Anda di halaman 1dari 19

TRANSMISI NILAI PIIL PESENGGIRI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister dalam
Ilmu Psikologi

Oleh:

FIRDA SHAFIRA
S 300160042

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
TRANSMISI NILAI PIIL PESENGGIRI

Abstrak

Transmisi nilai merupakan proses mengirimkan pesan dari satu generasi


ke generasi selanjutnya. Orang tua dipandang sebagai sumber utama dalam
mentransmisikan nilai, karena orang tua merupakan lingkungan terdekat pertama
yang berinteraksi dengan anak. Indonesia kaya dengan budaya, masing-masing
budaya memiliki kekhasan sendiri, salah satunya suku Lampung yang dikenal
dengan piil pesenggiri. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses
transmisi nilai piil pesenggiri pada keluarga suku Lampung. Piil berarti perilaku,
pesenggiri berarti tatanan moral, sehingga piil pesenggiri yaitu tatanan moral
yang merupakan pedoman hidup dalam berperilaku bagi masyarakat suku
Lampung. Dimanapun masyarakat suku Lampung berada harus selalu memegang
teguh piil pesenggiri. Hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengetahui
lebih jauh mengenai piil pesenggiri yaitu apakah transmisi nilai piil pesenggiri
masih berlangsung serta bagaimana orang tua mentransmisikan nilai piil
pesenggiri tersebut kepada anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
fenomenologi dan analisis tematik. Pengumpulan data menggunakan metode
wawancara semi terstruktur. Informan diperoleh secara purposive sampling dan
snowball sampling. Penulis menentukan kriteria informan, yaitu orang tua yang
keduanya merupakan suku Lampung dan tinggal di Lampung serta anaknya yang
remaja.
Hasil penelitian menunjukkan nilai piil pesenggiri masih disampaikan
secara turun-temurun oleh orang tua kepada anak. Selain piil pesenggiri, nilai-
nilai yang menjadi prioritas orang tua untuk ditransmisikan pada anak yaitu
agama, sopan santun, kedisiplinan, tanggung jawab dan pentingnya prestasi
belajar. Metode transmisi nilai yang digunakan orang tua yaitu pemberian contoh/
peneladanan, pemberian nasihat, pembiasaan, himbauan, berdialog dan pemberian
hukuman. Metode peneladanan berdampak pada penerimaan positif anak
dibandingkan dengan metode lainnya. Sementara metode hukuman dapat
membuat anak merasa jera dan patuh pada orang tua karena takut dihukum lagi.
Melalui proses transmisi nilai, orang tua berupaya untuk mencapai harapannya
pada anak yakni menjadi orang yang sukses dan menjadi anak yang sholeh dan
sholehah. Selain orang tua, kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu dan teman
sebaya dianggap berperan dalam mentransmisikan nilai.

Kata Kunci: transmisi nilai, piil pesenggiri, suku Lampung

1
Abstract

Value transmission is the process of sending messages from one


generation to the next. Parents are seen as the main source of transmitting values,
because parents are the first closest environment to interact with children.
Indonesia is rich in culture, each culture has its own peculiarities, one of which is
the Lampung tribe known as piil pesenggiri. This study aims to describe the
process of transmitting the value of piil pesenggiri to Lampung tribal families.
Piil means behavior, pesenggiri means a moral order, so piil pesenggiri is a moral
order which is a way of life in behaving for Lampung tribal people. Wherever the
Lampung tribe community is located, they must always hold firmly to the
participants. This is the background of writer to find out more about piil
pesenggiri, namely whether the value transmission of the piil pesenggiri is still
ongoing and how parents transmit the value of piil pesenggiri to the child.
This study uses a qualitative approach with phenomenology methods and
thematic analysis. Data collection uses a semi-structured interview method. The
informants were obtained by purposive sampling and snowball sampling. The
author determines the criteria for informants, namely parents who are both
Lampung tribes and live in Lampung and their teenage children.
The results of the study show that the value of the piil pesenggiri is still
passed on from generation to generation by parents to children. In addition to the
participants' values, the values that are the priority of parents to be transmitted to
children are religion, courtesy, discipline, responsibility and the importance of
learning achievement. The value transmission method used by parents is giving
examples/ exemplary, giving advice, habituation, appeals, dialogue and giving
punishment. The exemplary method affects the positive acceptance of children
compared to other methods. While the method of punishment can make children
feel deterrent and obedient to parents for fear of being punished again. Through
the process of transmitting values, parents strive to achieve their expectations in
children, namely to become successful people and become saleh and salehah
children. Besides parents, grandparents, uncles, aunts, cousins and peers are
considered to play a role in transmitting values.

Keywords: value transmission, piil pesenggiri, Lampung tribe

1. PENDAHULUAN
Transmisi nilai merupakan bagian dari transmisi budaya dan sejauh ini
dipandang sebagai bagian dari jalur transmisi yang biasanya bertujuan untuk
mencapai suatu hal tertentu (Trommsdorff, 2009). Trommsdorff menjelaskan
bahwa tujuan penelitian transmisi budaya adalah menjelaskan kontinuitas nilai-
nilai budaya yang disampaikan oleh orang tua kepada anak. Orang tua dan anak
yang terlibat dalam proses transmisi akan memengaruhi proses dan akibatan

2
transmisi sesuai dengan prioritas, keyakinan, dan pengetahuan budaya yang
dimiliki. Pengalaman sosialisasi, status sosial, dan status perkembangan juga
memengaruhi intensi maupun cara individu mentransmisikan nilai-nilai budaya.
Trommsdorff menyatakan bahwa hubungan orang tua-anak dipandang sebagai
sabuk transmisi.
Keluarga dipandang sebagai sumber utama dalam mentransmisikan nilai
pada anak karena keluarga merupakan lingkungan terdekat pertama yang
berinteraksi dengan anak. Menurut Barni, Vieno, Rosnati, Roccato & Scabini
(2014) ada relevansi hubungan antara orang tua dengan anak yang mengalami
perkembangan kemampuan, pengetahuan, nilai, norma, sikap dan perilaku. Barni,
Ranieri, Donato, Tagliabue & Scabini (2017) menekankan pentingnya nilai
pribadi orang tua dalam menentukan transmisi nilai. Chan & Tam (2016)
mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan nilai antara orang tua dengan anak.
Keberhasilan orang tua mentransmisikan nilai tidak hanya sejauh mana anak-anak
meniru nilai pribadi orang tua mereka, tetapi juga sejauh mana orang tua secara
aktif membantu anak-anak mereka memperoleh nilai-nilai yang berkontribusi
pada adaptasi sosial dan budaya mereka.
Budaya merupakan bagian integral karena memiliki nilai-nilai yang
digunakan sebagai tolok ukur yang menentukan baik-buruk, boleh-jangan, ya-
tidak, atau benar-salah dalam perilaku (Santrock, 2012). Demikian pula suku
Lampung memiliki sistem nilai yang berasal dari kearifan budaya. Suku Lampung
memiliki falsafah hidup yang dikenal dengan piil pesenggiri. Arti piil pesenggiri
yaitu tatanan moral yang merupakan pedoman hidup dalam berperilaku bagi
masyarakat suku Lampung. Piil Pesenggiri merupakan identitas masyarakat suku
Lampung yang menjadi landasan hidup dari aktivitas kebudayaan masyarakat
Lampung yang masih berlangsung hingga saat ini. Nilai-nilai budaya piil
pesenggiri tersebut termaktub dalam kitab lama peninggalan para leluhur meliputi
Kitab Kuntara Raja Niti dan Kitab Buku Handak yang berisikan tentang aturan,
norma serta anjuran dan sanksi yang menjadi landasan kehidupan masyarakat
suku Lampung. Piil pesenggiri mengandung empat unsur nilai yaitu bejuluk

3
beadek (julukan dan gelar), nemui nyimah (bertamu), nengah nyappur (berbaur)
dan sakai sambayan (tolong menolong) (Cathrin, 2017).
Faktor-faktor yang memengaruhi transmisi nilai diantaranya adalah
persepsi interpersonal nilai antara kedua orang tua dan remaja (Stattin &
Yunhwan, 2018), serta lingkungan pergaulan dengan teman sebaya (Barni, Vieno,
Rosnati, Roccato, & Scabini, 2014; Agustin, 2014). Faktor lain yang
memengaruhi yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang aman
secara psikologis, pola interaksi demokratis, religius (Ali & Asrori, 2004),
kualitas hubungan orang tua dengan anak (Hernandez, Conger, Richard, Bacher,
& Widaman, 2014), pengalaman, lingkungan tempat tinggal (Albanese, Blasio, &
Sestito, 2016), dan budaya (Santrock, 2012). Proses transmisi nilai dan praktik
budaya bersumber dari kualitas hubungan positif antara orang tua dengan anak.
Selain itu, anak yang intens berinteraksi dengan orang tua juga disebut memiliki
konflik yang rendah (Tsai, Telzer, Gonzalez, & Fuligni, 2015).
Transmisi nilai terjadi melalui enkulturasi dan sosialisasi (Schonpflug,
2009). Proses enkulturasi dapat terjadi melalui jalur vertikal, miring dan
horizontal. Hasil akhir enkultuasi dan sosialisasi adalah kesamaan perilaku dalam
budaya, dan perbedaan perilaku antara budaya. Demikian mekanisme krusial
budaya yang menghasilkan kesamaan dan perbedaan (Berry, Poortinga, Segall, &
Dasen, 2002). Lestari (2012), menyatakan transmisi yang terjadi pada budaya
sendiri disebut juga sebagai sosialisasi. Sosialisasi dalam keluarga dapat
didefinisikan sebagai proses yang diinisiasi oleh orang dewasa untuk
mengembangkan anak melalui insight, pelatihan, imitasi, guna mempelajari
kebiasaan dan nilai-nilai yang kongruen dalam beradaptasi dengan budaya.
Melalui sosialisasi, anak diharapkan memiliki kebiasaan yang adaptif dan nilai-
nilai yang relevan dengan budaya setempat. Barni, Alfieri, Marta, & Rosnati
(2013) menyatakan bahwa transmisi nilai antargenerasi dianggap sebagai ciri
sosialisasi yang sukses.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu bagaimana proses transmisi nilai piil pesenggiri pada
keluarga suku Lampung. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana

4
pengalaman orang tua dalam mentransmisikan nilai piil pesenggiri pada anak? (2)
Bagaimana pemahaman dan tanggapan anak terhadap nilai piil pesenggiri yang
ditransmisikan orang tua?

2. METODE
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
fenomenologi. Infoman dipilih menggunakan metode purposive sampling dan
snowball sampling. Informan dalam penelitian ini yaitu 6 keluarga yang terdiri
dari orang tua yang memiliki anak remaja. Informan utama adalah orang tua,
sedangkan informan pendukung adalah anak. Pengumpulan data diperoleh melalui
wawancara semi terstruktur. Keabsahan data diperoleh dengan triangulasi sumber
data, yaitu ayah, ibu dan anak (remaja) yang diwawancarai secara terpisah.

Tabel 1. Data Demografi Keluarga


Usia
Keluarga Informan Status Pendidikan Pekerjaan
(tahun)
Pak MAS Ayah S-2 PNS 52

Keluarga I Bu Md Ibu S-1 Guru PNS 52


Anak
RRA Lulus SMA Belum bekerja 19
kedua
Anak
MIAA SMA Pelajar 17
ketiga
Anak
AAA SMP Pelajar 14
keempat
Pak S Ayah SMP Tukang parkir 55
Ibu rumah
Bu M Ibu SD 49
tangga
Keluarga II
Anak
SP Lulus SMA Wirausaha 19
pertama
Anak
RAd SMP (paket) Pelajar 16
kedua
Pak A Ayah SMA Polisi 38

Keluarga III Bu RA Ibu S-1 Perawat PNS 41


Anak
VRP SMP Pelajar 13
pertama
Keluarga IV Pak AD Ayah D-3 Perawat PNS 46

5
Bu RM Ibu S-1 Perawat PNS 39
Anak
MRA SMA Pelajar 17
pertama
Karyawan
Pak Z Ayah SMP 48
pabrik
Staff laundry
Keluarga V Bu Z Ibu SMA 46
RS
Anak
VP SMK Pelajar 16
kedua
Pak RR Ayah SMP Pedagang 46

Bu Y Ibu SMP Penjahit 39


Keluarga VI
Anak
RA SMA Pelajar 18
pertama
Anak
AC SMA Pelajar 16
kedua

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Piil pesenggiri dimaknai sebagai harga diri. Piil pesenggiri mengandung
unsur-unsur nilai yaitu bejuluk beadek (julukan dan gelar), nemui nyimah
(bertamu), nengah nyappur (berbaur) dan sakai sambayan (tolong menolong).
Unsur nilai bejuluk beadek memiliki makna sebagai status sosial, karena untuk
memperoleh gelar harus terlebih dahulu menyelenggarakan acara adat begawi
dimana hal tersebut membutuhkan biaya yang besar dan tidak semua orang
mampu, sehingga memiliki gelar merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat
suku Lampung.
Transmisi nilai piil pesenggiri masih berlangsung di keluarga suku
Lampung hingga saat ini. Hal tersebut berdasarkan pernyataan orang tua dan
pemahaman anak mengenai piil pesenggiri. Namun, ada perbedaan pemahaman
antara saudara kandung, yaitu RRA, MIAA dan AAA. RRA memahami piil
pesenggiri beserta unsur-unsur nilainya, MIAA hanya memahami piil pesenggiri
secara umum, sedangkan RRA tidak memahami piil pesenggiri sama sekali.
Adanya perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan usia, interaksi orang tua
dengan anak, kepribadian anak, dan relasi anak dengan orang tua. Selain itu,
persepsi orang tua terhadap kemampuan anak dalam memahami sesuatu menjadi
penyebab kesenjangan pemahaman anak terhadap piil pesenggiri. Proses transmisi

6
nilai sendiri bersifat kompleks dan berlangsung sepanjang hidup, tetapi proses
tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan seseorang.
Schonpflug & Yan (2014) dalam penelitiannya mengungkapkan konten transmisi
tergantung pada tahap perkembangan.
Nilai-nilai lainnya yang disampaikan oleh orang tua selain piil pesenggiri
adalah agama, sopan santun, kedisiplinan, tanggung jawab dan pentingnya
prestasi belajar. Pada dasarnya orang tua mengharuskan anak sholat lima waktu,
namun masing-masing menambahkan kriteria-kriteria yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Keluarga Pak MAS mengharuskan anak sholat wajib
berjamaah, berdo‟a, mengaji, puasa wajib serta puasa sunnah arafah. Keluarga
Pak S hanya menerapkan sholat wajib. Keluarga Pak A mengharuskan anak sholat
wajib dan mengaji. Keluarga Pak AD menyampaikan sholat wajib, sedekah, serta
ibadah sunnah yaitu puasa senin-kamis dan sholat dhuha. Keluarga Pak Z
menerapkan krieria sholat wajib dan sedekah. Kemudian keluarga Pak RR
menerapkan kriteria sholat wajib, dan ta‟lim setelah sholat isya‟.
Orang tua menganggap agama penting untuk disampaikan pada anak
karena agama merupakan pondasi dan pegangan dalam menjalani kehidupan agar
selamat di dunia dan akhirat. Munawiroh (2016) mengatakan pendidikan agama
harus disampaikan sedini mungkin oleh orang tua dalam keluarga melalui
pembiasaan dan keteladanan yang hasanah, sehingga anak-anak mampu
memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama tersebut dalam
berbagai aspek kehidupan. Penelitian Leonard, Cook, Boyatzis, Kimball &
Flanagan (2013) mengungkapkan bahwa orang tua memiliki peran penting dalam
pembentukan religiusitas remaja dengan mengenalkan ajaran agama, memberikan
contoh pelaksanaannya, dan membiasakan remaja untuk menjalankannya di
keluarga.
Selain agama, orang tua menyampaikan pentingnya berperilaku sopan
santun pada orang lain. Bentuk sopan santun yang disampaikan oleh orang tua
antara lain bicara dengan lemah lembut terutama pada orang yang lebih tua,
menyapa orang yang dikenal saat bertemu di jalan, dan mengucapkan salam.
Salah satu cara bersikap sopan pada orang lain misalnya ketika membutuhkan

7
bantuan orang lain menggunakan bahasa yang dianggap halus secara umum di
masyarakat, seperti kata “tolong” baik kepada orang yang lebih muda ataupun
lebih tua. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Bu RM pada MRA. Selain
itu, dapat pula menggunakan panggilan yang lazim diberikan pada orang yang
lebih tua, misalnya om, tante, buya (ayah), kyai (kakak laki-laki). Hal tersebut
seperti penelitian Ryabova (2015), bahasa-bahasa yang digunakan untuk
mengekspresikan kesopanan antara lain, „terima kasih‟, „permisi‟, „selamat
tinggal‟ dan „tolong‟. Jika berbicara pada orang yang lebih tua dapat pula
menggunakan kata ganti seperti „tuan‟ atau „nyonya‟.
Ryabova (2015) mengungkapkan bahwa etika bicara adalah bagian
penting dari budaya, perilaku dan komunikasi manusia. Hubungan sosial dan
norma dalam berperilaku ditentukan dalam etika bicara. Menurut Ajayi &
Balogun (2014) kesopanan dan sapaan adalah dua konsep universal yang saling
berkaitan. Kesopanan diwujudkan dalam bentuk sapaan tergantung pada status
orang yang terlibat.
Sementara itu kedisiplinan disampaikan orang tua dengan mengatur jam
belajar, jam tidur dan batasan jam malam pada anak. Batas jam malam
diberlakukan khususnya pada anak laki-laki. Keluarga yang menerapkan hal
tersebut adalah keluarga Pak MAS, keluarga Pak S, keluarga Pak AD, keluarga
Pak Z dan keluarga Pak RR. Meskipun telah diberlakukan aturan tersebut, tidak
semua anak patuh, contohnya SP. Meskipun telah disampaikan dan diingatkan
oleh orang tua berulang kali, SP tetap saja melanggar. Hal tersebut karena orang
tua melakukan pembiaran pada anak. Awalnya anak akan dimarahi oleh orang tua,
tetapi setelah anak berulang kali melakukan pelanggaran orang tua hanya
mendiamkan anak. Grusec, Danyliuk, Kil & O‟Neill (2017) dalam penelitiannya
mengungkapkan inkonsistensi orang tua dapat mendorong anak-anak untuk
mengulangi tindakan dengan harapan bahwa mereka tidak akan dihukum.
Sebaliknya, disiplin yang efektif melibatkan penggunaan konsekuensi negatif,
termasuk penalaran serta tingkat penegasan untuk mencegah perilaku yang tidak
dapat diterima.

8
Hal selanjutnya yang disampaikan orang tua adalah pentingnya tanggung
jawab. Cara orang tua mengajarkan tanggung jawab adalah dengan mulai
membiasakan anak untuk mengerjakan tugas sekolah saat malam hari, merapikan
ruang tidur serta menyiapkan peralatan sekolah secara mandiri sejak dini. Surifah,
Rosidah & Fahmi (2018) mengungkapkan bahwa salah satu metode yang
diterapkan dalam mengembangkan sikap tanggung jawab anak yaitu melalui
metode pembiasaan, karena secara tidak langsung anak belajar sesuai arahan dan
pembiasaan yang diterapkan.
Orang tua pada umumnya ingin agar anak memiliki prestasi belajar.
Prestasi belajar bagi orang tua yaitu peringkat yang diperoleh anak sebagai hasil
belajar baik di sekolah maupun di rumah. Oleh karena itu, orang tua biasanya
menekankan agar anak rajin belajar agar memperoleh nilai bagus dan memperoleh
peringkat. Keluarga Pak MAS, keluarga Pak A, dan keluarga Pak AD
memberikan fasilitas tambahan dengan mendaftarkan anak pada bimbingan
belajar untuk menunjang anak meraih prestasi. Keluarga Pak MAS, keluarga Pak
A, dan keluarga Pak RR mengharapkan anak memiliki prestasi belajar yang
terwujud melalui ranking atau peringkat di sekolah. Penyampaian pesan tersebut
diikuti dengan mengingatkan anak untuk belajar pada malam hari dan menyiapkan
PR hingga mengawasi anak belajar, seperti yang dilakukan oleh Pak MAS.
Cara lain yang dilakukan adalah orang tua memantau nilai secara rutin
dengan cara mengecek buku-buku pelajaran anak tanpa sepengetahuannya. Jika
terdapat penurunan nilai, biasanya ibu akan menghubungi tempat les anak dan
meminta bimbingan tambahan. Pemantauan dengan cara tersebut dilakukan oleh
Bu Md. Meskipun begitu, orang tua tidak menuntut anak harus memperoleh
peringkat tertinggi, minimal nilai anak mengalami peningkatan. Adapula orang
tua yang menyampaikan harapannya pada anak memperoleh peringkat minimal
lima besar. Jika nilai anak tidak sesuai dengan harapan orang tua, orang tua tidak
marah pada anak, namun memberi teguran dan motivasi agar nilai berikutnya
dapat lebih baik. Anak-anak yang pernah meraih peringkat di sekolah yaitu RRA,
AC dan RA, kemudian MIAA, AAA dan VRP juga memiliki prestasi dengan

9
mampu lolos tes ke sekolah-sekolah favorit. Khusus RRA, ia pernah meraih nilai
UN tertinggi saat kelulusan SMP.
Metode-metode yang digunakan orang tua dalam mentransmisikan nilai
antara lain peneladanan, pembiasaan, berdialog, himbauan, pemberian nasihat dan
pemberian hukuman. Metode pemberian hukuman yang diberikan oleh orang tua
kepada anak bermacam-macam, yaitu berupa dimarahi, pengurangan uang saku,
penambahan jam belajar, penarikan fasilitas handphone dan kendaraan, dilarang
sekolah, dilarang keluar rumah, hingga hukuman fisik berupa cubitan, diikat dan
dipukul dengan kayu. Orang tua mengungkapkan jika mereka pernah memberikan
hukuman fisik berupa pukulan pada anak, kecuali keluarga Pak A. Berdasarkan
data wawancara, sikap orang tua dalam memberikan contoh berakibat pada
penerimaan anak secara positif, sedangkan metode pemberian hukuman membuat
anak jera dan menyadari kesalahan yang telah diperbuat. Penelitian Sukiyani &
Zamroni (2014) mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk menerapkan
kedisiplinan pada anak adalah dengan cara memberikan hukuman.
Tanggapan anak terhadap nilai-nilai yang ditransmisikan orang tua yaitu
menerima dan belum menerima sepenuhnya. Hal tersebut sesuai dengan cara
orang tua dalam menyampaikan, contohnya pemberian nasihat yang berulang-
ulang membuat anak merasa kesal pada orang tua, sedangkan dengan pemberian
contoh di depan anak secara langsung membawa dampak yang lebih positif
berupa penerimaan oleh anak. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Rakhmawati
(2015) bahwa perilaku, tata cara
pergaulan, dan aktivitas sehari-hari. Akan tetapi, jika orang tua hanya memerintah
tanpa mencontohkan dihadapan anak, maka anak akan menjadi enggan untuk
melaksanakannya. Arifin (2018) mengungkapkan orang tua harus mampu menjadi
teladan yang baik bagi anak-anak agar menjadi sosok panutan.
Contoh keluarga yang hanya sekedar menyuruh anak namun orang tua
sendiri tidak melaksanakan dilakukan oleh keluarga Pak S dan keluarga Pak Z.
Biasanya orang tua hanya menyuruh anak sholat, namun orang tua sendiri tidak
melaksanakan sholat. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa orang tua tidak

10
konsisten antara perkataan dengan tindakan, sehingga anak cenderung
mengabaikan perintah orang tua.
Orang lain yang dianggap berperan terhadap nilai-nilai yang
ditransmisikan pada anak yaitu keluarga besar seperti kakek, nenek, paman, bibi
dan saudara sepupu. Selain itu, teman sebaya juga dianggap memiliki peran dalam
mentransmisikan nilai, contohnya kepatuhan anak terhadap agama seperti yang
diungkapkan oleh MIAA. MIAA mengungkapkan jika teman-temannya di
sekolah sholat, maka ia juga akan sholat. Hal tersebut seperti yang terungkap
dalam penelitian Litina, Moriconi, & Zanaj (2016) yang menyatakan bahwa
pergaulan dengan teman sebaya dianggap turut berperan dalam transmisi nilai
selain keluarga.
Ada dua harapan utama orang tua pada anak, pertama anak menjadi orang
yang sukses dan bermanfaat bagi orang lain. Kedua, menjadi anak sholeh dan
sholehah. Keluarga dengan pendidikan tinggi dan berprofesi sebagai pegawai
berharap agar anak memilih profesi di bidang yang sama dengan orang tua,
sedangkan keluarga dengan pendidikan rendah dan menganggap kehidupannya
masih kurang layak berharap anak dapat bersekolah tinggi melebihi pendidikan
orang tua dan menjadi pegawai negeri.

4. PENUTUP
Piil pesenggiri adalah tatanan moral yang merupakan pedoman hidup dan
berperilaku bagi masyarakat suku Lampung. Selain itu piil pesenggiri juga
dimaknai sebagai harga diri, sikap hidup dan sesuatu yang menyangkut harkat dan
martabat. Piil pesenggiri mengandung empat unsur nilai yaitu bejuluk beadek
(julukan dan gelar), nengah nyappur (berbaur), nemui nyimah (bertamu) dan sakai
sambayan (tolong menolong).
Berdasarkan hasil penelitian mengenai transmisi nilai piil pesenggiri dapat
disimpulkan bahwa:
1. Nilai piil pesenggiri yang sejatinya merupakan ciri khas masyarakat suku
Lampung masih disampaikan secara turun-temurun oleh keluarga hingga saat
ini. Berdasarkan pengalaman orang tua, bejuluk beadek disampaikan dengan

11
cara berdialog dan ikut serta dalam acara adat begawi yang diselenggarakan
oleh kerabat. Nengah nyappur disampaikan dengan cara memberikan contoh,
nasihat serta himbauan. Nemui nyimah disampaikan dengan memberikan
contoh, himbauan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan
sakai sambayan disampaikan dengan cara pembagian tugas membersihkan
rumah dan menyuruh anak ikut serta dalam gotong royong di lingkungan
sekitar rumah.
2. Selain piil pesenggiri, nilai-nilai yang menjadi prioritas orang tua untuk
ditransmisikan pada anak yaitu agama, sopan santun, kedisiplinan, tanggung
jawab dan prestasi belajar.
3. Anak telah mampu memahami makna piil pesenggiri, namun tidak semua
memahami unsur-unsur piil pesenggiri yaitu bejuluk beadek, nengah nyappur,
nemui nyimah dan sakai sambayan. Tanggapan anak terhadap piil pesenggiri
yang disampaikan orang tua adalah menerima. Hal tersebut tercermin dari
perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari.
4. Metode transmisi nilai yang digunakan orang tua yaitu pemberian contoh/
peneladanan, pemberian nasihat, pembiasaan, himbauan, berdialog dan
pemberian hukuman. Metode peneladanan berdampak pada penerimaan positif
anak dibandingkan dengan metode lainnya. Sementara metode hukuman dapat
membuat anak merasa jera dan patuh pada orang tua karena takut dihukum
lagi.
5. Melalui proses transmisi nilai, orang tua berupaya untuk mencapai harapannya
pada anak yakni menjadi orang yang sukses dan menjadi anak yang sholeh dan
sholehah. Namun, tidak semua perilaku anak sudah sesuai dengan yang
diharapkan orang tua. Perilaku yang sudah sesuai dengan harapan orang tua
yaitu tanggung jawab, sedangkan perilaku yang belum sesuai dengan harapan
orang tua yaitu kedisiplinan. Ada peran orang lain dalam mentransmisikan nilai
yaitu kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu dan teman sebaya.

12
Saran
Berdasarkan penelitian dan kesimpulan, maka peneliti memberikan saran
sebagai berikut:
1. Bagi orang tua agar membangun relasi yang lebih dekat dan hangat dengan
anak. Relasi hangat antara orang tua dengan anak dipandang membuat anak
lebih mampu menerima nilai-nilai yang ditransmisikan orang tua. Selain itu,
orang tua diharapkan konsisten dalam bersikap. Sikap konsisten orang tua
dianggap mampu memberikan persepsi positif anak terhadap orang tua.
2. Bagi peneliti selanjutnya, pemilihan profesi informan penelitian agar lebih
bervariasi agar memperoleh gambaran secara lebih luas. Selain itu peneliti
selanjutnya dapat menambah jumlah keluarga yang dijadikan sebagai
informan. Kemudian dalam pemilihan jenis kelamin informan pendukung yaitu
remaja disarankan agar lebih berimbang, dikarenakan informan dalam
penelitian ini didominasi oleh laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, S. M. (2014). Komunikasi Peer-Group tentang Konsep Kekerasan dan
Bullying (Studi Groupthink Theory & Sosialisasi Anti Kekerasan dan
Bullying pada Siswa SMA Negeri 70, Bulungan-Jakarta). AL-AZHAR
INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL, 2 (3), 208-221.

Ajayi, T. M., & Balogun, K. O. (2014). Politeness in the Yoruba and French
Languages. International Journal of Language Studies, 8 (4), 77-94.

Albanese, G., Blasio, G. D., & Sestito, P. (2016). My Parents Taught Me.
Evidence On The Family. J Popul Econ, 29, 571-592.

Ali, M., & Asrori, M. (2004). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Bumi Aksara.

Arifin, A. A. (2018). Membangun Fondasi Karakter Anak Dalam Keluarga.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan, (hal. 36-48).

Barni, D., Alfieri, S., Marta, E., & Rosnati, R. (2013). Overall and Unique
Similarities Between Parents' Values and Adolescent or Emerging Adult
Children's Values. Journal of Adolescence, 36, 1135-1141.

13
Barni, D., Ranieri, S., Donato, S., Tagliabue, S., & Scabini, E. (2017). Personal
and Family Sources of Parents‟ Socialization Values: A Multilevel Study.
Avances en Psicología Latinoamericana, 35 (1).

Barni, D., Vieno, A., Rosnati, R., Roccato, M., & Scabini, E. (2014). Multiple
Sources of Adolescents' Conservative Values: A Multilevel Study.
European Journal of Developmental Psychology, 11 (4), 433-446.

Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (2002). Cross-
Cultural Psychology. Research and Applications. Cambidge: Cambridge
University Press.

Cathrin, S. (2017). Piil Pesenggiri sebagai Landasan Hidup Orang Lampung


Relevansinya dengan Pengembangan Karakter Bangsa Indonesia. Seminar
Nasional KeIndonesiaan II Tahun 2017, hal. 247-268.

Chan, H. W., & Tam, K. P. (2016). Understanding the Lack of Parent-Child Value
Similarity: The Role of Perceived Norms in Value Socialization in
Immigrant Families. Journal of Cross-Cultural Psychology, 47 (5), 1-19.

Grusec, J. E., Danyliuk, T., Kil, H., & O'neill, D. (2017). Perspective on Parent
Discipline and Child Outcomes. International Journal of Behavioral
Development, 41 (4), 465-471.

Hernandez, M. M., Conger, R. D., Richard, W. R., Bacher, K. B., & Widaman, K.
F. (2014). Cultural Socialization and Ethnic Pride Among Mexican-Origin
Adolescents During the Transition to Middle School. Child Development,
85 (2), 695-708.

Leonard, K. C., Cook, K. V., Boyatzis, C. J., Kimball, C. N., & Flanagan, K. S.
(2013). Parent-Child Dynamics and Emerging Adult Religiosity:
Attachment, Parental Beliefs, and Faith Support. Psychology of Religion
and Spirituality, 5 (1), 5-14.

Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga; Penanaman Nilai dan Penanganan


Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana.

Litina, A., Moriconi, S., & Zanaj, S. (2016). The Cultural Transmission of
Environmental Values: A Comparative Approach. World Development,
84, 131-148.

Munawiroh. (2016). Pendidikan Islam dalam Keluarga. Edukasi: Jurnal


Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 14 (3).

14
Rakhmawati, I. (2015). Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak. Konseling
Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 6 (1), 1-17.

Ryabova, M. (2015). Politeness Strategy in Everyday Communication. Procedia:


Social and Behavioral Sciences, 206, 90-95.

Santrock, J. W. (2012). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup.


Jakarta: Erlangga.

Schonpflug, U. (2009). Introduction to Cultural Transmission: Psychological,


Developmental, Social, and Methodological Aspects. (Cambridge
University Press).

Schonpflug, U., & Yan, S. (2014). Deviation From Zeitgeist and Motivation in the
Intergenerational Transmission of Individualistic and Collectivistic Values
in East Germany and Shanghai, China. The Journal of Genetic
Psychology: Research and Theory on Human Development, 175 (1), 58-
75.

Stattin, H., & Yunhwan, K. (2018). Both Parents and Adolescents Project Their
Own Values When Perceiving Each Other‟s Values. International Journal
of Behavioral Development, 42 (1), 106-115.

Sukiyani, F., & Zamroni. (2014). Pendidikan Karakter dalam Lingkungan


Keluarga. Socio-Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, 11 (1), 57-70.

Surifah, J., Rosidah, L., & Fahmi. (2018). Pengaruh Metode Pembiasaan
Terhadap Pembentukan Sikap Tanggung Jawab Anak Usia 4-5 Tahun.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini, 5 (2),
113-123.

Trommsdorff, G. (2009). Intergenerational Relations and Cultural Transmission.


Cambridge: Cambridge University Press.

Tsai, K. M., Telzer, E. H., Gonzalez, N. A., & Fuligni, A. J. (2015). Parental
Cultural Socialization of Mexican-American Adolescents‟ Family
Obligation Values and Behaviors. Child Development , 86 (4), 1241–1252.

15

Anda mungkin juga menyukai