3. Legitimasi moral
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan
menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah
sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka
nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan
lainnya. Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan
bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any object to
statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau
3
kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri
terkandung cita – cita, harapan – harapan, dambaan – dambaan dan keharusan.
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya
perwujudkan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan
religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki
oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam perwujudannya
dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum,
dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal
dengan sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri
sendiri.
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan
masyarakat.
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda
yang dipaksakan oleh alat Negara.
Moral adalah berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan,
tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik,
terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral,
filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma
dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai
aspeknya.
2. Pengertian Nilai
4
Adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan
kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu
adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Nilai atau “value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat,
persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang
filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value). Filsafat sering juga
diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat
dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “kebiasaan” (wath)
atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan
tentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229).
Didalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan
bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok, ( The believed capacity of any object to
statisfy a desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang
melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung
nilai yang artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu .
Misalnya, Bunga itu indah, perbuatan itu susila.Indah,susila adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian makanilai
itu sebenarnya adalah kenyataan yang “tersembunyi” dibalik kenyataan-
kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan lainnya, kemudian untuk selanjutnya diambil
keputusan. keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapatmenyatakan
berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik ini
berhubungan pada subjek penilaian yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa,
karsa(kehendak), dan kepercayaan. sesuatu itu dikatakan bernilai apabila
sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, dan lain sebagainya. Jadi nilai itu
pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu
5
sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita – cita, harapan – harapan,
dambaan – dambaan dan keharusan.
3. Hierarkhi Nilai
Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang
individu –masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis
memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler
menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya.
Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang
memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak.
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni jasmani,
kesehatan serta kesejahteraan umum.
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang sama sekali tidak tergantung dari
keadaan jasmani maupun lingkungan, berkaitan dengan kebenaran,
keindahan dan pengetahuan murni.
4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang
suci dan tak suci. nilai-nilai ini terutama terdiri dari nilai nilai pribadi.
Walter G . Everet menggolongkan nilai – nilai manusiawi kedalam
delapan kelompok yaitu:
1. Nilai-nilai ekonomis
2. Nilai-nilai kejasmanian
3. Nilai-nilai hiburan
4. Nilai-nilai social
5. Nilai-nilai watak
6. Nilai-nilai estetis
7. Nilai-nilai intelektual
8. Nilai-nilai keagamaan
6
2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.
3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang
dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau
cipta manusia.
b. Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan
manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur
kehendak manusia.
d. Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
7
manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan
bertingkah laku baik sadar maupun tidak.
Nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasi melalui suatu
verifikasi empiris,sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami,
dipikirkan, dimengerti, dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan
harapan, cita-cita, keinginan, dari segala sesuatu pertimbangan internal
(batiniah) manusia.
Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap
dengan indera manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif.
Bersifat objektif manakala mulai tersebut diberikan oleh subjek(dalam hal ini
manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jika nilai tersebut
sudah melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan
tingkah laku manusia, maka perlu dikongkritkan lagi serta diformulasikan
menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya
dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai
tersebut adaah merupakan suatu norma.Terdapat berbagai macam norma, dan
dari berbagai macam norma tersebut norma hokum lah yag paling kuat
berlakunya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya
penguasa atau penegak hukum.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika.
Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat
kepribadaian seseorang amat ditentukan oleh molaritas yang dimilikinya.
Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari
sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki
wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan
kadangkala kedua hal tersebut disamakan begitu saja, namun sebenarnya kedua
hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran , patokan
atau kumpulan peraturan baik lisan maupun tulisan tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik. Adapun
dipihak lain etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan
8
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut
(Krammer, 1998 dalam Darkmodiharjo, 1996).
Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan oleh seseorang wewenang ini dipandang berada ditangan pihak yang
memberikan ajaran moral. Sekalipun demikian, dalam etika seseorang dapat
mengerti mengapa, dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-
norma tertentu. Hal yang terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika
jikalau dibandingkan dengan moral.
Hal ini dapat dianologikan bahwa ajaran moral sebagai buku petunjuk
tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik, sedangkan
etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobilitu
sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai, norma, dan moral
yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku
praktis dalam kehidupan manusia.
5. Etika Politik
A. Pengertian Etika
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita
dan mangapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita
harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan
berbagai ajaran moral. Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika
9
pada pokoknya membicarakan masalah masalah yang berkatan dengan
prediket nilai “susila” dan “tidak susila”,”baik” dan “buruk”.
7. Keadilan social
B. Pengertian Politik
10
menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang
disebut masyarakat negara.
11
unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika
politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka
pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima
tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan
menurut rasio/nalar, secara etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat
mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:
g. Keadilan sosial
12
senantiasa berkaitan dengan orang lain. Oleh karena itu bagaimanapun juga
ia harus memutuskan sendiri apa yang layak dilakukannya secara moral. Ia
dapat memperhitungkan tindaknya serta bertanggung jawab atas tindakan-
tindakan tersebut (Suseno, 1987:16)
B. Dimensi Politisi Kehidupan Manusia
13
C. Nilai-Nilai Pancasila sebagai Etika Politik
Sila pertama dan kedua adalah sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan. Negara Indonesia yang berdasarkan sila 1
“Ketuhanan Yang Maha Esa” bukanlah negara teokrasi. Kekuasaan kepala
negara tidak bersifat mutlak religius, melaikan berdasarkan legitimasi
demokrasi. Oleh karena itu asas sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” lebih
berkaitan dengan legitimasi moral. Hal inilah yang membedakan negara
yang Berketuhanan Yang Maha Esa dengan Negara Teokrasi. Selain sila I ,
sila II “kemanusiaan yang Adil dan Beradab” juga merupakan sumber nilai-
nilai moralitas dalam kehidupan negara. Bangsa Indonesia sebagai bagian
dari umat manusia didunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah
tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi
kesejahteraan bersama (sila III). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya
merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara. Karena
itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara
dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan
jaminan hukum, maka hal inilah diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak
dasar (asasi) manusia.
Dalam pelaksanaan dan penyelanggaraan negara, etika politik menuntut
agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas
(legimitasi hukum) ,yaitu dijankan seuai dengan hukum yang berlaku. (2)
disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), dan (3)
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan
dengannya (legitimasi moral) (lihat Suseno, 1987: 115)
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus
berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara Indonesia
adalah negara hukum. Oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama
(keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan
tujuan dalam kehidupan Negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaa dan
kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu
14
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan,
kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai
pendukung pokok negara.
15