Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Fraktur Femur dengan Gangguan

Mobilitas Fisik

2.1.1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses

keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-

masalah pasien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.

Menurut NANDA (2018) ada dua jenis pengkajian, yaitu pengkajian skrining dan

pengkajian mendalam. Keduanya membutuhkan pengumpulan data dan

mempunyai tujuan yang berbeda. Pengkajian Skrining adalah langkah awal

pengumpulan data yang paling mudah untuk diselesaikan. Pengkajian mendalam

lebih fokus pada pengumpulan data selanjutnya terjadi untuk memungkinkan

diagnosis akurat yang diidentifikasi dalam pengkajian skrining awal, dan untuk

mencari petunjuk tambahan mengenai pengetahuaan konsep keperawatan untuk

mengarahkan pengumpulan data (NANDA, 2018).

Pada tahap pengkajian mendalam, perawat menilai informasi yang

dihasilkan dari pengkajian skrining untuk menentukan apakah hal tersebut normal

atau abnormal, atau jika itu merupakan risiko (kerentanan) atau kekuatan. Hal-hal

yang dianggap normal, atau dipandang sebagai kerentanan seharusnya

dipertimbangkan dalam kaitannya dengan diagnosis yang berfokus-maslah atau

risiko. Jika beberapa data yang ditafsirkan sebagai abnormal, pengkajian lebih

mendalam sangat penting untuk mendiagnosis pasien secara akurat. Tujuan dari

6
7

pengkajian mendalam adalah untuk menghilangkan atau “mengesampingkan” satu

atau lebih dari diagnosis potensial yang sedang dipertimbangkan. Perawat akan

meninjau informasi yang diperoleh dan mencari perbandingan dengan apa yang

diketahui mengeni diagnosis. Diagnosis yang tidak didukung melalui kriteria

kriteria pengkajian yang diberikan oleh NANDA-I (karakteristik, faktor yang

berhubungan, atau faktor risiko) dan/atau yang tidak didukung oleh faktor-faktor

etiologi (penyebab atau contributor untuk diagnosis) tidak sesuai untuk pasien

(NANDA, 2018).

Pengkajian terdiri dari pengumpulan informasi subjektif dan objektif (mis.,

tanda vital, wawancara pasien/keluarga, pemeriksaan fisik) dan peninjauan

informasi riwayat pasien pada rekam medik. Perawat juga mengumpukan

informasi tentang kekuatan (untuk mengidentifikasi peluang promosi kesehatan)

dan risiko (area yang perawat dapat mencegah atau potensi masalah yang dapat

ditunda. Dasar dari diagnosis keperawatan adalah penalaran klinis. Penalaran

klinis diperlukan untuk membedakan yang normal dari data abnormal,

mengelompokkan data terkait, menyadari data yang kurang, mengidentifikasi data

yang tidak konsistensi, dan membuat kesimpulan (NANDA, 2018).

Pengkajian yang dilakukan pada pasien fraktur femur adalah pengkajian

yang terfokus pada kekuatan otot. Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai

kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal (external force)

maupun beban internal (internal force). Kekuatan otot sangat berhubungan

dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf

mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi. Kekuatan otot dapat dievaluasi


8

dengan cara meminta pasien untuk menggerakkan otot secara aktif melawan

gravitasi dan melawan tahanan yang diberikan pemeriksaan.

2.1.2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon

manusia terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik

yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan

untuk mengidentifikasi respon pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap

situasi yang berkaitan dengan kesehatan. Setiap diagnosis keperawatan memiliki

label dan definisi yang jelas. Hal ini penting untuk menyatakan bahwa jika hanya

memiliki label atau daftar label tidak mencukupi (NANDA, 2018).

Perawat perlu mengetahui “indikator diagnostik” data yang digunakan

untuk mendiagnosis dan untuk membedakan satu diagnosis dari yang lain.

Indikator diagnostik meliputi batasan karakteristik dan faktor yang berhubungan

atau faktor risiko. Batasan karakteristik adalah tanda/kesimpulan yang dapat

diamati yang dikelompokkan sebagai manifestasi dari diagnosis (mis., tanda atau

gejala). Faktor yang berhubungan merupakan komponen integral dari semua

diagnosis keperawatan yang berfokus masalah. Sebuah format umum yang

digunakan ketika menentukan diagnosis keperawatan mencakup ............ [diagnosa

keperawatan] ............ yang berhubungan dengan [faktor penyebab/yang

berhubungan] ............ yang dibuktikan dengan ............ [gejala/batasan

karakteristik] (NANDA, 2018).


9

Diagnosa yang difokuskan pada karya tulis ilmiah ini adalah gangguan

mobilitas fisik yaitu keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih

ekstermitas secara mandiri. Menurut PPNI (2016), diagnosis keperawatan dibagi

menjadi dua jenis, yaitu diagnosis negatif dan diagnosis positif. Diagnosa

gangguan mobilitas fisik termasuk ke dalam diagnosa negatif yang menunjukkan

bahwa pasien dalam kondisi sakit sehingga penegakan diagnosis ini akan

mengarahkan pemberian intervensi keperawatan yang bersifat penyembuhan,

pemulihan, dan pencegahan. Diagnosis ini tergolong kedalam jenis diagnosis

aktual dengan formulasi masalah berhubungan dengan penyebab dibuktikan

dengan tanda/gejala yang dapat ditemukan dan divalidasi pada pasien.

Gangguan Mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal

dan gangguan neuromuskular ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan

ekstreminitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, nyeri saat

bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak, sendi kaku,

gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah (PPNI, 2016).

2.1.3. Intervensi

Diagnosis keperawatan digunakan untuk mengidentifikasi hasil yang

diharapkan dari perawatan dan merencanakan tindakan keperawatan yang spesifik

secara berurutan. Kriteria hasil keperawatan mengacu pada perilaku yang terukur

atau persepsi yang ditunjukkan oleh seseorang individu, keluarga, kelompok, atau

komunitas. Nursing Outcome Classification (NOC) adalah suatu sistem yang

dapat digunakan untuk emmilih ukuran hasil yang berhubungan dengan diagnosis

keperawatan.
10

Intervensi keperawatan didefinisikan sebagai “berbagai perawatan,

berdasarkan penilaian klinis dan pengetahuan, yang dilakukan oleh seorang

perawat untuk meningkatkan hasil pasien. Nursing Intrventions Classification

(NIC) adalah sebuah taksonomi tindakan komprehensif berbasis bukti yang akan

perawat lakukan.

Tujuan dan kriteria hasil untuk masalah gangguan mobilitas fisik mengacu

pada Nursing Outcome Clacifikation (NOC) menurut Moorhead, Johnson, Maas,

& Swanson (2013) adalah sebagai berikut

Tabel 2.1 Rencana Keperawatan


Diagnosa Rencana Keperawatan
Gangguan Mobilitas fisik Tujuan dan Kriteria Intervensi
berhubungan dengan Hasil
gangguan muskuloskeletal Setelah dilakukan asuhan NIC label :
ditandai dengan mengeluh keperawatan selama ... x Terapi latihan : Ambulasi
sulit menggerakkan 24 jam diharapkan 1. Bantu pasien untuk
ekstreminitas, kekuatan gangguan mobilitas fisik menggunakan alas kaki yang
otot menurun, rentang berkurang dengan : memfasilitasi pasien untuk
gerak (ROM) menurun, NOC : berjalan dan mencegah cedera
nyeri saat bergerak, a. Ambulasi 2. Sediakan tempat tidur
enggan melakukan Kriteria hasil : berketinggian rendah yang sesuai
pergerakan, merasa cemas 1. Pasien mampu 3. Terapkan/sediakan alat bantu
saat bergerak, sendi kaku, meningkat dalam (tongkat, walker, atau kursi roda)
gerakan tidak aktivitas secara untuk ambulasi, jika pasien tidak
terkoordinasi, gerakan bertahap stabil
terbatas, dan fisik lemah 2. Pasien 4. Monitor penggunaan kruk pasien
menunjukkan atau alat bantu berjalan lainnya
peningkatan 5. Konsultasikan pada ahli terapi
kemampuan fisik mengenai rencana ambulasi,
(mis.berjalan sesuai kebutuhan
perlahan)
b. Mobilitas Sendi Terapi Latihan : Mobilitas Sendi
Kriteria hasil : 1. Monitor tanda-tanda vital, suhu,
1. Keseimbangan tekanan darah, denyut nadi, dan
pasien tidak respirasi sebelum/sesudah
terganggu latihan dan lihat respon pasien
2. Gerakan otot tidak saat latihan
terganggu 2. Jelaskan pada pasien dan
keluarga manfaat dan tujuan
melakukan latihan sendi
3. Lindungi pasien dari trauma
selama latihan
4. Bantu psien mendapatkan posisi
tubuh yang optimal untuk
11

pergerakan sendi pasif maupun


aktif
5. Lakukan latihan ROM pasif
atau ROM aktif sesuai indikasi
6. Intruksikan pasien/keluarga cara
melakukan latihan ROM pasif,
ROM dengan bantuan ROM
aktif
7. Kolaborasi dengan ahli terapi
fisik dalam mengembangkan
dan menetapkan sebuah
program latihan
8. Monitor respon individu
terhadap program latihan
Sumber : NIC-NOC, 2016

Intervensi Keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh

perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai

luaran (outcome) yang diharapkan menurut PPNI (2018) dalam SIKI (Standar

Intervensi Keperawatan Indonesia) disebut sebagai inti dari suatu proses

keperawatan karena intervensi adalah keputusan awal yang memberikan arah bagi

setiap tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan kepada pasien

mencakup bagaimana, kapan dan siapa yang akan melakukan tindakan. Tujuan

dalam tahap perencanaan diantaranya sebagai alat komunikasi perawat dan tim

kesehatan lainnya, meningkatkan kesinambungan asuhan keperawatan, serta

dokumentasi proses dan kriteria hasil asuhan keperawatan yang ingin dicapai.

Unsur terpenting dalam tahap perencanaan ini adalah membuat prioritas diagnosa

keperawatan, merumuskan tujuan, merumuskan kriteria evaluasi, dan

merumuskan intervensi keperawatan.


12

Tujuan dan kriteria hasil untuk masalah gangguan mobilitas fisik menurut
PPNI (2018) adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Rencana Keperawatan
Diagnosa Rencana Keperawatan
Gangguan Mobilitas Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
fisik berhubungan (SLKI) (SIKI)
dengan gangguan Setelah diberikan intervensi Itervensi Utama
muskuloskeletal selama 3 x 24 jam, maka Dukungan ambulasi
dibuktikan dengan Mobilitas Fisik Meningkat, 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
mengeluh sulit dengan kriteria hasil : fisik lainnya saat melakukan
menggerakkan a. Kemampuan pergerakan
ekstreminitas, menggerakkan 2. Monitor kondisi umum selama
kekuatan otot ektreminitas meningkat melakukan ambulasi
menurun, rentang b. Kekuatan otot 3. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan
gerak (ROM) meningkat alat bantu (mis. Tongkat, kruk)
menurun, nyeri saat c. Rentang gerak (ROM) 4. Ajarkan ambulasi sederhana yang
bergerak, enggan meningkat harus dilakukan (mis. Berjalan dari
melakukan d. Nyeri berkurang tempat tidur ke kursi roda, berjalan
pergerakan, merasa e. Keinginan melakukan dari tempat tidur ke kamar mandi,
cemas saat bergerak, pergerakan meningkat berjalan sesuai toleransi.
sendi kaku, gerakan f. Cemas berkurang 5. Anjurkan melakukan ambulasi dini.
tidak terkoordinasi, g. Gerakan terkoordinasi 6. Libatkan keluarga untuk membantu
gerakan terbatas, dan h. Pergerakan meningkat pasien dalam meningkatkan ambulasi.
fisik lemah i. Kekuatan fisik
meningkat Dukungan Mobilisasi
1. Identifikasi adanya nyeriatau keluhan
fisik lainnya saat melakukan
pergerakan
2. Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
3. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)
4. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. Berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda, berjalan
dari tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi.
5. Anjurkan melakukan ambulasi dini.
6. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi.

Intervensi Pendukung
a. Dukungan kepatuhan program
pengobatan
b. Edukasi latihan fisik
c. Edukasi teknik ambulasi
Sumber : Tim Pokja SDKI SLKI SIKI DPP PPNI, 2016 ; 2018
13

2.1.4. Implementasi

Pelaksananaan keperawatan adalah bagian keempat dari suatu proses

keperawatan setelah merumuskan intervensi dari asuhan keperawatan.

Pelaksanaan keperawatan yaitu bagian dari proses keperawatan dimana setiap

tindakan yang dilakukan untuk mengetahui sejauhmana tujuan dan hasil yang

diperkirakan dalam asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter &

Perry, 2013). Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana

asuhan keperawatan guna membantu pasien mencapai tujuan yang telah

ditetapkan (Asmadi, 2013).

Intervensi keperawatan yang sudah direncanakan berdasarkan Nursing

Interventions Classification (NIC) dilaksanakan pada tahap implementasi

keperawatan. Menurut Asmadi (2013), dalam melakukan implementasi

keperawatan terdapat 3 jenis implementasi keperawatan, yaitu :

a. Independent Implementations adalah suatu tindakan yang dilakukan secara

mandiri oleh perawat tanpa petunjuk dari tenaga kesehatan lainnya.

Independent implementations ini bertujuan untuk membantu pasien dalam

mengatasi masalahnya sesuai dengan kebutuhan pasien itu sendiri, seperti

contoh : pada pasien fraktur femur perawat bisa membantu activity daily

living (ADL), memberikan perawatan diri, menciptakan lingkungan aman,

nyaman, dan bersih untuk pasien, memberikan dorongan motivasi, membantu

dalam pemenuhan psiko-sosio-spiritual dan membuat dokumentasi.

b. Interdependent /Collaborative Implementations adalah tindakan perawat yang

dilakukan berdasarkan kerjasama dengan tim kesehatan lain. Contohnya :


14

pemberian obat maupun dalam pemberian terapi, harus berkolaborasi dengan

dokter dan apoteker untuk dosis, waktu, jenis obat, ketepatatan cara,

ketepatan pasien, efek samping dan respon pasien setelah diberikan obat.

c. Dependen Implementations adalah pelaksanaan rencana tindakan

medis/instruksi dari tenaga medis lain seperti ahli gizi, psikolog, dan pada

pasien fraktur femur dibutuhkan latihan fisik sesuai dengan anjuran bagian

fisioterapi.

Pada pasien fraktur femur diterapkan implementasi berupa latihan rentang

gerak (ROM) yang dilakukan secara mandiri atas persetujuan profesi lain (dokter

dan fisioterapi). Latihan rentang gerak ini memiliki tujuan untuk mempertahankan

atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang

sirkulasi darah, mencegah kelainan pembentukan tulang.

Implementasi pada pasien fraktur femur akan didokumentasikan dalam

Catatan Perkembangan Terintegrasi (CPPT) yang berisikan kemajuan dari pasien

pada tiap masalah yaitu gangguan mobilitas fisik yang telah dilakukan tindakan

oleh perawat. Dalam pendokumentasian tindakan pada catatan integrasi dokter

akan menuliskan hasil kunjungan setelah menilai kondisi pasien menggunakan

SOAP. Hasil evaluasi tersebut dapat dilihat oleh perawat maupun tenaga

kesehatan lain untuk berkomunikasi dalam memberikan perawatan pada pasien.


15

2.1.5. Evaluasi

Evaluasi dari proses keperawatan adalah mengukur respon pasien terhadap

tindakan keperawatan serta kemajuan pasien kearah pencapaian tujuan yang telah

ditentukan (Potter & Perry, 2013). Evaluasi adalah tahap akhir dari proses

keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara

hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencananaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan

pasien dengan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan

tercapainya tujuan dan kriteria hasil, pasien bisa keluar dari siklus proses

keperawatan. Jika sebaliknya, pasien akan masuk kembali ke dalam siklus

tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment) (Asmadi, 2013).

Evaluasi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi

sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas asuhan keperawatan yang

dilakukan segera setelah perawat memberikan implementasi sesuai intervensi.

Agar langsung bisa menilai keefektifan tindakan keperawatan yang sudah

dilakukan. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah

semua tindakan keperawatan yang direncanakan selesai dilakukan (Dermawan,

2012).
16

Menurut Asmadi (2013), ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait

dengan pencapaian tujuan keperawatan.

a) Tujuan tercapai, jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan

standar yang telah ditentukan

b) Tujuan tercapai sebagian atau pasien masih dalam proses pencapaian

tujuan, jika pasien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria

yang telah ditetapkan.

c) Tujuan tidak tercapai, jika pasien hanya menunjukkan sedikit

perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul

masalah baru.

Untuk menentukan masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi

adalah dengan cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan kriteria hasil

yang ditetapkan. Format evaluasi menggunakan :

a. S (Subjek) merupakan informasi berupa ungkapan yang didapat dari

pasien setelah tindakan diberikan.

b. O (Objektif) merupakan informasi yang di dapat berupa hasil

pengamatan, penilaian, pengukuran, yang dilakukan oleh perawat

setelah tindakan dilakukan.

c. A (Analisa) adalah hasil dari perbandingan antara informasi subjektif

dan objektif dengan kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi

sebagian, atau tidak teratasi.

d. P (Rencana asuhan) merupakan rencana keperawatan lanjutan yang

akan dilakukan berdasarkan hasil analisa. Diambil kesimpulan berupa


17

rencana diteruskan, dimodifikasi, dibatalkan ada masalah baru, dan

selesai (tujuan tercapai)

Evaluasi mengacu pada tujuan dan kriteria hasil. Pada format evaluasi juga

terdapat identitas yang juga harus diisi oleh perawat, seperti : nama, nomor kamar,

nomor register, umur, identitas, tanggal dan waktu, paraf, dan nama jelas

(Dermawan, 2012).

2.2 Konsep Dasar Gangguan Mobilitas Fisik pada Pasien Fraktur Femur

2.2.1. Definisi

a. Definisi Fraktur Femur

Fraktur femur merupakan diskontinuitas atau hilangnya struktur dari

tulang femur yang disebabkan oleh trauma atau benturan langsung maupun tidak

langsung (Potter & Perry, 2013). Menurut Price & Wilson (2014) fraktur femur

adalah terputusnya kontinuitas tulang paha yang bersifat total maupun parsial

yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, dan keterbatasan gerak.

Fraktur Femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur

femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya

kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) dan

fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha

(Zairin Noor, 2016).

Berdasarkan definisi diatas, fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas

tulang paha yang disebabkan oleh trauma mengakibatkan keterbatasan gerak.


18

b. Definisi Gangguan Mobilitas Fisik

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) Gangguan Mobilitas Fisik

adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara

mandiri.

2.2.2. Etiologi Gangguan Mobilitas Fisik pada Fraktur Femur

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), penyebab dari gangguan

mobilitas fisik adalah sebagai berikut :

Gangguan Mobilitas fisik merupakan kondisi yang relatif dialami pasien

pada fraktur femur. Pasien tidak hanya kehilangan kemampuan geraknya secara

total tetapi juga mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normal yang

dilakukan (Ernawati, 2012). Gangguan mobilitas yang terjadi pada pasien fraktur

femur disebabkan karena terjadi trauma pada sistem muskuloskeletal yang

menyebabkan gangguan pada otot dan skeletal. Pemecahan protein secara terus-

menerus pada otot akan mengakibatkan kehilangan masa tubuh dibagian otot

sehingga masa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan

kelelahan. Tidak dilatihnya masa otot akan menyebabkan penurunan kekuatan

otot yang memicu adanya atrofi sehingga pasien yang mengalami tirah baring

akan beresiko mengalami kontraktur akibat tidak adanya pergerakan pada sendi.

Keabnormalan yang terjadi pada jaringan di sekitar tulang yang disebabkan oleh

trauma pada sistem muskuloskeletal dapat menimbulkan gangguan mobilitas fisik

(Price & Wilson, 2014).


19

Menurut Potter & Perry (2013), penyebab gangguan mobilitas fisik adalah

gangguan neuromuskular akibat trauma muskuloskeletal biasanya dipengaruhi

oleh beberapa keadaan tertentu yang mengganggu pergerakan tubuh seseorang

yaitu :

1. Gangguan Muskular, menurunnya masa otot sebagai dampak imobilitas dapat

menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya fungsi

kapasitas otot ditandai dengan menurunnya stabilitas. Akibat pemecahan

protein pasien mengalami kehilangan massa tubuh yang membentuk sebagian

otot, maka penurunan massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas

tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot menurun akibat metabolisme dan

tidak digunakan. Gangguan mobilitas fisik berlanjut dan otot tidak dilatih,

maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan yang bisa

menyebabkan atropi yang merupakan suatu keadaan yang dipandang secara

luas sebagai respon terhadap penyakit dan penurunan aktivitas sehari-hari,

seperti pada respon gangguan mobilitas fisik.

2. Gangguan skeletal, yang menyebabkan dua perubahan terhadap skeletal yaitu

gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Gangguan mobilitas fisik

berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat

dan terjadi osteoporosis yang beresiko terjadinya fraktur patologis.


20

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Mobilitas Fisik pada Fraktur Femur

Menurut Price & Wilson (2014), faktor yang mempengaruhi mobilitas fisik

adalah sebagai berikut :

a) Proses penyakit dan injuri

Fraktur femur yang terjadi pada ekstreminitas bawah akan mempengaruhi

mobilitas. Pasien akan kesulitan untuk melakukan mobilisasi secara bebas

dan rentang pergerakan terbatas.

b) Penurunan fungsi muskuloskeletal yaitu otot-otot (atrofi, distrofi, atau

cedera), tulang (fraktur, infeksi)

c) Perubahan fungsi neurologis yaitu trauma, penyakit vaskular (mis. Stroke),

penyakit degeneratif

d) Nyeri, penyebabnya multiple dan bervariasi seperti penyakit kronis dan

trauma

e) Berkurangnya kemampuan kognitif berikut ini :

1. Gangguan proses kognitif seperti demensia berat, jatuh

2. Efek fisik : cedera atau fraktur

3. Efek psikologis : sindrom setelah jatuh

f) Tingkat Energi

Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi. Untuk melakukan

mobilisasi dibutuhkan energi yang cukup.


21

2.2.4. Patofisiologi Fraktur Femur dengan Gangguan Mobilitas Fisik

Fraktur femur disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Trauma yang tiba-

tiba mengenai tulang paha dengan kekuatan besar akan mengakibatkan tulang

tidak mampu menahan akibatnya terjadi deformitas dan hilangnya fungsi pada

sendi (Zairin Noor, 2016). Pasien tidak saja kehilangan kemampuan geraknya

secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya

(Ernawati, 2012).

Trauma pada sistem muskuloskeletal akan menyebabkan gangguan pada

otot dan skeletal. Pengaruh otot terjadi akibat pemecahan protein secara terus-

menerus sehingga otot akan mengalami kehilangan massa tubuh. Penurunan masa

otot akan mengakibatkan otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa

peningkatan kelelahan. Masa otot bisa semakin menurun akibat tidak dilatih

sehingga menyebabkan atrofi. Pasien yang mengalami atrofi akan mengalami

tirah baring karena ketidakmampuan melakukan pergerakan. Jika tirah baring

terus-menerus terjadi maka pasien beresiko mengalami kontraktur karena tidak

adanya pergerakan pada sendi. Perubahan jaringan sekitar tulang yang terjadi

akibat trauma pada sistem muskuloskeletal akan bermanifestasi merubah fungsi

eksteminitas yang dapat menimbulkan gangguan mobilitas fisik (Price & Wilson,

2014). Fraktur terbuka atau tertutup jika mengenai serabut saraf dan tulang akan

menyebabkan terjadi revral vaskuler yang berpengaruh pada neurovaskuler

sehingga menyebabkan nyeri gerak dan mobilitas terganggu.

Pada fraktur femur, sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi

disekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang dan mengalami
22

kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur yang

mengakibatkan gangguan fungsi organ distal (warna jaringan pucat, nadi lemah,

cianosis, kesemutan). Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi

menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat yang mengalami fraktur.

Aktivitas osteoblast terangsang dan membentuk tulang baru imatur yang disebut

callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling

untuk membentuk tulang sejati (Brunner & Suddarth, 2015).

2.2.5. Tanda dan Gejala Gangguan Mobilitas Fisik

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) tanda dan gejala yang

mungkin muncul pada diagnosa keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik sebagai

berikut :

a) Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

1. Mengeluh sulit menggerakkan ekstreminitas

Objektif

1. Kekuatan otot menurun

Kekuatan otot merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi

dan mengahasilkan gaya. Pada gangguan muskuloskeletal salah satunya

pada fraktur akan terjadi penurunan kekutan otot. Akibat pemecahan

protein, pasien fraktur akan mengalami kehilangan massa tubuh, yang

membentuk sebagian otot. Kekuatan otot menurun akibat metabolisme

dan tidak digunakan karena pada pasien fraktur akan mengalami

kesulitan dalam pergerakan (Sjamsuhidayat, 2011).


23

Pada pasien fraktur femur kekuatan berderajat 0 atau dalam

presentasi kekuatan ialah 0%, jika tidak timbul kontraksi otot dalam

usaha untuk mengadakan gerakan. Jika terdapat sedikit kontraksi, maka

derajatnya ialah 1 (= 10%). Apabila terjadi hanya jika gaya tarik bumi

tereliminasi, maka derajat kekuatan otot adalah 2 (= 25%). Derajat tenaga

otot 3 (= 50%) apabila gerakan melawan gaya tarik bumi dapat dilakukan

secara penuh namun tanpa penahan. Bila dengan penahan sedang,

gerakan masih dapat dilakukan, maka derajat kekuatan otot ialah 4 (=

75%). Apabila gerakan melawan gaya tarik bumi dan dengan penahanan

penuh masih dapat dilakukan, maka kekuatan otot tersebut berderajat 5

(= 100%) (Hoppenfeld, 2011).

2. Rentang gerak (ROM) menurun

Rentang gerak (ROM) merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

secara bebas, teratur untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat menuju

kemandirian baik dilakukan sendiri maupun dibantu orang lain. Pada

pasien fraktur femur kemampuan pasien menggerakkan ekstreminitas

atau sendi menghilang. Pergerakan cenderung dilakukan perlahan dan

lembut untuk menghindari nyeri.

b) Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

1. Nyeri saat bergerak

2. Enggan melakukan pergerakan

3. Merasa cemas saat bergerak


24

Objektif

1. Sendi kaku

Sendi kaku sangat mungkin timbul pada sendi yang tidak digerakkan atau

imobilisasi dalam waktu yang lama. Penyebabnya antara lain karena

terjadi kontraktur atau pemendekan jaringan lunak disekitar sendi seperti

otot dan selubung sendi (Sjamsuhidayat, 2011).

2. Gerakan tidak terkoordinasi

3. Gerakan terbatas

4. Fisik lemah

2.2.5. Dampak Gangguan Mobilitas Fisik

Pada pasien fraktur program pengobatan yang diterapkan berupa

pemasangan traksi, mengharuskan bedrest (immobilisasi) yang bertujuan agar

proses penyembuhan terjadi secara sempurna dan meminimalkan resiko terjadinya

cacat. Keadaan ini mengakibatkan pasien tidak dapat melakukan aktivitas fisik

guna memenuhi kebutuhan dasarnya selama menjalani program terapi yang

diterapkan. Meskipun dari aspek medik tindakan tersebut tergolong

menguntungkan tetapi dalam jangka panjang akan berdampak buruk pada pasien

karena akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi intelektual, emosional,

sosial serta fisik (Hoppenfeld, 2011).

Masalah yang sering muncul pada pasien dengan fraktur adalah gangguan

mobilitas fisik. Menurut Oktasari (2013), Immobilisasi yang lama karena fraktur

akan merangsang atrofi otot skletal terutama ekstremitas yang menyebabkan

menurunnya kekuatan otot sampai 5,5% perhari. Hasil penelitian Purwanti (2013),
25

mendapatkan bahwa sebagian besar kekuatan otot pasien post operasi fraktur

sebelum diberi latihan ROM aktif adalah skala kekuatan otot 0 atau tidak ada

kontraksi otot sebanyak 16 orang (53,3%).

Anda mungkin juga menyukai