GENETIK BEBERAPA KULTIVAR TANAMAN MANGGA
BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER MIKROSATELIT
Agus Zainudin1), Maftuchah1), Chaireni Martasari2), Tri Joko Santoso3)
1)
Pusat Pengembangan Bioteknologi, Universitas Muhammadiyah Malang.
Jl. Raya Tlogomas 246‐Malang. e‐mail:aguszainudinumm@gmail.com
2)
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Sub‐Tropika Tlekung Batu.
3)
4)
Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik, Bogor.
ABSTRAK
Plasma nutfah tanaman mangga cukup besar dan diperkirakan terdapat 292
kultivar mangga di Indonesia. Kebun koleksi plasma nutfah tanaman mangga di
desa Cukurgondang‐Pasuruan memiliki koleksi tanaman mangga sejumlah 282
klon dan 208 varietas. Program pemuliaan tanaman sangat membutuhkan
informasi tentang keragaman genetik plasma nutfah, akan tetapi saat ini belum
banyak informasi mengenai keragaman genetik kultivar mangga secara
molekuler. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi keragaman genetik
kultivar mangga (Manalagi 69, Golek 31, Arumanis 143, Saigon 119, Sala‐250,
Madu Anggur 141, Sophia 243, dan Alphonso 315) dengan menggunakan
penanda molekuler mikrosatelit DNA. Analisis PCR dilakukan dengan
menggunakan 10 pasang primer mikrosatelit spesifik pada tanaman mangga.
Hasil PCR menunjukkan kesepuluh primer tersebut dapat mengamplifikasi DNA
kultivar mangga. Pola pita yang diperoleh dari hasil PCR 8 kultivar mangga
menggunakan penanda mikrosatelit dengan kesepuluh primer tersebut berkisar
antara 2 sampai 9 pita dengan ukuran pita antara 72–1353 kb. Berdasarkan
analisis klaster menggunakan program NTSYS diperoleh dua kelompok utama.
Kelompok pertama terdiri dari kultivar Sophia dan Golek (koefisien 0,59),
kelompok kedua terdiri dari kultivar Arumanis, Madu Anggur, Alphonso, Saigon,
Manalagi, dan Sala (koefisien 0,54). Kelompok kedua terdiri dari 3 sub kelompok
yaitu kelompok Manalagi dan Sala (koefisien 0,61); kelompok Alphonso dan
Saigon (koefisien 0,68); kelompok gabungan Alphonso‐Saigon dan Madu Anggur
(koefisien 0,61). Kedua kelompok utama tersebut menunjukkan kekerabatan
dengan koefisien 0,53.
Kongres Ketiga Komisi Daerah Sumber Daya Genetik
Hotel Singgasana, Surabaya – tanggal 3‐5 Agustus 2010
1
PENDAHULUAN
Berdasarkan laporan FAO tahun 2004 Indonesia termasuk lima besar
negara penghasil mangga, tetapi ekspornya paling rendah. Meskipun ekspor
komoditas ini naik terus tiap tahun, tetapi proporsinya belum memadai jika
dikaitkan dengan perkembangan panen buah mangga. Artinya produksi masih
lebih besar untuk mencukupi konsumsi dalam negeri yang baru mencapai 60,9%
dari rekomendasi FAO sebesar 65,75 kg/kapita/tahun. Luas panen juga
berkembang cepat dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2004. pada tahun 2004
luas panen 185.773 ha dengan produksi 1.437.665 ton. Pada masa mendatang,
agribisnis mangga diperkirakan akan tetap mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menunjang tumbuhnya sektor perekonomian, terutama dalam
menciptakan lapangan kerja, peluang pasar dan peningkatan devisa negara
(BPTP Jatim, 2006).
Plasma nutfah mangga di Indonesia cukup besar dan diperkirakan terdapat
292 kultivar mangga di Indonesia, 111 kutivar di Malaysia, 393 kultivar di Filipina
dan Thailand 294 kultivar (Coronel, 1996). Kebun percobaan dan koleksi plasma
nutfah tanaman mangga di desa Cukurgondang, Kecamatan Grati, Kabupaten
Pasuruan ‐ Jawa Timur memiliki lahan seluas 13,02 ha dengan koleksi tanaman
mangga sejumlah 282 klon dan 208 varietas. Mengingat potensinya yang cukup
besar, Direktorat Budidaya Tanaman Buah telah menetapkan pada tahun 2010
diharapkan luas panen mangga mencapai 291.246 ha dengan tingkat
produktivitas 10,6 ton/ha dan tercapainya kuota ekspor sebesar 64.000 ton
(BPTP Jatim, 2006). Meskipun hasil analisis data selama tahun 2000‐2004
diperoleh bahwa komoditas unggulan buah‐buahan yaitu mangga, pisang dan
nangka, jambu biji, sawo (Ernawanto et al., 2007).
Rendahnya volume ekspor buah mangga yaitu hanya 0,006% dari total
produksi nasional (Anonimous 1998) disebabkan oleh kualitas buah mangga
Indonesia belum memenuhi kriteria yang diminta konsumen mancanegara.
Berbagai upaya untuk mendapatkan kultivar mangga unggul melalui program
2
pemulian tanaman sampai saat ini masih ditemukan beberapa kendala utama
dalam pemuliaan tanaman mangga antara lain siklus hidup tanaman mangga
yang sangat panjang sehingga proses seleksi hasil persilangan tidak dapat
dilakukan dalam waktu cepat, tingkat keragaman genetik yang sangat tinggi serta
adanya keterbatasan pada proses pemuliaan untuk membedakan ekspresi
genotip dan pengaruh faktor lingkungan yang muncul. Akibatnya biaya yang
diperlukan dalam program pemuliaan tanaman sangat mahal dan membutuhkan
waktu sangat panjang untuk mendapatkan kultivar unggul, sehingga pendekatan
biologi molekuler sangat diperlukan.
Program pemuliaan tanaman sangat membutuhkan informasi tentang
keragaman genetik plasma nutfah. Akan tetapi, hingga saat ini belum banyak
informasi mengenai keragaman genetik kultivar mangga unggul Indonesia secara
molekuler. Program pemuliaan tanaman mangga sering terhambat oleh kendala
masa juvenil yang panjang sehingga diperlukan waktu lama untuk mengetahui
keberhasilan persilangan. Hal ini berakibat biaya pemeliharaan bibit dan tenaga
kerja meningkat serta diperlukan areal yang luas untuk pemeliharaan bibit
hibrida. Proses seleksi dan uji lapang untuk karakter morfologi secara umum
telah digunakan untuk mendeskripsikan varietas mangga, namun cara tersebut
memakan waktu cukup lama dan kebanyakan karakter yang nampak merupakan
interaksi genetik dan kondisi lingkungan (Jianhua, et al., 1996).
Pengembangan program pemuliaan tanaman sangat membutuhkan
informasi tentang keragaman genetik plasma nutfah. Akan tetapi, hingga saat ini
belum banyak informasi mengenai keragaman genetik kultivar‐kultivar mangga
unggul Indonesia secara molekuler. Teknik molekuler telah memberikan peluang
untuk mengembangkan dan mengidentifikasi peta genetik suatu kultivar
tanaman. Pendekatan genetika molekuler dengan menggunakan penanda DNA
berhasil membentuk penanda molekuler yang mampu dalam mendeteksi gen
dan sifat‐sifat tertentu, evaluasi keragaman dan evolusi pada tingkat genetik
(Hoon‐Lim et al. 1999).
3
Kemampuan membedakan genotip individu di dalam species maupun
beberapa genotip secara tepat sangat diperlukan dalam program pemuliaan.
Karakter morfologi dan fenotip telah banyak dipergunakan, namun sifat
kuantitatif umumnya dikendalikan banyak gen dan sangat dipengaruhi
lingkungan sehingga perbedaan antar species berkerabat dekat seringkali sulit
diamati. Kebanyakan karakter sulit dianalisis karena tidak memiliki sistem
pengendalian genetik yang sederhana. Penggunaan penanda molekuler dapat
dimanfaatkan untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut. Pemakaian
penanda molekuler banyak digunakan untuk menyusun kekerabatan beberapa
individu dalam spesies maupun kekerabatan antar spesies (Maftuchah, 2001).
Penggunaan kekerabatan ini dapat dijadikan rujukan dalam pemuliaan
persilangan untuk mendapatkan keragaman yang tinggi dari hasil persilangan.
Penggunaan penanda DNA membantu pelaksanaan pemilihan tetua persilangan
yang memiliki perbedaan tinggi secara genetik (Correa, 1999).
Di Indonesia penelitian keanekaragaman genetik secara molekuler pada
kultivar mangga telah dilakukan melalui pemakaian penanda isozim (Purnomo et
al., 1996). Mangga termasuk tanaman menyerbuk silang sehingga pada
penanaman banyak klon dalam luasan tertentu berpeluang tinggi terjadi
segregasi sifat antar klon sehingga diperlukan identifikasi baik morfologi maupun
molekuler (Rebin et al 2002). Identifikasi karakter morfologi maupun molekuler
diperlukan dalam program pemuliaan mangga untuk menguji keragaman genotip
klon‐klon yang akan dipilih untuk tetua persilangan (Schnell et al. 1995).
Penanda molekuler mikrosatelit merupakan penanda molekuler berbasis
DNA yang banyak digunakan untuk analisis keragaman genetik tanaman.
Mikrosatelit DNA adalah lokus penanda molekuler yang berupa urutan DNA
pendek yang tiap unit ulangannya terdiri dari satu sampai enam nukleotida.
Lokus mikrosatelit diapit oleh suatu urutan nukleotida yang terkonservasi. Pada
urutan DNA yang mengapit ini bisa dirancang primer spesifik sehingga
mikrosatelit bisa diamplifikasi menggunakan PCR (Treuren, 2000). Adanya variasi
4
jumlah pengulangan dari sekuens mikrosatelit menyebabkan mikrosatelit
bersifat sangat polimorfik sehingga penanda mikrosatelit sesuai digunakan dalam
mempelajari keragaman genetik suatu populasi dan parental analysis
(Maftuchah, 2005‐b). Penanda mikrosatelit juga merupakan penanda genetik
yang spesifik berasosiasi dengan suatu sifat‐sifat kuantitatif yang kompleks atau
sederhana seperti rasa, besar dan kecil ukuran buah dan tingi tanaman. Oleh
sebab itu penanda genetik mikrosatelit DNA sangat cocok untuk membantu
program pemuliaan dengan cara analisis QTL mapping. Kelebihan mikrosatelit
berupa tingkat polimorfisme tinggi dan tersebar pada genom tanaman sesuai
untuk studi keragaman genetik dan heterozigositas diantara varietas‐varietas
mangga (Pancoro et al., 2005). Penanda mikrosatelit telah dimanfaatkan dalam
konstruksi peta pautan genetik pada berbagai macam tanaman (Zhao et al.,
1993), identifikasi kultivar pada tomat, kedelai dan padi (Thomas et al., 1994;
Maughan et al., 1996; Bredemeijer et al., 1998) dan sebagai penanda dalam
sistem Marker Assisted Selection pada Glycine (Maughan et al., 1996).
Perbaikan sifat tanaman mangga seringkali terhambat oleh kendala masa
juvenil yang panjang (7‐8 tahun) sehingga diperlukan waktu lama untuk
mengetahui keberhasilan persilangan (Jianhua, et al., 1996). Proses seleksi dan
uji lapang untuk karakter morfologi secara umum telah digunakan oleh pemulia
tanaman untuk mendeskripsikan varietas, akan tetapi memerlukan waktu yang
cukup lama dan kebanyakan karater yang nampak merupakan interaksi genetik
dan kondisi lingkungan (Jianhua et al., 1996). Melalui penerapan strategi
pemuliaan yang memadukan pendekatan biologi molekuler dapat diidentifikasi
sifat‐sifat penting yang akan dimuliakan pada tingkat DNA. Analisis molekuler
sangat dibutuhkan untuk membantu proses seleksi tanaman secara lebih cepat
dan akurat. Pemakaian penanda molekuler diharapkan dapat meningkatkan
ketepatan proses seleksi serta meningkatkan efisiensi waktu seleksi (Jianhua, et
al., 1996; Maftuchah, 2005‐a).
Eiadthong et al., (1999) mengidentifikasi kultivar mangga dengan
5
menggunakan penanda SSR, diperoleh tujuh primer yang dapat memberikan pola
amplifikasi polimorfisme DNA digunakan untuk identifikasi 22 kultivar mangga.
Adato et al. (1995) meneliti sidik jari untuk identifikasi genetik mangga, dan Liu
(1998) menyatakan penanda mikrosatelit DNA merupakan salah satu penanda
genetik yang paling menjanjikan untuk analisis dan identifikasi kultivar serta
variabilitas genetik suatu kultivar. Hal ini disebabkan penanda mikrosatelit
bersifat kodominan dan sangat tersebar pada genom eukariot, sehingga penanda
ini sesuai diaplikasikan dalam analisis genom secara menyeluruh.
Melalui pemakaian penanda DNA yang mencirikan karakter yang
dikehendaki maka ketepatan proses seleksi akan dapat ditingkatkan dan proses
seleksi dapat dilakukan sedini mungkin. Pemakaian penanda DNA dapat
membantu hambatan masa juvenil yang panjang untuk seleksi dini bibit hibrida
yang dihasilkan. Disamping itu dengan pemanfaatan penanda molekuler akan
diperoleh jaminan keseragaman tanaman di lapang dan keseragaman kualitas
buah yang dihasilkan. Penanda molekuler lebih diskriminatif dan akurat
dibandingkan fenotipiknya, tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal.
Pemakaian penanda molekuler telah dipergunakan untuk menyusun kekerabatan
beberapa individu dalam spesies maupun kekerabatan antar spesies (Maftuchah,
2001). Tim peneliti telah melaksanakan beberapa kegiatan penelitian berupa
analisis variasi genetik tanaman mangga menggunakan penanda RAPD
(Maftuchah, 2005‐b; Maftuchah et al., 2007). Hasil penelitian tersebut telah
diperoleh beberapa primer RAPD berukuran 10 basa yang cukup efektif untuk
analisis RAPD beberapa kultivar tanaman mangga (Maftuchah dan Zainudin,
2007) serta diperoleh prosedur isolasi DNA yang cukup efisien untuk genom
mangga (Maftuchah, 2005‐b).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pola pita DNA
beberapa kultivar mangga dengan menggunakan penanda molekuler mikrosatelit
DNA.
METODE PENELITIAN
6
Penelitian dilakukan di laboratorium dan kebun percobaan. Preparasi DNA
genom tanaman mangga dilaksanakan di Laboratorium Molekuler Tanaman
Pusat Pengembangan Bioteknologi, Universitas Muhammadiyah Malang dan
Laboratorium Molekuler Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Sub‐Tropis,
Tlekung, Batu, Jatim. Analisis PCR mikrosatelit dilakukan di Laboratorium
Molekuler Balai Penelitian Bioteknologi dan Genetika (Balitbiogen) Bogor.
Kultivar tanaman mangga yang dipergunakan sebagai tetua persilangan untuk
mendapatkan hibrida mangga unggul berasal dari Kebun Koleksi Plasma Nutfah
Mangga di Cukurgondang‐Pasuruan.
Isolasi DNA Genom Mangga. DNA genom mangga diisolasi dari daun muda
tanaman mangga varietas: Manalagi 69, Golek 31, Arumanis 143, Saigon 119,
Sala‐250, Anggur 141, Sophia 243 dan Alphonso 315. Prosedur ekstraksi DNA
dari daun tanaman mangga dilaksanakan berdasarkan metode standar
(Sambrook et al., 1989). Setelah DNA hasil isolasi dimurnikan dan diketahui
konsentrasinya, kemudian DNA disiapkan untuk dipergunakan sebagai template
dalam reaksi PCR.
Reaksi PCR (Polimerase Chain Reaction). Pada reaksi PCR, primer yang
digunakan sebanyak 10 pasang primer mikrosatelit (Duval et al., 2005; Viruel et
al., 2005) yang merupakan primer spesifik yang telah diaplikasikan pada
beberapa varietas mangga. Volume total reaksi PCR yang dipergunakan adalah
sebanyak 25 µl, terdiri dari campuran larutan yang terdiri dari DNA taq
polimerase dan 10X buffer Taq Polimerase (100 mM Tris‐Cl, pH 8.3; 500 mM KCl;
7
15 mM MgCl2; 0.01 % gelatin); dNTP’S mix (dGTP, dATP, dTTP dan dCTP)
(Pharmacia); dH2O dan 30 ng DNA cetakan. Kondisi untuk reaksi PCR dirancang
dengan suhu denaturasi 94oC, annealing 55‐60oC, perpanjangan 75oC dan pasca
PCR 4oC. Untuk perbanyakan, siklus reaksi PCR diulang sebanyak 45 kali. Hasil
amplifikasi PCR kemudian dielektroforesis pada 1,2 % gel agarosa dengan
voltase 75 V selama 1 jam dan dilakukan pemotretan gell.
Deteksi Polimorfisme DNA Mikrosatelit. Fragmen dideteksi dari pola pita DNA
yang berbeda hasil elektroforesis gel agarose dari produk PCR. Penentuan posisi
pita DNA dilakukan secara manual (Leung et al., 1993). Untuk memudahkan
pengamatan ada beberapa hal yang dilakukan yaitu: a) seluruh pita DNA dengan
laju migrasi yang sama diasumsikan sebagai lokus yang homologus, b) masing‐
masing pita DNA ditandai, tiap tanda mewakili satu posisi pita DNA tertentu,
yang dilakukan dengan menempelkan plastik transparan pada foto gel, c) Bila
jalur DNA yang dibandingkan terpisah satu sama lain, maka dapat digunakan
bantuan alat (misal mistar) untuk membantu menentukan posisi pita DNA, d)
Data profil DNA merupakan data alel yang teramati dengan ketentuan ada dan
tidaknya pita DNA berdasarkan ukuran produk PCR pada satu posisi yang sama
dari beberapa individu yang dibandingkan.
Pita yang muncul pada gel diasumsikan sebagai alel mikrosatelit.
Keragaman alel mikrosatelit ditentukan dari perbedaan migrasi alel pada gel dari
masing‐masing individu sampel. Berdasarkan ada atau tidaknya pita mikrosatelit,
profil pita diterjemahkan ke dalam data biner, untuk penyusunan matriks data
biner yang diturunkan menjadi matriks kemiripan genetika (Nei dan Li 1979).
Analisis pengelompokan dan pembuatan dendogram dilakukan menggunakan
metode Unweighted Pair‐Group Method With Arithmetic (UPGMA) melalui
program Numerical Taxonomy and Multivariate System (NTSYS) versi 1,8.
Derajad ketelitian data UPGMA dianalisis dengan analisis dengan analisis
bootstrap menggunakan program WinBoot. Berdasarkan informasi tersebut
diharapkan dapat diperoleh pula informasi spesifik untuk mangga lokal
8
Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
DNA genom diisolasi dari daun muda tanaman mangga varietas Manalagi
69 (No. Pohon MN‐25), Golek 31 (No. Pohon GL‐170), Arumanis 143 (No. Pohon
AR‐1), Saigon 119 (No. Pohon S‐30), Sala‐250 (No. Pohon S‐248), Madu Anggur
141 (No. Pohon MA‐96), Sophia 243 (No. Pohon SP‐182) dan Alphonso 315 (No.
Pohon ALP‐2). DNA hasil isolasi dimurnikan dan dipergunakan sebagai template
dalam reaksi PCR. Primer yang digunakan dalam reaksi PCR sebanyak 10 pasang
primer mikrosatelit (Duval et al., 2005 dan Viruel et al., 2005) yang merupakan
primer spesifik pada beberapa kultivar mangga. DNA genom diisolasi dari daun
muda tanaman mangga. Sampel daun dipilih dari individu tanaman mangga
yang sehat dengan pemakaian sampel dari masing‐masing varietas yang diuji.
Pada proses ekstraksi DNA tanaman mangga, setelah penambahan bufer
pengekstrak CTAB pada daun yang telah dihaluskan, terbentuk larutan yang
sangat kental, yang menunjukkan tingginya kandungan polisacharida. Selain
polisacharida, kandungan senyawa fenolik pada tanaman mangga juga cukup
tinggi, hal ini dapat dilihat dari cepatnya pencoklatan pada ujung daun yang
dipotong. Adanya polisacharida dan senyawa metabolit sekunder dalam sel
tanaman sering menyulitkan dalam proses isolasi asam nukleat. Struktur
polisacharida yang mirip dengan asam nukleat akan menyebabkan polisacharida
tersebut akan mengendap bersama dengan asam nukleat.
9
tanaman dengan kandungan polisacharida dan metabolit sekunder tinggi perlu
dilakukan modifikasi pada saat ekstraksi DNA. Untuk menghilangkan
polisacharida ekstraksi lisat dengan menggunakan kloroform disarankan
dibandingkan dengan kloroform‐isoamil alkohol karena lebih efisien untuk
mengisolasi asam nukleat.
Gambar 1. Hasil PCR Microsatelit DNA Mangga (Arumanis, Madu Anggur,
Alphonso, Saigon, Manalagi, Sala, Sophia, Golek) yang dirunning
pada gell acrilamide dengan primer D5
1353
1078
872
603
310
281/271
234
194
118
72
1353
1078
872
603
310
281/271
234
194
118
72
10
Gambar 3. Hasil PCR Microsatelit DNA Mangga (Arumanis, Madu Anggur,
Alphonso, Saigon, Manalagi, Sala, Sophia, Golek) yang dirunning
pada gell acrilamide dengan primer V2
Hasil PCR dengan menggunakan primer D5 ditunjukkan pada Gamnar 1.
Sedangkan Gambar 2 menunjukkan hasil PCR dengan menggunakan primer V1
yang berukuran antara 72 – 872 bp. Polimorfisme yang terjadi dari analisis
mikrosatelit ditunjukkan dengan terbentuknya pita DNA pada individu yang satu,
sementara individu yang lain tidak terbentuk pita DNA pada posisi atau ukuran
yang sama. Adanya polimorfisme ini menggambarkan tingkat keragaman genetik
dari plasma nutfah yang dikarakterisasi. Semakin tinggi tingkat polimorfisme
maka tingkat keragaman genetik di antara individu juga akan semakin tinggi.
1353
1078
872
603
310
281/271
234
194
118
72
Gambar 4. Hasil PCR Microsatelit DNA Mangga (Arumanis, Madu Anggur,
Alphonso, Saigon, Manalagi, Sala, Sophia, Golek) yang dirunning
pada gell acrilamide dengan primer V3
ARUMANIS
MADU ANGGUR
ALPHONSO
SAIGON
DU_ANGGURMW
MANALAGI
SALA
SOPHIA
GOLEK
Gambar 5. Dendrogram 8 Kultivar Mangga Hasil Analisis Klaster dengan metode
UPGMA menggunakan progam NTSys Berdasarkan Pola Pita SSR
menggunakan 10 primer Microsatelite
11
Estimasi tingkat diversitas dapat dilakukan secara konvensional
berdasarkan analisis karakter morfologi, ataupun secara non konvensional
berdasarkan pola pita isoenxym, 1995) atau pola pita DNA, SSR adalah salah satu
teknik sidik jari DNA yang digunakan untuk mendeteksi polimorfisme sebuah
genom berdasarkan PCR. Kondisi PCR memungkinkan primer untuk menempel
pada banyak tempat pada genom, sehingga dihasilkan sejumlah pita DNA.
Amplifikasi DNA terjadi jika primer menempel pada dua situs komplementer
yang jaraknya berdekatan dan orientasinya saling terbalik. Jarak antar situs
amplifikasi ini menghasilkan fragmen DNA dengan berbagai ukuran pasang basa.
Pita DNA yang diperoleh dari hjasil mikrosatelit selanjutnya dipergunakan
sebagai dasar analisis klaster. Berdasarkan analisis klaster menggunakan metode
UPGMA pada program NTSYS diperoleh dua kelompok besar kekerabatan yaitu
kelompok pertama terdiri dari kultivar Sophia dan Golek (koefisien 0,59);
kelompok kedua terdiri dari kultivar Arumanis, Madu Anggur, Alphonso, Saigon,
Manalagi, dan Sala (koefisien 0,54). Kelompok kedua terdiri dari 3 sub kelompok
yaitu kelompok Manalagi dan Sala (koefisien 0,61); kelompok Alphonso dan
Saigon (koefisien 0,68); kelompok gabungan Alphonso‐Saigon dan Madu Anggur
(koefisien 0,61). Kedua kelompok besar tersebut menunjukkan koefisien
kekerabatan 0,53. Hasil analisis kekerabatan tersebut dapat dipergunakan
sebagai salah satu dasar dalam penentuan tetua persilangan untuk membantu
program pemuliaan tanaman.
KESIMPULAN
Analisis molekuler menunjukkan bahwa pola pita yang diperoleh dari hasil
PCR DNA 8 varietas tanaman mangga menggunakan penanda mikrosatelit
dengan primer D1‐D5 dan V1‐V5 berkisar antara 2 sampai 9 pita, dengan pola
yang beragam. Ukuran pita DNA tersebut berkisar antara 72–1353 kb.
Berdasarkan analisis klaster menggunakan metode UPGMA pada program
NTSYS diperoleh dua kelompok besar kekerabatan yaitu kelompok pertama
12
terdiri dari kultivar Sophia dan Golek (koefisien 0,59); kelompok kedua terdiri
dari kultivar Arumanis, Madu Anggur, Alphonso, Saigon, Manalagi, dan Sala
(koefisien 0,54). Kelompok kedua terdiri dari 3 sub kelompok yaitu kelompok
Manalagi dan Sala (koefisien 0,61); kelompok Alphonso dan Saigon (koefisien
0,68); kelompok gabungan Alphonso‐Saigon dan Madu Anggur (koefisien 0,61).
Kedua kelompok besar tersebut menunjukkan kekerabatan dengan koefisien
0,53.
DAFTAR PUSTAKA
Adato, A., D. Sharon, U. Lavi, J. Hillel dan S. Gazit. 1995. Application of DNA
fingerprints for identification and genetic analyses of Mangifera indica
genotypes. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 120 (2):259‐264.
Anonimous. 1998. Peta pasar ekspor Indonesia : pisang, mangga dan kentang.
Pusat Pengembangan dan Informasi Pasar. Badan Agribisnis Dep.
Pertanian. 25 pp.
Coronel, R. 1996. Status Report on Fruit Species Germplasm Conservation and
Utilization in Southeast Asia. In: Expert Consultation on Tropical fruits
Species of Asia. (Ed) Arora, R.K. & V.R. Rao. IPGRI – New Delhi
Correa, R. X.,Ricardo V. A., Fabio G. F. Cosme D. C., Maurilio A. M., dan Everaldo
G. B., 1999. Genetic Distance in Soybean Based on RAPD Markers. (On line),
http://www.scielo.br/scielo.php diakses 22 April 2004.
Duval, M.F., Bune, J., Sitbon and Risterucchi, M. 2005. Development of
microsatellite markers for Mangifera indica L. Molecular Ecology,5 : 824‐
826.
Eiadthong W., Yonemori K., Sugiura A., Utsunomiya M., Subhadrabandu S. 1999.
Identification of manggo cultivars of Thailand and evaluation of their
genetic variation using the amplified fragments by simple sequence
13
repeat (SSR) anchored primers. Scientia Horticulturae 82: 57‐66
Ernawanto, Q. D., G. Kartono dan B. Irianto, 2007, Penentuan Komoditas
Unggulan Di Propinsi Jawa Timur (Determination of main agricultural
commodities in East Java Province). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jawa Timur, http://jatim.litbang.deptan.go.id/index. php?option=
com_content &task=view&id=255&Itemid=72
Jianhua, Z., M. B. Mcdonald dan P. M. Sweeney, 1996. Soybean cultivar
identification using RAPD. Seed Science Technology., 24:589‐592.
Leung, H., Nelson R.J., dan Collin. 1993. Population structure of plant
pathogenic fungi and bacteria. Adv. Plant Pathol. 10:157‐205
Liu, B.H. 1998. Statistical Genomic: Linkage, Mapping and QTL analysis. CRC Press.
New York, pp. 62
Maftuchah, Zainudin, A., dan Nursandi, F. 2007. Analisis Keragaman Genetik
Plasma nutfah Mangga Unggul Berdasarkan Penanda Molekuler RAPD
sebagai Model Strategi Seleksi Dini Hibrida Mangga. Laporan Program
Penelitian Fundamental, Ditjen Dikti, Depdiknas.
Maughan P.J., M.A. Saghai Maroof, & G.R. Buss. 1996. Molecular‐marker
analysis of seed‐weight: genomic locations, gene action, and evidence for
orthologous evolution among three legume species. Theor. Appl. Genet.
93: 574‐579.
Pancoro, A., Annisa, Suhandhono S., dan Mulyani Y. 2005. Aplikasi penanda
molekuler mikrosatelit untuk analisis keragaman genetik dan
heterozigositas pada mangga. Seminar Nasional dan Kongres III
Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI). Malang, 12‐13
April 2005.
14
Purnomo, S., Sri Handajani dan Saiful Hosni. 1996. Penentuan Kriteria dan
Seleksi Kultivar Mangga Produktif. Jurnal Hortikultura. 6(4): 325‐334.
Rebin, Purnomo S, Hosni S dan Effendy AR. 2002. Evaluasi dan seleksi varietas
mangga Cukurgondang untuk karakter unggul mutu buah dan efisiensi
lahan. Jurnal Hortikultura. 12(1) : 1‐10.
Sambrook J., E.F. Fritsch and Maniatis, T. 1989. Molecular Cloning : A
laboratory Manual. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press.
USA.
Schnell RJ., CM. Ronning and RJ. Knight. 1995. Identification of cultivars and
validation of genetic relationships in Mangifera indica L. using RAPD
markers. Theor. Appl. Genet 90:269‐274.
Scott, K.D., P. Eggler, G. Seaton, M. Rossetto, E.M. Ablett, L.S. Lee, R.J. Henry.
2000. Analysis of SSRs derived from grape ESTs. Theor. Appl. Genet. 100:
723
Thomas M.R., S. Matsumoto, P. Cain, & N.S. Scott. 1993. Repetitive DNA of
grapevine: classes present and sequences suitable for cultivar
identification. Theor Appl. Genet. 86: 173‐180.
Treuren, R.V., 2000. Genetic Marker. http:// www.plant.wageningen‐
ur.nl/about/Biodiversity/cgn/research/molgen
Viruel, MA., Escribano, P., Barbien, m., ferri, M., and Hormaza, JL. 2005.
Fingerprinting, embryo type and geographic differentiation in mango with
microsatellites. Molecular Breeding, 15 : 383‐393.
Zhao, X & G. Kochert. 1993. Phylogenetic distribution and genetic mapping of a
(GGC)n microsatellite from Rice (Oryza sativa L.). Plant Mol. Biol. 21: 607‐
614
15