Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN INDIVIDU PEMICU 4 BLOK 10

“Mengunyah kok susah ya!”

Disusun Oleh:
Ikrar Teguh Pratomo
200600138

Fasilitator :
Ika Devi,drg.,M.DSc

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Pemicu 4
Nama Pemicu : Mengunyah kok susah ya!
Narasumber : Rehulina Ginting, drg, M.Si.
Yendriwati,drg., M.Kes.
Dr. Filia Dana, drg., M.Kes.
Hari/Tanggal : Selasa/ 12 Oktober 2021
Skenario :
Seorang perempuan berusia 65 tahun datang ke RSGM USU ingin membuat gigi palsu untuk
mengganti gigi nya yang sudah ompong lebih kurang lima tahun yang lalu. Pasien mengeluh
susah mengunyah makanan dan akibatnya makanan sukar ditelan. Disamping itu pasien juga
merasa rahangnya sebelah bawah semakin hari semakin ke depan, mulut terasa kering dan
makanan terasa hambar. Dari pemeriksaan rongga mulut dijumpai gigi 35, 36, 37, 38, 45, 46,
47, 48 edentulus, gigi 14, 13, 12, 11, 21, 22, 23, 24, 34, 33, 32, 31, 41, 42, 43, 44 atrisi insisal
dengan dentin terbuka tanpa diikuti rasa ngilu. Oklusi gigi menunjukkan pseudo klas III,
dengan oklusi gigi anterior edge to edge. Pada lidah dijumpai ada fisur-fisur yang dalam dan
mukosa lidah licin.

Learning Issue
 Mastikasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
 Penelanan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
 Pengecapan dan mekanisme pengecapan pada lidah
BAB II
PEMBAHASAN

1. Jelaskan fisiologi proses mastikasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya!

Proses mastikasi merupakan proses penggabungan gerak antara dua rahang yang
terpisah, termasuk proses biofisik dan biokimia dari penggunaan bibir, pipi,
gigi, lidah, palatum mulut, serta seluruh struktur pembentuk oral, untuk
mengunyah makanan dan menyiapkan makanan agar dapat ditelan. Proses
mastikasi dapat terjadi secara volunter, namun sebagian besar proses mastikasi
merupakan refleks ritmik yang dihasilkan oleh pengaktifan otot rangka rahang, bibir,
pipi, dan lidah sebagai respons terhadap tekanan makanan pada jaringan mulut.1,2

Fisiologi proses mastikasi terdiri atas beberapa tahapan, yaitu:


1. Tahap gerakan membuka mandibula
Adanya bolus makanan di dalam mulut pada awalnya akan menimbulkan inhibisi
refleks otot-otot pengunyahan, yang menyebabkan rahang bawah turun ke bawah.
Gerakan membuka mandibula dilakukan oleh kontraksi muskulus pterygoideus
lateralis dan pada saat bersamaan, akan terjadi relaksasi dari muskulus temporalis,
muskulus masseter, dan muskulus pterygoideus medialis.2,3
2. Tahap gerakan menutup mandibula
Setelah terjadi penurunan rahang bawah, hal tersebut kemudian akan
menimbulkan refleks regang pada otot-otot rahang bawah yang menimbulkan
kontraksi rebound. Keadaan ini secara otomatis akan mengangkat rahang bawah
yang menimbulkan pengatupan gigi geligi dan juga menekan bolus pada mukosa
mulut. Gerakan menutup mandibula dilakukan oleh kontraksi muskulus
temporalis, muskulus masseter, dan muskulus pterygoideus medialis, sedangkan
muskulus pterygoideus lateralis mengalami relaksasi.2,3
3. Tahap kontak gigi dengan makanan dan gigi antagonisnya
Pada saat mandibula menutup perlahan, muskulus temporalis dan muskulus
masseter akan berkontraksi membantu gigi geligi agar berkontak pada oklusi yang
normal. Muskulus digastrikus juga ikut berperan dalam mempertahankan kontak
gigi geligi dengan berkontraksi saat mandibula bergerak dari posisi istirahat ke
posisi oklusi.3

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mastikasi:


1. Faktor Gigi
Gigi merupakan organ manusia yang berfungsi untuk mengunyah setiap makanan
yang masuk ke rongga mulut. Terjadinya kehilangan gigi dapat menyebabkan
penurunan efisiensi pengunyahan. Jumlah gigi geligi yang tidak lengkap dapat
menurunkan keefektifan fungsi pengunyahan, serta penurunan selera makan.1
2. Faktor Penyakit
Adanya kelainan atau penyakit pada unsur-unsur fisik yang terlibat dalam proses
mastikasi dapat menyebabkan gangguan dalam proses mengunyah. Terjadinya
penurunan fungsi lidah, mukosa mulut, otot-otot pengunyahan, kelenjar saliva,
dan sistem susunan saraf dapat menghambat proses pengunyahan. Kelainan atau
penyakit pada rongga mulut seperti kelainan bawaan (labioschisis/bibir sumbing),
penyakit infeksi (stomatitis, gingivitis, tonsilitis), kelainan/penyakit
neuromuskuler (paralisis lidah dan otot-otot sekitar faring dan laring), dan
penyakit/kelainan non infeksi semuanya dapat berdampak pada keefektifan proses
pengunyahan.1
3. Faktor Psikologis
Selain faktor fisik, proses mastikasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis
individu. Gangguan psikologis dapat timbul akibat kompleksitas masalah
kehidupan yang dihadapi seseorang dan gangguan psikologis tersebut dapat
mempengaruhi selera makan dan proses mengunyah seseorang pada saat makan.1
4. Faktor Usia
Faktor usia dapat mempengaruhi kemampuan mastikasi secara tidak langsung
dengan terjadinya berbagai perubahan fisik maupun fisiologis yang
mengakibatkan terjadinya adanya penyakit periodontal dan kelainan lainnya.
Terdapatnya penurunan fungsi otot sendi temporomandibular disertai dengan
kondisi dalam tubuh yang mempengaruhi rongga mulut dapat mempengaruhi
kualitas mastikasi.4
2. Jelaskan peran oklusi dan kurva van Spee terhadap proses pengunyahan pada
kasus di atas!

Oklusi dikontrol oleh komponen neuromuscular dan sistem mastikasi, yaitu gigi,
struktur periodontal, rahang atas dan rahang bawah, sendi temporomandibular, otot
dan lingamen.5 Secara fungsional, oklusi gigi seseorang yang normal tergantung dari
fungsi dan dampaknya terhadap jaringan periodonsium, otot, dan TMJ. Susunan gigi
yang lengkap pada oklusi sangat penting karena akan menghasilkan proses
pencernaan makanan yang baik. Pemecahan makanan pada proses pengunyahan
sebelum penelanan akan membantu pemeliharaan kesehatan gigi yang baik.6

Oklusi dengan susunan gigi lengkap sangat berperan dalam mastikasi atau
pengunyahan. Pada kasus diketahui pemeriksaan intraoral pasien, gigi 35, 36, 37, 38,
45, 46, 47, 48 edentulous. Keadaan kehilangan kontak oklusal pada gigi posterior ini
dapat berdampak terhadap penurunan fungsi mastikasi dan dengan keadaan bilateral
free end (keadaan gigi posterior endentulus pada kedua rahang mandibula) akan
menyebabkan kesulitan dan keterbatasan dalam pengunyahan sehingga seseorang
akan cenderung menggunakan gigi anterior untuk menggantikan fungsinya. Hal ini
juga mengakibatkan ketidakstabilan oklusi, pasien cenderung memajukan dagu, dan
secara tidak sadar mengubah oklusi yang seharusnya saat melakukan pengunyahan
sehingga berdampak terhadap fungsi mastikasi dan hambatan pada proses pergerakan
rahang.7,8 Kehilangan gigi posterior yang tidak diganti akan menyebabkan gangguan
fungsi otot-otot mastikasi yang berdampak pada proses mastikasi. Hal ini terjadi
karena adanya pergerakan otot yang menyimpang dengan tekanan yang berlebihan,
sehingga otot-otot mastikasi mengalami kelelahan yang secara klinis terungkap
sebagai nyeri karena fungsi yang tidak harmonis dari otot-otot mandibula.9

Kurva van Spee pertama kali dikenalkan oleh Ferdinand Grof Von Spee pada tahun
1890, dimana kurva tersebut digambarkan secara klinis melalui distal marginal ridge
dari gigi paling posterior dan tepi insisal dari gigi insisivus pertama. Kurva spee
diartikan sebagai garis anatomis yang membentuk permukaan oklusal gigi dari ujung
cusp gigi kaninus mandibula sampai bukal cusp dari gigi posterior mandibula pada
potongan sagittal dan dilanjutkan sampai permukaan anterior dari ramus, apabila
kurvanya diperpanjang akan terlihat sebuah lingkaran dengan diameter sekitar 4 inci.
Kurva Spee dihasilkan dari variasi aksial gigi-gigi rahang bawah. Klasifikasi kurva
van Spee dibagi menjadi 3, yaitu normal, datar, dan curam. 10 Bentuk Kurva Spee
memiliki pengaruh terhadap posisi kondilus mandibula, kecenderungan bentuk Kurva
Spee yang sangat datar dapat mengakibatkan posisi kondilus lebih ke posterior dari
fossa mandibularis, sementara bentuk Kurva Spee yang curam dapat mengakibatkan
kondilus lebih ke anterior dari fossa mandibularis.11

Kurva Spee pada lengkung gigi alami yang ideal memungkinkan tercapainya
hubungan harmoni antara gigi anterior dan condylar guidance. Kurva ini dapat terlihat
pada bidang sagital dan paling baik dilihat dari aspek lateral, serta dapat memastikan
disklusi total posterior pada gerakan protrusi mandibula dan memberi bimbingan
kepada gigi anterior secara tepat.12 Selain itu, kurvatura oklusal yang normal
dibutuhkan agar sistem mastikasi dapat berfungsi dengan efisien. Kurva Spee yang
dalam sering ditemui pada maloklusi yang disertai dengan gigitan dalam yang parah,
maka keadaan ini akan menyebabkan ketidakseimbangan muskular sehingga
menjurus ke oklusi fungsional yang abnormal.13

Fungsi utama dari kurva Spee dipercaya memiliki fungsi biomekanikal selama
pengunyahan makanan dengan meningkatkan crush-shear ratio di antara gigi-gigi
posterior dan meningkatkan efektivitas pengunyahan. Kurva ini penting untuk
pergerakan yang efisien dari cusp-cusp gigi geligi untuk beroklusi sewaktu proses
mastikasi. Pergerakan fungsional mandibula yang lain seperti gerak protrusif dan
lateral juga sangat dipengaruhi kurva ini. Kurva Spee juga dapat berperan dalam
menahan tekanan oklusi ketika proses mastikasi.10,12

Berdasarkan kasus diatas, dikatakan bahwa oklusi gigi pasien menunjukkan pseudo
klas III, dengan oklusi gigi anterior edge to edge. Pseudo maloklusi Klas III biasanya
ditandai dengan hubungan skeletal Klas I atau Klas III ringan, gigi insisivus maksila
retroklinasi dengan posisi gigi insisivus mandibula tegak pada tulang basal, saat relasi
sentrik gigi insisivus berada pada hubungan edge to edge, dan saat oklusi sentrik
terjadi crossbite anterior. Akibat terjadinya hubungan rahang yang tidak tepat pada
pasien, maka hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan pada otot-otot
pengunyahan pasien, sehingga pasien tidak dapat mengunyah makanan dengan baik.
Gaya otot-otot pengunyahan merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya
maloklusi.14
3. Jelaskan fisiologis terjadinya sensasi rasa!

Sensasi rasa dimediasi oleh sel reseptor kemosensor yang dikenal sebagai taste buds
(kuncup pengecap). Setiap taste bud mengandung empat jenis sel yang secara
morfologis berbeda, yaitu sel basal, sel gelap (sel pengecap tipe I), sel terang (sel
pengecap tipe II), dan sel intermediate (sel pengecap tipe III). Seluruh sel-sel tersebut
merupakan saraf sensorik yang merespon terhadap rangsangan pengecapan, dimana
sel tipe II dapat mendeteksi rangsangan pahit, manis, dan umami dan sel tipe III
mendeteksi rangsangan asam. Ujung apikal sel pengecap memiliki microvilli yang
berproyeksi ke dalam pori pengecap.15,16

Jalur Pengecapan
Sinyal dari papil pengecap berjalan melalui saraf-saraf berbeda ke daerah gustatorik
nukleus traktus solitarius di medula oblongata, yang menyalurkan informasi ke
talamus, kemudian talamus berproyeksi ke korteks gustatorik yang memperantai
persepsi sadar sensasi rasa.

Mekanisme Terjadinya Sensasi Rasa


Mekanisme perubahan sinyal rasa dari bentuk rangsangan kimia menjadi impuls
listrik untuk ditransmisikan ke otak memerlukan kanal ion khusus dan sistem second
messenger. Secara umum, manusia memiliki lima pengecapan (rasa) dasar yaitu rasa
manis, asam, pahit, asin dan umami.15,17

Reseptor yang diduga berperan untuk kelima rasa mencakup dua jenis utama yaitu
ligand-gated channels (reseptor ionotropik) dan GPCRs (reseptor metabotropik). 15
Sensasi rasa asin dan asam dimediasi oleh kanal selektif-Na+ (ENaC), sensasi rasa
pahit dan manis melibatkan reseptor GPCRs, sedangkan sensasi rasa umami
melibatkan kedua reseptor ionotropik dan reseptor metabotropik.15,17

Ketika molekul makanan memasuki rongga mulut, makanan tersebut akan mencapai
pori pengecap yang berada pada permukaan apikal dari taste buds yang dikelilingi
oleh mikrovili. Molekul makanan tersebut kemudian akan berikatan dengan reseptor
spesifik pada permukaan sel dan menyebabkan terjadinya depolarisasi atau aktivasi
sinyal intraseluler oleh second messenger yang bergantung pada jenis sensasi rasa.
Selain itu, juga dapat terjadi influx ion kalsium yang menyebabkan vesikel
mengeksositosis isi neutrotransmitter, yang menyebabkan terjadinya potensial aksi
dan transduksi sinyal sepanjang permukaan basolateral reseptor rasa hingga akhirnya
ditransmisikan sebagai impuls listrik di sepanjang serabut saraf. Impuls tersebut
kemudian akan berlanjut diteruskan sampai mencapai korteks dan dipersepsikan
sebagai sensasi rasa.15,17

4. Jelaskan mekanisme terjadinya sensasi rasa hambar pada kasus tersebut!

Pada kasus, pasien merupakan seorang lansia berusia 65 tahun. Pada lansia terjadi
proses penuaan (aging). Proses penuaan merupakan suatu proses normal yang akan
dialami oleh setiap manusia, sehingga dapat dikatakan penuaan adalah suatu proses
penurunan fungsi alamiah pada jaringan atau organ yang dimanifestasikan dalam
derajat dan bentuk yang berbeda pada berbagai jaringan dan organ.18

Penuaan (aging) adalah perubahan yang mempengaruhi semua fungsi sistem tubuh
dan terjadi di semua sel, jaringan, dan organ tubuh. Penuaan juga dapat menyebabkan
modifikasi anatomi dan fisiologis, seperti variasi sensitivitas terhadap rasa, atrofi dan
penurunan sensitivitas indra perasa, efisiensi pengunyahan, aliran saliva, dan
integritas
mukosa mulut.19 Perubahan pada rongga mulut pasien seperti keadaan atrofi pada
mukosa mulut dan lidah, kerusakan dan kehilangan pada gigi geligi, serta lidah
mengalami fissure tongue dapat dipengaruhi oleh usia pasien.

Sensitivitas indera pengecap pada manusia akan mengalami penurunan. Penurunan


sensitivitas ini terjadi bersamaan dengan penurunan vaskularisasi yang disebabkan
secara umum oleh faktor usia. Hal ini disebabkan karena terjadinya kemunduran
dalam hal fisik maupun biologis dimana pada proses penuaan terjadi penurunan
tastebuds serta penurunan jumlah papila sirkumvalata. Tastebuds merupakan sel epitel
yang telah dimodifikasi, beberapa di antaranya disebut sebagai sel sustentakular dan
lainnya disebut sel reseptor. Sel-sel reseptor ini terus menerus digantikan melalui
pembelahan mitosis dari sel-sel epitel di sekitarnya dengan waktu paruh atau bertahan
sekitar 10 hari. Tastebuds meliputi seluruh permukaan lidah yang mempunyai garis
tengah sekitar 1/30 milimeter dan panjang sekitar 1/16 milimeter. Ujung saraf
pengecap berada di tastebuds pada seluruh permukaan lidah.20,21

Pada lansia, kecepatan mitosis dan ketahanan sel-sel pengecap (tastebud) berkurang,
sehingga makanan terasa hambar. Pada lansia, sel acini digantikan oleh jaringan ikat
fibrous dan lemak, sehingga volume saliva berkurang, fungsi saliva pun juga
berkurang. Jika saliva berkurang, maka daya hantar berkurang sehingga tidak dapat
masuk ke mikrovili yang mengakibatkan persepsi tidak sampai ke otak.20

Penurunan sensitivitas indera perasa yang menyebabkan makanan terasa hambar yang
dialami oleh pasien dipengaruhi oleh proses penuaan. Hal ini disebabkan oleh sensasi
pengecapan yang menurun secara berangsur-angsur ketika berusia sekitar 60 tahun
serta berkurangnya indera pengecap karena atrofi pada papila lidah seiring dengan
bertambahnya usia.22 Pada kasus, pasien merasa makanan terasa hambar dan tidak
adanya rasa makanan, ini dapat disebabkan bertambahnya usia mempengaruhi
kepekaan (sensitivitas) rasa akibat berkurangnya jumlah pengecap pada lidah.

Papila pengecap yang menutupi permukaan lidah akan berkurang secara drastis
seiring dengan bertambahnya usia. Pengurangan kuncup pengecap ini mengakibatkan
penurunan sensitivitas terhadap rasa manis, pahit, dan asam. Selain atrofi pada papila
lidah, manifestasi lain yang sering terlihat pada rongga mulut seiring dengan
bertambahnya usia adalah fissure tongue yang juga dijumpai pada pasien berupa fisur-
fisur yang dalam. Fissure tongue adalah variasi dari anatomi lidah normal yang terdiri
atas satu fisura garis tengah, fisura ganda atau fisura multiple dengan berbagai
kedalaman yang terdapat pada permukaan dorsal dari dua per tiga anterior lidah.18,20

Selain itu, permukaan dorsal lidah pada lanjut usia akan cenderung menjadi licin yang
juga disebabkan oleh atrofi pada papila lidah. Atrofi biasanya dimulai dari bagian
apeks dan sebelah lateral lidah. 18 Hal ini dapat dilihat pada hasil pemeriksaan rongga
mulut pasien yang menunjukkan mukosa lidah yang licin.

5. Jelaskan mekanisme terjadi gangguan dalam proses penelanan pada kasus


tersebut!
Kesulitan menelan (dysphagia) adalah masalah kesehatan yang berkembang pada
populasi usia lanjut. Karena perubahan motorik fisiologis, disfagia merupakan
masalah
umum yang terjadi pada populasi usia lanjut karena secara intrinsik terkait dengan
fisiologi penuaan.23 Disfagia atau gangguan menelan merupakan kelainan yang umum
terjadi, disfagia bukan suatu penyakit tetapi gejala atau kumpulan gejala yang
berhubungan dengan kesulitan menelan. Disfagia merupakan gejala kegagalan
memindahkan bolus makanan dari rongga mulut sampai ke lambung atau proses
penelanan, dimana proses ini membutuhkan aktivitas neuromuskuler yang kompleks
dan koordinasi yang cepat dari struktur dalam cavum oris, faring, laring, dan
esofagus.24

Disfagia berhubungan dengan penuaan, dan semakin meningkatnya umur harapan


hidup maka pasien usia tua dengan disfagia akan makin meningkat. Faktor resiko
kejadian disfagia sangat banyak, antara lain peningkatan usia, refluks asam, stroke,
kanker kepala dan leher, trauma kepala, sklerosis lateral amyotropik, palsy
pseudobulbar, penyakit alzheimer, dan myastenia gravis.24 Pada kasus, disfagia atau
gangguan menelan yang dialami oleh pasien kemungkinan besar disebabkan oleh
proses penuaan (peningkatan usia).

Mekanisme:
Peningkatan usia akan menyebabkan terjadinya proses degenerasi seperti ossifikasi
kartilago laring, atrofi otot-otot instriksik laring, dehidrasi pada pada mukosa laring,
berkurangnya elastisitas ligamen-ligamen laring, berkurangnya gigi-geligi, serta
penurunan kemampuan sensoris di daerah faring dan laring.24 Sistem pencernaan di
rongga mulut menunjukkan penurunan fungsi dengan meningkatnya usia. Fungsi
penelanan yang berkaitan dengan tekanan menurun seiring dengan meningkatnya usia
sehingga lansia terpaksa bekerja lebih keras untuk menghasilkan efek tekanan yang
adekuat untuk dapat menelan makanan. Kondisi ini akan meningkatkan resiko untuk
berkembangnya dysphagia.20

Akibat proses penuaan (aging), lansia berisiko lebih tinggi mengalami kesulitan
menelan. Lansia yang sehat juga dapat mengalami perubahan struktur, fisiologi, dan
persarafan mekanisme menelan yang disebut dengan presbyphagia. Perubahan
spesifik ini dapat mengakibatkan penurunan rentang gerak, tekanan, dan kecepatan
gerakan. Selain itu, terjadi pengurangan massa dan kontraksi otot yang menyebabkan
penurunan kekuatan dan fungsi lidah, bibir, dan rahang. Semua perubahan ini dapat
menyebabkan perubahan kecepatan dan efisiensi pergerakan bolus di rongga mulut.
Di daerah faring, orang yang lebih tua (lansia) juga mungkin mengalami
keterlambatan dalam inisiasi refleks menelan. Selain itu, gerakan anterior laring yang
tidak adekuat juga dapat disebabkan karena penurunan elastisitas jaringan ikat yang
menyebabkan berkurangnya pembukaan sfingter esofagus faring. Pada lansia,
presbyphagia dapat menyebabkan berkembangnya dysphagia.25,26

Aging effects on swallowing

Fungsi penelanan juga akan menurun pada lansia yang mempunyai rongga mulut
yang sehat. Hal ini disebabkan pergerakan lidah yang akan berubah dengan
meningkatnya usia, perubahan yang terjadi adalah perlambatan dalam mencapai
tekanan otot dan pergerakan yang efektif pada lidah, serta gangguan pada ketepatan
waktu kontraksi otot lidah sehingga mengganggu fungsi pencernaan di rongga mulut
secara keseluruhan.20 Selain itu, seiring bertambahnya usia, seseorang akan lebih
mudah mengalami dysphagia. Hal ini disebabkan oleh kelemahan otot yang terjadi
secara alami serta meningkatnya risiko terjadinya kondisi atau penyakit yang bisa
memicu dysphagia.26

Jadi pada kasus, terjadinya gangguan proses penelanan (dysphagia) dapat disebabkan
oleh beberapa faktor seperti:
 Kehilangan Gigi
Hilangnya gigi dapat berdampak terhadap proses menelan. Secara umum, proses
penelanan terdiri dari 3 tahap yaitu tahap oral, tahap faringeal, dan tahap
esofageal. Tahap oral dibagi menjadi dua subtahap yaitu:27
 Oral preparatory stage: bolus dibentuk melalui pengunyahan dan diposisikan
untuk transportasi menuju faring.
 Oral transit stage: bolus dipindahkan kembali melalui rongga mulut untuk
perjalanan ke faring dengan tindakan meremas depan-ke-belakang, dilakukan
terutama oleh lidah.
Pada kasus, hilangnya gigi posterior (edentulous) pasien dapat menyebabkan
penurunan kemampuan mengunyah dan menyebabkan kesulitan dalam
membentuk bolus, dimana akan terjadi peningkatan ukuran bolus. Peningkatan
ukuran bolus dapat menghambat proses penelanan, menyebabkan kontraksi yang
kuat, serta dapat menimbulkan rasa sakit saat menelan. Selain itu, bolus yang
tertelan meskipun tidak terdegradasi dengan baik akan menyebabkan kelainan
menelan pada tahap preparatory stage. Dengan demikian, kehilangan gigi dapat
menyebabkan gangguan pada proses penelanan.
 Faktor Penuaan
Secara umum, penuaan dikaitkan dengan atrofi serebral, penurunan fungsi saraf,
dan penurunan massa otot yang dapat mempengaruhi fungsi menelan.28
 Faktor Sekresi Saliva
Secara umum, fungsi saliva meliputi pembersihan rongga mulut, pelarutan zat
makanan, pembentukan bolus, fasilitasi pengunyahan dan menelan, pembersihan
makanan dan bakteri, pengenceran detritus, pelumasan mukosa, dan fasilitasi
dalam proses berbicara.27
Penurunan sekresi saliva (xerostomia) dapat mempengaruhi fase persiapan (oral
preparatory phase) dan fase oral pada proses penelanan, dimana dapat berdampak
pada gangguan pembentukan bolus dan transportasi bolus orofaringeal. Partikel
yang kecil cenderung menyebar apabila tidak ada saliva dan juga menyebabkan
proses menelan sulit karena partikel-partikel tersebut tidak membentuk bolus.
Pada kasus, terjadinya hiposalivasi pada pasien (xerostomia) yang menyebabkan
terhambatnya proses menelan yang diakibatkan oleh tidak terbentuknya bolus
pada partikel makanan.15, 27

6. Jelaskan mekanisme terjadinya xerostomia pada kasus tersebut!

Semakin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun (degenerasi
organ) baik karena faktor alamiah maupun penyakit. Salah satu hal yang terkait
dengan degenerasi pada usia lanjut yaitu keluhan mulut kering (xerostomia). 29
Xerostomia merupakan kondisi mulut kering yang ditandai adanya penurunan laju alir
saliva atau hiposalivasi yang diakibatkan oleh kurangnya sekresi saliva. 30,31 Seiring
bertambahnya usia, akan terjadi perubahan dan kemunduran fungsi dari kelenjar
saliva sehingga ada risiko penurunan produksi saliva. 31 Hal ini karena adanya
perubahan atrofi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur yang akan
menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya.30

Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses aging (penuaan). Fungsi kelenjar
saliva yang mengalami penurunan merupakan suatu keadaan normal pada proses
penuaan manusia. Terjadinya perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva
dimana kelenjar parenkim hilang dan digantikan oleh jaringan ikat dan lemak
mengakibatkan pengurangan jumlah dan kecepatan aliran saliva. Perubahan atrofi
yang terjadi di kelenjar submandibula sesuai dengan pertambahan usia juga akan
menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya.20,30 Selain itu, biosintesis
protein yang menurun karena sel-sel asinus mengalami atrofi menyebabkan jumlah
protein saliva menurun. Di samping itu, terjadinya degenerasi kelenjar saliva juga
mengakibatkan sekresi dan viskositas saliva menurun.20

Pada kasus, pasien berusia 65 tahun, sehingga dapat disimpulkan kemungkinan besar
pasien mengalami xerostomia karena dipengaruhi oleh proses penuaan, dimana proses
penuaan dapat menyebabkan penurunan jumlah sel asinar dan peningkatan jaringan
adiposa dan fibrosa, serta terjadi perubahan dan kemunduran fungsi dari kelenjar
saliva sehingga terjadi penurunan produksi saliva dan akhirnya menyebabkan mulut
pasien kering (xerostomia). Selain itu, juga dapat terjadi perubahan onkotik pada sel
asinar (sel menjadi lebih besar dan eosinofilik dan penurunan aktivitas) yang
berakibat pada penurunan sekresi saliva sehingga menimbulkan mulut kering
(xerostomia).32
7. Jelaskan mekanisme terjadinya tersier dentin yang menyebabkan gigi tidak
terasa ngilu pada kasus di atas!

Dentin tersier adalah jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi
terhadap stimulus eksternal yang kuat dalam penggunaan gigi geligi. Atrisi akibat
pengunyahan yang cepat dan berlebihan akan memicu odontoblast-like cell
membentuk dentin tersier. Pulpa memiliki sel khusus yaitu odontoblas yang
mempertahankan kemampuan pulpa membentuk dentin sepanjang hidup. Sel ini akan
mempertahankan kesehatan pulpa dengan mengganti bagian yang rusak akibat
kehilangan lapisan enamel atau dentin yang disebabkan oleh karies atau keausan gigi
dengan membentuk jaringan keras yang akan menghambat iritasi mencapai jaringan
pulpa yang tersisa sehingga gigi tidak terasa nyeri/ngilu.33

Perbaikan dentin terjadi terus menerus oleh sel odontoblas. Odontoblas membentuk
dentin tersier sebagai respon terhadap injuri akibat atrisi. Dentin tersier terbagi dua
berdasarkan sumber odontoblas pembentuknya, yaitu dentin reaksioner dan dentin
reparatif.
 Dentin reaksioner dibentuk oleh original odontoblast yang merupakan reaksi
penyembuhan akibat cedera ringan pada permukaan pulpa.
 Dentin reparatif dibentuk oleh odontoblast-like cell yang merupakan reaksi
penyembuhan pulpa akibat cedera jaringan yang lebih besar pada pulpa.33

Atrisi akibat pengunyahan yang cepat dan berlebihan akan memperparah kehilangan
enamel dan dentin sehingga menimbulkan reaksi hipersensitifitas akibat tubulus
dentin tidak ditutupi lapisan mineral. Semakin besar derajat atrisi yang terjadi, maka
respon pulpa akan merespon dengan pembentukan dentin tersier. Dentin tersier
terbentuk tepat dibagian yang mendapat injuri yang merusak odontoblas atau merusak
sel-sel dalam pulpa. Pembentukannya tergantung pada intensitas injuri yang terjadi.
Pembentukan dentin tersier menyebabkan tidak timbulnya nyeri pada kasus atrisi.
Pembentukan dentin tersier biasanya terjadi pada permukaan pulpa untuk mencegah
terpaparnya pulpa akibat cedera pada dentin.33

Reaksi pulpa terhadap faktor yang tidak normal, intensitas tinggi, frekuensi tinggi,
atau respon terhadap injuri yang kuat dan inflamasi pulpa akan membentuk lapisan
dentin tersier (dentin reaksioner atau dentin reparatif). Dalam kasus yang sangat
agresif, fungsi odontoblas yang rusak akan digantikan oleh odontoblast-like cells yang
berasal dari diferensiasi sel mesenkim atau sel fibroblast dan akan membentuk dentin
tersier. Sedangkan ketika injuri masih ringan, odontoblas yang masih tertinggal akan
menghasilkan dentin reaksioner yang memiliki struktur yang sama dengan dentin
primer.33

Dentin reaksioner dibentuk oleh odontoblast yang survive, sedangkan dentin reparatif
dibentuk oleh odontoblast like cell yang terdiferensiasi dari stem sel pulpa gigi atau
residual pulpa gigi.34

Dentin reparatif
Dentin reparatif adalah matriks dentin tersier yang disekresikan oleh sel odontoblast-
like cell yang berasal dari sel mesenkim yang belum terdiferensiasi, merupakan
respons tubuh terhadap stimulus yang kuat setelah terjadinya kematian odontoblast
postmitotic original yang bertanggung jawab atas sekresi dentin primer atau sekunder.
Respons dentin reparatif berada pada sisi pulpa yang terekspos, hal ini karena
hilangnya odontoblast dan diperlukannya pembentukan jembatan dentin (dentinal
bridge) pada daerah tersebut. Dentinogenesis reparatif melibatkan sequensi (lebih
kompleks) kejadian biologik yang lebih langka dibandingkan dentinogenesis
reaksioner, karena melibatkan sel progenitor dan adanya induksi diferensiasi dari
odontoblast-like cell sebelum terjadinya sekresi matrix dentin reparatif. Salah satu
yang berperan dalam dentinogenesis reparatif adalah growth factor, yang bertindak
sebagai regulasi beberapa fungsi sel seperti proliferasi, diferensiasi, dan sintesis
matriks.34
Pemulihan (repair) dentin dihubungkan dengan meningkatnya vaskularisasi dan
inisiasi respons innate imun pada area tersebut. Hal ini dihubungkan dengan
kemampuan sel pulpa melakukan sekresi growth factor, yang akan memulai stimulasi
diferensiasi sel dan neovaskularisasi. Ada tiga tahap dentinogenesis reparatif:34
1. Recruitment sel progenitor
2. Signalling diferensiasi odontoblast-like cell, dan
3. Regulasi sekresi matriks oleh sel.
Sel mesenkim yang belum terdiferensiasi berada dalam cell rich zone Höhl
berdekatan dengan odontoblast layer merupakan sel progenitor. Sel progenitor bersifat
pluripoten, yaitu memiliki kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi bermacam-macam
jenis sel sesuai dengan kebutuhan. Sel ini merupakan sel yang pertama kali membelah
ketika terjadi cedera. Sel tersebut dapat menjadi fibroblas maupun odontoblas. Selama
peradangan, sel-sel tersebut dapat berdiferensiasi menjadi makrofag atau sel resorpsi
(dentinoklas).34

Pada dentinogenesis reparatif, migrasi sel progenitor pada pulpa ke arah sisi cedera
memerlukan kemampuan kemotaktik. Komponen matriks dentin pada pulpa yang
memiliki kemampuan kemotaktik antara lain perisit dan TGF-β1 (kemotaktik untuk
fibroblast, makrofag, neutrofil, dan monosit selama penyembuhan jaringan luka).
Bersamaan dengan migrasinya sel progenitor pada sisi yang cedera, signalling
diferensiasi dari odontoblast-like cell harus sudah terjadi sebelum sekresi dentin
reparatif dimulai. Dalam hal ini growth factor dan sitokin yang berperan di dalam
signalling diferensiasi odontoblast. Growth factor yang paling banyak dibicarakan
adalah TGF-βs yang berasal dari dentin matriks, kelompok growth factor ini hadir
dalam matriks sebagai protein matriks dengan kandungan bioaktif yang potensial.34

Matriks yang disekresikan selama dentinogenesis tersier dapat berbentuk regular


(tubular matriks) sampai berbentuk atubular matriks (displastik) dan kadang-kadang
disertai adanya inklusi seluler seperti fibrodentin. Pada beberapa dentin reparatif,
kadang-kadang menunjukkan tampilan osteodentin. Bervariasinya morfologi matriks
ini dihubungkan dengan morfologi dan sekretori dari odontoblast-like cell yang
terlibat di dalam sekresi, yang memiliki struktur matriks dan komposisi yang berbeda.
Struktur dentin reparatif bersifat lebih irregular, kurang mineralisasi, lebih lunak, dan
lebih banyak berisi material organik dibanding dentin primer. Pada sisi tereksposnya
pulpa, dentin reparatif akan terdeposisi dengan membentuk jembatan dentin.34

Dentin-pulpa kompleks mengalami perubahan-perubahan seiring dengan


bertambahnya usia sama seperti jaringan tubuh yang lain. Perubahan yang paling jelas
adalah penurunan volume ruang pulpa dan saluran akar akibat berlanjutnya
pembentukan dentin. Ketika gigi sudah erupsi sempurna, dentin mengalami
perubahan baik akibat pertambahan usia ataupun sebagai respon terhadap stimulus
yang diterima gigi, seperti karies atau atrisi gigi. Perubahan fisiologis karena
pertambahan usia ditandai dengan pembentukan dentin sekunder dan translusen
dentin, sedangkan sebagai respon terhadap stimulus luar, ditandai pembentukan
dentin tersier.33

8. Jelaskan patofisiologis TMJ akibat atrisi pada kasus di atas!

Atrisi pada gigi geligi merupakan dampak dari kebiasaan menggertakkan gigi
(bruxism). Bruxism adalah gangguan yang terjadi pada komponen sistem
pengunyahan yang disebabkan adanya aktivitas parafungsional. Aktivitas
parafungsional adalah aktivitas yang terjadi di luar fungsi pengunyahan, penelanan,
dan bicara yang berupa kontak gigi dengan tekanan melebihi tekanan fungsional
normal. Aktivitas parafungsional ini dapat terjadi siang hari (diurnal) atau awake
bruxism dan malam hari (nokturnal) atau sleep bruxism, yang meliputi gerakan
clenching dan grinding. Aktivitas yang terjadi dapat berupa kontak antara gigi-gigi
atas dan bawah, kontak antara gigi dan jaringan lunak seperti menggigit pipi, lidah,
menghisap bibir, atau kontak antara gigi dengan benda asing.35

Bruxism diketahui mempunyai hubungan dengan kelainan TMJ, yaitu dapat


mengakibatkan sakit pada otot mastikasi dikarenakan hiperaktivitas pada otot.
Hiperaktivitas otot ini menyebabkan hipoksia pada muskulus sehingga terjadi
kelelahan pada otot pengunyahan. Bruxism merupakan kebiasaan buruk yang
diketahui sebagai penyebab utama stress mekanik yang berlebih pada TMJ. Kebiasaan
menggertakkan gigi (bruxism) dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada otot
masseter serta otot temporalis dan memberi distribusi beban yang besar pada TMJ.
Tekanan dan beban yang besar ini akan mempengaruhi mekanisme kerja otot
sehingga menimbulkan rasa sakit pada otot dan sendi.11 Gejala lain sering timbul yaitu
nyeri pada sendi temporomandibula. Hal ini disebabkan adanya tekanan pada sendi
karena hiperaktivitas otot pengunyahan yang terus menerus menyebabkan penipisan
diskus artikularis bagian posterior, diskus akan bergerak lebih ke antero-medial
sehingga kondilus berada pada bagian posterior diskus yang berisi saraf dan
pembuluh darah sehingga penderita merasakan sakit pada sendinya.35

TMJ (temporomandibular joint) merupakan persendian yang menghubungkan antara


rahang bawah (mandibula) dengan rahang atas (maksila). Bagian-bagian dari TMJ
merupakan penonjolan yang berbentuk bulat pada ujung tulang rahang bawah
(kondilus mandibula), daerah yang berongga pada bagian rahang atas (fossa glenoid)
dan jaringan ikat yang terletak antara kondilus mandibula dan fossa artikularis (diskus
artikularis). Sendi temporomandibularis/ temporomandibular joint (TMJ) adalah sendi
yang menghubungkan tulang temporalis pada bagian inferior pars skuamosa dengan
kondilus mandibularis. TMJ merupakan sendi paling kompleks dan berfungsi
menghubungkan rahang atas dan rahang bawah dalam pergerakan mandibula dimana
gerakan-gerakan ini memungkinkan terjadinya proses pengunyahan, penelanan, dan
pengucapan.6,11

Bruxism juga berdampak pada atrisi gigi. Atrisi adalah keausan yang disebabkan oleh
kontaknya gigi geligi, biasanya terjadi pada kelainan bruxism dan pada orang tua
(karena penggunaan gigi yang sudah berlangsung lama). Pada kasus atrisi yang parah
juga dapat menyebabkan kelainan TMJ oleh karena penurunan vertikal dimensi oklusi
(VDO). Penurunan dimensi vertikal ini dapat terjadi pada gigi atrisi pasien dengan
kebiasaan bruxism. Penurunan vertikal dimensi ini akan mengakibatkan berkurangnya
biting surface sehingga terjadi pergeseran yang semakin dekat antara rahang atas dan
rahang bawah. Selanjutnya, dapat menyebabkan kerusakan sendi rahang dengan
gejala disfungsi temporomandibula, tekanan kontraksi otot sewaktu menutup mulut,
gigi fraktur dan kehilangan gigi, menggangu pengunyahan, penurunan tinggi wajah,
dan cracking pada TMJ.11

9. Jelaskan posisi TMJ dan dampaknya pada kasus tersebut!


Pada kasus, dijumpai gigi 35, 36, 37, 38, 45, 46, 47, 48 edentulous. Kehilangan gigi
posterior ini sangat mempengaruhi perubahan pola oklusi karena gigi posterior
berfungsi sebagai pusat pengunyahan sehingga perubahan yang terjadi akibat
kehilangan gigi posterior akan menyebabkan terputusnya integritas kesinambungan
susunan gigi sehingga kontak oklusi hilang. Hilangnya kontak oklusi mengakibatkan
penderita berusaha mendapatkan kontak oklusi baru pada gigi anterior sehingga
terjadi oklusi ke arah anterior (cusp to cusp dan edge to edge). Apabila kehilangan
gigi ini dibiarkan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya pseudo Klas
III yang mempengaruhi perubahan kondilus lebih ke anterior.11

Kehilangan gigi akan menyebabkan tekanan yang lebih besar pada TMJ akibat
bertambahnya berat beban oklusal pada gigi yang masih tertinggal. Keadaan ini akan
mempengaruhi sistem neuromuscular dam memicu timbulnya gejala kelainan TMJ.
Kondisi endentulous gigi posterior juga berpengaruh terhadap berkurangnya jarak
vertikal dimensi berupa penurunan tinggi sepertiga wajah yang menyebabkan wajah
menjadi lebih brachyfacial. Kondisi ini menyebabkan pola gerak fungsional
temporomandibular joint berubah sehingga terjadi peningkatan tekanan biomekanik
pada struktur temporomandibular joint. Tekanan biomekanik yang berlebihan dalam
jangka waktu yang lama akan menyebabkan penipisan pada diskus. Tekanan yang
berlebihan yang terus menerus pada akhirnya menyebabkan perforasi dan keausan
sampai dapat terjadi fraktur pada diskus yang dapat mendorong terjadinya perubahan
pada permukaan artikular.11

Pengurangan jarak vertikal dimensi juga menyebabkan dislokasi diskus ke anterior.


Dislokasi diskus ke anterior menyebabkan saat gerakan membuka mulut, kondilus
bergerak ke depan mendorong diskus ke anterior sehingga terjadi lipatan dari diskus.
Pada keadaan tertentu dimana diskus tidak dapat terdorong lagi, kondilus akan
melompati lipatan tersebut dan terus bergerak ke bawah permukaan diskus. Lompatan
ini akan menimbulkan bunyi klik pada pergerakan sendi.11

Jadi, pada keadaan edentulous gigi posterior, posisi TMJ berubah. Rahang bawah
berubah ke depan sehingga posisi prosesus kondiloideus maju ke depan melewati
eminensia artikularis yang lama kelamaan dapat menyebabkan dislokasi mandibula
dan terjadi clicking.11
DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution M. Peran gigi geligi pada rongga mulut. Medan: USU Press, 2021: 179.
2. Hall JE. Guyton and Hall textbook of medical physiology. 14th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier, 2021.
3. Suhartini. Fisiologi pengunyahan pada sistem stomatognati. Stomatognatic (J.K.G
Unej) 2011; 8(3): 122-26.
4. Gomes SG, Custodio W, Cury AA, Garcia RC. Effect of salivary flow rate on
masticatory efficiency. Int J Prosthodont 2009; 22: 168-72.
5. Handayatun NN, Valentina NK, Situmeang P. Kebutuhan dan permintaan perawatan
orthodonsi pada mahasiswa poltekkes Jambi tahun 2011. Jurnal Poltekkes Jambi
2011; 4: 44-8.
6. Suhartini. Kelainan pada temporo mandibular joint (TMJ). Stomatognatic (J.K.G
Unej) 2011; 8(2): 78-85.
7. Hartono CK, Hendrijantini N, Soekobagiono. Bilateral mandibular posterior
edentulous rehabilitation for unstable occlusion patient with bilateral attachment
retained mandibular removable partial denture. Acta medica philippina 2019; 53(6):
547-57.
8. Windriyatna, Sugiatno E, Tjahjanti E. Pengaruh kehilangan gigi posterior rahang atas
dan rahang bawah terhadap gangguan sendi temporamandibula. J Ked Gi 2015; 6(3):
315-20.
9. Okeson JP. Functional Anatomy and Biomechanics of the Masticatory System. In:
Dolan J, 6th ed. Managements of Temporamandibular Disorders and Occlusion.
Missouri: Mosby, 2008: 1-24.
10. Mahayeni KS, Farmasyanti CA, Suparwitri S. Hubungan perubahan kurva spee
dengan jarak gigit, tumpang gigit dan jarak inter kaninus pada perawatan teknik begg.
Jurnal Kedokteran Gigi 2013; 4(4) :261- 66.
11. Ginting R, Tarigan G, Napitupulu FMN, Simbolon DLH. Sendi
Temporomandibularis. Medan: USU Press, 2020: 31-9.
12. Dhiman S. Curve of Spee - from orthodontic perspective. Indian J Dent 2015; 6(4):
199–202.
13. Marshall SD, Casperse M, Hardinger RR, Franciscus RG, Aquilino SA, Southard TE.
Development of the curve of Spee. American J of Orthodontics and Dentofacial
Orthopedics 2008; 134(3): 344-51.
14. Aditya G. Perubahan pada sendi temporo-mandibula dan otot-otot pengunyahan
setelah perawatan ortodonti dengan pencabutan premolar. J KG Unnisula 2018: 7.
15. Barrett KE, Barman SM, Brooks HL, Yuan J. Ganong’s review of medical
physiology. 26th ed. New York: McGraw-Hill Medical, 2019.
16. Roper SD, Chaudhari N. Taste buds: cells, signals and synapses. Nat Rev Neurosci
2017; 18(8): 485-97.
17. Shaikh FH, Soni A. Physiology, taste. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing,
2021.
18. Widayagdo A, Nugroho C. Kondisi rongga mulut pada lansia Kabupaten Brebes.
IOHJ (Indonesian Oral Health journal) 2017; 2(1): 9-16.
19. Martelli ME, et al. Taste sensitivity throughout age and the relationship with the sleep
quality. Sleep Sci 2020; 13(1): 32-6.
20. Primasari A. Proses penuaan dari aspek kedokteran gigi. 2nd ed. Medan: USU Press,
2018: 108-23.
21. Fabian TK, Beck A, Fejerdy P, et al. Molecular mechanisms of taste recognition:
Considerations about the role of saliva. Injt J Mol Sci 2015; 16(3): 5945-74.
22. Jeon S, et al. Taste sensitivity of elderly people is associated with quality of life and
inadequate dietary intake. Nutrients 2021; 13(5): 1-14.
23. Jannah SN, Syahrul S, Kadar K. Intervensi untuk meningkatkan fungsi menelan pada
populasi usia lanjut dengan disfagia. Jurnal Keperawatan 2021; 13(1): 55-6.
24. Nayoan CR. Gambaran penderita disfagia yang menjalani pemeriksaan fiberoptic
endoscopic evaluation of swallowing di RSUP dr. Kariadi Semarang periode 2015 –
2016. Jurnal Kesehatan Tadulako 2017; 3(2): 47-56.
25. Thiyagalingam S, et al. Dysphagia in older adults. Mayo Clin Proc 2021; 96(2): 488-
97.
26. Mayo Clinic. Dysphagia. 17 Oktober 2019. https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/dysphagia/symptoms-causes/syc-20372028 (9 Oktober 2021).
27. Furuta M, Yamashita Y. Oral health and swallowing problems. Curr Phys Med
Rehabil Rep 2013; 1(4): 216-22.
28. Aslam M, Vaezi MF. Dysphagia in the elderly. Gastroenterol Hepatol (N Y) 2013;
9(12): 784-95.
29. Walukow WG. Gambaran xerostomia pada penderita diabetes melitus tipe 2 di
poliklinik endokrin RSUP. Prof dr. R. D. Kandou Manado. e-GiGi 2013; 1(2): 1-5.
30. Kurniawan AA, Wedhawati MW, Triani M, Imam DNA, Laksitasari A. Xerostomia
pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Stomatognatic (J.K.G Unej) 2020; 17(1): 33-
6.
31. Tawas SAD, Mintjelungan CN, Pangemanan DHC. Xerostomia pada usia lanjut di
Kelurahan Malalayang Satu Timur. Jurnal e-GiGi (eG) 2018; 6(1): 19.
32. Barbe AG. Medication-induced xerostomia and hyposalivation in the elderly:
Culprits, complications, and management. Drugs Aging 2018; 35(10): 877-85.
33. Yendriwati, Lindawati Y, Nababan RS. Distribusi dentin tersier pada puncak pulpa
gigi molar mandibula yang atrisi akibat menyirih. dentika Dental Journal 2016; 19(1):
1-3.
34. Octiara E. Dentin reparatif dan growth factor yang berperan dalam dentinogenesis
reparatif. dentika Dental Journal 2015; 18(3): 294-9.
35. Kurnikasari E. Berbagai teknik penanganan bruksisme. JMKG 2013; 2(1): 36-42.

Anda mungkin juga menyukai