Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS PENYEBARAN HAMA MENGGUNAKAN MODEL CLIMEX (Studi Kasus: Sisyphus spinipes di Cirebon)

Adhitya Novianto (G24080066)


Departemen Geofisika Dan Meteorologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Hama adalah organisme yang dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan sehari-hari manusia. Walaupun dapat digunakan untuk semua organisme, dalam praktik istilah ini paling sering dipakai hanya kepada hewan. Suatu hewan juga dapat disebut hama jika menyebabkan kerusakan pada ekosistem alami atau menjadi agen penyebaran penyakit dalam habitat manusia. Dalam pertanian, hama adalah organisme pengganggu tanaman yang menimbulkan kerusakan secara fisik, dan ke dalamnya praktis adalah semua hewan yang menyebabkan kerugian dalam pertanian. Sisyphus spinipes biasa disebut kumbang Scarab atau kumbang kotoran (Dung beetle) (Engkis dalam bahasa Jawa). Kumbang tinja scarabaeids (scarabaeids dungbeetles) merupakan salah satu kelompok dalam famili Scarabaeidae (Insecta: Coleoptera) yang dikenal karena hidupnya pada tinja (Borror et al., 1992). Kumbang ini mudah dikenali dengan bentuk tubuhnya yang cembung, bulat telur atau memanjang dengan tungkai bertarsi 5 ruas dan sungut 8-11 ruas dan berlembar. Pada kelompok kumbang pemakan tinja bentuk kaki ini khas sebagai kaki penggali (Borror et al., 1989). Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 1000 jenis kumbangs car ab (Noerdjito, 2003). Serangga ini hidup di berbagai habitat berbeda mulai gurun, lahan pertanian, hutan, dan padang rumpu. Kumbang Scarab memakan kotoran diekskresikan oleh herbivora dan omnivora, juga memakan jamur dan daun membusuk dan buah-buahan. Pemakan kotoran ini tidak perlu makan atau minum apa pun, karena kotoran cukup menyediakan semua nutrisi yang diperlukannya. Kebanyakan kumbang kotoran mencari makan menggunakan indra sensitif penciuman mereka. Setelah menangkap kotoran, seekor kumbang Scarab akan menggulingkan bola kotoran. Kumbang Dung ini dapat menggelelindingkan beban hingga 50 kali berat badan mereka.

Kota Cirebon terletak pada 641 LS 10833 BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat. Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah perbukitannya dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%). Kota Cirebon termasuk daerah iklim tropis, dengan suhu udara minimum rata-rata 22,3C dan maksimun rata-rata 33,0C dan banyaknya curah hujan 1.351 mm per tahun dengan hari hujan 86 hari. Kelembaban udara berkisar antara 48-93% dengan kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Januari-Maret dan angka terendah terjadi pada bulan Juni-Agustus. Musin hujan jatuh pada bulan Oktober-April, dan musim kemarau jatuh pada bulan Juni-September.
STASIUN IKLIM JATIWANGI (CIREBON) GARIS LINTANG: 7.4 LS DATA-DATA KLIMATOLOGI GARIS BUJUR: 110.4 BT TINGGI DPL: 28 M Bulan Tahun Tmin Tmax CH RH 9am RH 3pm 1 2008 23.5 30.2 375 94 73 2 2008 23.7 30.7 348 91 69 3 2008 23.9 30.9 274 91 71 4 2008 23.9 30.2 213 92 69 5 2008 23.4 31.9 59 92 59 6 2008 22 30.6 51 93 62 7 2008 21.8 30.4 13 92 58 8 2008 22.1 31.6 26 89 50 9 2008 22.4 33.1 23 89 43 10 2008 24.4 31.2 73 90 62 11 2008 24 30.5 166 92 70 12 2008 23.8 30.1 152 91 70 1 2009 23.4 30.3 226 92 70 2 2009 23.6 30.5 294 93 70 3 2009 23.7 30.9 296 94 80 4 2009 23.8 30.7 139 94 88 5 2009 23.7 31.6 86 88 64 6 2009 22.9 31.2 36 91 59 7 2009 22.6 31.2 24 90 56 8 2009 22.1 31.4 17 89 50 9 2009 24 32.5 18 87 54 10 2009 24.2 32.6 41 89 59 11 2009 24.1 29.8 125 93 77 12 2009 24 30.4 273 91 69 Tabel 1. Data iklim Stasiun Iklim Jatiwangi, Cirebon

Grafik 1. Kondisi iklim (Suhu rataan dan CH) wilayah Cirebon tahun 2008-2009

Sisyphus spinipes memiliki kisaran Indeks Suhu (TI) suhu optimum untuk hidup secara optimal 25-33oC. Sisyphus spinipes bersifat mortalitas pada suhu dasar 14oC dan suhu maksimum 38oC.
DV0 14 DV1 25 DV2 33 DV3 38 Tabel 2. Kisaran nilai Indeks Suhu (TI) Sisyphus spinipes

TI

14

25

33

38

Grafik 2. Kisaran nilai Indeks Suhu (TI) Sisyphus spinipes

Serangga dapat diperkirakan tingkat populasinya menggunakan permodelan Climex dengan variabel iklim seperti suhu, kelembaban, dan curah hujan. Variabel iklim tersebut akan menghasilkan Indeks Ekoklimatik (EI) dimana nilai EI berkisar 0100. Semakin besar nilai EI maka akan semakin berpotensi serangga meningkatkan populasinya hingga jumlah optimum.

Tabel 3. Nilai Indeks Ekoklimatik Sisyphus spinipes di Cirebon

Tabel 4. Batasan nilai EI

Sisyphus spinipes memiliki Indeks Ekoklimatik (EI) pada tahun 2008 sebesar 70 dan
tahun 2009 sebesar 66. Hal ini menunjukkan Sisyphus spinipes berpotensi cocok untuk

hidup dan berkembang biak pada wilayah Cirebon dengan tipe iklimnya. Namun perlu diketahui, permodelan Climex hanya melihat dari faktor iklim terhadap serangga. Iklim bukanlah satu-satunya faktor yang mengendalikan keberadaan serangga. Faktor lain yang menunjang keberadaan serangga diantaranya masih adanya tanaman inang dan sumber makanan bagi erangga tersebut. Selain itu, tidak lepas juga karena pengaruh manusia, terutama dalam melakukan teknik budidaya pertanian. Kumbang Dung memainkan peran luar biasa di bidang pertanian. Dengan mengubur dan memakan kotoran, mereka memperbaiki daur ulang hara dan struktur tanah. Mereka juga melindungi ternak, seperti sapi, dengan membuang kotoran yang jika dibiarkan bisa memberikan habitat bagi hama seperti lalat penyebar penyakit. Oleh karena itu, banyak negara telah memperkenalkan makhluk ini untuk kepentingan peternakan. Di negara-negara berkembang, kumbang ini sangat penting sebagai tambahan untuk meningkatkan standar kebersihan. American Institute of Biological

Sciences melaporakn bahwa kumbang kotoran membantu penghematan industri peternakan Amerika Serikat mencapai US $ 380 juta per tahun melalui pembersihan kotoran ternak di atas tanah. Di China, kumbang kotoran, disebut 'Qianglang', digunakan dalam pengobatan herbal Cina. Hal ini dicatat di bagian "Serangga" dari Compendium Materia Medica, di mana dianjurkan untuk membantu penyembuhan sekitar 10 penyakit. Keberadaan kumbang tinja erat kaitannya dengan satwa, karena ia sangat tergantung kepada tinja satwa sebagai sumber pakan dan substrat untuk melakukaan reproduksinya. Kumbang tinja scarabaeids merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan tropis (Davis, 1993; Hanskin and Cambefort, 1991; Hanskin and Krikken, 1991). Kumbang tinja di hutan dapat berfungsi sebagai pedegradasi materi organik yang berupa tinja satwa liar terutama mamalia, dan kadang-kadang burung dan reptil. Tinja diuraikan oleh kumbang menjadi partikel dan senyawa sederhana dalam proses yang dikenal dengan daur ulang unsur hara atau siklus hara. Peran lain dari kumbang tinja di alam adalah sebagai penyebar pupuk alam, membantu aerasi tanah, pengontrol parasit (Thomas, 2001), dan penyerbuk bunga Araceae (Sakai and Inoue, 1999). Oleh karena fungsinya yang sangat penting dalam ekosistem, maka Primark (1998) menyatakan bahwa kumbang tinja merupakan jenis kunci (keystone species) pada suatu ekosistem.

Daftar Pustaka Borror DJ, Triplehorn CA and Johnson NF. 1992. Introduce to Entomology. Diterjemahkan oleh S. Partosoedjono. Edisi ke-6. UGM Press. Hanskins I and Cambefort Y (Eds.). 1991. Dung Beetle Ecology. Princeton University Press. Krikken J. 1989. Scarabaeid Dung and Carrion Beetle (Coleoptera: Scarabaeidae) and Their Ecological Significance. Petunjuk Identifikasi Kumbang Scarabaeidae. Sulawesi Tengah. Maguran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton University Press. New Jersey.

Sakai S and Inoue T. 1999. A new pollination system: dung-beetle pollination discovered in Orchidantha inouei (Lowiaceae, Zingiberales) Sarawak, Malaysia. American Journal of Botany 86 (1), 56-61. Thomas ML. 2001. Dung Beetle Benefits in The Pasture Ecosystem. ATTRA (Appropriate Technology Transfer for Rural Area) articles. 9 Hlm.

Anda mungkin juga menyukai