Anda di halaman 1dari 4

1.

Analisis hukum terkait korporasi sebagai subyek/pelaku tindak pidana korupsi , dasar hukum
dan contoh kasus yang saudara ketahui
Subyek hukum merupakan entitas yang memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas
hukum. entitas yang dimaksud adalah Manusia (Nature person) dan Badan Hukum (Legal
Person). Korporasi itu sendiri merupakan terminologi lain dari badan hukum. korporasi
sebagai subjek hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana (corporate crime) yang
mampu memberikan dampak kerugian dan dapat diminta pertanggungjawabannya dalam
hukum pidana. Dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER
028/A/JA/10/2014 Tentang Pedoman Penangan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum
Korporasi, dijelaskan bahwa apabila dalam undang-undang yang disangkakan mengatur
subjek hukum korporasi, maka tuntutan pidana dapat diajukan kepada korporasi atau
pengurus korporasi atau korporasi dan pengurus korporasi tersebut. Terkait tindak pidana
korupsi, dalam pasal 20 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak
Pidana Korupsi, dijelaskan bahwa apabila tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas
nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya. Oleh karena itu pada kasus tindak pidana korupsi apabila
terpenuhi unsur kriteria perbuatan yang dapat dimintai ertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi, maka korporasi dapat dianggap sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan dimintai
pertanggungjawaban pidananya.
Unsur kriteria perbuatan yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi telah diatur adalam Bab II Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER
028/A/JA/10/2014. Dalam bab ii peraturan jaksa tersebut dijelaskan mengenai 9 (sembilan)
kriteria perbuatan yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi,
yaitu : (1) Segala bentuk perbuatan yang didasarkan pada keputusan pengurus korporasi
yang melakukan maupun yang turut serta melakukan; (2) Segala bentuk perbuatan baik
berbuat atau tidak berbuat yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan korporasi baik
karena pekerjaan dan/ atau hubungan lain; (3) Segala bentuk perbuatan yang menggunakan
sumber daya manusia, dana dan /atau segala bentuk dukungan atau fasilitas lainnya dari
korporasi; (4) Segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga atas permintaan
atau perintah korporasi dan/atau pengurus korporasi; (5) Segala bentuk perbuatan dalam
rangka melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari korporasi; (6) Segala bentuk perbuatan
yang menguntungkan korporasi; (7) Segala bentuk tindakan yang diterima/biasanya
diterima; (8) Korporasi yang secara nyata menampung hasil tindak pidana dengan subjek
hukum korporasi dan/atau; (9) Segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada korporasi menurut undang-undang.
Contoh kasus korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi antara lain adalah
kasus korupsi yang dilakukan oleh PT. DGI. Pada tahun 2017 PT DGI dituntut
bertanggungjawab atas kasus korupsi pembangunan RSP Khusus Penyakit Infeksi dan
Pariwisata Udayana, wisma atlet dan Gedung serbaguna Provinsi Sumatera Selatan. dalam
kasus ini PT DGI dan direktur utamanya dituntut melanggar pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU
No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat
(1) ke 1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUH
Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasus korupsi ini telah terpenuhi 4 unsur kriteria perbuatan yang korporasi
dapat diminta pertanggungjawabannya, yaitu: (1) Segala Bentuk Perbuatan Yang Didasarkan
Pada Keputusan Pengurus Korporasi Yang Melakukan Maupun Yang Turut Serta Melakukan:
(2) Segala Bentuk Perbuatan Dalam Rangka Melaksanakan Kegiatan Usaha Sehari-hari
Korporasi; (3) Segala Bentuk Perbuatan Yang Menguntungkan Korporasi; (4) Korporasi Yang
Secara Nyata Menampung Hasil Tindak Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi. Korupsi
yang dilakukan oleh dirut PT DGI terbukti telah memperkaya PT DGI pada tahun 2009 dan
2010. Selain itu tindakan korupsi yang dilakukan oleh dirut PT DGI tersebut dilakuan dalam
rangka melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari PT DGI yang bergerak di bidang usaha jasa
konstruksi. Negara juga merasakan kerugian yang besar akibat korupsi yang dilakukan oleh
PT. DGI. Sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana, PT DGI dituntut membayar denda Rp
1 M dan uang pengganti sebesar Rp. 188 M.

2. Analisis saudara bagaimana korporasi pada pinjaman online illegal dapat dihukum sebagai
subyek hukum pidana.
Perusahaan yang mengelola pinjaman online illegal, biasanya mengelola lebih dari
dua pinjaman online illegal. Perusahaan pinjol illegal dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidanaanya karena pada dasarnya kegiatan dari ‘bisnis’ atau anggara dasar perusahaan
tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum. teori pertanggungjawaban pidana
yang dapat diterapkan adalah direct liablility dimana kegiatan dari para pengurus
perusahaan merepresentasikan kegiatan korporasi tersebut. unsur perbuatan yang telah
terpenuhi antara lain adalah (a) Segala bentuk perbuatan dalam rangka melaksanakan
kegiatan usaha sehari-hari korporasi dan (b) segala bentuk perbuatan yang menguntungkan
korporasi. Kegiatan seperti penyebaran data pribadi, pengancaman, dan pemerasan yang
dilakukan oleh karyawan perusahaan pinjol illegal dilakukan agar para nasabah membayar
utang mereka, dan hal tersebut merupakan salah satu kegiatan usaha sehari-hari
perusahaan pinjol yang bergerak dibidang jasa fintech. Pemberlakuan Bunga tinggi yang
melebihi aturan OJK dan BI merupakan upaya yang dilakukan demi meningkatkan
keuntungan perusahaan pinjol illegal.

3. Kasus PT GSG sengaja menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
menggunakan faktur pajak TBTS (tidak berdasarkan transaksi sebenarnya) kemudian
diajukan restitusi PPN. Adanya indikasi fraud atas pelaporan SPT (Wajib Pajak) dapat dilacak
dalam sistem pengawasan terintegrasi yang ada PDA Ditjen Pajak. Berikan analisis hukum
saudara terkait kasus tersebut
Pada tahun 2020, Kanwil Dirjen Pajak Jakarta Barat mengungkap kasus fraud pajak
yang dilakukan oleh PT. GSG pada tahun 2019. Akibat kasus fraud tersebut negara dirugikan
sebesar ± Rp. 9 M. PT GSG terbukti melanggar pasal 39 A Huruf (a) dan pasal 39 ayat 3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan. Dalam pasal 39 A dijelaskan bahwa subyek hukum yang
menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi
sebenarnya diancam dengan pidana penjara minimal dua tahun dan maksimal 6 tahun
serta denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak dan maksimal 6 kali
jumlah pajak. Kemudian pada pasal 39 KUP, subyek hukum yang dengan sengaja
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar dan dapat menimbulkan kerugian bagi
pendapatan negara, maka dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara minimal 6 bulan
dan maksimal 6 tahun, serta denda minimal 2 kali pajak terutang yang kurang dibayar dan
paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang. Dalam kasus ini, unsur kriteria perbuatan
yang terpenuhi antara lain adalah perbuatan yang dilakukan demi menguntungkan
korporasi dan Korporasi yang secara nyata menampung hasil tindak pidana pajak tersebut.
Tindakan fraud pajak ini dilakukan untuk mengurangi biaya pajak, sehingga keuntungan
yang didapat oleh PT GSG semakin besar. Keuntungan dari tindakan fraud pajak ini tidak
hanya dinikmati oleh para pengurus berkaitan dengan pajak di PT GSG, melainkan juga
dinikmati oleh perusahaan. Dalam kasus ini apabila perusahan tidak dapat membayarkan
pidana denda yang harus dibayar, maka para pengurus PT GSG dapat diminta
pertanggungjawabannya untuk membayar denda tersebut.

4. Jelaskan unsur tindak pidana pada kesalahan korporasi menurut aturan hukum di Indonesia
Dalam pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 tentang tata cara
penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi, dijelaskan bahwa unsur kesalahan yang
perlu dipenuhi dalam perkara tindak pidana yang korporasi diminta pertanggungjawabannya
antaralain adalah : (a) Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak
pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan demi kepentingan korporasi; (b)
Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana tersebut; atau (c) Korporasi tidak melakukan
langkah yang diperlukan untuk mencegah tindakan tersebut, mencegah dampak kerugian
yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna
menghindari terjadinya tindak pidana. Bagian (a), dapat dinilai sebagai syarat perbuatan,
yaitu syarat untuk menentukan apakah suatu tindak pidana dapat dimintakan
tanggungjawabanya terhadap korporasi atau untuk menentukan dapat atau tidak dapatnya
korporasi dipersalahkan. Pada bagian (b), korporasi dianggap tidak segera pada kesempatan
yang pertama melakukan Langkah-langkah proporsional untuk menghentikan dan/atau
melaporkan tindak pidana tersebut. Pada bagian (c), unsur tindak pidananya terletak pada
tidak adanya Langkah pencegahan yang dilakukan oleh korporasi untuk mencegah terjadinya
tindak pidana, misalkan tidak adanya upaya-upaya untuk membangun kepatuhan hukum
terhadap para karyawannya. Kemudian, sikap korporasi pasca terjadinya suatu tindak pidana
juga perlu diperhatikan. Tidak adanya sikap yang proporsional, layak dan patut yang
dilakukan untuk menghindari kerugian yang lebih besar kepada pihak lain merupakan unsur
kesalahan dari korporasi.

5. Jelaskan mechanisme/ tata cara penanganan perkara tindak pidana korporasi yang berlaku
di Indonesia dari konteks penyidikan?
Di Indonesia mekanisme/ tata cara penanganan perkara tindak pidana korporasi
telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 tentang tata cara
penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi. Dalam konteks penyidikan pada bagian
pemeriksaan telah diatur dalam pasal 9 mengenai mekanisme pemanggilan dalam rangka
pemeriksaan. Pemanggilan terhadap korporasi ditujukan dan disampaikan kepada korporasi
ke alamat tempat kedudukan atau tempat korporasi tersebut berperasi. Jika tidak diketahui
alamat korporasi, maka disampaikan melalui alamat tinggal salah satu pengurus korporasi.
Jika kedua hal tersebut tidak diketahui, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui
media cetak atau elektronik dan ditempelkan pada tempat pengumuman di Gedung
pengadilan yang berwenang mengadiliki perkara tersebut. isi dari surat panggilan terhadap
korporasi harus setidaknya memuat : nama korporasi, tempat kedudukan, kebangsaan
korporasi, status korporasi dalam perkara pidana, waktu dan tempat dilakukannya
pemeriksaan, dan ringkasan dugaan tindak pidana terkait pemanggilan tersebut.
dalam pasal 11 dijelaskan bahwa pemeriksaan terhadap korporasi sebagai tersangka
pada tingkat penyidikan diwakili oleh seorang pengurus korporasi. Penyidik melakukan
pemeriksaan terhadap korporasi yang diwakili oleh pengurus korporasi harus dilengkapi
dengan surat panggilan yang sah. Pengurus yang mewakili korporasi dalam pemeriksaan
wajib hadir dalam pemeriksaan korporasi. Apabila korporasi yang telah dipanggil tidak hadir,
menolak hadir atau tidak menunjuk pengurus untuk mewakili korporasi dalam pemeriksaan,
maka penyidik berhak menentukan salah seorang pengurus untuk mewakili korporasi dan
memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa pengurus tersebut
secara paksa. Dalam pasal 18 dijelaskan bahwa pemanggilan dan pemeriksaan pengurus
yang diajukan sebagai saksi, tersangka ataupun terdakwa dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan KUHAP dan peraturan undang-undang yang berlaku. Pada pasal 19 dijelaskan
bahwa proses pemeriksaan korporasi dan pengurus korporasi dilakukan secara sendiri-
sendiri pada proses penyidikan maupun penuntutan. Surat dakwaan terhadap korporasi
dibuat sesuai dengan pasal 143 ayat (2) KUHAP. Mengenai mekanisme pembuktian telah
diatur dalam pasal 14, yaitu keterangan korporasi merupakan alat bukti, dan sistem
pembuktian mengikuti KUHAP dan ketentuan hukum acara khusus dalam undang-undang/

Anda mungkin juga menyukai