Anda di halaman 1dari 8

FARMAKOTERAPI TERAPAN

STUDI KASUS GANGGUAN LAMBUNG

OLEH
KELOMPOK VII
RESKY AMELYA SARI O1B1 21 112
REZA RAHMANSYAH O1B1 21 113
REZKIA WULANDARI O1B1 21 114
RIA ASKARA SUHARMAN O1B1 21 115
SHEVA SAFIRA AZAHRA O1B1 21 116
SISCA WAHYUNINGSIH SAPUTRI O1B1 21 117
SITTI NUR ANNISYAH O1B1 21 118
SITTI NURAISYAH WAHYUNINGRUM O1B1 21 119
SITTI QONITA RAMADHANIAH O1B1 21 120
TRISNANING MAULIDYA SM O1B1 21 121

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
GANGGUAN LAMBUNG

Kasus 1
Seorang pria 62 tahun merasakan nyeri perut dan dada terasa terbakar yang terjadi 2 –
3 dalam setiap minggu. Dia juga mengatakan telah kehilangan BB sekitar 4.5 kg dalam 6
bulan terakhir meski tidak diet dan olahraga. Dia mengaku HT selama 5 tahun dan mendapat
obat lisinopril/HCT 20/25 mg per hari, parasetamol 500 mg jika sakit kepala dan tidak ada
riwayat alergi. Dia juga merokok setengah bungkus/hari. Ibunya umur 84 tahun dengan DM
tipe 2, HT sedangkan ayahnya meninggal umur 68 tahun karena infark miokard.

Pertanyaan:
1. Apa tindakan yang harus dilakukan untuk mengetahui permasalahan pasien?
Agar diagnosis penyakit dari pasien tersebut dapat ditegakkan maka dapat diterapkan
beberapa tahapan diagnosis dimulai dari presentasi klinis, dilanjutkan dengan pemeriksaan
klinis dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan/penunjang (Nugraha, 2017).
Pemeriksaan penunjang berupa prosedur radiologis serta endoskopi. Endoskopi
diindikasikan pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun dengan dispepsia onset baru.
Diagnosis endoskopi melibatkan ekstraksi sampel jaringan lambung yang selanjutnya
dilakukan pengujian untuk Helicobacter pylori (DiPiro dkk., 2016).

2. Hasil pemeriksaan menunjukan infeksi H.pylori. Apa terapi yang


direkomendasikan?
Tujuan terapi H. pylori adalah untuk membasmi organisme menggunakan rejimen
yang mengandung antibiotik yang efektif.
Rekomendasi terapi:
Clarithromycin 500 mg + amoxicillin 1 g + lansoprazole 30 mg, masing-masing 2 kali
sehari. (DiPiro et al, 2016)
Alasan pemilihan terapi:
Rekomendasi tersebut merupakan lini pertama pengobatan eradiksi H. pylori dan
pasien tidak memiliki riwayat alergi, jadi dapat diberikan antibiotic golongan penisilin.
Regimen terapi eradikasi menggunakan kombinasi antara amoksisilin dan klaritromisin
menjadi prioritas utama, hal ini dikarenakan terapi eradikasi menggunakan kombinasi
antara amoksisilin dan klaritromisin menunjukkan hasil eradikasi sebesar 74,2% serta
kegagalan terapi eradikasi yang rendah (15%).
Lansoprazol menjadi pilihan utama dibandingkan agen PPI lainnya, hal ini
dikarenakan dengan dosis rendah lansoprazol memiliki aksi yang lebih cepat dibandingkan
dengan dosis rendah agen PPI lainnya seperti omeprazol, pantoprazol dan rebeprazol.
Lansoprazol merupakan obat golongan PPI yang memiliki bioavaibilitas tinggi, waktu
konsentrasi puncak plasma yang cepat, harga ekonomis, dan memiliki efek samping
minimal (Atharini et al, 2016).
3. Pasien telah menyelesaikan regimen terapi untuk eradikasi bakteri, namun pasien
mengalami gatal-gatal dan kesulitan bernapas yang diketahui akibat dari alergi
penisilin. Pasien pun kembali mengalami gejala 3 bulan kemudian. Apa regimen
terapi yang kemudian direkomendasikan?
Terapi quadruple berbasis bismut direkomendasikan sebagai alternatif terapi eradikasi
lini pertama bagi mereka yang alergi terhadap penisilin. Meskipun rejimen ini dapat
digunakan pada awal terapi, tetapi sering dicadangkan sebagai terapi lini kedua setelah
kegagalan pengobatan dengan rejimen klaritromisin-amoksisilin berbasis PPI. Tingkat
keberhasilan untuk terapi quadruple berbasis bismut (bismut salisilat, metronidazol,
tetrasiklin, dan baik PPI atau H2RA) serupa dengan yang dicapai dengan terapi tiga
berbasis PPI. Rekomendasi terapi lini kedua dengan quadruple regimen terdiri dari
tetracycline 500 mg empat kali sehari, metronidazole 250 mg empat kali sehari, bismuth
salt 120 mg empat kali sehari, dan PPI sesuai jenis PPI yang digunakan 2 kali sehari.
Quadruple regimen dianggap lebih efektif dibandingkan terapi lini pertama, sehingga
dapat digunakan pada pasien yang gagal eradikasi menggunakan terapi lini pertama
(Dipiro, dkk., 2011).
Kasus 2
Pasien BD 45 tahun laki-laki bekerja sebagai pengatur arus lalu lintas di bandar udara.
Dia mengeluh sudah 2 minggu merasa bagian perut nyeri terbakar, kembung dan susah
makan, nyeri terjadi beberapa kali sehari terutama diantara waktu makan dan membuatnya
terbangun dimalam hari dan frekuensinya meningkat sejak 1 minggu lalu. Awalnya nyeri
hilang dengan mengkonsumsi makanan dan antasida. Minngu lalu si bapak mengkonsumsi
obat OTC golongan antagonis reseptor H2 tetapi gejala tidak berkurang.
Si bapak pernah mengalami nyeri yang sama di umur 12 tahun dan mengkonsumsi
omeprazole untuk dugaan peptic ulser. Selama 20 tahun terakhir merokok 1 pak/hari, minum
kopi 4 – 6 gelas setiap hari. Si bapak juga menggunakan asetaminofen untuk sakit kepalanya
dan multivitamin. Si bapak mengaku tidak pusing, mual dan muntah, anoreksia dan BB tidak
turun. Dia juga tidak alergi obat dan makanan. Penampilan fisik normal kecuali nyeri
epigastrik. Suhu 37,1, TD 132/80, HR 78/menit, Hgb, 14.0 g/dL Hct, 44%.

Pertanyaan:
1. Berdasarkan tanda dan gejala apa pasien kategori peptic ulcer?
Tanda dan gejala pada pasien yaitu pasien merasa nyeri perut terbakar,kembung dan
susah makan nyeri terjadi beberapa kali sehari terutama diantara waktu makan dan
membuatnya terbangun dimalam hari dan frekuensinya meningkat sejak 1 minggu lalu
(Dipiro dkk.,2015).
Nyeri perut adalah gejala PUD (Peptic Ulcer Disease) yang paling sering. Nyeri
sering epigastrium dan digambarkan sebagai rasa terbakar tetapi dapat muncul sebagai
ketidaknyamanan yang samar-samar, perut penuh, atau kram. Nyeri malam hari dapat
membangunkan pasien dari tidur, terutama antara jam 12 pagi dan 3 pagi.
 Nyeri akibat tukak duodenum sering terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan dan biasanya
hilang dengan makanan, sedangkan makanan dapat mencetuskan atau memperberat
nyeri tukak pada tukak lambung. Antasida memberikan pereda nyeri yang cepat pada
sebagian besar pasien maag.
 Mulas, sendawa, dan kembung sering menyertai nyeri. Mual, muntah, dan anoreksia
lebih sering terjadi pada tukak lambung daripada tukak duodenum.
 Tingkat keparahan gejala bervariasi di antara pasien dan mungkin musiman, lebih
sering terjadi pada musim semi atau musim gugur.
 Ada atau tidak adanya nyeri epigastrium tidak menentukan ulkus. Penyembuhan ulkus
tidak serta merta membuat pasien asimtomatik. Sebaliknya, tidak adanya rasa sakit
tidak menghalangi diagnosis ulkus, terutama pada orang tua yang mungkin datang
dengan komplikasi ulkus "diam".
 Komplikasi ulkus meliputi perdarahan saluran cerna bagian atas, perforasi ke dalam
rongga peritoneum, penetrasi ke dalam struktur yang berdekatan (misalnya, pankreas,
saluran empedu, atau hati), dan gangguan lambung (Dipiro dkk., 2015)

2. Pasien positif H pylori, faktor risiko rekurensi?


Pasien mungkin tetap terinfeksi H. pylori setelah pengobatan karena infeksi ulang,
ketidakpatuhan, atau resistensi antimikroba. Faktor yang berhubungan dengan penurunan
kepatuhan meliputi polifarmasi, perlunya pemberian obat yang sering atau durasi
pengobatan yang lama dan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan efek
samping yang tidak dapat ditoleransi. Potensi efek obat yang merugikan termasuk
gangguan rasa (misalnya: klaritromisin dan metronidazol) mual, muntah, nyeri perut, dan
diare (Dipiro dkk., 2016). Faktor resiko pada kasus ini juga disebabkan karena pasien
sering mengkonsumsi 4-6 gelas kopi dalam sehari dan adanya kebiasaan merokok
sehingga dapat memicu rekurensi pada pasien H pylori. Selain itu pekerjaan pasien ini
juga menjadi factor resiko hal ini dikarenakan pengatur arus lalu lintas dibandara, yang
tentunya memiliki jadwal yang padat sehingga dengan adanya jadawal yang padat ini
membuat pasien tidak patuh dalam meminum obat.
3. Apa tujuan terapi pasien?
Tujuan terapi PUD (Peptic Ulcer Disease) adalah untuk mengatasi gejala,
mengurangi sekresi asam, meningkatkan penyembuhan epitel, mencegah komplikasi
terkait ulkus, dan mencegah kekambuhan ulkus. Untuk H. pylori-terkait PUD,
pemberantasan H. pylori adalah hasil tambahan.
Tujuan terapi H. pylori adalah untuk membasmi organisme menggunakan rejimen
yang mengandung antibiotik yang efektif. Kepercayaan pada terapi obat penekan asam
konvensional saja sebagai alternatif untuk pemberantasan H. pylori tidak tepat karena
terkait dengan insiden yang lebih tinggi dari kekambuhan ulkus dan ulkus terkait
komplikasi. Tingkat infeksi ulang umumnya rendah setelah kursus awal terapi selama
pasien patuh (Dipiro dkk., 2016).

4. Bagaimana tatalaksana terapi, untuk eradikasi H pylori? (First line?)


Terapi lini pertama dimulai dengan tiga regimen terapi berbasis PPI selama 10 sampai
14 hari. Pengobatan lini pertama harus mencakup inhibitor pompa proton (PPI),
klaritromisin, dan amoksisilin (triple berbasis PPI). Regimen yang mengandung
amoksisilin lebih disukai, karena resistensi bakteri terhadap amoksisilin hampir tidak ada,
efek sampingnya lebih sedikit, sehingga Metronidazol digunakan sebagai terapi lini kedua.
Kombimasi dua antibiotik meningkatkan eredikasi ke tingkat yang dapat diterima dan
mengurangi risiko resistensi antimikroba. Semua PPI efektif saat digunakan dalam dosis
standar (Dipiro dkk., 2011).
First line tatalaksana terapi eradikasi H. pylori adalah Clarithromycin 500 mg +
amoxicillin 1 g + lansoprazole 30 mg, diberikan dua kali sehari untuk pasien yang tidak
memiliki alergi terhadap antibiotik golongan penisilin dan Clarithromycin 500 mg +
metronidazole 500 mg (or tinidazole 500mg) + omeprazole 20 mg, diberikan dua kali
sehari untuk pasien yang memiliki alergi dengan golongan penisilin. Dalam kasus ini,
pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap antibiotik golongan penisilin, sehingga
terapi yang disarankan adalah Clarithromycin 500 mg + amoxicillin 1 g + lansoprazole 30
mg, diberikan dua kali sehari (Chisholm-Burns dkk., 2016).
5. Jika pasien diberi 3 obat mengandung PPI, informasi apa yang sebaiknya diberikan
pada pasien?
 Pasien harus diberitahu tentang pentingnya meminum obatnya sesuai resep untuk
meminimalkan kegagalan pengobatan dan perkembangan resistensi antibiotik.
 PPI harus diminum 2 kali sehari 30 sampai 60 menit sebelum sarapan dan makan
malam bersama dengan amoxicillin dan klaritromisin
 Efek samping yang biasa terjadi pada pengobatan H. pylori. Semua antibiotik yang
digunakan pada pengobatan ini biasanya terjadi efek samping ringan termasuk mual,
sakit perut, dan diare. Klaritromisin dapat menyebabkan gangguan indra perasa
(Sukandar dkk., 2013; Wells dkk., 2015).

6. Jika pasien alergi penisilin apa alternative terapi?


Untuk pasien dengan Alergi penisilin, maka terapi yang direkomendasikan adalah
pemberian Bismut, selama 10 – 14 hari (Malfertheiner dkk., 2007).
Terapi quadruple berbasis bismut direkomendasikan sebagai alternatif terapi eradikasi
lini pertama bagi mereka yang alergi terhadap penisilin. Meskipun rejimen ini dapat
digunakan pada awal terapi, tetapi sering dicadangkan sebagai terapi lini kedua setelah
kegagalan pengobatan dengan rejimen klaritromisin-amoksisilin berbasis PPI. Tingkat
keberhasilan untuk terapi quadruple berbasis bismut (bismut salisilat, metronidazol,
tetrasiklin, dan omeprazole 20 mg) serupa dengan yang dicapai dengan terapi tiga berbasis
PPI. Rekomendasi terapi lini kedua dengan quadruple regimen terdiri dari tetracycline 500
mg empat kali sehari, metronidazole 250 mg empat kali sehari, bismuth salt 120 mg empat
kali sehari, dan PPI sesuai jenis PPI (Omeprazol 20 mg)yang digunakan 2 kali sehari.
Quadruple regimen dianggap lebih efektif dibandingkan terapi lini pertama, sehingga
dapat digunakan pada pasien yang gagal eradikasi menggunakan terapi lini pertama
(Dipiro, dkk., 2011).
7. Jika menggunakan 4 kombinasi berbasis PPI dan bismuth, apa terapi yang
direkomendasikan?
Pylera (bismuth subcitrate potassium 140 mg + metronidazole 125 mg + tetracycline
125 mg) 3 kapsul dua kali sehari + omeprazole 20 mg dua kali sehari × 10 hari (Dipiro,
2011).
Terapi kombinasi menggunakan dua jenis antibiotik dengan PPI atau bismuth
diperlukan untuk mencapai hasil eradikasi yang adekuat dan untuk menurunkan angka
kegagalan terapi akibat resistensi antibiotik. Dianjurkan untuk menggunakan amoksisilin
sebagai terapi pilihan pertama, dan menggunakan metronidazol pada pasien yang alergi
terhadap penisilin. Jika terapi tripel tersebut gagal, maka disarankan memberikan terapi
kuadrupel, yaitu: PPI 2x sehari, bismut subsalisilat 4x2 tablet, metronidazol 4x250 mg,
tetrasiklin 4x500 mg. Untuk daerah yang resistensi tinggi terhadap metronidazol, maka
dapat diganti dengan regimen PPI + bismuth + tetrasiklin + amoksisilin. Bila bismuth
tidak tersedia diganti dengan triple drugs (Sanusi, 2011).
8. Bagaimana monitoring terapi pada pasien, apa parameter monitoring respon terapi
pasien?
Monitoring terapi pada pasien yaitu
 Memantau tanda-tanda dan gejala bila terjadi komplikasi
 Memonitor apabila ada advers drug reactions
Untuk penggunaan PPI monitoring kadar serum magnesium hal ini dikarenakan,
penggunaan PPI jangka Panjang memiliki potensi terjadinya hipomagmasemia. Selain itu
monitoring fungsi paru juga diperlukan, hal ini dikarenakan penggunaan PPI memiliki
meningkatkan resiko terjadinya pneumonia pada pasien GERD 2. Penggunaan PPI juga
memberikan efek samping defisiensi vitamin B12, oleh karena itu penting dilakukan
monitoring jumlah sel darah merah dalam tubuh. (DiPiro dkk., 2016)
Parameter monitoring respon terapi pasien yaitu
 Adanya pengurangan rasa nyeri yang dialamai oleh pasien,
 negatifnya hasil tes bakteri H.Pylori.
DAFTAR PUSTAKA
Atharini YH, et al, 2016, Pola Pengobatan Dan Luaran Klinis Pada Pasien Terinfeksi
Helicobacter pylori, Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, 6(2).
Chisholm-Burns, M.A., Terry L.S., Barbara G.W., Dipiro J.T., 2016, Pharmacotherapy
Principles & Practice, McGraw-Hill Education, New York.
DiPiro JT, Marie AC, Terry LS, Barbara GW, Patrick MM, Jill MK, 2016, Pharmacotherapy
Principles & Practice 4th Edition, McGraw-Hill Education: USA.
Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG and Posey LM, 2011,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 8th ed., Mc Graw Hill: United State of
America.
Malfertheiner P, Megraud F, O'morain C, Bazzoli F, EL-OMAR E, Graham D, et al, 2007,
Curent Concepts in the Management of Helicobacter Pylori Infection : The Maastricht
III Consensus Report.Gout ;56: 772 -81
Nugraha DA, 2017, Diagnosis dan Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-
Variseal, CDK, 44(5).
Sanusi IA, 2011, Tukak Lambung, In AA Rani, MSK & AF Syam (Eds), Buku Ajar
Gastroenterologi (328-235), Interna Publishing: Jakarta
Sukandar EY, Andrijati R, Sigit JI, Adnyana IK, Setiadi AP, Kusnandar, 2013, ISO
Farmakoterapi 2, IAI: Jakarta Barat.
Wells BG, Terry LS, Joseph TD, Cecily VD, 2015, Pharmacoteraphy Handbook 10th
Edition, McGraw Hill Education: USA.

Anda mungkin juga menyukai