dari kota-kota besar, diberikan
kewenangan untuk tetap melaksanakan pembelajaran tatap muka.
Aktivitas rekreasi, terutama bagaimana akses terhadap institusi budaya seperti museum atau
objek wisata, juga mengalami perubahan. Keberlangsungan aktivitas di museum ketika masa pandemi
perlu mendapatkan perhatian karena memegang peranan penting dalam masyarakat: tidak hanya
melestarikan warisan budaya, namun juga menyediakan ruang literasi pendidikan, sejarah, dan seni
yang dapat melahirkan kreativitas (Trilestari, 2020). Beberapa strategi yang dilakukan Kemendikbud
untuk mempertahankan pameran museumdi masa pandemi: (1) melakukan efisiensi, (2) melakukan
review program dan aktivitas, (3) merancang jenis-jenis pameran online, dan (4) sinergi berbagai
instansi guna memperkuat keberadan museum. Pada dasarnya, yang dilakukan adalah digitalisasi
museum dengan menyelenggarakan virtual tour atau sejenisnya. Beberapa museum yang dapat
dikunjugi secara virtual adalah Museum Nasional, Museum Kebangkitan Nasional, Museum Sumpah
Pemuda, Museum Bank Indonesia, dan Museum Tekstil. Sayangnya, belum ditemukan data terkait
jumlah pengunjung virtual museum guna membandingkannya dengan kondisi sebelum pandemi.
Fenomena yang menarik akibat perubahan sosial-budaya ialah adanya perubahan tren bisnis
dalam penyewaan ruang. Jika dulu permintaan ruang meeting cukup mendominasi, maka tren saat ini
menunjukkan tingginya permintaan sewa ruangan untuk pemotretan/shooting/live streaming/tele-
conference. Hal ini menyiratkan kendati sebagian besar kegiatan beralih menjadi virtual, namun
penggunaan ruang untuk tatap muka akan masih terus dibutuhkan.
Budaya merupakan salah satu alat konsolidasi soft power yang memungkinkan pemerintah
daerah untuk mengelola dan mengembangkan kota dengan lebih efektif. Namun, dalam hal ini,
diseminasi budaya di banyak kota Indonesia ketika masa pandemi mengalami keterhambatan akibat
kesenjangan sarana dan prasarana. Institusi budaya yang sedikit-banyak bertransformasi ini akan sulit
diakses oleh penduduk di daerah terpencil, sehingga perlu dikembangkan kebijakan di tingkat negara
untuk meningkatkan mobilitas nilai-nilai budaya agar mampu menghadirkan berbagai produk budaya
dari institusi besar ke regional.

2.2. Perkembangan Smart and Green City di Indonesia


Menurut Veaceslav, Urbanisme 3.0. tidak mungkin diwujudkan tanpa menggunakan
teknologi cerdas dan ramah lingkungan. Jika berbicara soal smart city, seperti negara lainnya,
perkembangan ini juga telah ada di Indonesia sebelum merebaknya pandemi COVID-19. Smart city
merupakan konsep pengembangan kota yang mengedepankan implementasi teknologi guna
menyelesaikan masalah perkotaan. Implementasi teknologi yang dimaksud cukup mengarah pada
pemanfaatan Big Data dan Internet of Things (IoT). Terlepas apakah penyematan “smart city” pada
kota-kota di Indonesia sudah benar-benar mengimplementasikannya atau baru sebatas nama saja,
namun konsep ini sangat didorong perkembangannya semenjak terjadinya pandemi COVID-19.
Pada studi Veaceslav, disebutkan bahwa platform digital yang mampu mempertemukan
komunitas lokal untuk bersama-sama menyelesaikan masalah menjadi suatu kebutuhan akibat
pandemi. Ia mencontohkan perkembangan platform komunitas di media sosial untuk menciptakan
sharing-economy, pertukaran barang, atau berbagi minat. Selama lockdown, pendekatan ini juga akan
meredakan ketegangan psikologis karena akan membantu orang merasa terhubung dan terlibat dalam
menciptakan kebaikan bersama. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, Country Director
Facebook Indonesia, Pieter Lydian, mengatakan komunitas online semakin tumbuh di masa pandemi.
Peranan Facebook menjadi penting bagi komunitas dan pelaku bisnis UMKM di kondisi seperti ini.
Selain itu, jika kembali ke gagasan Plato mengenai kota ideal: Urbanism 3.0. akan
memberikan efisiensi energi, ramah lingkungan, kemampuan mengolah limbah, dan idealnya
menghasilkan makanan. Terdapat satu program kebijakan yang terkait dengan hal tersebut: Buruan
Sae di Kota Bandung. Buruan Sae merupakan program urban farming terintegrasi yang digalakkan
oleh Dinas Pangan dan Pertanian (DISPANGTAN) kota Bandung, yang ditujukan untuk
menanggulangi ketimpangan permasalahan pangan yang ada di kota Bandung melalui pemanfaatan
pekarangan atau lahan yang ada dengan berkebun untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga
sendiri. Program ini dibuat dalam rangka menindaklanjuti isu serius dalam ranah ketahanan pangan
kota akibat pandemi. Urban farming terintegrasi tidak hanya soal menanam atau memelihara
ternak/ikan, tetapi juga pengelolaan limbahnya.

2.3. Kondisi Smart City and Digital Totalitarianism di Indonesia


Pada studi Veaceslav, dipaparkan terkait penggunaan teknologi pintar untuk melakukan
tracing penyebaran virus, kontak individu yang terinfeksi, dan melacak individu yang dikarantina.
Namun, kondisi yang terjadi di Indonesia adalah minimnya penelusuran kontak individu yang
terinfeksi virus corona (bbc.com, 2021). Hal ini, bersama dengan minimnya tes, menjadi salah satu
faktor angka kasus COVID-19 masih tinggi di Indonesia. Merujuk analisis yang dilakukan BBC East
Asia Visual Journalism yang diolah dari data Kementerian Kesehatan, nilai korelasi antara kasus baru
harian dengan jumlah uji tes PCR setiap harinya berada di angka 0,89. Angka ini sebanding dengan
tingginya rasio pasien COVID-19 per jumlah uji tes PCR di Indonesia.
Rasanya hal ini bukan diakibatkan tingginya concern masyarakat terhadap privasi data
mereka, melainkan buruknya pengorganisasian yang dilakukan pemerintah. Dengan jumlah penduduk
yang banyak, mekanisme yang tersedia untuk memanfaatkan teknologi guna melakukan tracing
belum dioptimalkan. Penelusuran masih dilakukan secara konvensional, dimana petugas pelacak
menghubungi 20-30 orang dalam pelacakan kontak erat. Namun, dengan cara konvensional, tentu
target itu cukup sulit diraih. Menurut seorang petugas dalam wawancara BBC News Indonesia,
mereka bisa menghubungi paling banyak lima orang dalam satu kasus kotak erat.
Lambatnya tracing juga disebabkan stigma yang berkembang di masyarakat terkait COVID-
19. Sama seperti apa yang dijelaskan Veaceslav, ketidakpercayaan pada pihak berwenang dan sistem
perawatan kesehatan serta teori konspirasi bahwa virus tersebut sebenarnya tidak ada sangat
berpengaruh terhadap penanganan pandemi. Oleh karena itu, diperlukan metode pengumpulan data
serta analisis berbasis teknologi yang mampu harus membantu mencegah kejadian seperti itu.

3. Simpulan
Seperti wabah-wabah penyakit sebelumnya, pandemi COVID-19 juga berkontribusi terhadap
perkembangan bentuk perkotaan. Studi yang dilakukan Veaceslav (2020) mengusulkan gagasan
mengenai sebuah konsep kota yang dianggap mampu mengakomodasi berbagai bentuk perubahan
akibat pandemi COVID-19: Urbanisme 3.0. Konsep ini memungkinkan evolusi dan kemajuan kota
berdasarkan tiga pilar: budaya, teknologi hijau, dan teknologi pintar. Pandemi COVID-19 idealnya
mendorong kota untuk memberikan perhatian terhadap budaya, teknologi hijau, dan teknologi pintar
untuk menumbuhkan daya tarik kotanya setelah pandemi berlalu. Namun, nampaknya kondisi ketiga
pilar tersebut di Indonesia masih belum menjadi fokus utama saat ini. Diseminasi budaya di banyak
kota Indonesia ketika masa pandemi justru mengalami keterhambatan akibat kesenjangan sarana dan
prasarana sehingga transformasi dari institusi budaya masih sulit diakses oleh beberapa kelompok
penduduk, terutama di daerah terpencil. Perkembangan teknologi hijau sudah cukup mendapat
perhatian, namun perkembangannya masih perlu terus dipantau. Sementara itu, teknologi pintar
nyatanya belum dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan penanganan pandemi COVID-19 ini.

4. Daftar Pustaka
Arifa, Fieka Nurul. (2020). Tantangan Pelaksanaan Kebijakan Belajar dari Rumah dalam Masa
Darurat COVID-19. Info Singkat, 12(7): 13-18.
Aghnia, Adzkia. (2021, 1 Maret). COVID-19: Setahun Pandemi Virus Corona, Indonesia Belum
Aman Masih ‘Stadium Empat’. Diakses 5 Mei 2021 dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56238695
CNN Indonesia. (2021, 20 Januari). Tren Bisnis Baru Pandemi: Sewa Kantor Virtual Meningkat.
Diakses 5 Mei 2021 dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210119191251-206-
595840/tren-bisnis-baru-pandemi-sewa-kantor-virtual-meningkat
Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung. (2020). Buruan SAE. Diakses 10 Desember 2020 dari
https://buruansae.bandung.go.id/
Hajid, Silvano. (2021, 1 Maret). COVID-19: Kiprah Para Pelacak Kontak yang Terbelenggu Stigma.
Diakses 5 Mei 2021 dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56234842
Kumparan. (2020, 24 September). Jokowi: Pandemi Corona, Ada Perpindahan Penduduk dari Kota ke
Desa. Diakses pada 5 Mei 2021, dari https://kumparan.com/kumparannews/jokowi-pandemi-
corona-ada-perpindahan-penduduk-dari-kota-ke-desa-1uGGezFL1T0/full
Mir, Veaceslav. (2020). Post-Pandemic City: Historical Context for New Urban Design.
Transylvanian Review of Administrative Sciences (special issue): 94-108.
Setiawan, Andi. (2020, 13 Mei). Merancang Kota Pascapandemi. Diakses pada 5 Mei 2021, dari
https://www.solopos.com/merancang-kota-pascapandemi-1061017
Trilestari, Irna. (2020, 12 Oktober). Digitalisasi Museum: Pameran Museum di Masa Pandemi
COVID-19. Diakses pada 5 Mei 2021 dari
https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/assets_front/images/produk/1-gtk/materi/
Sesi_II_K5_Digitalisasi_Museum_(Pameran_Museum_di_Masa_Pandemi_Covid-19)_-
_Irna_Trilestari.pdf
WHO. (2020, 27 April). Archived: WHO Timeline–COVID-19. Diakses pada 5 Mei 2021, dari
https://www.who.int/news/item/27-04-2020-who-timeline---covid-19

Anda mungkin juga menyukai