Anda di halaman 1dari 13

negara etika politik tetap meletakkan dasarfundamental manusia sebagai

manusia.Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politikbahwa kebaikan


senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yangberadab
dan berbudaya berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsamaupun
negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih
baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-
institusi politik yang adil.Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi
antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang
ada.Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik
yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam
bernegara.Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan:
1. Legitimasi hukum
2. Legitimasi demokratis

3. Legitimasi moral

1. Pengertian Nilai- Nilai, Norma Dan Moral

Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan
menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah
sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka
nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan
lainnya. Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan
bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any object to
statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau

3
kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri
terkandung cita – cita, harapan – harapan, dambaan – dambaan dan keharusan.
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya
perwujudkan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan
religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki
oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma  dalam perwujudannya
dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum,
dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal
dengan sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri
sendiri.
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan
masyarakat.
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda
yang dipaksakan oleh alat Negara.
Moral adalah berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan,
tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggap tidak bermoral.  Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik,
terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral,
filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma
dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai
aspeknya.

2. Pengertian Nilai

4
Adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan
kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu
adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Nilai atau “value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat,
persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang
filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value). Filsafat sering juga
diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat
dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “kebiasaan” (wath)
atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan
tentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229).
Didalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan
bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok, ( The believed capacity of any object to
statisfy a desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang
melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung
nilai yang artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu .
Misalnya, Bunga itu indah, perbuatan itu susila.Indah,susila adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian makanilai
itu sebenarnya adalah kenyataan yang “tersembunyi” dibalik kenyataan-
kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan lainnya, kemudian untuk selanjutnya diambil
keputusan. keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapatmenyatakan
berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik ini
berhubungan pada subjek penilaian yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa,
karsa(kehendak), dan kepercayaan. sesuatu itu dikatakan bernilai apabila
sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, dan lain sebagainya. Jadi nilai itu
pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu

5
sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita – cita, harapan – harapan,
dambaan – dambaan dan keharusan.

3. Hierarkhi Nilai
Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang
individu –masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis
memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler
menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya.
Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang
memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak.
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni jasmani,
kesehatan serta kesejahteraan umum.
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang sama sekali tidak tergantung dari
keadaan jasmani maupun lingkungan, berkaitan dengan kebenaran,
keindahan dan pengetahuan murni.
4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang
suci dan tak suci. nilai-nilai ini terutama terdiri dari nilai nilai pribadi.
Walter G . Everet menggolongkan nilai – nilai manusiawi kedalam
delapan kelompok yaitu:
1. Nilai-nilai ekonomis
2. Nilai-nilai kejasmanian
3. Nilai-nilai hiburan
4. Nilai-nilai social
5. Nilai-nilai watak
6. Nilai-nilai estetis
7. Nilai-nilai intelektual
8. Nilai-nilai keagamaan

Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu:


1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.

6
2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.
3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang
dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau
cipta manusia.
b. Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan
manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur
kehendak manusia.
d. Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.

Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran


dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak
dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman
yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati
nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang
bersumber pada berbagai sistem nilai.
Dari macam – macam nilai, dapat dikemukakan bahwa yang
mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan
tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial.
Notonagoro berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai –
nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai
material dan vital. Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan
harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai
kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis,
yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ‘dasar’ sampai
dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’.

4. Hubungan Nilai, Norma, dan Moral

Sebagaimana dijelaskan bahwa nilai adalah kualitas dari suatu


bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan

7
manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan
bertingkah laku baik sadar maupun tidak.
Nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasi melalui suatu
verifikasi empiris,sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami,
dipikirkan, dimengerti, dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan
harapan, cita-cita, keinginan, dari segala sesuatu pertimbangan internal
(batiniah) manusia.
Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap
dengan indera manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif.
Bersifat objektif manakala mulai tersebut diberikan oleh subjek(dalam hal ini
manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jika nilai tersebut
sudah melekat pada sesuatu terlepas dari penilaian manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan
tingkah laku manusia, maka perlu dikongkritkan lagi serta diformulasikan
menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya
dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai
tersebut adaah merupakan suatu norma.Terdapat berbagai macam norma, dan
dari berbagai macam norma tersebut norma hokum lah yag paling kuat
berlakunya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya
penguasa atau penegak hukum.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika.
Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat
kepribadaian seseorang amat ditentukan oleh molaritas yang dimilikinya.
Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari
sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki
wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan
kadangkala kedua hal tersebut disamakan begitu saja, namun sebenarnya kedua
hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran , patokan
atau kumpulan peraturan baik lisan maupun tulisan tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik. Adapun
dipihak lain etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan

8
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut
(Krammer, 1998 dalam Darkmodiharjo, 1996).
Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan oleh seseorang wewenang ini dipandang berada ditangan pihak yang
memberikan ajaran moral. Sekalipun demikian, dalam etika seseorang dapat
mengerti mengapa, dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-
norma tertentu. Hal yang terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika
jikalau dibandingkan dengan moral.
Hal ini dapat dianologikan bahwa ajaran moral sebagai buku petunjuk
tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik, sedangkan
etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobilitu
sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai, norma, dan moral
yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku
praktis dalam kehidupan manusia.

5. Etika Politik

A. Pengertian Etika

Suatu usaha filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut


lingkungan bahasanya masing masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi
dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis.
Filsafat teoritis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang
segala sesuatu, misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai
suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui.
Filsafat teoritispun juga mempunyai maksud-maksud dan berkaitan erat
dengan hal-hal yang bersifat praktis karena pemahaman yang dicari
menggerakkan kehidupannya.

Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita
dan mangapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita
harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan
berbagai ajaran moral. Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika

9
pada pokoknya membicarakan masalah masalah yang berkatan dengan
prediket nilai “susila” dan “tidak susila”,”baik” dan “buruk”.

Etika Politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan


manusia. Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika
politik seperti:

1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara

2. Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)

3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)

4. Kedaulatan rakyat (Rousseau)

5. Negara hokum demokratis/republican (Kant)

6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)

7. Keadilan social

B. Pengertian Politik

Pengertian politik berasal dari kosakata politics yang memiliki makna


bermacam–macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau Negara yang
menyangkut proses penentuan tujuan–tujuan dari sistem itu dan diikuti
dengan pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan pengertian–pengertian pokok
tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep–
konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy),
pembagian (distribution), serta alokasi (allocation).

Pengertian politik secara sempit adalah bidang yang berkaitan dengan


para pelaksana pemerintahan negara, lembaga–lembaga tinggi negara,
kalangan aktivis politik serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan
dan penyelengaraan negara. Pengertian politik yang lebih luas yaitu

10
menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang
disebut masyarakat negara.

C. Pengertian Etika Politik

Etika atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan


dan kejahatan. Etika politik yang demikian memiliki tujuan menjelaskan
mana tingkah laku politik yang baik dan mana yang tidak baik. Apa standar
baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks
politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan
umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan
golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang
terjadi di negeri ini. Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui
karakteristik masyarakat yang berdasarkan Pancasila sehingga amat
diperlukan untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam
aturan secara legal formal. Oleh karena itu, etika politik lebih bersifat
konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika
politik itulah maka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan
mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan alam
kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang)
yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa dengan mudah
diabaikan. Akibatnya ada dua hal yaitu pudarnya nilai-nilai etis yang sudah
ada dan tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan moralitas
publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi
budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa
atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh, karena untuk
membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan dengan mudah.
Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas
politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi
secara pribadi, misalnya apakah ia korup atau tidak.

Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional.


Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas
Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan berbagai

11
unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika
politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka
pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima
tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan
menurut rasio/nalar, secara etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat
mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:

a. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)

b. Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)

c. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)

d. Kedaulatan rakyat (Rousseau)

e. Negara hukum demokratis/republican (Kant)

f. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)

g. Keadilan sosial

6. Dimensi Politisi Manusia

A. Manusia sebagai Makhluk Individu-Sosial

Berdasarkan fakta, manusia tidak mungkin memenuhi segala


kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa manusia
hanya bersifat individu atau sosial saja. Manusia memang merupakan
makhluk yang bebas, namun untuk menjamin kebebasannya ia senantia
memerlukan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu manusia tidak
mungkin bersifat bebas jikalau ia hanya bersifat totalitas individu atas sosial
saja. Manusia adalah bebas sejauh ia sendiri mampu mengembangkan
pikirannya dalam hubungan dengan tujuan-tujuan dan sarana-sarana
kehidupannya dan sejauh ia dapat mencoba untuk bertindak sesuai
dengannya. Dengan kebebasannya manusia dapat melihat ruang gerak
dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak, sehingga secara moral

12
senantiasa berkaitan dengan orang lain. Oleh karena itu bagaimanapun juga
ia harus memutuskan sendiri apa yang layak dilakukannya secara moral. Ia
dapat memperhitungkan tindaknya serta bertanggung jawab atas tindakan-
tindakan tersebut (Suseno, 1987:16)
B. Dimensi Politisi Kehidupan Manusia

Dalam hubungan dengan sifat manusia, dimensi politis manusia


senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga
senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh
karena itu pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan sikap-sikap
moral dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Dimensi politis manusia memiliki dua segi fundamental, yaitu
pengertian dan kehendak untuk bertindak.
Jikalau ada tindakan moralitas dalam kehidupan manusa sudah tidak
dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapi hak orang lain dalam
masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif.
Dengan demikian hukum dan kekuasaan negara merupakan aspek yang
berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan
masyarakat secara normatif. Hukum tanpa kekuasaan negara merupakan
normatif yang kosong, sedangkan negara tanpa hukum akan merosot
menjadi kehidupan yang berada di bawah sifat manusiawi karena akan
berkembang menjadi ambisi kebinatangan karena tanpa tatanan normatif.
Oleh karena itu baik hukum maupun negara keduanya memerlukan
suatu legitimasi. Hukum harus mampu menunjukkan bahwa tatanan adalah
dari masyarakat bersama dan demi kesejahteraan bersama, dan bukannya
berasal dari kekuasaan. Demikian pula negara yang memiliki kekuasaan
harus mendasarkan pada tatanan normatif sebagai kehendak bersama semua
warganya, sehingga dengan demikian negara pada hakikatnya mendapatkan
legitimasi dari masyarakat yang menentukan tatanan hukum tersebut.
Maka etika politik berkaitan dengan objek forma etika, yaitu tinjauan
berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika, terhadap objek materia politik yang
meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap
legitimasi-legitimasi tersebut.

13
C. Nilai-Nilai Pancasila sebagai Etika Politik
Sila pertama dan kedua adalah sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan. Negara Indonesia yang berdasarkan sila 1
“Ketuhanan Yang Maha Esa” bukanlah negara teokrasi. Kekuasaan kepala
negara tidak bersifat mutlak religius, melaikan berdasarkan legitimasi
demokrasi. Oleh karena itu asas sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” lebih
berkaitan dengan legitimasi moral. Hal inilah yang membedakan negara
yang Berketuhanan Yang Maha Esa dengan Negara Teokrasi. Selain sila I ,
sila II “kemanusiaan yang Adil dan Beradab” juga merupakan sumber nilai-
nilai moralitas dalam kehidupan negara. Bangsa Indonesia sebagai bagian
dari umat manusia didunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah
tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi
kesejahteraan bersama (sila III). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya
merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara. Karena
itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara
dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan
jaminan hukum, maka hal inilah diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak
dasar (asasi) manusia.
Dalam pelaksanaan dan penyelanggaraan negara, etika politik menuntut
agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas
(legimitasi hukum) ,yaitu dijankan seuai dengan hukum yang berlaku. (2)
disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), dan (3)
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan
dengannya (legitimasi moral) (lihat Suseno, 1987: 115)
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus
berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara Indonesia
adalah negara hukum. Oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama
(keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan
tujuan dalam kehidupan Negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaa dan
kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu

14
dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan,
kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai
pendukung pokok negara.

15

Anda mungkin juga menyukai