Anda di halaman 1dari 25

INFEKSI ODONTOGEN SUBMANDIBULAR DENGAN

KOMPLIKASI PERLUASAN KE TEMPORAL

drg. L.Cinthia Hutomo, Sp. Ort

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmatNYA, penulis dapat menyelesaikan Student Project yang berjudul “Infeksi
Odontogen Submandibular dengan Komplikasi Perluasan ke Temporal”.
Laporan kasus ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuan mengenai
penatalaksanaan abses submandibular yang disertai dengan komplikasi sehingga
dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca khususnya mahasiswa
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca.

Denpasar, Maret 2018

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS .............................................................................. 2
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................. 5
BAB IV KAITAN DENGAN TEORI ............................................................... 7
4.1 INFEKSI ODONTOGEN .................................................................. 7
4.1.1 ETIOLOGI………………………………………………….... 7
4.1.2 PATOGENESIS……………………………………………. .. 8
4.1.3 KLASIFIKASI INFEKSI ODONTOGEN……………….. ..... 9
4.2 INFEKSI FASCIAL SPACE .............................................................. 11
4.3 ABSES SUBMANDIBULA.............................................................. 11
4.3.1 ETIOLOGI……………………………………………............. 12
4.3.2 PATOGENESIS……………………………………………… 13
4.3.3 PENATALAKSANAAN……………………………………... 14
4.3.4 PENCEGAHAN……………………………………………. ... 16
4.3.5 PROGNOSIS………………………………………………… . 17
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 19

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ............................................................................................................ 3
Gambar 2 ............................................................................................................ 4
Gambar 3 ............................................................................................................ 4
Gambar 4 ............................................................................................................ 4
Gambar 5 ............................................................................................................ 4
Gambar 6 ............................................................................................................ 4
Gambar 7 ............................................................................................................ 11
Gambar 8 ............................................................................................................ 12
Gambar 9 ............................................................................................................ 16

iv
ABSTRAK

Kasus infeksi odontogen yang mengenai fascial space merupakan kasus


yang paling sering dilaporkan dalam bidang kedokteran gigi. Di antara itu infeksi
ruang submandibular merupakan yang paling banyak terjadi, tetapi perluasan
infeksi ruang submandibular ke daerah temporal jarang dilaporkan.
Penatalaksanaan infeksi tersebut sangat menantang dan membutuhkan keahlian.
Laporan kasus ini menjelaskan mengenai penatalaksanaan kasus infeksi
submandibular yang disertai dengan komplikasi perluasan ke daerah temporal
melalui tindakan insisi dan drainase pada anak laki-laki berusia delapan tahun.

Kata kunci: Antibiotik, Drainase, Supurasi

v
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi odontogen merupakan penyakit yang paling sering ditangani oleh


dokter gigi. Kondisi ini menimbulkan rasa sakit, ketidaknyamanan serta kesulitan
membuka mulut, sehingga menyulitkan aktivitas fungsi rongga mulut.
Peningkatan infeksi odontogen pada negara berkembang disebabkan kekurangan
gizi, kebersihan rongga mulut yang buruk, konsumsi tembakau, mengunyah
pinang dan merokok. Infeksi odontogen juga dapat menyebar ke ruang di sekitar
leher bagian dalam dan dapat berakibat fatal atau mengancam jiwa sehingga
memerlukan diagnosis awal. Penatalaksanaan infeksi ini meliputi penatalaksanaan
jalan nafas, pemberian antibiotik dan tindakan bedah. Tindakan pencegahan lebih
baik daripada mengobati, pencegahan infeksi odontogen dapat dicapai dengan
menciptakan kesadaran mengenai komplikasi yang ditimbulkan akibat kebersihan
mulut dan gigi yang buruk dengan melakukan pemeriksaan rutin di tingkat
masyarakat. Laporan kasus ini menjelaskan mengenai penatalaksanaan kasus yang
jarang ditemui dari infeksi odontogen pada ruang submandibular dengan
perluasan ke daerah temporal pada anak laki-laki berusia delapan tahun.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang anak laki – laki berusia delapan tahun datang dengan keluhan
utama rasa sakit yang disebabkan oleh adanya pembengkakan pada sisi kiri wajah.
Sepuluh hari yang lalu, pasien telah mengunjungi dokter gigi setempat dan
diberikan antibiotik (Amoxycillin 250 mg dan Clavulanic acid 125 mg) serta obat
anti-inflamasi non-steroid (kombinasi sodium Diklofenac 50 mg dan Paracetamol
250 mg) yang harus diminum tiga kali sehari selama tiga hari. Setelah tiga hari,
pembengkakan semakin membesar dan pasien datang ke dokter gigi lain dan
diberikan beberapa jenis obat lagi (yang tidak diketahui pasien) yang harus
diminum selama tiga hari. Rasa sakit dan bengkak tidak berkurang, sehingga
pasien datang ke Bagian Gigi dan Mulut RSUP Sanglah Denpasar. Hasil
pemeriksaan menunjukkan bahwa terdapat asimetri pada wajah pasien yang
disebabkan oleh adanya pembengkakan pada regio mandibula kiri belakang
dengan konsistensi keras yang meluas ke daerah temporal (Gambar 1).
Pembengkakan tersebut keras dan berfluktuasi secara alami meluas dari batas
bawah pada regio gigi 34 ke regio temporal serta bagian anterior di bawah margin
infra-orbital ke posterior di regio aurikular, berukuran 8 × 5 cm (Gambar 2). Suhu
badan pasien 39oC dan mengalami kesulitan membuka mulut. Pada evaluasi
radiografi tampak bahwa gigi molar permanen pertama mandibula kiri (36)
mengalami karies parah dan terdapat pelebaran ruang PDL, sehingga
menimbulkan abses periapikal, gigi 36 (Gambar 3) dicurigai sebagai penyebab
dari infeksi. Oleh karena itu, diagnosis dari kondisi tersebut di atas adalah infeksi
ruang submandibular dengan perluasan ke daerah temporal. Karena pasien sudah
mengkonsumsi obat, dan tidak ada perubahan atau masih terasa sakit, maka
diputuskan untuk melakukan insisi dan drainase abses dari daerah temporal.
Prosedur tersebut dijelaskan dan informed consent tertulis disetujui oleh orang tua
pasien. Sebelum perawatan, pasien dikonsultasikan ke dokter THT untuk
mendapatkan saran dan untuk memastikan tidak adanya faktor penyebab lain.
Dalam kondisi steril, lignocaine spray diaplikasikan pada regio temporal.
Selanjutnya dengan menggunakan jarum nomor 18 drainase abses dilakukan

2
secara perlahan (gambar 4). Sekitar 25 ml pus dikeluarkan menggunakan metode
ini. Sisa abses tidak dapat dikeluarkan dengan jarum karena adanya loculi. Oleh
karena itu dilakukan insisi dan drainase, loculi diambil dengan menggunakan
arteri klem ( gambar 5 ). Menggunakan anestesi lokal, insisi sepanjang 2 cm
dibuat pada daerah aman regio temporal (dengan mempertimbangkan pembuluh
darah dan saraf yang ada pada regio tersebut) dan pus di keluarkan dengan cara
menekan kebawah ke arah area insisi. Setelah itu, masukkan selapis karet yang
berfungsi sebagai drain pada daerah insisi, lalu lakukan penutupan luka dan
pasien di anjurkan untuk kontrol 3 hari kemudian. Medikasi untuk menghilangkan
pembengkakan submandibula post operatif diberikan Amoxicillin tablet 250 mg
dan Asam Clavulanic 125 mg, Metronidazole tablet 200 mg dan analgesik
ibuprofen dan paracetamol diminum 2 kali sehari selama tiga hari dan pasien
disarankan untuk melakukan latihan membuka mulut serta datang kembali untuk
kontrol setelah tiga hari.
Pada saat kontrol, pasien menunjukkan kemajuan mampu membuka mulut
sampai 20 mm. Karena prognosis yang buruk, molar pertama permanen
mandibula kiri yang terinfeksi diekstraksi dan diikuti dengan kuretase. Sisa abses
dikeluarkan lagi dari daerah temporal, drain diganti dan pengobatan dilanjutkan
lagi selama dua hari. Lima hari kemudian, pembengkakan telah hilang dan
dilakukan observasi simetri wajah (Gambar 6). Kemampuan membuka mulut
pasien membaik dengan fisioterapi berkala. Penyembuhan pasca operasi berjalan
lancar. Pemeriksaan klinis lanjutan menunjukkan hasil yang memuaskan.

Gambar 1. Foto preoperatif yang


menunjukkan infeksi ruang
submandibular yang meluas ke arah
daerah temporal.

3
Gambar 2. Foto preoperatif yang
menunjukkan pembengkakan fluktuasi di
daerah temporal

Gambar 3. Orthopantomogram yang


menunjukkan karies pada gigi M1
permanen kiri bawah

Gambar 4. Mengeluarkan abses


menggunakan jarum

Gambar 5. Memecahkan loculi untuk


drainase abses yang tersisa

Gambar 6. Foto pasca operasi


setelah 10 hari

4
BAB III
PEMBAHASAN

Penatalaksanaan infeksi pada leher bagian dalam memiliki banyak


kesulitan, hal ini disebabkan karena anatomi leher yang rumit, etiologi
polymicrobial dan timbulnya komplikasi yang dapat mengancam jiwa pasien.
Pemberian antibiotik intravena dosis tinggi (biasanya penisilin atau sefalosporin
dan metronidazol), analgesik dan cairan sebelum tindakan bedah drainase serta
mencegah penyebaran infeksi merupakan rencana perawatan awal dari infeksi
pada facial space. Selain itu, penggunaan antibiotik, steroid, dan obat anti-
inflamasi nonsteroid yang tidak tepat mungkin bisa menghilangkan tanda-tanda
infeksi dan mengubah tampilan klinis sehingga infeksi sulit terdiagnosa dan juga
menyebabkan lambatnya perjalanan penyakit, pemulihan yang lama, dan
timbulnya komplikasi. Dalam laporan kasus ini, infeksi odontogen diidentifikasi
sebagai sumber utama infeksi fascial space sedangkan pada bayi dan anak-anak
penyebab infeksi facial space biasanya idiopatik. Bakteri penyebabnya biasanya
campuran dari aerob dan anaerob termasuk mikroorganisme normal rongga mulut
seperti streptococci atau staphylococci. Dalam kasus ini, pada awalnya pasien
tidak merasa membaik dengan pemberian antibiotik, oleh karena itu saat dia
datang melaporkan masalah tersebut kepada kami diputuskan untuk dilakukan
drainase abses. Beberapa laporan sebelumnya menyatakan bahwa infeksi gigi
merupakan penyebab utama infeksi ruang submandibular tetapi dari beberapa
literatur yang dipublikasikan melaporkan bahwa pada 28,4% kasus, sumber
infeksi tidak dapat ditemukan. Banyak dari pasien mungkin sudah lama memiliki
supurasi kelenjar getah bening bagian dalam yang tidak terdiagnosa dalam
pemeriksaan klinis dan radiografi. Pada kasus ini gigi yang terinfeksi diekstraksi
pada kunjungan kedua karena pasien mengalami kesulitan membuka mulut.
Penyebaran infeksi ruang submandibular ke daerah temporal merupakan kasus
yang jarang terjadi dan penatalaksanaannya sangat menantang karena adanya
struktur vital di sekitar area pembengkan.
Sejak seringnya ditemukan bahwa infeksi ruang submandibular berasal
dari gigi, akuisisi pemindaian aksial beresolusi tinggi dari rahang bersama dengan

5
rekonstruksi multiplanar berbentuk lengkung dan ortoradial (Dental scan) sangat
dianjurkan untuk mengidentifikasi infeksi periapikal. Penatalaksanaan kasus ini
dilakukan melalui tindakan bedah yang didukung oleh pemberian antibiotik
karena yang terakhir saja tidak akan menyelesaikan masalah. Drainase bedah
membantu untuk menghilangkan bahan purulen beracun dan jaringan yang berada
di sekitar jaringan oedema, sehingga memungkinkan penyerapan antibiotik yang
lebih baik serta meningkatkan oksigenasi pada daerah yang terinfeksi yang
menyebabkan penyembuhan pasca operasi terhambat.

6
BAB IV
KAITAN DENGAN TEORI

4.1 INFEKSI ODONTOGEN


Infeksi odontogen merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering
terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit
periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan (Wazir dkk,
2013).

4.1.1 ETIOLOGI
Infeksi odontogen disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal
dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa
mulut. Bakteri yang utama ditemukan adalah bakteri kokus aerob gram
positif, kokus anaerob gram positif dan batang anaerob gram negatif. Bakteri-
bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis jika
mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket
periodontal yang dalam sehingga akan terjadi infeksi odontogen (Ariji dkk,
2002).
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari
setengah kasus infeksi odontogen yang ditemukan yaitu sekitar 60%
disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen yang
sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-hemolytic
Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides
(Prevotella) melaninogenicus, dan Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri
jarang menyebabkan infeksi odontogen yaitu hanya sekitar 5%. Bila infeksi
odontogen disebabkan oleh bakteri aerob, biasanya organisme penyebabnya
adalah species Streptococcus. Infeksi odontogen juga banyak yang disebabkan
oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar 35% (Ariji dkk,
2002).

7
4.1.2 PATOGENESIS
Infeksi gigi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi
yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis
dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi atau nekrosis pulpa. Adanya
gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri dapat masuk ke ruang pulpa sampai
apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak dapat mendrainase pulpa
yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke
ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis.
Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat
menyebabkan abses, abses ini dapat dibagi menjadi dua yaitu penjalaran yang
tidak berat sehingga akan memberikan prognosis yang baik dan penjalaran
yang berat yang akan memberikan prognosis yang tidak baik. Adapun yang
termasuk penjalaran tidak berat adalah serous periostitis, abses subperiosteal,
abses submukosa, abses subgingiva, dan abses subpalatal, sedangkan yang
termasuk penjalaran yang berat antara lain abses perimandibular,
osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut. Gigi yang nekrosis juga merupakan
fokal infeksi penyakit ke organ lain, misalnya ke otak menjadi meningitis, ke
kulit menjadi dermatitis, ke mata menjadi konjungtivitis dan uveitis, ke sinus
maxilla menjadi sinusitis maxillaris, ke jantung menjadi endokarditis dan
perikarditis, ke ginjal menjadi nefritis, dan ke persendian menjadi arthritis
(Green dkk, 2001).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran infeksi
odontogenik adalah: (Green dkk, 2001).
1. Jenis dan virulensi kuman penyebab.
2. Daya tahan tubuh penderita.
3. Jenis dan posisi gigi sumber infeksi.
4. Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot.
5. Adanya tissue space dan potential space.

8
4.1.3 KLASIFIKASI INFEKSI ODONTOGEN
Infeksi odontogenik diklasifikasikan menjadi Group 1 – 4 (Kaneko dkk,
2018):
• Group 1 (periodontitis): Sekuen infeksi pulpitis termasuk periodontitis
apikal dan periodontitis marginalis yang dapat menyebabkan penyakit lain
seperti abses gingiva, abses alveolar, dan abses palatal.
• Group 2 (perikoronitis): Kondisi ini terutama terkait dengan gigi impaksi
molar ketiga. Kemerahan, bengkak, dan nanah diamati di sekitar mahkota
gigi impaksi molar ketiga. Formasi abses jarang terjadi. Perikoronitis
dapat berkembang menjadi inflamasi rahang dan phlegmon. Jika
peradangan meluas ke ruang di sekitar tulang rahang, diamati akan sulit
membuka mulut dan rasa sakit saat menelan.
• Group 3 (radang rahang) : Kondisi termasuk osteitis dan osteomielitis
yang dapat berkembang dari periodontitis (Group 1) dan perikoronitis
(Group 2). Kondisi ini lebih parah daripada Group 1 atau 2 yang
memerlukan drainase subperiosteal dan penggunaan antibiotik yang
diberikan dengan suntikan diperlukan. Osteomielitis dapat menjadi akut,
kronis, atau sklerotik dan sering terjadi pada mandibula.
• Group 4 (phlegmon pada daerah tulang rahang): Proses peradangan
menyebar dari Group 1-3. Ini termasuk infeksi ruang seperti infeksi
sublingual, submandibular, submental, pterygomandibular, lateral
pharyngeal, dan pharyngeal spaces. Pentingnya drainase di rongga ini.
Antibiotik yang diberikan dengan suntikan banyak digunakan pada pasien.
Dilihat dari klasifikasinya, pada kasus diatas termasuk dalam klasifikasi
group 4 (phlegmon pada daerah tulang rahang). Pada kasus disebutkan bahwa
pada pemeriksaan klinis pasien ditemukan karies yang besar pada gigi 36 yang
menyebabkan abses periapikal dimana infeksi ini menyebar menjadi infeksi
ruang submandibular.

9
4.2 INFEKSI FASCIAL SPACE
Fascial adalah jaringan ikat fibrous yang membungkus otot dan
memisahkan suatu otot dengan otot yang lain. Fascia tersusun atas lapisan-
lapisan jaringan ikat tipis yang disebut dengan fascial planes. Ruang antara
fascia dan fascial planes ini merupakan potensial spaces yang sebenarnya
tidak ada pada keadaan normal, tetapi bila perlekatan jaringan ikat ini rusak
oleh karena proses penyebaran infeksi, maka ruang ini bisa terisi dan
membesar oleh karena adanya produk radang. Potensial space ini disebut
dengan fascial spaces (Pedersen, 1996).
Terdapat fascial space primer dan sekunder. Fascial space primer
merupakan fascial space yang terlibat dalam penyebaran infeksi dari gigi
dimana daerah yang terlibat letaknya berdekatan dengan tulang rahang yang
menyangga gigi-geligi sehingga pada umumnya terlibat secara langsung pada
infeksi odontogen. Fascial space bisa menjadi tempat penyebaran infeksi
odontogen baik oleh area gigi-gigi rahang atas maupun rahang bawah.
Fascial space primer, terdiri dari Canine space infection, Buccal space
infection, Infratemporal space infection, Submental space infection,
Sublingual space infection dan Submandibular Space Infection. Sedangkan
fascial space sekunder merupakan infeksi yang meluas dari fascial space
primer dimana letak dari fascial space sekunder lebih posterior dari fascial
space primer. Fascial space sekunder meliputi Submasseteric Space Infection,
Pterygomandibular Space Infection, Lateral Pharyngeal Space Infection,
Retro Pharyngeal Space Infection, Prevertebral Space Infection, dan
Temporal Space Infection.
Temporal space adalah kelanjutan dari ruang superior infratemporal.
Ruang ini dibagi menjadi superficial dan deep temporal spaces. Temporal
space superfisial lateral dibatasi oleh fasia temporal dan medial oleh otot
temporalis, temporal spaces dapat ditemukan antara permukaan medial dari
otot temporalis dan tulang temporal.
Infeksi pada temporal space disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
infratemporal space, dimana kedua bagian itu berhubungan. Gejala klinis
ditandai dengan nyeri, edema pada fascia temporal, trismus (otot temporalis

10
dan pterygoideus medial yang terlibat), dan nyeri selama palpasi dari edema
(Fragiskos, 2007 ).
Dalam kasus diatas telah dijelaskan bahwa bakteri penyebab infeksi
fascial space biasanya campuran dari aerob dan anaerob termasuk
mikroorganisme normal rongga mulut seperti streptococci atau staphylococci.
Infeksi odontogenik juga telah diidentifikasi sebagai sumber utama infeksi
fascial space. Pada kasus, terjadi abses submandibular yang disebabkan oleh
gigi molar pertama (36) yang meluas ke daerah temporal. Hal ini sangatlah
mungkin terjadi dikarenakan adanya penetrasi atau perluasan pada abses
mengikuti alur anatomis. Alur penyebaran infeksi yang mungkin terjadi adalah
diawali dari infeksi gigi 36 yang menyebabkan abses submandibular.
Penyebaran infeksi kemudian berlanjut, dimana sebelum akhirnya sampai
pada infratemporal space yang terhubung dengan temporal space, beberapa
space yang mungkin dilewati yaitu submasseteric space, pterygomandibular
space, atau lateral pharyngeal space.

Gambar 7. Berbagai rute penyebaran untuk infeksi odontogenik


(Christopher & Robert. 2015)

11
4.3 ABSES SUBMANDIBULA
Ruang submandibular adalah ruang yang dibatasi oleh m. Mylohyoid di
superior, sisi medial mandibula disebelah lateral, m. Platysma di inferior,
batas posterior berhubungan dengan fascial space sekunder. Abses
submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
submandibular berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring,
kelenjar limfe submandibula, mungkin juga karena kelanjutan infeksi dari
ruang leher bagian dalam lain (Fachruddin,2007).

Gambar 8 Ruang Submandibula

4.3.1 ETIOLOGI
Infeksi submandibular dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring,
kelenjar limfe submandibular atau merupakan kelanjutan infeksi dari bagian
dalam leher. Sebanyak 61% kasus abses submandibula disebabkan oleh
infeksi gigi (Neville,2008). Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif
anaerob. Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak
dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai

12
dari 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, orofasial, dan abses
leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus sp (Fachruddin
D,2007).
Berdasarkan pembahasan pada jurnal dikatakan bahwa laporan
sebelumnya, infeksi gigi merupakan penyebab utama infeksi submandibular
space tetapi dari literature yang dipublikasikan melaporkan bahwa pada 28,4%
kasus sumber infeksi tidak dapat ditemukan. Dimana hal ini sesuai dengan
kaitan teori yaitu infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring,
kelenjar limfe submandibular, mungkin juga kelanjutan infeksi dari bagian
dalam leher. Sebanyak 61% kasus abses submandibula disebabkan oleh
infeksi gigi.
Gejala atau tanda klinis pada abses submandibula (Fachruddin, 2008):
1. Pembengkakan di bawah dagu atau di bawah lidah baik unilateral atau
bilateral
2. Demam
3. Nyeri tenggorokan
4. Trismus
5. Eritema pada jaringan dan teraba hangat
6. Terkadang lidah, faring, palatum molle (uvula) tidak bisa bergerak.
7. Pembengkakan dapat berfluktuasi atau tidak
Gejala klinis pada kasus dikatakan pasien mengalami demam dengan
suhu badan 39o, trismus (mengalami kesulitan membuka mulut), eritema
dan pembengkakan pada sisi kiri wajah, pembengkakan tersebut keras dan
berfluktuasi secara alami meluas dari batas bawah pada regio gigi 34 ke
regio temporal serta bagian anterior di bawah margin infra-orbital ke
posterior di regio aurikular.

4.3.2 PATOGENESIS
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan
lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Apabila
penyebaran abses melalui gigi, perjalanannya dimulai dari iritasi pulpa dapat

13
berlanjut menjadi hyperaemia pulpa kemudian infeksi menjalar ke ruang pulpa
menjadi pulpitis, jika dibiarkan akan menjadi gangren pulpa. Selanjutnya jika
dibiarkan dapat menjadi abses periapikal. Penyebaran infeksi dapat meluas
melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula
dapat meluas ke ruang mastikator kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi
ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibular. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya, seperti jantung dan paru-
paru. Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
limfatik, melalui celah antara ruang leher dalam (Inggrid, 2012).

4.3.3 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan infeksi orofasial (termasuk infeksi submandibular space)
meliputi intervensi pembedahan untuk mendrainase pus yang terlokalisir dan
dukungan medis untuk pasien.
1. Insisi dan drainase.
Hal ini dapat dilakukan baik secara intraoral maupun ekstraoral tergantung
pada lokasi infeksi. Aspirasi pus sebelum insisi memungkinkan metode
pengambilan sampel lebih akurat karena mengurangi kontaminasi dan
membantu melindungi dari bakteri anaerob. Pembengkakan yang
berfluktuasi menunjukkan adanya pus dan didefinisikan sebagai transmisi
fluida dengan menggunakan palpasi bi-digital.
2. Antibiotik.
Antibiotik dapat diberikan secara empiris atau antibiotik spesifik yang
diberikan berdasarkan tes kultur dan sensitivitas. Penisilin memiliki
potensi untuk menjadi agen lini pertama dalam pengobatan infeksi
odontogenik. Sebagian besar antibiotik beta-laktam lainnya, termasuk
sefalosporin generasi keempat, tidak ditemukan memiliki efektivitas yang
lebih besar daripada penisilin. Amoksisilin adalah obat spektrum luas yang
berguna dalam konteks ini walaupun banyak klinisi lebih menyukai efek
anti-anaerobik spesifik dari metronidazol.

14
3. Analgesik.
Analgesik menghilangkan rasa sakit sementara sampai faktor penyebab
infeksi terkendali. Pilihan analgesik harus didasarkan pada kesesuaian
pasien. Obat antiinflamasi nonsteroid digunakan pada nyeri ringan sampai
sedang. Analgesik opioid, seperti dihidrokodein dan petidin, digunakan
untuk rasa sakit yang parah. Parasetamol, ibuprofen dan aspirin cukup
untuk sebagian besar nyeri ringan akibat infeksi gigi. Analgesik perlu
diberikan dengan hati-hati, terutama apabila menggunakan narkotika,
karena membawa risiko depresi pernapasan.
4. Identifikasi dan eliminasi sumber infeksi.
Identifikasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan radiografi.
Eliminasi sumber infeksi adalah dengan terapi saluran akar, ekstraksi atau
operasi periradikular (Andersson dkk, 2010).
Pada laporan kasus diatas, telah disebutkan bahwa pasien didiagnosa
dengan infeksi ruang submandibular dengan perluasan ke daerah temporal,
dan karena setelah mengkonsumsi obat tidak ada perubahan dan masih terasa
sakit, maka diputuskan untuk melakukan insisi dan drainase abses dari daerah
temporal. Insisi untuk drainase dapat dilakukan secara horizontal, pada margin
dari rambut dan kulit kepala dan sekitar 3 cm di atas lengkung zigomatikus.
Kemudian berlanjut ke antara dua lapisan dari fasia temporalis sampai ke otot
temporalis (Fragiskos, 2007 ). Pasien juga diberikan medikasi berupa
Amoxicillin tablet 250 mg dan Asam Clavulanic 125 mg, Metronidazole tablet
200 mg dan analgesik ibuprofen dan paracetamol diminum 2 kali sehari
selama tiga hari untuk menghilangkan pembengkakan submandibula post
operatif. Pada saat kontrol, dilakukan pencabutan disertai kuretase gigi 36
yang dicurigai sebagai penyebab infeksi karena prognosisnya yang buruk.

15
Gambar 9 Lokasi insisi drainase ekstra oral pada infeksi kepala-leher
(Miloro,2004).

4.3.4 PENCEGAHAN
Infeksi facial space yang paling sering terjadi adalah infeksi pada ruang
submandibular atau abses submandibular. Meskipun berpotensi mengancam
nyawa, infeksi ini dapat dicegah (tindakan preventif) dimana lebih baik
mencegah daripada mengobati. Pencegahan dapat dilakukan dengan
melakukan perawatan gigi dan mulut yang teratur dan dimulai sejak dini.
Apabila saat masih berusia muda kurang menjaga kebersihan gigi dan mulut,
maka seiring bertambahnya usia akan lebih rentan mengalami infeksi gigi
yang dapat menyebakan timbulnya abses. Selain itu, dapat diberikan edukasi
dan motivasi mengenai cara menjaga kebersihan rongga mulut guna mencegah
kebutuhan akan tindakan yang lebih agresif atau mencegah terjadinya
komplikasi (Nawaz, 2016; Wulansari dkk, 2016).
Di negara berkembang, nutrisi yang kurang, kebersihan gigi dan mulut
yang buruk, mengunyah tembakau, merokok, dan mengunyah sirih
meningkatkan prevalensi infeksi ruang submandibular. Pada kasus dikatakan
bahwa gigi molar permanen pertama mandibula kiri (36) dicurigai sebagai
sumber infeksi ruang subamandibular yang terjadi karena mengalami karies
parah hingga menimbulkan abses periapikal. Infeksi ruang submandibular
dapat disebabkan oleh bakteri campuran dari bakteri aerob dan anaerob seperti

16
Streptococci atau Staphylococci yang merupakan bakteri penyebab karies.
Pencegahan perluasan infeksi dapat dilakukan dengan pemeriksaan rutin ke
dokter gigi untuk melihat kondisi atau infeksi gigi sehingga dapat dilakukan
pembersihan karang gigi atau penambalan pada gigi bila terjadi karies.
Menyikat gigi secara rutin dan tepat dua kali sehari merupakan cara
pencegahan yang terbaik (Kataria dkk, 2015).
Tindakan pemberian edukasi dan motivasi tidak hanya diberikan kepada
pasien, namun perlu melibatkan pihak keluarga agar tidak hanya pasien
melainkan pihak keluarga pun sadar akan kebersihan gigi dan mulut.
Demikian pula halnya dengan yang terjadi pada kasus, dimana pasien masih
berusia delapan tahun dan mungkin masih belum mengerti akan pentingnya
menjaga kebersihan gigi dan mulut maka sangat diperlukan pemberian
edukasi dan motivasi sebelum dan setalah dilakukan perawatan. Selain itu,
pihak keluarga khususnya orang tua dari anak juga diberikan edukasi untuk
mencegah timbulnya kembali infeksi dan mencegah terjadinya komplikasi
pada anak tersebut. Peran dokter gigi untuk mencegah penyebaran infeksi
sangat penting. Dalam masyarakat kita, perhatian lebih harus diberikan pada
kebersihan gigi terutama pada kelompok sosial ekonomi menengah dan
rendah (Kataria dkk, 2015).

4.3.5 PROGNOSIS
Prognosis baik apabila ditangani secara cepat dan tepat waktu. Tetapi,
apabila pengobatan terlambat dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi dan
penyembuhan yang lama (Murry AD dkk, 2017).
Pada kasus diatas infeksi ruang submandibular dengan perluasan ke daerah
temporal mendapat penangan yang cepat dan tepat. Kontrol setelah insisi dan
drainase menunjukkan perkembangan yang baik dan pasien dapat membuka
mulut selebar 20 mm. Namun molar pertama permanen mandibula kiri yang
terinfeksi diekstraksi dan diikuti dengan kuretase karena memiliki prognosis
yang buruk. Lima hari kemudian, pembengkakan telah hilang dan dilakukan
observasi simetri wajah dan pemeriksaan klinis lanjutan menunjukkan hasil
yang memuaskan.

17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Infeksi odontogen merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering terjadi
yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu
bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut.
Infeksi facial space yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada ruang
submandibular atau abses submandibular. Fascial spaces merupakan potential
spaces yang sebenarnya tidak ada pada keadaan normal, tetapi bila perlekatan
jaringan ikat ini rusak oleh karena proses penyebaran infeksi, maka ruang ini bisa
terisi dan membesar oleh karena adanya produk radang. Fascial spaces primer
yang tidak ditangani dapat meluas menjadi fascial spaces sekunder. Meskipun
berpotensi mengancam nyawa, infeksi ini dapat dilakukan tindakan pencegahan
dimana lebih baik mencegah daripada mengobati.

18
DAFTAR PUSTAKA

A. W. Green, E. A. Flower dan N. E. New. 2001. Mortality Associated with


Odontogenic Infection!.British Dental journal.
Andersson, L., Kahnberg, K.E., Pogrel, M.A., 2010. Oral and maxillofacial
surgery. United Kingdom: Wiley-Blackwell

Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh M, Kurita K ,Natsume N, Ariji E. 2002.


Odontogenic Infection Pathway to The Submandibular Space: Imaging
Assessment.
Christopher J. H, Robert M. L. 2015. Atlas of Operative Oral and Maxillofacial
Surgery. Hoboken, United States. Chapter 10.

Fachruddin D, Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J eds.2007. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal 226-30

Fachruddin, D. 2008. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar, M. Soepardi, AE.


Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI.

Fragiskos DF. 2007. Odontogenic infections. In: Fragiskos DF, editor. Oral
Surgery. 2nd. Heidelberg, Germany: Springer-Verlag;. pp. 205–242.

Kaneko, A, Aoki, T & Ikeda, F 2018, 'The 2016 JAID/JSC guidelines for clinical
management of infectious disease −Odontogenic infections', Journal of
Infection and Chemoteraphy, vol. 24

Kataria, G., Saxena, A., Bhagat, S., Singh, B., Goyal, I., Vijayvergia, S., Sachdeva
P., 2015. Prevalence of odontogenic deep neck space infections (DNSI): a
retrospective analysis of 76 cases of DNSI. International Journal of
Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery, 1(1), 11-16.

Miloro, M., dkk, 2004. Peterson’s principles of oral and maxillofacial surgery.
2nd ed. London: BC Decker Inc.

19
Murry AD, Marcincuk MC. 2017. Deep Neck Infection. Available in:
https://emedicine.medscape.com/article/837048-overview

Nawaz, K.K., 2016. Management of Facial Space Infection in a 9-Year-Old Child


- A Case Report. International Journal of Clinical Oral and Maxillofacial
Surgery, 2(1), 1-4.

Pedersen, W. G. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut :”Penatalaksanaan Infeksi


Orofasial”. Terjemahan oleh : drg. Purwanto dan drg. Basoeseno, MS.
Jakarta : EGC. hal : 119-124

Wazir S, Khan M, Mansoor N, Wazir A. 2013. Odontogenic fascial space


infections in pregnancy - a study. Pakistan Oral & Dental Journal: 33(1);
p.17-22

Wulansari, I., Widiastuti, M.G., Rahardjo, Abses submandibula odontogenik pada


penderita idiopatik trombositopeni purpura di RSUP Dr. Sardjito, 2(1), 19-
25.

20

Anda mungkin juga menyukai