Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

LARANGAN PERKAWINAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Fikih Munakahat
Dosen : Bu Hj. Rosdiana M.A

Disusun oleh :
Deva Yulistiana (11210480000003)
Izma Jaida (11210480000004)
Febriana Marwah Chaerani (11210480000007)
Muhammad Ibrohim Azam (11210480000061)
Khoronnisa (112104800

KELAS D
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLOH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga
tugas ini bisa terselesaikan dengan tepat waktu. Shalawat beserta salam semoga terlimpah
curah kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW, kepada saudaranya, sahabatnya, serta
semua umatnya dan semoga kita termasuk kedalam golongannya.

Kami berterimakasih kepada dosen mata kuliah Fikih Munakahat yang telah
memberikan ilmu kepada kami dan telah memberikan tugas makalah yang berjudul Larangan
Perkawinan. Kami berharap dengan adanya tugas makalah ini dapat menambah pengetahuan
terutama bagi kami pribadi.

Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak sekali kekurangan,
karena keterbatasan pengetahuan kami. Untuk itu kami mohon kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan makalah ini sehingga menjadi lebih baik.

Jakarta, 11 Maret 2022


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia memiliki fitrah yang diberikan oleh Tuhan yaitu kecenderungan seks
(libido seksualitas). Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa dua orang manusia dengan
jenis kelamin yang berbeda, seorang perempuan dan lakilaki memiliki ketergantungan
satu sama lainnya untuk hidup bersama. Alamiahnya bahwa segala sesuatu terdiri dari
dua pasangan. Namum, dalam kehidupan manusia terdapat tradisi untuk mengikat dua
insan dalam satu ikatan. Hal ini dikenal dengan perkawinan dan bisa disebut juga
dengan pernikahan. Dalam rangka untuk menjalin sebuah ikatan perkawinan terdapat
syarat-syarat dan larangan-laranganya. Oleh karena itu kami ingin memfokuskan
topik pembicaraan tentang larangan dalam perkawinan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu perkawinan?
2. Apa dalil dan hukum dalam melakukan perkawinan?
3. Apa saja larangan perkawinan dalam islam ?
4. Apa aja larangan perkawinan menurut UUD No.1 tahun 1974?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian perkawinan
2. Mendeskripsikan dalil dan hukum dalam melaksanakan perkawinan
3. Menyebutkan larangan perkawinan dalam islam
4. Menyebutkan larangan perkawinan menurut UUD No.1 tahun 1974
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan masalah yang esensial bagi kehidupan manusia, karena


disamping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk keluarga, perkawinan tidak hanya
mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia tetapi juga menyangkut hubungan
manusia dengan manusia tetapi juga menyangkut hubungan keperdataan, perkawinan juga
memuat unsur sakralitas yaitu hubungan manusia dengan tuhannya.1 Karena hubungan itulah
untuk melakukan sebuah perkawinan harus memenuhi syarat maupun rukun perkawinan,
bahwa perkawinan harus dicatat dan dilakukan di hadapan di pegawai pencatat perkawinan
untuk mendapatkan kepastian hukum.

Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga yang
bahagiah, kekal, dan harmonis. Sebagaimana yang tercantum dalam kompilasi Hukum Islam
pasal 3 yang berbunyi bahwa “tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga yang
Sakinah, mawaddah dan warahma”2

Tujuan menurut hukum adat berbeda dengan menurut perundangan. Tujuan


perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk
mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau
keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat. Untuk memperoleh nilai-
nilai adat buaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.3

2.Dalil dan Hukum Melakukan Perkawinan


nikah itu hukumnya Sunnah muakkad, Sunnah yang sangat di anjurkan oleh
Rasulullah Saw. nabi Muhammad Saw, pernah bersabda atau menjelaskan dalam suatu kitab
"tanqihul qoul" bahwa klo kita mau di aku umat nabi menikahlah, sebab nikah itu adalah
perbuatan yang sangat anjurkan oleh nabi.
Dalam hadist atau sunnah ada beberapa yang menjadi dasar hukum pernikah, yakni:

1
Wasman dan Wardah Nuroniyah, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandungan Fiqh dan
Hukum Positif, Yogyakarta: CV. Citra Utama, hal.29
2
kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bab II Pasal 3, Departemen Agama RI,2001
3
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. Hukum Perkawinan Indonesia, cetakan I, Mandar Maju, Bandung,199-,Hlm
23
 "Wanita dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka, dapatkanlah wanita yang taat beragama
niscaya kamu akan beruntung." (HR Bukhari dan Muslim).
 "Tetapi aku salat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barang siapa
membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." (HR Bukhari dan Muslim).
 "Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya.
Karenanya, bertakwalah kepada Allah pada separuh lainnya." (HR Baihaqi). 
Dasar hukum pernikahan dalam Islam adalah Al Quran dan Sunnah yakni:

 "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan,
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya,
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (Q.S Annisa ayat 1 )
 "Dan, kawinkanlah orang-orang yang sendiria di antara kamu, orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan, Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.(Q.S An Nuur ayat 31 )
 "Dan, diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptkan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikan- Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Q.S Ar
Ruum ayat 21 )
 "Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki
dari yang baik-baik. Maka, mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan
mengingkari nikmat Allah." ( Q.S An Nahl ayat 72 )

3.Larangan Perkawinan Dalam Islam


Larangan perkawinan atau “mahram” yang berarti terlarang, “sesuatu yang terlarang”
maksudnya yaitu perempuan yang terlarang untuk dikawini. Larangan perkawinan yaitu
perintah atau aturan yang melarang suatu perkawinan.4
Mengacu dalam status hukum yang kuat, posisi yang cukup strategis danluhur tujuan
perkawinan, maka Hukum Islam mengatur semua aspek dalamperkawinan yang
diorientasikan untuk menjaga eksistensi dan keharmonisannya.Aspek-aspek itu mencakup
ranah preventif (pencegahan perkawinan), agar mawaddah wa ar-rahmah sebagai tujuan
perkawinan tetap terjaga optimal dan tidak terlepas.

4
Ali Ahmad al-Jurjawi, falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Semarang: Asy-Syifa, 1992), 256.
Menegnai upaya preventif, di dalam hukum perkawinan islam(fiqih almunakahah)
dikenal adanya beberapa perkawinan yang dilarang oleh syara’.Larangan perkawinan dalam
hukum islam ini semata untuk menghindari madharat yang akan terjadi jika perkawinan tetap
dilaksanakan.
Secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut
syara’ dibagi dua, yaitu halangan abadi (al-tahrim al- muabbad) dan halangan sementara (al-
tahrim al mu’aqqat).
a)Larangan abadi (mahram mu’abbad) yang disepakati terdiri dari: hubungan nasab,
hubungan sesusuan dan hubungan perkawinan, sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu
zina, dan li’an.5
Yang telah disepakati:
1) Hubungan Nasab
Al-Quran memberikan aturan yang tegas dan terperinci yaitu dalam surat an-Nisa’
ayat 23, yaitu:

‫ت َواُ َّم ٰهتُ ُك ُم ٰالّتِ ْٓي‬ ِ ‫ت ااْل ُ ْخ‬ ُ ‫خ َوبَ ٰن‬ِ َ ‫ت ااْل‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم اُ َّم ٰهتُ ُك ْم َوبَ ٰنتُ ُك ْم َواَخ َٰوتُ ُك ْم َو َع ٰ ّمتُ ُك ْم َو ٰخ ٰلتُ ُك ْم َوبَ ٰن‬
ْ ‫ُح ِّر َم‬
‫ت نِ َس ۤا ِٕى ُك ْم َو َربَ ۤا ِٕىبُ ُك ُم ٰالّتِ ْي فِ ْي ُحجُوْ ِر ُك ْم ِّم ْن نِّ َس ۤا ِٕى ُك ُم ٰالّتِ ْي‬ ُ ‫ضا َع ِة َواُ َّم ٰه‬
َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َواَخ َٰوتُ ُك ْم ِّمنَ ال َّر‬ َ ْ‫اَر‬
‫َاح َعلَ ْي ُك ْم ۖ َو َحاَل ۤ ِٕى ُل اَ ْبن َۤا ِٕى ُك ُم الَّ ِذ ْينَ ِم ْن اَصْ اَل بِ ُك ۙ ْم َواَ ْن‬
َ ‫َخَلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجن‬ ْ ‫َخَلتُ ْم بِ ِه ۖ َّن فَا ِ ْن لَّ ْم تَ ُكوْ نُوْ ا د‬
ْ ‫د‬
‫تَجْ َمعُوْ ا بَ ْينَ ااْل ُ ْختَي ِْن اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َغفُوْ رًا َّر ِح ْي ًما ۔‬
Artinya:
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu,
saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari
istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
(menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
(diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.6
Berdasarkan surat An-Nisa’ wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya
(halangan abadi) karena hubungan nasab adalah:
1. Ibu, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya ke atas).
2. Anak perempuan, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki
maupun anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.
4. Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau ibu.
5
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, 103.
6
Deparetemen Agama RI, Al-quran Tafsir Perkata, 82.
5. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau
perempuan.7
Di dalam KHI dijelaskan pada pasal 39 ayat 1 , yaitu:
Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
2) Hubungan Sesusuan
Perkawinan terlarang karena adanya hubungan susuan, yaitu hubungan yang terjadi
karena seorang anak kecil menyusu kepada ibu selain ibu kandungnya sendiri. Hal itu
dikarenakan air susu yang dia minum akan menjadi darah daging dan membentuk tulang-
tulang anak. Penyusuan itu dapat menumbuhkan perasaan keanakan dan keibuan antara kedua
belah pihak. Maka dari itu posisi ibu susuan dihukumi sebagai ibu sendiri.8
Wanita-wanita yang diharamkan dinikahi karena adanya hubungan sesusuan adalah:
a) Ibu Susuan, yaitu ibu yang pernah menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah
menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu, sehingga haram
melakukan perkawinan
b) Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu,
suami dari ibu yang menyusui itu di pandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram
melakukan perkawinan.
c) Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu
susuan dan seterusnya ke atas.
d) Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
e) Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.
3) Hubungan Perkawinan atau Semenda
Adapun halangan karena perkawinan atau semenda adalah :
a. Ibu mertua (ibu dari istri)
b. Anak perempuan dari isteri dengan ketentuan istrinya sudah di gauli
c. Perempuan yang telah di kawini oleh anak laki-laki.9
d. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri.

7
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, 105.
8
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, (Bandung: Jabal, 2012), 166.
9
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, 166-167.
b) Larangan yang bersifat sementara (mahram muaqqat) yaitu larangan kawin yang
bersifat sementara. Yang termasuk dalam keharaman ini adalah:
1) Mengawini dua orang saudara dalam satu masa.
Bila seorang laki-laki telah mengawini seorang perempuan, dalam satu waktu yang
sama dia tidak boleh mengawini saudara dari perempuan itu. Hal ini dijelaskan oleh Allah
dalam QS. An-Nisa’ ayat 23:

َ َ‫َواَ ْن تَجْ َمع ُْوا بَي َْن ااْل ُ ْختَي ِْن اِاَّل َما قَ ْد َسل‬
‫ف‬
Artinya: “...bahwa (tidak boleh kamu) mengumpulkan dua orang bersaudara kecuali apa yang
telah berlalu...”10
2) Poligami di luar batas.
Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat orang
dan tidak boleh lebih dari itu.
3) Larangan karena ikatan perkawinan.
Seorang perempuan yang sedang terikat tali perkawinan haram dikawini oleh
siapapun. Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar, baik
dalam ucapan terus terang.
4) Larangan karena talaq tiga.
Seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan tiga talak, baik sekaligus atau
bertahap, mantan suaminya haram mengawininya sampai menatan isteri kawin dengan laki-
laki dan habis pula iddahnya.
5) Larangan karena ihram.
Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah, tidak boleh
dikawini oleh laki-laki baik laki-laki tersebut sedang ihram pula atau tidak. Larangan itu tidak
berlaku lagi setelah lepas masa ihramnya.11
6) Halangan ‘Iddah
Seluruh mazhab sepakat bahwa wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah tidak
boleh dinikahi, persis seperti wanita yang masih bersuami, baik dia ber-‘iddah karena
ditinggal mati suaminya, maupun dicerai.12
7) Halangan Kafir
Para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan perempuan
penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan keluar dari Islam, penyembah sapi,
perempuan beragama politeisme.13

10
Deparetemen Agama RI, Al-quran Tafsir Perkata, 82.
11
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 13-14.
12
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, 342.

13
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 152.
Di dalam KHI dijelaskan pada pasal 40 ayat 3, yaitu: Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
4 .LARANGAN PERKAWINAN MENURUT UUD NOMOR 1 TAHUN 1974

Di Indonesia,peraturan larangan perkawinan sudah ditetapkan salah satunya dalam


bentuk UUD Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 telah
diatur tentang perkawinan yang dilarang yaitu termuat dalam:14
a. Pasal 8. Dalam pasal ini,perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi
atau paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin15
b. Pasal 9. Dalam pasal ini menjelaskan bahwa seorang yang masih terikat dalam suatu tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada
pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.
c. Pasal 10. Dalam pasal ini menjelaskan bahwa apabila seorang suami dan isteri yang telah
mengalami perceraian lalu melakukan perkawinan kembali satu dengan yang lain, dan lalu
bercerai kembali untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
d. Pasal 11. Dalam pasal ini menjelaskan bahwa dilarang terjadinya perkawin terhadap
seseorang wanita yang masih dalam masa tunggu (iddah). Larangan perkawinan dalam Pasal
11 ini bersifat sementara, yang berarti dapat hilang dengan sendirinya apabila masa tunggu
(iddah) telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya masa tunggu. Sesuai
dengan pasal 8, masa lamanya masa tunggu dari seorang perempuan selama 300 hari, kecuali
jika perempuan terebut tidak sedang dalam keadaan hamil maka masa tunggu menjadi 100
hari. Masa tunggu disebabkan oleh perkawinan perempuan yang telah putus karena beberapa
alasan,yaitu :
1) Suami dari seorang perempuan meninggal dunia.
2) Putusnya perkawinan dikarenakan perceraian.
3) Isteri kehilangan suaminya.

14
William I. Wellikin, “Kajian Hukum Perkawinan Nasional Terhadap Larangan Perkawinan Antara Hubungan
Pela di Maluku Tenggarai,” Jurnal Lex Privatum 2, no. 1 (2014), https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/
lexprivatum/article/view/3960/3472.
15
Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, cet. ke-1
(Bandung: Citra Umbara, 2012), hlm. 5
Adapun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan larangan bagi seseorang untuk
melakukan perkawinan dengan orang tertentu, maka hal ini merupakan syarat materiil yang
relatif, yang terdiri dari:
1. Larangan melakukan perkawinan dengan seseorang yang hubungannya sangat dekat
didalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan.
2. Larangan melakukan perkawinan dengan orang siapa orang tersebut pernah berbuat
zina.
3. Memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, apabila belum lewat waktu
satu tahun ternyata dilarang.16

16
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 4.

Anda mungkin juga menyukai