Anda di halaman 1dari 8

TEORI PLURALISME

( Antropologi Hukum )

Ilham Fajar
Ilhamfajar168@gmail.com
2010003600067
Universitas Eka Sakti

A. PENDAHULUAN
Isu maupun kajian seputar pluralisme hukum bukan isu baru ataupun ranah studi baru
di Indonesia. Secara sederhana, pluralisme hukum hadir sebagai kritikan terhadap sentralisme
dan positivisme dalam penerapan hukum kepada rakyat. Terdapat beberapa jalan dalam
memahami pluralisme hukum. Pertama, pluralisme hukum menjelaskan relasi berbagai
sistem hukum yang bekerja dalam masyarakat. Kedua, pluralisme hukum memetakan
berbagai hukum yang ada dalam suatu bidang sosial. Ketiga, menjelaskan relasi, adaptasi,
dan kompetisi antar sistem hukum. Ketiga, pluralisme hukum memperlihatkan pilihan warga
memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik. Dari tiga cara pandang tersebut dan masih
banyak cara pandang lainnya, secara ringkas kita bisa katakan bahwa pluralisme hukum
adalah kenyataan dalam kehidupan masyarakat. Senada dengan itu, meminjam ungkapan dari
Brian Z. Tamanaha, legal pluralism is everywhere. Ungkapan ini menegaskan bahwasanya di
area sosial keragaman sistem normatif adalah keniscayaan. Namun, hal menarik tentang
pluralisme hukum bukan hanya terletak pada keanekaragaman sistem normatif tersebut,
melainkan pada fakta dan potensi untuk saling bersitegang hingga menciptakan
ketidakpastian. Ketidakpastian ini menjadi salah satu titik lemah yang “diserang” dari
pluralisme hukum, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar karena permasalahan pokok dari
potensi konflik tersebut adalah adanya relasi yang asimetris dari sistem normatif tersebut.
Berjalinan dengan itu, John Griffiths mengemukakan konsep pluralisme hukum yang
lemah (weak pluralism) dan pluralisme hukum yang kuat (strong pluralism). Pluralisme
hukum disebut sebagai pluralisme hukum yang lemah ketika negara mengakui kehadiran
anasir sistem hukum lain di luar hukum negara, tetapi sistem-sistem hukum non negara
tersebut tunduk keberlakuannya di bawah hukum negara. Sementara itu, pluralisme hukum
yang kuat hadir ketika negara mengakui keberadaan hukum non negara dan sistem hukum
tersebut mempunyai kapasitas keberlakuan yang sama dengan hukum negara. Pandangan
Tamanaha dan Griffiths di atas pada akhirnya membawa kita pada ulasan tentang kelemahan
dan kritik terhadap pluralisme hukum. Ketika ketimpangan dominasi kekuasaan diantara
eksponen berbagai sistem hukum tersebut tetap langgeng, maka pluralisme hukum bisa jadi
sebatas mitos atau delusi, dan terciptanya ketidakpastian hukum bukan tidak mungkin terjadi
apabila pluralisme hukum membuka ruang pengakuan bagi setiap sistem hukum lain di luar
hukum negara tanpa adanya batasan yang jelas. Dua hal ini setidaknya memberikan
‘peringatan’ pada kita bahwa pluralisme hukum yang semula hadir untuk mengkritik juga
tidak sepi dari kritikan. Pada bagian berikut ini akan dibahas ihwal kritik atas pluralisme
hukum dan kaitannya dengan permasalahan yang ada pada konteks pembangunan sistem
hukum di Indonesia.
Sebagaimana pemaparan sebelumnya, pluralisme hukum boleh dikatakan menjadi
jawaban terhadap kekurangan yang ditemui pada cara pandang sistem hukum nasional di
Indonesia yang cenderung sentralistik. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengandung ide pluralisme hukum di
dalamnya. Contoh klasik adalah UU Agraria yang secarajelas menyebut pengakuan terhadap
hak masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. Pada perkembangannya, tidak saja di tingkat
nasional tetapi juga di tingkat daerah juga bermunculan peraturan daerah yang mencoba
mengakui atau mengintegrasikan keberagaman hukum di tingkat lokal seiring dengan
pemberlakuan otonomi daerah dan otonomi khusus. Sebagai contoh, maraknya pembentukan
perda syariah di daerah, qanundi Aceh, dan pembentukan lembaga-lembaga adat yang diakui
sebagai media penyelesaian sengketa adat.
Selintas lalu, situasi tersebut dapat diapresiasi sebagai sebuah terobosan pembaruan
hukum dan upaya untuk mengakomodasi keragaman normatif yang ada di masyarakat.
Namun demikian, dalam praktiknya dijumpai berbagai permasalahan yang membawa kita
pada kondisi yang dilematis dan keadaan pluralisme hukum yang lemah sebagaimana
pandangan Griffiths. Pasalnya, keberadaan hukum ‘rakyat’ atau hukum adat tersebut
bergantung pada pengakuan hukum negara. Lebih jauh dari itu, apa yang disebut dengan
hukum adat adalah konstruksi oleh hukum negara, dengan demikian hukum adat bukanlah
hukum yang hidup dan dipercayai oleh masyarakat melainkan hukum ‘adat’ yang
dirumuskan oleh hukum negara. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan lembaga
adat tersebut, dimana hasildari penyelesaian lembaga adat tidak jarang dimentahkan oleh
lembaga peradilan atau lembaga ini nyaris tidak bertaji dalam menyelesaikan sengketa adat
di lingkungan masyarakat adat sebab lembaga adat tersebut tidak mempunyai kapasitas
mengeksekusi keputusan layaknya institusi peradilan. Lain halnya dengan perda syariah,
yang mana di beberapa daerah perda tersebut mengundang penolakan keras oleh masyarakat
di daerah yang bersangkutan. Pasalnya, ketentuan dalam perda-perda demikian bertolak
belakang dengan ketentuan undang-undang yang secara hierarki harus selaras, bahkan pada
titik tertentu perda tersebut dinilai bertentangan dengan HAM.

B. PEMBAHASAN
Pluralisme hukum dapat didefinisikan sebagai keberadaan mekanisme-mekanisme
hukum yang berbeda di dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh, di Afrika pada masa
penjajahan, orang Afrika diatur oleh hukum adat, orang Eropa yang menetap di wilayah
tersebut diatur dengan hukum tertulis, sementara diplomat yang sedang bertandang di negeri
tersebut memiliki kekebalan hukum dan memperoleh keuntungan dari mekanisme hukum
yang tidak berlaku kepada rakyat di negeri tersebut. Sementara itu, Barry Hooker (1975)
mendefinisikan pluralisme hukum sebagai interaksi antara dua jenis hukum atau lebih. Bagi
Hooker, sistem pluralisme hukum yang ada di dunia saat ini merupakan dampak dari
menyebarnya sistem hukum tertentu ke luar wilayah asalnya. Contohnya adalah Indonesia
pada masa penjajahan Belanda sistem hukum Belanda diperkenalkan di Nusantara dan
kemudian diterima sebagai hukum Indonesia setelah kemerdekaan. Terdapat dua jenis
pluralisme hukum. Yang pertama adalah "pluralisme hukum negara", yaitu ketika dua sistem
norma berlaku sebagai hukum negara. Contohnya adalah hukum adat dan hukum tertulis
yang berlaku sebagai hukum negara di Afrika pada masa penjajahan. Sementara itu, jenis
pluralisme hukum yang kedua adalah deep legal pluralism, yaitu ketika terdapat tatanan
norma di luar hukum negara yang berlaku di masyarakat.
Pemikiran pluralisme hukum terakhir. menunjukkan adanya perkembangan baru.
yaitu memberi perhatian kepada terjadinya saling kelergantungan atau saling pengaruh
(interdependensi. interfaces) antara herbagai sistem hukum. Interdependensi yang dimaksud
terutama adalah antara hukum internasional. nasionai. dan hukum lokal. Kajian-kajian yang
berkembang dalam antropologi hukum haru mulai melihar bagaimanakah kebijakan dan
kesepakatan-kesepakatan internasional memberi pengaruh atau bersinggungan dengan sistem
hukum dan kebijakan di tingkar nasional. dan selanjutnya memberi imbas kepada sysrem
hukum dan kebijakan di tingkat lokal. Karena kondisi interdependensi antara berbagai sistem
hukum dari level-level yang berbeda itu. timbulah kesadaran bahwa konsep pluralisme
hukum kehilangan presisi dalam memberikan karakrer yang sisreillik. Karena sulitnya
meruilluskan definisi pluralisme hukum yang sesuai dengan kondisi saat ini, tidak
mengherankan jika kemudian beberapa ahli mengatakan bahwa pluralisme hukum itu bukan
teori dan hanya merupakan sensitizing concept (K dan F Benda- Beckmann. 2002). Sebelum
meneruskan perbincangan ini, saya akan mengingatkan kembali mengenai konsepsi hukum
yang banyak disepakati di kalangan antropologi hukum. yaitu hukum adalah proposisi yang
mengandung konsepsi normative dan konseps i kognitif (F. Benda-Beckmann. 1986). Dua
belas tahun kemudian. konsepsi ini digunakan kembali untuk menguraikan kerumitan dalam
menjelaskan pluralisme hukum. Hukum dipandang terdiri atas komponen-komponen. bagian-
bagian atau cluster (K. Benda- Beckmann. 2002). Hendaknya melihat bahwa cluster,
komponen atau bagian-bagian dad hukum inilah yang saling berpengaruh, dan berinteraksi
membentuk konfigurasi pluralisme hukum. Selanjumya saya akan kembali pada kerumitan
pembahasan mengenai pluralisme hukum dengan mengacu pada uraian yang dikemukakan
oleh Keebet von Benda-Beckmann (2002). Kerumitan itu disebabkan oleh fakta mengenai
banyaknya konstelasi pluralisme hukum yang dicirikan oleh besarnya keragaman dalam
karakter sistemik masing-masing cluster. Seperti yang dikatakan oleh Keebet "in fact. many
constellation sol legal pluralism are caracterized by great diversity in the systemic character
of each of its components" (K. Benda-Beckmann. 2002: 1) Konteks hukumnya mungkin jelas
(hukum negara atau hukum adat). tetapi keberadaan system hukum secara bersama-sama itu
menunjukkan adanya saling difusi, kompetisi, dan tentu saja perubahan sepanjang waktu.
Saling difusi dan kompelisi dan perubahan sebagai konsekuensinya ini sangatlah
bervariasi. tergantung pada konteks geografi dan ruang lingkup substansi hukum apa. Mereka
beragam dalam hal institusi dan jenis-jenis aktor yang terlibat. dan mereka berbeda dalam
kekuatannya dalam saling pengaruh itU. Cluster atau bagian-bagian dari sistem-sistem
hukum itu saling berkaitan menjadi saling bersentuhan, lebur, memberi respons baru sama
lain dan berkombinasi sepanjang waktu. Apa akibatnya? Sebelumnya orang dapat dengan
jelas mendefinisikan hukum (yang rerdiri dari komponen atau cluster) sebagai hukum adat,
hukum agama, atau hukum negara. Pada tahun 1950-an atau 1960-an, menurut Keebet,
banyak usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan lokal juga dapat
dipandang sebagai hukum. Meskipun dasar legitimasinya berbeda dari hukum negara. tetapi
tidak ada perbedaan yang mendasar antara hukum negara dan hukum rakyat. Pada tahun
1978 Holleman mengatakan bahwa di wilayah urban di negara-negara berkembang,
berkembang bentuk-bentuk hukum baru yang tidak dapat diberi label sehagai hukum negara,
hukum adm, atau hukum agallla. sehingga disebut sebagai hybrid law, dan banyak pengarang
lain menyebutnya turnamed law. Dengan demikian argumen yang mengatakan bahwa
lapangan pluralisme hukum terdiri dari sistem-sistem hukum yang dapat dibedakan batasnya,
tidak laku lagi. Terlalu banyak fragmentasi, overlap dan ketidakjelasan. Batas antara hukum
yang satu dan yang lain menjadi kabur dan hal ini merupakan proses yang dinamis (K.Benda-
Beckmann, 2002)
Berikut ini akan disampaikan catatan penting yang harus diberikan sehubungan
dengan perkembangan terakhir pemikiran pluralisme hukum. Sangatlah signifikan untuk
menunjukkan hubungan antara peristiwa pada skala yang lebih luas (makro) dengan
peristiwa pada tingkat lokal (mikro), hubungan antara negara dengan individu sepeni yang
dikemukakan oleh Sally Falk Moore. "... links local and large-scale matters, the individual
and the State, hints at the wide networks andd persistent advantage of an elite, and the
importance of the division of knowledge (Moore. 1994: 370). Dalam hal ini adalah
bagaimanakah peristiwa sosial, politik dan hukum pada tingkat makro (nasional) termasuk
yang dituangkan melalui kebijakan negara. berdampak pada masyarakat local
Berbicara mengenai hubungan antara peristiwa pada skala luas (nasional) dengan
peristiwa pada tingkat mikro (lokal) adalah berkaitan dengan keberadaan suatu masyarakat
yang dipandang tersusun atas herhagai semi-automonous social field (SASF). Bagaimanakah
aturan-aturan atau kebijakan yang berasal dari negara (khususnya dalam hidang pengaturan
masalah sumberdaya) berdampak pada SASF-SASF masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini
dapat dijelaskan bagaimanakah individu menanggapi peristiwa hukum pada tingkat nasional,
internasional dan berdasarkan pengalamannya atau apa yang diketahuinya mengenai bidang
hukum pada tingkat yang makro itu, Apakah yang ia lakukan ketika ia sendiri berhadapan
dengan masalah hukum.
Di samping itu peristiwa tertentu yang terjadi pada waktu tertentu dapat dihubungkan
dengan peristiwa lain yang terjadi pada waktu yang lain, dan dapat dipandang sebagai suatu
rangkaian (Moore. 1994: 364). Moore menjelaskan perlunya memberi perhatian kepada
proses sejarah yang muncul beberapa dekade yang terkait dengan penelitian arsip. Penelitian
lapangan juga merupakan pengalaman sejarah masa kini. sejarah yang sedang dalam proses
pembuatan. Dalam hal ini hendaknya dijelaskan mengenai kasus-kasus yang berkaitan
dengan konflik mengenai sumberdaya yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Misalnya, yang terekam dalam arsip, khususnya vonis-vonis pengadilan. Kemudian
menghubungkannnya dengan kasus-kasus konflik yang terjadi pada masa sekarang. Dari
rangkaian kasus-kasus tersebut dapat dilihat bagaimana perkembangan kedudukan hukum
yang mengatur mengenai pengelolaan sumberdaya tersebut. Dalam rangka mengkaji
rangkaian peristiwa herdasarkan hubungan makro (negara) dan mikro (individu) dan
hubungan antar waktu di atas, sengketa mau konflik dipandang sebagai kejadian yang biasa
dalam kehidupan sosial sehari-hari, bukan sebagai suatu penyimpangan kebetulan atau
kondisi yang tidak normal (van Velzen. 1967: 129- 149). Oleh karena itu untuk dapat
menjelaskannya harus dilakukan clengan cara mengungkapkan konteks dari proses-proses
sosial yang diperluas (extended social processes, extended case method) di seputar terjadinya
suatu sengketa. Hal tersebut membutuhkan deskripsi mengenai konteks sosial yang total
(Comaroff dan Roberts. 1981: 13-14. van Velzen. 1967: 129-149).

C. PENUTUP
Pemikiran pluralisme hukum terakhir menunjukkan adanya perkembangan baru. yaitu
memberi perhatian kepada terjadinya saling kelergantungan atau saling pengaruh
(interdependensi. interfaces) antara berbagai sistem hukum. Interdependensi yang dimaksud
terutama adalah antara hukum internasional. nasional dan hukum lokal. Kajian-kajian yang
berkembang dalam antropologi hukum baru mulai melihat bagaimanakah kebijakan dan
kesepakatan-kesepakatan internasional memberi pengaruh atau bersinggungan dengan sistem
hukum dan kebijakan di tingkat nasional dan selanjutnya memberi imbas kepada sistem
hukum dan kebijakan di tingkat lokal. Karena kondisi interdependensi antara berbagai sistem
hukum dari level-level yang berbeda itu timbulah kesadaran bahwa konsep pluralisme hukum
kehilangan presisi dalam memberikan karakter yang sistemik. Karena sulitnya merumuskan
definisi pluralisme hukum yang sesuai dengan kondisi saat ini.
Bila mengamati perkembangan pemikiran terakhir pluralisme hukum. Maka
hendaknya kita lebih berhati-hati untuk menarik garis secara amat tegas antara hukum
negara dan hukum yang tidak berasal dari negara. Dalam kenyataan beroperasinya
berbagai sistem hukum secara bersama-sama, sistem-sistem hukum itu saling
berkompetisi dan sekaligus saling menyesuaikan dan mengadopsi. Hal itu sangat
kelihatan dari bagaimana hukum internasional bahkan memberi dampak sampai kepada
masyarakat lokal. Bagaimana hukum internasional memberi dampak kepada hukum
nasional atau hukum nasional memberi dampak kepada hukum lokal. Keterkaitan antara
sistem hukum pada tingkat makro dan mikro (internasional, nasional dan lokal) harus
dapat ditelusuri. Demikian pula hubungan antara sistem hukum yang pernah berlaku pada
kurun waktu tertentu dan memberi dampak kepada apa yang berlangsung pada saat ini
juga harus dapat dilihat sebagai suatu rangkaian.

DAFTAR PUSTAKA

Gokma Toni Parlindungan S, Asas Nebis In Idem Dalam Putusan Hakim Dalam Perkara Poligami Di
Pengadilan Negeri Pasaman Sebagai Ceriminan Ius Constitutum, Volume 2, Nomor 1, 2020.

Gokma Toni Parlindungan S, Pengisian Jabatan Perangkat Nagari Pemekaran Di Pasaman Barat Dalam
Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, Ensiklopedia Of Journal, Vol 1 No 2 Edisi 2 Januari
2019,

Harniwati, Peralihan Hak Ulayat Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004, Volume 1, Nomor 3,
2019.

Jasmir, Pengembalian Status Hukum Tanah Ulayat Atas Hak Guna Usaha, Soumatera Law Review,
Volume 1, Nomor 1, 2018.

Jumrawarsi Jumrawarsi, Neviyarni Suhaili, Peran Seorang Guru Dalam Menciptakan Lingkungan
Belajar Yang Kondusif, Ensikopedia Education Review, Vol 2, No 3 (2020): Volume 2 No.3
Desember 2020

Mia Siratni, Proses Perkawinan Menurut Hukum Adatdi Kepulauan Mentawai Di Sebelum Dan Sesudah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Ensiklopedia Of
Journal, Vol 1 No 2 Edisi 2 Januari 2019,

Remincel, Dimensi Hukum Pelanggaran Kecelakaan Lalu Dan Angkutan Jalan Lintas Di Indonesia,
Ensiklopedia Social Review, Volume 1, Nomor 2, 2019.

R Amin, B Nurdin, Konflik Perwakafan Tanah Muhammadiyah di Nagari Singkarak Kabupaten Solok
Indonesia 2015-2019, Soumatera Law Review, Volume 3, Nomor 1, 2020.

Anda mungkin juga menyukai