Anda di halaman 1dari 17

PENGELOLAAN AGENDA PERUBAHAN IKLIM

DALAM SKENARIO SISTEM DUNIA KAPPEN:


RESPONS KEBIJAKAN INDONESIA

Global Climate Change Management in The Kappenis’ World System Scenario:


Indonesia’s Policy Response

Hariyadi

Peneliti Madya Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik


Pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Alamat email: hariyadi@dpr.go.id

Naskah Diterima: 4 Agustus 2017


Naskah Direvisi: 22 November 2017
Naskah Diterima: 22 November 2017

Abstract
Climate change issue will continue to become a crucial one both in national and international arena. Nowdays,
efforts to manage this issue may be seen in the framework of a world system scenario that may arise and that each
state may respond the issue appropriately. By using Kappen’s world system scenario, management of national and
global climate change issue still confronts a serious challenge. This article concludes that each state shall take a
satisfycing policy. Thus, Indonesia should place its policy frameworks in the network and fragmented world system
scenarios. Under these scenarios, Indonesia’s policy shall strengthen the global climate management that is based on
the principles such as the common but differentiated responsibility, climate justice, and the rights to development. To
achieve this, through a constructive engagement diplomacy, Indonesia needs to take some effortsto achieve its global
climate commitment nationally as modalities to push developed nations’ climate commitment.
Keywords: climate change, world system, global governance, policy response

Abstrak
Isu perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam konstelasi politik nasional dan global. Secara kekinian,
upaya untuk mengelola isu tersebut dapat dilihat dengan sebuah skenario sistem dunia yang akan terjadi
sehingga setiap negara dapat meresponsnya secara tepat. Dengan menggunakan skenario sistem dunia yang
digagas van Kappen pengelolaan isu perubahan iklim secara nasional dan global masih menghadapi tantangan
berat. Kajian ini menyimpulkan bahwa setiap negara harus mengambil kebijakan satisfycing. Dalam konteks
ini, Indonesia harus lebih mendasarkan kebijakannya dalam skenario sistem dunia terfragmentasi van
Kappen. Dalam konstelasi skenario sistem ini, kebijakan Indonesia harus mendorong upaya pengelolaan
perubahan iklim berdasarkan prinsip-prinsip common but differentiated responsibilities, keadilan iklim, dan hak
membangun. Untuk mewujudkan kebijakan ini, melalui diplomasi konstruktif Indonesia perlu berupaya
mewujudkan komitmen penurunan emisinya secara nasional dalam rangka mendorong komitmen negara-
negara maju.
Kata kunci: perubahan iklim, sistem dunia, global governance, respons kebijakan

PENDAHULUAN tantangan ini tentu diakibatkan oleh


Latar Belakang kompleksitas struktur konstelasi politik global
Upaya untuk menangani isu perubahan yang polarisasinya tidak bisa dibedakan secara
iklim secara global (global governance) masih jelas. Selain itu, sejumlah faktor juga berperan
akan menghadapi tantangan berat. Beratnya terhadap tantangan ini seperti menurunnya
peran tradisional negara dalam artian riil,

188 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017


turunnya peran ‘hegemonik’ negara-negara yang Secara global, pertumbuhan penduduk dan
selama ini berperan penting, dan meningkatnya kegiatan ekonomi terus menjadi pendorong
peran aktor non-negara.1 Beratnya tantangan utama peningkatan emisi GRK. Kontribusi
ini juga bisa dilihat dari besarnya tingkat kegiatan ekonomi bahkan telah mengalami
kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK) secara kenaikan tajam. Antara tahun 2000 dan 2010,
global. Sampai tahun 2014, emisi tersebut telah kontribusi kedua sektor ini bahkan melebihi
mencapai 49 gigaton setara karbon (GtCO²e). tingkat pengurangan emisi yang diakibatkan
Dalam kurun waktu 2000-2010, seiring dengan oleh upaya peningkatan intensitas energi. Oleh
tingkat pertumbuhan ekonomi, perkembangan karena itu, tanpa upaya keras, kedua sektor
teknologi, gaya hidup, dan pertumbuhan tersebut akan mendorong tingkat kenaikan
penduduk, tingkat emisi ini mengalami emisi global yang jika tanpa intervensi (business
kenaikan terbesar dalam sejarah, dibandingkan as usual) dapat berakibat pada naiknya
dengan tiga dekade sebelumnya (1970-2000). temperatur global rata-rata mencapai 3,7 °C
Dalam kurun waktu 2000-2010 misalnya, emisi atau 4.8 °C dibandingkan dengan tingkat pra-
GRK mengalami kenaikan rata-rata sebesar 1 industri.4
GtCO²e (2,2%)/tahun dibandingkan dengan Dengan demikian, pengelolaan isu
kenaikan rata-rata sebesar 0,4 GtCO²e (1,3%)/ perubahan iklim akan tetap berpotensi menjadi
tahun dalam kurun waktu 1970-2000.2 isu pertarungan politik dan kepentingan antar-
Sektor energi memberikan kontribusi yang negara, khususnya negara-negara maju.5 Potensi
sangat signifikan terhadap kenaikan tingkat ini tentu terkait dengan skenario konstelasi
emisi tersebut. Data menunjukkan bahwa emisi sistem politik internasional yang tidak dapat
GRK dari pembakaran energi fosil dan industri dipetakan secara pasti. Secara nasional kondisi
telah menyumbang kira-kira 78% dari tingkat seperti ini akan turut mempengaruhi bagaimana
emisi global secara total selama kurun waktu setiap negara harus merespons di tengah-
1970-2010. Sampai tahun 2010, tingkat emisi tengah beratnya tantangan pembangunan
ini mencapai 32 GtCO²e/tahun, mengalami nasional mereka masing-masing. Untuk
kenaikan 3% pada 2010-2011, dan mencapai sebagian, konstelasi seperti ini akan mendorong
1-2% pada periode 2011-2012. Pada tahun negara-negara berkembang untuk memperkuat
2010, dari 49 GtCO²e/tahun tingkat emisi penerapan prinsip ‘hak membangun’ (rights
GRK antropogenik, CO² tetap menjadi emiter to development) dan prinsip tanggung jawab
utama mencapai 76% atau lebih dari dua per bersama tetapi dibedakan (common but
tiga tingkat emisi GRK global.3 differentiated responsibility). Hal ini terjadi
tentu seiring dengan semakin kuatnya tekanan
negara-negara maju terhadap negara-negara
1
Thomas G. Weiss and Ramesh Thakur. Global Governance
berkembang untuk turut mengambil bagian
and the UN, an Unfinished Journey (Bloomington and
Indianapolis: Indiana Univ. Press, 2010). Thomas (burden-sharing) dalam isu perubahan iklim.
G. Weiss, Governance, Good Governance and Global Sebagai salah satu negara berkembang yang
Governance: Conceptual and Actual Challenges, dalam telah mengikatkan diri secara politik dan legal
Ashwani Kumar dan Dirk Messner (ed.). Power Shifts and
dalam isu perubahan iklim, Indonesia tidak
Global Governance, Challenges from South and North (UK
& USA: Anthem Press, 2011), 68-88. terlepas dari persoalan ini.
2
Edenhofer, O., R. Pichs-Madruga, Y. Sokona, E. Farahani, Konstelasi sistem politik internasional dapat
S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I. Baum, S. Brunner, didekati ke dalam beberapa skenario. Frank van
P. Eickemeier, B. Kriemann, J. Savolainen, S. Schlömer,
C. von Stechow, T. Zwickel and J. C. Minx, eds. Climate 4
Varun Sivaram and Teryn Norris,“The Clean Energy
Change 2014: Mitigation of Climate Change. Contribution Revolution: Fighting Climate Change With Innovation”.
of Working Group III to the Fifth Assessment Report of the Foreign Affairs, Vol. 95, Issue 3, (June 2016): 147-156.
Intergovernmental Panel on Climate Change. (UK and NY, 5
Richard Little. The Balance of Power in International
USA: Cambridge University Press, 2014). Relations: Metaphors, Myths and Models (UK: Cambridge
3
Edenhofer et al.Cimate Change 2014. Univ. Press, 2007).

Hariyadi: Pengelolaan Agenda Perubahan Iklim dalam Skenario Sistem Dunia Kappen 189
Kappen misalnya, telah mengkonsepsikannya bagi upaya terbaik melalui skema Nationally
ke dalam empat skenario kuadran yang di Determined Contributions (NDC) dalam
dalamnya setiap skenario akan mendorong Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim
kebijakan yang berbeda-beda bagi setiap negara (COP-22) tahun 2016 di Maroko, menawarkan
dalam menyikapi isu-isu global. Dalam setiap sebuah konstelasi politik internasional yang
kuadran tersebut, sejumlah variabel yang kondusif dalam pengelolaan isu perubahan
melekat di dalamnya turut memberikan warna iklim. Akibatnya, ratifikasi Indonesia terhadap
terhadap setiap skenario, yakni potensi kerja PA dapat dipandang sebagai opsi terbaik
sama, kecenderungan lemahnya kerja sama, untuk memperkokoh komitmen nasional dan
dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, memerangi perubahan iklim global.9
baik aktor negara dan non-negara. Skenario Namun demikian, sejumlah kebijakan AS
ini terlihat sejalan dengan pendekatan realisme yang menarik diri dari sejumlah kesepakatan
dan idealisme klasik. rezim persetujuan internasional, seperti kerja
Pendekatan realisme klasik mengasumsikan sama kemitraan trans-pasifik (TPP) dan,
bahwa setiap negara memiliki kepentingan baru-baru ini, PA, menunjukkan rapuhnya
yang berbeda-beda dan dapat mengarah kondusifitas sistem dunia bagi pengelolaan
pada konflik. Asumsi realisme juga meyakini isu ini. Dalam konteks inilah, kajian ini akan
bahwa kekuatan suatu negara itu menentukan melihat bagaimana arah konstelasi politik
hasil dari konflik dan pengaruh satu negara global ke depan dalam skenario sistem politik
terhadap negara lain. Selain itu, realisme politik internasional Frank van Kappen dan dampaknya
klasik memandang bahwa politik ditujukan terhadap upaya penanganan agenda perubahan
meningkatkan kekuasaan.6 Pendekatan ini iklim. Secara nasional isu ini sekaligus juga
kemudian dikembangkan ke dalam paham akan menentukan bagaimana Indonesia harus
neorealisme baru yang lebih memfokuskan pada menyikapinya.
‘struktur’ sistem internasional yang sifatnya
anarkhis dan konsekuensinya bagi hubungan Tujuan Penulisan
antar-negara, serta kecenderungan setiap Penulisan kajian ini ditujukan untuk
negara kecil untuk beraliansi dengan kekuatan memperkaya diskursus akademik pengelolaan
besar untuk menjaga otonominya.7 Sementara isu perubahan iklim nasional dalam rangka
itu, pendekatan idealisme klasik merujuk merespons upaya global dalam konsteks
pada alternatif pendekatan dan metode untuk skenario sistem dunia Kappen. Hasil diskursus
merubah konstelasi sistem politik internasional ini diharapkan dapat memberikan pemikiran
yang didasarkan pada nilai-nilai baik dari sifat bagi para pengambil kebijakan dalam merespons
dan perilaku manusia. Dengan demikian, isu ini dalam upaya memenuhi komitmen
paham idealisme mendorong penguatan kerja penurunan emisi GRK sebesar 29% dengan
sama internasional dan penyebaran nilai-nilai dana sendiri dan 41% dengan dukungan asing,
moral dan hukum internasional.8 meratifikasi PA, dan serangkaian kebijakan
lainnya.
Perumusan Masalah
Disahkannya Paris Agreement (PA)
---instrumen yang untuk pertama kalinya dapat
menyatukan semua negara---dan implikasinya 9
United Nations Framework Convention on Climate
Change/UNFCCC. “The Paris Agreement”, UNFCCC,
6
John T. Rourke. International Politics on the World Stage diakses kembali 19 Juni 2017, http://unfccc.int/paris_
(California: Brooks/Cole Publishing Co., 1986). agreement/items/9485.php,. Kementerian Lingkungan
7
Robert Jackson & George Sorensen. Pengantar Studi Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Indonesia Ajak Negara
Hubungan Internasional, (terj.) (Yogyakarta: Pustaka Sahabat Bekerjasama Tunaikan Persetujuan Paris”,
Pelajar, 2005). KLHK, diakses 14 November 2016, http://www.forda-
8
Rourke, International Politics on. mof.org/berita/post/3177.

190 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017


Gambar 1. Skenario Sistem Dunia Kappen
WORLD SCENARIO
STATES

MULTIPOLAR
MULTILATERAL
•GREAT POWERS/BLOCK
•GLOBAL GOVERNANCE REFORMED
•ECONOMIC & POLITICAL RIVALRY
•STRONG POSITION OF THE WEST & BRICS
•PROTECTIONISM
•ONGOING GLOBALIZATION
•NEO WESTPHALIAN STATE SYSTEM
•STABLE MULTILATERAL SYSTEM
(THE STRONG RULES THE WEAK)
NON
COOPERATIVE
COOPERATIVE
NETWORK
FRAGMENTATION
•NON POLAR WORLD ORDER
•GLOBALIZATION OF STAGNATES
•POLYCENTRIC MULTILATERALISM
•SOCIAL INSECURITY & VIOLENCE
•GLOBAL MARKET ECONOMY
•IDENTITY POLITICS
•GLOBAL CIVIL SOCIETY
•CHAOS
•INHERENTLY UNSTABLE

VARIOUS ACTORS
& NON STATE ACTORS
Sumber: Kappen, tt.

Kerangka Pemikiran negara dan non-negara. Keempat skenario itu


Skenario Kuadran Sistem Dunia Kappen dapat disarikan berikut ini.10
Menurunnya komitmen sejumlah negara di Pertama, skenario Kuadran I adalah
tingkat kawasan dan global dewasa ini dalam terciptanya sistem global yang sifatnya multipolar
isu perubahan iklim memberikan tantangan (Neo-Sistem Negara Westphalian). Skenario
tersendiri bagi semua negara dan sekaligus ini dicirikan dengan kuatnya peran negara,
menjadi bahan untuk meredifinisi konsepsi meskipun tidak sekuat peran negara dalam
kepentingan nasional mereka. Dalam konteks artian sistem negara-bangsa Westphalian. Namun
ini, konstelasi politik internasional akan demikian, potensi kecenderungan lemahnya
semakin dipenuhi dengan ketidakpastian. kerja sama juga mencirikan skenario ini. Lebih
Kondisi ini diperburuk dengan semakin kuatnya lanjut, beberapa faktor penting mencirikan
aktor non-negara dan semakin turunnya peran skenario ini adalah munculnya blok negara-
tradisional negara-bangsa. Akibatnya, proses negara besar, kecenderungan proteksionisme,
tata kelola sistem politik internasional akan kuatnya persaingan politik dan ekonomi,
semakin sulit dilakukan. kecenderungan berlakunya sistem sistem negara-
Frank van Kappen telah mengkonsepsikan bangsa neo-Westphalian di mana negara-negara
sistem internasional ke depan ke dalam kuat menguasai negara-negara lemah. Era Perang
empat skenario kuadran yang di dalamnya Dingin sedikit mencirikan hal ini meskipun dalam
setiap skenario memberikan tantangan masa ini kekuatan dua kutub lebih dominan
tersendiri dalam pengelolaan isu-isu global secara diametral. Dengan menggunakan paham
(global governance). Dalam setiap kuadran realisme politik, percaturan politik internasional
tersebut, sejumlah variabel yang melekat di digambarkan sebagai sistem yang ‘anarkhis’
dalamnya turut memberikan warna terhadap sehingga setiap negara dapat melakukan upaya
setiap skenario, yakni potensi kerja sama, 10
Frank van Kappen. “New security threats; The
kecenderungan lemahnya kerja sama, dan UN, NATO and Challenges in global governance”,
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, baik aktor Clingendael Lecture (tanpa tahun).

Hariyadi: Pengelolaan Agenda Perubahan Iklim dalam Skenario Sistem Dunia Kappen 191
politik melalui perebutan pengaruh untuk Ketiga, skenario Kuadran III adalah
memenuhi kepentingan nasional baik melalui terjadinya sistem global yang bersifat jaringan
pola keseimbangan kekuatan (balance of power) (multilateralisme polisentris). Sama seperti
maupun keseimbangan teror (balance of terror) skenario Kuadaran II, skenario ini dicirikan
atau melalui pendekatan idealisme politik dengan potensi kuatnya kerja sama antar-
di mana kepentingan setiap negara dapat negara atau dengan aktor-aktor non-negara.
direkonsiliasikan melalui kelembagaan rezim Potensi kuatnya kerja sama ini karena sistem
atau organisasi internasional yang mengikat multilateral tidak menyatu, kuatnya aktor-aktor
semua pihak.11 sipil global dan berlakunya sistem ekonomi
Kedua, skenario Kuadran II adalah pasar. Era sekarang ini dalam batas tertentu
terjadinya sistem global bersifat multilateral mencerminkan skenario ini.14 Skenario ini juga
(Sistem Multilateral Homogen). Skenario ini sekaligus menguatkan pola tata kelola isu-isu
dicirikan dengan potensi kuatnya kerja sama global yang sifatnya semakin partisipatoris dan
antar-negara. Potensi kuatnya kerja sama semakin kuatnya peran aktor non-negara dan
ini karena dalam kerangka sistem ini, sistem kekuatan sipil khususnya entitas bisnis.15 Selain
multilateral dapat dikelola secara stabil, proses itu, hal yang mencirikan skenario ini bahwa
globalisasi terus berjalan dan adanya reformasi sifat kerja samanya biasanya bersifat fungsional/
tata kelola isu-isu global. Era pasca-Perang ekonomi. Namun demikian, seiring dengan
Dingin sedikit banyak merefleksikan hal ini. turunnya peran negara secara tradisional
Dengan menggunakan paham idealisme politik, dan semakin kuatnya peran aktor-aktor non-
percaturan politik internasional dalam skenario negara, potensi instabilitas konstelasi sistem
ini dapat menjadi arena yang kondusif bagi dunia pun tidak terhindarkan. Dalam batas
terciptanya pelembagaan kerja sama melalui tertentu, politisasi isu-isu ketidakadilan sosial
lembaga-lembaga yang dibentuk bersama dalam dan ekonomi secara global, biasanya mendorong
rangka merekonsiliasikan setiap pertarungan terjadinya instabilitas tersebut. Kritik Stiglitz
kepentingan sehingga setiap negara dapat terhadap dampak negatif globalisasi misalnya,
mengoptimalkan pencapaian kepentingan untuk sebagian merefleksikan hal ini.16
nasionalnya masing-masing.12 Namun demikian, Keempat, skenario Kuadran IV adalah
skenario sistem ini sedikit banyak juga terciptanya sistem global yang sifatnya
mencirikan adanya potensi ketidakadilan di terfragmentasi (Fragmented New World Order).
dalam negara dan/atau antar-negara, atau yang Sistem ini merefleksikan sebuah konstelasi
menurut teori ketergantungan Johan Galtung, politik internasional yang kurang kondusif.
misalnya (lebih dikenal sebagai teori imperialisme Sistem ini mencirikan beberapa hal, misalnya,
struktural)13sebagai hubungan yang tidak adanya potensi anarkhisme politik, sosial
seimbang karena skenario ini mengindikasikan ekonomi dalam skala global. Selain itu, ciri
terjadinya penguatan posisi politik negara-negara yang lain mencakup kuatnya politik identitas.
maju dan negara-negara yang memiliki kapasitas Karena sifat sistem ini tidak mendorong
skala ekonomi dan penduduknya besar seperti adanya trustsehingga pada akhirnya kerja
yang tergabung dalam kelompok BRICS (Brazil, sama pun sulit dilakukan. Situasi seperti ini
Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan). tentu diakibatkan oleh lemahnya peran negara
sehingga dapat berakibat pada situasi chaotic.
11
Hans J. Morgenthau, Politik Antar-Bangsa (terj.). Direvisi Sama seperti skenario Kuadran I (multipolar),
Kenneth W Thompson. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor dengan menggunakan paham realisme politik,
Indonesia, 2010). percaturan politik internasional digambarkan
12
Morgenthau, Politik Antar-Bangsa.
13
Johan Galtung, “A Structural Theory of Imperalism”, 14
Weiss, “Governance, Good Governance...”.
Journal of Peace Research, Vo. 8, No. 2, (1971): 81-117. 15
Weiss, “Governance, Good Governance...”.
Donald Light et al. Sociology. Fifth ed. (New York: Alfred 16
Stiglitz, Joseph E. Globalization and Its Discontents (New
A . Knopf, Inc., 1989). York: Norton, 2002).

192 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017


sebagai sistem yang ‘anarkhis’. Bedanya, dalam sekumpulan cara yang dipakai setiap individu
skenario kuadran keempat ini, peran negara atau lembaga, baik publik maupun swasta, untuk
secara tradisional sebagai sebuah entitas hukum mengatasi masalah global bersama. Proses ini
sifatnya tidak sekuat pada skenario multipolar. berlangsung secara berkesinambungan sehingga
Kappen mengidentifikasi sejumlah faktor konflik dan serangkaian perbedaan direkonsiliasikan
yang mendorong terjadinya ketidakpastian melalui kerja sama. Secara kelembagaan, proses
tersebut antara lain, persoalan ketimpangan ini melibatkan lembaga-lembaga formal untuk
antara pertumbuhan demografis dengan lapangan menegakkan kesepakatan formal dan informal
kerja, perubahan iklim, keterbatasan sumber daya bagi setiap pihak yang telah menyetujui atau
seperti energi, air dan barang-barang mentah, mempersepsikannya sebagai kepentingannya.
menguatnya fundamentalisme dan irasionalisme, Secara politis, tata kelola global ini identik dengan
melemahnya sistem negara-bangsa dan lembaga- hubungan antar-pemerintah meskipun kini ia juga
lembaga dunia, perubahan kekuatan dunia secara melibatkan organisasi non-pemerintah, gerakan
horisontal dan vertikal, serta terjadinya proliferasi sosial, perusahaan multinasional, pasar modal
senjata pemusnah massal. global, dan media massa.
Dalam kondisi demikian, lingkungan Selain itu, seiring dengan tidak adanya
keamanan berada dalam kondisi penuh kekuatan tunggal yang secara absolut dapat
ketidakpastian. Dalam situasi seperti itu, menguasai semua dalam rangka tata kelola
setiap negara akan dihadapkan pada situasi di global (primus interpares), peran salah satu pihak
mana setiap negara tidak tahu kapan, di mana, yang memiliki posisi dominan secara politik dan
mengapa dan dengan siapa konflik akan terjadi. ekonomi hanya berfungsi sebagai penggerak
Dalam skenario seperti ini, eksistensi setiap utama proses ini. Mekanisme inilah yang
negara akan diposisikan sama seperti adagium dikonsepsikan dengan istilah polisentrisme.19
teori Darwin bahwa eksistensi sebuah spesies Dengan cara pandang ini, melalui kerja sama
tidak ditentukan oleh kuat lemahnya tetapi internasional, tata kelola global diasumsikan
mereka yang paling dapat beradaptasi dengan akan mampu menjadi mekanisme yang efektif
lingkungan yang selalu berubah.17 bagi setiap aktor yang terlibat di dalamnya.
Menurut pandangan inisejumlah ancaman Situasi ini pada akhirnya akan mendorong
yang dapat muncul dalam waktu dekat terjadinya proses pendalaman, perluasan dan
antara lain, bauran ancaman pertahanan dan penguatan keterhubungan secara transnasional
keamanan yang sangat sulit diperkirakan,perang baik formal maupun non-formal dalam dimensi
geopolitik antar-negara, perangsipil di wilayah- sosial-ekonomi dan politik.20
wilayah yang tidak dapat dikelola secara penuh Kini, proses globalisasi ekonomi dan politik
oleh pemerintah yang berwenang, serangan telah mengarah pada situasi di mana sistem
yang sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya negara-bangsa menjadikan negara yang pada
oleh negara tertentu dan aktor-aktor non- awalnya sebagai satu-satunya aktor penting dalam
negaradengan menggunakan kemajuan pengambilan keputusan kini tidak lagi relevan
teknologi, potensi terjadinya perang hibrid, dan dalam pengertian absolut. Dengan demikian, proses
semakin kuatnya potensi perang di lautan atau tata kelola tersebut akan semakin inklusif. Dengan
wilayah pantai.18 kata lain, organisasi internasional akan bekerja
Konsepsi Global Governance sama secara erat dengan aktor-aktor non-negara
dalam proses itu. Untuk mencapai tujuan ini,
Konsepsi sistem internasional juga dapat dinilai
peran satu atau beberapa negara tertentu sebagai
dengan cara pandang bagaimana global governance
motor penggerak utama proses initetap penting.
(tata kelola global) seharusnya dilakukan.Global
governance dapat diartikan sebagai proses atau 19 Weiss and Thakur, Global Governance. Weiss,
“Governance, Good Governance...”.
17
Kappen, “New security threats…”, Clingendael Lecture. 20
Weiss, “Governance, Good Governance...”.
18
Ibid.

Hariyadi: Pengelolaan Agenda Perubahan Iklim dalam Skenario Sistem Dunia Kappen 193
Untuk mencapai tujuan ini, prosesnya tidak saja perubahan iklim sebagai perubahan keadaan iklim
mensyaratkan adanya demokratisasi organisasi yang diakibatkan secara langsung maupun tidak
internasional tetapi juga perubahan arena bermain langsung oleh aktivitas manusia yang terbukti
secara global.21 Stiglitz menggunakan istilah dunia telah merubah komposisi atmosfir global dan
yang tidak lagi ideologis. perubahan iklim yang terjadi secara alamiah dalam
kurun waktu yang dapat disandingkan secara
PEMBAHASAN komparatif.23 Dari definisi ini dapat ditegaskan
Pengelolaan Isu Perubahan Iklim Global bahwa perubahan iklim global sebenarnya
Panel antar-Pemerintah untuk Perubahan menjadi sebuah fenomena alamiah karena dipicu
Iklim (IPCC) mengartikan perubahan iklim oleh perubahan keseimbangan pemanasan bumi.
sebagai perubahan keadaan iklim yang dapat Sejak era industri, emisi GRK akibat
diidentifikasi, antara lain, melalui uji statistik, aktivitas manusia telah menjadi faktor utama
atau dengan perubahan-perubahan rata-rata perubahan iklim secara global. Akibatnya, laju
atau variabilitas setiap komponen yang ada, kontribusi emisi antropogenik khususnya dari
dan yang berlangsung dalam jangka panjang, sumber pembakaran energi fosil dan industri
biasanya dalam beberapa dekade atau lebih.22 dan diindikasikan dengan konsentrasi GRK
Sementara itu, Konvensi Kerangka Kerja PBB di atmosfir bumi, justru telah mencapai pada
untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) mengartikan tingkat yang24 sangat signifikan secara global
(Gambar 2).
Gambar 2. Emisi CO² dari Sumber Energi Fosil dan Industri 1970-2015

Sumber: UNEP, 2017.

21
Weiss, “Governance, Good Governance...”. 23
IPCC, “Climate Change 2007”.
22
Inter-Governmental Panel on Climate Change/IPCC. 24
Sutamihardja dan Mari Eko Mulyani. “Climate Change,
“Climate Change 2007: Mitigation of Climate Change”. Dokumen Penting Perubahan Iklim: IPCC, UNFCCC
Contribution of Working Group III to the Fourth dan Protokol Kyoto. (Bogor: Yayasan Pasir Luhur, 2016).
Assessment report of the IPCC. Summary for Policy UNEP. The Emissions Gap Report 2016. Executive
Makers and Technical Summary, 2007. summary. (Paris: UNEP, 2017).

194 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017


Bagaimana dengan kontribusi emisi tanpa syarat, yang juga mencakup tahun-tahun
Indonesia sendiri terhadap emisi GRK. Data sebelum tahun 2030. Sampai tahun 2030,
menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam dari skenario tanpa intervensi (BaU) sebesar
deretan delapan pengemisi terbesar dunia 2,881 MtCO2e, target penurunan tanpa syarat
bersama-sama dengan AS, Brasil, Cina, Uni (dengan penurunan sebesar 29% dari BaU),
Eropa, India, Jepang dan Meksiko.25 Data emisi skenario emisi dapat mencapai 2,049 MtCO²e
Indonesia (Gambar 3) menunjukkan bahwa untuk target tanpa syaratatau mencapai 1,689
emisi riil Indonesia sampai tahun 2015 telah MtCO²e untuk target bersyarat (dengan
mencapai lebih dari 1800 Mt CO²e. Tanpa penurunan sebesar 41% dari BaU).26
Gambar 3. Perkiraan Emisi Indonesia

Sumber: Damassa et al., 2016.

adanya intervensi, skenario emisi Indonesia Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia
yang dilaporkan melalui skema Intended berperan penting dalam upaya penurunan emisi
Nationally Designed Committment (INDC) secara global. Dalam rangka memperkokoh
dapat mencapai 2,881 MtCO²e pada tahun komitmen nasional dalam rangka mitigasi
2030. Target penurunan tanpa syarat (dengan dan adaptasi perubahan iklim secara global,
penurunan sebesar 29% dari BaU), skenario Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap
emisi dapat mencapai 2,046 MtCO²e dan UNFCCC pada tahun 1994. Sepuluh tahun
jika bersyarat dapat mencapai 1,700 MtCO²e kemudian, Indonesia juga peserta Protokol
(dengan penurunan sebesar 41% dari BaU). Kyoto. Berdasarkan ketentuan Protokol
Perhitungan ini tentu diasumsikan bahwa Kyoto, Indonesia tidak berkewajiban dalam
baseline emisi Indonesia bersifat statis. penurunan emisi secara global. Namun
Di sisi lain, Indonesia juga telah demikian, Indonesia berkepentingan dalam
mempublikasikan secara terpisah sebuah upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
skenario BaU, skenario target bersyarat dan
26
T. Damassa et al. “Menginterpretasikan INDC : Menilai
25
Sutamihardja dan Mulyani. Climate Change. UNEP. The Transparansi Target Emisi Gas Rumah Kaca Pasca-2020.”
Emissions Gap. Kertas Kerja, (2016): 1–12.

Hariyadi: Pengelolaan Agenda Perubahan Iklim dalam Skenario Sistem Dunia Kappen 195
karena kerentanannya terhadap dampak Earth Summit), 3-14 Juni 1992 memposisikan diri
negatif perubahan iklim.27 Dengan demikian, sebagai peletak dasar bagi terciptanya dukungan
komitmen politik terbaru penurunan emisi politik bagi agenda pembangunan melalui deklarasi
Indonesia sebagaimana tercermin dalam agenda pembangunan global yang dikenal
ratifikasi Persetujuan Paris yang ditindaklanjuti sebagai Agenda-21. Pengagendaan pembangunan
dengan NDC dan serangkaian kebijakan berkelanjutan di mana isu perubahan iklim menjadi
pembangunan berkelanjutan sekaligus menjadi bagian penting di dalamnya terus mendapatkan
taruhan secara nasional dan global. dukungan politik lebih lanjut melalui sejumlah
Gambaran peristiwa kebakaran hutan forum penting dan menfasilitasi bagi terbentuknya
dan lahan gambut pada tahun 2015 misalnya, kelembagaan UNFCCC, Biodiversity Convention,
menunjukkan besarnya tingkat emisi yang dan Protokol Kyoto Kyoto.
mencapai 1,1 juta ton setara karbon. Hal ini Diakui bahwa Konferensi Perubahan Iklim
menguatkan data pemerintah bahwa dari emisi pertama kali sebenarnya telah dilakukan pada
karbon sebesar 593 juta ton setara karbon tahun 1979 seiring dengan penegasan bahwa
per tahun dalam kurun waktu 1990-2013 perubahan iklim menjadi masalah yang harus
bersumber dari deforestasi, degradasi hutan, dan segera direspons. Dalam kerangka ini, Program
dekomposisi area gambut. Dengan demikian, Iklim Dunia dilansir dengan dukungan Organisasi
rata-rata emisi per tahun yang dihasilkan dalam Meteorologi Dunia (WMO), UNEP, dan
kurun waktu 23 tahun tersebut jauh lebih kecil International Council of Scientific Unions. Setelah
dari emisi akibat kebakaran hutan dan lahan melalui proses politik secara internasional, WMO
gambut pada tahun 2015 ini saja.28 dan UNEP mendirikan IPCC untuk melakukan
kajian tentang dampak perubahan iklim dan
Tata Kelola Isu Perubahan Iklim Global bagaimana strategi penanganannya pada tahun
Secara retrospektif, upaya pengelolaan 1988 dan dibarengi dengan proses politik
isu perubahan iklim sebagai agenda global selanjutnya sampai tahun 1990-an. Laporan
sebenarnya bisa dirujuk pada kelahiran Deklarasi Intergovernmental Negotiating Committee for a
Stockholm yang merupakan hasil dari forum Framework on Climate Change (INC), kelembagaan
Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia yang dibentuk dalam proses sebelumnya, telah
tanggal 16 Juni 1972. Sebagai bagian dari isu menjadi awal pelaksanaan Konferensi Para Pihak
pembangunan berkelanjutan, isu ini mulai Ke-1 (COP1) di Berlin pada tahun 1995. Hasil
mendapat pengakuan luas pada tahun 1980-an penting lainnya mencakup komitmen politik
setelah terbentuknya Komisi Dunia PBB untuk peserta COP untuk menambahkan sebuah
Lingkungan dan Pembangunan (WCED) keputusan Mandat Berlin, sebuah keputusan
pada tahun 1987. Komisi ini menugaskan Gro tambahan hasil COP1 karena kesepahaman
Harlem Brundtland untuk menyiapkan laporan bahwa keputusan COP1 bagi negara-negara maju
Laporan WCED yang berjudul Our Common belum memadai. Selain itu, melalui COP1 ini juga
Future.29 lahir kelembagaan Ad Hoc Group on the Berlin
Pelaksanaan Konferensi PBB untuk Mandate (AGBM), SBI (Subsidiary Body for
Lingkungan dan Pembangunan (UNCED), atau Implementation) dan SBSTA (Subsidiary Body for
yang dikenal sebagai KTT Bumi (Rio de Janeiro Scientific and Technological Advice). Proses politik
lainnya adalah lahirnya Protokol Kyoto dalam
27
Sutamihardja dan Mulyani. Climate Change. forum COP3 di Kyoto, Jepang pada tahun 1997.
28
Nirarta Samadhi. “Meninjau Ulang Komitmen Emisi
Protokol ini menjadi tonggak sejarah disetujuinya
Indonesia”, WRI, diakses 1 Mei 2017, http://www.wri-
indonesia.org/id/blog/meninjau-ulang-komitmen-emisi- mandat global yang mengikat negara-negara
indonesia . industri secara legal untuk melakukan penurunan
29
Bruntland, Go. Harlem. Report of the World Commission emisi secara individual.30
on Environment and Development: Our Common Future.
(Oslo: WCED, 1987). 30
Sutamihardja dan Mulyani. Climate Change.

196 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017


Momentum penguatan upaya global dalam isu pengelolaan perubahan iklim global.
dalam isu perubahan iklim adalah pelaksanaan Konstelasi tata kelola perubahan iklim global
KTT Milenium pada tahun 2000 di PBB yang seperti ini cenderung mengarah pada satu atau
menghasilkan Deklarasi MDGs, yang terdiri dua skenario sistem dunia Kappen.
atas 8 tujuan aksi global untuk mengatasi
persoalan yang berdimensi sosial dan Skenario Sistem Dunia Networks dan
lingkungan. Terobosan politik lainnya dalam Fragmentation
agenda isu perubahan iklim dan pembangunan Merujuk pada konstelasi tata kelola
berkelanjutan adalah lahirnya Resolusi No. 288 perubahan iklim global selama ini dan
dalam Sidang ke-66 Majelis Umum PBB pada kecenderungan kebijakan yang diambil negara-
tahun 2012 tentang pengesahan “The Future We negara tertentu khususnya AS terlihat lebih
Want” yang dihasilkan Konferensi PBB tentang mendekati skenario sistem dunia networks
Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD), dan fragmentation. Terlihat mendekati
20-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Bazil. dengan skenario sistem dunia Networks
Konferensi Rio+20 Summit ini tentu semakin (multilateralisme polisentris) karena dicirikan
memperkokoh visi dunia untuk mewujudkan dengan potensi kuatnya kerja sama antar-negara
agenda pembangunan berkelanjutan secara atau dengan aktor-aktor non-negara. Potensi
global. kuatnya kerja sama ini karena dalam kerangka
Puncaknya adalah KTT Pembangunan sistem ini, sistem multilateral tidak didominasi
Berkelanjutan PBB di New York pada tahun 2015 oleh kekuatan-kekuatan pengkutuban (tidak
dengan deklarasi ambisiusnya: Transforming Our adanya kekuatan-kekuatan dominan dalam
World: 2030 Agenda for Sustainable Development, sistem internasional secara absolut), kuatnya
kemudian diadopsi melalui Resolusi MU- aktor-aktor sipil global dan berlakunya sistem
PBB No. 70/1 tertanggal 25 September ekonomi pasar secara global.
2015 dan dikenal sebagai agenda Tujuan Era sekarang ini dalam batas tertentu
Pembangunan Berkelanjutan, mencakup 17 mencerminkan skenario ini.31 Skenario ini juga
tujuan dan 169 target. Persetujuan 195 negara sekaligus menguatkan pola tata kelola isu-isu
untuk menyampaikan rencana lima tahunan global yang semakin partisipatoris dan semakin
pengurangan GRK dalam Konvensi Perubahan kuatnya peran aktor non-negara dan kekuatan
Iklim Dunia ke-21 di Paris pada tahun dan sipil secara global khususnya entitas bisnis
pengesahan PA, serta komitmen penurunan seperti perusahaan multinasional.32 Selain itu,
emisi setiap negara yang lebih mengikat dalam hal yang mencirikan skenario ini bahwa sifat
skema NDC dalam Konvensi Perubahan Iklim kerja samanya biasanya kerja sama fungsional.
Dunia ke-22 di Maroko, pada tahun 2016 dapat Skenario seperti ini sebenarnya berakar
merefleksikan sebuah konstelasi sistem politik dari tidak adanya seorang ‘hegemon’ dalam
internasional yang kondusif dalam pengelolaan politik internasional dalam artian absolut yang
isu perubahan iklim. dimulai sejak tahun 1990-an ketika berakhirnya
Namun demikian, sejumlah kebijakan AS era Perang Dingin dan tata dunia tidak lagi
yang menarik diri dari sejumlah kesepakatan dikuasai oleh AS secara hegemonik.33 Dalam
internasional dan secara khusus rencana perspektif ini, sistem dunia ‘akan kehilangan’
penarikan terhadap PA, menunjukkan kekuatan-kekuatan hegemonik untuk stabilitas
rapuhnya kondusifitas sistem dunia bagi internasional. Dalam situasi seperti ini, sistem
pengelolaan isu ini. Rapuhnya kondusifitas dunia tentu akan mengalami sejumlah masalah
ini didasari bahwa AS masih memiliki peran
31
Weiss, “Governance, Good Governance...”.
politik dan ekonomi yang penting secara 32
Weiss, “Governance, Good Governance...”.
global sehingga kebijakannya dapat berpotensi 33
Tsuneo Akaha and Frank and Langdon, (ed.). Japan in
merubah konstelasi dukungan setiap negara the Posthegemonic World. (Boulder and London: Lynne
Rienner Publisher, 1993).

Hariyadi: Pengelolaan Agenda Perubahan Iklim dalam Skenario Sistem Dunia Kappen 197
seperti menurunnya rezim internasional.34 iklim yang semakin adil, partisipatoris dan
Penarikan AS dari kesepakatan PA misalnya, non-ideologis akan semakin menjadi pilihan
akan berpotensi menarik dukungan sejumlah yang paling rasional setiap negara. Dalam batas
negara lain yang telah meratifikasi PA karena tertentu, politisasi isu-isu ketidakadilan sosial
kuatnya pengaruh power politics AS. dan ekonomi dalam isu perubahan iklim, global
Meskipun demikian, perubahan hegemonik biasanya juga akan semakin kuat. Kritik Stiglitz
dalam sistem dunia, bagaimana pun, sebagai hal terhadap dampak negatif globalisasi misalnya,
lumrah karena sistem politik global itu bersifat untuk sebagian merefleksikan hal ini.37
siklis, berjalan dari arah kondisi ekuilibrium Skenario sistem dunia Networks mendorong
ke kondisi disekuilibrium, serta pada akhirnya munculnya konsepsi tata kelola global.
mengarah pada sebuah resolusi dan kemudian Konsepsi ini dicirikan dengan tidak adanya
kembali pada kondisi ekuilibrium.35 Ekuilibrium otoritas tunggal seperti halnya dalam konteks
di sini tidak identik dengan keseimbangan nasional.38 Konsepsi ini dapat diartikan sebagai
karena sebuah sistem dipandang bersifat sekumpulan cara beragam yang dipakai setiap
ekuilibrum (stabil) sepanjang setiap negara individu atau lembaga, baik publik maupun
memandang bahwa konstelasi tersebut pada swasta, untuk mengatasi masalah bersama
posisi paling menguntungkan bagi dirinya. secara global. Mereka mendefinisikan tata
Terlepas dari perdebatan turunnya kelola ini sebagai sekumpulan hukum, norma-
peran penting AS dalam masalah iklim norma, kebijakan dan kelembagaan yang
global, fenomena yang mulai terlihat dalam mendefinisikan, menciptakan dan menengahi
pemerintahan AS dewasa ini, implikasi hubungan antar-warga negara, masyarakat,
terpenting dalam skenario ini adalah sulitnya pasar dan negara---panggung kekuasaan dan
pencapaian konsesus. Hal ini karena kebijakan objek dari pelaksanaan kekuasaan publik.
dan perilaku negara-negara yang secara Konsep governance itu sendiri secara tradisional
tradisional sebagai ‘hegemon’ atau pemegang sering diasosikan dengan konsepsi governing,
pengaruh dalam konstelasi politik global tidak yakni merujuk pada lembaga, otoritas politik
lagi mencerminkan sebagai seorang ‘hegemon’ dan kontrol.
untuk mengatasi ‘barang publik’ global Namun demikian, James Rosenau39
bersama. Sejarah menunjukkan bahwa sikap misalnya, merujuk konsepsi governance sebagai
dan kebijakan AS semakin tidak konsisten sifat hal yang lebih formal misalnya, aturan-aturan
hegemoniknya dengan perjalanan negosiasi (hukum, norma, kode perilaku) dan praktek
hukum laut, penentangan kesepakatan KTT atau lembaga yang diciptakan untuk mengatur
Bumi pada tahun 1992 sampai penolakannya tindakan kolektif yang melibatkan banyak
untuk meratifikasi Protokol Kyoto sampai aktor (otoritas negara, organisasi internasional,
berakhirnya rezim ini.36 organisasi sipil dan entitas sektor swasta).
Dalam konteks inilah, seiring dengan Melalui mekanisme dan pengaturan seperti
turunnya peran negara secara tradisional dan ini, kepentingan kolektif diartikulasikan, hak-
semakin terbukanya peran aktor-aktor sipil hak dan kewajiban ditegakkan, dan konflik
non-negara secara global dalam proses global ditengahi. Munculnya “ketimpangan tata
governance, potensi instabilitas konstelasi kelola” berakar pada persoalan bagaimana
sistem dunia pun tidak terhindarkan. Dengan setiap aktor dan kekuatan-kekuatan ekonomi,
demikian, tuntutan global governance dalam dan masyarakat mampu mengelola dampak
isu-isu global tidak terkecuali isu perubahan yang tidak diinginkan. Dalam konteks ini,
“ketimpangan tata kelola” memberikan ruang
34
Jurg Maartin Gabriel. Worldviews and Theories of
International Relations. (New York: ST. Martin’s Press, 37
Stiglitz, Globalization.
Inc., 1994). 38
Weiss and Thakur, Global Governance.
35
Gabriel. Worldviews and Theories 39
Weiss and Thakur, Global Governance.
36
Akaha and Langdon, Japan in the Posthegemonic World.

198 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017


bagi terjadinya perilaku menyimpang semua tujuan riset tersebut. Tanpa peran aktif AS,
pihak. Thomas Kuhn menyebutnya sebagai peta jalan pengumpulan dana pemerintah
pockets of apparent disorder.40 sebesar $20 miliar per tahun sampai 2020 bakal
Proses governance ini berlangsung secara menghadapi tantangan besar.44 Situasi seperti
berkesinambungan melalui mana konflik dan ini menyiratkan tetap pentingnya telaah real-
serangkaian perbedaan diakomodasi dan aksi- politics dalamsetiap proses tata kelola global di
aksi kerja sama dilakukan. Secara kelembagaan, tengah-tengah beragamnya aktor yang terlibat
proses ini melibatkan lembaga-lembaga formal di dalamnya. Artinya, dalam politik praktis,
dan rezim untuk menegakkan kesepakatan serta proses tata kelola tersebut tetap membutuhkan
kesepakatan-kesepakatan informal bagi setiap dukungan penuh dari aktor-aktor yang memiliki
orang atau lembaga yang telah menyetujui atau posisi kuat secara struktural dalam arena politik
mempersepsikannya sebagai kepentingannya. dan ekonomi global.45
Secara politis, tata kelola global ini identik Seberapa besar proses tata kelola global
dengan hubungan antar-pemerintah meskipun dapat berdampak imperatif pada pengambil
sekarang konsep ini juga melibatkan organisasi keputusan baik di dalam negeri AS maupun di
non-pemerintah, gerakan masyarakat, negara-negara lain, akan sangat terkait dengan
perusahaan multinasional dan pasar modal isu legitimasi dari kerja sama itu sendiri.46 Hal
global, dan media massa.41 Dengan kata lain, ini berarti bahwa isu legitimasi juga berperan
skenario Networks ini agak mirip dengan cara menentukan terhadap keberhasilan tata kelola
pandang polisentrisme dalam pengelolaan global. Oleh karena itu, per definisi penegakkan
isu global bersama. Dengan cara pandang ini, kerja sama pengelolaan perubahan iklim
melalui kerja sama internasional, tata kelola global dalam skenario Networks tidak dapat
global diasumsikan akan mampu menjadi dilakukan sama seperti halnya dalam perjanjian
mekanisme yang efektif bagi setiap aktor yang internasional yang mengikat secara politik dan
terlibat di dalamnya. Situasi ini pada akhirnya hukum atau layaknya kebijakan domestik suatu
akan mendorong terjadinya proses pendalaman, negara. Untuk mencapai itu, tentu menyaratkan
perluasan dan penguatan keterhubungan secara adanya legitimasi. Legitimasi dapat diraih
transnasional baik formal maupun non-formal baik secara global maupun domestik. Secara
dalam dimensi sosial dan politik global.42 global, legitimasi dapat dilihat apakah sejauh
Pengaruh politik AS diakui telah ini telah ada perjanjian internasional yang
menurun secara global. Meskipun demikian, mengikat secara politik dan hukum (hard
perannya dalam tata politik global masih law). Isu legitimasi secara domestik, dapat
tetap signifikan. Dalam konteks pengelolaan diartikan sebagai dukungan rakyat terhadap
perubahan iklim menunjukkan bahwa peran pemerintahnya atas kebijakan yang diambilnya.
AS pun masih signifikan. Sebagai contoh, Dengan melihat cara pandang skenario
meskipun pembiayaan pemerintah untuk sistem dunia yang sifatnya Networks ini,
riset dan pengembangan energi bersih paling agenda perubahan iklim akan menjadi isu
kecil dibandingkan dengan pembiayaan untuk yang akan selalu mengalami tarik-menarik
riset dan pengembangan sektor lainnya, AS 44
Sivaram and Norris.“The Clean Energy Revolution”.
tetap menjadi penyedia dana pemerintah 45
Weiss, Governance, Good Governance. Robert Repetto.
terbesar bagi kegiatan ini secara global.43 Kasus America’s Climate Problem, the Way Forward, Earthscan.
yang sama, kerja sama internasional untuk diakses kembali 19 Juni 2017, http://www.earthscan.
melipatgandakan dana pemerintah untuk co.uk/tabid/102581/Default.aspx#dnn_ctr287409_
ViewProductInfo _fragment3;
40
Weiss and Thakur, Global Governance.
46
S. Bernstein and Cashore, B. Nonstate Global Governance:
41
Weiss and Thakur, Global Governance.Weiss, Is Forest Certification a Legitimate Alternative to a Global
“Governance, Good Governance...”. Forest Convention? inHard Choices, Soft Law: Voluntary
42
Weiss, “Governance, Good Governance...”. Standards In Global Trade, Environment And Social
43
Sivaram and Norris.“The Clean Energy Revolution”. Governance (2003), 33–64.

Hariyadi: Pengelolaan Agenda Perubahan Iklim dalam Skenario Sistem Dunia Kappen 199
kepentingan yang kuat antar-negara karena ketidakpastian konstelasi sistem dunia,
tidak kuatnya kekuatan-kuatan utama dunia skenario ini akan menempatkan isu perubahan
dan kedudukan kesepakatan yang diambil tidak iklim termasuk di dalamnya eksistensi rezim
lagi sebagai hardlaw dalam pengertian mutlak. perubahan iklim global itu sendiri pun akan
PA diyakini menjadi satu instrumen yang untuk mengalami tekanan yang sama secara politik.
pertama kalinya dapat menyatukan upaya
ambisius semua negara dalam mitigasi iklim Respons Indonesia
dunia. Meskipun demikian, persetujuan yang Menyikapi konstelasi sistem dunia tersebut,
berkedudukan sebagai hardlaw ini masih harus Indonesia perlu mengambil pola kebijakan
dibuktikan komitmen setiap negara peratifikasi. sebagai berikut. Dalam rangka menyikapi
Indikasi perubahan kebijakan AS di bawah skenario sistem dunia networks dan fragmentation,
Pemerintahan Presiden Donald Trump yang Indonesia perlu terus memperkokoh politik
mengindikasikan adanya perubahan kebijakan iklim nasional dalam bingkai paradigma hak
lingkungan di AS secara mendasar bagaimana membangun (rights to development). Hal ini
pun akan berpotensi membawa efek tular berarti bahwa Indonesia perlu mengelola isu
terhadap kekuatan-kekuatan besar lainnya. perubahan iklim dan agenda pembangunan
Konstelasi tata kelola perubahan iklim berkelanjutan berdasarkan kondisi nasional.
global selama ini dan kecenderungan kebijakan Sementara itu, secara internasional, sama seperti
yang diambil negara-negara tertentu khususnya dalam skenario multilateral, upaya diplomasi
AS juga terlihat cocok dengan skenario sistem iklim perlu terus diarahkan dalam rangka
dunia fragmentation. Dalam skenario ini, sistem memperkokoh kredibilitas rezim perubahan
dunia lebih merefleksikan sebuah konstelasi iklim global supaya lebih bersifat partisipatoris
politik internasional yang kurang kondusif, dan adil. Dalam kerangka ini, Indonesia juga
kuatnya potensi anarkhisme politik, sosial perlu mendorong dunia internasional bahwa
ekonomi dalam skala global. Selain itu, ciri yang dalam isu bagi beban dalam pengelolaan isu
lain mencakup kuatnya politik identitas. Karena perubahan iklim bagi semua negara harus
sifat sistem ini tidak mendorong adanya trust, dilaksanakan berdasarkan prinsip common but
pada akhirnya kerja sama pun sulit dilakukan. differentiated responsibilities. Dengan demikian,
Situasi seperti ini tentu diakibatkan oleh negara-negara berkembang memiliki daya
lemahnya peran negara sehingga berpotensi tawar dalam menekan komitmen dukungan
pada terciptanya situasi keos (chaotic). negara-negara industri dalam pengelolaan
Sejumlah faktor turut mendorong perubahan iklim secara nasional. Upaya ini juga
terjadinya skenario ini misalnya, persoalan dapat memperkuat kemitraan dan kerja sama
ketimpangan akses lapangan kerja, keterbatasan global dalam isu perubahan iklim dan sekaligus
sumber daya, menguatnya fundamentalisme mengurangi kritik kentalnya muatan ideologi
dan irasionalisme, melemahnya sistem negara- dalam setiap upaya kemitraan dan kerja sama
bangsa dan lembaga-lembaga dunia, perubahan global.47 Selain itu, dalam skenario sistem dunia
kekuatan dunia secara horisontal dan vertikal, ini, upaya penguatan kemitraan dengan aktor-
serta terjadinya proliferasi senjata pemusnah aktor sipil global untuk ikut menekan negara-
massal. negara industri memenuhi komitmen mereka
Dalam kondisi skenario dunia yang penuh dalam membantu negara-negara berkembang
ketidakpastian seperti ini, pengelolaan isu dalam pengelolaan isu perubahan iklim global
perubahan iklim global akan semakin penuh pun perlu disasar.
dengan ketidakpastian. Sebagaimana ditegaskan Sikap internasional Indonesia untuk
di atas, PA menjadi sebuah kesepakatan mendorong negara-negara lain khususnya negara-
baru yang berbeda dengan persetujuan iklim
sebelumnya. Namun demikian, dalam kondisi
47
Stiglitz, Globalization. Weiss, “Governance, Good
Governance...”.

200 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017


negara maju dalam mengimplementasikan pasca- Obama telah berkomitmen untuk mendukung
pengumuman mundurnya AS dari persetujuan pendanaan Dana Iklim Global (Global Climate
tersebut misalnya, dapat mencerminkan hal ini. Fund) mencapai 30% dari total dana yang
Seperti kita ketahui bahwa sebagai salah satu dibutuhkan atau sebesar 3 miliar dolar AS.
pengemisi terbesar dunia, penarikan diri AS Tantangan lain juga mencakup dievaluasinya
tersebut akan berdampak pada semakin beratnya sejumlah skema pendanaan iklim yang telah
realisasi target penurunan emisi global, dan dikucurkan AS selama ini.50
potensi merosotnya pendanaan untuk negosiasi Dalam kondisi seperti ini, upaya peningkatan
iklim global dan dukungan terhadap negara- solidaritas global untuk mempertegas komitmen
negara berkembang.48 global dalam masalah iklim menjadi hal
Persoalan pencapaian target penurunan penting. Dalam skenario sistem dunia networks
temperatur misalnya, dapat didukung dengan dan fragmentation ini, Indonesia dengan
sejumlah argumen berikut ini. Pada 2014, kedudukannya sebagai negara yang memiliki
kontribusi emisi AS telah mencapai 14% dari kemauan politik kuat dalam isu perubahan
tingkat emisi global atau senilai 6,87 juta iklim secara global dapat memainkan perannya
ton setara karbon. Melalui skema NDC, AS sebagai jangkar dalam mendorong solidaritas
berkomitmen untuk menurunkan senilai 26- global dalam implementasi PA. Kebijakan
28% di bawah tingkat emisi pada tahun 2005. Indonesia untuk tetap konsisten terhadap
Studi Sanderson dan Knutti yang diterbitkan di pelaksanaan PA di depan para pemimpin
Jurnal Nature Climate Change, edisi Desember negara-negara Uni Eropa pada bulan Juni
2016 menegaskan bahwa keterlambatan 2017 menunjukkan kuatnya kemauan politik
pencapaian target mitigasi di AS akan berakibat tersebut.51 Inisiasi pembentukan sebuah aliansi
pada sulitnya pencapaian target 2°C. Hal yang baru dengan sejumlah negara yang memiliki
sama ditegaskan ilmuan Massachusetts Institue kemauan politik yang sama dalam isu ini
of Technology (MIT) bahwa tanpa peran AS, seperti Tiongkok, India, Brasil, Meksiko dan
temperatur global akan lebih tinggi 0.3°C pada Afrika Selatan misalnya, pun dapat dapat
akhir abad ini sekalipun semua komitmen dipertimbangkan.52
peratifikasi PA tercapai.49 Untuk menjalan peran ini Indonesia juga
Persoalan lain terkait dengan isu pendanaan. perlu memperkuat kemauan politiknya dalam
Pada tahun 2016, kontribusi pendanaan iklim merealisasikan serangkaian kebijakan mitigasi
global AS mencapai 6,44 juta dolar AS per perubahan iklim secara nasional. Secara
tahun atau setara dengan 20% dari pembiayaan normatif, upaya ini mudah dilakukan. Namun
operasional UNFCCC. Akibatnya, kegiatan demikian, tanpa pengawalan ketat dalam
UNFCCC, termasuk di dalamnya proses implementasinya, pemenuhan komitmen ini
negosiasi yang sedang berjalan terkait modalitas akan sulit dilakukan. Kebijakan moratorium
operasional PA kemungkinan dapat terganggu. konsesi hutan misalnya, dinilai hanya dapat
Persoalan penting lainnya adalah potensi mengurangi alih fungsi hutan dan lahan bukan
terganggunya kelancaran pendanaan iklim untuk menghentikan deforestasi. Kasus yang
untuk mendukung upaya adaptasi dan mitigasi lain masih rendahnya target penurunan emisi
perubahan iklim di negara-negara berkembang. dari sektor energi. Dalam konteks ini, untuk
Pemerintah AS di bahwa Presiden Barrack membantu merealisasikan komitmen tersebut,
48
Fabby Tumiwa. “Implikasi Keluarnya Amerika Serikat 50
Tumiwa, “Implikasi Keluarnya Amerika Serikat”.
dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan 51
Republika Online. “JK Tegaskan Komitmen Indonesia
Iklim Global”, diakses 22 November 2017, http://iesr. Dukung Kesepakatan Paris”, diakses 21 November
or.id/2017/06/implikasi-keluarnya-amerika-serikat-dari- 2017, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/
paris-agreement-terhadap-agenda-perubahan-iklim- umum/17/06/15/orkxly-jk-tegaskan-komitmen-
global-bagian-2/?lang=en. indonesia-dukung-kesepakatan-paris.
49
Tumiwa, “Implikasi Keluarnya Amerika Serikat”. 52
Tumiwa, “Implikasi Keluarnya Amerika Serikat”.

Hariyadi: Pengelolaan Agenda Perubahan Iklim dalam Skenario Sistem Dunia Kappen 201
penguatan pengembangan energi terbarukan Menempatkan isu pengelolaan perubahan
menjadi penting dilakukan. Untuk mencapai iklim global dalam kerangka sistem dunia secara
ini, kemauan politik untuk menyediakan kekinian dapat diteropong dengan skenario
kebutuhan pendanaan senilai kira-kira 9,4 sistem dunia yang akan terjadi sehingga setiap
miliar dolar AS sampai 2030 untuk mencapai negara dapat meresponsnya secara tepat. Dalam
target pembangunan pembangkit energi dengan kerangka ini, skenario sistem dunia van Kappen
kapasitas 45 GW bersumber energi terbarukan dapat menjadi salah satu instrumen analisisnya.
menjadi tantangan berat pemerintah.53 Konstelasi tata kelola perubahan iklim global
Arti penting pemenuhan komitmen selama ini dan kecenderungan kebijakan yang
ini tentu diarahkan sebagai jangkar untuk diambil negara-negara tertentu khususnya AS
mendorong komitmen yang sama negara-negara terlihat lebih mendekati skenario sistem dunia
industri khususnya negara-negara peratifikasi networks dan fragmentation.
PA. Untuk memperkuat upaya ini, diplomasi Dengan mendasarkan pada skenario sistem
yang mengedepankan aspek constructive dunia Kappen, pengelolaan isu perubahan
engagement yang sifatnya multitracks terhadap iklim secara global dan bagaimana Indonesia
kekuatan-kekuatan utama dunia juga terus harus menyikapinya gambil sikap dan kebijakan
dilakukan secara konsisten untuk mendorong secara nasional dan global menunjukkan ruang
sebuah konsensus global yang mengikat secara manuver yang terbatas. Keterbatasan ruang
politik dan hukum terhadap implementasi manuver ini tentu terkait dengan kecilnya
perjanjian iklim global, agenda SDGs, dan peluang terjadinya skenario normatif sistem
komitmen dukungan mereka terhadap negara- dunia. Hal ini bisa dipahami karena semakin
negara berkembang. besarnya tantangan tidak dari jenis ancaman,
Respons kebijakan Indonesia dalam dua faktor-faktor pendorong dan juga semakin
skenario sistem dunia ini memang tidak dapat kuatnya keterlibatan aktor-aktor non-negara.
menggambarkan kondisi yang ideal. Tingginya Hal lain, semakin merosotnya sistem negara-
kompleksitas isu perubahan iklim global bangsa sebagai sebuah entitas politik dan legal
dan adanya kendala yang bersifat kognitif, dalam pengelolaan isu-isu global bersama juga
respons kebijakan setiap negara biasanya menambah persoalan ini.
merepresentasikan model respons kebijakan Dalam kondisi demikian, setiap negara
yang bersifat satisficying atau inkremental.54 harus mengambil kebijakan yang sifatnya
satisfycing. Persoalan perubahan iklim telah
PENUTUP menjadi persoalan luar biasa dan karena itu
Konstelasi politik nasional dan diperlukan aksi-aksi nasional dan global yang
internasional sangat mudah berubah pada arah tegas dan mengikat berdasarkan prinsip common
yang semakin sulit diprediksikan sehingga isu- but differentiated responsibility, keadilan iklim
isu yang berdimensi global akan menghadapkan dan prinsip hak membangun. Indonesia tentu
setiap negara dalam posisi sulit. Hal ini juga perlu memperkuat kemauan politiknya dalam
sekaligus merefleksikan kuatnya tarik-menarik mewujudkan serangkaian kebijakan mitigasi
kepentingan antara negara-negara maju dan sebagai jangkar untuk mendorong komitmen
negara-negara berkembang. negara-negara maju dalam isu perubahan iklim.
Untuk menuju ke sana, diplomasi constructive
engagement yang bersifat multitracks terhadap
53
Grace Tjandra. “The Paris Agreement: Can Indonesia Be kekuatan-kekuatan utama dunia perlu terus
The Next Brazil?”, diakses 22 November 2017, https://
thediplomat.com/2017/09/the-paris-agreement-can-
dilakukan untuk mendorong sebuah konsensus
indonesia-be-the-next-brazil/. global yang mengikat secara politik dan hukum.
54
John Forrester, “‘Bounded Rationality and the Politics of
Muddling Through’”, Public Administration Review 44
(1984): 23-30.

202 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017


DAFTAR PUSTAKA Light, Donald; Keller, Suzanne and Calhoun,
Craig. Sociology. Fifth ed. New York: Alfred
A . Knopf, Inc., 1989.
Morgenthau, Hans J. Politik Antar-Bangsa
Buku (terj.). Direvisi Kenneth W Thompson.
Akaha, Tsuneo and Frank and Langdon, (ed.). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Japan in the Posthegemonic World. Boulder 2010.
and London: Lynne Rienner Publisher,
Little, Richard. The Balance of Power in
1993.
International Relations: Metaphors, Myths
Bernstein, S., & Cashore, B. “Nonstate Global and Models. UK: Cambridge Univ. Press,
Governance: Is Forest Certification a 2007.
Legitimate Alternative to a Global Forest
Ross, Katherine., Damassa, Thomas. Assessing
Convention?” in Hard Choices, Soft Law:
the Post-2020 Clean Energy Landscape.
Voluntary Standards In Global Trade,
Technical Note. USA: World Resource
Environment And Social Governance, 2003.
Institue, 2015.
Brundtland, Gro Harlem. Report of the
Rourke, John T. International Politics on the
World Commission on Environment and
World Stage. California: Brooks/Cole
Development: Our Common Future. New
Publishing Co., 1986.
York: WCED, 1987.
Stiglitz, Joseph E. Globalization and Its
Edenhofer, O., R. Pichs-Madruga, Y. Sokona,
Discontents. New York: Norton, 2002.
E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A.
Adler, I. Baum, S. Brunner, P. Eickemeier, United Nations Environmental Programme
B. Kriemann, J. Savolainen, S. Schlömer, (UNEP). The Emissions Gap Report 2016.
C. von Stechow, T. Zwickel and J. C. Executive summary. Paris: UNEP, 2017.
Minx, eds.. Climate Change 2014: Mitigation Weiss, Thomas G. and Ramesh Thakur. Global
of Climate Change. Contribution of Working Governance and the UN, an Unfinished
Group III to the Fifth Assessment Report of the Journey, Bloomington and Indianapolis:
Intergovernmental Panel on Climate Change. Indiana Univ. Press, 2010.
Cambridge University Press, Cambridge,
UK and NY, USA, 2014. Gabriel, Jurg Weiss, Thomas G. “Governance, Good
Maartin. Worldviews and Theories of Governance and Global Governance:
International Relations. New York: ST. Conceptual and Actual Challenges”,
Martin’s Press, Inc., 1994. dalam Ashwani Kumar dan Dirk Messner
(ed.), Power Shifts and Global Governance,
Howlett, Michael and M. Ramesh. Studying Challenges from South and North, UK &
Pubic Policy: Policy Cycle and Policy USA, Anthem Press, 2011.
Subsystems, NY: Oxford Univ. Press, 1995.
Jackson, Robert & Sorensen, George. Pengantar Jurnal
Studi Hubungan Internasional, terj. Forrester, John. “Bounded Rationality and
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. the Politics of Muddling Through,” Public
Kumar, Ashwani and Dirk Messner, eds. Power Administration Review 44 (1984): 23-30.
Shifts and Global Governance, Challenges Galtung, Johan. “A Structural Theory of
from South and North, London: Routledge, Imperalism. Journal of Peace Research,” Vo.
2011. 8, No. 2, (1971): 81-117.

Hariyadi: Pengelolaan Agenda Perubahan Iklim dalam Skenario Sistem Dunia Kappen 203
Sivaram, Varun and Teryn Norris. “The Clean Republika Online. “JK Tegaskan Komitmen
Energy Revolution: Fighting Climate Indonesia Dukung Kesepakatan Paris”,
Change With Innovation,” Foreign Affairs, diakses 21 November 2017, http://
Vol. 95, Issue 3, (June 2016): 147-156. nasional.republika.co.id/berita/nasional/
umum/17/06/15/orkxly-jk-tegaskan-
Makalah dan Kertas Kerja komitmen-indonesia-dukung-kesepakatan-
Damassa, T., Fransen, T., Haya, B., Ge, M., paris.
Pjeczka, K., Ross, D. A. N. K., & Eksekutif, Samadhi, Nirarta. “Meninjau Ulang Komitmen
R. “Menginterpretasikan Indc : Menilai Emisi Indonesia”, WRI, diakses 1 Mei
Transparansi Target Emisi Gas Rumah 2017, http://www.wri-indonesia.org/id/
Kaca Pasca-2020.” Kertas Kerja., 2016: blog/meninjau-ulang-komitmen-emisi-
1-12. indonesia.
Inter-Governmental Panel on Climate Change/ Tumiwa, Fabby. “Implikasi Keluarnya
IPCC. “Climate Change 2007: Mitigation of Amerika Serikat dari Paris Agreement
Climate Change. Contribution of Working terhadap Agenda Perubahan Iklim
Group III to the Fourth Assessment report Global”, diakses 22 November 2017, http://
of the IPCC.” Summary for Policy Makers iesr.or.id/2017/06/implikasi-keluarnya-
and Technical Summary, 2007. amerika-serikat-dari-paris-agreement-
Kappen, Frank van. New security threats; The UN, terhadap-agenda-perubahan-iklim-global-
NATO and Challenges in global governance. bagian-2/?lang=en.
Clingendael Lecture (Indonesia), tt. Tjandra, Grace. “The Paris Agreement: Can
Indonesia Be The Next Brazil?”, diakses
Internet 22 November 2017, https://thediplomat.
Repetto, Robert. “America’s Climate Problem, com/2017/09/the-paris-agreement-can-
the Way Forward”, Earthscan, diakses indonesia-be-the-next-brazil/.
kembali 19 Juni 2017, http://www.
earthscan.co.uk/tabid/102581/Default.
aspx#dnn_ctr287409_ViewProductInfo_
fragment3;.

204 Politica Vol. 8 No. 2 November 2017

Anda mungkin juga menyukai