Anda di halaman 1dari 7

Gelarku Untuk Tanganmu

Kring..kring……
Alarmku berbunyi, aku segera beranjak dan waktu itu Jarum jam yang panjang
tepat berada di angka 12 dan jarum yang pendek ada di angka 4. Ku duduki kursi
belajarku. Waktu mengendalikan semua gerakan manusia. Aku selalu penasaran
bagaiman jika dunia manusia sama seperti kecepatan gerakan di dunia hewan seperti
dalam film epic manusia daun yang ku tonton waktu aku duduk di kelas 3 SMP,
mungkin sepeda motor dan kendaraan lainnya sudah tidak dibutuhkan lagi oleh
manusia. Aku juga penasaran tentang bagaimana pengaruh luar angkasa terhadap
pertumbuhan fisik manusia, kan ada tu orang yang ke luar angkasa trus pas balik lagi ke
bumi wajahnya tidak se-tua dengan teman sebayanya yang hidup di bumi. Ya seperti
itulah kehidupan dan seluruh jagat raya, kadang-kadang ada yang tidak dimengerti oleh
manusia dan tidak bisa dipecahkan oleh orang-orang jenius, yang pastinya Tuhan
memegang semua rahasia besar itu. Teori Eisten sang kebanggaanku tentang Teori
Relativitas, di situ aku selalu penasaran tentang bagaimana sudut pandang tiap orang
tentang berjalannya waktu. Berbicara soal waktu, aku termasuk orang yang suka
menyibukkan diriku, entah kenapa aku tidak ingin berada di sela waktu yang terasa
lama. Karena pikiranku s’lalu melayang ke hal-hal yang menyakitkan. Ya, rasa sakit 3
tahun yang lalu yang aku jalani hingga sekarang dengan caraku melewati waktu-waktu
itu dengan susah payah.
Gi, aku harus ke Amerika besok, maaf ya tiba2, ada sesuatu yang aku gak bisa
jelasin, pokoknya tunggu aku 2 tahun lag pas ulang tahun kamu, aku akan
datang lagi, kita ketemu di tempat biasa, semoga kamu sehat s’lalu, ingat
belajar dan jaga kesehatan ya, God bless u and I will always love u Gi..
gabriel
Dengan pesan beberapa kalimat itu, kamu tau? Serasa aku hanya bisa diam
waktu itu, seperti apa ya? Kayak nyesek banget, kayak gak bisa nangis dan gak bisa
buat gak nangis, Ya Tuhan, dengan enaknya dia ngomong seperti itu. Untuk kesekian
kalinya kuteteskan lagi air mataku hari ini, ya saat jarum panjang telah berada di hampir
angka 5 dan jarum pendek tidak jauh dari jarum panjang itu, saat pikiranku kembali
melayang ke masa sebelumnya. “Egi, ini diminum.” Tiba-tiba suara Papa muncul dan
membangunkan aku dari ribuan pikiran menjengkelkan itu. “Kok kamu nangis?” Tanya
Papa saat melihat air mataku sambil menaruh segelas susu coklat di meja belajarku. “ini
Pa, mataku kayaknya ada yang salah, tiba-tiba suka keluar air mata.” Aku terpaksa
bohong sama Papa, ya iyalah malu-maluin banget aku nangis karena cowok. “kalo
matanya sakit, habis dari kegiatanmu kita coba cek aja.” Kata Papa dengan sedikit
mengerutkan dahinya, Nampak sedikit raut wajah khawatir, ya jelas sekali itu di wajah
Papa. Maaf ya Pa, Egi terpaksa bohong. Jujur kawan, aku sebenarnya lebih dekat sama
Papa ketimbang sama mama. Walaupun aku adalah mahasiswa semester 8, dihadapan
Papa aku seperti putri kecil yang masih ingin terus bermain bersama orangtua,
terkadang di waktu senggang, aku sama Papa bercandaan sampe kadang harus berlari
keliling deretan pot bunga di depan rumahku, malah kadang aku suka menarik rambut
Papa trus dengan wajah yang aneh Papa mengikuti arah tanganku yang sedang menarik
rambutnya,hahaha.. Papaku sering dibilang kurang bahagia masa kecil sama mamaku.
Oya! Namaku Egi, lengkapnya Egi Lestari Widoyo, jurusan Fisika prodi S1 pendidikan
fisika, latar belakang aku mengambil fisika yaitu aku sangat suka dengan pelajarannya,
karena fisika itu meliputi keseharian hidup manusia dari hal yang paling sederhana
sampai hal luar biasa. Doa’in ya skripsiku cepet kelarnya,wekaweka :D Today… aku
akan pergi ke Bogor, aku disuruh dosenku mewakili jurusan untuk mengikuti Traning
Jurnalistik, ya kebetulan karena aku suka juga menulis makanya aku disuruh ke sana, ya
sudah ku iyakan karena sekalian menghibur diri dari penatnya skripsiku,hehe..
Akhirnya sampai juga di tempat dataran tinggi ini, Ya Bogor, aku ingat sekali
udara di sini waktu terakhir kali aku sama Gabriel ke sini untuk study tour, Ya Tuhan
aku masih ingat kata-katanya waktu itu “Gi, maaf ya kalo kamu gak pernah bahagia
sama aku, yang pasti aku sayang banget sama kamu, aku akan berusaha masuk FK
(Fakultas Kedokteran) demi kamu, jadi bantu aku ya, bantu semangatin aku ya Gi,hehe”
Aku ingat sekali dia omongin itu trus matanya ngeliatin mataku, ya ampun tatapan itu
Aku gak pernah lupa, gara-gara Aku dilihatin terus, Aku melemparinya dengan ranting
kecil yang waktu itu tepat ada di kakiku. “apa si liatinnya sampe segitunya? Hahaha”
kami ketawa, “haha, dasar pesek.” Dia mencubit hidungku. Banyak kata-katanya yang
Aku suka, Aku suka duduk berlama-lama sama dia, Aku suka belajar Fisika bareng dia,
atau belajar bahasa inggris yang paling kubenci tapi kalo belajar bareng dia itu ya gak
tau asik aja, oya aku juga suka saat dia jelasin matematika, karena raut mukanya kalo
lagi serius benar-benar keren, dan saatnya dia lagi serius mecahin soalnya kucubit
pipinya “Iyel, jangan terlalu serius wajahnya”, dan setelah itu dia ketawa, Oh gosh
ketawanya bikin aku gak pengen cepat-cepat selesai belajar. Dia pernah tanyain “kamu
mau hadiah apa buat Valentine?” atau “Cewek suka apa si? Kalo kamu sukanya apa?
Makan malam romantis itu gimana ya Gi?”ya begitulah Gabriel, suka melontarkan
pertanyaan yang menurutku terlalu polos. Orang yang dulu benar-benar buat Aku
bahagia dan semangat tiap hari untuk ke sekolah, yang bikin Aku semangat buat belajar.
Dan tiba-tiba dengan pesan singkat yang kuterima bulan September 3 tahun lalu, dia
sudah tidak pernah muncul dihadapanku, sedikit pun, aku benci dia, selesai.
“Hey Gi, kamu udah dari tadi ya?” tiba-tiba Tita datang dan menyambarku
dengan tangannya yang dirangkul ke leherku, sudah seperti biasa anak ini datang dan
mengagetkanku, ya kampusnya juga ikutan buat kegiatan ini dan dia yang mewakili,
aku kenal dia semenjak SMA, kita sering ikut kegiatan atau lomba Menulis bareng.
“emm.. kangen aku.” Ku peluk dia. Akhirnya setelah menyimpan barang-barang kami
di kamar penginapan, kami segera ke tempat acara, melewati 5 kamar penginapan lain
dan terowongan sekitar 10 meter panjangnya, yup sampailah ke tempat acara, dan di situ
sudah banyak peserta lain. Aku mencoba mencari tempat kosong and I found, tempat
deretan kursi paling belakang, aku dan Tita duduk. “Egi, sumpah itu bukannya
Gabriel?” Tita menunjukkan ku ke arah deretan kursi ke-5 dari depan yang mana
deretannya itu di sebelah kami. Aku berusaha melihatnya dengan sedikit menyipitkan
mataku, dan Oh Tuhan itu beneran dia, di situ aku diam dan menepuk pelan dahiku, ku
keluarkan nafasku yang beberapa detik tertahan, tanganku lemas banget, aku bingung
harus bersekspresi apa, “Gi, kamu gak apa2 kan?” Tita memegang erat tanganku “Tita,
aku ke belakang bentar.” Aku berdiri dari kursiku dan berusaha bisa berjalan yang
walaupun saat itu kakiku gemetaran. Belum sempat kulangkahkan kakiku.. “ayo mbak
yang berdiri di kursi belakang, bisa ke depan sebentar?” si pemateri memanggilku untuk
ke depan, aku hanya diam, “Gi kamu harus berani, ke depan sekarang, kalo kamu
menghindar dari dia, makin kelihatan kamu lemah, ayo ke depan aja Gi.” Tita berusaha
meyakinkan aku buat maju, ku tarik nafasku pelan-pelan dan dengan percaya diri ku
langkahkan kakiku ke depan. Ku lihat semua mata sedang melihat ke arahku, dan aku
berhasil melewati dia, aku benar-benar berusaha menyembunyikan rasa gugupku
dengan tersenyum kecil saat berjalan. Sesampainya aku di depan, aku berusaha tidak
melihat ke arahnya. 10 menit sudah aku di depan, dan aku belum melihat jelas wajahnya
dari arah depan yang walaupun dia pasti sudah melihatku. Dan semua berjalan lancar,
aku kembali ke tempatku dan seolah-olah tak ada sesuatu yang aneh. Ya Tuhan
bagaimana ini, aku tak kuat lihat dia, rasanya dadaku sesak, aku ingin menangis, iya
menangis sekarang, tapi bukan itu yang pantas ku lakukan. Aku masuk ke kamar dan
Tita datang “Egi ayo makan.” Tita mengajakku makan, aku hanya diam dan tak
menjawab, “Gi, lo jangan kayak anak kecil, nyikapin dewasa aja.” Tita mencoba
menghiburku dengan nasihatnya yang bagiku gak ada efek sama sekali. “Tita, mending
kamu makan gih, aku lagi pengen sendiri.” Dan Tita pergi meninggalkanku di kamar.
Belum 5 menit berlalu, pintu kamarku diketuk lagi, aku berusaha bangun dan membuka
pintu. Dan kamu tahu siapa itu? Itu Gabriel, sekitar 60 derajat kubuka pintunya dan
reflex langsung ku tutup segera sekalian dikunci. “Gi, tolong buka pintunya, aku tahu
kamu pasti benci banget sama aku, aku mohon banget tolong dibuka, banyak yang
pengen aku bilang.” Dia mengetuk-ngetuk pintunya. Aku kembali ke tempat tidur dan
ku tutup telingaku dengan bantal seukuran 45*30 cm. Dia nyebut namaku kayak itu
buat aku makin sakit.
Waktu acara malamnya,tepat jam 10 malam, aku berusaha keluar kamar untuk
mengadakan perayaan penutup. Aku berjalan sambil menggandeng tangan Tita, aku
hanya diam, cukup menghemat suara dengan sikapku yang suka ngomong banyak. Baru
saja aku ingin duduk, tangan kiriku ditarik dari belakang, saat kupalingkan wajahku,
ternyata itu Gabriel lagi, “apaan si?” aku berusaha melepaskan tanganku dari tangannya,
“ikut aku bentar.” Dia tetap memegang tanganku, “aku gak mau, kamu gak ada hak buat
nyuru2 aku ya, lepasin ah! Tita!” aku melihat Tita dan memohon bantuan. “Tita, aku
mohon sama kamu, sekali ini aja dia sama aku dulu, aku mohon.” Gabriel melihat Tita,
dan Tita hanya diam tanpa merespon, “ada apa ini Gabriel?” Tanya seorang bapak
petugas pelatihan jurnalistik, “Pak, saya ijin bentar ya, ada urusan.” Gabriel menepuk
punggung bapaknya seakan memberi kode. Disitu aku hanya diam, berusaha agar aku
tetap terlihat biasa saja, yang walaupun hatiku sangat tak karuan. Dia membawaku
keluar gedung dan menuju ke taman yang dekat dengan pintu gerbang utama dan kami
menduduki bangku berhadapan, dia tepat di depanku. Dia melepaskan tanganku, Aku
hanya diam, tak ada satu kata pun yang bisa ku lontarkan.
“Gi” dia memanggilku pelan. Aku tetap diam, “Egi, aku gak tau harus mulai ngomong
dari mana, yang pasti saat aku lihat kamu pertama kalinya lagi di tempat ini, rasanya
aku bersyukur sama Tuhan, akhirnya aku bisa lihat kamu lagi.” Dia bangun dari tempat
duduknya dan duduk jongkok di depanku dan tangannya di lututku, “Gi, lihat aku dong.
Aku nyari2 kamu setahun lalu, kamu gak ada, katanya kamu pindah tapi gak ada yang
tau kamu pindah ke mana. Sekarang kita udah ketemu kamu malah kayak gini.” Dia
diam lagi, “aku kangen sama kamu.” Dengar dia omong kata itu aku langsung lihat ke
dia dan berdiri dihadapannya, dia juga berdiri, “apa kamu bilang? kamu tau selama 3
tahun ini aku berusaha hidup normal yang walaupun aku juga gak sanggup, kamu jahat,
tega kamu Gabriel, ngilang gitu aja dengan pesan singkatmu itu, dan gak ngabarin aku
sama sekali, aku telfon2 nomormu udah gak aktif, aku coba nyari kabarmu juga gak ada
yang jelas, dan sekarang kamu muncul trus ngomong itu semua, dan 2 tahun setelah itu
aku pergi buat ketemu kamu, aku berharap aku betul-betul lihat kamu di tempat itu, tapi
saat aku tiba di tempat itu, kamu malah pergi dan jalan terburu-buru sambil megang
tangan cewek itu.” Aku melap air mataku dan berusaha untuk diam. “aku gak tau
ternyata udah sejauh ini yang kamu pikirin tentang aku, maaf Gi soal waktu itu, aku
pergi waktu itu karena ada urusan yang benar2 gak bisa aku tinggali, dan cewek itu
bukan siapa2 aku, dia Cuma teman kuliahku di Amerika Gi, banyak yang pengen aku
cerita ke kamu.” Aku Cuma diam dan air mataku sungguh sudah tidak bisa ditahan lagi,
“Gi jangan nangis, sungguh aku benar2 benci sama diriku ini Gi, aku udah janji gak
bakal buat kamu nangis, dengan 3 tahun berlalu ini, aku benar2 jadi orang pengecut buat
kamu. Aduh gimana ya” dia duduk dan menopang kepalanya. “satu yang perlu kamu tau
Gi, selama 9 bulan kita pacaran, kamu benar-benar buat aku tahu kalo aku punya tujuan
dalam hidup yang harus aku kejar, berproses dengan kamu walaupun Cuma 9 bulan aku
gak peduli kata orang itu bukan waktu yang lama buat pacaran, tapi aku nyaman
berproses sama kamu, karena semua proses itu aku masih bisa bertahan sampai hari ini,
Aku selalu percaya sama kata-katamu, kalau kita di dunia ini tidak sendiri, Tuhan slalu
kasih orang-orang buat jadi sandaran saat terjatuh sekali pun, dengan usaha dan terus
semangat itu jadi modal kamu buat bangkit lagi bersama tangan Tuhan, aku bahagia
Tuhan pertemukan aku sama kamu dan aku bisa kenal kamu, belajar bareng sama kamu,
dan karena kamu juga Gi, aku bisa menutupi semua masalah terberatku, senang Gi bisa
kenal kamu.” Aku hanya bisa diam di tempat dudukku dan pipiku sudah sangat basah
dengan air mata yang terus mengalir. “aku minta maaf banget, bikin kamu nangis terus,
Gi jangan nangis dong. Oke kamu harus tetap duduk dan diam, aku mohon 3 menit
kamu diam dan gak boleh ngomong satu katapun”, dia duduk di depanku. Aku terus
diam, dia mengambil sapu tangan dari jaketnya dan melap air mataku, ku biarkan saja
karena tak ada yang bisa ku lakukan, sungguh aku bingung. “sekarang biar semuanya
jelas” dia mengeluarkan sebuah kertas lipatan,“kamu bisa baca sendiri.” Dia
memberikan surat itu padaku.
“Gabriel Papa minta maaf, maaf kalo Papa banyak menuntut kamu, maaf kalo Papa
kadang suka mengatur hidup kamu, tapi yang pasti nak itu Papa lakukan biar kamu
bisa jadi lebih baik dari Papa, maaf Papa udah nyuru kamu buat benar2 mutusin
hubungan sama Egi, Papa tau kamu sayang sama dia, Papa tau juga kamu sering ingat
sama gadis itu dan sampe pernah nangis larut malam waktu jagain Papa di Rumah
Sakit karena Gadis itu benar-benar gak pernah kamu lihat lagi. Maksud Papa seperti
itu biar kamu konsen sama sekolahmu dulu, Papa khawatir dengan kondisi Papa yang
sakit seperti ini Papa gak bisa bimbing kamu sampe sukses, makanya Papa keras
selama ini, ayo buktikan janjimu nak, kalo kamu bakal raih cita-citamu dan jemput
gadis itu dan kenalkan sama Papa dan Mama. Makasih buat usaha Gabriel selama ini.
Papa dan Mama selalu sayang Gabriel.”
“Itu surat dari Papa, se-jam sebelum Papa diambil Tuhan, Papa kasih aku ini.” Dia
menarik nafasnya, “Gi, 3 tahun lalu itu, aku pergi tiba-tiba dan gak ngasih kabar setelah
itu, karena aku sama keluargaku mutusin buat pindah ke sana dan konsen buat
penyembuhan jantung Papa, dan aku harus ikut keputusan orangtuaku, tapi satu yang
aku minta sama Papa, kalo aku berhasil raih cita-cita itu aku bakal kembali sama kamu
dan 2 tahun lalu aku datang ke tempat itu dan tiba-tiba pergi sama seorang cewek,
karena waktu itu kondisi Papa udah kritis, cewek itu teman kuliahku di Amerika, jadi
hari itu juga aku langsung berangkat lagi ke Amerika.” Gabriel tetap melihatku, disitu
aku coba untuk bicara, “Iyel, aku minta maaf, aku udah egois, aku gak tau kejadiannya
kayak itu, aku gak bisa omong banyak, yang pasti aku minta maaf banget sama kamu.”
Dia mengacak-ngacak rambutku “gak apa-apa, semua udah terjadi, kamu gak salah Gi”,
dia mengeluarkan sesuatu lagi, “ini buat kamu”, Dia memberikanku secarik kertas yang
di kertas itu bertuliskan Gabriel Putra Pratama,S.Ked” ternyata dia adalah lulusan
kedokteran, “ya ampun Iyel kamu..?” dia memegang tanganku “Gelarku untuk
tanganmu, Gi.” Aku hanya bisa menangis di situ, you are the best Iyel. TAMAT.
Nama Saya adalah Aurelia Astria L. Jewaru, biasa dipanggil Astrid.
Ya, Astrid itu dari nama lengkap saya Astria, biar gaul jadinya Astrid. Saya mahasiswa
semester 4 jurusan Fisika di Universitas Negeri Malang. Satu kepercayaan saya,
Teruslah bermimpi dan mengejarnya, karena mimpi bukan untuk ditiduri. Thanks for
reading 

Anda mungkin juga menyukai