Anda di halaman 1dari 34

11 Januari 2017

FILOSOFI, TEORI, DAN PRAKSIS STRATEGI PEMBELAJARAN


KEJURUAN AGROBISNIS ABAD 21
Disusun oleh
Hestina Windiyati, S.P., M.Pd.
Mahasiswa S3 PTK UNY

A. Pendahuluan
Di Indonesia istilah pendidikan kejuruan dan pendidikan vokasional masih
dipisahkan. Pendidikan kejuruan merujuk pada pendidikan pada sekolah menengah,
sedangkan pendidikan vokasional merujuk pada pendidikan politeknik atau
perguruan tinggi. Menurut Putu Sudira (2016: 10) sebenarnya pendidikan kejuruan
memiliki makna yang sama dengan pendidikan vokasional. Pembedaan hanya pada
penjenjangan, sedangkan secara akademik tidak memberi makna yang berbeda.
Banyak pengertian yang disampaikan oleh para ahli mengenai pendidikan
kejuruan yang intinya hampir sama, yakni mempersiapkan seseorang untuk bekerja.
Artinya, setiap bidang studi adalah pendidikan kejuruan selama bidang tersebut
dipelajari lebih mendalam dibanding lainnya serta dimanfaatkan sebagai bekal
memasuki dunia kerja. Pada masa ini perkembangan dunia kerja sangat dinamis.
Oleh karena itu, pendidikan kejuruan harus bersifat adaptif dan antisipatif terhadap
perubahan dunia kerja.
Tantangan yang harus dihadapi pendidikan kejuruan di abad 21 semakin
kompleks. Telah terjadi pergeseran orientasi pada pendidikan kejuruan. Awalnya
pendidikan kejuruan lebih banyak pada ketrampilan teknis, namun sekarang selain
ketrampilan teknis juga mengarah pada ketrampilan yang lebih luas dan memerlukan
adaptasi yang cepat. Tuntutan kerja di era global memerlukan seorang pekerja
kreatif, inovatif, inisiatif, kemampuan memimpin, mandiri, mampu berkerjasama
dalam sebuah tim, kemampuan literasi, kemampuan komunikasi efektif, dan
kemampuan memecahkan masalah. Pendidikan kejuruan di abad 21 dituntut untuk
dapat mempersiapkan perserta didik memiliki kemampuan dalam entrepreneur atau
bekerja secara mandiri. Pavlova (2009: 7) menyatakan “Traditionally, direct
preparation for work was the main goal of vocational education. It was perceived as
providing specific training that was reproductive and based on teachers’ instruction,

1
with the intention to develop understanding of a particular industry, comprising the
specific skills or tricks of the trade”. Secara tradisional tujuan utama dari pendidikan
kejuruan adalah persiapan langsung untuk bekerja. Pendidikan tersebut dianggap
memberikan pelatihan khusus yang reproduktif dan berdasarkan instruksi pengajar
dengan maksud untuk mengembangkan pemahaman tentang industri tertentu.
Pelatihan tersebut terdiri dari keterampilan khusus atau trik perdagangan. Adanya
ketrampilan perdagangan berarti pendidikan kejuruan harus pula mempelajari
tentang entrepreneur atau kewirausahaan, karena dalam kewirausahaan terdapat trik
perdagangan.
Untuk mengantisipasi perubahan tersebut Indonesia menyiapkan Sekolah
Menengah Kejuruan dengan berlandaskan 3 tujuan pokok, yaitu mempersiapkan
lulusan untuk bisa bekerja, meneruskan, dan wirausaha yang dikenal dengan
singkatan BMW. BMW mengandung makna bahwa Sekolah Menengah Kejuruan
harus dapat: 1) mempersiapkan peserta didik dengan kompetensi-kompetensi untuk
bekal bekerja memasuki dunia kerja, 2) mempersiapkan peserta didik untuk
meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi, 3) mempersiapkan peserta didik untuk
bekerja mandiri dengan berwirausaha.
Trilling, B. dan Fadel, C. (2009:10) menyatakan bahwa pekerjaan saat ini dan
yang akan datang memerlukan ketrampilan komplek, keahlian, dan kreativitas.
Pergeseran paradigma pendidikan kejuruan dari hanya menciptakan tenaga kerja
terampil menjadi menciptakan tenaga kerja terampil berpengetahuan dan berkarakter
akan berdampak pada perubahan strategi pembelajaran di sekolah kejuruan.
Tuntutan kompetensi yang lebih luas yang tidak sekadar memiliki ketrampilan teknis
akan berimplikasi pada strategi, model dan metode pembelajaran yang digunakan
oleh pendidikan kejuruan. Strategi, model dan metode pembelajaran tersebut tidak
hanya mengantar peserta didik memiliki skill teknis, tetapi juga harus mengantar
peserta didik menjadi insan yang kreatif, inovatif, mandiri, mampu bekerja dalam
tim, mampu berkomunikasi dan menerapkan budaya literasi. Perubahan strategi
pembelajaran mencakup semua bidang di SMK tidak terkecuali bidang agrobisnis.
Bidang agrobisnis atau pertanian tidak lekang oleh waktu karena menyangkut
pemenuhan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat digantikan oleh sesuatu
apapun. Kebutuhan akan produk pertanian akan selalu meningkat selama terjadi

2
peningkatan jumlah penduduk. Pemenuhan produk pertanian yang besar berdampak
pada peningkatan produksi. Adanya kegiatan produksi yang meningkat akan
memerlukan tenaga kerja yang besar pula. Berarti disektor pertanian ini peluang
kerja masih besar. Dengan seiring majunya teknologi maka terjadi pula kemajuan
teknologi produksi dibidang pertanian. Perubahan teknologi menuntut tenaga kerja
yang tidak saja terampil dalam produksi, tetapi juga memiliki pengetahuan untuk
mengoperasionalkan peralatan. Oleh karena itu, sekolah kejuruan sudah sepatutnya
mengantisipasi perubahan ini dengan menyiapkan lulusannya memiliki kecakapan
adaptasi yang cepat terhadap perubahan dan pengetahuan baru. Seperti pernyataan
Trilling, B. dan Fadel, C. (2009:11) ada 2 set skill esensial yang akan tetap pada
daftar teratas dari kebutuhan kerja pada abad 21 yaitu:


The ability to quickly acquire and apply new knowledge.
The know how to apply esential 21 st century skills -- problem solving,
communication, teamwork, technology use, innovation, and the rest-- to each
and every project, the primary unit of 21 st century work.

Skill yang tetap diperlukan pada pekerjaan di abad 21 adalah 1) kemampuan untuk
cepat memperoleh dan menerapkan pengetahuan baru. 2) Mengetahui bagaimana
menerapkan skills dasar abad ke-21 untuk setiap proyek. Skills tersebut mencakup
kemampuan pemecahan masalah, komunikasi, kerja sama dalam tim, penggunaan
teknologi, inovasi, dan waktu istirahat.
Untuk memenuhi skills abad 21 sudah seharusnya sekolah kejuruan
agrobisnis merubah strategi pembelajarannya tidak saja membentuk skill teknik,
tetapi juga ke arah pembentukkan kecakapan beradaptasi terhadap perubahan,
berkomunikasi, kerjasama dalam tim, penggunaan teknologi dan inovasi.

B. Filosofi Pendidikan Kejuruan


Menurut kamus besar bahasa Indonesia, filosofi atau filsafat adalah 1)
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, asal, dan hukumnya; 2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan;
3) ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistimologi.
Wowo Sunaryo Kuswana (2013: 27) menyatakan bahwa filsafat pendidikan
merupakan bidang filsafat terapan, dan merupakan transformasi filsafat tradisional
(ontologi, etika, epistemologi), serta pendekatan kelembagaan (filsafat spekulatif,

3
perspektif dan atau analitik). Filsafat pendidikan merupakan studi filosofis mengenai
tujuan dan proses dalam mencapai cita-cita pendidikan. Mencakup hal yang sangat
mendasar, seperti pola pengasuhan dalam mendidik, nilai-nilai dan norma melalui proses
pendidikan, batas-batas dan legitimasi pendidikan sebagai disiplin akademis serta
hubungan antara teori dengan praktik pendidikan.
Menurut Wowo Sunaryo Kuswana (2013: 27) lintasan filsafat pendidikan dari
masa ke masa ditinjau dari mazhab yang terdokumentasi sebagai berikut:
1) Mazhab Empirisme
Mahzhab ini dibawa oleh John Lock (1632-1704 M) menyatakan bahwa
manusia dilahirkan dengan jiwa yang kosong sama seperti lilin yang putih bersih
dari pengaruh apapun (Tabulae Rasae). Manusia dapat dibentuk dan dilukis
menurut kehendak pendidik, tanpa kemampuan mengadakan respons terhadap
pengaruh dari luar jiwanya.
2) Mazhab Naturalisme
Mahzhab ini dibawa oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M) yang memiliki
pandangan bahwa suatu kemampuan dipengaruhi oleh pembawaan secara
alamiah yang telah terbentuk pada setiap pribadi manusia.
3) Mazhab Nativisme-Pesimisme
Arthur Schopenhauer (1788-1880 M) berpandangan bahwa anak dilahirkan
dengan pembawaan baik dan buruk. Pembawaan merupakan kemampuan
psikologis dengan berbagai kecenderungan, seperti minat, bakat, keturunan
yang semuanya sebagai faktor penentu dari perkembangan dan pertumbuhan.
4) Mazhab Pragmatisme
Pragmatisme merupakan perkembangan dari Realisme, tumbuh dan berasimilasi
dengan inti pemikiran Yunani Kuno dari Heraclitos (544-484 SM). Pandangan
Hearclitos bahwa sifat utama dari kenyataan hidup adalah perubahan. Tidak ada
sesuatu kenyataan yang tetap di muka bumi ini, semuanya akan mengalir terus
dan berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Protagoras (480-410SM), yang
berpandangan bahwa kebenaran, nilai dan norma tidak bersifat mutlak,
melainkan bersifat relatif tergantung waktu dan tempat.

4
John Dewey (1859 -1952 M) bersama-sama dengan Charles Sanders Peirce dan
William James, diakui sebagai salah satu pendiri filsafat pragmatisme dan
psikologi fungsional. Selain itu, banyak mempublikasikan tentang pendidikan.
Tulisan-tulisannya, berisikan beberapa tema berulang, mengenai lingkaran
kebenaran; pendidikan yang terus-menerus dan belajar adalah proses sosial dan
interaktif. Dewey membuat kasus yang kuat untuk pentingnya pendidikan tidak
hanya sebagai tempat untuk memperoleh pengetahuan, namun juga sebagai
tempat untuk belajar bagaimana untuk hidup. Pandangannya bahwa tujuan
pendidikan tidak harus berputar seputar pengadaan pra keterampilan yang
ditentukan, melainkan realisasi potensi penuh seseorang dan kemampuan untuk
menggunakan keterampilan itu untuk kebaikan yang lebih besar. Dewey
mengakui bahwa pendidikan dan sekolah adalah instrumental dalam
menciptakan perubahan sosial dan reformasi. Dewey juga memiliki gagasan
tertentu tentang bagaimana pendidikan harus dilakukan dalam kelas. Ia
berpendapat bahwa agar pendidikan menjadi efektif, konten harus disajikan
dengan cara yang memungkinkan anak didik, untuk menghubungkan antara
informasi baru ke pengalaman sebelumnya, sehingga memperdalam hubungan
dengan pengetahuan baru. Pada saat yang sama, Dewey khawatir oleh banyak
pemikiran "belajar berpusat pada anak". Dewey berpendapat bahwa
ketergantungan terlalu banyak pada anak bisa sama dengan merusak proses
belajar. Menurutnya potensi kelemahan dalam garis pemikiran ini adalah bahwa
hal itu meminimalkan pentingnya isi serta peran guru.
Ide Dewey mempengaruhi banyak model lainnya. Banyak peneliti yang
mengembangkan Pembelajaran Berbasis Proyek (PBL), dan menempatkan
peserta berperan aktif sebagai peneliti. Menurut Dewey peran guru harus sebagai
fasilitator dan pemandu. Guru di sekolah tidak untuk memaksakan ide-ide
tertentu atau membentuk kebiasaan tertentu pada anak, tetapi guru menjadi
mitra dalam proses pembelajaran dan membirnbing siswa secara mandiri
menemukan makna dalam area subjek. Falsafah ini telah menjadi ide yang
semakin populer dalam program persiapan guru.
5) Mazhab Konvergensi

5
William Stem (1871-1939 M) sebagai pionir dalam psikologi kepribadian dan
intelektual dengan konsep IQ. Teorinya tentang konvergensi mempunyai
pandangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan secara sintetis dan
dialektis, yaitu adanya perpaduan antara kemampuan dasar yang dibawa sejak
lahir dengan faktor lingkungan dari luar dirinya. William Stem mengemukakan
bahwa pertumbuhan dan perkembangan berjalan secara dialektis atau saling
berpengaruh antara faktor internal dan ekstemal dari seseorang.
Faktor pendidikan yang sengaja dirancang secara sistematis dapat memberikan
makna terhadap faktor bawaannya. Faktor bawaan kurang bermakna apabila
tidak terjadi dukungan faktor luar. Oleh karena itu, untuk pencapaian tujuan
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dibutuhkan saling berinteraksi.
Intelegensi (kecerdasan) anak didik, dapat dikembangkan melalui proses
interaksi dengan faktor pembentuk dari luar. Walaupun, paham ini mengakui
bahwa kekuatan kecerdasan sebagian besar sangat dipengaruhi oleh keturunan.
6) Mazhab Essensialisme
Setiap wujud jenis (kebendaan), memiliki kumpulan karakteristik tertentu atau
setiap entitas semacam itu sudah pasti memilikinya. Oleh karena itu, segala
sesuatu dapat tepat didefinisikan atau dijelaskan. Secara sederhana, esensialisme
adalah generalisasi yang menyatakan bahwa sifat-sifat tertentu yang dimiliki
oleh suatu kelompok orang bersifat universal, dan tidak tergantung pada
konteks. Misalnya, pernyataan esensialis 'semua manusia fana'.
Menurut esensialisme, anggota kelompok tertentu mungkin memiliki
karakteristik lain yang tidak diperlukan untuk membuat keanggotaannya tidak
menghalangi keanggotaan yang lainnya, tetapi esensi tidak hanya
mencerminkan cara, pengelompokan objek, menghasilkan sifat dari objek.
Filsafat pendidikan esensialisme merupakan suatu filsafat pendidikan yang
pengikutnya percaya bahwa anak-anak harus belajar mata pelajaran dasar
tradisional, harus dipelajari secara menyeluruh dan disiplin. Program esensialis
biasanya mengajar anak-anak secara progresif, dari keterampilan kurang
kompleks sampai lebih lebih kompleks. Essentialists bertujuan untuk
menanamkan hal penting kepada peserta didik dengan pengetahuan akademik,

6
patriotisme, dan pengembangan karakter. Pendekatan tradisional ini
dimaksudkan untuk melatih pikiran, mempromosikan penalaran, dan budaya.
7) Mazhab Eksistensialisme
Seren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche sebagai pionir eksistensialisme.
Eksistensialisme merupakan mazhab yang mempunyai prinsip bahwa segala
gejala bertolak dari eksistensi, yaitu suatu cara pandang keberadaan dunia dan
manusia berada yang membedakan dengan makhluk lain. Manusia dengan
kesadaran akalnya berada, secara totalitas dan selalu terkait dengan
kemanusiaan. Suatu arti yang diberikan manusia dalam menentukan
perbuatannya sendiri. Manusia eksistensi mendahului esensi atau hakikat,
sebaliknya benda-benda lain esensi mendahulukan eksistensi. Manusia berada
selanjutnya, menentukan diri sendiri menurut projeksinya sendiri, hidupnya
tidak ditentukan lebih dahulu, sedangkan benda-benda lain bertindak menurut
esensinya atau kodrat yang tidak dapat dielakkan. Soren Kierkegaard dianggap
sebagai bapak eksistensialisme, yang menyatakan bahwa individu adalah
semata-mata bertanggung jawab untuk memberikan makna kehidupan sendiri,
untuk hidup kehidupan yang penuh gairah dan tulus, meskipun banyak hambatan
eksistensial dan gangguan termasuk putus asa, kecemasan, absurditas,
keterasingan, dan kebosanan.
8) Mazhab Perspektif Ilmu Pendidikan Teoretis (Pedagogik)
Pada era awal abad ke-20-an, filsafat pendidikan cenderung bergeser ke arah
yang aplikatif dalam konteks teoretis. Salah satu yang berkembang di Belanda
yakni teori pedagogik. Pedagogik merupakan ilmu pendidikan teoretis yang
dipengaruhi oleh sistem berpikir filosofis dengan metode analisis sintesis, logis
dan sistematis.
MJ. Langeveld berpandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat
dididik (animial educable), dan berbeda dengan makhluk lain yang tidak dapat
didik, melainkan hanya dapat dilatih secara terbatas dengan kebiasaan-
kebiasaan. Pusat kemanusiaan pada diri manusia (anthro-pologis centra),
dicirikan oleh adanya kemampuan dasar untuk berkembang melalui pendidikan
yakni; berupa kemampuan individualitas, sosialitas dan moralitas. Oleh sebab
itu, untuk mencapai tujuan kehidupan ditetapkan tujuan pendidikan secara jelas.

7
Selain itu, dipersiapkan faktor pendukung seperti kurikulum, sarana belajar,
lingkungan dan guru yang mampu melayani pembelajaran.
Proses pendidikan bertumpu pada tanggung jawab guru, sebagai pengantar anak
ke arah dewasa, sehingga guru dituntut berwibawa di hadapan anak didik. Sikap
ketergantungan anak didik kepada guru, berlaku secara alami sebab ada masa-
masa membutuhkan pendampingan dari guru. Pedagogik memandang, anak
didik sebagai objek pekerjaan mendidik, dan mendidik dipandang sebagai
opvoeding (memberi makan) kepada anak didik sebelum mampu mandiri
(zeifstanding).
9) Mazhab Postmodemisme
Mazhab filsafat dalam perspektif postmodernisme merupakan suatu gerakan
yang sedang berproses sebagai konsekuensi dari suatu pemikiran manusia baru.
Filsafat postmodernisme, mempunyai karakteristik yang ingin menunjukkan
tidak mewakili satu titik pandang dan satu sama lain bisa kontradiktif, atau bisa
searah. Secara garis besar, ada yang bersifat; "konservatif" dan "progresif", ada
pula yang bersifat "perlawanan" dan "reaksi". Perdebatan antara para pemikir
postmodem, terus berlangsung untuk menunjukkan sebagai pemikir sejati pada
zamannya. Postmodernisme adalah kecenderungan dalam budaya kontemporer
ditandai oleh penolakan terhadap kebenaran obyektif dan narasi budaya global
atau meta-naratif. Menurut Nurani Soyomukti (2010: 454, 479-500)
postmodernisme merupakan gaya berpikir yang lahir sebagai reaksi terhadap
pikiran modernisme yang dianggap mengalami banyak kekurangan dan
menyebabkan berbagai masalah kemanusiaan. Kaum postmodernisme memiliki
asumsi yang hampir sama dengan pendidikan liberalisme, yaitu menekankan
individualisme dengan mengganggap bahwa tiap individu memiliki makna yang
berbeda-beda. Kaum postmodernisme memandang kebenaran itu relatif alias
tergantung pada individu masing-masing. Cara pandang yang paling ekstrem
adalah nihilisme yang memandang tidak ada kebenaran. Postmodern
menginginkan proses pendidikan yang menyenangkan dan membebaskan.

Pendidikan kejuruan dipengaruhi oleh beberapa aliran filsafat. Putu Sudira


(2016: 26-28) menyatakan bahwa filosofi pragmatisme adalah filosofi yang paling

8
sesuai diterapkan dalam TVET masa depan (Miller & Gregson, 1999; Rojewski:
2009). Filosofi pragmatisme mendudukan TVET sebagai pendidikan yang bertujuan
memenuhi kebutuhan individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
kehidupan modern TVET tidak sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi
kebutuhan bersosialisasi, mengekspresikan diri dan kebahagiaan spriritual juga harus
dipenuhi. Pembelajaran dalam filosofi pragmatisme dikonstruksi berdasarkan
pengetahuan sebelumnya. Pengalaman yang telah dimiliki digunakan untuk
merespon dan mengantisipasi isu-isu perubahan dunia kerja. Karakteristik dasarnya
adalah menekankan pada kemampuan pemecahan masalah dan berpikir orde tinggi.
Pembelajarannya mengkonstruksi pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya untuk memecahkan masalah. Pragmatisme bersifat antisipasif terhadap
perubahan-perubahan pendidikan abad 21.
Filosofi pragmatisme rekonstruksionis strand mempengaruhi pendidikan
teknologi dan kejuruan. Pragmatisme rekonstruksionis strand menyatakan bahwa
tujuan TVET adalah melakukan transformasi masyarakat menuju masyarakat
demokratis, membangun masyarakat belajar, organisasi belajar, bersifat proaktif,
tidak mengekalkan diri pada praktik-praktik dunia kerja yang ada saat ini.
Mengadopsi isu-isu dan masalah-masalah ketidakadilan dan ketidakmerataan
pekerjaan, mendukung pendidikan kewirausahaan (Putu Sudira, 2016: 29).
Filosofi esensialisme memiliki keterkaitan dengan pendidikan teknologi dan
kejuruan. Filosofi esensialisme mengarahkan tujuan pokok TVET untuk memenuhi
kebutuhan pasar tenaga kerja. Filosofi esensialisme mendudukan TVET dalam
kaitannya dengan efisiensi sosial. Kurikulum dan pembelajaran dikembangkan
berdasarkan kebutuhan bisnis dunia usaha dan industri. TVET diukur dari nilai balik
investasi pendidikan sebagai investasi ekonomi. Teori Human Capital meneguhkan
manusia sebagai modal utama pembangunan sehingga harus dididik dan dilatih agar
mampu berkompetisi dalam pasar kerja. TVET dianggap berhasil bila nilai baliknya
melebihi nilai investasi yang dikeluarkan, jika tidak maka dianggap gagal. Aliran
esensialisme memisahkan antara sistem pendidikan akademik dan vokasional. Di
Indonesia KKNI memisahkan pendidikan akademik dan vokasional (Putu Sudira,
2016: 28).

9
Aliran eksistensialisme yang menganggap individu adalah semata-mata
bertanggung jawab untuk memberikan makna kehidupan sendiri. Aliran
eksistensialisme menganggap bahwa manusia sangat ditentukan oleh tindakan dan
pengalamannya. Eksistensialisme melandasi pembelajaran pendidikan kejuruan
yang erat dengan kegiatan praktik untuk mendapat makna atau pengalaman bagi
kehidupannya sendiri.
Tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara salah satu tokoh yang mewarnai filsafat
pendidikan di Indonesia. Pandangannya bahwa dasar-dasar pendidikan barat
dirasakan tidak tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia
karena pendidikan barat bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman
ketertiban). Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh anak, dalam rangka
kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Ki Hajar Dewantara
memberikan landasan pemikiran pendidikan karakter (budi pekerti) dan pengetahuan
(pikiran) yang merupakan salah satu landasan pendidikan kejuruan abad 21. Saat ini
keduanya diperlukan sebagai kecakapan dasar menjawab tantangan persaingan dunia
kerja abad 21. Ki Hajar Dewantara memberi pemikiran sebagaimana berikut ini:
”Mendidik anak itulah mendidik rakyat. Keadaan dalam hidup dan
penghidupan kita pada jaman sekarang itulah buahnya pendidikan yang kita
terima dari orang tua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknya anak-
anak yang pada waktu ini kita didik, kelak akan menjadi warganegara”

Pemikiran di atas menunjukkan tindakan antisipasif yang mirip aliran


esensialisme. Menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa menyiapkan generasi
yang baik di masa depan, ditentukan oleh pendidikan di masa kini. Pendidikan
merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari masa ke masa.
Tokoh KH. Ahmad Dahlan ikut mewarnai filsafat pendidikan di Indonesia.
Tujuan Pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan hendaknya diarahkan pada usaha
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas
pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya. Menurut pemikiran KH. Ahmad Dahlan bahwa materi
pendidikan berangkat dari tujuan pendidikan tersebut, sehingga kurikulum atau
materi pendidikan hendaknya meliputi :

10
1) Pendidikan akhlaq, yaitu menanamkan karakter yang baik berdasarkan Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
2) Pendidikan individu, yaitu menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang
berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara
keyakinan dan intelek, serta antara dunia dengan akhirat.
3) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.

Landasan filosofi pendidikan kejuruan abad 21 sudah masuk di dalam


pemikiran KH. Ahmad Dahlan mengenai penyiapan peserta didik untuk menghadapi
tantangan masa depan, yakni dalam pendidikan karakter, intelektual (pengetahuan
baru), dan mampu bekerjasama dengan individu lain.

C. Teori Belajar
Tidak dapat dipungkiri teori-teori belajar klasik ikut berperan terhadap lahirnya
teori belajar kejuruan. Teori-teori belajar klasik tersebut sebagai dasar
perkembangan teori belajar kejuruan. Teori belajar klasik yang umum digunakan
dalam perkembangan pembelajaran adalah teori belajar behavioristik, kognitif, dan
konstruktivis. Beberapa ulasan teori belajar klasik sebagai berikut.
1) Teori Belajar Behavioristik
Pandangan teori belajar behavioristik bahwa perubahan tingkah laku
seseorang karena ada rangsangan eksternal. Dalam belajar terjadi pengkondisian
dan pemberian stimulus sebagai sebagai instrumental conditioning. Peserta
didik dianggap sebagai seorang yang pasif, merespon bila ada stimulus. Peserta
didik diibaratkan kertas putih dan dapat dibentuk melalui penguatan positif
maupun negatif. Konsep dari teori belajar behavioristik adalah respon
perubahan perilaku yang teramati, terukur, dan ternilai konkrit karena stimulus
dari luar. Kunci pokok dan prinsip dasar stimulus dalam belajar adalah
pengkondisian lingkungan belajar (Putu Sudira: 2016: 161).
Menurut Shcunk (2012: 114) teori-teori belajar behavioristik dari
Thorndike, Pavlov, dan Guthrie penting bagi sejarah. Meskipun teori ini
berbeda, tetapi memiliki kesamaan pandangan bahwa belajar sebagai proses
pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Thorndike percaya bahwa

11
respon terhadap rangsangan diperkuat jika diikuti oleh konsekuensi yang
memuaskan. Eksperimental Pavlov menunjukkan bagaimana stimulus bisa
dikondisikan untuk memperoleh respon dengan yang dipasangkan dengan
rangsangan lainnya. Hipotesis Guthrie bahwa hubungan berdekatan antara
stimulus dan respon menentukan pasangannya.
Shcunk (2012: 75) menyatakan “ Thorndike’s (1913b) theory included
other principles relevant to education. One principle is the Law of Readiness,
which states that when one is prepared (ready) to act, to do so is rewarding and
not to do so is punishing.” Teori Thorndike termasuk relevan dengan
pendidikan. Salah satu prinsipnya adalah Hukum Kesiapan, yang menyatakan
bahwa ketika seseorang siap untuk bertindak, maka tindakan yang
dikerjakannya akan bermanfaat.
Pavlov dalam teorinya mengatakan stimulus alami dapat digantikan
dengan stimulus buatan sehingga bisa diulang-ulang. Skinner mengajukan teori
bahwa hadiah dan hukuman merupakan faktor penting dalam belajar. Albert
Bandura dengan teori pembiasaan merupakan perbuatan interaksi sosial dengan
mengamati dan menirukan (Putu Sudira, 2016: 162).
Behavioris melihat proses belajar sebagai perubahan perilaku, dan akan
mengatur lingkungan untuk memperoleh respon yang diinginkan melalui
perangkat seperti tujuan perilaku, pembelajaran berbasis kompetensi, dan
pengembangan keterampilan dan pelatihan. Pendekatan pendidikan seperti
pengukuran berbasis kurikulum, dan pembelajaran langsung muncul dari model
ini(https://en.wikipedia.org/wiki/Learning_theory_(education)#Behavior_
analysis). Pada konsep belajar behaviorism ini lingkungan sangat besar
perannya untuk membentuk anak. Bila lingkungan memberikan stimulus positif
maka anak akan berperilaku positif. Teori ini dapat diterapkan dalam pendidikan
kejuruan yakni dalam pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran
langsung. Sebelum melakukan suatu pekerjaan anak melihat apa yang
dicontohkan oleh guru, kemudian mencoba dengan meniru perilaku guru dan
dilakukan berulang-ulang.
Menurut Putu Sudira (2016:163) teori belajar behavioristik relevan
digunakan dalam belajar skill motorik pada level pemula. Pembelajar kejuruan

12
pemula sebelum berlatih suatu skill motorik memerlukan interaksi sosial dengan
mengamati kemudian meniru sikap dan cara kerja expert atau guru (teori
Bandura), mempraktikkan secara langsung (teori Skinner), diulang-ulang
hingga menguasai (teori Pavlov), mempersiapkan perangkat latihan dan mental
peserta didik sebelum latihan (teori Thorndike).
Teori belajar behavioristik bermanfaat pula untuk menghadapi pembelajar
kejuruan yang pasif. Guru mendesain pembelajaran sedemikian rupa sebagai
bentuk stimulus agar mendapat respon pembelajar. Di Indonesia umumnya
siswa SMK masih cenderung pasif dalam proses pembelajaran apalagi siswa
pemula atau kelas X.
2) Teori Belajar Kognitif
Teori kognitif menekankan akuisisi pengetahuan internal dan struktur
mental, lebih dekat ke akhir rasionalis dari kontinum epistemologi (Bower &
Hilgard, 1981). Belajar disamakan dengan perubahan diskrit antara ungkapan
pengetahuan bukan dengan perubahan probabilitas respon. Teori kognitif fokus
pada konseptualisasi proses belajar siswa dan mengatasi masalah bagaimana
informasi yang diterima, terorganisir, disimpan, dan diambil oleh pikiran.
Belajar yang bersangkutan tidak begitu banyak dengan peserta didik apa yang
dilakukan, tetapi dengan apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka datang
untuk memperolehnya (Jonassen, 1991b). Akuisisi pengetahuan digambarkan
sebagai aktivitas mental yang memerlukan coding internal dan penataan oleh
pembelajar. Pembelajar dipandang sebagai peserta sangat aktif dalam proses
pembelajaran (Ertmer, Peggy A. and Newby., Timothy J., 2013).
Kognitivisme fokus pada aktivitas mental dan pikiran, memproses
informasi, memasukkan memory, memecahkan masalah, menalar. Pengetahuan
merupakan konstruksi mental dalam bentuk skema, simbol, bentuk, rumus, teori,
warna, dan lain-lain. Teori pendukung kognitivisme antara lain: 1) component
display theory dari Merrill; 2) teori elaborasi dari Reigeluth; 3) konstruktivisme
kognitif dari Gagne, Bringgs, dan Bruner,; 4) structural learning dari Scandura
(Putu Sudira, 2016: 164).
Menurut teori kognitif memori diberikan peran penting dalam proses
pembelajaran. Hasil belajar ketika informasi disimpan dalam memori dalam cara

13
yang bermakna terorganisir. Guru sebagai desainer bertanggung jawab untuk
membantu peserta didik dalam mengorganisir informasi dalam beberapa cara
optimal. Guru menggunakan teknik seperti penyelenggara depan, analogi,
hubungan hirarkis, dan matriks untuk membantu peserta didik menghubungkan
informasi baru untuk pengetahuan sebelumnya. Melupakan adalah
ketidakmampuan untuk mengambil informasi dari memori karena gangguan,
kehilangan memori, atau hilang atau isyarat yang tidak memadai diperlukan
untuk mengakses informasi (Ertmer, Peggy A. and Newby., Timothy J., 2013).
Teori kognitif dalam pendidikan kejuruan digunakan dalam pembelajaran
ketrampilan berpikir (thinking skills). Selain skill motorik, skill kognitif
diperlukan dalam pendidikan kejuruan abad 21 untuk membekali lulusan mudah
beradaptasi dalam dunia kerja yang mengalami perubahan sangat cepat dibidang
teknologi. Putu Sudira (2016: 166) menyatakan High Order Thinking Skill
(HOTS) semakin dibutuhkan dalam pembelajaran abad 21. Critical thinking,
creativity, communication, collaboration, penggunaan multimedia, pemrosesan
informasi merupakan variabel penting belajar abad 21 sebagai dasar
mengkonstruksi pengetahuan. Pembelajaran TVET membutuhkan keaktifan
dalam interakaksi sosial, membangun ikon, menggunakan simbol-simbol atau
bahasa dan didisplaykan menjadi rumus, model, konsep, algoritma program, dan
sebagainya. Belajar dengan memecahkan masalah dari yang sederhana ke yang
komplek. Dalam pengembangan kompetensi TVET diperlukan konsep belajar
hand-on, mind on, dan heart on.
3) Teori Belajar Konstruktivis
Shcunk (2012: 75) menyatakan “Constructivism is a psychological and
philosophical perspective contending that individuals form or construct much of
what they learn and understand (Bruning et al., 2004). A major influence on the
rise of constructivism has been theory and research in human development,
especially the theories of Piaget and Vygotsky.” Konstruktivisme adalah
perspektif psikologis dan filosofis menyatakan bahwa individu membentuk atau
membangun pengetahuan dari apa yang dipelajari dan dipahami. Teori dari
Piaget and Vygotsky berpengaruh besar pada peningkatan constructivism
melalui teori dan riset pengembangan manusia. Menurut Wina Sanjaya (2010:

14
246) belajar menurut teori kontruktivisme merupakan proses mengkonstruksi
pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil dari proses
mengkontruksi yang dilakukan individu.
Teori belajar konstruktivistik menekankan bahwa belajar adalah proses
aktif mengkonstruksi pengetahuan. Peserta didik berperan sebagai konstruktor
pengetahuan. Berlangsungnya proses mental mengaitkan informasi baru dengan
pengetahuan yang ada sebelumnya merupakan proses mengkonstruksi
pengetahuan. Belajar merupakan proses aktif mengkonstruksi pengetahuan, ide
baru dengan pengalaman sebelumnya (Putu Sudira: 2016: 166).
Konsekuensi dari penggunaan teori konstruktivis dalam pembelajaran
adalah bagaimana sekolah dan guru menciptakan lingkungan konstruktivis yang
kaya pengalaman. Pembelajaran konstruktivis berbeda dengan pembelajaran
tradisional. Dalam pembelajaran konstruktivis, kurikulum berfokus pada
konsep. Kegiatan pembelajaran biasanya memanfaatkan data dan bahan
manipulatif sebagai sumber utama. Guru berinteraksi dengan siswa dengan
bertanya berdasarkan sudut pandang mereka. Siswa sering bekerja dalam
kelompok. Penilaiannya menggunakan penilaian otentik, observasi dan
portofolio. Kuncinya ada pada struktur lingkungan belajar, sehingga siswa dapat
secara efektif membangun pengetahuan dan keterampilan baru (Schunk, 2012:
261).
Berdasarkan teori konstruktivis tersebut banyak model pembelajaran
berpikir tingkat tinggi yang diciptakan. Sekolah kejuruan relevan menerapkan
teori ini untuk menjawab tantangan dunia kerja abad 21 yang memerlukan
tenaga kerja yang memiliki skill teknik sekaligus kemampuan beradaptasi
dengan pengetahuan baru. Pembelajaran berlandasan teori konstruktivis
menekankan pada kooperatif dan kolaboratif dengan pembentukkan kelompok
kerja siswa. Hal ini sesuai dengan kebutuhan skill abad 21 yang memerlukan
kemampuan kerja dalam tim. Teori konstruktivis menginspirasi para ahli
pembelajaran untuk membuat model-model pembelajaran baru berbasis
konstruktivis.

Teori-teori belajar TVET berkembang pesat seiring dengan kebutuhan dunia


pada tenaga kerja yang siap pakai. Pendidikan kejuruan bersifat dinamis sehingga

15
teori belajar kontemporer yang banyak mewarnai pendidikan kejuruan. Konsep
belajar kontemporer dalam TVET antara lain belajar berbasis kehidupan (life based
learning), dan belajar sepanjang hayat (long life learning). TVET berperan dalam
pendidikan untuk semua (education for all) baik pendidikan formal maupun non
formal dari semua tingkat usia. Putu Sudira (2016: 172) menyatakan belajar berbasis
kehidupan (life based learning) dan belajar sepanjang hayat (long life learning)
untuk bertujuan untuk memperoleh ketrampilan menjalani hidup (life skill). Life skill
merupakan keseluruhan skill yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sepanjang
waktu. Konsep belajar kontemporer dalam TVET adalah belajar yang terkonstruksi
secara sosial, situasional, kondisional, berpartisipasi langsung dalam masyarakat,
belajar sepanjang hayat, dan belajar berbasis kehidupan. Pembelajaran TVET selalu
kontekstual sesuai dengan situasi terkini dan mengedepankan pendekatan
partnership serta interaksi sosial. Teori belajar kontemporer dalam TVET antara lain:
1) life based learning, 2) belajar berpartner sosial (social partnership), 3) belajar
orang dewasa (mature adult learning), 4) pengembangan kompetensi sebagai proses
kolektif (competence as collective process), 5) belajar berbasis kerja (work based
learning, 6) belajar di tempat kerja (workplace learning), 7) belajar langsung dalam
kehidupan kerja (learning in working life), 8) long life learning. Beberapa teori
belajar kontemporer untuk pendidikan kejuruan diulas dibagian berikut.

1. Life Based Learning


Masa Industri berbasis pengetahuan (Knowledge-based Industry)
membutuhkan pekerja berpengetahuan (knowledge workers) yang siap
menerima tantangan pekerjaan dengan kondisi lingkungan yang dinamis
mengikuti perubahan dan arus tekanan yang semakin kontradiktif. Seorang
pekerja yang berpengetahuan ditandai dengan gairah belajar yang tinggi dan
pengembangan kapabilitas diri secara berkelanjutan.
Life-based learning tidak terbatas hanya pada belajar bekerja, belajar
mendapatkan pekerjaan, apalagi hanya belajar di tempat kerja. Staron (2011)
menyatakan “Life-based learning proposes that learning for work is not
restricted to learning at work”. Pernyataan Staron inipun tidak cukup untuk
kondisi Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia belajar untuk bekerja (learning
for work) merupakan sebagian dari kebutuhan hidup. Masih banyak kebutuhan

16
lain yang harus dipenuhi seperti kebutuhan bersosialisasi, beribadah, berbangsa,
dan bernegara. Life-based learning adalah proses pemerolehan pengetahuan dan
skills memahami hakekat kehidupan, terampil memecahkan masalah-masalah
kehidupan, menjalani kehidupan secara seimbang dan harmonis. Life-based
learning mengetengahkan konsep bahwa belajar dari kehidupan adalah belajar
yang sesungguhnya. Visi life-based learning dalam TVET adalah terbangunnya
keyakinan dan budaya bekerja, belajar untuk saling membantu diantara peserta
didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pengembangan potensi diri
mereka masing-masing agar berkembang kapabilitasnya secara terus-menerus
dalam bidang kejuruannya (Putu Sudira, 2016: 174-176).
Ada 10 karakteristik kunci life based learning menurut Staron (2011),
yaitu:
1) Emphasises capability development
2) Promotes a strength based orientation to learning
3) Recognises multiple sources of learning
4) Balances integrity and utility
5) Shifts responsibility for learning to the individual
6) Shifts the role of organisations to that of enabler
7) Acknowledges that contradictions are strengths
8) Invests in developing the whole person
9) Acknowledges human dispositions as critical
10) Appreciates that change is qualitatively different.

Karakteristik kunci life based learning menurut Staron (2011), yaitu: 1)


Menekankan pengembangan kapasitas. 2) Mempromosikan pembelajaran
berorientasi pada kekuatan. 3) Mengenali berbagai sumber belajar. 4)
Keseimbangan antara integritas diri dan kegunaan. 5) Tanggungjawab belajar
ada pada setiap diri individu. 6) Peran organisasi bergeser dari penyedia program
pembelajaran ke pencipta lingkungan terbaik. 7) Pengakuan bahwa kontradiksi
adalah kekuatan. 8) Berinvestasi dalam pengembangan seluruh orang. 9)
Mengakui disposisi manusia sebagai sesuatu yang kritis. 10) Menghargai bahwa
perubahan secara kualitatif berbeda.
Life-based learning merupakan pengembangan spiral dari expert centred
learning dan work-based learning. Expert centred learning adalah pembelajaran
berpusat kepada pakar, berbasis kelas, proses adopsi dan implementasi. Work-
based learning adalah pembelajaran yang terpasilitasi berbasis projek. Life-

17
based learning mengetengahkan pembelajaran self directed, continuous
enquiry, adaptability and sustainability. Life based Learning dalam TVET
merupakan pendekatan pembelajaran kontekstual-integratif-holistik
pengembangan kapabilitas (baca: kemampuan dan kemauan hidup) diri sesorang
secara berkelanjutan. Life based Learning merupakan kunci perubahan dan
pengembangan ekologi baru pembelajaran TVET (Putu Sudira, 2016: 181).

2. Teori Belajar Transformatif (Transformative Learning Theory)


Teori belajar transformatif muncul sebagai respon atas perubahan tanpa
henti diberbagai aspek kehidupan dan life long learning. Teori belajar
transformatif muncul sebagai jawaban atas masalah-masalah sosial dalam TVET
(Putu Sudira, 2016: 183). Konsep belajar trasformatif pertama kali di
kembangkan oleh Jack Mezirow. Belajar trasformatif didefinisikan sebagai
belajar yang mempengaruhi perubahan jangka panjang pada diri pembelajar di
bandingkan dengan jenis belajar yang lain. Pengalaman belajar yang
menghasilkan dampak yang bermakna, atau perubahan paradigma yang
mempengaruhi pengalaman berikutnya bagi pembelajar.
Teori belajar transformatif merupakan teori belajar dilevel yang dalam
meliputi kreativitas, berpikir kritis, kepedulian diri secara emosional, dan
perubahan cara pandang seseorang untuk maju dan mengarah pada perubahan
yang bersifat positif. Belajar trasnformatif adalah “a psycho educational
process” atau proses pendidikan yang memberi bantuan kepada seseorang atau
kelompok orang untuk memahami dan mengatasi tantangan distorsi pola pikir
mereka tentang dkehidupan dunia. Keberadaan dunia saat ini dan perubahan
yang akan datang dijadikan evaluasi dan kemudian ditransformasikan dalam
pola pikir baru (Putu Sudira. 2016: 184)
Mezirow mengembangkan konsep perspektif makna, yakni pandangan
dunia seseorang, dari skema makna, yakni komponen kecil yang berisi
pengetahuan spesifik, nilai-nilai, dan keyakinan tentang seseorang. Banyak
sekema makna itu bekerja sama membentuk persepsi makna seseorang.
Perspektif makna itu diperoleh secara pasif selama masa kanak kanak sampai
masa remaja, dan makna itu akan terjadi melalui pengalaman masa kedewasaan.

18
Perspektif makna itu bertindak sebagai filter perspektual yang menentukan cara-
cara seseorang mengorganisir dan menafsirkan makna atas pengalaman
hidupnya.
Pulo Freire (1970) menyatakan bahwa teori belajar transformative disebut
conscientization atau pengembangan kesadaran. Bagi Freire tujuan pendidikan
orang dewasa adalah mengembangkan kesadaran kritis individu dan kelompok
dengan cara mengajarkan mereka tentang cara-cara belajar. Kesadaran kritis
mengacu pada proses dimana orang dewasa belajar mengembangkan
kemampuan untuk menganalisis, manghadapi masalah, dan mengambil kegiatan
dilingkungan sosial, politik, kultural dan ekonomi. Kegiatan belajar membantu
orang dewasa mengembangkan pemahaman mengenai cara- cara pembentukan
struktur sosial dan mempengaruhi cara berfikir orang dewasa mengenai dirinya
sendiri dan dunianya.
Putu Sudira (2016: 186) menyatakan bahwa refleksi dan berpikir kritis
merupakan jantungnya belajar transformatif. Pemberian bingkai asumsi-asumsi
terhadap perubahan menentukan substansi pembelajaran kritis. Guru dan dosen
merupakan kunci penting katalis perubahan dan pembelajaran. Pembelajaran
dengan pengembangan kemampuan berefleksi dan berpikir kritis dalam
memahami realita perubahan sangat penting dalam proses pembelajaran
transformasi. Pembelajaran mendorong terjadinya dialog dan inovasi
menemukan ide-ide dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah.
3. Self Directed Learning
Self directed learning menggunakan pendekatan andragogi. Self directed
learning merupakan pembelajaran yang didesain oleh pembelajar sendiri dari
rencana, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam self directed learning seluruh
keputusan ditetapkan oleh pembelajar mengenai apa, dimana, kapan, berapa
lama, dan dengan siapa belajar. Self directed learning cocok untuk pendidikan
informal dan non formal (Putu Sudira, 2016: 187-188).
Hiemstra, R. (1994) beberapa yang perlu diketahui mengenai self-directed
learning, yaitu:
a) individual learners can become empowered to take increasingly more
responsibility for various decisions associated with the learning endeavor;
b) self-direction is best viewed as a continuum or characteristic that exists to

19
some degree in every person and learning situation; c) self-direction does not
necessarily mean all learning will take place in isolation from others; d) self-
directed learners appear able to transfer learning, in terms of both
knowledge and study skill, from one situation to another; e) self-directed
study can involve various activities and resources, such as self-guided
reading, participation in study groups, internships, electronic dialogues, and
reflective writing activities; f) effective roles for teachers in self-directed
learning are possible, such as dialogue with learners, securing resources,
evaluating outcomes, and promoting critical thinking.

Beberapa hal yang diketahui tentang belajar mandiri: (a) peserta didik
dapat diberdayakan untuk mengambil tanggung jawab semakin meningkat untuk
berbagai keputusan yang terkait dengan usaha pembelajaran; b) self-direction
dipandang terbaik sebagai kontinum atau karakteristik yang eksis untuk
beberapa derajat pada setiap orang dan situasi belajar; c) self-direction tidak
berarti semua pembelajaran berlangsung dalam isolasi dari orang lain; c) peserta
didik mandiri muncul dapat mentransfer pembelajaran, baik dari segi
keterampilan pengetahuan dan studi, dari satu situasi ke yang lain; e) studi
mandiri dapat melibatkan berbagai kegiatan dan sumber daya, seperti membaca
dipandu diri sendiri, partisipasi dalam kelompok belajar, magang, dialog
elektronik, dan kegiatan menulis reflektif; (F) peran yang efektif bagi guru
dalam self-directed learning, seperti dialog dengan peserta didik, mengamankan
sumber daya, mengevaluasi hasil, dan mempromosikan berpikir kritis.
4. Belajar Berpartner Sosial (Social Partnerships Learning)
Perkembangan TVET memasuki fase tiga yang bercirikan sistem
pendidikan kejuruan demand-driven dimana sistem TVET dipengaruhi secara
langsung oleh kebutuhan ekonomi pasar sehingga TVET dituntut mampu
menyediakan tenaga profesional dengan kualifikasi sesuai dengan kebutuhan
pemberi kerja. Belajar berpartner sosial adalah jaringan belajar yang
menghubungkan kelompok lokal dengan organisasi atau lembaga eksternal yang
bergerak lintas global, regional, nasional, lokal, kota, tempat kerja, dan keluarga
(Putu Sudira, 2016: 188).
Partnerships are a long-standing feature of public policy; for example,
school education was premised on a partnership between government and the
teaching profession for much of the twentieth century. Through the 1990s,

20
vocational education and training was based on partnerships between
employers, unions and government which were enacted through vocational
colleges and institutes of technical and further education (TAFE). Now
partnerships are developing in ways which cut across established institutional
boundaries (Seddon et. al,. 2009)

Kemitraan adalah fitur lama dari kebijakan publik. Misalnya, pendidikan


sekolah didasarkan pada kemitraan antara pemerintah dan profesi guru selama
abad kedua puluh. Setelah tahun 1990-an, pendidikan kejuruan dan pelatihan
didasarkan pada kemitraan antara pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah
dimana dibuat undang-undang melalui perguruan tinggi vokasional dan lembaga
Technical and Further Education (TAFE). Sekarang kemitraan sedang
mengembangkan cara-cara yang memotong batas seluruh kelembagaan yang
ditentukan.
Menurut Seddon et.al (2009) dalam PutuSudira (2016: 189) tujuan belajar
berparthner sosial antara lain:
a. Mengembangkan pengetahuan diri, kepedulian, dan manajemen diri.
b. Pemeliharaan nilai-nilai demokratis.
c. Pengembangan skill interpersonal dan sosial.
d. Pemahaman kebutuhan personal dan lokal dalam konteks sosial yang lebih
luas, sistem dan proses politik dan ekonomi.
e. Mengadaptasikan dan menggunakanproses/prosedur sosial politik untuk
kemanfaatan lokal.
f. Pengembangan daya lentur: kapasitas untuk tetap komitmen menghadapi
perubahan.
5. Pembelajaran Orang Dewasa (Mature Adult Learning)
Pembelajaran dalam kejuruan membutuhkan persyaratan dan kondisi
kematangan dan kedewasaan pada peserta didik. Lingkungan kerja
membutuhkan kesiapan dan kematangan anak dalam melaksanakan pekerjaan.
Tanpa kedewasaan dan kematangan maka pekerja akan kesulitan dalam
mengembangkan karirnya. Semua pekerjaan membutuhkan tanggung jawab dan
disiplin tinggi yang dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kedewasaan yang
cukup (Putu Sudira, 2016: 190).

21
Konsep pembelajaran orang dewasa diarahkan untuk pembentukan
konsep diri terhadap sesuatu yang dipelajari, kemudian menemukan makna dari
sesuatu yang dipelajari. Pembelajar mengembangkan dan mengkonstruksi
pengetahuan melalui usaha-usahanya sendiri.
6. Pengembangan Kompetensi sebagai Proses Kolektif (Competence As Collective
Process)
Kompetensi adalah kapasitas diri seseorang yang dapat didemonstrasikan
atau ditampilkan berupa pengetahuan, skill, dan sikap sesuai bidangnya.
Menurut Putu Sudira (2016: 192) seseorang dikatakan kompeten jika mampu
melakukan sesuatu pekerjaan dengan skill yang tinggi sesuai bidangnya,mampu
menjelaskan prosedur kerja dan pengetahuan kerja, serta memiliki sikap kerja
yang tepat sebagai pekerja yang efektif dan produktif.
Pengembangkan kompetensi membutuhkan interaksi sosial sebagai proses
kolektif. Pekerjaan dan masalah pekerjaan membutuhkan penyelesaian kolektif
antar individu. Pengembangkan kompetensi kerja membutuhkan proses kolektif
antar individu atau kemampuan individu menjalin kerjasama dalam tim untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan. Persyaratan kerja yang mengalami perubahan
ke arah lebih komplek, non rutin, konseptual, bebas memilih, berbasis interaksi
dengan orang lain membutuhkan pembelajaran kompetensi yang interaktif
kolektif diantara peserta didik (Putu Sudira, 2016: 193).
7. Belajar Berbasis Kerja (Work Based Learning)
Work based learning diterapkan dalam TVET untuk memenuhi kebutuhan
ketuntasan belajar sesuai standar industri. Belajar berbasis kerja dapat dilakukan
di sekolah atau di industri. Pendidikan kejuruan dikatakan efektif bila
menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Adanya
industri berbasis pengetahuan mengandung konsekuensi berubahnya konsep
pembelajaran berbasis kerja (Putu Sudira).
Work based learning harus mampu menghasilkan pekerja yang kompeten
dan cakap dalam menghadapi perubahan yang cepat serta memiliki karakter
kerja (soft skill) sesuai tuntutan industri. Perubahan teknologi yang cepat di
dunia industri menuntut pekerja yang memiliki kecakapan skill motorik,
knowledge, dan character.

22
8. Belajar di Tempat Kerja (Workplace Learning)
Setiap pemecahan masalah membutuhkan proses analisis sintesis masalah
sampai pada pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. Belajar
memecahkan masalah dalam kehidupan kerja dan berlangsungdi tempat kerja
merupakan pembelajaran TVET abad 21 (Putu Sudira, 2016: 196).
Pembelajaran di tempat kerja membantu siswa untuk: 1) menguji coba
pilihan pekerjaan dan karir mereka, 2) menyelesaikan tugas yang diberikan
dalam mata pelajaran yang bersangkutan di lingkungan industri yang relevan, 3)
mengetahui apa yang diinginkan oleh pemberi pekerjaan dari para pekerja
mereka, 4) membangun keahlian bekerja umum seperti komunikasi di tempat
kerja, kemandirian dan kerja sama tim, 5) mengembangkan keahlian khusus
untuk bidang kerja yang mereka inginkan, 6) mendapatkan kepercayaan diri dan
kedewasaan melalui partisipasi dalam lingkungan kerja orang dewasa, 7)
membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar ketika merencanakan
pilihan yang akan mereka ambil dalam transisi mereka selama di sekolah dan
menuju pendidikan lebih lanjut, pelatihan dan pekerjaan.
Tidak lengkap tulisan pendidikan kejuruan apabila tidak menampilkan
prinsip pendidikan vokasional dari Prosser dan Thompson. Berikut 16 prinsip
pendidikan vokasional dari Prosser yang sudah diterjemahkan.

1) Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih


merupakan replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja.
2) Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas
latihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang
ditetapkan di tempat kerja.
3) Pendidikan kejuruan akan efektif jika melatih seseorang dalam kebiasaan
berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
4) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dapat memampukan setiap individu
memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada tingkat yang
paling tinggi.

23
5) Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau pekerjaan
hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang
menginginkannya dan yang mendapat untung darinya.
6) Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman latihan untuk membentuk
kebiasaan kerja dan kebiasaan berpikir yang benar diulang-ulang sehingga
sesuai seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya.
7) Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman
yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi
dan proses kerja yang akan dilakukan.
8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh
seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut.
9) Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar.
10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika
pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai).
11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu
okupasi tertentu adalah dari pengalaman para ahli okupasi tersebut.
12) Setiap pekerjaan mempunyai ciri-ciri isi (body of content) yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lain.
13) Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai
dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang paling
efektif jika dilakukan lewat pengajaran kejuruan.
14) Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan
dan hubungan pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat
peserta didik tersebut.
15) Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika luwes.
16) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi
maka pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.
Ada 3 asumsi John Thompson (1973) yang disampaikan dalam bukunya yang
berjudul “Foundations of Vocational Education” yaitu:

24
a. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu
mempersiapkan para siswanya untuk suatu pekerjaan spesifik dalam masyarakat
yang didasarkan pada kebutuhan tenaga kerja yang riil.
b. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila mampu
menjamin adanya pasokan tenaga kerja untuk suatu wilayah.
c. Pendidikan vokasi bisa dikatakan efisien secara ekonomi apabila para lulusannya
mendapatkan pekerjaan sesuai apa yang dilatih.

D. Strategi Pembelajaran Kejuruan Bidang Agrobisnis


Pendidikan kejuruan merupakan salah satu lembaga pembentuk sumber daya
manusia. Adanya arus industri berbasis pengetahuan berdampak pada pemenuhan
tenaga kerja yang memiliki skill motorik dan kemampuan berpikir tinggat tinggi.
Tuntutan essential skill abad 21 akibat dampak dari perkembangan industri berbasis
pengetahuan berimplikasi pada perubahan strategi pembelajaran pendidikan
kejuruan. Pendidikan kejuruan bertanggungjawab langsung pada pemenuhan
kebutuhan tenaga kerja industri. Oleh karena itu, pendidikan kejuruan harus
menyiapkan skill peserta didik sesuai tuntutan industri.
Bidang agrobisnis tidak luput dari arus industri berbasis pengetahuan
sehingga sekolah kejuruan harus menyiapkan peserta didik untuk menghadapi
tantangan tersebut. Oleh sebab itu, perubahan strategi pembelajaran atau perbaikan
strategi pembelajaran harus dilakukan agar lulusan dapat mudah mendapat
pekerjaan atau mandiri dengan berwirausaha. Pembelajaran tidak hanya melatih
peserta didik pada kemampuan skill teknis tetapi juga kemampuan berpikir tingkat
tinggi serta pembentukan karakter kerja termasuk di dalamnya kemampuan bekerja
dalam tim. Beberapa alternatif strategi pembelajaran yang dapat digunakan
dijabarkan berikut ini.
1. Pembelajaran Pola Kewirausahaan
Pembelajaran ini berbasis wirausaha atau entrepreneurship dengan
mengadopsi prinsip-prinsip wirausaha. Berdasarkan pengalaman penulis
pembelajaran ini sangat sesuai untuk bidang agrobisnis. Pelaksanaan
dilakukan dalam satu semester. Dalam pembelajaran terintegrasi 3 ranah atau
domain taksonomi menurut Bloom yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif.

25
Guru berperan aktif mengatur lingkungan belajar wirausaha bersama dengan
siswa. Pembelajaran ini dibagi dalam kelompok-kelompok.
Dalam pembelajaran ini peserta didik berperan aktif melaksanakan
kegiatan sebagai seorang entrepreneur, yaitu menentukan komoditas,
membuat proposal, melaksanakan kegiatan, memecahkan masalah,
kerjasama dalam tim, memanen hasil, memasarkan produk, dan mengelola
keuangan. Dalam pembelajaran ini peserta didik memperoleh kecakapan
holistik karena semua skill secara utuh telah masuk di dalamnya. Selama
proses kegiatan pembelajaran berlangsung peserta didik aktif menemukan
pengetahuan dan memecahkan masalah sendiri dengan membuka internet,
membaca buku atau bertanya pada guru. Prinsip konstruktivis tampak pada
pembelajaran ini, adanya kemampuan berpikir tingkat tinggi dan
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
2. Praktik Kerja Industri (Prakerin)
Prakerin populer dimasyarakat dengan istilah Praktik Kerja Lapangan
(PKL). Konsep pembelajaran Prakerin mirip dengan pembelajaran
Workplace Learning merupakan belajar ditempat kerja. Peserta didik belajar
dengan praktik langsung di dunia usaha atau dunia industri. Tujuan prakerin
untuk memberikan kecakapan yang diperlukan dalam pekerjaan sesuai
bidang keahliannya. Hal ini berguna untuk peserta didik agar dapat
beradaptasi di dunia kerja ketika kelak lulus dari sekolah. Manfaat Prakerin
bagi peserta didik antara lain: 1) memperoleh gambaran pilihan pekerjaan
dan karir mereka, 2) mengetahui kriteria pekerja yang diinginkan oleh
pemberi pekerjaandunia usaha atau industri, 3) mengasah kemampuan
bekerja, berkomunikasi di tempat kerja, kemandirian dan kerja sama dalam
tim, 4) mengembangkan keahlian khusus pada bidang kerja yang diinginkan,
5) melatih kepercayaan diri dan kedewasaan melalui partisipasi dalam
lingkungan kerja, 8) melatih kemampuan beradaptasi di dunia kerja.
Pembelajaran prakerin dilaksanakan minimal 3 bulan dengan bekerja
penuh pada dunia usaha atau industri DUDI). Jam belajar menyesuaikan
dengan DUDI tempat belajar. Konsep Prakerin sangat sesuai dengan
pendidikan vokasional apabila dikerjakan sesuai dengan yang diharapkan.

26
Kelemahan Prakerin umumnya DUDI kurang memberikan pelatihan praktik
peserta didik sesuai standar.
3. Teaching Factory
Teaching factory sebagai salah satu strategi pembelajaran memiliki
beberapa tujuan. Dalam makalah yang dipublikasikan American Society for
Engineering Education Annual Conference and Exposition, Alptekin, et al
(2001: 1) menyatakan bahwa tujuan teaching factory ialah: menghasilkan
lulusan yang professional di bidangnya, mengembangkan kurikulum yang
fokus pada konsep modern, mendemonstrasikan solusi yang tepat untuk
tantangan yang dihadapi dunia industri, serta transfer teknologi dari industri
yang menjadi partner dengan siswa dan institusi pendidikan.
Konsep Teaching factory di Indonesia mengalami penyesuaian makna,
tidak hanya kerjasama dengan industri tetapi dapat membuat replika atau
tiruan factory di sekolah. Tiruan factory dilingkungan SMK populer dengan
sebutan Unit Produksi (UP). Di Indonesia Teaching factory merupakan
kegiatan pembelajaran dimana siswa secara langsung melakukan kegiatan
produksi baik berupa barang atau jasa di dalam lingkungan sekolah. Barang
atau jasa yang dihasilkan memiliki kualitas sehingga layak jual dan diterima
oleh masyarakat atau konsumen. Teaching factory digunakan sebagai salah
satu model untuk memberdayakan SMK dalam menciptakan lulusan yang
berjiwa wirausaha dan memiliki kompetensi keahlian melalui pengembangan
kerjasama dengan industri dan entitas bisnis yang relevan. Selain itu teaching
factory bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui wahana
belajar sambil berbuat (learning by doing). Pembelajaran dengan pendekatan
seperti ini, akan menumbuhkan jiwa entrepreneurship bagi siswa.
4. Project Work
Project work adalah model pembelajaran yang mengarahkan peserta
didik pada prosedur kerja yang sistematis dan standar untuk membuat atau
menyelesaikan suatu produk (barang atau jasa), melalui proses
produksi/pekerjaan yang sesungguhnya. Model pembelajaran project work
sering digunakan untuk program pembelajaran produktif.

27
Pembelajaran project work sangat cocok bagi pendidikan kejuruan
bidang agrobisnis. Dalam pembelajaran ini terintegrasi berbagai kecakapan
atau skill untuk melatih peserta didik mampu beradaptasi terhadap dunia
kerja, yaitu kecakapan berpikir, motorik, berkolaborasi atau teamwork,
komunikasi, pemecahan masalah, dan entrepreneur. Peserta didik terlatih
untuk berpikir dengan mendesain project, melaksanakan, mengelola project,
menyelesaikan masalah, bekerja sama dalam tim, memasarkan produk.
Selama proses pembelajaran ini siswa mengkonstruksi pengetahuan secara
aktif, dan melatih skill motorik
5. Pembelajaran Berbasis Masalah/Problem-Based Learning
Fokus dari pembelajaran adalah menyajian permasalahan (nyata atau
simulasi) kepada peserta didik, kemudian peserta didik diminta mencari
pemecahannya melalui serangkaian kegiatan penelitian dan investigasi
(mengidentifikasi permasalahan, mengumpulkan data, menggunakan data)
berdasarkan teori, konsep, prinsip yang dipelajari dari berbagai bidang ilmu.
Problem-Based Learning (PBL) memfasilitasi setiap individu peserta
didik mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Permasalahan menjadi acuan
konkret sebagai target atau fokus perhatian peserta didik. Sumber belajar
diberikan sejalan dengan permasalahan, peserta didik ditugaskan untuk
mendiskusikan, dan menemukan cara-cara pemecahan permasalahan.
PBL sangat mendukung pembentukan kompetensi peserta didik
berkembang menjadi praktisi yang profesional. Ciri khas PBL terletak pada
kemampuan mengkaitkan antara ketrampilan dengan bidang ilmu,
ketrampilan berpikir kritis, berkolaborasi, berdiskuasi, berargumentasi,
mencari informasi, mendapatkan dan mengevaluasi data, mengorganisasikan
dan merawat file, menginterpretasikan dan mengkomunikasikan,
menggunakan komputer untuk memproses informasi, menggunakan waktu,
uang, material (Putu Sudira, 2006).
Problem solving merujuk pada suatu proses pembelajaran inquiry atau
penemuan, dimana siswa mencari jawaban untuk suatu pertanyaan yang
relevan untuk dirinya dan kulturnya. Filosofi konstruktivis mensyaratkan
pembelajar untuk secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Melalui

28
interaksi dari semua elemen ini pembelajar membuat makna tentang sesuatu.
Sebagai guru membantu menyediakan lingkungan yang memperbolehkan
siswa untuk berpartisipasi dan berinteraksi dalam aktivitas kelas.
Kompetensi yang dikembangkan dalam pembelajaran PBL adalah:
a. Beradaptasi dan berpartisipasi dalam perubahan.
b. Mengenali dan memahami masalah serta mampu membuat keputusan
yang beralasan dalam situasi baru.
c. Menalar secara kritis dan kreatif.
d. Mengadopsi pendekatan yang lebih universal atau menyeluruh.
e. Mempraktikkan empati dan menghargai sudut pandang orang lain.
f. Berkolaborasi secara produktif dalam kelompok.
g. Mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri serta menemukan cara
untuk mengatasi kelemahan diri; self-directed learning.
6. Discovery Learning dan Inquiry Learning
Discovery learning maupun Inquiry Learning merupakan metode
pembelajaran kognitif yang menuntut guru lebih kreatif menciptakan situasi
yang dapat membuat peserta didik aktif menemukan pengetahuan sendiri.
Setiap individu peserta didik mengkonstruksi pengetahuan secara aktif.
Pembelajaran ini melatih siswa kemampuan berpikir tingkat tinggi,
berkolaborasi, berkomunikasi dengan berdiskusi, dan presentasi, kemampuan
literasi dengan membuat laporan.
Beberapa manfaat pembelajaran dengan Discovery Learning dan
Inquiry Learning : 1) Membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan
kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini. 2)
Pengetahuan yang diperoleh menguatkan pengertian, ingatan dan transfer. 3)
Membangkitkan rasa senang pada siswa. 4) Membantu perkembangan
berpikir siswa. 5) memotivasi siswa. 6) membantu siswa memperkuat konsep
dirinya. 6) Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri. 7)
Mendorong siswa berpikir intuitif dan merumuskan hipotesis sendiri. 8)
Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic. 9) Proses belajar meliputi
sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya. 10)
Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa. 11) Kemungkinan siswa

29
belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar. 12) Dapat
mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
7. Pembelajaran Kontekstual (CTL)
Pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep yang membantu
guru menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi dunia nyata (real
world) dan memotivasi peserta didik untuk lebih paham hubungan antara
pengetahuan dan aplikasinya sebagai bekal hidup mereka sebagai anggota
keluarga, masyarakat, dan pekerja (Putu Sudira, 2006).
Pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses belajar yang
holistik, bertujuan membantu peserta didik untuk memahami makna materi
pelajaran yang dipelajari dengan mengkaitkan materi tersebut dengan
konteks kehidupan peserta didik sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan
kultural). Dengan demikian, mereka memiliki pengetahuan/keterampilan
yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu
permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya. Karakteristik
pembelajaran kontekstual adanya kerjasama, saling menunjang,
menyenangkan atau tidak membosankan, pembelajaran terintegrasi,
menggunakan berbagai sumber, peserta didik aktif.
Guru perlu mengkondisikan dan mempersiapkan materi pembelajaran
sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan mengkaitkannya dengan realitas dan
kebenaran (konstruktivisme). Guru perlu memahami:
a. Belajar adalah kegiatan aktif, yaitu peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya, mencari sendiri arti dari apa yang mereka pelajari dan
bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
b. Belajar bukanlah suatu proses mengumpulkan sesuatu, tetapi
merupakan suatu proses menemukan sesuatu melalui pengembangan
pemikiran dengan cara membuat kerangka pengertian yang baru.
c. Peserta didik mempunyai cara untuk mengerti sendiri, sehingga setiap
peserta didik perlu mengerti kekhasan, keunggulan dan kelemahannya
dalam menghadapi suatu apapun.

30
d. Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta
didik, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik
membangun sendiri pengetahuannya.
e. Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap
kritis, mengadakan justifikasi.
f. Guru berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membantu proses
belajar peserta didik agar berjalan baik.

8. Pembelajaran Jigsaw
Pembelajaran Jigsaw lebih pada pembelajaran untuk membangun
konsep dasar yang akan dimanfaatkan untuk mempelajari suatu kompetensi
tertentu. Dalam bidang agrobisnis ada prasyarat penguasaan pemahaman
konsep sebelum melakukan praktik tertentu agar peserta didik menguasai
secara utuh kompetensi yang dipelajari.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebuah pembelajaran
kooperatif yang menitikberatkan kepada kerja kelompok siswa dalam bentuk
kelompok kecil. Dalam pembelajaran ini siswa memiliki banyak kesempatan
untuk mengemukakan pendapat dan mengolah informasi yang diperoleh dan
meningkatkan ketrampilan berkomunikasi, anggota kelompok bertanggung
jawab terhadap keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi
yang dipelajari, dan dapat menyampaikan informasinya kepada kelompok
lain (Rusman, 2011: 203). Jigsaw merupakan pembelajaran kooperatif yang
fleksibel. Siswa yang terlibat dalam pembelajaran ini memperoleh prestasi
lebih baik, sikap yang lebih baik dan positif terhadap pembelajaran, lebih
menghargai perbedaan dan pendapat orang lain.
Teti Sobari (2006) menyatakan hasil penelitian Johnson and Johnson
menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mempunyai
pengaruh positif terhadap perkembangan anak, yaitu: 1) meningkatkan hasil
belajar, 2) meningkatkan daya ingat, 3) mencapai taraf penalaran tingkat
tinggi, 4) mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik, 5) meningkatkan
hubungan antar manusia yang heterogen, 6) meningkatkan sikap positif

31
terhadap sekolah dan guru, 7) meningkatkan harga diri anak, 8)
meningkatkan ketrampilan hidup bergotong royong (Rusman, 2011: 204).

Masih banyak strategi, model, atau metode pembelajaran yang dapat


digunakan dalam pembelajaran kejuruan bidang agrobisnis untuk menghadapi
tantangan dunia kerja abad 21. Dalam pembelajaran kejuruan bidang agrobisnis yang
terpenting memuat prinsip membangun kemampuan beradaptasi dengan cepat,
memecahkan masalah, kooperatif, kolaboratif, bekerja dalam tim, inovatif, kreatif,
‘melek’ teknologi, mampu berkomunikasi, dan membangun budaya literasi.

32
DAFTAR PUSTAKA

Bartolomeus Samho dan Oscar Yasunari.


http://download.portalgaruda.org/article.php?article=47313&val=3914

Hiemstra, R. (1994). Self-directed learning. The International Encyclopedia of


Education (second edition), Oxford: Pergamon Press. Diakses tanggal 10 Januari
2017 pada laman http://ccnmtl.columbia.edu/projects/pl3p/Self-
Directed%20Learning.pdf
Muthoifin. Pemikiran Pancadarma Ki Hadjar Dewantara Perspektif Pendidikan Islam.
Diakses tgl 10 Januari 2017 pada laman https://publikasiilmiah.ums.ac.id/
bitstream/handle/11617/5147/8.Muthoifin.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Maret Staron . (2006). Life Based Learning Model-A Model For Strengh Based
Approaches To Capability Development Planning. Diakses tanggal 10 Januari
2017 pada laman http://lrrpublic.cli.det.nsw.edu.au/lrrSecure/Sites/Web/
13289/ezine/year_2006/jul_aug/research_lifebased_learning.htm

Mezirow, Jack. (1997). Transformative Learning: Theory to Practice. Diakses taggal 10


Januari 2017 pada laman http://cmapsconverted.ihmc.us/rid=1MCY1CBS9-
W00F4X-15W8/Transformative-Learning-Mezirow-1997.pdf

Peggy A. Ertmer and Timothy J. Newby. (2013). Behaviorism, Cognitivism,


Constructivism: Comparing Critical Features From an Instructional Design
Perspective. Diakses pada tanggal 9 Januari 2017 pada laman
https://ocw.metu.edu.tr/pluginfile.php/3298/course/section/1174/peggy_2013_co
mparing_critical_features.pdf

Pavlova, M. (2009). Technology and Vocational Education for Sustainable development


empowering individuals for the future. Queensland: Springer Science Business
Media B.V.
Putu Sudira (2012). Filosofi dan teori pendidikan vokasi dan kejuruan. Yogyakarta:
UNY Press.

Putu Sudira. (2006). Pembelajaran di SMK. Jakarta: Depdiknas.

Prosser, C.A. & Quigley, T.H. (1950). Vocational Education in a Democracy.


Revised Edition. Chicago: American Technical Society.

Rusman. (2011). Manajemen kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.

Schunk, Dale H. (2012). Learning theories : an educational perspective 6th ed. Boston:
Pearson.

33
Seddon. T . (2004). Social partnerships in vocational education Building community
capacity. Australian: NCVER. Diakses tanggal 10 Januari 2017 pada laman
https://www.ncver.edu.au/__data/assets/file/0014/5180/nr2002.pdf

Tauhid Bashori. Pragmatisme Pendidikan (Telaah atas Pemikiran John Dewey),


http://www.geocities.com

Thompson, J. F, 1973. Foundation of vocational education social and philosophical


concepts. New Jersey: Prentice-Hall.

Trilling, B. dan Fadel, C. (2009). 21 st Century Skills Learning for Life in Our Time. San
Fransisco: Jossey Bass.

Wardiman Djojonegoro.(1998). Pengembangan sumber daya manusia melalui Sekolah


Menengah Kejuruan. Jakarta: Jayakarta Agung Offset.
Wina Sanjaya (2010). Kurikulum dan pembelajaran: Teori dan praktik pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Prenada Media Group.
http://www.philosophypages.com

34

Anda mungkin juga menyukai