Vegetasi
Vegetasi
net/publication/312920535
CITATIONS READS
12 40,666
1 author:
Cecep Kusmana
Bogor Agricultural University
178 PUBLICATIONS 1,261 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Cecep Kusmana on 26 January 2017.
Dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang ekologi hutan seperti halnya pada bidang-
bidang ilmu lainnya yang bersangkut paut dengan sumberdaya alam dikenal dua jenis/tipe
pengukuran untuk mendapatkan informasi/data yang diinginkan. Kedua jenis pengukuran
tersebut adalah pengukuran yang bersifat merusak (destructive measures) dan pengukuran
yang bersifat tidak merusak (non-destructive measures). Untuk keperluan penelitian agar
hasil datanya dapat dianggap sah (valid) secara statistika, penggunaan kedua jenis
pengukuran tersebut mutlak harus menggunakan satuan contoh (sampling unit), apalagi bagi
seorang peneliti yang mengambil objek hutan dengan cakupan areal yang luas. Dengan
sampling, seorang peneliti/surveyor dapat memperoleh informasi/data yang diinginkan lebih
cepat dan lebih teliti dengan biaya dan tenaga lebih sedikit bila dibandingkan dengan
inventarisasi penuh (metode sensus) pada anggota suatu populasi.
Supaya data penelitian yang akan diperoleh bersifat valid, maka sebelum melakukan
penelitian dengan metode sampling kita harus menentukan terlebih dahulu tentang metode
sampling yang akan digunakan, jumlah, ukuran, dan peletakan satuan-satuan unit contoh.
Pemilihan metode sampling yang akan digunakan bergantung pada keadaan morfologi jenis
tumbuhan dan penyebarannya, tujuan penelitian dan biaya, serta tenaga yang tersedia.
Bentuk unit sampling dalam survey vegetasi dapat berupa kuadrat, garis, dan titik.
Pengertian kuadrat adalah suatu satuan contoh yang tidak begitu luas yang dinyatakan dalam
satuan kuadrat dan berbentuk bujursangkar (persegi), empat persegi panjang, lingkaran atau
segitiga. Sedangkan yang dimaksud dengan jalur adalah kuadrat berbentuk empat persegi
panjang, dimana panjangnya beberapa kali lebarnya. Umumnya survey vegetasi
menggunakan unit sampling berbentuk kuadrat ini.
Berhubung ilmu ekologi hutan lebih menitikberatkan pada komposisi jenis vegetasi,
maka ukuran petak contoh yang akan dibuat harus bersifat mewakili keadaan vegetasi pada
areal yang akan diteliti, terutama kalau kita akan membuat satu petak contoh. Untuk
mengetahui hal ini, maka dalam ilmu ekologi hutan ada suatu teknik untuk menentukan
luasan petak contoh terkecil yang dianggap mencakup/mewakili keadaan habitat dari suatu
tipe komunitas/tegakan, yang disebut dengan metode species-area curve. Prosedur teknik
pembuatan species-area curve ini adalah sebagai berikut:
(a) Pilih bentuk petak contoh berukuran minimal yang akan dibuat, kuadrat atau
lingkaran, tetapi umumnya petak contoh yang digunakan adalah berbentuk kuadrat.
(b) Letakkan sebuah petak contoh berukuran persegi (misal 1 x 1 m2) atau lingkaran
berukuran luas 0,56 m2, kita namakan petak contoh ini sebagai P1, pada komunitas
vegetasi/tegakan hutan yang akan kita teliti. Catat jumlah jenis yang berbeda dalam
petak contoh (P1) tersebut.
(c) Perluas P1 dua kali, kita namakan petak contoh yang baru ini dengan P2 (luas P2 =
2 x luas P1). Catat semua jenis dalam P2 ini.
(d) Perluas petak contoh sebanyak dua kali lipat petak contoh sebelumnya dan
pencatatan kumulatif semua jenis dari petak-petak contoh terebut dihentikan bila
kenaikan jumlah jenis yang diperoleh tidak berarti.
(e) Buat sistem koordinat (x,y), dimana luas petak contoh sebagai absis (sumbu-x) dan
jumlah jenis sebagai ordinat (sumbu-y).
(f) Menentukan kriteria dan ukuran petak contoh minimal. Dalam hal ini ada beberapa
kriteria dari para ekolog yang dapat digunakan untuk menentukan luasan petak
contoh minimal tersebut, yaitu:
(f.1) Kriteria dari Cain (1938)
Cain menyarankan ukuran minimal petak contoh ditentukan pada suatu luasan
dimana 10% dari luas total petak contoh menghasilkan hanya 10% jumlah spesies
dari jumlah total spesies yang tercatat. Caranya adalah: pertama, tentukan titik
koordinat (x,y) dimana x = 10% x luas total petak contoh, dan y = 10% x jumlah
kumulatif jenis yang dicatat; kedua, buat sebuah garis yang menghubungkan titik
tersebut dengan titik koordinat (0,0); ketiga, buat sebuah garis sejajar terhadap
garis yang pertama tersebut yang menyinggung secara tangensial terhadap species-
area curve. Kemudian titik singgung ini diproyeksikan pada sumbu x, sehingga
didapatkan ukuran minimal petak contoh. Tetapi, untuk pendugaan ukuran minimal
petak contoh yang bersifat konservatif sebaiknya digunakan kriteria 10%
peningkatan ukuran petak contoh menyebabkan hanya peningkatan 5% jumlah
jenis. Titik ini dapat dicari dengan cara membuat sebuah garis yang melalui titik
koordinat (0,0) dengan sebuah titik koordinat (x,y) dimana x = 100% dari ukuran
total petak contoh dan y = 50% dari jumlah total jenis tercatat. Kemudian sebuah
titik singgung antara sebuah garis sejajar dengan garis tersebut dan species-area
curve diproyeksikan pada sumbu-x untuk memperoleh ukuran minimal petak
contoh.
(f.2) Kriteria dari Rice dan Kelting (1955)
Pada dasarnya dalam kriteria ini terdapat suatu standar dari jumlah jenis yang
diharapkan dicakup oleh petak contoh misalnya, kita mengharapkan petak contoh
yang akan digunakan mencakup 95% dari maksimum jumlah spesies yang tercatat
dalam petak contoh terbesar yang telah digunakan untuk pembuatan species-area
curve. Caranya adalah: pertama, tentukan d spesies sebanyak jumlah total spesies
yang dicatat dikurangi 5% dari jumlah total spesies tersebut, misalnya kita
mendapatkan nilai n spesies; kedua, buat sebuah garis sejajar sumbu-y, sehingga
garis tersebut memotong species-area curve pada sebuah titik. Kemudian titik
perpotongan ini diproyeksikan pada sumbu-x untuk mendapatkan ukuran minimal
petak contoh.
Untuk memperjelas keterangan di atas, di bawah ini disajikan suatu contoh penentuan
suatu ukuran minimal petak contoh dalam suatu survey vegetasi seperti di bawah ini.
Misalnya suatu pembuatan petak contoh secara nested sampling memberikan data
seperti tertera pada Tabel 1.1.
Petak-petak contoh tersebut didesain secara nested-plot sampling seperti pada Gambar
1.1.
Gambar 1.1. Peletakan petak contoh secara nested-plot sampling dalam suatu proses
pembuatan species-area curve
Untuk menentukan luasan petak contoh terkecil yang dapat mewakili keadaan
komunitas tumbuhan dibuat species-area curve seperti pada Gambar 1.2.
Ada suatu aturan umum dalam menentukan jumlah unit sampling yaitu “semakin
banyak semakin bagus”. Aturan ini bisa diterima kalau biaya dan tenaga tidak merupakan
faktor pembatas dalam penelitian. Karena semua proyek dibatasi oleh sejumlah biaya
tertentu, maka kita harus menentukan jumlah dan ukuran unit sampling yang cukup mewakili
keadaan populasi. Dalam ilmu ekologi hutan, suatu alternatif untuk menentukan jumlah unit
sampling berukuran tetap tertentu bisa diperoleh dengan memplotkan running mean atau
varian (keragaman antar kuadrat) sebagai ordinat dan jumlah kuadrat sebagai absis (Gambar
1.3). Kemudia jumlah kuadrat minimal diperkirakan pada suatu titik dimana fluktuasi varian
atau running mean relatif stabil.
Pada dasarnya ada dua kategori desain sampling yang umum digunakan, yaitu
probability sampling (penarikan contoh berpeluang) dan non-random sampling (penarikan
contoh tidak acak) seperti akan dijelaskan secara global di bawah ini. Pembahasan sampling
secara rinci bukanlah tujuan dari penyusunan buku ini. Oleh karena itu, bagi pembaca yang
berminat memperdalam teori sampling dianjurkan membaca buku-buku teori sampling yang
sudah tersedia.
Xi
i 1
a. X =
n n
Xi 2 ( Xi ) 2
i 1 i 1
b. S2 = ( )
, maka S = √ S 2
2
S
c. S x =2
( ), untuk populasi terbatas
2
2 S
S x = , untuk populasi tak terbatas
sehingga S x = √ S x
2
^
d. X = N. X
e. C =
X
dimana:
n = jumlah satuan contoh yang dipilih
N = jumlah satuan contoh dalam populasi
Xi = nilai besaran X (density, volume, dll.) yang diukur dalam satuan contoh ke-i
X = rata-rata nilai X persatuan contoh (sebagai dugaan dari rata-rata populasi)
S = standar deviasi dari contoh
Apabila kita berhadapan dengan suatu hutan yang heterogen, maka metode sampling
acak sederhana tidaklah tepat digunakan, tetapi peranan metode sampling lain stratified
random sampling, akan memberikan informasi yang lebih akurat. Dalam metode sampling ini
areal hutan yang beragam tersebut dapat dibagi-bagi ke dalam bagian-bagian yang disebut
strata yang dapat meningkatkan ketepatan dari pendugaan nilai parameter populasi. Beberapa
keuntungan dari penerapan stratified random sampling bila dibandingkan dengan simple
random sampling adalah:
(1). Pendugaan nilai rata-rata dan keragaman dapat dilakukan untuk setiap strata.
(2). Untuk suatu intensitas sampling tertentu stratifikasi sering memberikan hasil dugaan
yang lebih tepat terhadap parameter populasi daripada simple random sampling dengan
ukuran contoh yang sama. Hal ini dapat terjadi bila keragaman satuan contoh dalam
strata lebih kecil dibandingkan dengan keragaman untuk populasi secara keseluruhan.
Sebaliknya metode sampling ini juga mempunyai kelemahan, yaitu bahwa ukuran dari
setiap strata harus diketahui atau paling tidak perkiraan kadar dari luasan stratum tersebut
harus tersedia. Kemudian satuan-satuan contoh harus dipilih dari setiap stratum secara acak
agar pendugaan nilai parameter stratum dapat diperoleh.
Penerapan metode sampling ini dalam kehutanan dapatlah dilakukan dengan cara
membagi-bagi areal hutan ke dalam beberapa stratum berdasarkan keadaan topografi, tipe
hutan, kelas kerapatan, volume, tinggi, umur atau bonita/site index. Apabila memungkinkan
dasar dari startifikasi tersebut sebaiknya dilakukan berdasarkan parameter yang sama dengan
metode sampling tersebut. Misalnya bila kita akan menduga volume kayu per unit luasan
areal hutan, maka areal hutan juga sebaiknya dibagi-bagi/distratifikasi berdasarkan kelas
volume. Dengan demikian potret udara adalah sarana yang penting untuk proses stratifikasi
areal hutan tersebut.
Hutan dapat dibagi ke dalam stratum-stratum dengan luas yang berbeda, bentuknya tak
beraturan dan kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, stratifikasi mengizinkan
intensitas sampling dan ketepatan yang bervariasi diantara stratum-stratum yang dibuat.
Dalam kenyataannya mungkin seorang peneliti terpaksa melakukan stratifikasi secara bebas
bila menghadapi objek hutan belantara yang luas dengan keterbatasan-keterbatasan kriteria
untuk melakukan pembagian areal hutan ke dalam stratum-stratum, tidak tersedianya peta dan
potret udara atau bila interpretasi foto udara memberikan sedikit parameter untuk melakukan
stratifikasi. Kalau menghadapi kasus tersebut, areal hutan dapat distratifikasi ke dalam plot-
plot (bujur sangkar atau empat persegi panjang) dengan ukuran yang seragam, walaupun kita
menyadari bahwa kemungkinan besar stratum-stratum yang dihasilkan mengandung sub-
populasi yang tidak homogen. Hal ini bersifat logik dengan anggapan bahwa homogenitas
dalam blok-blok yang berukuran lebih kecil akan lebih besar daripada luas hutan secara
keseluruhan.
Data yang diperoleh dengan metode sampling ini harus dianalisis dengan rumus-rumus
seperti di bawah ini (dengan asumsi semua satuan contoh mempunyai ukuran/luas yang
seragam), yaitu:
n
Xij
i 1
a. X =
j
NjXj
i 1
b. X = =∑ Pj Xj
^ M ^
c. X = Nj
j1
X j sehingga X =N X
2 2
M
Nj nj
Nj Sj
2
d. S x = * +,
Nj
2
j1 nj
N
tetapi bila populasi terdiri atas strata yang berukuran besar (populasi tidak terbatas),
dimana faktor korelasi populasi terbatas memberikan nilai tak berarti, maka pendugaan
keragaman rata-rata dilakukan dengan rumus:
2
M
Sj
a. S x = 2
P j( 2
)
j1 nj
2 2
b. Sx = N2 S x
dimana:
M = jumlah strata dalam populasi
n = jumlah total satuan contoh yang dipilih dalam semua strata
nj = jumlah satuan contoh yang dipilih pada strata ke-j
N = jumlah total satuan contoh dalam populasi
Nj = jumlah total satuan contoh dalam stratum ke-j
Xij = nilai besaran X (volume, density, dll.) dalam satuan contoh terpilih ke-i dari
stratum ke-j
Dalam metode sampling ini, suatu populasi terdiri atas satuan daftar satuan-satuan
contoh primer (primary stage), dimana setiap satuan contoh primer ini terdiri atas satuan-
satuan contoh sekunder dengan ukuran lebih kecil (second stage) yang tersusun oleh satuan-
satuan contoh yang lebih kecil lagi (third stage) dan seterusnya sampai pada suatu tahap yang
sesuai dengan keinginan peneliti. Pemilihan contoh primer secara acak harus dilakukan dari
kumpulan satuan contoh primer dari suatu populasi. Begitu pula pemilihan satuan contoh
sekunder dari setiap satuan contoh primer yang terpilih, prosedur ini dilanjutkan sampai tahap
yang diinginkan.
Penarikan contoh dua tingkat (two-stage sampling), yang umum digunakan oleh
peneliti/surveyor, mencerminkan penarikan contoh sampai tahap secondary stage. Sebagai
contoh, suatu areal hutan yang akan kita survey terdiri atas beberapa petak, dimana petak-
petak ini dapat kita anggap sebagai satuan-satuan contoh primer. Kemudian plot-plot contoh
yang dipilih dari petak-petak yang terpilih (satuan-satuan contoh primer terpilih) dapat
dianggap sebagai satuan-satuan contoh sekunder yang terpilih.
Multistage sampling ini mempunyai keuntungan mengenai pengkonsentrasian
pekerjaan pengukuran yang dekat dengan lokasi satuan contoh primer yang terpilih daripada
penempatan satuan-satuan contoh tersebut secara tersebar di seluruh areal hutan. Hal ini akan
lebih terasa manfaatnya bila adanya kesukaran dan pengeluaran biaya yang cukup besar
untuk menempatkan dan mencapai satuan contoh yang terakhir, sebaliknya mudah dan murah
untuk memilih dan mencapai satuan contoh primer, misal petak-petak dalam hutan, dengan
peluang yang proporsional terhadap ukuran/luasnya, kemudian memilih satuan contoh
sekunder secara acak.
Untuk lebih memahami metode sampling ini, berikut ini akan disajikan alasan dan
rumus-rumus perhitungan dari two-satge sampling yang merupakan salah satu jenis
multistage sampling yang banyak digunakan oleh para peneliti.
Dalam two-stage sampling m satuan contoh dipilih dari M satuan contoh primer dari
suatu populasi sebagai tahap pertama. Kemudian dari setiap m satuan contoh terpilih,
sebanyak n satuan contoh sekunder dipilih dari suatu populasi yang tediri atas N satuan
contoh primer dipilih, maka kita berarti menggunakan stratified random sampling. Terdapat
tiga kasus umum yang biasa dilakukan dengan two-stage sampling, adalah:
(1). Semua satuan contoh primer dengan ukuran yang sama mengandung jumlah yang sama
dari satuan contoh sekunder berukuran seragam;
(2). Satuan-satuan contoh primer berukuran tidak sama mengandung jumlah yang bervariasi
dari satuan contoh sekunder berukuran seragam; dan
(3). Satuan-satuan contoh primer yang berukuran tidak sama mengandung jumlah yang
bervariasi dari satuan-satuan contoh sekunder dari berbagai ukuran.
Untuk menyelesaikan kasus ke-2 dan ke-3, penulis anjurkan pembaca dapat membaca
buku teori sampling karangan Cochran (1977). Jadi, hanya kasus pertama saja yang akan
disajikan rumus-rumus analisis datanya seperti berikut ini:
m n
1
(1) X =
mn
Xij
j1 i 1
m s2 B mn S2 w
(2) S = 1
2
+ 1
M m M N mn
x
m
Xij
n
Xij
j1 i 1
2 m n
j1 i 1
2
n nm
SB
2
m 1
2
n
Xij
m
j1
m n
i 1
Xij
j1 i 1
2
n
S
2
m(n 1)
w
Bila jumlah satuan contoh primer sangat besar (infinite population), maka varian rata-
rata menjadi:
2 2
SB S W
s 2
x
m mn
^ N n
(3) Xj = Xij
n i 1
^ M m
X= Xij
m j1
S2x = M2 N2 S2x
dimana:
M = jumlah total satuan contoh primer dalam populasi
N = jumlah satuan contoh sekunder per satuan contoh primer dalam populasi (sama
untuk semua satuan contoh primer)
m = jumlah satuan contoh primer yang terpilih
n = jumlah satuan contoh sekunder yang dipilih per satuan contoh primer yang
terpilih
Xij = besaran X yang diukur (volume dll.) pada satuan contoh sekunder ke-i dalam
satuan primer ke-j
Xi = nilai dugaan dari rata-rata X untuk satuan contoh primer ke-i
Xj = nilai dugaan dari rata-rata X untuk satuan contoh primer ke-j
^
X = nilai dugaan dari total x untuk keseluruhan populasi
X = nilai dugaan dari rata-rata x untuk keseluruhan populasi
S2W = nilai dugaan varian dalam grup dari satuan-satuan contoh sekunder
Metode sampling ini merupakan suatu bentuk dari multiphase sampling yang terbatas
pada dua fase. Dalam double sampling pendugaan variable utama diperoleh dengan
memanfaatkan hubungan antara variabel utama tersebut dengan suatu variabel penunjang.
Metode ini adalah sangat berguna bila informasi untuk mengetahui variabel utama
memerlukan biaya yang mahal dan dari segi teknis cukup susah, sebaliknya variabel
pendukung dapat diperoleh secara lebih mudah dan murah. Dengan demikian tujuan utama
dari penerapan metode ini adalah untuk mengurangi jumlah pengukuran variabel utama yang
memerlukan biaya cukup besar tanpa mengorbankan ketepatan dari pendugaannya. Adapun
prosedur dari metode sampling ini adalah: fase pertama, sejumlah satuan contoh acak yang
cukup banyak diambil untuk memperoleh informasi mengenai variabel pendukung X yang
akan memberikan ketepatan yang lebih baik terhadap pendugaan nilai rata-rata atau total dari
populasi; dan fase kedua, sejumlah sub-satuan contoh pertama, dimana pada sub-satuan-
satuan contoh ini pengukuran-pengukuran dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai
variabel utama Y. Harus diingat bahwa fase pertama dan kedua merupakan suatu
ketergantungan yang menguntungkan, karena pengukuran-pengukuran pada fase kedua
diambil dari sebagian satuan-satuan contoh yang telah dipilih dalam fase pertama. Dengan
demikian kita mempunyai suatu ukuran contoh yang lebih kecil, dimana baik variabel utama
(Y) maupun variabel pendukung (X) dapat diukur. Dengan menggunakan data tersebut,
maka suatu regresi dapat dibuat antar kedua variabel tersebut untuk membuat dugaan dari
nilai rata-rata dan total dari variabel utama. Hubungan antara variabel X dan Y bisa
mengikuti beberapa bentuk, baik linier maupun non-linier. Sebagai ilustrasi di bawah ini
disajikan suatu contoh hubungan linier sederhana antara kedua variabel tersebut. Dalam
double sampling ini, nilai dugaan terkoreksi dapat diperoleh dari persamaan regresi sebagai
berikut:
Y reg = Y s + b ( X 1 - X s)
dimana:
Y reg = dugaan regresi dari rata-rata y (variabel utama) dari double sampling
(X X )(Y Y )
i 1
i s i s
b=
X X
m 2
i s
i 1
m
1 m m
Xi.Yi
i 1
Xi Yi
m i 1 i 1
= m 2
1
m
Xi Xi
2
i 1 m i 1
dimana:
Xi = nilai besaran X (volume, kerapatan, dll.) pada satuan contoh ke-i pada fase
kedua (satuan contoh kecil)
Yi = nilai besaran Y (volume, kerapatan, dll.) pada satuan contoh ke-i pada fase
pertama (satuan contoh besar)
S . y.x S . y.x Xi Xs
2
2 2
.1 m S . y 1 n
2
m
2
S y reg =
m n n N
2
X i Xs
j 1
dimana N = jumlah total satuan contoh pada fase pertama (satuan contoh besar). Besaran
n
1 adalah faktor koreksi untuk populasi terbatas tetapi kalau untuk populasi yang tak
N
terbatas atau n adalah realtif lebih kecil dibandingkan N, maka faktor koreksi tersebut
dihilangkan.
yi ys
m m
b2 Xi Xs
2 2
2 i 1 i 1
S y.x =
m2
m m Yi
m 2
Yi Ys Yi
2
2
i 1
i 1 i 1 m
2
S y=
m 1 m 1
Sebagai contoh penerapan metode sampling ini dalam bidang kehutanan adalah
pengkombinasian antara penggunaan foto udara dan pembuatan plot contoh di lapangan
untuk menduga suatu parameter (misal: volume tegakan). Sebagai tahap pertama dilakukan
pendugaan volume memakai sarana foto udara dengan jumlah satuan contoh yang cukup
banyak (karena lebih murah) melalui interpretasi foto dan teknik-teknik pengukuran. Dengan
demikian kita dapat memperoleh nilai dugaan volume per unit areal dari hasil interpretasi
foto udara, yang kita anggap sebagai variabel pendukung X. Pada fase kedua, beberapa
satuan contoh yang lebih kecil ukurannya dipilih dan dikurangi di lapangan untuk
pengukuran volume secara langsung di lapangan. Dengan demikian nilai dugaan volume per
unit areal dapat diperoleh melalui pembuatan plot contoh di lapangan, yang kita anggap
sebagai variabel utama (Y). Tahap selanjutnya adalah membuat regresi antara besaran
volume berdasarkan plot contoh di foto udara (X) dan volume berdasarkan plot contoh di
lapangan (Y). Dengan demikian kita bisa mengoreksi melalui pembuatan plot-plot contoh
yang banyak dan murah yang dilakukan pada fase pertama dari double sampling.
Pada selective sampling ini seorang peneliti memilih/meletakkan plot-plot contoh yang
berdasarkan pengamatannya dapat mewakili populasi yang akan diduga parameternya.
Metode sampling ini bisa memberikan nilai pendugaan yang mendekati parameter-parameter
populasi, tetapi sebaiknya metode ini tidak diterapkan dalam kegiatan penelitian. Alasannya
adalah bahwa nilai pendugaan parameter populasi yang dihasilkan akan bias, karena pendapat
seseorang mungkin berbeda dengan pendapat orang lain, sehingga tidak bersifat objektif.
Selain itu, pemilihan plot contoh dalam metode ini tidak akan menghasilkan nilai dugaan
yang bersifat realitas, karena teori peluang diterapkan berdasarkan law of chance.
Dalam metode sampling ini, satuan-satuan contoh diletakkan pada interval jarak yang
sama pada seluruh areal populasi. Metode ini banyak diterapkan di bidang kehutanan,
terutama oleh para ahli ekologi hutan, karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:
(1) Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total parameter
populasi, karena satuan-satuan contoh diletakkan menyeluruh pada populasi;
(2) Dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan murah bila dibandingkan dengan penerapan
metode sampling berpeluang, karena pengurangan waktu/biaya yang diperlukan untuk
proses pemilihan acak dari satuan-satuan contoh;
(3) Perjalanan (penjelajahan) antara satuan-satuan contoh yang berurutan adalah lebih mudah,
karena adanya arah rintis yang tetap. Hal ini mengakibatkan waktu penjelajahan yang
selalu lebih sedikit daripada waktu yang diperlukan untuk penempatan satuan-satuan
contoh secara acak;
(4) Ukuran populasi tidak perlu diketahui selama satuan-satuan contoh diletakan pada jarak
yang beraturan setelah satuan contoh pertama ditentukan; dan
(5) Keuntungan lainnya adalah pemetaan areal dapat dilakukan sekaligus di lapangan selama
setiap bagian lapangan dijelajahi melalui sistem pola grid.
Selama satuan-satuan contoh ditempatkan pada interval jarak yang beraturan, maka
akan diperoleh suatu set plot contoh yang dapat dibuat. Nilai rata-rata dari plot-plot contoh
beraturan tidak akan bias, bila proses pemilihan secara acak dilakukan dalam sampling.
Satuan-satuannya proses pengacakan yang mungkin dilakukan adalah pemilihan satu dari
sejumlah set dari plot-plot contoh secara beraturan. Suatu set dari plot contoh yang dipilih
akan bergantung pada pemilihan plot contoh pertama dalam populasi. Plot contoh pertama
dapat dipilih secara acak dari sejumlah plot-plot contoh dalam populasi atau dapat pula secara
acak dipilih dari k unit satuan contoh yang pertama dalam populasi, dimana sekali plot
contoh yang pertama sudah kita pilih, maka plot-plot contoh selanjutnya harus dipilih pada
interval jarak k.
Dalam populasi biologi, misalnya hutan, komponen-komponen populasi jarang yang
tersusun secara diskret (secara terpisah) satu sama lain, tetapi memperlihatkan suatu variasi
yang beraturan dari suatu tempat ke tempat lain. Bila satuan contoh dipilih secara beraturan,
maka beragam dari nilai-nilai yang diamati tidak lagi diperoleh dari sistematik tersebut,
karena jarak antara satuan-satuan contoh berimpit dengan pola variasi populasi. Semakin luas
areal hutan yang akan diteliti, besar variasi yang mungkin terjadi dan kita lebih
mengharapkan bahwa plot-plot contoh yang beraturan akan memberikan pendugaan
parameter populasi yang lebih dapat dipercaya daripada plot-plot contoh yang dipilih secara
random. Bahkan untuk populasi yang dibagi-bagi ke dalam strata, plot-plot contoh beraturan
kemungkinan besar akan menghasilkan nilai dugaan rata-rata populasi yang lebih baik bila
strata yang dibuat besar dan bervariasi. Karena homogenitas dari strata yang dibuat
cenderung meningkat, maka pendugaan parameter populasi yang diperoleh dari plot-plot
contoh beraturan dan acak akan semakin serupa.
Kedua cara prosedur pemilihan jalur contoh pertama ini akan menghasilkan
kemungkinan jumlah jalur contoh berukuran yang sama. Prosedur yang pertama akan
memberikan pendugaan yang tidak bias terhadap nilai rata-rata populasi, sedangkan prosedur
yang kedua mungkin memberikan sedikit bias pada hasil pendugaannya bila nilai N tidak
merupakan kelipatan dari k (tidak tepat dibagi k). Oleh krena itu, bila memungkinkan
sebaiknya prosedur pertama yang digunakan. Walaupun demikian, prosedur yang kedua
harus digunakan bila ukuran populasi tidak diketahui seperti halnya menghadapi suatu areal
hutan yang belum dibuat petanya. Dalam penerapan, penarikan contoh jalur ini, seorang
peneliti harus membuat sebuah garis dasar (base line) atau membuat suatu garis jejak,
kemudian jalur-jalur contoh yang lurus dengan arah azimut tertentu dibuat melalui garis dasar
tersebut dan berakhir pada garis jejak yang lainnya. Prosedur ini dapat dilakukan pada tipe
hutan yang berbeda, sehingga diperoleh pendugaan-pendugaan parameter hutan dari berbagai
tipe.
Dianjurkan jalur-jalur contoh dibuat secara tegak lurus terhadap sungai, selokan atau
saluran drainase alam lainnya agar jalur contoh tersebut dapat mencakup perubahan
komposisi vegetasi mulai dari sungai sampai pedalaman. Panjang jalur tergantung pada
keadaaJn lebar hutan, sedangkan lebar jalur biasanya berkisar antara 10-20 meter. Lebar jalur
dan jarak antara jalur menentukan intensitas atau persentase areal contoh dari total areal
hutan. Dengan demikian intensitas penarikan contoh jalur beraturan adalah:
P = (W/D) x 100%
dimana: P = intensitas sampling
W = lebar jalur
D = jarak antara jalur
Vi / n Vi
i 1 i 1
(a) r = n
= n
Xi
i 1
Xi
i 1
n
^
(b) V = X.r
(c) Bila luas areal diketahui tanpa sampling error, maka varian dari pendugaan total
besaran V adalah:
S2 v X 2S2 r
Tetapi bila total areal hutan diduga seluas X dan mempunyai sampling error, maka
varian menjadi:
NnS
2
S2 r = ; Sv X Sr r Sx
2 2 2 2 2
N n
n n n
Vi 2 Xi 2 2 ViXi
2
S2 r i 1 2 i 1 2 i 1
n 1 V X V.X
dimana:
Vi = kuantitas yang diukur (misal volume) pada satuan contoh ke-i
Xi = luas satuan contoh ke-i
V = rata-rata dari kuantitas V pada satuan-satuan contoh yang dipilih
X = rata-rata luas satuan contoh yang dipilih
r = nilai dugaan dari rata-rata kuantita V per luasan areal
Metode sampling ini hampir serupa dengan metode sampling jalur beraturan, dimana
dalam suatu populasi akan dipilih sejumlah plot contoh yang berjarak beraturan satu sama
lainnya. Pemilihan plot contoh pada interval setiap k buah plot dapat dilakukan analog seperti
dilakukan pada metode sampling jalur beraturan. Perbedaan hanyalah terletak pada areal
pemilihan plot dimana dalam metode sampling ini plot contoh dipilih dengan dua
arah/dimensi (kolom dan baris). Secara ringkasnya pemilihan plot contoh dilakukan dengan:
a. Tahap pertama pemilihan suatu bilangan secara acak yang berkisar antara 1 sampai
bilangan sebanyak kolom. Tahap kedua, prosedur yang sama dilakukan untuk baris.
Kedua bilangan terpilih tersebut menunjukkan koordinat dari titik contoh awal untuk
sample grid; dan
b. Bisa dimulai dari salah satu sudut batas hutan, pemilihan plot contoh secara acak
dilakukan pada k x k grid pertama. Plot-plot contoh berikutnya kemudian diambil
secara konsisten pada setiap interval k buah plot pada kedua arah (baris dan kolom).
Kalau kita berhadapan dengan areal hutan dengan bentuk yang tak terbatas, tahap
pertama yang harus dikerjakan dalam metode sampling ini adalah membuat batas khayalan
yang dapat mencakup seluruh areal populasi. Kemudian plot pertama dipilih pada salah satu
sudut areal hutan. Bila jumlah baris dan kolom tidak tepat dibagi dengan sampling interval,
maka ukuran plot contoh akan bervariasi tergantung pada lokasi plot contoh terpilih pertama
dan bentuk daripada batas areal yang dibuat.
Bila satuan contoh dipisahkan oleh suatu susuanan grid persegi (square grid), maka
perhitungan nilai-nilai pendugaan rata-rata, total populasi dan standar erornya dilakukan
seperti pada metode sampling acak sederhana. Tetapi, untuk alasan praktis di lapangan
pembuatan square grid tidak dilakukan, sehingga yang dibuat hanyalah garis-garis saja
dengan jarak tertentu antar garis. Apabila modifikasi ini dilakukan dengan plot berukuran
tetap, maka penarikan contoh ini disebut line-plot sampling (penarikan contoh garis
berpetak). Sejumlah distribusi line-plot dalam populasi dapat dipilih, dimana pemilihan line-
plot tersebut tergantung pada ukuran plot, jarak plot dalam garis, dan jarak antar garis.
Desain dari line-plot dapat didekati dengan rumus berikut ini:
AP
n
a
a
P
Dl.Dp
a
P
D2
dimana:
A = total areal hutan
P = proporsi areal hutan yang dipilih menjadi contoh (proporsi areal total contoh)
a = areal plot dalam satuan unit persegi dari Dl dan Dp
n = jumlah plot contoh
Dl = jarak antar garis dalam unit tertentu
Dp = jarak antar plot contoh dalam garis dalam satuan unit yang sama dengan Dl
D = jarak antar garis dan antar plot contoh untuk square-grid (Dl=Dp)
Contoh, untuk 10% proporsi areal contoh (intensitas sampling) dengan menggunakan
0,1 ha plot contoh dan jarak garis 50 m, maka jarak antar plot dalam garis (Dp) adalah:
a 1.000m 2
Dp 200m
Dl.P 50m 0.1
Sedangkan perhitungan jarak antar garis dan antar plot contoh dalam garis untuk square
grid (D) bila intensitas sampling 10% dan ukuran plot 0,1 ha adalah:
a 1.000m 2
D 10m
P 0.1
Untuk kepentingan deskripsi vegetasi ada tiga macam parameter kuantitatif vegetasi
yang sangat penting yang umumnya diukur dari suatu tipe komunitas tumbuhan yaitu:
Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan teretentu,
misalnya 100 individu/ha.
Dalam mengukur kerapatan biasanya muncul suatu masalah sehubungan dengan efek
tepi (side effect) dan life form (bentuk tumbuhan). Untuk mengukur kerapatan pohon atau
bentuk vegetasi lainnya yang mempunyai batang yang mudah dibedakan antara satu dengan
lainnya umumnya tidak menimbulkan kesukaran yang berarti. Tetapi, bagi tumbuhan yang
menjalar dengan tunas pada buku-bukunya dan berrhizoma (berakar rimpang) akan timbul
suatu kesukaran dalam perhitungan individunya. Untuk mengatasi hal ini, maka kita harus
membuat suatu kriteria tersendiri tentang pengertian individu dari tipe tumbuhan tersebut.
Masalah lain yang harus diatasi adalah efek tepi dari kuadrat sehubungan dengan
keberadaan sebagian suatu jenis tumbuhan yang berbeda di tepi kuadrat, sehingga kita harus
memutuskan apakah jenis tumbuhan tersebut dianggap berada dalam kuadrat atau di luar
kuadrat. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan perjanjian bahwa bila ≥ 50% dari
bagian tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat, maka dianggap tumbuhan tersebut berada
dalam kuadrat dan tentunya harus dihitung pengukuran kerapatannya.
2.2. Frekuensi
Frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis
tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya frekuensi dinyatakan dalam
besaran persentase. Misalnya jenis Avicennia marina (api-api) ditemukan dalam 50 petak
contoh dari 100 petak contoh yang dibuat, sehingga frekuensi jenis api-api tersebut adalah
50/100 x 100% = 50%. Jadi dalam penentuan frekuensi ini tidak ada counting, tetapi hanya
suatu perisalahan mengenai keberadaan suatu jenis saja.
Kelindungan adalah proporsi permukaan tanah yang ditutupi oleh proyeksi tajuk
tumbuhan. Oleh karena itu, kelindungan selalu dinyatakan dalam satuan persen. Misalnya,
jenis Rhizophora apiculata (bakau) mempunyai proyeksi tajuk seluas 10 m2 dalam suatu
petak contoh seluas 100 m2, maka kelindungan jenis bakau tersebut adalah 10/100 x 100% =
10%. Jumlah total kelindungan semua jenis tumbuhan dalam suatu komunitas tumbuhan
mungkin lebih dari 100%, karena sering proyeksi tajuk dari satu tumbuhan dengan tumbuhan
lainnya bertumpang tindih (overlapping). Sebagai pengganti dari luasan areal tajuk,
kelindungan bisa juga mengimplikasikan proyeksi basal areal pada suatu luasan permukaan
tanah. Untuk mengukur/menduga luasan tajuk dari vegetasi lapisan pohon, biasanya
dilakukan dengan menggunakan proyeksi tajuk dari pohon tersebut terhadap permukaan
tanah dan luasannya diukur dengan planimeter atau sistem dotgrid dengan kertas grafik. Cara
lain adalah dihitung dengan rumus:
D D2
2
CC 1
4
Basal area ini merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai oleh
tumbuhan. Untuk pohon, basal area diduga dengan mengukur diameter batang. Dalam hal ini,
pengukuran diameter umumnya dilakukan pada ketinggian 1.30 m dari permukaan tanah
(diameter setinggi dada atau diameter at breast height, DBH). Dalam pengukuran diameter
pohon setinggi dada terdapat beberapa ketentuan yang umumnya ditaati oleh para peneliti,
yaitu:
a. Bila pohon berada di lereng, diameter diukur pada ketinggian 4,5 kaki dari
permukaan tanah atau 1,3 m di atas permukaan tanah lereng sebelah atas pohon;
b. Bila pohon membentuk cabang tepat pada ketinggian 1,3 m dari tanah, maka
diameter diukur sedikit (di atas percabangan tersebut dan pohon tersebut dianggap
sebagai satu individu sepertinya halnya kalu percabangan terjadi di atas ketinggian
1,3 m di atas tanah). Tetapi bila percabangan terjadi di bawah 1,3 dari atas tanah,
maka masing-masing batang diukur diameternya setinggi dada serta batang-batang
tersebut dianggap sebagai individu masing-masing;
c. Bila pohon berakar papan atau berbentuk tidak normal tepat pada atau melebihi
setinggi dada, maka pengukuran diameter dilakukan di atas batas batang dari bentuk
tidak normal; dan
d. Sesuai dengan informasi yang diinginkan, diameter pohon yang diukur bisa
merupakan diameter di luar kulit pohon atau diameter dekat kulit pohon.
Dengan asumsi bahwa penampang melintang batang suatu pohon berbentuk lingkaran,
basal area dari pohon tersebut dihitung dengan rumus:
BA .R 2
1
= .D 2
4
dimana:
BA : basal area
R : jari-jari lingkaran dari penampang lintang batang
D : diameter batang pohon
Konsep basal area juga kadang-kadang diterapkan terhadap tumbuhan penutup tanah
seperti rumput, herba, dan semak. Dalam hal ini basal area diukur dari luasan areal pucuk dari
tumbuhan tersebut dalam suatu luasan petak contoh tertentu yang dibuat.
Selain kerapatan, frekuensi dan kelindungan (termasuk pengukuran diameter),
parameter kuantitatif lainnya yang biasa diukur adalah: tinggi pohon dan biomassa. Dalam
hal ini pengukuran tinggi pohon dalam penelitian ekologi hutan biasanya dilakukan terhadap
tinggi total dan tinggi bebas cabang. Tinggi total pohon adalah suatu jarak linier antara
permukaan tanah dengan titik tajuk (suatu titik tempat cabang pertama berada). Pengukuran
tinggi pohon di lapangan dapat dilakukan dengan Hypsometer, Abney Level, Haga Altimeter,
Blume-Leigg Altimeter, dan Suunto Clinometer. Sedangkan biomassa dapat diukur dalam
bentuk volume kayu seperti halnya dalam kegiatan inventarisasi hutan atau bisa juga melalui
pemanenan individu vegetasi, besarnya dinyatakan dalam berat basah, berat kering atau gram
kalori (ash free dry weight) per satuan luas areal tertentu. Beberapa kriteria struktural
berbentuk pertumbuhan juga dapat diukur yaitu ukuran daun, tebal kulit, dan lain-lain. Begitu
pula halnya dengan parameter produktivitas seperti produksi serasah, produksi biji, riap
tahunan diameter batang, dan lain-lain, dan parameter yang menggunakan tumbuhan secara
fungsional seperti ketahanan daun, reproduksi vegetasi, dan toleransi naungan. Parameter
vegetasi lain yang juga cukup penting diketahui adalah parameter fisiologi seperti kecepatan
transpirasi, kecepatan asimilasi bersih, keseimbangan air dalam tumbuh-tumbuhan, dan lain-
lain. Selain itu ada satu parameter vegetasi yang sangat penting dalam kaitannya dengan
kelindungan dan produktivitas yaitu leaf area indeks (indeks luasan daun). Indeks luasan
daun ini merupakan perbandingan antara total luasan daun dari suatu jenis pohon atau suatu
tegakan dalam satuan luas tertentu, dengan luasan permukaan tanah tertentu, misalnya LAI
(Leaf area index) dari jenis bakau dalam zona Bruguiera adalah 0,2 ha/ha atau misalnya LAI
dari tegakan hutan mangrove di Karawang adalah 3,9 ha/ha. Dalam hal ini hanya salah satu
permukaan daun yang diukur untuk mendapatkan LAI.
Dalam penelitian ekologi hutan, biasanya para peneliti ingin mengetahui jenis vegetasi
dominan yang memberikan ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan. Secara
kuantitatif, jenis vegetasi yang dominan dalam suatu komunitas ini dapat diketahui dengan
mengukur dominasi dari vegetasi tersebut. Ukuran dominasi ini dapat dinyatakan dengan
beberapa parameter, yaitu:
a. Biomassa dan volume dimana jenis tumbuhan yang dominan akan mempunyai
biomassa dan volume lebih besar dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya;
b. Kelindungan (cover) dan luas basal area;
c. Indeks Nilai Penting (INP). Biasanya indeks ini dihitung dengan menjumlahkan
nilai Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), dan Dominansi Relatif (DR).
Tetapi, untuk vegetasi yang besaran, parameter dominansinya tidak diukur (misal,
dalam kasus pengukuran tingkat semai), maka INP bisa diperoleh dengan
menjumlahkan KR dan FR saja; dan
d. SDR (Summed Dominance Ratio) atau perbandingan nilai penting. Besaran ini
diperoleh dengan cara membagi indeks nilai penting dengan jumlah macam
parameter yang digunakan.
Dengan ilmu ekologi kuantitatif, pengukuran/pendugaan parameter-parameter vegetasi
tersebut di atas biasa dilakukan oleh para peneliti. Tetapi, untuk tujuan deskripsi vegetasi
biasanya hanya nilai kerapatan. Sedangkan dalam bidang inventarisasi hutan, ada satu
parameter vegetasi lagi yang lazim diduga yaitu volume pohon berdiri per satuan unit luas
tertentu.
Penulis menyarankan sebelum memahami isi bab ini, pembaca memahami penjelasan
pada bab-bab sebelumnya.
Teknik sampling kuadrat ini merupakan suatu teknik survey vegetasi yang sering
digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan. Petak contoh yang dibuat dalam teknik
sampling ini bisa berupa petak tunggal atau beberapa petak. Petak tunggal mungkin akan
memberikan informasi yang baik bila komunitas vegetasi yang diteliti bersifat homogen.
Adapun petak-petak contoh yang dibuat dapat diletakkan secara random atau beraturan sesuai
dengan prinsip-prinsip teknik sampling yang telah dikemukakan di Bab terdahulu.
Bentuk petak contoh yang dibuat tergantung pada bentuk morfologis vegetasi dan
efisiensi sampling pola penyebarannya. Misalnya, untuk vegetasi rendah, petak contoh
berbentuk lingkaran lebih menguntungkan karena pembuatan petaknya dapat dilakukan
secara mudah dengan mengaitkan seutas tali pada titik pusat petak. Selain itu, petak contoh
berbentuk lingkaran akan memberikan kesalahan sampling yang lebih kecil daripada bentuk
petak lainnya, karena perbandingan panjang tepi dengan luasnya lebih kecil. Tetapi dari segi
pola distribusi vegetasi, petak berbentuk lingkaran ini kurang efisien dibanding bentuk
segiempat. Sehubungan dengan efisiensi sampling banyak studi yang dilakukan menunjukkan
bahwa petak bentuk segiempat memberikan data komposisi vegetasi yang lebih akurat
dibanding petak berbentuk bujur sangkar yang berukuran sama, terutama bila sumbu panjang
dari petak tersebut sejajar dengan arah perobahan keadaan lingkungan/habitat.
Untuk memudahkan perisalahan vegetasi dan pengukuran parameternya, petak contoh
biasanya dibagi-bagi ke dalam kuadrat-kuadrat berukuran lebih kecil. Ukuran kuadrat-kuadrat
tersebut disesuaikan dengan bentuk morfologis jenis dan lapisan distribusi vegetasi secara
vertikal (stratifikasi). Dalam hal ini Oosting (1956) menyarankan penggunaan kuadrat
berukuran 10 x 10 m untuk lapisan pohon, 4 x 4 m untuk lapisan vegetasi berkayu tingkat
bawah (undergrowth) sampai tinggi 3 m, dan 1 x 1 m untuk vegetasi bawah/lapisan herba.
Tetapi, umumnya para peneliti di bidang ekologi hutan membedakan pohon ke dalam
beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu: semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi
<1,5 m), pancang (permudaan dengan >1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter <10
cm), tiang (pohon muda berdiameter 10 s/d 20 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20 cm).
Untuk memudahkan pelaksanaannya ukuran kuadrat disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan
tersebut, yaitu umumnya 20 x 20 m (pohon dewasa), 10 x 10 m (tiang), 5 x 5 m (pancang),
dan 1 x 1 m atau 2 x 2 m (semai dan tumbuhan bawah).
Dalam metode kuadrat ini, parameter-parameter vegetasi dapat dihitung dengan rumus-
rumus berikut ini:
umlah individu
a. erapatan ( ) uas petak contoh
suatu spesies
b. erapatan elatif ( ) x 100
total seluruh spesies
suatu spesies
d. rekuensi elatif ( ) x 100
seluruh spesies
Untuk memudahkan proses analisis data, sebaiknya dibuat tally sheet yang memuat
kerapatan, cover, diameter atau basal area dari setiap jenis dalam setiap kuadrat dalam petak
contoh (Tabel 3.1) dan tally sheet yang memuat data parameter vegetasi yang diukur
keseluruhan (Tabel 3.2).
Cara menghitung besarnya nilai kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode
petak tunggal.
Metode ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut
kondisi tanah, topografi, dan elevasi. Jalur-jalur contoh ini harus dibuat memotong garis-garis
topografi, misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menaik atau menurun lereng
gunung.
Untuk lebih jelasnya, contoh petak sampling berbentuk jalur ini dapat dilihat pada
Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Desain jalur contoh di lapangan
Perhitungan besarnya nilai kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode petak
tunggal.
Metode ini dapat dianggap sebagai modifikasi metode petak ganda atau metode jalur,
yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur, sehingga sepanjang
garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama. Gambar 3.4 memperlihatkan
pelaksanaan metode garis berpetak di lapangan.
Perhitungan besarnya nilai kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode petak
tunggal.
3.1.4. Metode Kombinasi antara Metode Jalur dengan Metode Garis Berpetak
Dalam metode ini, risalah pohon dilakukan dengan metode jalur dan permudaan dengan
metode garis berpetak. Untuk lebih jelasnya, desain metode ini dapat dilihat pada Gambar
3.5.
Gambar 3.5. Desain kombinasi metode jalur dengan metode garis berpetak
c. Pengukuran jarak antar pohon (individu tumbuhan) pertama dan kedua. Selain itu,
parameter-parameter vegetasi yang diinginkan dapat diukur pada kedua individu
tumbuhan tersebut di atas. Untuk memudahkan analisis data lapangan, sebaiknya
dibuat tally sheet seperti pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Form isian data lapangan pada random point technique
No. Titik Diameter Tinggi Jarak ind. 1
Jenis Ket.
Contoh ind. 1 ind. 2 ind. 1 ind. 2 & ind. 2
1.
2.
...
N
uas areal
erapatan seluruh spesies
0. x jarak rata rata antar pohon
omina si suatu spesies erapatan x ata-rata nilai domina si dari spesies
e. Pembuatan rekapitulasi hasil analisis data yang diperoleh dengan teknik sampling
ini adalah seperti tertera pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Rekapitulasi hasil analisis data dalam metode berpasangan acak
Σ Rata-rata
No. Spesies K KR D DR F FR INP
individu dominasi
1.
...
n
Berdasarkan hasil penelitian Cottam dan Curtis (1956), metode ini merupakan metode
sampling tanpa petak contoh yang paling efisien, karena pelaksanaannya di lapangan
memerlukan waktu yang lebih sedikit, mudah, dan tidak memerlukan faktor korelasi dalam
menduga kerapatan individu tumbuhan. Tetapi, dalam pelaksanaannya metode ini
mempunyai dua macam keterbatasan, yaitu (1) setiap kuadran harus terdapat paling sedikit
satu individu tumbuhan dan (2) setiap individu (seperti halnya pada random pair method)
tidak boleh terhitung lebih dari satu kali. Prosedur metode ini dalam pelaksanaan di lapang
adalah:
a. Peletakan sejumlah titik contoh secara acak dalam komunitas tumbuhan.
Berdasarkan pengalaman di lapang, sebaiknya dibuat suatu seri garis arah kompas
(garis rintis) dalam komunitas tumbuhan yang akan diteliti, kemudian sejumlah titik
contoh dipilih secara acak atau secara teratur sepanjang garis rintis tersebut. Cottam
dan Curtis (1956) menyarankan paling sedikit 20 titik contoh harus dipilih untuk
meningkatkan ketelitian sampling dengan teknik ini.
b. Pembagian areal sekitar titik contoh menjadi empat kuadran yang berukuran sama
(Gambar 3.6). Hal ini dapat dilakukan dengan kompas atau bila suatu seri garis
rintis digunakan kuadran-kuadran tersebut dapat dibentuk dengan menggunakan
garis rintis itu sendiri dan suatu garis yang tegak lurus terhadap garis rintis tersebut
melalui titik contoh.
Di dalam metode ini di setiap titik pengukuran dibuat garis absis dan ordinat khayalan,
sehingga di setiap titik pengukuran terdapat empat buah kuadran. Pilih satu pohon di setiap
kuadran yang letaknya paling dekat dengan titik pengukuran dan ukur jarak dari masing-
masing pohon tersebut ke titik pengukuran. Pengukuran dimensi pohon hanya dilakukan
terhadap keempat pohon yang terpilih.
x 100
omina si seluruh jenis
g. Frekuensi suatu jenis
i. INP = KR + FR + DR
Metode ini cocok untuk komunitas tumbuhan bawah seperti rumput, herba, dan semak.
Dalam pelaksanaannya di lapangan dapat digunakan alat pembantu seperti terlihat pada
Gambar 3.8.
Dengan mengangkat dan menyentuhkan pin yang terbuat dari kawat, maka kita catat
jenis apa yang tersentuh sehingga dominasi dari jenis tersebut dapat dihitung dengan rumus:
a. Dominansi suatu jenis (D)
Hal yang sama dapat dilakukan dengan alat b dengan cara memindahkan alat tersebut
pada plot contoh tiap 10 cm, sehingga didapatkan dominansi dari jenis-jenis yang tersentuh.
Gambar 3.8. Alat kisi kawat (alat a) dan kayu berlobang (alat b) yang digunakan dalam
point intercept method
Alat bantu berupa pita ukur atau tambang/tali tersebut dibagi ke dalam interval-interval
jarak tertentu. Hanya tumbuh-tumbuhan yang tersentuh, di atas atau di bawah garis intersep
yang diinventarisir.
Jenis data yang diinventarisir adalah:
a. Panjang garis yang tersentuh oleh setiap individu tumbuhan
b. Panjang segmen garis yang berupa tanah kosong
c. Jumlah interval yang diisi oleh setiap spesies
d. Lebar maksimum tumbuhan yang disentuh garis intersep.
Sebaiknya, kalau komunitas tumbuhan terdiri atas beberapa strata, penarikan contoh
dilaksanakan secara terpisah-pisah untuk setiap strata.
Besaran atau parameter vegetasi yang dihitung adalah:
a. Jumlah individu setiap jenis (N)
b. Total panjang intersep setiap jenis (I)
c. Jumlah interval transek/garis ditemukannya suatu jenis (G)
d. Total kebalikan dari lebar tumbuhan maksimum ( l/m)
e. Kerapatan suatu jenis
Unit area
( l/m) = otal panjang garis intersep
KR =
D= x 100%
DR =
F=
FR =
k. INP = KR + FR + DR
DATA KUALITATIF
Komposisi flora
Stratifikasi dan aspection
Fenology DATA KUANTITATIF
Vitalitas
Pola distribusi
Sosiabilitas
Frekuensi
Life-form dan fisiognomy
Kerapatan
Organisasi tropik, rantai makanan
Penutupan tajuk, dominansi
DATA ANALITIK
ORGANISASI KOMUNITAS
Struktur
Komposisi
Organisasi tropik
DATA SINTETIK
a. Komposisi Flora
Komposisi flora adalah daftar jenis tumbuhan dalam komunitas yang berguna untuk
mengetahui:
- keanekaragaman jenis
- tahap suksesi
- kondisi lingkungan/habitat
- struktur tiap unit vegetasi
- pengelompokkan secara kuantitatif: spesies dominan, frequent (daya adaptasi
luas), jenis yang jarang (indikator habitat).
b. Stratifikasi dan Aspection
Stratifikasi adalah lapisan vertikal komunitas tumbuhan. Stratifikasi terdiri atas:
- pucuk
- akar
Manfaat stratifikasi:
- optimalisasi ruang tumbuh
- peningkatan pemanfaatan energi solar
- optimalisasi pemanfaatan unsur hara tanah
Aspection adalah perubahan penampakan vegetasi dalam kaitannya dengan musim.
c. Fenologi
Fenologi adalah kalender fase-fase pertumbuhan yang dilalui oleh suatu tumbuhan
selama sejarah hidupnya atau studi tentang fase-fase pertumbuhan penting dalam
sejarah hidup suatu tumbuhan, seperti: saat biji berkecambah, gugur daun, berbunga,
berbuah, dan tersebarnya biji.
Tanda proses fenologi, yaitu:
Masa kecambah :
Masa berbunga :
Masa berbuah :
Rantai pangan yang dimulai dari tumbuhan, terus ke herbivora dan karnivora.
Jaring-jaring pangan (food web) adalah keterkaitan antara berbagai rantai makanan
dalam suatu komunitas.
Species diversity meningkat maka food chain makin panjang. Studi food chain
dalam komunitas sangat berguna untuk mengetahui sistem transfer energi dalam
komunitas.
4.2.Data Kuantitatif
(1). Faktor vektorial dari aksi berbagai tekanan lingkungan luar (angin, aliran air,
dan intensitas cahaya;
(2). Faktor reproduksi sebagai akibat dari mode reproduktif organisme (cloning dan
regenerasi progeni);
(4). Faktor koaktif akibat dari interaksi intraspesifik (misal: kompetisi); dan
(5). Faktor stokastik akibat dari variasi acak dari berbagai faktor tersebut di atas,
yaitu:
V/M = 1 (random)
Untuk menguji apakah V/M < 1 atau > 1, digunakan uji X2 dengan derajat
bebas (q – 2), dimana q frekuensi klas, pada tingkat peluang 1 , 5 .
Contoh:
2
x ( x) / n
2
Variance
n 1
Pengujian V/M = 1
(1). Menghitung banyaknya petak yang mengandung 0, 1, 2, 3 individu.
ϵ (0) = (n) p (0)
= (100) e-0,8 = 44,9
ϵ (1) = (n) p (1)
= (100) (0,8/1) (p(0))
= 100 x 0,8/1 x 0,4493 = 0,3594
atau
1. individu/petak 0 1 2 3
2. petak terobservasi 46 34 14 6
3. petak harapan 44,9 35,9 14,4 3,8
4. erbedaan petka antara 1,1 1,9 0,4 2,2
terobservasi dan harapan
X2 hitung = (Obs - ϵ )2 /ϵ
IS (T 1) q T
Fo
q 1
b. Kerapatan
Kerapatan adalah jumlah suatu spesies dalam suatu unit area.
Kerapatan menunjukkan kelimpahan suatu spesies dalam suatu komunitas.
Satuan : ind/m2 (tumbuhan bawah)
ind/ha (pohon)
c. Frekuensi
Frekuensi adalah derajat penyebaran suatu jenis di dalam komunitas yang
diekspresikan sebagai perbandingan antara banyaknya petak yang diisi oleh suatu
jenis terhadap jumlah petak contoh seluruhnya.
Frekuensi Relatif : persentase frekuensi suatu spesies terhadap jumlah frekuensi
seluruh spesies.
“Law of Frequency”
>
A>B>C=D<E
<
(Persentase frekuensi berdistribusi normal)
Jika : (1) E > D : komunitas homogen
(2) E < D : komunitas terganggu
(3) A, E tinggi : komunitas buatan
(4) B, C, D tinggi : komunitas heterogen
a. Presence
Presence adalah suatu kehadiran spesies dalam komunitas.
Kelas kehadiran:
- Jarang : 1 – 20% petak contoh terisi spesies
- Kadang terdapat : 21 – 40% petak contoh terisi spesies
- Sering terdapat : 41 – 60% petak contoh terisi spesies
- Banyak terdapat : 61 – 80% petak contoh terisi spesies
- Selalu ada : 81 – 100% petak contoh terisi spesies.
b. Constance (Konstansi)
Constance adalah derajat atau tingkat kehadiran suatu spesies dalam komunitas.
Klas konstansi:
- Klas 1 : 1 – 20% frekuensi
- Klas 2 : 21 – 40% frekuensi
- Klas 3 : 41 – 60% frekuensi
- Klas 4 : 61 – 80% frekuensi
- Klas 5 : 81 – 100% frekuensi
c. Dominansi Jenis
Jenis dominan adalah jenis yang berkuasa dan mencirikan suatu komunitas.
Konsep dominasi jenis sebagai petunjuk:
- Spesies tersebut menang dalam persaingan
- Spesies tersebut mempunyai toleransi tinggi
- Spesies tersebut berhasil beradaptasi terhadap habitat.
Parameter penentu dominasi jenis:
- Foliage cover (penutupan tajuk)
- Kerapatan
- Luas bidang dasar
- Biomassa
- Volume
- Indeks Nilai Penting (INP)
INP = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif + Dominasi Relatif
INP maksimal = 300%.
Dominansi adalah luas penutupan tajuk atau luas bidang dasar suatu spesies dalam
suatu unit area tertentu dengan satuannya, yaitu m2/ha. Dominansi Relatif adalah
persentase dominansi suatu spesies terhadap jumlah dominansi seluruh jenis.
d. Fidelity (Kesetiaan)
Fidelity adalah tingkat kesetiaan suatu spesies dalam suatu komunitas.
Kelas kesetiaan jenis:
- Klas 1 : Eksklusif terhadap suatu jenis komunitas
- Klas 2 : Selektif (sering berada pada satu macam komunitas, tetapi tidak pada
komunitas lain)
- Klas 3 : Preferensial (berada pada beberapa habitat, tetapi tumbuh banyak pada
beberapa habitat saja)
- Klas 4 : Indifferent / masa bodoh (berada secara teratur pada semua habitat)
- Klas 5 : Strange / aneh (jarang dan secara kebetulan berada dalam komunitas).
Spesies A
Hadir Tidak
+ 0
Spesies B + a b m=a+b
0 c d n=c+d
a+b=r b+d=r N= a+b+c+d
(ad bc) 2 x N
X 2 hitung
mxnxrxs
Keterangan:
a
JI
abc
Koefisien Korelasi
[(X1 X1 )(X 2 X 2 )]
R
hitung
[ ( X 1 X 1 ) 2 ( X 2 X 2 ) 2 ]
g. Index of Diversity
Keanekaragaman jenis adalah suatu parameter penting dalam membandingkan dua
komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik atau mengetahui
tahapan suksesi dan stabilitas komunitas.
Pada komunitas klimkas, bila species diversity meningkat, maka food chain akan
meningkat, sehingga komunitas menjadi stabil.
Re spirasi komunitas
Ecological turnover
Biomassa komunitas
R/B rendah : komunitas diversitasnya meningkat.
Metode atau cara penentuan species diversity:
(1). Shannon-Weiner Diversity Index
H =- [(ni/ ) log (ni/ )]
Keterangan:
ni = nilai kuantitatif suatu spesies
N = jumlah nilai kuantitatif semua spesies dalam komunitas.
Variasi nilai H:
0 = satu spesies nilai yang tinggi (banyak spesies).
(2). impson’s Diversity Index
s
D 1 (ni / N) 2
i 1
s = jumlah jenis
Variasi nilai D:
0 = satu spesies
1 – 1/s = diversity species max.
Cain SA. 1938. The species-area curve. Am. Midland Naturalist 19: 573-581.
Cochran WG. 1977. Sampling Techniques. Jhon Wiley & Sons, Inc. New York.
Kershaw KA. 1964. Quantative and Dynamic Ecology. Edward Arnold (Publisher) Ltd.
London.
Mueller-Dombois D and Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John
Wiley & Sons, Inc. New York.
Rice EL and Kelting RW. 1955. The species-are curve. Ecology 36:7-11.