NIM : 21/482602/KT/09717 Tugas : Kehutanan sosial Kehutanan di Indonesia sudah diatur melalui hukum kehutanan yang berlaku. Terkait dengan regulasi hukum kehutanan, pemerintah sedang menggulirkan program secara besar tentang reformasi agraria dalam rangka mewujudkan pemerataan dan pembangunan yang berbasis keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (KLHK, 2018). Salah satu progam pada bidang kehutanan yang dimiliki oleh pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan yang berbasis keadilan bagi rakyat Indonesia adalah program perhutanan sosial. Perhutanan sosial merupakan perwujudan dari Nawacita Presiden yang ketujuh yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik (Marroli, 2019). Perhutanan sosial bertujuan untuk pemerataan sektor ekonomi dalam masyarakat dan untuk mengurangi adanya ketimpangan di sektor ekonomi, yang diusahakan melalui tiga pilar yaitu lahan, pemberian kesempatan usaha, dan sumber daya manusia. Program perhutanan sosial ini memberikan akses yang legal kepada masyarakat desa di sekitar hutan untuk mengakses hutan di kawasan hutan negara melalui mekanisme penerbitan perizinan yang diterbitkan oleh menteri dalam bentuk surat keputusan (SK). Dasar hukum pelaksanaan program Perhutanan Sosial (PS) adalah Pasal 2 Undang- Undang Kehutanan Nomor 1 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa kegiatan kehutanan harus memenuhi asas manfaat dan lestari, asas demokrasi, asas keadilan, asas unifikasi, asas terbuka, dan asas integrasi. Pasal (1) Undang-Undang Kehutanan No. 1 Tahun 1999 mengatur bahwa hutan dan kekayaan alam yang dimilikinya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Pasal 21b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 mengatur bahwa pemanfaatan hutan ditujukan untuk mencapai manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara merata dengan tetap menjaga kelestariannya. Dari berbagai peraturan tersebut, pengelolaan sumber daya hutan harus didasarkan pada manfaat sebesar- besarnya bagi kesejahteraan masyarakat pemukiman atau masyarakat desa sekitar hutan. Kebijakan perhutanan sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut (Moeliono, Thuy, Bong, Wong dan Brockhaus, 2017): a. Mengurangi kemiskinan masyarakat yang bergantung pada sumber daya hutan. b. Memberikan akses yang aman dalam bentuk pengelolaan legal atau kepemilikan sumber daya dan manfaat yang dikelola melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitas pengelolaan hutan. c. Memperbaiki kondisi hutan. Salah satu model pengelolaan hutan kemasyarakatan yang populer adalah pengelolaan hutan rakyat (PHBM). Program ini merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kolaboratif yang menciptakan sinergi antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan. Program PHBM dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Komisi Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (Wahanisa, 2015). Upaya ini mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Sumber daya manusia merupakan faktor utama dalam permasalahan yang muncul dalam program PHBM. Perbedaan pendapat dan pemahaman antara Perum Perhutani dengan masyarakat menimbulkan permasalahan yang mempengaruhi keberhasilan program. Satu dekade lalu, muncul program perhutanan sosial yang merupakan terjemahan dari janji politik Presiden Joko Widodo dalam Nawacita, yang kemudian dimasukkan ke dalam program land reform dan strategi pembangunan Indonesia dari pinggiran, dimulai dari daerah dan desa. Agenda selanjutnya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) terkait perhutanan sosial dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2017 tentang perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 mengatur tentang praktik umum perhutanan sosial di seluruh kawasan hutan pemerintah, baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa, dengan bab Program Pengakuan dan Perlindungan kemitraan kehutanan (KULIN KK). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39/2017 secara khusus mengatur pelaksanaan perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani, dengan skema perizinan pemanfaatan perhutanan sosial (IPHPS). Kedua peraturan ini dicabut dengan berlakunya UU Cipta Kerja. Sebagai gantinya, pemerintah sedang menyiapkan peraturan menteri tentang pengelolaan hutan sosial. Riset dilakukan sebelum perubahan kebijakan. Pada ranah praktik, perhutanan sosial dalam wujud kemitraan kehutanan dibagi menjadi dua skema (KLKH, 2019), yaitu melalui skema Kulin KK (Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan) dan IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanaan Sosial). Implementasi program perhutanan sosial di Jawa Timur dalam rentang waktu dua tahun, ada satu desa di Kecamatan Senduro yang mendapatkan izin pemanfaatan kawasan hutan, yakni LMDH Wonolestari yang mendapat izin perhutanan sosial melalui skema Kulin KK (KLKH, 2019). Adapun luasan program perhutanan sosial tersebut adalah 940 ha. Selanjutnya BKPH Kraksaan, dengan daerah hutan jati ada di Desa Brani Wetan Kecamatan Maron melalui skema IPHPS kepada LMDH Sumber Rejeki yang mencapai 552 ha. Pelaksanaan program perhutanan sosial menghadapi sejumlah kendala. Beberapa kendala tersebut antara lain: a. Adanya penggarap non-petani b. Masalah luas lahan yang tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam keputusan dan kenyataan c. Masalah peruntukan lahan. Melalui kredit komersial rakyat (kur) kepada petani d. Masih adanya sengketa wilayah yang berarti pelaksanaan program perhutanan sosial belum dapat sepenuhnya bermanfaat bagi desa masyarakat sekitar hutan. Referensi
Moedy Agusti, T., dkk. 2019. IMPLEMENTASI REGULASI PERHUTANAN SOSIAL YANG
BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, 4(2).
Supriyanto, H., dkk. 2021. IMPLEMENTASI PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA