Anda di halaman 1dari 5

PEMUDA RUMUSKAN KETERLIBATAN BERMAKNA DALAM

PEMBANGUNAN KESEHATAN
Jakarta, 20 Maret 2019

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan Organisasi Kesehatan


Dunia (WHO), didukung oleh Center for Indonesias Strategic Development Initiatives (CISDI)
menggelar South-East Asia Region (SEAR) Youth Town Hall pada tanggal 20-21 Maret 2019, di
Jakarta. Perhelatan ini merupakan wujud nyata komitmen dan pengakuan pemerintah Indonesia
dan dunia terhadap keterlibatan pemuda di 11 negara wilayah Asia Tenggara sebagai mitra setara
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan berdasarkan prinsip kesehatan dan
kesejahteraan untuk semua.
Sejalan dengan agenda global Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030, Indonesia
memandang keterlibatan pemuda sebagai kunci akselerasi pembangunan sebagaimana tertuang
pada UU No. 40 tahun 2009 tentang kepemudaan. Undang-undang ini menyebutkan bahwa
pemerintah wajib bersinergi melaksanakan pelayanan kepemudaan untuk meningkatkan
partisipasi aktif dan potensi pemuda.
''Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 menitikberatkan pada peran pemuda secara inklusif
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Signifikansi keterlibatan pemuda juga diatur dalam United Nations Youth Strategy
2030 dimana prioritas utamanya adalah menyuarakan kepentingan pemuda untuk
mempromosikan dunia yang damai, adil dan berkelanjutan. Hal ini yang mendasari Kementerian
Kesehatan RI untuk berkolaborasi bersama WHO dalam menyelenggarakan Youth Town
Hall untuk memberikan ruang bagi pemuda merumuskan bentuk keterlibatan dalam
pembangunan kesehatan secara strategis dan inklusif'', tegas Menteri Kesehatan, Nila Moeloek,
dalam sambutannya.
Saat ini, generasi muda di seluruh dunia usia 10-24 tahun mencapai 1,8 miliar orang dan
telah menjadi populasi terbesar dalam sejarah (World Bank, 2017). Indonesia sendiri memiliki
lebih dari 63 juta pemuda atau 26 persen dari total populasi 238 juta. Bonus demografi telah
digadang-gadang oleh banyak negara di kawasan Asia Tenggara akan terjadi pada tahun 2020-
2030, termasuk Indonesia dimana penduduk dengan usia produktif akan mencapai 70%, lebih
besar dibandingkan penduduk lanjut usia (BPS, 2015).
''Kaum muda di berbagai kawasan menghadapi banyak permasalahan kesehatan. Dalam
mengatasi risiko-risiko ini, wajib bagi kita mendengarkan secara langsung dari kamu muda apa
yang mereka hadapi. Ini adalah yang WHO upayakan di berbagai kawasan selama bertahun-
tahun. Masukan yang kami dapatkan terlihat dalam program kesehatan remaja yang diadvokasi
WHO di seluruh kawasan,'' ujar Dr. Poonam Khetrapal Singh, Regional Director WHO South-
East Asia.
Transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, menimbulkan risiko bagi kesehatan dan
kesejahteraan kaum muda. Riskesdas 2018 menunjukkan peningkatan penyakit tidak menular
pada kelompok usia remaja dan dewasa muda. Kanker, stroke, diabetes mellitus, dan hipertensi
muncul pada kelompok usia 15-24 tahun dan terus meningkat hingga kelompok usia 35-44
tahun. Proporsi cedera menurut Riskesdas 2018 pada kelompok usia 15-24 tahun semakin
meningkat (12,2%) dibanding Riskesdas 2013 (11,7%). Proporsi kecelakaan lalu lintas ketika
mengendarai sepeda motor tertinggi ada pada kelompok usia 15-24 tahun (79,4%) dan 25-34
tahun (82,5%), meningkat hampir 2 kali lipat dibanding Riskesdas 2013. Prevalensi merokok di
usia 10-18 tahun berdasarkan Riskesdas 2018 meningkat menjadi 9,1%, semakin menjauh dari
target RPJMN 2019 (5,4%).
Masalah lain yang teridentifikasi adalah masalah kesehatan reproduksi dan perilaku berisiko
pada remaja. Berdasarkan data Global School Heatlh Survey 2015 terdapat 3,3% remaja anak
usia 15-19 tahun mengidap AIDS; hanya 9,9% perempuan dan 10,6% laki-laki usia 15-19 tahun
memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV AIDS; dan sebanyak 0,7% remaja
perempuan dan 4,5% remaja laki-laki pernah melakukan hubungan seksual pranikah.
Hasil studi beban penyakit (Burden of Disease) tahun 2017 yang dikeluarkan oleh IHME
dan Balitbangkes menyatakan bahwa remaja dan kelompok usia produktif di Indonesia
mengalami kerugian akibat penyakit tidak menular (PTM). Tahun yang hilang akibat disabilitas
dan kematian dini (DALY Lost) penyakit tidak menular semakin meningkat di usia remaja (10-
14 tahun) dan puncak bebannya ada pada kelompok usia produktif.
Kompleksnya permasalahan kesehatan yang dialami remaja menguatkan urgensi upaya
kesehatan remaja yang inovatif dan komprehensif sebagai salah satu intervensi prioritas di hulu
bagi masalah kesehatan di masyarakat secara umum. Amanat mengenai upaya kesehatan anak
usia sekolah dan remaja telah tertuang dalam Permenkes No 25 Tahun 2014 tentang Upaya
Kesehatan Anak yang menyatakan pelayanan kesehatan anak usia sekolah dan remaja sedikitnya
diselenggarakan melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR).
Karakteristik PKPR adalah pelayanan kesehatan yang ramah remaja, mengapresiasi
keterlibatan dan aspirasi remaja dalam pemberian layanan, memenuhi kebutuhan remaja serta
menjaga kerahasiaan informasi yang disampaikan remaja. Diselenggarakan dalam bentuk
pemberian konseling disamping pemberian layanan klinis medis dan rujukan lainnya. Sasaran
PKPR adalah seluruh remaja berusia 10 18 tahun dengan ujung tombak pelayanan berada di
puskesmas. Pelayanan kesehatan bagi remaja dapat diselenggarakan di dalam gedung puskesmas
(misalnya poli PKPR) maupun di luar gedung puskesmas (misalnya UKS, Posyandu Remaja).
Tercatat pada tahun 2018 sebanyak 6.204 puskesmas di 514 kabupaten/kota telah mampu
menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR).
Dalam rangka meningkatkan komitmen dan kontribusi para pemangku kepentingan
terkait remaja dan pemuda, Kementerian Kesehatan dan WHO menyelenggarakan Youth Town
Hall sebagai platform konsultasi partisipatif. Pada kesempatan ini akan dirumuskan rekomendasi
tentang bentuk keterlibatan pemuda dalam pembangunan kesehatan. SEAR Youth Town Hall
akan mendiskusikan secara intens bentuk keterlibatan pemuda pada skala regional dan
dilanjutkan dengan Temu Pemuda Nasional yang melibatkan 1.000 perwakilan pemuda-pemudi
dari seluruh Indonesia dalam merumuskan strategi keterlibatan bermakna dari kelompok
pemuda.
''Strategi pelibatan pemuda adalah inisiatif global yang menjadi salah satu faktor
pendorong utama dalam menciptakan aksi yang berdampak. Kantor pusat WHO fokus pada
mengedepankan kontribusi signifikan dari kelompok pemuda dalam mewujudkan pembangunan
berkelanjutan. Youth Town Hall di Indonesia menjadi temu pemuda kedua yang dilaksanakan
secara global untuk menuai potensi pemuda sebagai tulang punggung pembangunan kesehatan,''
tutup Diah S. Saminarsih, Senior Advisor on Gender and Youth to Director General of WHO.
Acara ini diharapkan dapat menghasilkan:
1. Pengetahuan tentang kebutuhan kesehatan yang dirasakan remaja/pemuda dari negara-negara
kawasan Asia Tenggara
2. Masukan dari kaum muda tentang layanan kesehatan ramah remaja dan program kesehatan
sekolah yang kemudian akan digunakan untuk mendesain ulang layanan ini
3. Umpanbalik tentang harapan kaum muda terkait cara mereka dapat terlibat dalam
pembangunan kesehatan, dan mendefinisikan tantang masalah utama yang dihadapi kaum muda
dalam upaya melakukan partisipasi yang bermakna
4. Ringkasan hasil utama diskusi, termasuk sebuah ''Call to Action'' untuk memastikan
keterlibatan pemuda yang bermakna dalam pembangunan kesehatan regional dan nasional

Di akhir sambutan, Menkes Nila menyelipkan ajakan bagi para pemuda melaksanakan bersama-
sama 4 hal ini :
1. Berperilaku hidup sehat termasuk tidak merokok, mengonsumsi makanan sehat (makan lebih
banyak buah dan sayuran), melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari untuk menghindari risiko
terkena penyakit tidak menular serta menjauhi narkoba dan seks bebas
2. Menjadi agen perubahan dengan menjadi panutan untuk hidup sehat sertamenyebarkan
informasi dan pesan kesehatan melalui media sosial.
3. Membangun platform atau forum yang didorong oleh kemitraan yang inovatif, sehingga kaum
muda dapat berbagi pengalaman dan gagasan mereka untuk memantau dan mendorong
perubahan pada kesehatan dan SDGs.
4. Menjalin kemitraan inovatif dengan beragam organisasi yang terlibat dengan kaum muda.

WARTAKOTALIVE.COM, DEPOK
Ketua Yayasan Ibnu Sina, Windarto, menyebutkan bahwa survei KPAI pada tahun 2007
tentang perilaku seksual remaja di 12 kota besar menggambarkan kondisi umum perilaku
seksual remaja di Indonesia.
"Data hasil survei itu menggambarkan kondisi umum perilaku seksual remaja di kota-kota di
Indonesia, termasuk Depok," kata Windarto, Jumat (1/1/2021).
Apakah data tersebut masih relevan digunakan atau tidak tentang kondisi perilaku
seksual remaja saat ini?
Menurut Windarto, saat ini bukan lagi mempertanyakan data tersebut masih relevan atau tidak.
Melainkan data tersebut dipahami sebagai sebuah pesan apakah negara melihatnya sebagai
sebuah persoalan.
Apakah angka-angka itu dipahami sebagai potensi kerusakan moral yang dialami generasi muda
di Indonesia.
"Jangan sampai angka-angka itu hanya dibicarakan tanpa ada langkah konkret. Negara harus
hadir untuk menyelesaikannya," ujarnya.
Windarto menambahkan bahwa negara hadir mengatasi persoalan angka-angka tersebut salah
satunya dengan menerbitkan Undang-undang yang membatasi pornoaksi dan pornografi.
Perlu diketahui bahwa dari hasil survei KPAI pada tahun 2007, dari 4.500 remaja yang disurvei
97 persen di antaranya mengaku pernah menonton film porno.
Sebanyak 93,7 persen remaja SMP dan SMA pernah berciuman serta happy petting alias
bercumbu berat dan oral seks.
Hal yang menyedihkan adalah 62,7 persen remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi.
Bahkan, 21,2 persen remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Data ini dipublikasikan
pada tahun 2007, 12 tahun yang lalu.
Kemudian Data Unicef pada tahun 2016 lalu juga menunjukkan bahwa kekerasan kepada sesama
remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen.
Menurut peneliti pusat studi kependudukan dan kebijakan (PSKK) UGM, tingkat
kenakalan remaja kenakalan remaja yang hamil dan melakukan upaya aborsi mencapai 58
persen.
Tak hanya itu, bebagai penyimpanan remaja, seperti narkoba, miras dan berbagai hal lainnya
menjadi penghancur generasi bangsa hari ini.
Selanjutnya adalah Sepanjang 2015, Dinas Kesehatan DIY mencatat ada 1.078 remaja usia
sekolah di Yogyakarta yang melakukan persalinan.
Dari jumlah itu, 976 diantaranya hamil di luar pernikahan.
Angka kehamilan di luar nikah merata di lima kabupaten/kota di Yogya. Di Bantul ada 276
kasus, Kota Yogyakarta ada 228 kasus, Sleman ada 219 kasus, Gunungkidul ada 148 kasus, dan
Kulon Progo ada 105 kasus.

KOMPAS.com
Pandemi Covid-19 membawa dampak besar pada banyak aspek kehidupan manusia, tak
terkecuali dunia pendidikan. Salah satu masalah yang muncul ialah meningkatnya angka putus
sekolah. Ini dikarenakan para anak didik mau tak mau turun membantu ekonomi keluarga selama
pandemi. Sekjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
(Kemendikbudristek), Suharti menyebut angka ini tinggi, yakni 10 kali lipat. "Sebagai contoh
saja anak-anak yang putus sekolah untuk anak SD saja ini meningkat 10 kali lipat dibanding
tahun 2019," tutur Suharti dalam webinar kesiapan pelaksanaan PTM terbatas yang diakses dari
Youtube pada Senin, (3/1/2022). Suharti menambahkan, banyak sekali tekanan dari orang tua
khususnya tekanan ekonomi yang memaksa mereka untuk mengajak anaknya bekerja. Baca juga:
Kemendikbud Ristek: Ini 4 Rekomendasi Metode PJJ Putus sekolah dan kesenjangan sosial
Suharti mengatakan, angka putus sekolah ini juga disebabkan oleh orang tua yang merasa
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak efektif dan mengartikan jika PJJ sama dengan tidak sekolah.
"Orang tua yang merasa pembelajaran jarak jauh yang diikuti oleh anaknya tidak memberikan
kemampuan bagi mereka, dan merasa sama saja anak-anak tidak sekolah, jadi mereka juga tidak
menyekolahkan anaknya," terangnya. Dampak lain, adanya kesenjangan pembelajaran
meningkat selama terjadinya pandemi Covid-19 di Indonesia. Utamanya, antara peserta didik
dari keluarga kaya dan keluarga miskin. "Hasil studi menunjukkan kesenjangan pembelajaran
antara anak-anak dari kelompok dari keluarga kaya dengan keluarga miskin ini juga semakin
terjadi kesenjangan, meningkat 10 persen," tambahnya.
Kesenjangan itu terjadi karena adanya perbedaan dalam mengakses pembelajaran di
tengah pandemi. Misalnya, anak dari keluarga kaya lebih optimal belajar dari rumah, karena
memiliki fasilitas yang mendukung seperti laptop, modem, dan aplikasi lainnya. Baca juga:
Ratusan Kasus Omicron Terdeteksi, Wagub DKI Bolehkan Siswa Belajar dari Rumah "Untuk
mereka yang dari kelompok mampu, orang tuanya rata-rata berpendidikan, mampu untuk
melakukan bimbingan pada anak mereka," tuturnya. Sementara, anak dari keluarga tidak mampu,
akan kesulitan mendapatkan fasilitas belajar daring. Orangtua dari keluarga yang kurang mampu
juga dinilai memiliki keterbatasan dalam mendampingi anak belajar. Kesenjangan ini, kata
Suharti, juga mempengaruhi penurunan kemampuan siswa. Akibatnya terjadi learning loss yang
sangat signifikan selama pandemi. Penurunan kemampuan siswa yang terjadi selama periode
kemarin mencapai sampai 0,8 sampai 1,3 tahun pembelajaran. "Ini sangat besar sekali dengan
hanya pandemi yang belum juga dua tahun tetapi penurunannya bisa mencapai bahkan lebih dari
satu tahun," pungkasnya. Baca juga: Kemendikbud Sebut Angka Putus Sekolah SD Naik 10 Kali
Lipat Selama Pandemi Juga terjadi di pendidikan tinggi Penurunan jumlah peserta didik ini tidak
hanya terjadi di jenjang SD. Penurunan peserta didik juga terjadi hingga pada jenjang perguruan
tinggi. "Beberapa kepala lembaga perguruan tinggi di Indonesia ada yang menyampaikan kepada
kami bahwa jumlah peserta didik untuk perguruan tinggi juga turun banyak sekali yang menjadi
tidak aktif kuliah," ujarnya. Kemendikbud Ristek terus mencari cara agar para pelajar maupun
mahasiswa agar dapat kembali ke sekolah maupun ke perguruan tinggi. Sebab, kata dia, banyak
dampak yang ditimbulkan ketika anak tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar, bukan hanya
learning.

Anda mungkin juga menyukai