NIM : D1AO2O144
Kelas : B2
JAWABAN :
1.) Masuknya beberapa undang-undang pidana diluar KUHP kedalam RKUHP tidak
didasari dengan parameter yang jelas, karena tidak semua undang-undang yang
memiliki sanksi pidana dimasukkan. Apakah yang masuk hanya tindak pidana yang
bersifat mala in se (kejahatan yang secara natural bertentangan dengan moral dan
kepaturan) atau juga mala prohibita (kejahatan karena undang-undang)? atau hanya
terhadap undang-undang pidana yang dianggap menimbulkan kekacauan dalam
sistem hukum pidana karena pengaturannya tidak lengkap atau tidak mengikuti asas
hukum pidana?
Sebagai contoh, terdapat beberapa tindak pidana yang bersifat administratif penal law
yang masuk dalam RKUHP seperti tindak pidana penerbangan dan pelayaran, namun
tidak termasuk tindak pidana dalam undang-undang lalu-lintas dan angkutan jalan.
Kemudian dalam RKUHP dimasukkan tindak pidana perasuransian, tindak pidana
terhadap persaingan usaha tidak sehat, namun tidak memasukan tindak pidana tentang
perlindungan konsumen yang masih dalam lingkup yang sama.
Tindak pidana narkotika dan psikotropika yang dimasukkan dalam RKUHP tapi tidak
memasukkan beberapa aspek penjelasan yang berkaitan dengan pasal tersebut.
Misalnya rumusan Pasal 507 RKUHP : “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,…”. Dalam RKUHP dan Penjelasan
tidak dimasukkan apa yang disebut dengan Golongan I tersebut yang merujuk kepada
Lampiran UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dimana disitu dijelaskan secara
detail jenis-jenis narkotika Golongan I tersebut. Maka, jika rumusan dalam RKUHP
tidak mencantumkan lampiran tersebut, maka untuk memahami pasal tindak pidana
narkotika, harus melihat lagi lampiran dalam UU No. 35 Tahun 2009. Dengan
demikian tujuan kodifikasi untuk menyederhanakan atau memudahkan dalam
menemukan rumusan tindak pidana malah tidak tercapai.
Lalu bagaimana dengan tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi,
pencucian uang, terorisme, HAM. Dalam Naskah Akademis dijelaskan, bahwa KUHP
nantinya akan menjadi sumber utama dan satu-satunya sumber norma hukum pidana
nasional Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana (asas-asas hukum
pidana) dan memuat perbuatan pidana (perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi
pidana) yang termasuk kategori kejahatan/independent crimes/generis crime.[xii] Dari
sini dapat dipahami bahwa, perumus hendak menghilangkan tindak pidana khusus
yang sudah eksis diluar KUHP yang memiliki sifat eksepsionalitas/pengecualian/
penyimpangan. Dimana, hal ini merupakan bagian dari perkembangan hukum pidana
yang tidak mungkin dihilangkan.
Memasukkan beberapa tindak pidana diluar KUHP dalam RKUHP, baik yang bersifat
administratif penal law atau tindak pidana khusus tanpa alasan dan paramater yang
jelas akan menimbulkan kerumitan tersendiri dalam pembahasan RKHUP. Kalaupun
mau dimasukkan, harus dipilih mana tindak pidana yang keberadaannya diluar KUHP
tidak ada sifat kekhususan dan pengaturan yang terperinci mengenai aspek-aspek
administatif atau petunjuk dari pasal-pasal tindak pidananya. Hal ini sesuai dengan
semangat kodifikasi untuk menyederhanakan pasal-pasal tindak pidana yang
bertebaran diluar kodifikasi tanpa urgensi apapun.
Sistem kodifikasipun sebenarnya bukan hanya untuk tindak pidana dalam KUHP
semata. Melainkan berlaku juga untuk tindak pidana diluar KUHP, sepanjang tidak
ditentukan lain. Artinya, walaupun berada diluar KUHP, sebenarnya beberapa
undang-undang pidana diluar KUHP (khususnya tindak pidana administratif) adalah
bagian dari kodifikasi KUHP. Jikapun banyak diantara undang-undang tersebut yang
menyalahi (bukan menyimpangi) kodifikasi dalam pengaturannya, maka dapat
dilakukan revisi terhadap undang-undang yang bersangkutan.
Lebih baik menertibkan aturan pidana yang diluar KUHP agar kembali merujuk
kepada aturan kodifikasi hukum pidana nasional. Termasuk terhadap aturan yang
memiliki sejumlah kekhususan atau penyimpangan agar mengikuti kriteria
penyimpangan hukum yang dibolehkan. Hal ini penting agar pembentuk undang-
undang juga tidak sembarangan dalam menentukan hukum pidana khusus.
2.) Di dalam Masyarakat tentunya setiap harinya bisa terjadi perubahan-perubahan yang
mengharuskan adanya hukum dan norma-norma baru yang harus di laksanakan agar
tercipta nya kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat itu sendiri, Namun tidak
berlaku dengan hukum yang ada dan dibuat oleh negara untuk masyarakat nya yang
tidak berjalan cepat seperti perkembangan masyarakat nya yang disebabkan oleh
banyak nya tahap maupun langkah-langkah yang harus di buat agar menciptakan
hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat nya.
Karena pada hakekatnya hukum merupakan salah satu produk manusia dalam
membangun dunianya, yang bisa dicermati atau ditelaah melalui interaksi yang
berlangsung di masyarakat. Seperti kata Cicero, Ubi Societes Ibi Ius (di mana ada
“hukum” itu sebenarnya adalah manusia. Dalam artian hukum itu dilahirkan oleh
manusia dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak manusia itu sendiri.
Hukum adalah cermin dari manusia yang hidup. Dan karena manusia yang hidup
oleh Tuhan senantiasa dilengkapi dengan Raga, Rasa, Rasio dan Rukun, keempat
hal inilah yang dipakai untuk membedakan antara individu yang satu dengan yang
lain, masyarakat yang satu dengan yang lain. Sehingga kelengkapan ini yang
bermasyarakat.
normatif dari kehidupan sosial masyarakat atau dapat disebut sebagai pemberi
tingkah laku yang baik dan tidak baik atau yang menyimpang dari hukum, serta
menerapkan sanksi hukum terhadap orang yang berprilaku tidak baik tersebut,
tindakan pelampiasan dengan cara main hakim sendiri dalam menangani masalah-
masalah di tengah-tengah mereka, sehingga hukum itu dapat dikatakan tidak
berfungsi (mandul).
- Hakim
- Polisi
- Penyidik
Contoh Pelanggaran terhadap pidana khusus lebih berat dari pidana umum
3. Adanya pengertian hukum pidana khusus ini akan berperan dalam penyusunan
4.) Menurut saya dan dalam agama Islam Esensi penerapan hukuman mati pada
hukum Islam lebih untuk melindungi kepentingan individu dan masyarakat dari
tindak kejahatan yang membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan. Karenanya
tujuan umum adanya hukuman dalam Islam, termasuk hukuman mati, adalah untuk
merealisasikan kemaslahatan umat dan menegakkan keadilan.
Jadi, Pidana mati menjadi suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat
umum dari ketidaktertiban, ketidakamanan, dan kesengsaraan rakyat.
Karna dari banyak nya pelaku tindak pidana narkotika itulah yang membuat Negara
ini tidak bisa maju dan merusak generasi bangsa yang bisa merubah Negara menjadi
lebih baik.
Apalagi terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi pada saat Negara
mengalami bencana, seperti mengorupsi uang bansos, itu sangat merupakan tindakan
yang tidak manusiawi dan perlu mendapat hukuman yang setimpal dengan kesusahan
yang dialami masyarakat.
Pengenaan hukuman mati bagi pelaku korupsi sangat dibutuhkan sebagai „shock
therapy‟ karena secara psikologis hukuman mati bertujuan untuk kepentingan
pencegahan secara umum agar orang lain tidak ikut melakukan tindak pidana. Selain
itu, penerapan pidana mati didasarkan pada alasan bahwa pidana mati lebih pasti dari
pada pidana penjara karena seringkali pidana penjara diikuti dengan kabur,
memaafkan atau karena pembebasan.
Berdasarkan pada arahan sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945
tersebut, maka sudah sepantasnya apabila seluruh penyelenggara negara dalam
melaksanakan tugasnya mengarahkan tingkah lakunya agar dapat mewujudkan
tujuan tersebut dengan mencegah segala pikiran dan perbuatan yang dapat
menghambat bahkan merusak cita-cita bangsa yang telah termuat di dalam UUD
1945. Salah satu perbuatan yang dapat merusak cita-cita dan tujuan negara bangsa
Indonesia adalah dengan melakukan perbuatan korupsi.
perbuatan korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara saja, akan tetapi juga
merupakan salah satu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yaitu pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi dari masyarakat negara Indonesia sehingga
diperlukan pemberantasan secara luar biasa.
Pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi saat ini tidak layak lagi apabila
menggunakan instrumen hukum yang biasa (konvensional). Melainkan harus
menggunakan cara penanganan yang luar biasa, yaitu dengan cara mengkategorikan
korupsi ke dalam kelompok kejahatan kemanusiaan, sehingga dalam penanganannya
dapat menggunakan instrumen, teknis, dan prosedural regulasi pelanggaran HAM.
Walaupun masih menjadi pro dan kontra namun hal tersebut bisa dipertimbangkan
agar menjadi tolak ukur agar seseorang yang berniat korupsi tidak melakukan nya.
5.) Unsur-unsur kesalahan dihubungkan dengan adanya perbuatan pidana, untuk adanya
Rumusan definisi Tindak Pidana Illegal Logging secara eksplisit tidak ditemukan
dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan selama ini illegal
logging diidentikkan dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan,
untuk itu mengenai perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU.
No. 41 Th. 1999. Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan
Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah terjadinya
perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut
terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.” Illegal logging
identik dengan istilah
“pembalakan illegal” yang digunakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan
Global Forest Watch
(GFW) yaitu untuk menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang
berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu tidak sesuai
dengan hukum Indonesia.Kata illegal logging sebenarnya lahir dari isu sosial yang
resah akan pengurangan drastis jumlah wilayah hutan di dunia sebahagian besar
akibat penebangan kayu secara liar. Alasan Pemerintah membuat kebijakan terhadap
tindak pidana illegal logging disebabkan kegiatan illegal logging merupakan
serangkaian tindakan penyimpangan perilaku yang berdampak kepada ekosistem
secara berkelanjutan, yang pada akhirnya berakibat dan membahayakan
keberlangsungan hidup manusia.
2) hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus;
3) pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda;
4) selain pidana pokok, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan
seluruh atau sebagian perusahaan. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus
korporasi yang berkaitan dengan Pasal 109 ayat(3) dibatasi sepanjang pengurus
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang
bersangkutan.