Dasar Teori Penyemenan
Dasar Teori Penyemenan
A. Material Calcareous
Material ini mengandung kalsium karbonat dan kalsium oksida yang terdiri dari
limestone dan batuan semen.
Limestone adalah batuan yang terbentuk dari sebagian besar zat-zat organic sisa
(kerang laut atau koral) yang terakumulasi. Limestone merupakan komponen dasar
kalsium karbonat.
Batuan semen merupakan batuan yang komposisinya serupa dengan semen batuan.
Kapur termasuk dalam limestone yang kekuning-kuningan atau abu-abu dan halus
yang sebagian besar berasal dari kerang laut. Marl atau tanah kapur merupakan tanah
yang rapuh dan mengandung bahan-bahan pokok kalsium karbonat.
Alkali waste adalah buangan dari pabrik-pabrik kimia yang mengandung kalsium
oksida atau kalsium karbonat.
B. Material Argillaceous
Proses ini lebih rumit dibandingkan dengan dry process karena lebih
membutuhkan energi lebih besar untuk menguapkan air di klin. Material calcareous
dicampur air agar kerikil-kerikilnya keluar. Kemudian kedua material mentah ini
digiling dalam “wet grinding mill” dan setelah didapat komposisi kimia yang
diinginkan, campuran siap-siap dibawa ke klin.
Setelah melalui salah satu proses peleburan di atas (dry process atau wet
process), campuran masuk ke dalam “rotary klin” dan dipanaskan perlahan-lahan
melalui beberapa proses temperatur seperti berikut (API Spec. 10, Material and
Testing for Well Cement):
100° C = pembebasan air bebas
200° C = dehidroksilasi mineral-mineral clay
900° C = kristalisasi mineral-mineral clay yang mengalami
dehidroksilasi dan dekomposisi CaCO3.
900 - 1200° C = reaksi antara CaCO3 atau CaO dengan
aluminosilicates.
1250 - 1280° C = mulai terbentuk fasa liquid.
> 1280 ° C = fasa liquid terus terbentuk, komponen-komponen semen
terjadi.
Kualitas “klinker”, produk yang dihasilkan dari rotary klin sangat tergantung
dari kecepatan dan metode proses pendinginan. Bila laju pendinginan lambat, akan
dihasilkan produk yang baik dimana terjadi proses kristalisasi dari klinker akan
meningkatkan kekuatan semen. Sedangkan bila pendinginan cepat akan dihasilkan
produk seperti gelas yang mempersulit klinker digiling, ini dapat mengakibatkan
kekuatan semen cepat naik tetapi tidak lama.
Selain empat dasar komponen yang ditemukan dalam klinker, semen portland
dalam bentuk akhirnya dapat mengandung gypsum, alkali sulfat magnesia, lime bebas
dan zat penambah lainnya. Pada konsentrasi normal, material-material ini tidak begitu
mempengaruhi sifat set semen, tetapi mempengaruhi laju hidrasi, ketahanan terhadap
serangan sulfat dan sifat bubur semen.
Struktur butiran klinker bervariasi mengikuti material mentahnya, ukuran
butirannya, pemanggangan dan pendinginannya. Variabel-variabel tadi
mempengaruhi proses kristalisasi, berbagai hasil akhir dan porositas dari butiran
klinker itu sendiri. Secara umum C3S (Alite), sebagai komponen mayoritas,
mengkristal dalam bentuk partikel butiran. C 2S (Balite) mengkristal kecil-kecil, lebih
bundar yang mana tersebar di sekitar butiran C3S. C4AF membentuk fasa kontinyu di
antara struktur butiran klinker. Distribusi permukaan dari komposisi yang berbeda
penting dalam menentukan sifat semen. Kelas semen tertentu dengan spesifikasi yang
sama dapat mempunyai kekuatan yang berbeda. Ini biasanya disebabkan perbedaan
proses kristalisasi.
Table II-1.
Komposisi Semen API 3)
Kelas A
Kelas C
Kelas D
Kelas E
Kelas F
Kelas H
Semen kelas H digunakan untuk kedalaman 0 ft (permukaan) sampai 8000 ft
(2440 m) dengan temperatur 90°C, merupakan semen dasar. Tipe ini hampir sama
dengan kelas G, hanya ukuran butirnya lebih besar. Biila ditambahkan accelerator
dan retarder, semen ini bisa dipakai untuk sumur yang dalam dengan range
temperatur cukup besar. Semen ini tersedia dalam jenis moderate dan sulfate
resistant.
Kelas G dan H dikembangkan untuk tujuan menerima zat-zat additive yang
ditambahkan pada suspensi semen dalam penggunaannya pada formasi abnormal.
Semen kelas G dan H adalah yang paling umum digunakan saat ini, dan tersedia
dalam bentuk biasa, tahan kandungan terhadap sulfat menengah (MSR) dan tahan
terhadap sulfat dalam jumlah yang tinggi (HSR) dalam arti kandungan sulfat pada air
formasi yang dapat merusak kekuatan semen.
Sistem semen portland ada yang di desain sampai temperatur 371 °C (700°F),
misal untuk sumur-sumur panas bumi. Juga ada yang didesain untuk tekanan sampai
30.000 psi, misal untuk sumur-sumur yang dalam. Kondisi sumur ini memang
mempengaruhi dalam pemilihan jenis semen, namun sangat jarang untuk memilih
semen hanya tergantung kondisi sumur saja, ada faktor-faktor lain yang turut
mempengaruhi dalam pembuatan suspensi semen misalnya, waktu dan harga. Selain
itu untuk pembuatan suspensi semen juga memperhatikan sifat dari suspensi semen
tersebut. Karena itu perlu ditambahkan ke dalam “neat semen” (suspensi semen yang
hanya terdiri dari bubuk semen dan air) beberapa zat kimia (additive) agar dicapai
hasil penyemenan yang diinginkan.
A. Accelerator
Tabel II-2.
Pengaruh Kalsium Klorida Terhadap Thickening Time dan Compreesive Strength31)
THICKENING TIME SLURRY + ACCELERATOR
THICKENING TIME (Jam : menit)
CaCl2 (%BWOC) 91°C 103°C 113°C
0 4:0 3 : 30 2 : 32
2 1 : 17 1 : 11 1 : 01
4 1 : 15 1 : 02 0 : 59
B. Retarder
B.1. Lignosulfonate
Lignosulfonate merupakan polymer yang terbuat dari pulp. Umumnya dengan
kadar 0,1 - 1,5 % BWOC (by weight on cement) efektif dicampur ke dalam suspensi
semen untuk berfungsi sebagai retarder. Lignosulfonate dapat berfungsi sampai
temperatur 62 °C (144 °F), namun tetap efektif sampai temperatur 121 °C (250 °F).
Dan bila ditambahkan sodium borate dapat bertahan sebagai retarder hingga
temperatur 315 °C (600 °F).
B.2. CMHEC
CMHEC (Carboxymethyl Hydroxyethyl Cellulose) merupakan polisakaride
yang terbentuk dari kayu dan tetap stabil bila terdapat alkalin pada suspensi semen.
CMHEC tetap efektif sebagai retarder sampai temperatur 121 °C (250 °F).
C. Extender
Extender adalah additive yang berfungsi untuk menaikkan volume suspensi
semen, yang berhubungan dengan mengurangi densitas suspensi tersebut. Pada
umumnya penambahaan extender ke dalam suspensi semen akan diikuti penambahan
air. Penurunan densitas suspensi semen akan mengurangi tekanan hidrostatis selama
penyemenan.
Adapun yang termasuk extender antara lain: bentonite, attapulgite, sodium
silikat, pozzolan, perlite dan gilsonite.
C.1. Bentonite
Bentonite merupakan extender additive yang umum digunakan dan bersifat
banyak menghisap air, sehingga volume suspensi semen bisa menjadi 10 kalinya. API
merekomendasikan bahwa tiap penambahan 1% bentonite akan ditambahkan pula
5,3 % (BWOC) yang berlaku untuk seluruh kelas semen. Pengaruh lain dari
penambahan bentonite adalah yield semen naik, kualitas perforasi lebih baik,
compressive strength menurun, permeabilitas naik, viskositas naik dan biaya lebih
murah. untuk temperatur di atas 110 °C (233 °F), penambahan bentonite
menyebabkan turunnya compressive strength secara drastis.
C.2. Sodium Silikat
C.3. Pozzolan
C.4. Perlite
C.5. Gilsonite
D. Weighting Agent
D.1. Hematite
D.2. Ilmenite
D.3. Barite
D.4. Pasir
Pasir yang digunakan sebagai weighting agent adalah pasir ottawa. Dengan
specifik gravity 2,63 maka densitas suspensi semen yang mengandung pasir ottawa
ini dapat mencapai 18 ppg. Penggunaan pasir ottawwa ini biasanya digunakan untuk
penyemenan lubang sebagai tempat pemasangan whopstock dan untuk plug job.
E. Disparsant
Dispersant adalah addive yang dapat mengurangi viskositas suspensi semen.
Pengurangan viskositas atau friksi terjadi karena disperant mempunyai kelakuan
sebagai thinner (pengencer). Hal ini menyebabkan suspensi semen menjadi encer,
sehingga dapat mengalir dengan turbulen walaupun dipompakan dengan rate (laju)
yang rendah dan telah menggunakan weighting agent.
Additive yang tergolong dispersant adalah senyawa-senyawa sulfonate.
H. Specially Additive
Tabel II-3.
Pengaruh Berbagai Additive Terhadap Sifat Fisik Semen
2.4. PROSES HIDRASI SEMEN
Hidrasi semen portland adalah suatu reaksi kimia yang terjadi antara zat padat
dan zat cair, sehingga larutan yang terjadi akhirnya akan mengeras. Pada suspensi
yang digunakan dalam operasi penyemenan, hidrasi terjadi berurutan antara klinker,
kalsium sulfat dan air, sampai akhirnya suspensi semen mengeras. Hidrasi semen
portland ini hampir sama dengan hidrasi C3S sendiri, namun ada beberapa parameter
yang harus ditambahkan.
Hidrasi semen portland dapat dibedakan menurut kondisi temperatur
lingkungan yang dialami, yakni hidarasi pada temperatur rendah dan hidrasi pada
temperatur tinggi.
2.4.1. Hidrasi Pada Temperatur Rendah
Butiran semen
Water Lapisan entrigite Pertumbuhan serat (fibril)
Air dan butiran semen bereaksi menghasilkan lapisan hidrasi pada permukaan
butiran semen. Proses ini berlangsung beberapa menit sambil terus meresap ke dalam
celah-celah antara butiran. Setelah beberapa jam (ukuran butaran bertambah kecil)
berkembang dan terbentuk lapisan gel di antara butiran. Kemudian lapisan-lapisan gel
ini mulai bergabung (kontinyu) sehingga kekuatan mulai terbentuk. Pada proses
pengerasan ini gel tetap terbentuk.
Fasa silikat dalam semen portland merupakan komponen yang paling banyak,
biasanya lebih dari 80% total material. C3S adalah unsur utamanya, dengan
konsentrasi sampai 70%, sedangkan kadar C2S tidak lebih dari 20%.
Hasil reaksi kimia C3S dan C2S dengan air menghasilkan kalsium silikat hidrat
(C-S-H) dan kalsium hidroksida (CaOH2), yang umum dikenal bernama Portlandite.
Reaksinya adalah sebagai berikut:
Pada awal proses, hidrasi berlangsung singkat, fasa silikat mengalami periode
reaktifitas lambat yang disebut dengan “Induction Period”. Namun periode ini tidak
terlalu mempengaruhi rheologi suspensi semen. Hidrasi yang besar terjadi saat laju
hidrasi C3S melalui laju hidrasi C2S, karena kelebihan laju hidrasi ini dan banyaknya
gel C-S-H, hidrasi C3S sangat berpengaruh pada saat proses pengerasan semen dan
pengembangan awal strength semen. Sedangkan hidrasi C2S berpengaruh pada final
strength semen.
a. Preinduction Period
Lamanya periode ini hanya beberapa menit saja. Reaksi eksothermal yang besar
pada periode ini diakibatkan oleh pembasahan bubuk semen dan kecepatan hidrasi
awal. Lapisan awal gel C-S-H terbentuk disekeliling permukaan C3S yang anhydrous
(Gambar 2.4.)
Saat komponen C3S kontak dengan air, ion-ion O2 dan SiO4- berubah menjadi ion-
ion OH- dan H3SiO4-. Reaksi ini berlangsung cepat dan diikuti dengan terputusnya
permukaan berproton yang sesuai dengan reaksi berikut :
Kemudian larutan yang terjadi memjadi supersaturated (lewat jenuh) dan terjadi
endapan gel C-S-H.
Selama periode ini, konsentrasi lewat jenuh kalsium hidroksida tidak tercapai,
karena itu pada persamaan diatas ini konsentrasikapur bertambah selama proses
hidrasi berlangsung.
b. Induction period
Selama periode ini, laju pembebasan panas turun. Penambahan gel C-S-H
lambat, Konsentrasi Ca2+ dan OH- terus bertambah. Ketika kondisi superheated
tercapai, pengkristalan kalsium hidroksida mulai terjadi. Pada temperatur lingkungan,
lamanya periode ini berlangsung beberapa jam.
d. Diffusion Period
Pada periode ini, hidrasi berlangsung dalam keadaan lambat dan porositas
sistem berkurang. Jaringan produk hidrat menjadi lebih tebal dan strength bertambah
besar. Kristal portlandite terus berkembang dan memakan buturan C3S yang berakibat
hidrasi total tidak pernah terjadi.
Fasa aluminate, terutama C3A sangat reaktif pada hidrasi yang berlangsung
singkat. Walaupun kadar aluminate lebih kecil daripada kadar silikat, namun
aluminate ini berpengaruh terhadap rheologi suspensi semen dan pembentukan
strength semen pada awal periode. Hidrasi fasa aluminate yang terjadi pada
komponen C3A dan C4AF umumnya sama, perbedaannya pada waktu hidrasi C4AF
yang lebih lama dari waktu hidrasi C3A.
Seperti pada C3S, maka langkah hidrasi awal C3A adalah reaksi antara
permukaan solid dengan air. Reaksi irreversibel menuntun hidroksilasi anion AlO2-
dan O2- ke dalam (Al(OH)4)- dan OH- sehingga mengakibatkan terputusnya
permukaan yang berproton.
Ca3Al2O6 + 6 H2O 3 Ca2+ + 2 (Al(OH)4)- + 4 OH-
Larutan dengan cepat menjadi supersaturated sehingga timbul kalsium
aliminate hidrat.
6 Ca2+ + 4 (Al(OH)4)- + 8 OH- + 15 H2O Ca2(Al(OH)5)2.3H2O
+2(Ca2Al(OH)7.6H2O)
Kedua reaksi di atas digabungkan menjadi :
2C3A + 27H C2AH8 C2AH8 + C4AH19
Kalsium Aluminate hidrate pada persamaan ini hampir stabil kondisinya dan
terjadi dalam bentuk kristal heksagonal. Kemudian berubah menjadi lebih stabil
dalam bentuk kubik sebagai C3AH6, menurut reaksi di bawah ini:
C2AH8 + C4AH19 2C3AH6 + 15 H
Tidak seperti calcium sillicate hydrate, calcium aluminat hydrate tidak
amorphous dan tidak punya lapisan pelindung. Karenanya pada hidrasi fasa
aluminate tidak ada periode induksi dan hidrasinya berlangsung cepat.
Hidrasi C3A dikontrol dengan menambahkan 3 – 5 % gypsum pada klinker
sebelum digiling. Ketika kontak dengan air, sebagian gypsum pecah. Ion-ion kalsium
dan sulfat bereaksi dengan ion aluminate dan ion hidroksil membentuk calcium
trisulfoaluminate hydrate yang biasa dikenal sebagai mineral ettringite, seperti
terlihat pada reaksi di bawah ini:
6Ca2+ + 2(Al(OH)4)- + 3SO42- + 4 OH- + 26 H2O Ca6 (Al(H6))2.2(SO4)3.26H2O
Ettringite terjadi dalam bentuk kristal jarum yang timbul pada permukaan
C3A yang menghindari hidrasi berikutnya, jadi periode hidrasi seolah-olah dibuat.
Selama periode ini gypsum secara perlahan-lahan habis dan ettringite terus timbul.
Kemudian hidrasi C3A menjadi lebih cepat, saat gypsum mulai habis. Konsentrasi ion
sulfat berkurang dengan tajam. Ettringite menjadi tidak stabil dan berubah jadi
calcium monosulfoaluminate hydrate.
C3A.3CS.32H + 2 C3A + 4H 3 C3A.CS.12H
Sedangkan C3A yang tidak menghidrat membentuk kalsium aluminate hidrat.
2.4.2. Hidrasi Pada Temperatur Tinggi
Seperti telah diterangkan sebelumnya, bahwa semen portland terdiri dari
paling banyak material kalsium silikat yang terdiri dari komponen trikalsium silikat
dan dikalsium silikat. Penambahan air pada material tersebut akan membentuk gel
kalsium silikat hidrat (gel C-S-H) yang akan mempengaruhi strength dan kestabilan
semen pada temperatur biasa, selain itu sejumlah kalsium hidroksida dibebaskan.
Gel C-S-H merupakan produk awal pada temperatur tinggi dan sebagai
material pengikat pada temperatur kurang dari 110°C (230°F). Pada temperatur yang
lebih tinggi, gel C-S-H tidak lagi stabil dan mengalami metamorfosis yang selalu
menyebabkan turunnya compressive strength dan menaikkan permeabilitas semen.
Kejadian ini umum disebut dengan Strength Retrogression (Swayze, 1954).
Gel C-S-H sering berubah fasa menjadi Alpha Dicalcium Sillicat Hydrat yang
membentuk kristal dan lebih padat dibanding gel C-S-H. Akibatnya mempengaruhi
kelakuan compressive strength dan menaikkan permeabilitas semen sampai pada
temperatur 230°C (446°F). Compressive strength akan hilang dalam waktu satu bulan
dan permeabilitas naik.
Masalah strength retrogresion dapat dicegah dengan menambahkan bubuk
kapur silika dalam bubuk semen.
Pada gambar 2.8. diperlihatkan kondisi macam-macam komponen kalsium
silik. Rasio C : S diplot terhadap temperatur. Gel C-S-H mempunyai rasio rata-rata
1,5. terjadinya α C2SH pada 110°C (230°F) dapat dicegah dengan menambahkan 35 –
40%silika, sehingga mengurangi rasio C : S menjadi sekitar 1. pada kondisi ini
sebuah mineral yang diketahui sebagai Tubermorite (C5S6H5) terbentuk yang
memberikan sifat strength tinggi dan permeabilitas rendah dari semen dipertahankan.
Kenaikkan temperatur sampai 149°C (300°F) menyebabkan tubermorite berubah
menjadi Xonolite(C6S6H) dan sebagian kecil Gyrolite (C6S3H2). Namun kadang-
kadang tubermorite bertahan hingga temperatur 250°C (482°F) karena adanya
pergantian alluminium dalam struktur atom semen portland. Pada temperatur 249 oC
(480 oF), Truscottite (C7S12H3) mulai terbentuk. Mendekati temperatur baik xonolite
maupun truscottite mencapai keadaan yang stabil, tetapi bila melebihi temperatur
stabil ini keduanya dapat menrusak semen.
Akibatnya reaksi hidrasi menjadi tidak murni, dimana gel C-S-H mengikat
sejumlah aluminat, iron oxide dan sulphur sementara ettringite dan
monosulfoaluminate mengeadung silikat.
Hidrasi merupakan suatu reaksi kimia yang terjadi antara zat padat dan zat
cair, sehingga larutan yang terjadi akhirnya mengeras. Pada suspensi semen yang
digunakan dalam operasi penyemenan, hidrasi yang terjadi adalah antara klinker,
kalsium sulfat dan air sehingga suspensi semen tersebut akhirnya mengeras.
2.5.1. Densitas
1500
Tekanan Pengkondisian (psi)
1000
500
0
0 100 200 300 400
Thickening Time (menit)
Pada sumur-sumur yang dangkal maka diperlukan thickening time yang tidak
lama, karena selain target yang akan dicapai tidak terlalu panjang, juga untuk
mempersingkat waktu. Untuk mempersingkat thickening, maka dapat ditambahkan
accelerator ke dalam suspensi semen. Yng termasuk accelerator adalah calcium
chloryda, sodium chloryda gypsum, sodium sillicate, air laut dan addite yang
tergiling dalam dispartant.
Gambar 2.11. Hubungan Thickening Time vs Temperatur Pengkondisian17)
filtrate filtrate
Dehidrate
cement
Weak Zones Fractured
Weak Zones
Dari penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa filtration loss adalah
peristiwa hilangnya cairan dari suspensi semen ke dalam formasi permeabel yang
dilaluinya. Cairan ini sering disebut juga dengan filtrat. Filtrat yang hilang tidak
boleh terlalu banyak, karena akan menyebabkan suspensi semen kekurangan air.
Kejadian ini disebut dengan flash set (Gambar 2.12.).
Bila suspensi semen mengalami flash set maka akan mengakibatkan naiknya
viscositas suspensi dan pembentukan filtrat cake dengan cepat. Hal ini akan
menimbulkan friksi di annulus, menurunnya final strength semen dan juga dapat
mengakibatkan pecahnya formasi dan loss circilation.
Pengontrolan fluid loss merupakan bagian yang penting selama squeezing.
Hal ini untuk menghindari dehidrsi suspensi semeen yang terlalu cepat dalam pipa
dan untuk memberikan distribusi suspensi semen yang seragam ke dalam semua
lubang perforasi. Tentu saja sejumlah water loss diinginkan jika suspensi semen
membentuik filtrat cake yang diinginkan untuk menyumbat lubang perforasi.
Pengujian filtration loss di laboratorium menggunakan alat filter pres pada
kondisi temperatur yang disesuaikan dengan temperratur sirkulasi dengan tekanan
100 psi (700 kPa) atau 1000 psi (6900 kPa). Namun filter press mempunyai
kelemahan yaitu temperatur maksimum yang bisa digunakan hanya sampai 82 oC
(180 oF). Filtration loss diketahui dari volume filtrat yang ditamoung dalam sebuah
tabung selama 30 menit masa pengujian. Filtrat yang terjadi disarankan untuk
penyemenan casing antara 100 sampai 200 ml/30 menit di bawah tekanan 1000 psi 15).
Untuk squeeze atau liner cementing antara 50 sampai 150 ml selama 30 menit.
Additive yang biasa digunakan untuk f;uid loss adalah synthetic organik liquid
polymer dan cellulosic derivate. Bentonite juga digunakan untuk mengontrol fluid
loss (400-500 ml/30 menit) dan dapat juga digunakan pada densitas rendah.
Kadar maksimum semen yang diberikan setiap kelas semen adalah sebanding
dengan jumlah sisa partikel semen dalam suspensi hingga initial set terjadi. Laju
pengendapan untuk kelas-kelas semen sebagian besar tergantung pada luas
permukaan, komposisi kimia dan WCR. berdasarkan anggapan ini, maksimum WCR
semen ditetapkan sebagai jumlah maksimum air yang dicampur dengan semen tanpa
menyebabkan pemisahan lebih dari 3,5 ml air bebas ketika 250 slurry didiamkan
selama 2 jam pada temperatur ruang pada sebuah silinder.
WCR vs Densitas
10
9
WATER CEMEN T RATIO (GALLON S
8
(WATER/ SACK CEMEN T)
0
13 14 15 16 17 18
Jumlah air yang terlalu sedikit akan menyulitkan pemompaan, sedangkan bila
terlalu banyak akan menurunkan kekuatan semen karena naiknya permeabilitas
semen. Jadi kadar air yang terdapat dalam suspensi semen harus berada antara kadar
minimum dan maksimumnya.
Kandungan air normal dalam suspensi semen yang direkomendasikan API
terdapat pada Tabel II-4.
Tabel II-4.
Kandungan Air Normal Dalam Suspensi Semen API
API Class Water (%) by Water
Cement Weight of gal per sack L per sack
Cement
A and B 46 5,19 19,6
C 56 6,32 23,9
D,E,F and H 38 4,29 16,2
G 44 4,97 18,8
J (tentative) - - -
2.5.6. Permeabilitas
Permeabilitas diukur pada semen yang mengeras dan bermakna sama dengan
permeabilitas batuan formasi yaitu kemampuan mengalirkan fluida. Dalam operasi
penyemenan, permeabilitas yang diinginkan sekecil mungkin bahkan tidak ada.
Karena bila bila permeabilitas semen besar akan menyebabkan timbulnya kontak
fluida sehingga strength semen berkurang. bertambahnya permeabilitas semen bisa
diakibatkan oleh air pencampur yang terlalu banyak, kelebihan additive atau
temperatur yang tinggi.
2.5.7. Strength
Strength pada semen dibagi dua yaitu compressive strength dan shear
strength. Compressive Strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam
menahan tekanan-tekanan yang berasal dari formasi maupun casing. Sedangkan shear
strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan gaya geser oleh berat
casing. Pada kondisi normal semen akan mendapat gaya compressive yang menahan
tekanan-tekanan dari arah horisontal dan shear strength menahan tekanan dari arah
vertikal.
Dari gambar tersebut bisa dilihat bahwa tekanan pengkondisian diatas 2000
psi sudah tidak memberikan kenaikan compressive strength yang berarti, jadi untuk
tujuan praktis pengkondisiansuatu percobaan, dapat digunakan tekanan ± 1000
psisebagai simulasi kondisi bawah sumur.
10% 40%
Semen
30% dan casing menerima beban
0% compresive dan tensile yang sangat tinggi
Persentase Silica Flour
dari batuan di sekitarnya. Setelah pemboran kondisi batuan tidak stabil. Batuan
8
mempunyai yield dibawah kondisi strain tektonis dan ini diterimakan pada casing dan
Compresive Strength (1000 psi)
7
semen. Pada6kondisi ini semen dan casing tidak lebih dari lapisan yang menyelubungi
suatu lubang5 yang menerima beban dari dua arah, luar dan dalam.
4
3
2
1
0
100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
Temperatur (degree of C)
Gambar 2.14. Hubungan antara Compressive Strength trehadap Temperatur
8
Compressive Strength (1000 psi)
5
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Curing Pressure (psi x 1000)
Overburden
Pressure
Casing
Deformable /
Plastic Formation
Cement Hydrostatic
Pressure
Gambar 2.17. Tensile Strtength Semen Pada Simulasi 2000 psi vs Waktu
Ikatan semen yang baik adalah tujuan utama dari penyemenan primer
Beauden dan Lane (1961) merancang percobaan sederhana untuk menentukan shear
bond strength pada pipa. Mereka menyimpulkan bahwa sifat tersebut sangat
dipengaruhi berbagai faktor.Kenaikan tensile strength menaikkan shear bond strength
(walau keduanya tak punya hubungan khusus, Farris) yang mana bergantung pada
komposisi semen, temperatur, tekanan pengkondisian serta waktu. Selain itu juga
kekerasan permukaan casing dan hadirnya pengotor lumpur atau minyak.
Becker dan Peterson, 1963 menyatakan bahwa shear bond strength
dipengaruhio gaya adhesi, derajat hidrasi semen. berlaku secara umum bahwa kuat
tarik semen besarnya sekitar 1/12 dari compressive strength. Tensile strength selama
30 hari umumnya memiliki perilaku seperti dapat dilihat pada gambar 2.17.
Mengikuti anggapan ini, Farris menyimpulkan bahwa compressive strenth
paling rendah (100 psi) diperlukan untuk mendukung casing seperti yang ditunjukkan
tabel II-5 dan II-6. Namun demikian, praktek pemboran yang jelek dapat
meruntuhkan selubung semen.
Tabel II-5.
Cement Bond Strength
Tabel II-6.
Daya Dukung Semen Terhadap Panjang Pipa