Anda di halaman 1dari 5

Persoalan Negara Federal dan BFO

 Penjelasan BFO dan Persoalan Negara Federal

Permasalahan ini muncul dimulai sejak Perundingan Linggarjati disetujui dan ditanda
tangani dan di perparah dengan penandatanganan perundingan yang lainnya, seperti
Roem-Royen. Konsep Negara Federal dan "Persekutuan" Negara Bagian
(BFO/Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di
kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan.  

Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk
negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi
negara kesatuan.

Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan
untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI
itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin
Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.

Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau
tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa
diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh
karena persoalan negara federal ini (1947)

 Tokoh BFO

Hubertus Johannes van Mook (lahir di Semarang, 30 Mei 1894 -- meninggal di L'Illa de
Srga, Perancis, 10 Mei 1965 pada umur 70 tahun) secara de facto adalah Gubernur-
Jenderal Hindia Belanda (pangkat sesungguhnya adalah Letnan Gubernur Jenderal) yang
terakhir yang menjabat setelah Jepang menguasai Hindia Belanda.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar HBS di Soerabaja, van Mook pindah ke Belanda
untuk melanjutkan pendidikan tinggi teknik di Delft. Tahun 1914 sempat masuk dinas
ketentaraan sukarela dan melanjutkan studi tentang Indonesia di Universitas Leiden pada
tahun 1916 dan lulus tahun 1918. 

Setelah itu, ia kembali ke Hindia Belanda dan ditugaskan menjadi inspektur mengurusi
distribusi pangan di Semarang. Tahun 1921 menjadi penasihat urusan pertanahan di
Yogyakarta. Tahun 1927 menjadi asisten residen urusan kepolisian di Batavia. Dalam
tahun 1930-an dia menjadi ketua departemen urusan ekonomi [1].
Tanggal 20 November 1941 van Mook diangkat menjadi Menteri Urusan Tanah Jajahan
(Minister of Colonies). Awal 1942 menjelang masuknya Jepang ke Indonesia, van Mook
menjadi Letnan Gubernur-Jenderal dan berusaha mendapatkan dukungan militer dari
Amerika Serikat untuk pengadaan persenjataan melawan Jepang, namun bantuan yang
dinanti-nantikan terlambat datang, meskipun telah dibayar tunai. 

Saat Jepang mendarat di Jawa, van Mook mengungsi ke Australia, sementara Gubernur-
Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer tetap berada di Indonesia. Tjarda van
Starkenborgh ditawan Jepang, kemudian dibawa ke Manchuria dan baru dilepaskan pada
bulan September 1945.

Pada tahun-tahun akhir Perang Pasifik van Mook yang berada di Australia tetap
menyandang pangkat Letnan Gubernur Jenderal meskipun secara de facto bertindak
selaku Gubernur Jenderal karena Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ditawan Jepang
dan setelah dibebaskan diangkat menjadi Duta Besar Belanda di Perancis. 

Pangkat van Mook tetap Letnan Gubernur Jenderal tetapi secara de facto dia melakukan
tugas sebagai Gubernur Jenderal. Dia menjabat dari tanggal 14 September 1944 sampai 1
November 1948.

Pada tahun 1949 van Mook menjadi profesor tamu di Universitas California dan pada
tahun 1951 van Mook bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pakar
pengembangan kawasan. Sejak 1960 van Mook memilih menetap di L'Illa de Sorga,
Perancis sampai akhir hayatnya, tahun 1965.

 Perjanjian Linggarjati

Perjanjian Linggarjati sebagaimana kita ketahui memiliki dampak negatif khususnya bagi
rakyat indonesia dan hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat
Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat
Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata.

Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya


pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. 

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden


No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar
pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.
 Perundingan Roem Royem

Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak mau
mengakui kelahiran negara indonesia. Dan Belanda pun membuat negara boneka yang
bertujuan mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Negara boneka tersebut
dipimpin oleh Van Mook. Dan Belanda mengadakan konferensi pembentukan Badan
Permusyawaratan Federal(BFO) 27 Mei 1948.

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda dengan
menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat
lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin
Prawiranegara yang mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Dengan begitu Indonesia menunjukkan kegigihan mempertahankan wilayahnya dari


segala agresi Belanda. Akhirnya konflik bersenjata harus segera diakhiri dengan jalan
diplomasi. Dan atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia, maka pada tanggal 14 April
1949 diadakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, Anggota
Komisi Amerika.

 Konferensi Inter Indonesia

Merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan


negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam
BFO. 

Pada awalnya pembentukkan BFO ini diharapkan oleh Belanda akan mempermudah
Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Namun sikap negara-negara yang
tergabung dalam BFO berubah setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang
kedua terhadap Indonesia. 

Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik


Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya
Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya
Konferensi Inter-Indonesia pada bulan Juli 1949.

BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga


permusyawaratan dari negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri
negara Pasundan, Mr. Adil Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur,
Gede Agung, memainkan peran penting dalam pembentukan BFO.

Dalam tubuh BFO juga terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada
bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak
kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk
Negara Indonesia Serikat.

Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja
dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II
(Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur).

Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis
dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflk terbuka di bidang militer,
pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan
masalah psikologis. 

Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari
TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti
APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL.

Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian
dan mereka menentang masuknya anggotaTNI ke negara bagian (TaufiAbdullah danAB
Lapian, 2012.).
 

 Kesimpulan

Negara Federal maupun BFO prinsipnya sama, yakni  adalah suatu negara yang secara
resmi merdeka dan diakui kedaulatannya namun secara de-facto berada di bawah kontrol
negara lainnya. 

Negara boneka secara harfiah berarti negara di mana pemerintahannya dapat disamakan
seperti boneka yang dimainkan oleh pemerintah negara lainnya sebagai dalang. Terdapat
kelompok federal dan unitaris di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai