Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Air Asam Tambang

Air asam tambang (AAT) merupakan air dengan nilai pH yang rendah dan
kelarutan logam yang cenderung meningkat yang terbentuk karena adanya reaksi antara
mineral sulfida, oksigen, dan air. Reaksi oksidasi melepaskan ion H + ke dalam air sehingga
menurunkan nilai pH air. Dalam operasi penambangan terbuka, acid mine avoiding sangat
sulit dilakukan pada area penambangan yang memiliki karakteristik dominan PAF
sehingga pembentukan AAT sulit dihindari. Karakteristik AAT yang asam dengan
kelarutan logam yang tinggi berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
AAT merupakan isu utama yang sering muncul dari kegiatan operasi penambangan (Indra
dkk., 2014).
Tabel 2.1 Spesifikasi kualitas Air Asam Tambang (AAT)
No Parameter Nilai
1. pH 5
2. Temperatur (oC) 30,4 oC
3. TSS (ppm) 18,7
5. Logam Fe (ppm) 1,1935
6. Logam Mn (ppm) 7,0600
Sumber: Hasil Analisa di Laboratorium pengujian Balai Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pengendalian Penyakit (Afrianty dkk., 2012).

Air asam tambang akan menghasilkan endapan batubara yang masih memiliki
sifat-sifat fisika yang tidak jauh berbeda dengan batubara asalnya, antara lain kandungan
kalorinya. Endapan ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif melalui
pembuatan briket batubara. Namun polutan yang terdapat dalam air asam tambang, yakni
logam kadmium (Cd) dapat meracuni perairan dan berdampak buruk bagi kesehatan
makhluk hidup di sekitarnya. Selain itu juga dapat mengakibatkan penurunan kualitas
lingkungan (Pinandari dkk., 2011)

2.2 Proses Pembentukan Air Asam Tambang


Air asam tambang (AAT) atau acid mine drainage (AMD) terbentuk karena adanya
mineral sulfida (pirit) yang terekspose oleh oksigen dan air dapat terbentuk dalam air tanah
pada sebuah tambang yang masih aktif berproduksi. Senyawa-senyawa sulfur yang sering
terdapat dalam air asam tambang adalah pyrite (FeS2), marcasite (FeS2), Pyrrhotite
(FexSx), chalcosite (CuS2), covelite (CuS), chalcopyrite (CuFeS2), molybdenite (MoS2),
milerite (NiS), galena (PbS), sphalerite (ZnS), dan arsenopyrite (FeAsS) (Nasir dkk.,
2013).
Air asam tambang timbul apabila mineral-mineral sulfida yang terkandung dalam
batuan pada saat penambangan berlangsung, bereaksi dengan air dan oksigen. Oksidasi
pirit (FeS2) akan membentuk ion ferro (Fe2+), sulfat, dan beberapa proton pembentuk
keasaman, sehingga kondisi lingkungan menjadi asam (Nasir dkk., 2014).
Reaksi Pembentukan Air Asam Tambang
4 Fe + 15 O2 + 14H2O 4 Fe(OH3) + 8 H2SO4
Pyrite + oxygen + water Yellowboy Sulfure Acid
Reaksi antara besi, oksigen dan air akan membentuk asam sulfat dan endapan besi
hidroksida. Warna kekuningan yang mengendap di dasar saluran tambang atau pada
dinding kolam pengendapan lumpur merupakan gambaran visual dari endapan besi
hidroksida (Yellowboy). Di dalam reaksi umum pembentukan air asam tambang terjadi
empat reaksi pada pirit yang menghasilkan ion-ion hidrogen yang apabila berikatan dengan
ion-ion negatif dapat membentuk asam (Nasir dkk., 2014).
Adapun karakteristik kimia dari air asam tambang yaitu:
1) pH rendah (nilainya berkisar antara 1,5 hingga 4).
2) Konsentrasi logam dapat larut tinggi (seperti besi, aluminium, mangan, kadmium,
tembaga, timah, seng, arsenik dan merkuri).
3) Nilai keasaman : 50-15.000 mg/L dan konduktivitas listrik umumnya antara 1000-
20.000 μS/cm.
4) Konsentrasi yang rendah dari oksigen terlarut (< 6 mg/L).
5) Tingkat kekeruhan (turbiditas) atau total padatan tersuspensi yang rendah (Nasir dkk.,
2014).
Senyawa Pyrite (FeS2) merupakan senyawa yang berperanan dalam pembentukan
asam dan pelarutan ion logam pada batubara atau mineral lainnya. Pyrite dapat teroksidasi
ketika terpapar oleh oksigen dan air dan menghasilkan ion hidrogen yang bersifat asam,
ion sulfat dan kation logam yang dapat larut. Rendahnya oksigen terlarut akan
menyebabkan peningkatan konsentrasi ion fero, sulfat dan hidrogen. Akibatnya air asam
yang terbentuk akan mempunyai pH yang rendah. Pada saat air mempunyai pH rendah
maka bakteri acidophilic misalnya Thiobacillus Ferroxi dan berperan dalam mengoksidasi
ion ferro (Nasir dkk., 2013).

Gambar 2.1 Mekanisme Dasar Oksidasi Pyrite (Said, 2014)

Di kawasan tambang batubara yang mengandung mineral sulfida dan oksidasi besi
sulfida (FeS2), konversi terbentuknya asam dapat terjadi melalui beberapa reaksi. Secara
umum terdapat empat persamaan reaksi utama, yaitu:

FeS2 + 7/2 O2 + H2O <==> Fe2+ + 2 SO42- + 2 H+ (2.1)

Fe2+ + 1/4 O2 + H+ <==> Fe3+ + ½ H2O (2.2)

Fe3+ + 3 H2O <==> Fe(OH)3 + 3 H+ (2.3)

FeS2 + 14 Fe3+ + 8 H2O <==> 15 Fe2+ + 2 SO42- + 16 H+ (2.4)

Pada persamaan (2.1), besi sulfida teroksidasi menghasilkan besi ferro (Fe 2+), sulfat
(SO42-) dan asam (ion H+). Besi ferro selanjutnya dapat teroksidasi menjadi bentuk besi
ferri (Fe3+) seperti ditunjukkan oleh persamaan (2.2). Selanjutnya besi ferri terhidrolisa
menjadi ferri hidroksida (FeOH)3 dan ion H+ (persamaan reaksi 2.3). Keasaman (acidity,
H+) yang terbentuk dapat bertindak sebagai katalis dalam memecah pyrite (FeS2)
menghasilkan lebih banyak lagi ion ferro (Fe2+), sulfat dan H+ (persamaan reaksi 2.4). Jika
reaksi seperti yang ditunjukkan pada persamaan di atas melambat atau berhenti, maka
pembentukan air asam tambang juga akan melambat atau berhenti. Mekanisme oksidasi
pyrite secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Said, 2014).

2.3 Dampak Air Asam Tambang

Adapun lingkungan yang akan merasakan dampak negatif dari air asam tambang
yaitu :
1. Flora dan Fauna pada lingkungan air
Air asam tambang yang mencemari lingkungan mengganggu ekosistem di lokasi
penambangan karena dapat membuat flora dan fauna disekitarnya tidak dapat bertahan
hidup akibat kontaminasi antara air permukaan dengan air asam tambang, air akan menjadi
lebih asam. Tingkat kontaminan logam berbahaya seperti Besi, Seng, dan Mangan dapat
menurunkan kualitas air yang ada pada lingkungan.
2. Masyarakat yang berada disekitar areal penambangan
Air yang telah terkontaminasi dengan air asam tambang akan mengandung logam
berat seperti besi, seng dan lain-lain. Apabila terkonsumsi oleh masyarakat secara
terusmenerus akan mengganggu organ tubuh dimana logam yang akan mengendap dapat
mengaktifkan sel kanker, sehingga dapat mengakibatkan keracunan bahkan kelumpuhan.
3. Kualitas Tanah dan Air Permukaan
Kualitas tanah yang tercemar logam berat akan menurun sehingga tidak efektif
untuk dijadikan lahan bercocok tanam (Asip dkk., 2015).

2.4 Pengolaan Air Asam Tambang

Ada dua macam proses pengolahan air asam tambang yang dikenal saat ini yaitu
proses pengolahan aktif dan proses pengolahan pasif. Akan tetapi, Global Acid Rock
Drainage (2009) mengklasifikasikan proses pengolahan air asam tambang menjadi
pengolahan aktif, pasif dan pengolahan in-situ. Proses pengolahan aktif merujuk kepada
teknologi yang dioperasikan manusia dengan perawatan dan monitoring berdasarkan
sumber energi dari luar. Beberapa contoh proses pengolahan aktif adalah aerasi,
netralisasi, pengendapan secara kimia, proses membran, pertukaran ion dan penghilangan
sulfat secara biologi. Proses pengolahan pasif adalah pengolahan yang tidak membutuhkan
intervensi manusia secara reguler, baik pengoperasian maupun perawatannya. Biasanya
menerapkan konstruksi material alam seperti tanah, clay dan batuan pecah, material alam
seperti jerami, potongan kayu, dan kompos dan mempromote pertumbuhan vegetasi alam
(Nasir dkk., 2013).

Pengolahan secara in situ mencakup beberapa cara misalnya, sebagai berikut.


1) menyebarkan senyawa alkali pada areal penambangan yang terkena dampak dan air
limbah tambang,
2) pengolahan in pit (pit-lake) water, penutupan areal tambang dan areal air tambang
secara organik
3) pembuatan rintangan yang bersifat reaktif dan permeabel yaitu menggunakan material
yang kaya zat organik dan penggunaan senyawa dengan valensi nol (Nasir dkk., 2013).

2.5 Filtrasi

Ada dua jenis sand filter yang dikenal dalam pengolahan air dan air limbah yaitu
sebagai berikut :
1) Slow sand filter (saringan pasir lambat)
Saringan pasir lambat cocok diterapkan untuk pengolahan air skala kecil dengan
biaya konstruksi dan operasi yang rendah. Untuk efektivitas pengolahan air dengan slow
sand filter, air umpan harus mempunyai turbidity antara 5 sampai 30 NTU.
2) Rapid sand filter (saringan pasir cepat)
Saringan pasir cepat mempunyai cara kerja yang sama dengan saringan pasir
lambat dan merupakan sistem filtrasi yang banyak digunakan. Saringan pasir cepat
mempunyai keunggulan seperti tidak memerlukan areal yang luas. Perbedaannya dengan
saringan pasir lambat adalah kecepatan atau laju alir air yang melintasi media. Dalam
operasinya air mengalir ke bawah melalui unggun pasir untuk menghilangkan partikel
tersuspensi. Partikel tersuspensi terdiri dari koagulan atau non koagulan (Nasir dkk.,
2013).
Perancangan Plant Pengolahan Air Asam Tambang dengan Proses tersuspensi yang
tertinggal dalam air setelah sedimentasi. Media saringan pasir cepat dapat berupa
kombinasi antara pasir dan antrasit sedangkan air umpan mempunyai turbidity lebih dari
1000 NTU dengan produk yang dihasilkan mempunyai turbidity 0,5 NTU. Pemakaian
sand filter dalam penelitian ini adalah untuk menurunkan kadar TSS, TDS dan turbidity air
umpan sehingga memenuhi persyaratan air yang cocok sebagai feed pada UF dan RO
(Nasir dkk., 2013).
Ultrafiltrasi (UF) merupakan pemisahan dengan membran berpori yang dapat
memisahkan air dari padatan mikro yang berasal dari molekul besar dan koloid. Ukuran
pori rata-rata untuk membran UF adalah 10-1000Ao. Modul UF dapat dijumpai dalam
bentuk tubular, plate and frame dan spiral wound. Aplikasi UF banyak dijumpai pada
electrocoat paint, produksi keju, klarifikasi jus buah, pemisahan emulsi minyak dan air,
pemurnian air, produksi enzim dan lain-lain. Berbagai penelitian mengenai UF dijumpai
dalam literatur (Vela et al 2007; Shao et al 2009). Shao et-al telah menggabungkan UF dan
RO untuk mengolah air asam dari tambang tembaga dan menyimpulkan bahwa kombinasi
UF dengan RO cukup efektif untuk menghilangkan suspended solid, bakteri dan kolloid
sehingga UF dapat digunakan untuk menyiapkan air umpan RO dengan SDI dan turbidity
rendah (Nasir dkk., 2013).
Pengolahan limbah sekunder dalam sebuah sistem RO telah menjadi fokus
perhatian para ahli dalam dekade terakhir. Di negara-negara maju pemanfaatan kembali air
bekas proses dan limbah cair (water and wastewater recycling) menjadi populer akhir-
akhir ini utamanya untuk memenuhi kebutuhan air proses atau untuk pertanian (Nasir dkk.,
2013)
Pengolahan limbah sekunder melalui proses recycling denganRO memerlukan
pretreatment yang kompleks karena karakteristik dari limbah itu sendiri. Limbah sekunder
mempunyai kandungan senyawa organik dan mikroorganisme yang tinggi bila
dibandingkan dengan air laut atau air payau. Karena itu, desalinasi air limbah
menggunakan sistem RO harus dapat mereduksi polutan dan mikropolutan dalam bentuk
suspended solid. Proses pretreatment yang intensif juga merupakan usaha preventif untuk
meminimalisir fouling yang disebabkan oleh mikroorganisme dan padatan tersuspensi
yang dikenal sebagai biofouling (Nasir dkk., 2013).
Meskipun penerapan teknologi RO untuk desalinasi telah mapan sejak beberapa
dekade yang lalu, namun aplikasinya dalam pengolahan limbah (efluen) sekunder masih
terbatas. Berbagai studi yang dilakukan sebelumnya memerlihatkan bahwa efluen
sekunder mempunyai prospek yang cukup baik sebagai sumber air di masa depan.
Sejumlah eksperimen untuk desalinasi effluen dapat dijumpai di literatur. Namun aplikasi
langsung sistem RO untuk pengolahan air asam tambang jarang dijumpai di pustaka. Hal
ini disebabkan karena sifat-sifat membran yang rentan terhadap pH air asam tambang yang
sangat rendah. Diperlukan sistem pretreatment yang digabungkan dengan RO sehingga air
umpan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh membran (Nasir dkk., 2013).

2.6 pH dan Logam Berat

2.6.1 Defeni si pH
pH merupakan istilah yang digunakan menunjukkan intensitas asam atau basa dari
suatu larutan. Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan konsentrasi ion hidrogen atau
aktivitas ion hidrogen. Secara definisi pH adalah ukuran aktivitas hidrogen bebas dalam air
dan dapat dinyatakan sebagai: pH = -log [H+] Dalam istilah yang lebih praktis (meskipun
tidak secara teknis benar dalam semua kasus) pH adalah ukuran keasaman atau kebasaan
bebas dari air (asiditas dan alkalinitas air). Diukur pada skala 0-14, larutan dengan pH
kurang dari 7,0 adalah asam sementara larutan dengan pH lebih besar dari 7,0 adalah basa
(Virginia dkk., 2020)
Air limbah dengan pH rendah dapat dinetralkan dengan berbagai jenis bahan kimia
misalnya sodium hidroksida atau sodium karbonat, yang walaupun cukup mahal, banyak
digunakan untuk pengolahan yang skalanya tidak begitu besar. Kapur adalah bahan yang
cukup murah sehingga banyak digunakan. Kapur dapat ditemukan dalam berbagai bentuk
misalnya limestone atau batu gamping dan dolomitic lime (kapur denga n kadar kalsium
tinggi) (Virginia dkk, 2020).
2.6.2 Logam Berat
Industri pertambangan batu bara terbuka banyak bahan pencemar khususnya,
kandungan logam berat dan beberapa senyawa toksik. Dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 yaitu besi dan mangan. Selain itu dalam
kandungan batu bara juga terdapat logam berat kadmium, sianinda dan nitrit yang bersifat
toksik terhadap lingkungan pada air permukaan (Rahayu dkk., 2020).
1. Besi
Keberadaan besi pada kerak bumi menempati posisi keempat terbesar. Besi
ditemukan dalam bentuk kation ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Pada perairan alami dengan
pH sekitar 7 dan kadar oksigen terlarut yang cukup, ion ferro yang bersifat mudah larut
dioksidasi menjadi ion ferri. Pada oksidasi ini terjadi pelepasan elektron. Sebaliknya , pada
reduksi ferri menjadi ferro terjadi penangkapan elektron. Pada reduksi ferri menjadi ferro
terjadi penangkapan elektron.
2. Mangan
Mangan adalah kation logam yang memiliki karakteristik kimia serupa dengan
besi. Mangan berada dalam bentuk manganous (Mn2+) dan manganik (Mn4+). Konsentrasi
mangan yang lebih tinggi dapat ditemukan di perairan dengan tingkat pH rendah.
3. Cadmium (Cd)
Kadmium (Cd) merupakan metal berbentuk kristal putih keperakan. Kadmium
ditemukan bersama-sama dengan unsur Zn, Cu, dan Pb dalam jumlah yang kecil.
Kadmium ditemukan pada industri alloy, pemurnian Zn, pestisida, dan lain-lain. Manusia
di dalam tubuhnya tidak memerlukan kadmium dalam fungsi pertumbuhannya, sebab
kadmium sangat beracun bagi manusia. Keracunan akut yang disebabkan kadmium akan
berpengaruh terhadap gejala gasterointestial dan penyakit ginjal. Gejala klinis keracunan
kadmium sangat mirip dengan penyakit
glomerulonephiritis biasa. Hanya pada fase lanjut dari keracunan kadmium ditemukan
pelunakan dan fraktur (patah) tulang punggung yang multipel. Di Jepang sakit pinggang
ini dikenal sebagai penyakit “Itai-Itai disease”. Gejalanya adalah sakit pinggang, patah
tulang, tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, gejala seperti influenza,dan sterilitas pada
laki-laki.
4. Sianida (CN-)
Bekas penambangan mengalami perubahan akibat tereksposnya lapisan batuan
yang tersusun atas senyawa sulfida. Limbah pencucian batu bara juga ditemukan pada zat
organik dalam perairan tambang batu bara mengalami pembusukan dan menimbulkan bau
hasil penguraian zat organik dan senyawa lainnya seperti sulfida. Sulfida yang berada
dalam kolam tambang batu bara berasal dari proses pembusukan zat organik berupa
hidrogen sulfida (H2S) yang diproduksi oleh mikroorganisme pembusuk dari zat organik
yang bersifat racun terhadap ganggang dan mikroorganisme lainnya. Zat organik hasil
pembusukkan akan menimbulkan pencemaran udara dan bau. Sulfida bersifat korosif
dalam bentuk hidrogen sulfida yang menyebabkan masalah di lingkungan.
5. Nitrit (NO2)
Nitrit (NO2), keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis
perombakan bahan organik di perairan, dimana nitrogen dalam bentuk ammonia dirombak
oleh bakteri nitrosomonas menjadi nitrit. Kadar nitrit yang tinggi dapat menyebabkan
kekebalan tubuh (imunitas) organisme menurun sehingga organisme gampang terinfeksi
penyakit. Kisaran nilai nitrit ini masih berada pada batas yang diperbolehkan berdasarkan
baku mutu yang ditetapkan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang et al.
(2004), kadar nitrit yang tinggi dapat mengganggu keseimbangan antara antioksidan dan
prooksidan pada udang Macrobrium nipponense. Selain itu nitrit juga dapat bereaksi
dengan hemoglobin yang menyebabkan terbentuknya methemoglobin sehingga darah tidak
dapat mengikat dan mentrasport oksigen ke tissue (jaringan tubuh) (Rahayu dkk., 2020)

Anda mungkin juga menyukai