Anda di halaman 1dari 4

Insomnia Overthinking

Oleh: Tomy

Hari ini, kelas terasa begitu membosankan. Diisi oleh pelajaran-pelajaran eksak. Belum lagi guru-guru
yang mengajar seperti meninggalkan kesan yang angker bagi siswanya. Bagiku, tidak ada pelajaran
yang lebih menyenangkan dari pada Bahasa Indonesia. Aku sangat senang membuat karangan puisi
juga cerita-cerita pendek. Ibu Indri adalah guru favorit ku. Selain cantik, ia juga sering membaca serta
memberi masukan-masukan untuk tulisan ku. Belakangan, Ibu Indri jarang datang ke sekolah lantaran
sedang hamil tua. Aku sedikit sedih, karena dari sekian banyak guru di sekolah, sepertinya hanya Bu
Indri yang paling mengerti tentang kesukaan ku dalam membuat tulisan. Tiga minggu lagi aku akan
ikut serta dalam lomba cipta puisi yang diinisiasi oleh salah satu penulis ternama di Kota ku. Hadiahnya
cukup besar. Ya, mungkin karena disponsori oleh beberapa perusahaan ternama. Belum lagi juri yang
dilibatkan adalah orang-orang yang sangat berpengalaman, bahkan beberapa di antara juri tersebut
merupakan penulis favorit Bu Indri. Aku sadar betul, bukan kemenangan yang aku cari di perlombaan
itu. Memang, aku cukup sering mengikuti lomba cipta puisi yang diselenggarakan di sekolah-sekolah
di kota ku, namun perlombaan kali ini seperti sangat berbeda bagi ku. Beda kelas! Biarpun begitu, aku
tetap sangat antusias mengikuti perlombaan. Pengalaman adalah prioritasku saat ini, aku rasa begitu.
Beberapa puisi yang sudah aku buat seperti tidak cocok untuk diikutsertakan dalam perlombaan. Ada
perasaan semacam kegelisahan yang aku sendiri pun tidak tau apa(?). Beberapa kali aku coba
menghubungi Bu Indri untuk menceritakan kegelisahan ku, tetapi sepertinya nomor yang ku dapat
dari petugas TU sekolah, sulit sekali dihubungi. Ya sudah, lah. Aku pun sebenernya tidak mau
mengganggu Bu Indri, tidak enak, sedang hamil tua soalnya.

Kegelisahan ku berlanjut, hampir tiap malam aku menjadi sulit untuk tidur. Mira, salah satu teman
sekelas ku bilang, “Wah, itu namanya insomnia overthingking, Bel.”. Mira juga memberi saran agar
aku menginstal aplikasi semacam random chat untuk sekadar menemani ku dikala sulit tidur. Setelah
mencoba beberapa aplikasi serupa, sepertinya aku menemukan salah satu yang cocok. TikTalk nama
aplikasinya. Suatu malam, aku chit-chat dengan salah satu pengguna, gaya obrolannya cukup
menyenangkan. Dalam benakku, sepertinya dia sosok yang cukup dewasa, terlihat dari topik obrolan
yang sering digiringnya, tidak seperti anak seusia ku. Aku mengenalnya dengan nama Abdul.
Perbincangan kami berlanjut lewat WhatsApp setelah aku tahu, bahwa Abdul memiliki hobi yang
sama, yaitu menulis. Abdul mengaku, beberapa karyanya sempat memenangkan berbagai festival dan
lomba puisi di tingkat Nasional. Dia mengirimi ku beberapa karyanya. Aku sangat terkesan dengan
puisi-puisi romansa buatannya. Begitu menyentuh hati. Seperti, senyam-senyum sendiri ketika
membacanya. Abdul sering memberikan masukan terhadap karya-karya ku. Aku senang, seolah ada
seperti sosok pengganti sementara guru favorit ku, Bu Indri. Abdul sangat mendukung hobi ku.
Motivasi-motivasi yang diberikan, seperti membuat ku semakin semangat untuk menekuni hobi ku
itu. Tidak jarang, kami membahas tentang mimpi-mimpi masa depan di sela-sela perbincangan. Ia
menyarankan ku untuk berkuliah di Universitas tempat ia menuntut ilmu sekarang. Dia bilang, Fakultas
Sastra di sana bagus. Aku jadi tahu sekarang, ternyata Abdul anak kuliahan. Kecurigaan ku tentang
sosok Abdul yang dewasa ternya benar, toh(?).

Malam ini, lewat pesan singkat, Abdul bilang ingin mengajak ku untuk bertemu. Katanya, dia sedang
mengerjakan naskah drama untuk pementasan salah satu UKM di kampusnya. Dia butuh ke luar untuk
mencari inspirasi. Dia pun menyarankan aku untuk melakukan hal yang sama. Iya, aku sudah
menceritakan tentang niat keikutsertaan ku dalam perlombaan cipta puisi itu. Aku sedikit cemas,
lantaran ini baru pertama kalinya aku bertemu dengan orang asing yang notabene ku temukan di
dunia virtual. Tapi kenyataannya, aku pun cukup penasaran dengan sosok Abdul. Mungkin, di
kehidupan nyata ku yang monoton, aku sulit bisa bergaul dengan orang seperti dia. Sedikit canggung
dan polos, ahirnya aku membalas pesan singkat Abdul,

“Boleh, deh. Tapi kan aku ga tau muka kamu.”

“Tenang saja, Bel. Nanti kan bisa saling berkabar kalo sudah sampe tempat. Apa perlu saya
kirim foto dulu? Haha..” Balas nya dengan sedikit meledek.

Ahirnya, kami pun sepakat membuat janji untuk bertemu. Aku begitu penasaran dengan sosok Abdul.

Aku tiba di kedai kopi rekomendasi Abdul sekitar Pukul 3.50 sore. Sepuluh menit lebih awal dari waktu
yang telah kami tentukan sebelumnya. Kebetulan kedainya dekat dengan sekolah ku. Kehawatiran ku
perlahan memudar, karena linkungan ini bukanlah lingkungan yang asing bagi ku. Aku dan teman-
teman juga cukup sering ke sini, bahkan salah satu barista di kedai itu sudah mengenal ku. Aku tidak
perlu hawatir atau takut “diapa-apakan” oleh Abdul. Haha, dasar cewe polos. Satu-satunya
kehawatiran ku yaitu takut kedapatan oleh guru, karena aku masih mengenakan seragam sekolah.
Seperti kurang elok saja, menurutku. Memakai seragam sekolah di tempat umum, terlebih di kedai
kopi. Sekitat Pukul 4.05 Abdul menelepon ku lewat WhatsApp.

“Halo, Bel! Sudah di tempat, kah? Saya baru sampe, nih.” Ujarnya.

“Iya, aku udah di dalem, hmm… meja yang deket kasir.” Jawab ku dengan sedikit gugup.

“Oh, di dalem ga boleh ngerokok, ya? Mending di luar aja, enak nih mataharinya bagus.”
Ajaknya, balik.

“Hmm, kamu yang pake baju apa?” Tanya ku sambil melihat ke arah luar, memperhatikan
orang- orang yang duduk.

“Saya yang pake kemeja biru, ni yang berdiri. Keliatan ga?” Jelasnya, sambil melambaikan
tangan.

Aku hanya terdiam seraya mengakhiri panggilan WhatsApp itu. Aku terduduk, tertegun. Mengumpati
diri sendiri di dalam hati. Betapa bodoh dan polosnya aku yang mau begitu saja bertemu dengan orang
yang bahkan wajahnya pun tidak pernah ku ketahui sebelumnya. Anak tolol! Anak Bego! Najis.. najis..!
Bego.. bego.. bego!!! Abdul melakukan panggilan ulang berkali-kali, aku lihat gelagatnya sedikit cemas.
Aku sudah tidak ada daya atau mungkin jijik untuk mengangkat panggilan itu. Pria yang mengaku
“anak kuliahan” itu, ternyata sosok yang jauh lebih dewasa seperti anggapan ku selama ini. Aku tidak
bisa membayangkan berbincang di kedai kopi, memakai seragam sekolah, dengan orang asing, yang
usianya mungkin sudah 35, 37, 40(?) Entah, lah. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku malah merasa dia
lebih pantas ku panggil dengan panggilan “Om”. Aku meninggalkan kedai itu seperti orang yang diam-
diam menyelinap pergi karena tidak mau bayar bill makanannya. Sepintas aku melihat wajah Abdul
saat melangkah pergi, wajahnya seperti kesal sambil mengutak-atik handphone-nya. Malam setelah
peristiwa itu, aku hapus aplikasi TikTalk keparat serta ku block nomor orang sialan, penipu gila itu.
Lomba cipta puisi tinggal seminggu lagi, tetapi aku seperti hilang gairah, sibuk merenungkan
kebodohan ku sendiri.
Hari ini, aku dan Mira berniat jajan seblak di kantin langganan kami. Aku cukup dekat dengan Mira,
meskipun banyak teman yang bilang, Mira adalah “anak nakal”. Bagi ku, Mira adalah sosok yang
periang, apa adanya. Aku suka dengan cara dia bergaul. Aku banyak belajar dari dia tentang cara
menjadi pribadi yang “asik”.

“Bel, lo masih suka insomnia overthinking ga, kalo malem?” Tanya-nya tiba-tiba.

“Hah? Hmm, iya sih, kadang-kadang.” Jawabku agak ragu.

“Eh, lo inget ga yang waktu itu gue saranin untuk install aplikasi random chat itu?”

“I.. iya, kenapa?” Balas ku dengan nada yang sangat kikuk.

“Lo udah install belom? Gue dapet Om-om bego tau, Bel.” Ucapnya dengan mata yang sedikit
terbelalak.

“Hah? Om-om bego gimana maksudnya?”

Seketika, aku ingat dengan Abdul sialan. Ternyata memang banyak Om-om mesum di dunia virtual.

“Iya, Om-om nya tuh sering ngirimin gue GoPay gitu, padahal gue cuma dengerin dia curhat
soal istrinya aja tiap malem. Kadang-kadang gue manfaatin, lah. Gue suka ngarang cerita aja butuh
biaya sekolah atau beli buku. Dia langsung ngirimin GoPay gitu, Bel.” Jelasnya dengan wajah
sumringah.

“Duh, lo ga aneh-aneh kan Mir?” Tanyaku sedikit tegas.

“Ya, engga lah. Pernah dia ngajak ketemuan tapi ga jadi, soalnya waktu itu gue takut kalo ga
ada temen. Tapi dia sempet ngirimin foto selfie-nya, jadi gue kirim balik foro selfie gue, karena dia
minta. Udah gitu doang, sih. Oh, iya.. sama, dia juga pernah minta user IG gue, ya gue kasih aja.”
Jelasnya, dengan nada berusaha meyakinkan.

“Ah, gila lo Mir. Udah deh ga usah aneh-aneh. Iya sekarang ga apa-apa, nanti kalo ke
depannya kenapa-napa, gimana?”

“Ih, engga lah, gue juga tau batasan, kali. Lagian Om-om nya juga ga tua-tua banget, lumayan
lah. Nih, kayanya gue masih nyimpen foto selfie-nya.” Ucapnya dengan sedikit membantah seraya
memperlihatkan foto pria yang dimaksud.

Aku terdiam. Abdul brengsek itu ternyata memang benar-benar gila. Wajah itu, persis dengan wajah
Abdul yang sempat aku lihat di kedai kopi. Wajah-wajah mesum sialan. Tak sampai hati aku
membiarkan Mira jika kelak dimanfaatkan untuk hal yang tidak-tidak. Aku yakin betul pria itu punya
niat buruk, pria mesum. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk itu? Aku ceritakan semua kejadian yang
aku alami kepada Mira, berharap agar Mira sadar bahwa berbuatan yang dilakukan tidak baik dan
mungkin saja akan merugikan dia di kemudian hari.

Aku dan Mira semakin akrab setelah kejadian itu. Belakangan, kami menyibukkan diri dengan
mengurus blog yang kami buat sendiri. Aku meng-upload tulisan-tulisan ku di situ, Mira yang gemar
membuat kolase juga cukup produktif menuangkan karya-karyanya di blog tersebut. Pak Heru, wali
kelas kami yang mengetahui blog tersebut memanggil kami ke ruangannya ketika jam istirahat. Pak
Heru bilang bahwa besok lusa, ketika jam pulang sekolah, sebagian perwakilan guru dan dan murid
akan ke rumah Bu Indri untuk menjenguk dan memberikan ucapan selamat atas kelahiran putrinya.
Aku dan Mira diharapkan memberikan buah tangan. Iya, apa lagi kalu bukan karya kami(?). Lantas,
Mira segera mencetak kolase buatannya di kertas glossy lalu membingkainya, aku menulis sebuah
puisi untuk Bu Indri yang kemudian disisipkan dalam amplop cantik. Kami mengemasnya menjadi satu,
dibungkus kertas kado dengan corak bunga-bunga lengkap dengan pitanya.

“Assalamu’alaikum…” Ucap Pak Heru seraya mengetuk pintu rumah Bu Indri.

Terdengar suara orang melangkah dari dalam, diiringi jawaban salam yang sayup-sayup.

“Wa’alaikumussalam…” Pintu terbuka.

Betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok pria yang membuka pintu itu. Adbul sialan! Apa?! Ini
beneran? Ketika aku hendak menoleh kepada Mira, ia pun melakukan hal yang sama. Kami tertegun,
saling menatap satu sama lain, cukup lama. Sementara, tidak ada kecanggungan sedikitpun yang
terlihat dari raut wajah Abdul ketika ia menatap Mira. Entah karena memang sudah lupa bahwa
mereka pernah bertukar foto selfie, atau apa(?). Tetapi Mira begitu kentara menunjukkan wajah yang
kikuk, entah karena malu atau merasa bersalah(?). Pria yang ku kenal dengan nama Abdul itu ternyata
adalah suami Ibu Indri. Tidak ada yang aneh ketika aku melihat gelagatnya, seperti kepala rumah
tangga pada umumnya. Terlihat sangay menyayangi istri dan anaknya. Guru-guru dan siswa lain
terlihat sumringah berbincang-bincang dengan Ibu Indri dan Pak Herman -nama asli Abdul yang
akhirnya ku ketahui di pertemuan itu. Aku dan Mira tidak banyak berbicara. Kami hanya memberikan
buah tangan dan ucapan selamat kepada Bu Indri. Bu Indri sempat menanyakan keikutsertaanku
perihal lomba cipta puisi itu, tetapi aku hanya membalasnya dengan senyuman dan gelengan kepala.

Pertemuan di hari itu sepertinya menjadi salah satu peristiwa penting di hidup ku. Bukan hanya karena
Abdul, tetapi itulah hari terahir aku bertemu dengan guru favorit ku, Bu Indri. Setelah hari itu, Bu Indri
tidak pernah lagi datang ke sekolah. Berbulan-bulan aku selalu menanti kehadirannya, sebelum
akhirnya aku mendengar desas-desus bahwa Bu Indri sudah pindah tempat tinggal ke kota lain nan
jauh tempatnya, lantaran menanggung malu akibat ulah suaminya. Iya, suaminya yang berprofesi
sebagai dokter itu terkena pidana akibat ulahnya sendiri. Ia terlibat kasus perdagangan dan
transplantasi organ ilegal. Sungguh keji!

Anda mungkin juga menyukai