Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI LANJUTAN

“Analisis Kasus Hepatitis”

Disusun oleh:

Nama : Meydiana Ayusti

Nim : 1911102415107

Kelas :C

Dosen Pengampu : Apt. Deasy Nur Chairin Hanifa M. Clin. Pharm.

Program Studi S1 Farmasi


Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
2022
A. Tujuan Praktikum
Pada praktikum ini mahasiswa mampu menganalisa kasus penyakit Hepatitis dan
pengobatan pada penyakit Hepatitis.

B. Batasan Klinis Kasus


Hepatitis adalah penyakit yang menyebabkan peradangan pada hati karena toxin/racun,
seperti bahan kimia atau obatobatan ataupun agent penyebab infeksi seperti Virus.
Berdasarkan dari jenisnya penyebab terjadinya hepatitis dibagi menjadi 2 jenis yakni
hepatitis infeksi dan hepatitis non infeksi. Pada hepatitis non infeksi terjadi adanya radang
pada hati yang diakibatkan oleh penyebab yang bukan sumber infeksi, seperti bahan kimia,
minuman alkohol, dan penyalahgunaan obat obatan. Hepatitis jenis non infeks termasuk
drug induced hepatitis, tidak tergolong dalam penyakit menular, karena penyebab terjadi
Hepatitis karena radang bukan oleh agen infeksi seperti jamur, bakteri, mikoorganisme dan
virus (Kemenkes RI. 2012).

Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus
yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus
hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain yang ditularkan
pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat diidentifikasi akan tetapi
tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus yang menyerang manusia
merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA. Walaupun
virus-virus tersebut berbeda dalam sifat molecular dan antigen, akan tetapi semua jenis
virus tersebut memperlihatkan kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan penyakitnya
(Sanityoso, A. 2009).

Hepatitis virus akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia.
Penyakit ini kadang-kadang memiliki episode hepatitis dengan klinis anikterik, tidak nyata,
atau subklinis. Hepatitis A merupakan penyakit infeksi sistemik yang dominan menyerang
hati akibat masuknya virus hepatitis A (HAV) melalui transmisi fekal-oral dari makanan
atau minuman yang telah terkontaminasi. Penyakit hepatitis A masih endemis di negara
berkembang, terutama karena keadaan lingkungan yang masih buruk (Sanityoso, A. 2009).

Di seluruh dunia terdapat sekitar 1,4 juta kasus hepatitis A setiap tahunnya.1 Lebih dari 75%
anak di benua Asia, Afrika, dan India memiliki antibodi anti-HAV pada usia 5 tahun.
Sebagian besar infeksi HAV didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimtomatik, dan
anikterik. Di Indonesia sendiri insidensi penyakit hepatitis A berkisar antara 39,8-63,8%
kasus (Sanityoso, A. 2009).
Ada 5 jenis Hepatitis Virus yaitu Hepatitis A, B, C, D, dan E. Antara Hepatitis yang satu
dengan yang lain tidak saling berhubungan.

1. Hepatitis A (Kemenkes RI. 2014)


a. Penyebabnya adalah virus Hepatitis A, dan merupakan penyakit endemis di
beberapa negara berkembang.
b. Selain itu merupakan Hepatitis yang ringan, bersifat akut, sembuh
spontan/sempurna tapa gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi kronik.
c. Penularannya melalui fecal oral. Sumber penularan umumnya terjadi karena
pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar,
sanitasi yang buruk, dan personal hygiene rendah.
d. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya (gM antibodi dalam serum penderita).
e. Gejalanya bersifat akut, tidak khas bisa berupa demam, sakit kepala, mual dan
muntah sampai ikterus, bahkan dapat menyebabkan pembengkakan hati.
f. Tidak ada pengobatan khusus hanya pengobatan pendukung dan menjaga
keseimbangan nutrisi.
g. Pencegahannya melalui kebersihan lingkungan, terutama terhadap makanan dan
minuman dan melakukan.
h. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

2. Hepatitis B (Kemenkes RI. 2014)


Hepatitis B Akut
a. Etiologinya virus Hepatitis B dari golongan virus DNA
b. Masa inkubasi 60 - 90 hari.
c. Penularannya vertikal 95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan 5 % intra
uterina. Penularan horisontal melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau
cukur, tatto, transplantasi organ.
d. Gejala tidak khas seperti rasa les, nafsu makan berkurang, demam ringan, nyeri
abdomen sebelah kanan, dapat timbul ikterus, air kencing warna teh.
e. Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati serum transaminase (ALT meningkat),
serologi HBsAg dan IgM anti HBC dalam serum.
f. Pengobatan tidak diperlukan antiviral, pengobatan umumnya bersifat simtomatis.
Pencegahannya:
− Telah dilakukan penapisan darah sejak tahun 1992 terhadap Bank Darah melalui
PMI.
− Imunisasi yang sudah masuk dalam program Nasional: HBO (<12 jam),
DPT/HB1 (2 bulan), DPT/HB2 (3bulan), DPT/HB 3 (4 bulan).
− Menghindari faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan.
Hepatitis B kronik
a. Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis Bakut.
b. Usia saat terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila penularan
terjadi saat bayi maka 95% akan menjadi Hepatitis B kronik. Sedangkan bila
penularan terjadi pada usia balita, maka 20 - 30% menjadi penderita Hepatitis B
kronik dan bila penularan sat dewasa maka hanya 5 % yang menjadi penderita
Hepatitis B kronik.
c. Hepatitis B kronik ditandai dengan HBsAg (Hepatitis B surface Antigen) positif
(>6 bin). Selain HBsA, perlu diperiksa HbeAg (Hepatitis B E-Antigen, anti-HBe
dalam serum, kadar ALT (Alanin Amino Transferase), HBV-DNA (Hepatitis B
Virus -Deoxyribunukleic Acid) serta biopsi hati.
d. Biasanya tapa gejala.
e. Sedangkan untuk pengobatannya saat ini telah tersedia 7 macam obat untuk
Hepatitis B (Interferon alfa- 2a, Peginterferon alfa-2a, Lamivudin, Adefovir,
Entecavir, Telbivudin dan Tenofovir).
f. Prinsip pengobatan tidak perl terburu-buru tetapi jangan terlambat.
g. Adapun tujuan pengobatan memperpanjang harapan hidup, menurunkan
kemungkinan terjadinya sirosis hepatis atau hepatoma.

3. Hepatitis C (Kemenkes RI. 2014)


a. Penyebab utamanya adalah sirosis dan kanker hati.
b. Etiologi virus Hepatitis Ctermasuk golongan virus RNA (Ribo Nucleic Acid).
c. Masa inkubasi 2- 24 minggu.
d. Penularan Hepatitis C melalui darah dan cairan tubuh, penularan masa perinatal
sangat kecil, melalui jarum suntik (DUs, tatto) transplantasi organ, kecelakaan
kerja (petugas kesehatan), hubungan seks dapat menularkan tetapi sangat kecil.
e. Kronisitasnya 80 % penderita akan menjadi kronik.
f. Pengobatan Hepatitis C: Kombinasi pegylated interferon dan ribavirin.
g. Pencegahan Hepatitis C dengan menghindari faktor risiko karena sampai sat ini
belum tersedianya vaksin untuk Hepatitis C.

4. Hepatitis D (Kemenkes RI. 2014)


a. Virus Hepatitis D paling jarang ditemukan tapi paling berbahaya.
b. Hepatitis D, juga disebut virus delta, virus ini memerlukan virus Hepatitis B untuk
berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang telah terinfeksi virus
Hepatitis B.
c. Tidak ada vaksin tetapi otomatis orang akan terlindungi jika telah diberikan
imunisasi Hepatitis B.

5. Hepatitis E (Kemenkes RI. 2014)


a. Dahulu dikenal sebagai Hepatitis Non A-Non B
b. Etiologi virus Hepatitis E termasuk virus RNA
c. Masa inkubasi 2 - 9 minggu.
d. Penularan melalui fecal oral seperti Hepatitis A.
e. Diagnosis dengan didapatkannya (gM dan IgG antiHEV pada penderita yang
terinfeksi.
f. Gejalanya ringan menyerupai gejala flu, sampai ikterus.
g. Pengobatannya belum ada pengobatan antivirus.
h. Pencegahannya dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama kebersihan
makanan dan minuman.
i. Vaksinasi Hepatitis E belum tersedia.

C. Etiologi
1. Hepatitis A
Virus hepatitis A merupakan partikel dengan ukuran diameter 27 nanometer dengan
bentuk kubus simetrik tergolong virus hepatitis terkecil, termasuk golongan
pikornavirus. Ternyata hanya terdapat satu serotype yang dapat menimbulkan hepatitis
pada manusia. Dengan mikroskop electron terlihat virus tidak memiliki mantel, hanya
memiliki suatu nukleokapsid yang merupakan ciri khas dari antigen virus hepatitis A
(Noer, et al. 2009).

Seuntai molekul RNA terdapat dalam kapsid, satu ujung dari RNA ini disebut viral
protein genomik (VPg) yang berfungsi menyerang ribosom sitoplasma sel hati. Virus
hepatitis A bisa dibiak dalam kultur jaringan. Replikasi dalam tubuh dapat terjadi
dalam sel epitel usus dan epitel hati. Virus hepatitis A yang ditemukan di tinja berasal
dari empedu yang dieksresikan dari sel-sel hati setelah replikasinya, melalui sel saluran
empedu dan dari sel epitel usus. Virus hepatitis A sangat stabil dan tidak rusak dengan
perebusan singkat dan tahan terhadap panas pada suhu 60ºC selama ± 1 jam. Stabil
pada suhu udara dan pH yang rendah. Tahan terhadap pH asam dan asam empedu
memungkinkan VHA melalui lambung dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran
empedu (Noer, et al. 2009).
2. Hepatitis B
Virus hepatitis B adalah virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm memiliki
lapisan permukaan dan bagian inti dengan masa inkubasi sekitar 60 sampai 90 hari.
Terdapat 3 jenis partikel virus yaitu : (1) Sferis dengan diameter 17 – 25 nm dan terdiri
dari komponen selubung saja dan jumlahnya lebih banyak dari partikel lain. (2)
Tubular atau filamen, dengan diameter 22 – 220 nm dan terdiri dari komponen
selubung. (3) Partikel virion lengkap atau partikel Dane terdiri dari genom HBV dan
berselubung, diameter 42 nm (Noer, et al. 2009).

Protein yang dibuat oleh virus ini bersifat antigenik serta memberi gambaran tentang
keadaan penyakit (pertanda serologi khas) adalah : (1) Surface antigen atau HBsAg
yang berasal dari selubung, yang positif kira-kira 2 minggu sebelum terjadinya gejala
klinis. (2) Core antigen atau HBcAg yang merupakan nukleokapsid virus hepatitis B.
(3) E antigen atau HBeAg yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus yang
merupakan antigen spesifik untuk hepatitis B (Noer, et al. 2009).

3. Hepatitis C
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal berselubung
glikoprotein dengan partikel sferis, inti nukleokapsid 33 nm, yang dapat diproduksi
secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus (hal ini dikarenakan HCV
merupakan virus dengan RNA rantai positif). Hanya ada satu serotipe yang dapat
diidentifikasi, terdapat banyak genotipe dengan distribusi yang bervariasi di seluruh
dunia, misalnya genotipe 6 banyak ditemukan di Asia Tenggara (Noer, et al. 2009).

Genom HCV terdiri atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar residu 3000
asam amino. Sepertiga bagian dari poliprotein terdiri atas protein struktural. Protein
selubung dapat menimbulkan antibodi netralisasi dan sisa dua pertiga dari poliprotein
terdiri atas protein nonstruktural (dinamakan NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5 B) yang
terlibat dalam replikasi HCV. Replikasi HCV sangat melimpah dan diperkirakan
seorang penderita dapat menghasilkan 10 trilion virion perhari (Noer, et al. 2009).

4. Hepatitis D
Virus Delta bila dilihat dari pandangan virology binatang memang merupakan virus
unik. Virus ini termasuk virus RNA yang sangat kecil. Virion VHD hanya berukuran
kira-kira 36 nm tersusun atas genom RNA single stranded dan kira-kira 60 kopi
antigen delta yang merupakan satu-satunya jenis protein di kode oleh VHD. Antigen
Delta terdiri dari 2 jenis yakni large (L) dan small (S) Virion VHD mempunyai kapsul
terdiri atas protein yang dihasilkan oleh VHB. Dinding luar tersebut terdiri atas lipid
dan seluruh komponen HBsAg. Komponen HBsAg yang mendominasi adalah small
HBsAg kira-kira sebanyak 95%. Proporsi seperti ini sangat berbeda dengan proporsi
yang terdapat pada VHB. Selain menjadi komponen utama dinding VHD, HBsAg juga
diperlukan VHD untuk transmisi dan masuk ke hepatosit. HBsAg akan melindungi
virion VHD tetapi secara langsung tidak mempengaruhi replikasi VHD (Noer, et al.
2009).

5. Hepatitis E
HEV merupakan virus RNA dengan diameter 27-34 mm. Pada manusia hanya terdiri
atas satu serotipe dengan empat sampai lima genotipe utama. Genome RNA dengan
tiga overlap ORF (open reading frame) mengkode protein struktural dan protein non-
struktural yang terlibat pada replikasi HEV. Virus dapat menyebar pada sel embrio
diploid paru akan tetapi replikasi hanya terjadi pada hepatosit (Noer, et al. 2009).

D. Patofisiologi
1. Hepatitis A
VHA memiliki masa inkubasi ± 4 minggu. Replikasi virus dominasi terjadi pada
hepatosit, meski VHA juga ditemukan pada empedu, feses, dan darah. Antigen VHA
dapat ditemukan pada feses pada 1-2 minggu sebelum dan 1 minggu setelah awitan
penyakit (Arief, S., 2012).

Fase akut penyakit ditandai dengan peningkatan kadar aminotransferase serum,


ditemukan antibodi terhadap VAH (IgM anti-VAH), dan munculnya gejala klinis
(jaundice). Selama fase akut, hepatosit yang terinfeksi umumnya hanya mengalami
perubahan morfologi yang minimal, hanya <1% yang menjadi fulminant. Kadar IgM
anti-VAH umumnya bertahan kurang dari 6 bulan, yang kemudian digantikan oleh IgG
anti-VAH yang akan bertahan seumur hidup. Infeksi VHA akan sembuh secara
spontan, dan tidak pernah menjadi kronis atau karier (Arief, S., 2012).

2. Hepatitis B
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada resptor spesifik di membram sel hepar kemudian mengalami
penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma,
sehingga melepaskan nukleokapsid. Selajutnya nukleokapsid akan menembus sel
dinding hati. Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel
pada DNA hospes dan berintergrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah
DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus
Hepatitis B dilepaskan ke peradangan darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang
kronis disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa &
Kurniawaty, 2013).

Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti
banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan.
Respon imun host terhadap antigen virus merupakan factor penting terhadap kerusakan
hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens
virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon
seluler terhadap epitope protein VHB, terutama HBsAg yang ditansfer ke permukaan
sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restriced CD8+ cell mengenali
fragmen peptide VHB setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan ke
permukaan sel hati oleh molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas I.
Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik
CD8+ (Hardjoeno, 2007).

3. Hepatitis C
Patofisiologi hepatitis C diawali dengan infeksi virus hepatitis C (HCV) yang menetap
pada hepatosit sehingga menyebabkan inflamasi dan fibrosis. Masa inkubasi berkisar
antara 14-180 hari (±45 hari). Target natural HCV adalah hepatosit. Virion akan
melekat pada reseptor hepatosit yang kemudian akan melepaskan RNA ke dalam
sitoplasma hepatosit. Viremia akan menetap dan menyebabkan inflamasi dan fibrosis
pada hepar (Li HC, Lo SY. 2015).

Pada HCV terdapat struktur kapsul glikoprotein (E1 dan E2) dan protein inti yang
meningkatkan ikatan virus ke hepatosit dan limfosit B. Protein inti HCV juga
merupakan faktor risiko penting perkembangan infeksi hepatitis C ke sirosis, karena
dapat meningkatkan sinyal regulasi siklus sel, proliferasi sel, apoptosis, stres oksidatif,
dan metabolisme lipid (Li HC, Lo SY. 2015).

4. Hepatitis D
Mekanisme kerusakan sel-sel hati akibat infeksi VHD belum jelas benar. Masih
diragukan, bahwa VHD mempunyai kemampuan sitopatik langsung terhadap hepatosit.
Replikasi genom VHD justru dapat menghalangi pertumuhan sel, karena replikasu
VHD memerlukan enzim yang diambil dari sel inang. Diduga kerusakan hepatosit pada
hepatitis D akut terjadi akibat jumlah HDAg-S yang berlebihan di dalam hepatosit.
VHB juga berperan penting sebagai kofaktor yang dapat menimbulkan kerusakan
hepatosit yang lebih lanjut (Dienstag J.L., et al. 2008).

5. Hepatitis E
Pada keadaan biasa, tak satupun virus hepatitis bersifat sitopatik langsung terhadap
hepatosit, tetapi merupakan respon imunologik dari host. Lesi morfologik dari semua
tipe hepatitis sama, terdiri dari infiltrasi sel PMN pan lobuler, terjadi nekrosis sel hati,
hiperplasia dari sel-sel kupffer dan membentuk derajat kolestasis yang berbeda-beda.
Regenerasi sek hati terjadi, dibuktikan dengan adanya gambaran mitotik, sel-sel
multinuklear dan pembentukan rosette atau pseudoasinar. Infiltrasi mononuklear terjadi
terutama oleh limfosit kecil, walaupun sel plasma dan sel eosinofil juga sering tampak.
Kerusakan sel hati terdiri dari degenerasi dan nekrosis sel hati, sel dropout, ballooning
dan degenerasi asidofilik dari hepatosit. Masih belum jelas peranan antibodi IgM dan
lama waktu antibodi IgG yang terdeteksi dalam kaitannya dengan imunitas (Dienstag
J.L., et al. 2008).

E. Tata Laksana Terapi


1. Hepatitis A
Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif, yang terdiri
dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori, penghentian dari
pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari konsumsi alkohol. Obat-
obatan diberikan hanya untuk mengurangi gejala-gejala yang ditimbulkan, yaitu bila
diperlukan diberikan obat-obatan yang bersifat melindungi hati, antiemetik golongan
fenotiazin pada mual dan muntah yang berat, serta vitamin K pada kasus yang
kecenderungan untuk perdarahan. Pemberian obat-obatan terutama untuk mengurangi
keluhan misalnya tablet antipiretik parasetamol untuk demam, sakit kepala, nyeri otot,
nyeri sendi (Noer. 2007).

2. Hepatitis B (Pyrsopoulos N. 2012)


a. Pemantauan
Apabila seseorang mengalami infeksi HBV, tidak selalu perlu diterapi akan tetapi
cukup dilakukan saja pemantauan untuk menilai apakah perlu dilakukan intervensi
dengan antiviral sewaktu. Pemantauan dilakukan apabila pada pasien didapatkan
keadaan :
− Hepatitis B kronik dengan HBeAg +, HBV DNA > 10 copies/mL, dan ALT
normal. Pada pasien ini dilakukan tes SGPT setiap 3-6 bulan. Jika kadar SGPT
naik > 1-2 kali Batas Atas Nilai Normal (BANN), maka ALT diperiksa setiap 1-3
bulan. Jika dalam tindak lanjut SGPT naik menjadi > 2 kali BANN selama 3-6
bulan disertai HBeAg (+) dan HBV DNA > 10 copies/mL, dapat dipertimbangkan
untuk biopsy hati sebagai pertimbangan untuk memberikan terapi antiviral
− Pada infeksi HBsAg inaktif (HBeAg, dan HBV DNA) dilakukan pemeriksaan
ALT setiap 6-12 bulan. Jika ALT naik menadji > 1-2 kali BANN, periksa serum
HBV DNA dan bila dapat dipastikan bukan disebabkan oleh hal yang lain maka
dapat dipertimbangkan terapi antiviral.

b. Interferon α (IFN- α)
Pada pasien HBeAg + dengan SGPT yang lebih besart 3x dari BANN, respons
angka keberhasilan terapi interferon adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-20%
pada kontrol. Pemberian interferon 4,5 mu atau 5 mu seminggu 3x selama 4-6
bulan dapat efektif. Apabila pengobatan diberikan selama 12 bulan makan angka
serokonversi HBeAg akan lebih meningkat.

Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek samping seperti flu- like
symptoms, neutropenia, trombositopenia, yang biasanya masih dapat ditoleransi,
namun kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi dosis. Terapi interferon yang
menginduksi hepatitis flare dapat menyebabkan dekompensasi pada pasieen
dengan sirosis dan dapat berbahaya bagi pasien dengan dekompensasi hati. Lama
terapi interferon standar adalah 4-6 bulan sedangkan pegilated interferon adalah
12 bulan.

c. Lamivudine
Lamivudine efektif untuk supresi HBV DNA, normalisasi SGPT dan perbaikan
secara histologist baik pada HBeAg positif dan HBeAg negatif/HBV DNA positif.
Pada pasien dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu tahun dengan
lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi HBeAg dengan
perbandingan kadar SGPT sebelum terapi : 64% (vs. 14% sebelum terapi) pada
pasien dengan SGPT dengan 5x BANN, 26% (vs. 5% sebelum terapi) pada pasein
dengan SGPT 2-5x BANN, dan hanya 5% (vs. 2% sebelum terapi) pada pasien
dengan SGPT <2x BANN.

Terapi antivirus jangka panjang meningkatkan proporsi menghilangnya HBV


DNA dan serokonversi HBeAg. Pada pasien dengan SGPT sebelum terapi 2x
BANN, angka keberhasilan serokonversi HBeAg adalah 65% setelah 3 tahun, dan
77% setelah 5 tahun. Pada saat serokonversi HBeAg ke anti-HBe tercapai, hal
tersebut bertahan pada 30-80% kasus akan tetapi dapat lebih rendah jika
pengobatan post-serokonversi berlangsung kurang dari 4 bulan.

d. Pegylated interferon α-2a


Pegylated interferon α-2a adlah interferon α2a yang dipegilasi. Berbeda dengan
interferon alfa pegilasi generasi terdahulu (pegylated interferon α-2a), kemajuan
penting dalam teknologi pegilasi telah berhasil mengembangkan pegylated
interferon α-2a dengan molekul polyethylene glycol (PEG) generasi baru yang
bercabang, berberat molekul lebih besar (40KD) serta ikatan antara protein dan
PEG yang kuat dan stabil (ikatan Amida). Implikasinya adalah
−Interferon alfa berada dalam sirkulasid arah lebih lama
−Konsentrasi obat dalam plasma tetap bertahan sepanjang interval dosis (satu
minggu penuh)
−Besarnya variasi dalam serum sangat kecil sehingga menghasilkan profil
tolerabilitas yang lebih baik dibandingkan interferon α konvensional.

3. Hepatitis C
a. Akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik dari pada pasien Hepatitis C
kronik hingga mencapai 100%. Interferon dapat digunakan secara monoterepi
tanpa ribavirin dan lama terapi hanya 3 bulan. Namun sulit untuk menentukan
menentukan infeksi akut VHC karena tidak adanya gejala akibat virus ini sehingga
umumnya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi.

b. Kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya


disepakati bila genotif I dan IV, maka terapi diberikan 48 minggu dan bila genotip
II dan III, terapi cukup diberikan 24 minggu.

4. Hepatitis D (Mentha, et al. 2019)


a. Pemberian interferon
Interferon adalah obat yang berasal dari sejenis protein yang bisa menghentikan
penyebaran virus dan mencegahnya kembali muncul di kemudian hari. Obat ini
biasanya diberikan melalui infus setiap minggu selama 1 tahun.

b. Pemberian obat antivirus


Obat-obatan antivirus yang diberikan meliputi entecavir, tenofovir, dan
lamivudine. Obat-obatan ini dapat meningkatkan sistem imun untuk melawan
virus dan menghambat kemampuan virus untuk merusak hati.

c. Transplantasi hati
Bila hepatitis D sudah menyebabkan kerusakan hati yang berat, dokter mungkin
akan menyarankan transplantasi atau penggantian hati. Melalui prosedur ini, hati
penderita hepatitis D yang rusak akan diganti dengan hati yang sehat dari
pendonor

5. Hepatitis E (CDC. 2019)


Terapi imunosupresi perlu dilakukan untuk mengurangi jumlah virus HEV dalam
darah (viral load). Jika belum berhasil, terapi antivirus mungkin dianjurkan.
Transplantasi hati dilakukan pada kasus hepatitis E yang tergolong parah.

F. Kasus
Ny. M, 34 tahun sedang hamil, datang ke Rumah Sakit dengan keluhan mual, anoreksia,
nyeri perut bagian bawah, sat BAK urin berwarna gelap dan jaundice serta fatigue. Keluhan
tersebuat Ny.M rasakan selama 2 minggu. Pada awalnya Ny.M menganggap karena sedang
hamil sehingga keluhan yang dialami dirasa wajar.
Hasil pemeriksaan Lab : HBsAg Positif dan ALT meningkat
Lalu diberi terapi
1. Ranitidine 150 mg/12 jam
2. Omeprazole 20 mg/ 12 jam
3. Tenofovir 1 50 mg/hari
4. Curcuma FCT tab 2 x sehari
G. SOAP
No Problem Subjektif Objektif Assessment Plan
Medik
1. Hepatitis Pemeriksaan lab : Pasien Duplikasi Penggunaan
HBsAg Positif mengeluh obat Ranitidine
dan ALT mual, sebaiknya tidak
meningkat anoreksia, perlu digunakan
nyeri perut
Diberi terapi : bagian bawah, Pemilihan Penggunaan
Ranitidine 150 saat BAK urin
mg/12 jam obat kurang omeprazole tidak tepat
berwarna tepat. karena indeks
Omeprazole 20 gelap dan
mg/ 12 jam kemanan untuk ibu
jaundice serta hamil C, sebaiknya
Tenofovir 1 x 50
fatigue. diganti dengan
mg/hari
Keluhan lansoprazol dengan
Curcuma FCT
tersebuat indeks keamanan
tab 2 x sehari
dirasakan untuk ibu hamil B
pasien selama
2 minggu. Dosis obat Pada pemberian
kurang terapi tenofovir
dengan dosis 1 x 50
mg adalah kurang.
Secara umum, dosis
tenofovir untuk
penderita hepatitis b
adalah 1 x sehari
300 mg, dan
sebaiknya
dikonsumsi bersama
makanan.

Terapi nonfarmakologi
a. Banyak makan
sayur dan buah serta
melakukan aktivitas
sesuai kemampuan
untuk mencegah
sembelit.
b. Vaksin dan
imunisasi, tetapi
konsultasikan
terlebih dahulu pada
dokter

Monitoring =
– Monitoring efek
samping
- Monitoring
pemberian obat
H. Pembahasan
Pasien berusia 34 tahun yang sedang sedang hamil datang ke Rumah Sakit dengan keluhan
mual, anoreksia, nyeri perut bagian bawah, saat BAK urin berwarna gelap dan jaundice
serta fatigue. Keluhan tersebuat pasien rasakan selama 2 minggu. Pada awalnya pasien
menganggap karena sedang hamil sehingga keluhan yang dialami dirasa wajar. Namun saat
pemeriksaan lab, dengan hasil HBsAg Positif dan ALT meningkat, pasien di diagnosa
mengidap penyakit hepatitis B. Lalu pasien diberi terapi Ranitidine 150 mg/12 jam,
Omeprazole 20 mg/ 12 jam, Tenofovir 1 50 mg/hari, dan Curcuma FCT tab 2 x sehari.

Namun dengan terapi yang diberikan, ada beberapa obat yang tidak sesuai indikasi. Pada
ranitidine, penggunaannya sebaiknya tidak diperlukan karena duplikasi obat. Lalu pada
omeplazole, pemilihan obat tidak tepat. Penggunaan omeprazole tidak tepat karena indeks
kemanan untuk ibu hamil adalah C, sebaiknya diganti dengan lansoprazol dengan indeks
keamanan untuk ibu hamil adalah B.

Kemudian dosis pada pemberian tenofovir kurang. secara umum, dosis tenofovir untuk
penderita hepatitis b adalah 1 x sehari 300 mg, dan sebaiknya dikonsumsi bersama
makanan. Adapun beberapa terapi non farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien
yaitu :
1. Banyak makan sayur dan buah serta melakukan aktivitas sesuai kemampuan untuk
mencegah sembelit.
2. Vaksin dan imunisasi, tetapi konsultasikan terlebih dahulu pada dokter
Daftar Pustaka

Ahmad, N, Kusnanto, H (2017). Prevalensi infeksi virus Hepatitis B pada bayi & anak yang dilahirkan
ibu dengan HBsAg positif. Berita kedokteran Masyarakat. 33(11): 515-520.

Anonim. 2015. MIMS Referensi Obat. Edisi 16. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Halaman 3, 7, 131.
Arief, S., 2012. Hepatitis Virus. In: Juffrie, M., et al., ed. Buku Ajar Gastroenterologi -
Hepatologi. 3rd ed. Jakarta: IDAI, 285-305

Candotti, C. & Laperche, S. (2018). Hepatitis B Virus Blood Screening: Need for Reappraisal of Blood
Safety Measures? Frontiers in Medicine, doi: 10.3389/fmed.2018.00029.
CDC. 2019. Hepatitis E information. Hepatitis E questions and answers for health professionals.
WebMD. Hepatitis. What Is hepatitis E
Dienstag J.L., Isselbacher K.J. 2008. Acute Viral Hepatitis. In: Eugene Braunwauld et al. Harrison’s
Principles of Internal Medicine, 17th Edition,McGraw Hill
Hardjoeno UL. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil laboratorium. Makassar:
Cahya Dinan Rucitra: hlm. 5-14.
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. Direktorat Jenderal PP & PL
Kementerian Kesehatan RI
Kemenkes RI. 2014. Situasi dan Analisis Hepatitis. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI
Li HC, Lo SY. 2015. Hepatitis C virus: virology, diagnosis, and treatment. World J
Hepatol. ;7(1):1377-89
Mentha, et al. 2019. A Review on Hepatitis D: From Virology to New Therapies. Journal of Advanced
Research, 17, pp. 3–15.
Mustofa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen gangguan saluran cerna : Panduan bagi dokter umum.
Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing. hlm.272-7
Noer, Sjaifoellah., Julitasari Sundoro. 2007. Hepatitis A dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
FKUI. Hal 193-199
Noer, Sjaifoellah H.M., Sundoro, Julitasari. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi Pertama. Editor :
H. Ali Sulaiman. Jakarta: Jayabadi.
Pyrsopoulos N. 2012. Hepatitis B. Terdapat di https://www. emedicine.com/ped/topic982 [Diakses
pada 7 Februari 2012]
Sanityoso, A. 2009. Hepatitis Virus Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

WebMD. Tenofovir Disoproxil Fumarate Tablet. (https://www.webmd.com/drugs/2/drug-22107-


6330/tenofovir-disoproxil-fumarate-oral/tenofovir-oral/details).

Anda mungkin juga menyukai