Anda di halaman 1dari 115

Mempertahankan Keseimbangan

Perubahan Iklim, Keanekaragaman Hayati,


Pembangunan Berkelanjutan dan Etika Agama
MEMPERTAHANKAN
KESEIMBANGAN
Perubahan Iklim, Keanekaragaman Hayati,
Pembangunan Berkelanjutan dan Etika Agama

Dr. Fachruddin Mangunjaya

Yayasan Pustaka Obor Indonesia


Jakarta, 2015
Mempertahankan Keseimbangan: Perubahan Iklim, Keanekaragaman
Hayati, Pembangunan Berkelanjutan dan Etika Agama/Dr. Fachruddin
Majeri Mangunjaya –Ed 1—Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015
xxii + 192 hlm: 15 x 21 cm
ISBN: 978-979-461-914-8

Judul:
Mempertahankan Keseimbangan: Perubahan Iklim, Keanekaragaman
Hayati, Pembangunan Berkelanjutan dan Etika Agama
Dr. Fachruddin Majeri Mangunjaya

Copyright © 2015, Dr. Fachruddin Majeri Mangunjaya


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights reserved

Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia,


anggota IKAPI DKI Jakarta

Cetakan pertama: Januari 2015


YOI: 807.32.44.2014
Desain sampul: Rahmatika

Yayasan Pustaka Obor Indonesia


Jl. Plaju No 10 Jakarta 10230
Telp.: (021) 31926978; 3920114
Fax: 31924488
e-mail: yayasan_obor@cbn.net.id
www.obor.or.id
Untuk anak-anak tercinta: Fataya Azzahra, Fadila Maula Hafsah,
Fathania Nazmi Lulu Alam, dan Aulia Rahmah Mangunjaya, pewaris
lingkungan masa depan.
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim. Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih


lagi Maha Penyayang.
Berharaplah saya, buku ini menjadi semacam rekam jejak atas
setiap peristiwa lingkungan baik global maupun yang terjadi di tanah
air. Sebab, tulisan ini didasari pada refleksi, tanggapan, dan pengamatan
atas peristiwa dan momentum yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2014.
Walaupun tidak semua persoalan lingkungan dapat terekam dalam
tulisan yang terkadang sangat singkat ini, namun, seperti buku-buku
yang pernah saya tulis terdahulu, minimal kita akan jelas mencatat bahwa
benang merah tantangan lingkungan semakin hari bertambah kompleks.
Melindungi dan memperjuangkan lingkungan di negara berkembang
seperti Indonesia, kadangkala seperti memakan buah simalakama: ”kalau
dimakan mati Emak, tak dimakan mati Ayah.” Pembangunan negara
yang masih bertumpu pada industri-industri ekstraktif dan merusak
alam, kelihatannya merupakan tantangan yang harus disudahi dalam
beberapa puluh tahun mendatang. Harap dimaklumi, bahwa yang
dilakukan sekarang ini, dengan alasan demi menghidupi keperluan
ekonomi, seperti kita menggali lobang mengambil tambang, yang
terkadang membawa korban, mengubur diri sendiri. Tapi akankah cara
seperti ini yang kita teruskan?
Sayangnya, persiapan untuk mengakhirinya pun terlihat masih
memerlukan persiapan. Padahal, sumber daya alam kita, seperti halnya

vii
Mempertahankan Keseimbangan

tambang, emas, batubara, besi, dan seterusnya, akan segera habis. Seperti
halnya minyak, di mana Indonesia sekarang merupakan salah satu negara
importir, dan kita membakar minyak tersebut dengan mengisap subsidi
dari negara!
Tulisan yang tertuang dalam buku ini sesungguhnya ringan-ringan
saja untuk dicerna, tetapi baik juga direnungkan secara serius, bahwa
seperti inilah warga bumi dan bangsa Indonesia memperlakukan
lingkungannya sekarang. Tentu saja bukan hanya mencatat ironi, tetapi
juga upaya dan usaha untuk berbuat. Sebab itulah, aksi dan perbuatan
untuk memelihara lingkungan dan kelestarian alam, bukan hanya
slogan, tetapi juga perlu berdaya aksi dan tentu akan berdampak pasti.
Jadi, buku ini mencatat juga sejumlah aksi yang diharapkan mencatat
contoh pada sebuah kepedulian yang pasti dan tentu perlu diteruskan
dan diikuti.
Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Alimatul
Rahim yang membantu kompilasi tulisan serta ananda Fataya Azzahra
yang ikut memberikan sentuhan penyuntingan pada banyak tipos dan
salah makna. Adapun beberapa foto dalam buku ini yang merupakan
sumbangan dari teman-teman di Conservation International dan WWF
yaitu lembaga—tempat saya pernah bergabung bekerja—di mana saya
mendapat pengalaman berharga di bidang konservasi dan lingkungan.
Saya ucapkan terima kasih juga kepada Sdr. Mohamad Arif Rifqi, yang
telah menyumbangkan beberapa foto. Akhir kata, mudah-mudahan
buku ini bermanfaat. Selamat membaca.

Bogor, 3 Syawal 1435 H


30 Juli 2014 M
Fachruddin Mangunjaya

viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR vii


DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xii
PROLOG xiv
Perjalanan Sebatang Pohon

BAGIAN I KRISIS LINGKUNGAN DAN PERUBAHAN IKLIM 1


1. Berbagi Mempertahankan Keseimbangan 3
2. Krisis Politik dan Perubahan Iklim 9
3. Gubernur Peduli Perubahan Iklim 12
4. Perubahan Iklim dan Kepunahan Spesies 16
5. Perubahan Iklim, Menuju Kopenhagen 21
6. Negosiasi Durban 25
7. Doha Gateway 29

BAGIAN II DILEMA MELESTARIKAN KEANEKARAGAMAN


HAYATI 33
1. Keberpihakan Pengelolaan Kekayaan Bumi 35
2. Keanekaragaman Hayati Melawan Kemiskinan 40
3. Pemekaran Daerah dan Keanekaragaman Hayati 44

ix
Mempertahankan Keseimbangan

4. Bahtera Nabi Nuh 47


5. Kuasa Politik terhadap Alam 52
6. Restorasi Ekosistem 57
7. Mengapa Taman Nasional Perlu Diselamatkan? 62

BAGIAN III HUTAN PENYANGGA KEHIDUPAN 73


1. Dilema Pohon di Era Globalisasi 75
2. Hutan Alam Penyangga Kehidupan 79
3. Harga Hutan Alam 83
4. Biofuel vs Pembukaan Lahan Baru 87
5. Moratorium Hutan 92
6. Tahun-tahun Hidup dalam Bahaya 96
7. Tolonglah Riau 100

BAGIAN IV KOTA HIJAU DAN PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN 105
1. Keseimbangan untuk Kota Hijau 107
2. Perilaku Hemat Energi 112
3. Menantang Kodrat Alam 116
4. Dilema Gaya Hidup dan Subsidi BBM 120
5. Membungkus Keberlanjutan 124
6. Keanekaragaman Hayati Modal Bangsa 129
7. Tantangan Jokowi dalam Mengelola Sumber Daya Alam 133

x
Daftar Isi

BAGIAN V KEMBALI PADA ETIKA DAN AGAMA 137


1. Agama pasar 139
2. Pendekatan Etika Agama 143
3. Agama dan Perubahan Iklim 146
4. Rencana Aksi Agama-agama untuk Perubahan Iklim 150
5. Haji Ramah Lingkungan 156
6. Etika Islam terhadap Lingkungan 160

EPILOG 163
SUMBER TULISAN 165
BAHAN RUJUKAN 167
PUSTAKA 181
INDEKS 187
TENTANG PENULIS 191

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Suasana perundingan antar negara yang membahas perubahan 66


iklim. Perundingan seperti ini diadakan setiap tahun guna
bernegosiasi dalam upaya berbagi mencari keseimbangan
mencegah pemanasan global dan perubahan iklim (Foto:
Dewan Nasional Perubahan Iklim/DNPI)
Gambar 2. Ikan terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat, laut masih 66
asli dan bersih dari pencemaran merupakan modal alam yang
berharga (Foto: ©Edy Setyawan/Conservation International.

Gambar 3. Ribuan bibit pohon hutan dipersiapkan untuk penanaman 65


kembali pada Proyek Restorasi Ekosistem Hutan Harapan,
Jambi (Foto: ©Fachruddin Mangunjaya)
Gambar 4. Sebuah fasilitas jembatan untuk menyelam di Menjangan 65
Resort, kawasan Taman Nasional Bali Barat. Tempat
dimanfaatkan bukan saja untuk pariwisata tetapi untuk
studi mahasiswa dalam mempelajari alam sekitar (Foto:
©Fachruddin Mangunjaya)

Gambar 5. Perkebunan Kelapa Sawit semakin marak menggusur habitat 68


alami dan hutan alam. Banyak konflik pemanfaatan lahan
dalam pembukaan kawasan sawit ini, sehingga kerugian
bukan saja mengakibatkan bencana alam, juga bencana sosial
dan ekonomi (Foto: ©Chairul Saleh/WWF)

xii
Gambar 6. Hutan hujan tropis yang menyimpan kekayaan hayati 68
berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan secara maksimal.
Hutan asli semacam ini semakin terancam termasuk kekayaan
satwa serta organisme potensial yang ada di dalamnya (Foto:
©Arif Rifki)
Gambar 7. Kebakaran hutan dan pembukaan lahan, merupakan 69
sumber tertinggi emisi Indonesia. Upaya pemerintah untuk
menanggulangi perubahan iklim, sudah tentu mengharuskan
bagaimana kebakaran dan pembukaan lahan secara liar dapat
dicegah (Foto: ©Arif Rifki)
Gambar 8. Negara-negara maju telah menyadari tentang pentingnya 69
energi alternatif sehingga program pembangunan energi
terbarukan, seperti kincir angin pembangkit listrik ini, sangat
mudah dijumpai di berbagai tempat (Foto: ©Fachruddin
Mangunjaya)
Gambar 9. Program penanaman kembali jenis jenis liar di kawasan taman 70
nasional yang dirambah oleh manusia, merupakan keniscayaan
yang harus dilakukan, untuk menanggulangi kerusakan habitat
serta mencegah timbulnya bencana alam yang berlarut-larut
(Foto: ©Anton Ario/Conservation International)

Gambar 10. Tokoh tokoh agama dari seluruh dunia, mengikuti perayaan 70
komitmen agama dalam upaya menanggulangi pemanasan
global dan perubahan iklim di Istana Windsor, Inggris
pada November 2009 (Foto: ©Alliance of Religions and
Conservation (ARC))

Gambar 11. Calon Jamaah haji tahun 2013, mendapatkan informasi 71


tentang haji ramah lingkungan di Asrama Haji Pondok Gede,
Jakarta, menjelang keberangkatan mereka bulan September
2013 (Foto: ©Fachruddin Mangunjaya/UNAS)

xiii
PROLOG

Perjalanan Sebatang Pohon

Musim semi sangat sejuk di Kota London tahun 2009. Selepas Maghrib,
bersama dengan staf atase Penerangan Kedutaan Besar RI di London,
saya meluncur menuju Toybee Hall, sebuah tempat pertemuan untuk
komunitas perkotaan di negeri Pangeran Charles itu. Waktu itu saya
bersama teman-teman dari Islamic Foundation for Ecology and
Environmental Science (IFEES), yang kantornya terletak di Birmingham,
mengadakan kegiatan bersama di London untuk menggalang dana dari
berbagai individu, terutama komunitas Muslim di United Kingdom atau
Britania Raya, guna turut menyumbang bagi penanaman pohon yang
kami sebut dengan Program School for Trees.
Sekitar 150 orang hadir dalam forum tersebut. Saya diberikan
kehormatan, berceramah, mengampanyekan program penanaman
pohon. Penggalangan dana dilakukan oleh IFEES dan penanaman
difasilitasi oleh Conservation International (CI)—tempat saya bekerja
ketika itu— bersama dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
di Jawa Barat. Penanaman pohon, merupakan salah satu dari sedikit
upaya untuk memulihkan ekosistem guna menjaga keseimbangan bagi
bumi kita. Walaupun tidak semua orang sadar tentang pentingnya
pohon, setidaknya, sepanjang hidupnya, manusia memerlukan oksigen

xiv
Prolog

yang dikeluarkan bahkan disaring oleh pepohonan sebagai suplai gratis


untuk mereka bernapas.
Keterkaitan manusia dengan pohon, tidak dapat diuraikan
dengan kata-kata: karena besar manfaatnya. Sejak lahir hingga mati,
manusia modern adalah makhluk yang tergantung dari pohon. Selain
menyuplai oksigen, apalagi manusia modern sekarang, sejak bayi, telah
memerlukan popok yang bahannya dibuat dari kertas dengan asal
serat pohon tanaman. Popok sekali buang itu, dipakai kadang-kadang
hingga balita, berumur satu hingga dua tahun. Pohon pula yang menjadi
bahan utama pembuatan kertas, menyuplai manusia untuk menyerap
ilmu pengetahuan di sekolah, mencetak buku tulis dan buku pelajaran,
koran, majalah, dan seterusnya. Pohon pula yang mampu membantu
menyimpan suplai air dari gunung, memperkayanya dengan mineral,
sehingga saringan akar pohon mampu memperkaya dan memurnikan
air yang mungkin tercemar dari permukaan tanah. Pohon pula yang
dapat mencegah erosi dan tanah longsor, dan bak spons menyerap air
berlimpah mempertahankannya, agar kawasan di sekelilingnya tidak
serta merta menjadi banjir.
Sebatang pohon di hutan Kalimantan dan Sumatra menjadi
penyuplai makanan bagi semua makhluk hidup, dari mikroorganisme,
semut, burung hingga monyet. Tidak hanya itu, makhluk semacam
orangutan dan burung rangkong, mampu menyebarkan dan menanam
biji-bijiannya secara langsung: mereka adalah makhluk penyebar biji-
bijian sepanjang hidupnya yang—setelah mereka makan biji tersebut—
melalui mulut atau kotorannya, dijatuhkan, sehingga pohon tumbuhan
menyebar. Hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, bahkan petugas
kehutanan sekalipun! Pohon yang “ditanam” oleh burung-burung dan
bijinya disebarkan oleh monyet dan kera, itulah yang kemudian ditebang
oleh manusia, dijadikan rumah, sekolah, perabot, alat rumah tangga,
dan lain-lain. Dalam kondisi krisis sekarang, kesadaran timbul, untuk

xv
Mempertahankan Keseimbangan

menanam kembali pohon, dan gerakan menanam pohon dilakukan di


mana-mana, namun upaya menanam kembali pohon tentu saja bukan
hal yang gratis.
Forum pertemuan di musim semi itu, yang juga diisi oleh tokoh
Muslim Inggris, Syaikh Hakim Murad, seorang Guru Besar Pusat
Pengajian Islam dari University of Cambridge, dan Sidi Aiman Ahwal
(almarhum), atau yang biasa disebut Datok Aiman, seorang aktivis
yang pernah tinggal di Sarawak Malaysia. Keduanya adalah mualaf
yang sangat peduli dengan problema lingkungan. Dalam forum itu,
saya bertemu dengan peserta yang hadir dari berbagai bangsa, ingin
berbagi, menyumbang dengan dana pribadi, ingin menanam pohon di
Indonesia melalui derma mereka. Bagi saya, ini pengalaman unik, betapa
kepedulian untuk berbagi dalam melestarikan lingkungan memang tidak
memandang bangsa dan keyakinan. Mereka ingin menyumbang, tidak
peduli di mana pohon mereka akan ditanam. Sebab kita berada pada
planet yang sama.
Pemanasan global dan perubahan iklim, memang telah nyata terjadi.
Oleh sebab itu, gerakan kepedulian tentang lingkungan, sudah menjadi
agenda individual dan semua bangsa, sehingga yang Anda lakukan di
tempat Anda, secara individu maupun kolektif, akan berdampak tidak
langsung maupun langsung pada planet kita ini.
Buku ini berbagi tentang pengalaman, dari global, regional hingga
lokal serta tingkat aksi yang dapat dilakukan oleh kelompok maupun
individual. Memperhatikan tantangan lingkungan tidak terlepas dari
upaya-upaya penghuni planet bumi yang tunggal dan ‘semata wayang’
ini serta perilaku penghuninya. Jadi, Bab I dimulai dari kupasan tentang
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim, yang hingga sekarang tidak
henti-hentinya diperbincangkan, termasuk upaya dan dorongan terhadap
aksi-aksi nyata dari berbagai bangsa dalam upaya mengurangi emisi
gas-gas rumah kaca. Pembahasan yang dipaparkan terdiri dari upaya

xvi
Prolog

bangsa-bangsa dalam berbagi mempertahankan keseimbangan, dampak


krisis perubahan iklim dan krisis politik, dan upaya mendorong pada
perubahan pengambil kebijakan di tingkat pengambil kebijakan (policy
maker), misalnya dengan mendorong para gubernur untuk ikut peduli
pada gerakan perubahan iklim.
Bab ini juga memaparkan tentang bahaya perubahan iklim pada
kepunahan spesies, serta upaya global dalam negosiasi perubahan iklim
dalam arena negosiasi international konvensi PBB untuk perubahan
iklim (Conference of Parties-COP), di mana Indonesia merupakan salah
satu anggota yang aktif: dari komitmen Indonesia dan bangsa-bangsa
lain di Kopenhagen, upaya negosiasi di Durban hingga Doha Gateway
memberikan arahan yang lebih konkret tentang upaya-upaya global
menurunkan emisi karbon dioksida secara kolektif, yaitu komitmen
bersama untuk memutuskan bahwa sebuah instrumen legal yang mengikat
atau berkekuatan hukum legal yang disepakati di bawah konvensi akan
diberlakukan pada semua pihak di saat pertemuan COP-21, yang akan
diadakan di Paris, tanggal 2 hingga 13 Desember 2015, dan akan efektif
diberlakukan sejak 2020, sesuai dengan berakhirnya Protokol Kyoto.
Bumi memiliki kekayaan tak ternilai di tanah air Indonesia, berupa
keanekaragaman ekosistem yang perlu mendapatkan perhatian guna
menjaga keseimbangan dan keutuhan kehidupan yang tersisa. Namun
upaya itu menjadi sangat pelik, sebab diperlukan sebuah keberpihakan
dalam upaya pengelolaan Kekayaan Bumi, menghubungkan kebijakan
dengan tantangan kemiskinan, kuasa politik dalam menggunakan lahan
memperluas daerah untuk melayani hajat kehidupan manusia.
Di lain pihak, kehancuran habitat dan ekosistem, memerlukan
upaya perbaikan atau restorasi dan konservasi, sehingga argumen dalam
upaya perlindungan pada tingkat spesies dan ekosistem akan diperlukan
oleh masing-masing kawasan, sehingga diperlukan kebijakan konservasi,

xvii
Mempertahankan Keseimbangan

sebagaimana upaya klasik Nabi Nuh dalam menyelamatkan berbagai


spesies di tengah air bah, kerakusan nafsu manusia.
Tentunya kebijakan dipengaruhi oleh kebijakan politik, sehingga
masyarakat diminta bersikap kritis, waspada, dan berhati-hati dalam
memilih pimpinannya. Pesan dari buku ini adalah pilih pemimpin Anda
yang pro lingkungan, karena pemimpin seperti itu sudah pasti berarti
akan sangat berhati-hati terhadap kebijakannya, sekaligus memikirkan
generasi yang akan datang dan cerdas serta amanah terhadap apa yang
diembannya. Kegalauan tentang perilaku politisi tersebut, dapat dilihat
pada esai “Kuasa Politik Terhadap Alam.”
Modalitas bangsa Indonesia, di masa depan, tampaknya tidak akan
lagi bergantung pada industri ekstraktif yang sifatnya mengekploitasi
sumber daya alam—termasuk mineral dan batubara, serta minyak
bumi—tetapi pada harga kualitas sumber daya alam hayatinya. Oleh
karena itu, keanekaragaman hayati sebagai modal bangsa, sudah mulai
diketengahkan bahkan sejak 20 tahun yang lalu. Sayangnya, upaya ini
memerlukan juga kepandaian dan kapasitas bangsa dalam mengelolanya.
Maka, tampaknya jalan masih panjang dan diperlukan perjuangan dalam
upaya mewujudkannya.
Kesaksian tentang pentingnya pohon dan dilema manusia
terhadapnya, juga dipaparkan dalam esai, “Dilema Pohon di Era
Globalisasi” manakala, manusia, sesungguhnya sejak awal dia diciptakan
oleh Tuhan, sudah terhubung erat dengan dilema pohon khuldi yang
dilarang, bahkan untuk mendekat pun, apalagi memakan buahnya. Arti
yang tegas, diterima pada kondisi modern ini, sesungguhnya adalah,
memang pohon mempunyai peran sangat penting yang—dapat disebut—
sebagai penyangga kehidupan.
Tidak berarti pohon kemudian sama sekali tidak boleh disentuh,
tetapi pohon-pohon memang memberikan banyak ‘hikmah’ selain

xviii
Prolog

gambaran filosofis hubungan alam dan manusia, serta gambaran tentang


produktivitas dan esensi manusia. Pohon yang baik, berbuah setiap
musim dengan izin Tuhan,
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan
buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu
ingat.” -- Qs Ibrahim (14): 24-25
Maka pepohonan yang dalam bentuk aslinya berupa hutan alam,
sehingga ada esai Hutan Alam Sebagai Penyangga Kehidupan, mencoba
menekankan agar kebijakan yang diambil, tidak menyalahi fitrah alam
dan manusia yang telah ditetapkan. Melawan atau menyalahi fitrah dan
ketentuan yang telah ada di alam, pada ujungnya berhadapan dengan
hukum Allah (sunatullah). Misalnya dalam berbagai hal, perubahan lahan
yang tadinya merupakan kawasan serapan air kemudian ditimbun untuk
didirikan bangunan. Pada saat hujan berlebih, di mana penampungan
air sudah tidak dapat menampung kembali, terjadilah banjir di tempat
semula ataupun kawasan larian air lainnya.
Sangat ironi, ketika kebijakan pengelolaan hutan alam ternyata tidak
dikelola dengan kecerdasan dan kepantasan untuk mensyukuri alam yang
dikelola oleh pengambil kebijakan, sehingga hutan alam dijual dengan
harga murah dan mendapatkan kritikan dari masyarakat, sehingga esai ini
memberikan pelengkap tentang ironi upaya mengelola hutan Indonesia
yang berharga—dia tumbuh selama ratusan bahkan ribuan tahun—
seharusnya mendapatkan harga yang pantas. Maka upaya pembangunan
kehutanan, semestinya strategis dan mampu menyejahterakan rakyat
banyak, seperti diusulkan pada esai Biofuel vs Pembukaan Lahan Baru.

xix
Mempertahankan Keseimbangan

Tampaklah jelas, bahwa ada kegagalan dalam upaya pengelolaan


hutan yang baik dan berkelanjutan, sehingga kebijakan pemimpin
tertinggi negeri ini memutuskan untuk memberhentikan (moratorium)
terhadap izin pembalakan hutan. Kasus kehutanan yang parah di
Indonesia, bukan hanya menjadi keprihatinan kita sebagai bangsa, tapi
juga oleh bangsa lain di Dunia, sehingga seorang seperti Harrison Ford,
mendatangi langsung untuk melihat fakta tentang kerusakan hutan di
Indonesia dan memperingatkan bahwa sekarang ini, memang komunitas
bumi, tengah berada dalam tahun-tahun dalam bahaya. Dan kenyataan
ini masih saja, secara pahit menjadi fakta, karena hutan alam di Riau tidak
pernah lepas dari bencana kebakaran hutan, dikarenakan iklim mikro
yang berubah dan sebagian lahan telah diambil alih oleh perusahaan
kayu pulp untuk hutan tanaman industri, dan hutan alam telah tidak lagi
tersisa secara bermakna. Maka, “Tolonglah Riau”, menjadi esai penutup
sebuah ironi kebijakan kehutanan yang patut dijadikan pelajaran.
Bab IV, Kota Hijau Berkelanjutan, memberikan wawasan tentang
perlunya kota yang ramah lingkungan dengan masyarakat yang peduli
pada lingkungan yang seimbang. Permasalahan di perkotaan sangat
kompleks, mulai dari arus urbaninasi dan pertambahan penduduk
yang masif, pembuangan sampah yang mengakibatkan sanitasi menjadi
semakin buruk, sehingga upaya menghemat energi dalam tantang
transportasi. Selain itu, perencanaan tata kota juga menentukan wajah
perkotaan yang ditampilkan. Pembangunan dan tata ruang yang tidak
memenuhi syarat tata kota yang baik, tidak dapat menjamin penampilan
kota yang selamat dari bencana alam dan lingkungan. Isu ruang terbuka
hijau (LTH) yang berkait dengan pemolaan tata ruang Jakarta pastilah
bergesekan dangan kepentingan untuk mengakomodasi jumlah perkotaan
yang berkembang pesat. Kita akan terus menyaksikan apartemen tetap
dibangun, dan bangunan-bangunan baru tetap berdiri untuk memenuhi
standar kebutuhan penduduk yang terus bertambah.

xx
Prolog

Sayangnya, pembangunan ini terkadang tidak mempertimbangkan


unsur yang ramah pada lingkungan, dan bahkan tanpa analisis
lingkungan yang memadai. Kerap kita saksikan, pembangunan sarana
publik akhirnya mengabaikan kepentingan sosial, mengambil badan jalan
dan pedestrian serta menyulap kawasan resapan air dan lahan terbuka
hijau (LTH) dengan gedung-gedung beton yang perkasa. Karenanya esai
Bab IV, dengan tulisan “Membungkus Keberlanjutan”, menawarkan agar
kita mampu menjawab dengan kesadaran, bahwa keberlanjutan akan
sangat bergantung pada kemampuan semua pihak untuk menahan diri
dari keserakahan dan pola konsumsi dan gaya hidup (life style) untuk
kepentingan sesaat dan tidak mempunyai visi pada masa depan bangsa.
Akhirnya, saya melengkapi renungan untuk membungkus
kesimpulan buku lingkungan ini dengan jawaban-jawaban etika, secara
universal, menjawab dengan etika agama. Agama sebagai kunci penting
pandangan keduniaan (world view) manusia, memberikan tawaran etis
dan praktis tentang menyikapi perilaku manusia terhadap planet bumi.
Walaupun agama ternyata terkungkung pula pada hegomoni pasar
dan kecenderungan menjadikan pasar sebagai sebuah agama baru, di
mana ekonomi adalah panglimanya. Namun hemat saya, etika agama
memberikan pandangan signifikan, karena sumber kearifan dan tindak
perilaku manusia tergantung pada hati dan pikiran mereka.
Sebagaimana Calvin B. DeWitt (2002) menuliskan pendapat
pemimpin agama:

“Kami yakin bahwa sains dan agama dapat bekerjasama untuk mengurangi
dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan
yang terjadi di bumi. Walau kamipun yakin bahwa dimensi krisis ini
sebenarnya tidak sepenuhnya diambil hati oleh para pemimpin kita
yang memimpin lembaga-lembaga penting dan juga pemimpin industri.
Namun demikian, kita menerima kewajiban kita untuk membantu
memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap jutaan orang yang

xxi
Mempertahankan Keseimbangan

kita layani dan ajarkan mengenai konsekuensinya apabila terjadi krisis


lingkungan dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini.”

Maka kembali pada etika agama, merupakan suatu keniscayaan,


untuk itulah, ada pertemuan agama-agama dan perubahan iklim, serta
rencana aksi agama agama untuk perubahan iklim yang dituliskan
sebagai pembelajaran dalam buku ini. Tentunya tidak ditinggalkan,
langkah konkret dari pemeluk agama, seperti menjadikan pelaku haji
atau jamaah haji yang ramah lingkungan, serta mendorong etika Islam
dalam pemeliharaan lingkungan. Sebuah kegiatan yang sampai saat ini
penulis tekuni, memberikan mediasi dan mendorong pemimpin Islam,
khususnya dalam ikut melestarikan lingkungan.

xxii
BAGIAN I

KRISIS LINGKUNGAN DAN


PERUBAHAN IKLIM
1
BERBAGI MEMPERTAHANKAN
KESEIMBANGAN

M
engapa cuaca di bumi hari ini semakin panas? Dan semakin
minggu, bulan, dan tahun banyak bencana lingkungan
tidak terduga timbul di berbagai tempat? Beberapa kawasan
yang tidak biasa banjir, bahkan di negara maju dengan sistem drainase
yang baik, tetap kebanjiran dan membawa korban harta benda, serta
nyawa. Fenomena bencana lingkungan tersebut merupakan akibat
ketidakseimbangan, atau chaos, yang merupakan dampak dari adanya
perubahan iklim. Bumi adalah sistem yang kait-mengait, yang mempunyai
kadar yang terukur dan mempunyai kapasitas daya dukung yang terbatas.
Ketidakseimbangan terjadi takala sesuatu dilakukan dengan berlebihan
sehingga mengakibatkan keseimbangannya terganggu.

Penebalan CO2 di Selimut Atmosfer


Selama ini, untuk mempertahankan keseimbangan temperatur bumi,
planet bumi diselimuti oleh atmosfer tipis yang mengandung berbagai
konsentrasi dan gas-gas rumah kaca yang seimbang ketebalannya, untuk
mencegah bumi tidak terlalu dingin ataupun juga panas. Pada selimut

3
Mempertahankan Keseimbangan

tipis atmosfer ini, terdapat gas-gas rumah kaca, di antaranya CO2 yang
sebelum revolusi industri—setelah diteliti—konsentrasinya berada pada
ketebalan 280 ppm (part per million).
Ketika terjadi revolusi industri, manusia banyak menggunakan
bahan bakar atau energi berbasis fosil—mengandung karbon dioksida
(CO2) seperti minyak bumi dan batu bara, sehingga mengakibatkan
bahan-bahan karbon yang tadinya tertimbun di bumi, lalu terpompa
ke udara dan mengakibatkan penebalan lapisan atmosfer tersebut. Pada
tahun 1930, CO2 meningkat menjadi 315, ke 330 ppm (1970), 360 ppm
(1990), dan 380 ppm (2008).
Penyebab penebalan atmosfer, bukan hanya energi, misalnya
kebakaran hutan dan lahan, namun juga penebangan hutan yang
mengakibatkan bumi kehilangan kemampuan alami untuk menyerap
karbon dioksida (carbon sink) dan juga akibat kebakaran hutan.
Menyadari masifnya perubahan lingkungan dan perilaku manusia
di bumi. Maka berbagai bangsa berupaya menurunkan emisi masing-
masing dan berkomitmen untuk menjalankan pembangunan yang
ramah lingkungan. Perjalanan panjang negosiasi berbagai negara dalam
upaya menurunkan emisi gas-gas rumah kaca, seperti karbon dioksida,
metana dan sejenisnya, memang tampaknya hingga sekarang belum
optimal dirasakan dampaknya.
Setelah pertemuan Kopenhagen Denmark, dalam konferensi puncak
PBB Conference of Parties (COP) 15 UNFCCC, pada 8-18 Desember
2009, hanya dihasilkan Copenhagen Accord yang tidak mengikat
berbagai negara untuk melakukan komitmen penurunan gas-gas rumah
kaca dalam langkah mereka (Lihat Gambar 1).
Padahal, beberapa negara telah sedemikian khawatir bahkan telah
menjadi korban akibat bencana perubahan iklim. Untuk menghimbau
dan menarik perhatian dunia, misalnya dua rapat kabinet “ektrem”

4
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim

digelar secara simbolik di dua titik nadir kawasan yang paling rentan
terhadap pemanasan global, yaitu kabinet para menteri di Negara Pulau
Maladewa yang menggelar rapat di bawah laut, pada Oktober 2009.
Lalu, di ketinggian gunung pada bulan berikutnya—Desember—Perdana
Menteri Nepal menggelar rapat kabinet memimpin 12 menterinya di
puncak gunung tertinggi di dunia, Himalaya. Menteri Lingkungan Nepal,
menjelaskan bahwa kenyataannya gletser mencair karena pemanasan
global. Seperti dituturkannya pada kantor berita AFP, bahwa mereka
ingin meminta perhatian dunia terhadap kondisi ini.
Maladewa adalah negara dengan permukaan tanah paling rendah di
muka bumi, terancam tenggelam bila kenaikan permukaan laut semakin
meninggi akibat gletser mencair. Begitu pula Puncak Himalaya, akan
mencair perlahan-lahan, yang dikhawatirkan berdampak pada sumber
air bagi empat miliar penduduk bumi. Puncak Himalaya merupakan
menara air tempat sungai-sungai besar di Asia Tengah, Selatan, dan
Tenggara seperti, Sungai Kuning, Sungai Yangte, Sungai Mekong,
Sungai Brahmaputra, dan Sungai Gangga di India berhulu. Sungai besar
ini akan terganggu kestabilannya jika gletser puncak gunung tersebut
mencair, yang dapat mengakibatkan empat negara besar, yaitu Cina,
India, Bangladesh, Nepal, dan beberapa negara di Asia Tenggara dapat
mengalami krisis sumber air.

Mempertahankan Keseimbangan
Pada dasarnya, upaya yang keras yang sedang dilakukan dalam negosiasi
perubahan iklim adalah usaha manusia untuk tetap mempertahankan
bumi dalam keseimbangan. Gas-gas rumah kaca (GRK) seperti CO2,
pada dasarnya mempunyai manfaat menguntungkan untuk planet
bumi, namun pada konsentrasi yang pas di mana bumi menjadi hangat
dan tidak diselimuti es. Berdasarkan fakta jutaan tahun dari penelitian
Paleoclimate bahwa keadaan sekarang terjadi karena konsentrasi CO2 di
5
Mempertahankan Keseimbangan

atmosfer berada di bawah 450 satuan per sejuta volume ppmv (Nature,
2009).
Para ilmuwan menghimbau agar konsentrasi CO2 di atmosfer tidak
melebihi konsentrasi 350 ppm, dan kekuatan radiasi (matahari) tidak
lebih dari 1 watt per meter kuadrat, dibandingkan dengan masa sebelum
indurtrialisasi (praindustri). Jika konsentrasi melewati keadaan ini, kita
akan melewati titik kritis yang mengakibatkan perubahan iklim, seperti
menghilangnya selimut es, peningkatan permukaan laut, perubahan
drastis hutan dan sistem pertanian. Sekarang ini konsentrasi CO2 telah
mencapai 387 ppm dengan kekuatan radiasi 1,5 watt per meter kuadrat,
kita pun merasakan akibat perubahan iklim dengan terjadinya pergeseran
pergeseran ektrim iklim dan cuaca di muka bumi.
Kenyataan ini disimpulkan salah satunya dampak industrialisasi
dengan banyaknya pemakaian bahan bakar fosil—untuk penggunaan
energi—yang mengakibatkan emisi dan konsentrasi gas CO2 di udara
semakin meninggi dan menambah ketebalan atmosfer. Oleh karena itu,
setelah Kopenhagen, masing-masing negara secara politis telah berniat
untuk menurunkan emisi di masing-masing negaranya. Indonesia telah
mencanangkan penurunan 26% emisinya. Bahkan India—yang dikenal
alot dengan negosiasi karena menginginkan pertumbuhan ekonomi dan
penggunaan energi yang besar—telah membuat target penurunan emisi
20-25 %, pada tahun 2020.
Bagi Indonesia penurunan emisi 26% merupakan langkah yang
berani, sekaligus langkah politis, sebab 85% dari emisi Indonesia berasal
dari pembukaan lahan dan hutan (land use change and forestry). Bank
Dunia, seperti dikutip dalam laporan Indonesia Second National
Communication under UNFCCC (November, 2009), melaporkan,
bahwa 53% CO2 di Indonesia berasal dari kebakaran lahan dan gambut.
Tentu saja pada musim hujan seperti sekarang ini, Indonesia sangat
diuntungkan, karena tidak ada pembakaran hutan dan lahan. Namun,

6
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim

kerja keras harus dilakukan untuk menurunkan titik api pada kebakaran
hutan dan lahan—terutama gambut—pada tiap musim panas.
Walaupun tidak ada perjanjian mengikat, pada akhirnya ada
29 negara yang berkomitmen untuk berbagi menurunkan emisinya
pada tahun 2020 sebagai bagian dari kesepakatan Kopenhagen (Lihat
Tabel). Termasuk komitmen Amerika Serikat, karena negara adidaya ini
mengemisi lebih dari 15% keseluruhan gas-gas rumah kaca yang terlepas
ke atmosfer. Negara ini—seperti digadang-gadang banyak negara—
yang kerap diucapkan pada pidato Barack Obama, mencanangkan
penurunan emisi 17% CO2 tahun 2020.

Tabel 1. Negara-negara yang berkomitmen menurunkan emisi


sampai tahun 2020

Perkapita Emisi
No Nama Negara Komitmen Penurunan Pada Tahun 2020 (%)
(tonCO-e)
1 Antigua Burbuda 25 5,6

2 Australia 5-25 27,4


3 Belarus 5-10 8,5
4 Brazil 36,1-38,9 15,3
5 Canada 17 24,9
6 Cina 40-45 5,5
7 Croatia 5 6,9
8 Uni Eropa 20-30 10,3
9 Iceland 30 11
10 India 20-25 1,7
11 Indonesia 26 9
12 Israel 20 11
13 Jepang 25 10,5
14 Khazakstan 15 13,6
15 Liechtenstein -
16 Maladewa 100 2,5

7
Mempertahankan Keseimbangan

17 Marshal Island 40 -
18 Mexico 30 6,6
19 Moldova 25 3,3
20 Monaco 30 -
21 New Zealand 10-20 19,1
22 Norwegia 30-40 11,2
23 Rusia 15-25 14
24 Singapore 7-11 11,3
25 South Africa 34 9,0
26 South Korea 30 11,8
27 Switzerland 20/30 7,2
28 Ukraine 20 10,5
29 United States 17 23,1

Diolah dari US Climate Network http://www.usclimatenetwork.org 2010.

8
2
KRISIS POLITIK DAN PERUBAHAN IKLIM

D
alam dua minggu terakhir—Februari 2011—kita disuguhkan
pada fenomena perubahan dan perseteruan politik yang sangat
menegangkan di negara-negara Timur Tengah, yang dijuluki
para pengamat sebagai “Arab Spring”. Pertama, krisis politik di Tunisia
berupa demontrasi rakyat yang memaksa Presiden Zine El Abidine
Ben Ali yang berkuasa, untuk mundur. Kedua, yang sangat sengit dan
bertahan sampai 18 hari adalah krisis politik yang terjadi di Mesir, dalam
upaya memaksa turun Presiden Husni Mubarak yang telah berkuasa
selama 30 tahun.
Banyak yang sependapat bahwa peristiwa protes rakyat yang turun
ke jalan untuk menggulingkan penguasa tersebut, mirip dengan kondisi
penggulingan Presiden Soeharto yang kemudian dipaksa lengser dari
kekuasaannya pada tahun 1998. Namun, bila dicoba ditarik ke belakang,
selain sebuah “kebosanan” terhadap kekuasaan yang terlalu lama, hal
lainnya ialah saluran atau hak politik yang tersumbat, korupsi, kolusi
dan nepotisme yang merajalela. Satu hal yang mungkin dilupakan—
bahkan cenderung tidak diingat—bahwa pemicu gelombang kemarahan
tersebut—sangat mirip seperti terjadi di Mesir sekarang—ditandai dengan

9
Mempertahankan Keseimbangan

kenaikan harga bahan-bahan pokok yang dipicu oleh penurunan


produksi pangan akibat perubahan iklim.
Mengapa demikian? Ada dua alasan yang mirip dari sudut pandang
lingkungan dan perubahan iklim antara tuntutan reformasi Indonesia
dan Mesir. Pertama, pemicu awal reformasi politik di Indonesia, ditandai
dengan kondisi kemarau panjang. Perubahan iklim menyebabkan
kekeringan panjang karena perputaran Elnino Kawasan Selatan atau El
Nino Southern Oscilation (ENSO) yang membawa gelombang panas
dan juga mengakibatkan sering terjadi kebakaran akibat suhu yang
meningkat. Tahun 1997-1998, tercatat kebakaran hutan dan lahan paling
besar di sepanjang sejarah Indonesia, dan terjadi hampir di seluruh
pulau besar: Kalimantan kebakaran 6,5 juta ha, Sumatra 1,7 juta ha, Jawa
100 ribu ha, Sulawesi 401 ribu ha, dan Irian Jaya 1 juta ha lebih. Total
keseluruhan terbakar menurut catatan BAPPENAS adalah 9,7 juta ha.
Rakyat Indonesia harusnya juga masih ingat, bahwa pada saat yang sama
terjadi puso ratusan ribu hektar sawah produktif di Jawa.
Keadaan ini mengakibatkan bahan pokok naik dan meninggi.
Stok beras selalu menjadi pembicaraan harian di berbagai media, juga
dalam rapat kabinet. Dampaknya, ketika ketersediaan pangan menipis,
impor dilakukan namun tidak memadai, maka harga kebutuhan pokok
melambung tinggi dan mayoritas masyarakat kehilangan daya beli.
Akibat produktivitas yang menurun dan terjadinya krisis pangan, maka
tahun 1998 Indonesia mengimpor 6 juta ton beras, lebih dari 15 kali
lipat impor dari tahun 1997. Krisis pangan ini kemudian menimbulkan
kisruh pula, karena beras menjadi cepat habis dan hilang di pasar
disebabkan orang-orang kaya dan kelas menengah Indonesia membeli
lebih banyak beras untuk menyimpannya di rumah. Kemudian, disusul
karena krisis politik kemudian terlihat mengguncangkan.
Krisis Mesir dipicu oleh hal yang sama. Akhir-akhir ini, akibat
adanya pemanasan global dan suhu ekstrem, beberapa kawasan produktif

10
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim

menjadi gagal panen. Pakistan, misalnya, dilanda banjir besar yang


mengakibatkan hampir seluruh kawasan pertaniannya rusak. Terakhir
adalah Rusia yang dilanda kekeringan dan disusul—seperti halnya
Indonesia pada thaun 1997-98—terjadinya kebakaran hutan yang dahsyat.
Hubungannya adalah karena Mesir merupakan salah satu negara
importir gandum terbesar di dunia. Padahal kondisi pangan dan produksi
gandum mengalami goncangan akhir-akhir ini, dan diperburuk oleh
musim panas di negara produsen, yang semakin memperparah keadaan.
Hal yang menyakitkan adalah, ketika Rusia diguncang kekeringan
akibat gelombang panas perubahan iklim—yang belum pernah terjadi
sebelumnya—lalu menghancurkan 40% panen gandum Rusia, dan tiba-
tiba negara tersebut memutuskan larangan untuk mengekspor gandum
mereka. Padahal, Mesir baru saja menandatangani kontrak gandum
besar dengan Rusia, dan tentu saja menjadi kelabakan dengan kondisi
ini. Akibatnya harga gandum meroket naik 50 hingga 70% sepanjang
tahun 2010.
Sebuah pelajaran yang baik untuk kita adalah: ketika masalah
klasik—perut rakyat—menjadi terabaikan, dan pemerintah tidak sanggup
menyediakan kebutuhan tersebut, maka pada akhirnya pemerintahlah
yang paling disalahkan. Simpulnya, krisis politik, tidak semata-mata
masalah sosial dan masalah moral para pejabat yang tidak dapat diterima
oleh masyarakatnya, tetapi—yang harus diperhatikan—pemerintah
diharapkan mampu mengantisipasi perubahan lingkungan. Sebab,
ketika kondisi lingkungan menjadi ekstrem dan krisis pangan terjadi
akibat perubahan iklim—yang merupakan akibat ulah manusia—amarah
rakyat pun tidak dapat tertangguhkan.

11
3
GUBERNUR PEDULI PERUBAHAN IKLIM

A
gaknya, pertemuan para gubernur peduli terhadap perubahan
iklim yang diadakan di Beverly Hills, Kalifornia, 18-19
November lalu, memberi harapan akan percepatan tindakan
dalam upaya menanggulangi perubahan iklim. Alasannya, perubahan
iklim menjadi suatu fakta traumatik yang tidak dapat menunggu tanpa
adanya sikap pro-aktif dan “political will” para pengambil kebijakan
untuk segera bertindak.
Ilmuwan sudah memberikan fakta-fakta yang jelas tentang air laut
yang sudah mulai meninggi, garis-garis pantai sudah mulai tenggelam,
pergeseran musim menambah tingginya curah hujan yang ektrem,
termasuk juga catatan akan panas atau kekeringan yang lebih panjang
dibandingkan sebelumnya. Kita juga menyaksikan beberapa kali
badai yang lebih kuat menghantam beberapa negara, yang kemudian
menimbulkan korban tidak sedikit.
Salah satu kesepakatan penting dalam pertemuan yang difasilitasi
oleh Gubernur Kalifornia, Arnold Schwarzenegger, yang disebut dengan
“Pertemuan Gubernur Menghadapi Iklim Global” adalah kesepakatan
untuk aksi pencegahan perusakan hutan dan di negara-negara bagian

12
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim

atau provinsi yang kaya dengan hutan. Pertemuan tersebut membuahkan


perjanjian kesepahaman (MOU) yang ditandatangani oleh Gubernur
Kalifornia, Arnold Schwarzenegger, dengan para gubernur Amazon, Pará,
Mato Grosso, negara-negara Amapá dari Brazil, serta Provinsi Papua dan
Nangroe Aceh Darussalam dari Indonesia.
Kesepahaman ini tentu menjadi suatu ‘kejutan’ yang selama ini
memang diharapkan oleh negara pemilik hutan, yaitu—dengan upaya
mereka yang telah bersusah payah mempertahankan hutannya—mereka
boleh berharap akan keadilan, yakni kesanggupan negara-negara industri
selaku emitter (yang mencemari udara) untuk membayar bagi jasa yang
disediakan oleh hutan tropis (yang dimiliki negara pemilik hutan) guna
menyerap dan mengikat karbon dioksida yang mereka keluarkan.
Para ilmuwan mencatat bahwa karbon dioksida (CO2) merupakan gas
rumah kaca yang paling banyak menyelimuti bumi, yang menyebabkan
terjadinya perubahan iklim. Anehnya, sementara ini perdebatan terhadap
perubahan iklim berfokus pada upaya menurunkan emisi karena
adanya penggunaan energi yang berbasis pada bahan bakar fosil semisal
batubara dan minyak, padahal pembakaran dan penggundulan hutan
berkontribusi atas 20% dari total emisi CO2.
Conservation International (2008) menyebutkan jumlah kehilangan
daya serap emisi 20% kehilangan hutan, totalnya melebihi emisi yang
dikeluarkan oleh gabungan mobil, truk, dan pesawat yang ada dunia.
Sebagaimana saya pernah tulis di harian Koran Tempo (12/2/2007),
bahwa upaya tidak mengindahkan pencegahan perusakan hutan dan
pembukaan lahan, sama halnya dengan mengisi air pada sebuah ember
bocor: alias sebuah pekerjaan yang sia-sia. Masifnya kerusakan hutan
alam tentu sangat mengkhawatirkan, dan upaya untuk mencegah
melajunya kerusakan tersebut tampaknya tidak dapat dilakukan dengan
cara yang biasa. National Geographic edisi November 2008, menurunkan
tulisan dan ironi atas pembukaan lahan yang masif di Kalimantan yang

13
Mempertahankan Keseimbangan

sulit dicegah dengan adanya perluasan dan pembukaan hutan untuk


keperluan kelapa sawit.
Sungguh sulit membayangkan, target upaya penurunan emisi
melalui skema mekanisme pembangunan bersih (CDM) serta mekanisme
Protokol Kyoto, sementara keberhasilannya dibayangi dengan kegagalan
perawatan atas hutan alam karena negara pemilik hutan masih bernafsu
membuka lahan untuk mengubah kawasan ini menjadi areal perkebunan
atau peternakan.
Di lain pihak, hutan konservasi kita pun semakin rusak dan
ikut dirambah karena bias pembukaan lahan dan kekurangan dana
untuk menjaga kawasan tersebut dari ancaman ekonomi masyarakat
dan perambahan liar. Padahal, melestarikan hutan tropis sudah pasti
memberikan keuntungan jangka panjang yang tidak sedikit dengan
berbagai alasan: pertama, hutan tropis dihuni oleh lebih dari berbagai
spesies yang jumlahnya lebih dari setengah kekayaan hayati yang ada
di muka bumi; kedua, hutan tropis seperti yang dimiliki Indonesia,
menyediakan pelayanan sumber daya dan mendasar bagi kehidupan
manusia, seperti misalnya air bersih, makanan, obat-obatan, penyerbuk,
mempertahankan kesuburan lahan, sumber daya genetika tumbuhan
komersial di masa yang akan datang, dan seterusnya; ketiga, hutan tropis,
mempunyai simpanan dan daya serap karbon yang sangat tinggi sebagai
regulator iklim yang sangat menentukan kestabilan ekosistem secara
berkesinambungan. Oleh karena itu, upaya mempertahankan hutan
ini dari tekanan, pembakaran dan pembukaan hutan yang disebabkan
kebutuhan negara negara industri untuk keperluan kayu, minyak sawit,
perlu diadvokasi.

14
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim

Janji Obama
Salah satu support penting mengenai kemauan politik para gubernur
tentang peduli perubahan iklim itu rupanya mendapatkan dukungan
secara totalitas dari Presiden AS terpilih, Barack Husein Obama. Dalam
pidato yang dikirimkannya dari jarak jauh, Presiden Obama memberikan
pesan dan sinyal yang kuat akan dukungannya pada gubernur yang
pro pada perubahan iklim. Menurut Obama, walaupun menghentikan
perubahan iklim bukanlah perkara mudah dan tidak akan terjadi dalam
semalam, “tetapi, saya”, ujarnya, menjajikan hal ini: “Ketika saya menjadi
presiden, gubernur mana saja yang ingin mempromosikan energi bersih,
maka akan mempunyai mitra di Gedung Putih. Perusahaan apa pun
yang menginginkan investasi pada energi bersih akan mendapatkan
teman di Washington. Dan bangsa manapun yang ingin bergabung
untuk mencegah adanya perubahan iklim, akan mendapatkan bantuan
dan teman dari Amerika Serikat.”
Selain itu dalam pidato jarak jauhnya itu, dengan tegas pula Obama
memberikan target tahunan yang kuat dalam upaya menurunkan
tingkat emisi untuk menyamai emisis tahun 1990, pada tahun 2020, dan
kemudian akan mereduksi lagi 80% pada tahun 2050. Untuk komitmen
itu, Obama mengatakan pemerintahnya akan menginvestasikan $15
miliar setiap tahun untuk mengkatalisasi upaya swasta dalam upaya
mencari energi bersih masa depan.

15
4
PERUBAHAN IKLIM
DAN KEPUNAHAN SPESIES

K
ondisi lingkungan kita penuh tantangan. Karena perilaku kita
dalam memperlakukan bumi tempat kita tinggal belum berubah.
Penilaian ini barang kali akan dijumpai dari tahun ke tahun
dengan terungkapnya fakta-fakta baru seriusnya kerusakan lingkungan
di tanah air, maupun dunia yang lain. Maka, kalau ada persoalan yang
paling mengkhawatirkan semua orang di abad ke-21 ini, selain krisis
ekonomi dan kondisi politik yang berujung pada peperangan, itu adalah:
masalah lingkungan. Peperangan dan politik dapat mengakibatkan
kematian dan saling bunuh antara sesama umat manusia (genocide).
Sedangkan bencana lingkungan dapat mengakibatkan selain kerugian
ekonomi juga dapat mengakibatkan kematian yang disebabkan bencana
lingkungan (ecocide).
Contoh aktual terjadinya musibah lingkungan adalah jebolnya
tanggul Situ Gintung yang mengakibatkan korban jiwa. Ditambah lagi
banjir dan tanah longsor di berbagai daerah yang terkadang membuat jiwa
warga negara terbawa hanyut hampir setiap tahun. Kerugian yang sangat
disesalkan yang terus mendera warga negara dengan keprihatinan secara

16
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim

nasional problem lingkungan adalah: korban banjir lumpur Lapindo di


Sidoarjo yang semakin pelik dan sulit diselesaikan karena diperkirakan
kerugian tersebut mencapai Rp 45 triliun pertahun (Tempo Interaktif, 21
Agustus 2008). Lumpur Lapindo memasuki tahun keempat, dan belum
mendapatkan penyelesaian yang memuaskan bagi semua pihak yang
menjadi korban.
Belum lagi gejala perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Para ahli sependapat bahwa dampak perubahan iklim akan sangat terasa
pada negara-negara di Khatulistiwa. Di Indonesia, misalnya, akibat
tersebut telah dirasakan pada 1997/1998. Tahun itu menjadi tahun
dengan suhu udara terpanas dan semakin meningkat pada tahun-tahun
berikutnya. Titik api kebakaran hutan terhebat sepanjang sejarah terjadi
di Indonesia. Saat itu, terjadi Elnino dan panas berkepanjangan, sehingga
berujung pada gagal panen dan kemudian memanasnya suhu politik
yang berujung pada lengsernya Pemerintahan Soeharto.
Adapun soal prediksi perubahan iklim, Dr. Armi Susandi, Wakil
Ketua Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim Dewan Nasional
Perubahan Iklim, memperkirakan pada tahun 2100 sekitar 800 ribu
rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan, dan sebanyak 115
dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air
laut. Harian ini (23/6) melaporkan, banjir pasang air laut (rob) telah
menggenangi beberapa kelurahan, termasuk di Kelurahan Cilincing,
Jakarta Utara, yang rutin masuk ke kampung itu sejak empat tahun
terakhir dan situasinya bertambah parah—dengan kedalaman hingga satu
meter—pada musim hujan, Desember, hingga Maret.
Jadi, kalaulah Anda ditunjuk sebagai Menteri Lingkungan hidup
sekarang ini, maka Anda terima jabatan itu ibarat menerima ‘buah
simalakama’ tidak dimakan mati ibu, dimakan mati anak. Jelasnya
memang, masalah lingkungan harus merupakan kepedulian semua
orang. Dari supir angkot yang masih seenaknya membuang sampah ke

17
Mempertahankan Keseimbangan

jalan raya, ibu rumah tangga yang membuang sampah tanpa mengolah
dan mereduksi limbahnya, hingga di tingkat daerah yang harusnya bisa
mendapatkan adipura setiap tahun. Dan, kebijakan pemerintah yang
tidak benar-benar pro terhadap lingkungan.
Pengusaha tidak dapat menjalankan bisnisnya secara langgeng
kalau investasi yang dilakukannya mencemari alam sekitar. Dampak
lingkungan perlahan tapi pasti akan ‘menampar’ perusahaannya secara
alamiah. Ongkos sosial, ekonomi dan lingkungan akan terlihat tinggi
apabila pengabaian terhadap dampak lingkungan tidak diperdulikan.
Maka Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak dapat
hanya formalitas belaka, karena pada akhirnya hukum alam yang
merupakan turunan dari “Hukum Tuhan” pasti akan berlaku cepat
atau lambat, apabila perhitungan yang dilakukan melanggar dalil-dalil
keberlanjutan.
Jadi, apa yang dapat dilakukan? Tom Friedman kolumnis the
New York Time, menuliskan upaya-upaya pelestarian alam dan usaha
yang dilakukan di berbagai belahan dunia, dan terkesan dengan upaya
yang dilakukan oleh para konservasionis untuk melindungi alam asli.
Tom menuliskannya dalam buku Hot, Flate and Crowded (2008), yang
menyebutkan upaya pelestarian alam, katanya ibarat upaya pelestarian
lingkungan memerlukan “Nabi Nuh” dalam nyelamatkan kapalnya di
tengah badai kerakusan dan ketamakan manusia dalam mengkonsumsi
sumber daya alam yang tersedia. Satu bab dia menuturkan, bahwa bumi
memerlukan “sejuta Nuh” dan sejuta pula “kapal” (A Million Noahs, A
Million Arks).
Indonesia belum memiliki ‘sejuta Nabi Nuh’, baru ada beberapa
ratus. Mereka itulah yang diberi penghargaan Kalpataru oleh Menteri
Lingkungan Hidup. Mereka dapat berupa perorangan, atau masyarakat
berkelompok yang menjadi pelopor penyelamatan lingkungan. Sejak
tahun 1980 hingga 2009, jumlah penerima penghargaan Kalpataru baru

18
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim

sebanyak 264 orang atau kelompok, termasuk tahun 2009 ini, diterima
12 orang.
Apa bentuk ‘Kapal Nabi Nuh mereka?’ Tahun ini misalnya,
Lembaga Adat Dayak Wehea dari Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan
Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur,
menerima Penghargaan Kalpataru karena para pemangku adat berhasil
melestarikan hutan lindung adat seluas 38.000 ha yang menjadi habitat
yang aman bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan langka dangan cara
menerapkan hukum adat.
Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung dari Desa Baru, Kecamatan
Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, berhasil menjaga hutan
Rimbo Tujuh Danau seluas 1.000 ha dengan hukum adat, sehingga
berhasil menjaga kelestarian hutan dan satwa di dalamnya. Kalau mereka
berhasil melestarikan, maknanya mereka berhasil menjadi penyelamat
spesies yang ada di ‘kapal-kapal’ mereka yang berupa hutan lindung
tersebut.
Di tingkat RT dan RW orang banyak mengenal Ibu Bambang,
seorang janda pensiunan yang menjadi penggerak di tingkat RT di
Jakarta, menciptakan lingkungannya bersih. Nenek ini memulai dari
rumahnya, dengan arisan pohon lalu mengolah sampah rumah tangga
menjadi sampah organik dan mendapatkan penghargaan sebagai pelopor
lingkungan. Di tingkat ini setidaknya ibu ini memberikan optimisme
bahwa perawatan lingkungan dapat dilakukan di perkotaan.
Tentu saja yang paling besar dampaknya pada persoalan lingkungan
adalah upaya para pengusaha. Dalam kondisi seperti sekarang ini, slogan
“Go Green” tidak akan cukup hanya ditempelkan sebagai tema tanpa
ada aksi. Pegawai perusahaan akan mempunyai kebanggaan moral
jika mereka dapat terlibat dalam aksi sebagai penyelamat lingkungan,
misalnya mengadopsi pohon, menanamnya dan merawatnya langsung di

19
Mempertahankan Keseimbangan

lapangan, sehingga mereka dapat merasakan betapa sulit menanam dan


merawat lingkungan.
Upaya masif gerakan lingkungan harus menjadi kesadaran semua
orang, selain merupakan tugas Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri
Kehutanan. Media massa dan jurnalis, aktivis, jaksa, hakim, DPR,
presiden hingga Mahkamah Konstitusi, juga dapat menjadi ‘Nuh’, jika
dapat memberikan pembelaan terhadap pembukaan hutan dan membela
kelestarian lingkungan serta unsur yang terkait dengannya. Simpulnya
sekarang ini sebagai makhluk di bumi, semua orang dapat memiliki
perasaan yang sama bahwa kita berada pada satu bumi dan sebuah
perahu yang sama.

***

20
5
PERUBAHAN IKLIM, MENUJU KOPENHAGEN

P
erubahan iklim menjadi momok terhadap kelangsungan peradaban
manusia di bumi. Maka, menghadapi hal itu, dalam bulan-bulan
ini, semua ancang-ancang dan dialog dilakukan dalam merespon
ancaman perubahan iklim dan menuju arena negosiasi di Kopenhagen,
awal Desember 2009. Perubahan iklim sudah menjadi fakta dan ancaman,
bukti terakhir adalah Badai Perma di Filipina yang menewaskan lebih
dari 600 orang, dan setengah juta orang kehilangan tempat tinggal akibat
banjir dan tanah longsor yang merusak tempat rumah rumah mereka
(Koran Tempo, 12/10). Sebelumnya banjir bandang—bencana akibat
curah hujan tinggi, yang merupakan dampak perubahan iklim—terjadi
di Mandailing Natal, sehingga menelan korban 12 orang tewas, 25 hilang
dan 4.300 orang mengungsi.
Ancaman lain masih mungkin terjadi. Laporan Asian Development
Bank, ADB (2009) bertajuk Economic of Climate Change in South East
Asia, menganalisis hal yang paling buruk bakal terjadi bila skenario emisi
tahunan global masih tidak berubah. Mengutip data Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC), laporan itu berkesimpulan temperatur
rata-rata di negara Asia Tenggara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan
Vietnam—diproyeksikan akan mencapai 4.8°C pada 2100 dari level tahun

21
Mempertahankan Keseimbangan

1990, dan rata-rata permukaan laut akan mencapai 70 cm pada periode


yang sama di kawasan ini. Belum lagi ancaman akan kekeringan dalam
dua hingga tiga dekade yang akan datang.
ADB mengatakan, kawasan Asia Tenggara akan lebih banyak
menderita akibat perubahan iklim global. Dalam arti, jika “business-as-
usual” masih berlaku, maka dampak bukan hanya pada pasar dan risiko
bencana akan menggerus setara dengan 6,7% PDB bangsa ini setiap
tahun pada tahun 2100. Angka tersebut ini setara dengan dua kali lipat
rata-rata kerugian global.
Beberapa kali pertemuan sebelum Kopenhagen telah diadakan
pertemuan oleh semua negara untuk merumuskan kesepakatan yang
akan diambil di arena bersejarah tentang perubahan iklim, tanggal
28 September-9 Oktober di Bangkok, dan pertemuan mendatang
2-6 November di Barcelona. Pertemuan ini merupakan negosiasi dan
persiapan untuk menghadapi COP 15 Kopenhagen.
Pertemuan Bangkok, misalnya, merumuskan diskusi dan
kesepakatan, sebagai patokan, para pemimpin dunia untuk setuju pada
standar emisi yang lebih ketat—atau lebih dikatakan ambisius—terutama
target pembatasan emisi yang harus dikeluarkan di negara-negara industri
dan standar nasional oleh masing-masing negara di negara berkembang
dalam menurunkan angka emisi mereka.
Patokan diskusi Bangkok, dalam upaya pengurangan emisi (mitigasi)
ini adalah berdasarkan temuan IPCC, bahwa penurunan yang harus
dilakukan oleh negara industri bisa mencapai target minus 25% hingga
40% di bawah level emisi 1990 dan harus dipenuhi pada tahun 2020.
Dengan demikian, dalam target berikutnya, emisi global harus menurun,
setidaknya 50% pada 2050, untuk mencegah keburukan yang berlanjut
akibat dampak perubahan iklim. Indonesia sacara berani, melalui
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilontarkan pada pertemuan

22
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim

G20 dua pekan lalu, akan berkontribusi menurunkan emisi hingga 26%
pada 2020.
Hal penting lain dari pertemuan Bangkok adalah identifikasi untuk
mengarahkan kesepakatan kepala negara dan pemerintah tentang sumber
pendanaan dan sumber daya teknologi, dengan mekanisme menempatkan
dana yang dihasilkan secara otomatis dari waktu ke waktu. Akhirnya,
mereka sepakat bahwa perundingan Kopenhagen perlu menciptakan
struktur pemerintahan yang adil untuk mengelola dana adaptasi dan
mitigasi yang membahas kebutuhan negara-negara berkembang.

Penyadaran Perubahan Iklim


COP 16 Kopenhagen menjadi ajang penting dan bersejarah, karena
arena ini diharapkan membuahkan kesepakatan dalam menahan laju
emisi gas-gas rumah kaca dalam jangka sepuluh atau dua puluh tahun
mendatang. Desakan-desakan publik dan kampanye penyadaran terus
dilakukan untuk mendorong para pengambil keputusan mengambil
tindakan signifikan guna memangkas (mengurangi) emisi gas-gas rumah
kaca yang mengancam bumi dan memberikan sarana untuk beradaptasi
pada perubahan iklim.
Al Gore melalui The Climate Project-nya, terus berkampanye
tentang pentingnya semua orang peduli terhadap perubahan iklim dan
berupaya mengubah segala jenis kebijakan menjadi pro-lingkungan
dengan memanfaatkan energi terperbarukan (lihat gambar 8), sehingga
ancaman gas-gas rumah kaca dapat dikurangi dan planet bumi dapat kita
wariskan untuk anak cucu kita dengan keadaan yang lebih baik. Al Gore
telah melatih langsung 3.000 relawan di seluruh dunia—termasuk 54
berada di Indonesia—yang akan berkampanye memberikan penyadaran—
presentasi secara gratis—tentang perubahan iklim ke berbagai lembaga
dari elit politik hingga masyarakat awam.

23
Adapun Bill Mac Kibben, penulis The End of Nature, menetapkan
target 350 ppm CO2 dengan kampanye www.350.org untuk mengejar
batas paling aman—menurut para ilmuwan— konsentrasi yang bisa
ditolerir agar bumi tetap dalam keseimbangan. Sekarang ini, kondisi
kita sudah mengkhawatirkan, karena sudah di atas zona aman yaitu 386
ppmv. Maka, setidaknya secepatnya kita kembali pada zona aman segera
pada 350 ppm pada abad ini, maka mungkin kita melewati batas bahaya
(tipping points), kondisi di mana keadaan tidak dapat dikembalikan,
ketika selimut di Greenland mencair dan gas metana dilepaskan dari
gundukan raksasa es yang meleleh.
6
NEGOSIASI DURBAN

T
idak ada konvensi internasional paling krusial sifatnya yang
setiap tahun membawa banyak negara beserta para negosiator
dan aktivis lingkungan, kecuali konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang perubahan iklim (UNFCCC). Pertemuan Conference of
the Parties (COP) ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang diadakan pada
28 November hingga 9 Desember 2011, diikuti oleh 20 ribu peserta dan
peninjau yang datang dari minimal 194 penanda tangan konvensi serta
negara lainnya.
UNFCCC sesungguhnya telah hampir menjadi sebuah konvensi
universal yang diikuti oleh mayoritas negara di muka bumi. Mereka
yang tergabung dalam konvensi tersebut adalah pemerintah negara yang
berkomitmen untuk: pertama, mengumpulkan dan berbagi informasi
tentang emisi gas rumah kaca, kebijakan nasional, dan praktek terbaik
yang mereka lakukan; kedua, berkomitmen membuat strategi nasional
untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dan dalam rangka mitigasi
perubahan iklim serta—tentu saja termasuk—pemberian dukungan
keuangan dan teknologi untuk negara-negara berkembang; ketiga, bekerja
sama dalam mempersiapkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim
dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang akan terus meningkat.

25
Adapun COP merupakan pertemuan tertinggi antarnegara anggota
untuk menilai kemajuan dalam berurusan dengan perubahan iklim.
Tahun ini ada dua agenda penting yang diperdebatkan dalam negosiasi
tersebut. Pertama, perjuangan mereduksi emisi yang selama ini berbasis
pada kesepakatan antarbangsa (global accord) Protokol Kyoto akan
berakhir pada 2012, sehingga langkah berikutnya akan membahas
apakah protokol ini akan diganti atau diperpanjang menjadi Protokol
Kyoto II. Kedua, bagi negara berkembang—termasuk Indonesia—adalah
agenda penting mengikutkan agar skema REDD+ mendapat pengakuan
legal dari dunia, sehingga kredit karbon akan didapatkan guna menjamin
mekanisme finansial untuk tetap mempertahankan hutannya. Beberapa
praktisi—termasuk banyak NGO—berupaya dan mendesak supaya hal ini
bisa diwujudkan dengan kesepakatan yang mengikat (legally binding).
Sebab, bagaimanapun mempertahankan hutan yang ada sama dengan
berupaya secara preventif mencegah kerusakan yang lebih parah.

Kerja sama global


Upaya negosiasi untuk mencapai penurunan emisi karbon di tiap negara
sudah tentu sulit dilakukan tanpa adanya kerja sama antarnegara yang
berkomitmen menurunkan jumlah emisinya dan bantuan pasti untuk
menahan laju kerusakan hutan. Diperkirakan sumber emisi global yang
berasal dari kebakaran hutan serta pembukaan lahan dan hutan adalah 20-
25% emisi global. REDD+ memerlukan kesepakatan internasional yang
mengikat (legally binding international agreement), dengan penurunan
target emisi yang akan mendorong skema kredit karbon dalam upaya
menurunkan pembukaan lahan dan hutan di negara berkembang.
Beberapa skema sukarela telah dilakukan untuk mencoba REDD+
di lapangan, termasuk upaya pemerintah Indonesia berniat menurunkan
26% emisinya. Karena itu, Indonesia telah mendapatkan komitmen

26
bilateral dari Norwegia dan berbagai partisipasi tidak mengikat lainnya
dari berbagai pemerintah untuk mencoba REDD+ di lapangan.
Banyak kemajuan dan juga uji coba kesiapan REDD+ sudah
dilakukan, debat publik sering terjadi—di mailing list lingkungan—
terutama dalam upaya penerapan insentif bagi masyarakat yang ada
di pinggiran hutan, di antaranya bahwa REDD+ sesungguhnya tidak
dikehendaki mengulang kapitalisasi hutan menjadi keuntungan para
elite pengusaha hutan yang “berganti baju investasi” menjadi penjaga
hutan dengan mengambil rente karbon yang dimilikinya, tanpa dapat
mengubah keadaan masyarakat pinggiran hutan. Disadari pula bahwa
selama ini pengusahaan hutan produksi dan pembukaan lahan untuk
pertambangan ternyata tidak mampu mengentaskan masyarakat miskin
di sekitar hutan, yang bahkan hanya mendapat bencana ketika hutan
ditinggalkan, seperti sisa lahan yang tercemar tambang dan tidak lagi
subur, banjir, tanah longsor, kekeringan, serta kekurangan air bersih.
Bagi keuntungan global, sesungguhnya cost and benefit sebuah
hutan alam yang produktif: dari segi penyerap karbon, layanan ekosistem,
penahan kesuburan lahan, penyedia plasma nutfah, penghasilan langsung
masyarakat dari hasil hutan bukan kayu, sesungguhnya dapat dihitung
dalam jangka panjang. Kebijakan jangka pendek tentu tidak akan
dapat menolong hutan kita. Sebab, sudah pasti kebutuhan akan kayu,
bahan tambang, dan hasil yang instan akan lebih menarik serta terlihat
menguntungkan. Di sinilah diperlukan pemilihan pemimpin yang
mempunyai wawasan ke depan, yang tidak hanya memikirkan kantong
pribadi, partai, atau kelompoknya, tapi memikirkan masa depan anak-
cucunya dan masa depan bumi.
Demikian pula sesungguhnya adaptasi dapat dilakukan dengan upaya
mempertahankan alam—hutan dan penataan ruang yang tepat—sebagai
barier alami atas perubahan iklim. Misalnya, tanpa disadari pemerintah
Indonesia telah menghabiskan jutaan dolar membangun jalan ke Bandar

27
Udara Soekarno-Hatta untuk mengatasi kenaikan genangan air laut
(rob)—ketika terjadi banjir besar—tapi lupa bahwa kawasan tersebut dulu
merupakan hutan mangrove yang telah diubah menjadi lahan gudang,
pabrik, dan perumahan.
Bagaimanapun, upaya mempertahankan lingkungan harus dapat
mengubah perilaku kebijakan dengan berbagai upaya dan pendekatan.
Perubahan iklim memerlukan kesadaran kolektif dari tingkat individu
(warga negara) hingga kebijakan negara. Karena itu, tumpuan perubahan
perilaku (gaya hidup) hendaknya tidak hanya dilakukan dalam negosiasi
global, juga dalam skala nasional, lokal, tingkat organisasi kolektif
masyarakat (misalnya organisasi kemasyarakatan), bahkan tingkat
perusahaan. Misalnya, perusahaan—yang telah berkomitmen untuk
go green—perlu mendorong karyawan mempunyai kebanggaan moral,
bahkan memberi insentif, jika mereka bisa menggunakan sepeda
ke kantor dalam upaya mereduksi emisi karbon individual mereka.
Misalnya, perusahaan—yang telah berkomitmen untuk go green—perlu
mendorong karyawan mempunyai kebanggaan moral, bahkan memberi
insentif, jika mereka bisa menggunakan sepeda ke kantor dalam upaya
mereduksi emisi karbon individual mereka.

28
7
DOHA GATEWAY

K
onferensi PBB untuk perubahan Iklim (UNFCCC) COP-18, dari
26 November—8 Desember, 2012, telah berakhir. Konferensi
ini mempunyai nilai penting bagi masa depan dan peradaban
manusia di planet bumi ini. Pertemuan Doha, telah diwarnai dengan
dinamika pesimis dan optimisme tentang komitmen baru sertaaksi
jangka panjang dalam upaya perunan gas-gas rumah kaca (GRK) guna
menjaga stabilitas iklim di planet bumi ini.
Konferensi UNFCCC bertujuan penting bagi penduduk bumi, yaitu
menstabilkan konsentrasi volume gas rumah kaca guna menghindari
tingkat yang membahayakan bertambahnya emisi yang disebabkan
oleh manusia (antropogenic caused). Upaya sedang dilakukan untuk
membatasi kenaikan suhu global paling maksimal 2 derajat celsius atau
bahkan lebih rendah yaitu 1,5 derajat celsius pada akhir abad ke-21 ini.
Bagi negara kepulauan seperti Indonesia dan negara-negara pulau yang
lain, kenaikan suhu di atas 2 derajat akan sangat mengkhawatirkan, sebab
menurut prediksi ilmiah, selain akan terjadi keguncangan lingkungan
akibat perubahan iklim yang tidak seimbang yang lebih banyak berujung
bencana, juga akan mempercepat mencairnya es di kutub dan berisiko
banyak pulau yang akan terancam tenggelam.

29
Masa depan iklim akan sangat suram apabila tidak ada tindakan
berarti menahan—melakukan mitigasi atas laju emisi GRK yang terus
meningkat. Laporan Bank Dunia (2012), memberikan gambaran, bahwa
kita (warga bumi) jika tetap melakukan business as usual (BAU) arahnya
adalah akan terjadi peningkatan suhu hingga 4°C, dan hal ini akan
mengakibatkan dampak yang mematikan: kota-kota pesisir terancam
banjir, produksi pangan terancam turun, hal ini tentu saja akan berdampak
pada meningkatkan kasus malnutrisi disebabkan banyak kawasan kering
yang akan semakin kekeringan, dan kawasan basah menjadi lebih basah.
Selain itu dampak buruk lain dapat terjadi dengan banyaknya kawasan
yang akan mengalami gelombang panas, terutama di daerah tropis: banyak
kawasan akan mengalami kelangkaan air, siklon tropis akan semakin
sering dan keanekaragaman hayati—termasuk ekosistem terumbu karang
yang menjadi tempat tinggal ikan—terancam punah. Hal ini tentunya akan
berpengaruh besar pada perekonomian negara termasuk Indonesia.
Jadi, selain negara maju—yang memang dibebankan untuk
menurunkan tingkat emisinya— semua negara, sudah semestinya berupaya
dan berkomitmen pada aksi nyata untuk mengurangi gas-gas rumah kaca
(GRK) yang terus menumpuk mempertebal lapisan atmosfer. Oleh karena
itu, selain mendorong negara-negara maju (annex 1) untuk meningkatkan
ambisi penurunan emisinya. Oleh karena itu, semua negara didorong
untuk melakukan upaya pembangunan dengan skenario pembangunan
berbasis rendah karbon (low emission development scenarios-LED)
misalnya melalui sektor energi, pertanian, kehutanan, transportasi dan
limbah. Atau dengan mendorong perluasan aksi mitigasi tidak hanya
melalui negosiasi UNFCCC tetapi inisiatif yang ada di luar UNFCCC.
Adapun Indonesia, seperti yang telah disampaikan oleh Presiden RI
dalam KTT G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, September 2009—telah
secara sukarela menargetkan pengurangan emisi sebesar 26% padatahun
2020, dan bahkan hingga 41% pada tahun 2020, jika mendapatkan

30
dukungan internasional. Niat itu secara teguh dipegang oleh pemerintah
dengan dikeluarkannya Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang telah mulai
diimplementasikan di seluruh daerah di tanah air.
Sementara, upaya menurunkan emisi melalui negosiasi di UNFCCC—
terutama di negara maju—berjalan sangat alot. Sangat disayangkan pula
bahwa negara besar dan maju, termasuk AS, masih tetap pada pendirian
untuk tidak menandatangani Protokol Kyoto yang menjadi satu sarana
resmi untuk melakukan skema penurunan emisi yang mengikat. Selain
itu, empat negara telah menyatakan bahwa mereka tidak mengikuti
Protokol Kyoto tahap kedua, antara lain: Kanada, Rusia, Jepang, dan
Selandia Baru. Sedangkan Uni Eropa, Australia, dan 9 negara lainnya
telah mengindikasikan bahwa mereka akan berpartisipasi dalam periode
komitmen kedua yang akan berawal tahun depan. Komitmen rata-rata
dari negara maju saat ini baru dapat menurunkan 15-16, 2% emisi tahun
1990 dengan periode 2013-2020, sedangkan kelompok negara-negara
kepulauan yang paling terancam tenggelam mengusulkan penurunan
22,7% di bawah level tahun 1990.

Instrumen Legal yang Mengikat


Pertemuan Doha, telah menyepakati pemberlakuan Kyoto Protokol
periode kedua yang akan berlaku mulai 1 Januari 2013 hingga Desember
2020. Periode komitmen Protokol Kyoto kedua ini disepakati 8 tahun
hingga tahun 2020. Protokol Kyoto saat ini merupakan satu-satunya
mekanisme yang mengikat secara hukum, dengan cara itulah langkah
membatasi dan menurunkan emisigas rumah kaca di negara maju secara
global dapat dilakukan secara signifikan. Namun, jika protokol tersebut
kemudian akan berakhir—sementara upaya untuk menurunkan GRK
harus dilakukan dan perlu diteruskan—maka upaya untuk menurunkan
emisi sesuai dengan ambisi dari masing-masing negara juga akan semakin
31
terhambat. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan keberlanjutan Protokol
Kyoto atau mengganti dengan rezim baru yang mengikat.
Sebelum pertemuan Doha, COP-17 (2011) yang telah membentuk
Kelompok Kerja Pertemuan Ad hoc Durban Platform (ADP) untuk
menyepakati dan membuat dua jalur kerja, yaitu jalur kerja pertama
tentang upaya pengembangan sebuah protokol, atau instrumen hukum
lain atau kekuatan hukum lain di bawah konvensi yang berlaku pada
semua pihak (applicable to all) tidak memandang negara Annex 1 (negara
maju) maupun Non Annex (negara berkembang). Dan alur kerja kedua
mengidentifikasi opsi-opsi mitigasi untuk mengurangi kesenjangan ambisi
dalam upaya penurunan emisi. Hasil COP-18, memutuskan bahwa sebuah
instrumen legal yang mengikat atau berkekuatan hukum legal yang
disepakati di bawah konvensi akan diberlakukan pada semua pihak di saat
pertemuan COP-21, yang akan diadakan tanggal 2 hingga 13 Desember
2015, dan akan efektif diberlakukan sejak 2020, sesuai dengan berakhirnya
Protokol Kyoto. Adapun prinsip applicable to all yang akan diterapkan
pasca 2020 dengan tetap mempertimbangkan prinsip equitable (keadilan)
yang akan dibahas terus-menerus sebelum tahun 2020.
Ke depan, pekerjaan rumah dan tantangan bersama umat manusia
dalam penanggulangan atas perubahan iklim akan semakin serius.
Sebagai negara berkembang yang ingin mempertahankan pertumbuhan
ekonomi 7% dan penurunan emisi 26%, Indonesia sedang diuji pada
sebuah pilihan dan tantangan yang sulit. Namun, jalan harus ditempuh
dan niat baik Indonesia untuk menurunkan emisi 26%, sesungguhnya
dapat terwujud apabila bangsa ini mampu bahu-membahu menciptakan
tata kelola kehutanan, karena 87,4% sumber emisi Indonesia—setelah
dihitung secara ilmiah—bersumber dari sektor hutan dan lahan gambut.

32
BAGIAN II
DILEMA MELESTARIKAN
KEANEKARAGAMAN HAYATI
1
KEBERPIHAKAN PENGELOLAAN
KEKAYAAN BUMI

“Bumi akan cukup memenuhi kebutuhan setiap manusia, tapi tidak akan
cukup untuk memenuhi keserakahan manusia ...”— Mahatma Gandhi

P
eringatan Hari Bumi, telah berusia 39 tahun. Hampir empat
dekade bagi kita belajar mensyukuri karunia Tuhan yang ada di
bumi ini dengan segala kelengkapan dan keasrian yang harus terus
dipertahankan. Beberapa waktu yang lalu, dalam kunjungan ke Desa Aek
Nabara di Sumatera, saya tertegun: menyaksikan seorang petani yang
bersahaja di suatu sore yang terang, memikul cangkul pulang ke rumah.
Pakaian petani tersebut kotor dan sederhana, tapi di balik punggungnya
saya menyaksikan sawah dengan padi menguning dan kebun-kebun yang
menghampar.
Sebentar lagi kelihatannya petani itu akan panen dan berbahagia
dapat makan dengan padi baru yang lezat dari sumber daya alam lokal.
Kehidupannya yang sederhana, memang tidak dapat diukur dengan
berapa jumlah uang yang harus diperolehnya sehari-hari—sama halnya
dengan manusia di belahan bumi manapun—sesungguhnya bukan uang

35
Mempertahankan Keseimbangan

yang akan masuk ke mulutnya, tetapi hasil panen dan segala sumber
daya yang alam sehat itulah yang akan mencukupinya.
Gambaran tadi melukiskan keharmonisan alam yang masih asri di
mana bumi dalam keadaan seimbang: air yang tidak tercemar, pak tani
yang sangat bergantung dengan jasa lingkungan (ekosistem) yang ada
di sekitarnya. Kesehatan alam sekitar dapat membantu masyarakat di
pedesaan, terutama yang bergantung dengan kondisi hutan, dengan air
bersih gratis mengalir deras. Ikan segar dapat dipancing dan dijala di
empang atau di danau, dan keperluan dasar kehidupan dapat dipenuhi
dari waktu ke waktu. Bila panen tiba, beras dan hasil sawah ladang dapat
dijual dan petani dapat hidup berkecukupan. Mereka memiliki masa
depan, menuai hasil jerih payah dari hasil dukungan alam dan terhindar
dari kemiskinan.

Alam dan Kemiskinan


Kemiskinan, sewajarnya menjadi momok yang menakutkan sebuah
bangsa dan peradaban. Wikipedia mendefinisikan, kemiskinan sebagai
keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dimiliki,
seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan air minum. Hal ini
berhubungan erat dengan kualitas hidup. Bank Dunia mendefinisikan
kemiskinan seseorang adalah absolut jika orang—dalam hidupnya—
berpenghasilan di bawah satu dolar AS sehari, dan termasuk setengah
miskin jika mereka memperoleh pendapatan di bawah $2 per hari.
Tahun 2001, Bank Dunia mencatat masih ada satu miliar orang di
dunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang di dunia
mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Itu artinya hampir separuh dari 6,3
miliar penduduk bumi masih berada di bawah garis kemiskinan. Oleh
sebab itu, target pemerintah memberantas kemiskinan melalui skema

36
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati

Millenium Development Goals (MDG) yang merupakan program PBB,


adalah guna mengurangi separuh jumlah penduduk miskin pada 2015.
Sayang sekali, ternyata pemberantasan kemiskinan terkadang tidak
dibarengi dengan strategi pembangunan yang jitu dan berpijak pada
realitas sosial dan berupaya mempertahankan ekosistem serta daya
dukung alam yang baik. Sebab, kenyataannya memberikan prioritas
pada investasi besar belum tentu dapat mengentaskan kemiskinan yang
ada di kawasan dan daerah sekitarnya. Kita masih menyaksikan dengan
kasat mata, di berbagai daerah di mana perusahaan tambang atau daerah
penghasil kayu alam telah lama beroperasi, namun tidak memberikan
kontribusi dan turut memberantas kemiskinan masyarakat di sekitarnya.
Pertambangan miyak dan gas di Riau mampu menghasilkan Rp 64
triliun per tahun untuk negara, sayangnya provinsi minyak ini mencatat
40,2% penduduknya (dari 4,8 juta jiwa) masih berada di bawah garis
kemiskinan. Begitu pula Kalimantan Timur, yang mempunyai Produk
Domestik Regional Bruto Rp 88 triliun per tahun, masih menyisakan
12% penduduk Kaltim (dari 2,7 juta jiwa penduduknya) berada di bawah
garis kemiskinan (JATAM, 2005).
Ironi lain terjadi untuk masyarakat yang hutan alamnya telah
ditebang oleh pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH), berpuluh tahun
berlalu, masyarakat di sekitar hutan nasibnya tidak bertambah baik,
melainkan hanya menuai bencana: tanah longsor, banjir dan kekeringan,
yang pada ujungnya memperburuk kemiskinan. Data Departemen
Kehutanan mencatat, hingga tahun 2004 terdapat 48,8 juta penduduk
Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari jumlah
itu, 10,2 juta penduduk masuk kategori miskin. Hubies (2004) mensinyalir
kemiskinan moral juga terjadi seiring dengan pembukaan industri kayu,
karena di sana akan marak tempat-tempat hiburan, penjualan vcd porno,
dan berkembangnya tempat-tempat pelacuran.

37
Mempertahankan Keseimbangan

Paradoks Penghancuran Alam


Indonesia sering disebut sebagai negara yang mengutamakan
pertumbuhan ekonomi dengan basis pertanian. Banyak kebun diperluas,
tetapi telah banyak menghilangkan kawasan-kawasan yang menjadi
pendukung pokok ekosistem dan keseimbangan alam. Oleh karena itu,
diperlukan keseriusan untuk memperhitungkan keseimbangan ekosistem
supaya tidak labil. Hutan lindung dan kawasan konservasi perlu tetap
dipertahankan. Daerah-daerah perlu menargetkan minimal 30-4%,
bahkan— seperti halnya negara Jepang, 70%--wilayah mereka dilingkupi
dengan daya dukung alami. Sebab, semakin hari karena terlanjur banyak
lahan yang telah dikonversi, ekosistem alami sudah tidak dapat lagi
menjamin eksistensi sumber daya dan jasa lingkungan yang mereka
miliki. Sungai segera kering di musim panas yang pendek dan kawasan
desa dan kota lalu menjadi banjir pada musim hujan.
Studi tentang keberadaan ekosistem bumi yang dilakukan oleh The
Millenium Ecosystem Assasement (MA), mengungkapkan, bahwa jasa-
jasa lingkungan dan sumber daya alam di bumi perlahan-lahan semakin
rusak dan menyusut. Pada tahun 2005, para ilmuwan yang terlibat
dalam studi 4 tahun tentang penyusutan sumber daya alam yang ada di
permukaan bumi berkesimpulan, bahwa akibat dari penghancuran (yang
dilakukan oleh manusia), sumber alam ini akan terus memburuk dalam
50 tahun lagi.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi hutan
alam dan kekayaan alam yang luar biasa. Oleh sebab itu, investasi dan
pengelolaan sektor pembukaan hutan dan lahan yang tidak diikuti studi
dampak lingkungan yang baik, dapat juga menyebabkan rusaknya mata
rantai jasa lingkungan.
Studi yang tidak memadai tentang interaksi ekosistem dan
keterkaitan dengan alam sekitar dapat menyebabkan masyarakat

38
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati

terjebak dan terjatuh di lembah kemiskinan, bahkan kesengsaraan yang


berkepanjangan. Sebagai contoh, akhir-akhir ini, ketika perkebunan sawit
marak, banyak petani berganti profesi dari menanam pohon kelapa sawit:
menjadi petani plasma, atau bekerja sebagai buruh—berhenti menjadi
petani—malangnya mereka sangat tergantung dengan para investor.
Ketika investor yang sangat bergantung pada keadaan pasar collapse
(karena anjloknya ekspor minyak mentah sawit, CPO), petani sawit
pun ikut miskin. Mereka tidak dapat lagi hidup layak, bahkan makan
sehari-hari pun mereka menjadi kesulitan. Di tengah kebun sawit yang
monokultur sejauh mata memandang, tak ada lagi lahan pertanian,
jangankan untuk membuat empang ikan, air pun kering karena berebut
dengan rakusnya sawit yang menyedot banyak air.
Fenomena di atas menjadi pelajaran penting, di mana keberpihakan
sebenarnya harus dilakukan, apakah untuk semua orang, ataukah hanya
untuk “manusia-manusia yang serakah”, seperti kata Mahatma Gandhi.

39
2
KEANEKARAGAMAN HAYATI
MELAWAN KEMISKINAN

R
aja Ampat di Papua adalah sebuah kabupaten baru yang alamnya
masih asli. Lautnya bersih, pantainya indah, hutan di pulau-
pulau yang ada di bagian leher “Kepala Burung” Papua ini masih
relatif belum terjamah. Masyarakatnya hidup tenang. Karena kaya dengan
ikan, jika ingin mendapatkan lauk untuk makan siang, cukup pergi ke
dermaga memancing tanpa umpan, yang mereka sebut mencigi. Ribuan
ikan berenang di dermaga seperti di kolam kaca, saking banyaknya tidak
lagi perlu ditunggu mengigit umpan, melainkan cukup menjerat salah
satu dari tumpukan ribuan ikan yang berkeliaran itu dengan menarik
kail secara mendadak. Inilah modal alam (natural capital) memberikan
ketersediaan pangan bagi mereka (Lihat Gambar 2 Ikan-ikan di Raja
Ampat). Keberadaan modal alam ini, tersedia berkat dukungan jasa
ekosistem yang lain: terumbu karang yang sehat, hutan bakau yang sehat
sebagai tempat pemijahan, aliran nutrisi laut yang tidak tercemar, dan
suhu laut yang mendukung segala jenis dan daur produksi yang ada
di laut. Dengan alam yang kaya ini tidak mungkin masyarakat di sana
kelaparan dan kekurangan gizi.

40
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati

Begitu alam yang asli dan terjaga dapat menjadi sebuah kapital yang
terkadang lepas dari perhitungan. Keanekaragaman hayati merupakan
aset alami termasuk diantaranya jasa ekosistem seperti air tawar, tempat
pemijahan ikan, penangkal gelombang, regulasi iklim, suplai oksigen,
dan pengganti fisik penaggulangan badai, obat-obatan, zat pewarna
dan seterusnya. Ahli keanekaragaman hayati, E.O Wilson, mengatakan,
bangunan alami mempunyai kelebihan yang sangat banyak dibanding
dengan bangunan fisik yang dibuat oleh manusia. Bangunan fisik
tidak akan mampu menandingi jasa alam yang bangunannya terdiri
dari makhluk hidup (organik) yang mempunyai banyak kelebihan dan
harganya sangat murah, tetapi bangunan fisik selain tidak mampu
berbuat banyak, pembangunannya menelan biaya dan investasi tidak
sedikit.
Hutan bakau, jika dipertahankan, dapat berfungsi dalam banyak
hal, antara lain penyedia nutrisi, pencegah abrasi, tempat pemijahan
ikan dan udang, penyerap oksigen sebagai regulasi iklim, dan buah-
buahnya dapat dibudidayakan sebagai pendapatan alternatif masyarakat.
Sebaliknya, jika hutan bakau diubah menjadi bangunan fisik, keuntungan
ekonomi hanya dapat dihitung sebagai kepentingan sesaat dan hanya
untuk fungsi bangunan itu saja. Penanggulangan abrasi di pantai utara
Jakarta menggunakan biaya ratusan miliar akibat kehilangan ekosistem
hutan bakau dan ekosistem bakau, yang mengakibatkan kestabilan tanah
terganggu dan intrusi terjadi, air tanah tidak bisa digunakan untuk
mandi—karena asin— juga mengakibatkan beberapa kawasan di Jakarta
turun lebih rendah dari pemukaan laut. Ujung-ujungnya, pemerintah
lalu harus mengeluarkan anggaran dengan melakukan adaptasi. Sama
halnya dengan upaya membuat jalan layang untuk menghindari intrusi
dan rob masuk, melalui Bandara Soekarno Hatta.

41
Mempertahankan Keseimbangan

Rawan Konflik
Fenomena konflik lahan dan penguasaan sumber daya alam menjadi
marak akhir-akhir ini disebabkan dua hal: pertama, masyarakat yang
telah lama dekat dengan sumber daya alam, seperti masyarakat adat
merasa sangat kehilangan hak atas sumber daya yang mereka miliki
sejak turun-temurun, terutama yang mereka peroleh secara cuma-cuma
dan disediakan oleh alam. Mereka pun telah merawat alam atas wisdom
turun-temurun untuk menghargai dengan tidak merusak alam. Konversi
lahan—seperti perubahan menjadi lahan perkebunan sawit, tambang dan
konsesi kayu—memperparah keadaan dan rasa kehilangan hak tersebut.
Masyarakat yang biasa subsisten menerima keberkahan alam dengan
memungut hasil hutan dan ketersediaan yang gratis dari alam sebagai
sumber kehidupan, mendadak merasa kehilangan apa yang semestinya
mereka dapatkan dengan mudah. Hipotesisnya adalah, masyarakat
pinggiran hutan yang berbasis pembuka lahan dan perkebunan serta
pengumpul, tidak siap, tanpa ada perubahan gradual keterlibatan
pemberdayaan yang berarti dalam kehidupan mereka, untuk menerima
perubahan fungsi lahan.
Kedua, masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi
dan desentralisasi, tetap merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam
mereka sendiri. Hal tersebut disebabkan proses pengambilan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan secara partisipatif dari
bawah. Ketika banyak sumber daya alam dan habitat yang sifatnya
vital seperti penyedia air, keragaman plasma nutfah, pencarian bahan
makanan, dan kesuburan tanah telah terenggut dari sisi masyarakat
awam yang masih hidup subsisten, telah tidak dapat lagi mereka peroleh
di alam—karena fungsi lahan yang telah berubah—maka, mereka merebut
–dengan segala resiko, hidup atau mati—untuk mengambil kembali lahan
mereka sebagai sumber penghidupan.

42
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati

Mengentaskan Kemiskinan
Target pengentasan kemiskinan Millenium Development Goal (MDG),
hanya menghitung tingkat nilai finansial standar kemiskinan yang setara
dengan perolehan tidak kurang dari satu dollar per hari, indikator ini
semestinya tidak menilai alam hanya secara fisik. Merujuk pada studi
terbaru yang dipublikasikan oleh Turner dkk (2012) dalam Jurnal
Bioscience yang mengatakan natural capital adalah sangat penting
sebagai upaya kompensasi pada pada masyarakat miskin dan upaya
melindungi habitat yang bersifat vital yang dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat. Laporan tersebut mencatat dua solusi persoalan dunia
yang dapat diatasi sekaligus: keanekaragam hayati dan kemiskinan.
Masyarakat di pinggiran hutan yang subur, apalagi diperkenankan
mengelola sendiri haknya secara berkelanjutan, niscaya akan mampu
terangkat dari kemiskinan dengan pemberdayaan tanpa merusak alam.
Kawasan hotspots keanekaragaman hayati, menurut laporan tersebut
dapat bernilai lebih dari $500 miliar pertahun atau mampu menyediakan
kebutuhan bagi 330 juta penduduk miskin dunia. Di Indonesia, konversi
lahan mengubah banyak habitat ---yang berfungsi sebagai jasa ekosistem –
yang lalu tidak menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat sekitarnya.
Sebab, keuntungan hanya diperoleh para pemegang modal yang bersifat
kapitalistik untuk melanggengkan usahanya. Kawasan yang mempunyai
keanekaragaman hayati yang tinggi seperti Indonesia sesungguhnya
menyediakan sumber-sumber modal alam yang dibutuhkan untuk
kehidupan atau mereka yang dianggap miskin. Maka memberikan hak
sekaligus melakukan perlindungan pada kawasan-kawasan produktif,
sesungguhnya tidak saja melindungi keanekaragaman hayati, namun
juga dapat dihitung sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan,
sebagaimana yang ditargetkan oleh MDG Perserikatan Bangsa Bangsa.

43
3
PEMEKARAN DAERAH DAN
KEANEKARAGAMAN HAYATI

S
elama lebih kurang 12 hari (18-29 Oktober 2010) para pemimpin
dunia berkumpul di Jepang dalam pertemuan puncak Konferensi
PBB ke-10 (COP), tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati
(CBD). Diperkirakan, 193 negara akan hadir dalam perhelatan akbar
guna membuat keputusan akan status dan penanggulangan terhadap
krisis keanekaragaman hayati serta membicarakan manfaat yang dapat
dilakukan manusia.
Dalam hal penanggulangan (mitigasi) terhadap perubahan iklim,
misalnya, perlindungan keanekaragaman hayati sangat diperlukan untuk
menjamin penyimpanan yang memadai karbon dalam ekosistem alami.
Selain itu, keanekaragaman kehidupan merupakan kebutuhan penting
manusia untuk dipertahankan sebagai kawasan lindung, berupa cagar alam,
suaka marga satwa hingga taman nasional yang dapat berfungsi sebagai
tempat kegiatan seperti rekreasi, sosial budaya, kegiatan ekonomi yang
berkelanjutan atau untuk menikmati kecantikan alam mereka yang unik.
Degradasi lingkungan yang masif menyebabkan banyak ahli
lingkungan khawatir akan eksistensi kehidupan dan keanekaragaman
hayati. Kompleksitas ekosistem yang telah ada ribuan bahkan jutaan
44
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati

tahun, kini terancam musnah karena berhadapan dengan keserakahan


manusia modern. Bisakah dibayangkan kehidupan tanpa pepohonan yang
membantunya memproduksi oksigen? Atau dapatkah diumpamakan jika
manusia hanya hidup di tengah beberapa jenis tumbuhan dan hewan
saja? Hidup manusia sangat tergantung dengan bantuan spesies lain,
termasuk obat-obatan yang berasal dari ekstraksi tumbuhan. Serangga
penyerbuk mempunyai nilai ekonomi, US$ 190 miliar dolar/tahun,
yang membantu manusia untuk menyempurnakan pembuahan pada
pertanian yang mereka tanam.
Interaksi yang kompleks menunjukkan keterkaitan ini. Misalnya,
tanpa tumbuhan, manusia—dan makhluk lainnya—akan kehilangan air
sebagai penyangga esensial kehidupan. Atas jasa tumbuh-tumbuhanlah
curahan air hujan dimurnikan dan dipertahankan dalam siklus
hidrologis yang menghasilkan air bersih ke dalam tanah, mengisinya
dengan berbagai mineral yang dapat tersedia ketika diperlukan tubuh,
sehingga secara baik menyokong kehidupan. Sebaliknya, tumbuhan
memerlukan hewan atau satwa untuk menyebarkan biji-bijian, mencerna
dan mensupor unsur-unsur hara—melalui bantuan makhluk hidup
seperti mikro organisme dan fauna decomposer—dalam tanah untuk
mendukung suplai nutrisi yang baik. Alam yang baik adalah sebuah
sistem yang kait dan saling mendukung, untuk tujuan kehidupan.
Keanekaragaman hayati, merupakan barometer kehidupan dan kunci
kesejahteraan manusia dan pembangunan berkelanjutan sebagaimana
dicatat oleh target Millenium Devepment Goal PBB. Keprihatinan tengah
tertuju pada kepunahan pendukung kehidupan ini. Prof. Joseph Alcamo,
dari Program Pembangunan Lingkungan PBB (UNEP), mengatakan,
sejak 1970, terjadi penurunan populasi satwa sebanyak 30%, kawasan
mangrove dan padang lamun 20%, dan penurunan jumlah terumbu
karang turun hingga 40%. Organisasi Konservasi Alam Dunia (IUCN)
mencatat, secara global, manusia baru berhasil mengidentifikasi 1,9 juta

45
Mempertahankan Keseimbangan

spesies, sedangkan jumlah spesies di muka bumi secara keseluruhan


diperkirakan dapat mencapai 10 hingga 20 juta. Dengan demikian,
daftar merah (red list)—yang mendata flora dan fauna diambang punah
dan perlu dilindungi—yang tercatat sebagai spesies yang diambang
kepunahan—dapat dianggap masih kurang mewakili kehidupan yang
wajib dilindungi oleh manusia.
Di Indonesia, selama empat dasa warsa ini, kita menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, betapa dahsyatnya perubahan lingkungan yang
terjadi karena pembangunan Indonesia yang bertumpu pada ekploitasi
sumber daya alam terutama hutan. Peristiwa banjir di pulau-pulau besar
seperti Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, disusul longsor di Wasior,
Papua, baru-baru ini merupakan bukti krisis karena punahnya daya
dukung ekosistem yang bertumpu pada keanekaragaman tumbuhan,
telah habis. Setelah kayu ditebang—lahan menjadi gundul dan terlantar—
ditumbuhkanlah kebun-kebun sawit yang tidak mampu menahan
kapasitas air dan menyerap curahan hujan.
Setahun silam, saya mengunjungi Pulau Sipora, ibukota baru
Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang merupakan pulau terluar negeri
ini. Di pulau kecil tersebut, dijumpai dua spesies langka yang dipetakan
oleh AZE (Alliance of Zero Extinction) sebagai habitat terakhir dua
spesies endemik yaitu siamang kerdil dan tupai sipora. Pulau ini
mempunyai 39 ribu ha kawasan hutan dan hanya disisakan 1,3 ribu ha
hutan lindung untuk kehidupan mereka. Keterancaman terjadi manakala
37,5 ribu ha hutan di pulau ini dicadangkan sebagai hutan produksi.
Sisanya, kawasan berbukit dan berhutan lebat ini akan dibuka untuk
pembangunan fasilitas sebagai ibukota—kabupaten baru—Mentawai. Bila
melihat trend yang terjadi, ternyata pembangunan dan keperluan dan
kepentingan manusia di tingkat komunitas lokal, seperti pembangunan
ibu kota kabupaten baru, juga ternyata turut memusnahkan eksistensi
spesies terakhir itu.

46
Mempertahankan Keseimbangan

lalu—Menteri Kehutanan meminta izin kepada DPR untuk meloloskan


ekspor gelondongan dari kayu alam—menimbulkan keraguan terhadap
komitmen Oslo tersebut. Memang, seperti dikatakan oleh SBY, akan
cukup kawasan non-hutan dan lahan yang tersedia bagi Indonesia untuk
mengakomodasi pertumbuhan industri sangat penting perusahaan
perkebunan, sumber utama mata pencaharian di Indonesia.
Jika diperhatikan, terkait dengan emisi global kontribusi Indonesia,
kita hanya berhadapan pada dua akar masalah, yaitu kebakaran hutan dan
penanganan gambut. Jika moratorium terhadap gambut dan kebakaran
hutan dapat diatasi, maka Indonesia dapat mengurangi 53% emisinya
yang berasal dari dua sektor tersebut.

Mempertahankan Keseimbangan
Pada dasarnya, upaya keras yang sedang dilakukan dalam negosiasi
berbagai negara dalam menanggulangi perubahan iklim merupakan usaha
manusia untuk tetap mempertahankan bumi dalam keseimbangan. Gas-
gas rumah kaca (GRK) seperti CO2, pada dasarnya mempunyai manfaat
menguntungkan untuk planet bumi, namun pada konsentrasi yang pas
di mana bumi menjadi hangat dan tidak diselimuti es. Berdasarkan fakta
jutaan tahun dari penelitian Paleoclimate, ternyata keadaan sekarang
terjadi karena konsentrasi CO2 di atmosfer berada di bawah 450 satuan
per milimiter volume ppmv.
Di lain pihak, ada pendapat dari para ahli untuk menghimbau agar
konsentrasi CO2 di atmosfer tidak melebihi konsentrasi 350 ppmv, dan
kekuatan radiasi (matahari) tidak lebih dari 1 watt per meter kuadrat
dibandingkan dengan masa sebelum indurtrialisasi (pra-industri).
Alasannya, jika konsentrasi melewati keadaan ini, kita akan melewati
titik kritis yang mengakibatkan perubahan iklim, seperti menghilangnya
selimut es, peningkatan permukaan laut, perubahan drastis hutan

94
Hutan Penyangga Kehidupan

dan sistem pertanian. Sekarang ini konsentrasi CO2 telah mencapai


387 ppmv dengan kekuatan radiasi 1.5 watt per meter kuadrat, kita
pun—sekarang ini—tengah merasakan akibat perubahan iklim dengan
terjadinya pergeseran-pergeseran ekstrem iklim dan ketidakpastian cuaca
di muka bumi.
Kenyataan ini disimpulkan salah satunya dampak industrialisasi
dengan banyaknya pemakaian bahan bakar fosil—untuk penggunaan
energi—yang mengakibatkan emisi dan konsentrasi gas CO2 di udara
semakin meninggi dan menambah ketebalan atmosfer. Indonesia tentu
berkontribusi, tetapi sangat sedikit di sektor bahan bakar, namun
kontribusi negara ini adalah di sektor pengurangan—kemampuan
ekosistem untuk menyerap kembali karbon—melalui pemanfaatan
lahan, penebangan hutan dan kerusakan lahan (LULUCF). Oleh karena
itu, sebelum masing-masing negara, sesungguhnya telah berniat untuk
menurunkan emisi di masing-masing.
Dengan moratorium hutan dan gambut, sesungguhnya Indonesia
ingin memenuhi janjinya menurunkan emisi 26% bahkan akan lebih.
Tentu saja pada musim hujan seperti sekarang ini, Indonesia sangat
diuntungkan, karena tidak ada pembakaran hutan dan lahan. Namun,
kerja keras harus dilakukan untuk menurunkan titik api pada kebakaran
hutan dan lahan—terutama gambut—pada musim panas mendatang.

95
6
TAHUN-TAHUN HIDUP DALAM BAHAYA

H
arrison Ford datang ke Indonesia, melihat langsung keadaan
hutan di Sumatera dan Kalimantan. Aktor sekuel film
Indiana Jones ini memang sangat gencar berkampanye upaya
perlindungan hutan. Dia juga menjadi duta kampanye penyadaran
publik tentang konservasi pada sebuah organisasi konservasi lingkungan
ternama di AS dan menjadi ikon penyadaran pentingnya menjaga
kestabilan iklim guna mendukung pelaksanaan konvensi PBB untuk
Perubahan Iklim (UNFCCC).
Harrison juga terlibat proyek film dokumenter bertajuk  Years
of Living Dangerously karya produser James Cameron dan Arnold
Schwarzenegger. Film ini mengangkat tema tentang dampak perubahan
iklim yang diakibatkan oleh manusia serta akan membahayakan planet
bumi dan mempunyai dampak pada generasi mendatang.
Secara tidak langsung, negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan Eropa, sesungguhnya ikut merasakan dampak kehilangan hutan
dan perubahan iklim. Selain dari sektor energi, 16 hingga 20% penyebab
perubahan iklim adalah kebakaran hutan dan pembukaan kawasan hutan.
Negara-negara maju sekarang ini merasakan anomali iklim yang tidak

96
Hutan Penyangga Kehidupan

terduga, frekuensi badai yang kian bertambah tinggi, musim kering yang
panjang dan curah hujan yang sangat tinggi, sehingga mengakibatkan
banjir yang menenggelamkan bangunan dan membawa korban.
Bahkan, dalam soal kebakaran hutan, AS juga mengalami nasib
yang sama dengan Indonesia. Sejak Agustus hingga awal September
ini, Yosemite National Park, sebuah taman nasional yang sangat dicintai
oleh bangsa Amerika—menjadi role model taman nasional di dunia—
telah terbakar akibat api liar yang tidak diketahui pangkalnya. Laporan
terakhir menyatakan lebih dari 103,5 ribu hektare hutan terbakar—luasan
ini sama dengan dua setengah kali luas Taman Nasional Tesso Nilo—
yang mengakibatkan kerugian mencapai 108 juta dolar AS. Musim panas
mengakibatkan api liar muncul, menurut Kepala Pelayanan Kehutanan,
AS Tomas Tidwell, diakibatkan panas lebih panjang dalam dua bulan
terakhir dan api liar memusnahkan dua kali lebih luas dari kebakaran
yang pernah terjadi 40 tahun sebelumnya.
Adapun hutan Indonesia telah menjadi sorotan sejak awal 1990-
an, ketika kajian ilmiah tentang kritisnya beberapa kawasan di planet
bumi yang mempunyai peran penting, terancam akibat eksploitasi yang
berlebihan. Indonesia (kecuali Papua) dalam kajian tersebut disebut
sebagai kawasan hotspot bersama puluhan negara lain yang ditelaah
mempunyai dua aspek luar biasa, sehingga harus mendapat prioritas dan
perhatian: pertama, memiliki konsentrasi spesies flora dan fauna yang
tinggi dan tingkat endemisme yang luar biasa, dan, kedua, menghadapi
ancaman kepunahan yang luar biasa pula. Negara hotspot telah diprediksi
Norman Mayers (1988) akan kehilangan 90% tutupan hutan mereka di
akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, yang akan menyebabkan
kepunahan hampir 7% spesies tumbuhan yang ada di bumi dan hal yang
sama akan terjadi pada spesies hewan.
Karena adanya perubahan iklim, masyarakat semakin menyadari,
bahwa kondisi lingkungan di belahan bumi lain, secara tidak langsung

97
Mempertahankan Keseimbangan

terhubungkan dengan kawasan lain di daerahnya. Ibarat jantung hutan


tropis di negara hotspot, hanya meliputi 0,2% bagian planet bumi.
Betapa ironinya, ternyata jantung tersebut kini digerogoti oleh segelintir
manusia rakus yang tidak memikirkan kesehatan tubuh (planet bumi) di
bagian lain. Padahal di kawasan hutan tropis pula dijumpai 40 hingga
75 persen jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang ada di planet ini (lihat
gambar 6).

Kelapa sawit
Dua hari sebelum Harrison Ford tiba, saya menyaksikan sendiri betapa
kompleksnya permasalahan Taman Nasional Tesso Nilo. Hutan yang
tersisa di sana merupakan kawasan konservasi yang paling kritis,
terancam menyempit karena perambahan dan tindakan yang dilakukan
penuh ketidakpastian. Taman nasional ini relatif baru menjadi
kawasan konservasi karena, setelah diteliti, masih mempunyai kekayaan
keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Tindakan perlindungan
dilakukan karena masih ada harapan, untuk menyelamatkan hutan serta
isinya, termasuk beberapa jenis endemik Sumatera, seperti harimau, gajah,
dan lainnya dari kepunahan konversi lahan, baik untuk perkebunan
maupun hutan tanaman.
Sejak berdirinya, Taman Nasional Tesso Nilo, tahun 2009, pada
dasarnya belum mendapatkan fasilitas dari pemerintah secara baik.
Perkebunan kelapa sawit baik milik masyarakat maupun perusahaan telah
merangsek ke dalam taman akibat belum ada tata batas yang jelas di mana
sebenarnya posisi taman nasional tersebut. Konflik terjadi dikarenakan
kawasan ini tadinya merupakan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
yang tidak mendapatkan perhatian ketat dan open access akibat adanya
pembuatan jalan yang mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan
untuk kepentingan perusahaan tanaman industri. Efek pembukaan ini

98
Hutan Penyangga Kehidupan

menjadikan perambah sangat mudah masuk, bahkan sebelum kawasan


dijadikan taman nasional.
Kebutuhan penanaman kelapa sawit ini merupakan akibat
permintaan akan minyak sawit yang sangat tinggi. Delapan puluh lima
persen sawit dunia diimpor dari Malaysia dan Indonesia. Siapakah
pembeli sawit tersebut? Tidak lain adalah negara-negara maju yang
mengimpor sawit untuk kebutuhan industri mereka, termasuk konsumsi
minyak goreng, pembuatan kosmetik hingga kebutuhan bahan bakar.
Mongabay (2013), mencatat bahwa konsumsi kelapa sawit di 27 negara
Uni Eropa melonjak 41%, dari 4,51 juta ton dari tahun 2006 menjadi 6,38
juta ton di tahun 2012. Sedangkan keperluan kelapa sawit untuk bahan
bakar minyak kendaraan bermotor naik pesat sekitar 365% dari 402 ribu
ton menjadi 1,87 juta ton. Belanda, negara terbesar yang mengkonsumsi
kelapa sawit di Eropa, mengalami kenaikan pesat sebanyak 9.500% dari
5.000 ton menjadi 480 ribu ton sepanjang periode ini.
Jadi, sesungguhnya antara negara maju dan negara berkembang “setali
tiga uang”. Maka sudah sepantasnya dalam upaya perlindungan hutan,
diperlukan kerja sama global—guna memenuhi kepentingan bersama
dalam pelestarian hutan Indonesia di masa depan.

99
7
TOLONGLAH RIAU

B
encana kebakaran hutan dan lahan di Riau kembali merepotkan.
Sebagai kasus lingkungan dapat menjadi momok setiap tahun
atau bahkan beberapa kali dalam setahun, kejadian yang berulang
merupakan sebuah ironi, yang menunjukkan gagalnya semua sektor dan
penanggung jawab untuk belajar dalam upaya penanggulangan yang
tepat dan cepat untuk kebakaran hutan dan lahan.
Dalam sebulan ini, asap menyelimuti kota-kota di Riau sudah
seperti berada dalam bara sekam. Sangat berbahaya bagi kesehatan
bahkan membawa kematian. Belum lagi kerugian materi, seperti kebun
masyarakat yang ikut ramai-ramai terbakar dan gagal panen, tertundanya
penerbangan dan ditutupnya kantor dan sekolah karena asap yang tidak
dapat ditolerir. Media ini mengutip kerugian mencapai 15 triliun (Koran
Tempo, 15/4).
Perubahan hutan akibat kebakaran, selain punahnya hutan—
terutama hutan alam—juga kemungkinan rusaknya ekosistem penyangga
kehidupan yang ada di sekitar kawasan yang terbakar, dengan demikian,
jasa ekosistem kawasan misalnya daerah tangkapan air atau hutan
produktif—termasuk Cagar Biosfer Giam Siak— yang sangat bernilai

100
Hutan Penyangga Kehidupan

tinggi, kemudian menjadi musnah secara sia-sia. Demikian pula


keanekaragaman hayati Indonesia yang kehilangan sumber pakan dan
rumah selamanya, seperti harimau dan gajah, termasuk berbagai jenis
sumber daya genetik yang mungkin musnah bahkan punah untuk
selamanya tanpa diketahui manfaatnya oleh manusia.
Kesedihan dan keprihatinan tentu sangat mendalam, dan
kontraproduktif terutama dalam upaya mengurangi emisi global,
mencegah perubahan iklim. Kebakaran hutan, sudah pasti akan
menambah jumlah emisi karbon tahunan Indonesia. Padahal, negara
ini berupaya keras menurunkan emisi sebesar 26% yang umumnya
bersumber dari kebakaran dan alih guna lahan.
Kasus kebakaran di Riau sesungguhnya merupakan ujung dari
sebuah kesemrawutan tata kelola perizinan dan pembukaan lahan
yang tidak terkendali. Selain perusahaan dengan jutaan hektar konsesi
kayu pembuatan pulp yang mendapatkan izin sejak awal tahun 1980-
an, perizinan tambahan diberikan oleh pemerintah daerah untuk
mendapatkan rente ekonomi pembangunan, dan tentu saja, karena
lemahnya pengawasan—dipastikan—banyak kolusi dan pelanggaran
aturan dan korupsi, sehingga menyeret gubernurnya dipenjara hingga
14 tahun.
Akibatnya, dalam kurun waktu tiga dekade, telah tercatat, hutan
alam di Riau telah mengalami perubahan yang sangat dahsyat. Sejak
1982, tutupan hutan alam Provinsi Riau menciut hingga 65% . Dalam
rentang waktu tersebut, lebih dari 4 juta ha hutan Riau atau seluas
Provinsi Sumatera Barat, lenyap hanya dalam 25 tahun. Bila dihitung
kasar, hutan seluas dua kali lebih luasan wilayah Jakarta atau Singapura,
lenyap dari Riau, setiap tahun. Ke mana perginya hutan itu? Ternyata,
sebanyak 53% telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan
tanaman industri untuk bubur kertas. Kampanye Green Peace beberapa
waktu yang lalu sangat jelas, kawasan industri dan perkebunan pun telah

101
5
HAJI RAMAH LINGKUNGAN

P
ada 2010, dua anak muda muslim dari Afrika Selatan melakukan
perjalanan ibadah haji “ramah lingkungan”, yaitu dengan
menggunakan sepeda, menuju Mekah. Nathim Cairncross dan
Imtiyaz Ahman Haron bersepeda sejauh 11 ribu km, memakan waktu
sembilan bulan.
Perjalanan ribuan kilometer dari negara asalnya menuju Mekah,
dengan hanya mengayuh sepeda, tentu saja merupakan upaya yang sangat
keras, menguras tenaga, dan melelahkan. Tetapi ini menjadi tanda bahwa
kehidupan beragama mempunyai spirit dalam upaya berkontribusi
kepada kepedulian lingkungan hidup. Perjalanan “haji hijau” ini tentu
saja zero emisi, sudah pasti ramah lingkungan karena tidak berkontribusi
kepada emisi karbon individual.
Mengurangi emisi gas rumah kaca, seperti penggunaan CO2, baik
individual maupun kolektif, akan berkontribusi pada upaya mitigasi
(mengurangi) terjadinya perubahan iklim. Sebab, apabila Anda
menggunakan kendaraan yang memakai bahan bakar minyak (BBM)
yang berasal dari fosil, artinya akan berkontribusi pada emisi gas rumah
kaca yang mengakibatkan bertambahnya ketebalan atmosfer yang

156
Kembali pada Etika dan Agama

berdampak pada pemanasan global. Selama tiga hari, awal November


ini, saya menghadiri acara peluncuran Sacred Land and Green Pilgrimage
Network di Assisi, Italia.
Kegiatan ini dihadiri tokoh umat beragama dan aktivis lingkungan
hidup dari berbagai keyakinan: Buddha, Bahai, Dao, Hindu, Sinto,
Sikh, Kristen, Islam, dan Yahudi, dengan tujuan yang sama, yaitu
berkontribusi pada perawatan satu bumi untuk dapat hidup secara
berkelanjutan, baik generasi kini maupun mendatang. Hal yang menarik
adalah dalam konteks perubahan iklim dan lingkungan hidup: ada
upaya umat beragama untuk bersama menggerakkan masing-masing
umatnya melalui keimanan yang dimilikinya guna berkontribusi pada
pencegahan atau mitigasi terhadap perubahan iklim.
Menurut Alliance of Religions and Conservation (ARC), setiap
tahun ada sekitar 100 juta orang melakukan perjalanan ziarah atau
ibadah ritual—termasuk ibadah haji. Adapun perayaan yang dilakukan
di Assisi, Italia, itu merupakan jaringan pertama di dunia untuk mereka
yang mempunyai komitmen dengan tujuan menjadikan tempat suci atau
upacara keagamaan mereka berwawasan lingkungan.
Jaringan ini akan bekerja guna membantu umat beriman menjadikan
tempat suci dan kota suci mereka ramah lingkungan, berkelanjutan
berdasarkan pada keyakinan agama dan pemahaman mereka masing
masing. Umat Islam dalam acara ini turut berkomitmen meluncurkan
buku The Green Guide for Hajj, atau panduan haji hijau yang isinya
tuntunan umum bagaimana melakukan ibadah haji yang lebih ramah
lingkungan, yaitu anjuran sejak dari persiapan haji, bersikap sederhana
dalam pola konsumsi. Sebab, dalam ritual haji kita diingatkan akan
fitrah manusia, di mana Anda harus meninggalkan kemewahan dan
gaya hidup konsumtif. Panduan ini juga menganjurkan agar jemaah haji
membeli produk yang ramah lingkungan serta memilih agen perjalanan

157
Mempertahankan Keseimbangan

yang ramah lingkungan—misalnya yang meng-offset carbon footprint


penumpangnya.
Salah satu anjuran yang sangat penting adalah tidak membeli tas
plastik dan botol plastik untuk dibawa pergi haji. Mengapa? Karena
plastik hanya dapat hancur selama 200 tahun, dan tidak terurai dengan
cepat. Pada 2010 terdapat 100 juta botol plastik yang ditinggalkan oleh
jemaah haji. Jumlah tersebut sebenarnya dapat dikurangi jika jemaah
sadar dengan tidak membeli air dalam botol kemasan atau membawa
sendiri air dalam wadah yang permanen untuk dikonsumsi selama
perjalanan haji.
Tahun ini, menurut Kementerian Agama, Indonesia mengirim 221
ribu anggota jemaah haji ke Mekah, bahkan setiap tahun peminat haji
meningkat sehingga terdapat para calon haji yang masuk daftar tunggu.
Daerah provinsi seperti Aceh Darussalam, Kalimantan Selatan, dan
Sulawesi Selatan harus menunggu 11 tahun, sedangkan daerah lainnya
rata-rata harus antre lima tahun (Gambar 11. Jamaah Haji Indonesia
mendapatkan informasi tentang haji yang ramah lingkungan )

Ziarah
Ziarah tidak hanya berupa mengunjungi tempat tertentu—antarnegara
dan bangsa—tapi ada juga berkumpulnya massa dari sebuah kawasan
(region) tertentu. Misalnya, ziarah jemaah tarekat Tasawuf Qadiriyyah
di Kano, Nigeria, yang dihadiri lebih dari 1,5 juta pengikutnya setiap
tahun. Sementara itu, kota suci Assisi merupakan tempat ziarah yang
telah bertahan selama 800 tahun, yang dikunjungi oleh ratusan ribu
penganut Katolik. Kota ini merupakan tempat kelahiran Santo yang
ekologis, yaitu St Francis Assisi, di mana beliau berkhotbah tidak hanya
kepada manusia, juga untuk burung dan binatang-binatang yang ada di
sekitarnya.

158
Kembali pada Etika dan Agama

Pertemuan acara keagamaan paling besar dalam ritual menurut


catatan sepanjang sejarah adalah perayaan Maha Kumbh Mela, yang
diadakan pada 2001. Acara ini hanya diadakan setiap 144 tahun di
Prayag, Allahabad, India, yang menarik 60 juta pemeluk Hindu untuk
berkumpul. Sedangkan pertemuan tahunan terbesar setiap tahun adalah
ibadah haji di Arab Saudi, yang pengikutnya mencapai 2,5 juta orang
setiap tahun.
Pesan yang sangat penting dari pertemuan ini adalah bahwa
umat beragama mempunyai potensi besar untuk menggerakkan dan
berkontribusi mengatasi perubahan iklim dan lingkungan secara masif,
karena imanlah yang mendorong mereka melakukan penghormatan
kepada tempat suci. Dan sudah tentu dengan keyakinan pula aksi peduli
kepada lingkungan dapat dilakukan demi keberlanjutan ibadah umat
beragama di planet bumi yang satu ini.

159
6
ETIKA ISLAM TERHADAP LINGKUNGAN

D
alam bulan Oktober 2008, penulis dua kali diundang mengikuti
pertemuan dengan topik peran dunia muslim terhadap
lingkungan. Pertama, pertengahan Oktober, di Oxford Centre
for Islamic Studies, yang membahas isu Islam dan lingkungan secara
keseluruhan, dan kedua di Kuwait, membahas Islam dan Perubahan
Iklim (Islam and Climate Change) yang diadakan pada akhir Oktober.
Dalam kancah global yang tidak mempunyai sekat ini, kondisi
planet bumi yang hanya satu ini mengundang keprihatinan semua
pihak. Kekhawatiran akan melajunya gejala perubahan iklim yang
lebih cepat dari prakiraan para ilmuwan, mandegnya perundingan
dan gagalnya praktek-praktek penyelamatan lingkungan konvensional
dalam upaya menghambat laju kerusakan lingkungan dan mencegah
bencana, merupakan alasan yang kuat bahwa manusia tidak lagi mampu
mendekati alam dengan cara-cara dan perlakuan yang serba mekanistis,
tetapi juga harus diikuti dengan unsur yang spiritualistis.
Pasar global membuktikan dengan runtuhnya harga saham
baru-baru ini dan tentu saja peristiwa tersebut membuktikan bahwa
kapitalisme yang serakah dan kekayaan yang diperoleh oleh para pialang
selama ini adalah sesuatu yang semu. Padahal, dampak dari keserakahan

160
Kembali pada Etika dan Agama

kapitalistis sangat besar dirasakan oleh lingkungan, terutama dengan


melajunya investasi dan pengurasan sumber daya alam yang tidak lagi
mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Lagi pula, mekanisme
pasar semacam ini telah membuat kondisi lingkungan bertambah
parah, bahkan menjadikan semua bangsa tertekan dan terjerumus ke
lembah kenistaan ekonomi. Karena itu, di lain pihak, sesungguhnya
resesi semacam ini merupakan penyegaran dan penyadaran bagi alam
dan lingkungan yang laju pengurasannya akan bertambah lamban dari
keadaan sebelumnya.
Kesadaran semacam ini sesungguhnya mulai dilihat dan dipertimbangkan
sehingga pandangan dunia (world view) terhadap lingkungan akan beralih ke
pandangan agama yang sesungguhnya menjadi fitrah manusia. Islam adalah
agama 1,8 miliar penduduk bumi. Lagi pula, dalam dunia kontemporer ini,
negara-negara muslim memiliki sumber daya alam yang melimpah, dari
mulai sumber energi seperti minyak di negara-negara Arab di Timur Tengah
hingga kekayaan alam hutan tropis dengan keanekaragaman hayatinya yang
tinggi di Indonesia dan negara-negara di Asia Selatan.
Kekayaan yang melimpah secara finansial yang dimiliki oleh
muslim di Timur Tengah ternyata tidak mendatangkan dampak yang
signifikan pada muslim di belahan bumi yang lain. Sesuatu yang amat
disayangkan bahwa sesungguhnya sesama mukmin adalah bersaudara
seperti dinyatakan dalam Al Quran (QS 49: 10) ternyata tidak
diimplementasikan secara baik di dunia muslim.
Kondisi lingkungan di dunia muslim malah sangat parah, karena
kesadaran terhadap pemeliharaan lingkungan pun masih sangat rendah,
sehingga dalam hal manajemen lingkungan, negara kaya minyak
seperti di Timur Tengah: dalam persoalan lingkungan masih dianggap
sebagaimana negara berkembang dan terbelakang (Foltz 2005).
Kondisi ini diperparah lagi dengan rendahnya pemahaman akan
nilai-nilai Islam secara praktis dalam soal perawatan lingkungan,

161
Mempertahankan Keseimbangan

sehingga tidak mengherankan di dunia muslim kita menjumpai banyak


sungai menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Atau, masyarakat
masih menganggap bumi ini merupakan tempat yang bisa diperlakukan
sekehendak hati mereka, tanpa mempedulikan masa depan dan tanggung
jawab mereka sebagai khalifah.
Jelas, perilaku semacam ini sangat bertentangan dengan semangat
Islam sesungguhnya, yang menyuruh berbuat kebaikan dan tidak
membuat kerusakan (QS 7:35:56), menghormati segala makhluk di bumi
karena mereka juga umat seperti halnya manusia (QS 6:38), dan sebagai
khalifah manusia telah sanggup menerima amanah, sedangkan makhluk
yang lain seperti langit, bumi, dan gunung-gunung enggan menerimanya
(QS 33: 72).
Fenomena kerusakan lingkungan selama ini disinyalir karena selama
ini muslim tidak mempedulikan ajaran lingkungan yang mereka miliki
dan mematuhi ajaran universal tersebut sebagaimana tercantum dalam
kitab suci dan sunah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, penggalian
secara komprehensif ajaran dan etika Islam tentang lingkungan mutlak
diperlukan, lalu diajarkan dan dipraktekkan sebagai nilai-nilai universal,
sebagaimana halnya implementasi ubudiyah yang lain, termasuk dalam
hal transaksi ekonomi dan teknologi yang memengaruhi kerusakan
lingkungan.
Tidak kalah pentingnya di muka bumi ini, dunia muslim telah
dikaruniai kesempatan yang besar. Pertama, dari segi kekayaan alam
yang melimpah, sehingga sumber daya minyak bisa memakmurkan
negara muslim yang lain, jika keadilan sesama muslim dan ajarannya
ditegakkan. Kedua, dunia muslim memiliki kekayaan sumber daya hayati
yang terbesar (mega diversity) seperti di Indonesia. Ketiga, dunia muslim
mempunyai potensi ajaran yang unik dan universal untuk kemanusiaan.
Saatnya dunia muslim bangkit dengan ajaran lingkungannya yang
universal pula untuk menyelamatkan planet bumi ini.

162
EPILOG

Dalam drama Kosmologis tentang kehendak Tuhan menjadikan Nabi


Adam alaihissalam sebagai khalifah di bumi, agama-agama samawi—
Yahudi, Kristen dan Islam—sesungguhnya memiliki keyakinan yang
sama tentang peristiwa ini. Ketika para Malaikat kemudian goncang! dan
mereka mempertanyakan tentang kehendak Tuhan menjadikan Adam
sebagai Khalifah di bumi: Malaikat berkata, “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padalah kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau.” Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs al-
Baqarah, 2: 30).
Kitab suci telah secara niscaya memberikan pemahaman bahwa,
manusia, anak cucu Adam, sebagiannya akan membuat kerusakan.
Tetapi, tidak kurang, manusia pun dapat membuat kebaikan dan
berbagai kelebihan di mana Malaikat pun tidak mengetahui, kecuali
Allah SWT saja. Dalam diskursus inilah, mengapa kemudian kerusakan
dan gejala-gejala yang timbul akibat kerusakan di bumi tersebut dapat
digambar dalam segi “kerusakan lingkungan dan ancaman bahayanya”
dalam buku ini. Tapi tidak kalah penting juga pemahaman tentang
upaya perbaikan dan gerakan lingkungan dalam mengatasi kerusakan
tersebut tetap dilakukan.

163
Mempertahankan Keseimbangan

Maka, buku ini ingin melukiskan tentang pentingnya upaya-


upaya pemulihan lingkungan dengan upaya yang serius serta amanah.
Bumi tempat manusia tinggal ini hanya satu satunya yang layak huni,
sementara ilmu pengetahuan sedang mencari-cari tempat baru, di mana
manusia akan dapat bertahan di planet lain, ternyata pun belum ada
hasilnya. Upaya perbaikan dan memperlakukan bumi dengan baik
agar tetap menjadi layak huni, sesungguhnya dapat dilakukan. Ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat menghantarkan pada derajat tersebut,
sebagaimana Tuhan telah memberikan pula keistimewaan kepada Adam
AS sebagai khalifah yang mampu mempunyai pengetahuan yang lebih
dan memahami nama-nama.

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar!” (Qs 2:31)

Keistimewaan anak cucu adam dalam merawat bumi, dibekali


dengan pengetahuan akan alam dan isinya, oleh sebab itu, kembali
apakah manusia akan dengan sengaja akan mengabaikan pengetahuannya
atas karunia yang diberikan kepadanya untuk mengelola bumi
menjadi lebih baik, atau akan merusaknya. Jalan keluar dan tantangan
senantiasa akan terbuka. Maka ada arena yang luas untuk memberikan
bakti dan kebaikan dalam perawatan planet bumi kita, dimana pun
belahan bumi kita tinggal. Ibarat dalam satu perahu yang sama, maka
kebaikan pada upaya perbaikan lingkungan dan alam sekitar menjadi
timbangan universal yang akan dapat diterima semua kalangan dan
lintas generasi. Sebab itulah, berbicara lingkungan dan perawatan planet,
kita akan membicarakan soal warisan jangka panjang dan upaya-upaya
mempertahankan keberlanjutan kehidupan.

164
SUMBER TULISAN

Tulisan ini dikumpulkan dalam tema-tema untuk merespon tentang


tantangan lingkungan global dan nasional serta lokal, dan sebagian telah
dimuat di berbagai media, dan ada beberapa yang belum dimuat, berkut
ini adalah daftarnya:
2008. Menantang Kodrat Alam. Koran Tempo, 2 Februari 2008
2008. Biofuel Vs Hutan Alam. Koran Tempo, 25 April 2008
2008. Dilema Pohon di Era-Globalisasi ... Koran Tempo, 15 Juli
2008. Etika Islam Terhadap Lingkungan. Koran Tempo, 28 Oktober
2008. Harga Hutan Alam. Koran Tempo, 19 Maret
2008. Kuasa Politik terhadap Alam. Koran Tempo, 19 September
2008. Obama dan Gubernur Peduli Perubahan Iklim. Koran Tempo, 5
Desember
2008. Perilaku Hemat Energi. Koran Tempo, 28 Juni
2009. Agama Perubahan Iklim. Kompas, 26 Desember
2009. Bahtera Nabi Nuh. Republika, 27 April
2009. Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim. Koran Tempo, 4
Agustus
2010. Pembentukan Daerah Baru dan Keanekaragaman Hayati. Koran
Tempo, 15 Oktober
2011. Haji Ramah Lingkungan. Koran Tempo, 10 November

165
Mempertahankan Keseimbangan

2011. Krisis Politik dan Perubahan Iklim.Sinar Harapan, 3 Maret


2011. Negosiasi Durban. Koran Tempo. Desember
2012. Keanekaragaman Hayati Melawan Kemiskinan. Koran Tempo, 10
Februari
2012. Membungkus Keberlanjutan. Koran Tempo, 6 Juni
2012. Amanah Doha, Komitmen Baru Perubahan Iklim, Koran Tempo,
12 Desember
2013. Agama Pasar Vs Konsumsi Ramah Lingkungan. Pelita Online, 6
Januari
2013. Mengembalikan Hutan Dengan Restorasi Ekosistem. Harian
Sinar Harapan, 22 Maret
2013. Mengapa Taman Nasional Perlu Diselamatkan? Koran Tempo, 22
Maret
2013. Dilema Gaya Hidup dan Harga BBM. Koran Tempo, 30 Mei
2013. Tahun-tahun Hidup dalam Bencana. Koran Tempo, 17 September
2013. Keanekaragaman Hayati Modal Bangsa, Koran Tempo, 14
Desember
2014. Tolonglah Riau, Koran Tempo. 18 Maret
2014. Tantangan Jokowi Mengelola Sumber Daya Alam, Koran Tempo,
15 September (ditulis bersama Prof Endang Sukara)

166
BAHAN RUJUKAN

Pembahasan yang ada dalam esai ini merupakaan respons


langsung atas kasus- kasus dan tantangan lingkungan yang terjadi
di Indonesia. Beberapa referensi bisa dipelajari menurut tema
esai yang pernah ditulis.

1. Bagian I. Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim


• Berbagi Mempertahankan Keseimbangan
1) Untuk memahami keseimbangan dan target warning yang
ditemukan oleh para ilmuwan, baca artikel menarik: A safe
operating space for humanity Article : Nature Page 4 of 8 http://
www.nature.com/nature/journal/v461/n7263/full/461472a.
html 9/25/2009\
2) Atau analisis lengkap tentang hal keseimbangan, bisa dibaca
pada artikel Rockström, J. et al. 2009. A safe operating space for
humanity. Nature 461, 472-475 (24 September 2009)
• Krisis Politik dan Perubahan Iklim
1) Tentang harga kebutuhan pokok dan perubahan Iklim yang
diperkirakan mengganggu Mesir: Environment. High food
prices in Egypt and climate change http://www.theworld.
org/2011/02/03/food-prices-egypt-climate-change/

167
Mempertahankan Keseimbangan

2) Baca juga: http://newsbusters.org/blogs/noel-sheppard/2011/01/31/


climate-alarmist-blames-egypt-crisis-global-warming#ixzz1D0yCjVHk
Analisis serupa tentang risiko Mesir dengan kelangkaan pangan, Egypt
threatened by climate change, baca, http://gulfnews.com/opinions/
columnists/egypt-threatened-by-climate-change-1.688363.
3) Tentang kebakaran hutan dan angka-angka kerugiannya dapat
dilihat di The world bank. 2001. Indonesia. Environment
and Natural Resource Management in a Time of Transition.
Washington DC. 130 pages.
• Gubernur Peduli Lingkungan
1) Conservation International (2008), menyebutkan jumlah
kehilangan daya serap emisi 20% kehilangan hutan, totalnya
melebihi emisi yang dikeluarkan oleh gabungan mobil, truk
dan pesawat yang ada duni. Lihat artikel, Harrison Ford,
Guyana President Jagdeo and Conservation International Call
For Forest Protection to Fight Climate Change http://www.
conservation.org/learn/climate/forests/Pages/overview.aspx
2) Video dan naskah pidato Presiden Obama bisa diakses di
Global Climate Summit: Barack Obama http://www.youtube.
com/watch?feature=player_embedded&v=X0fMr2iJR3
• Kepunahan Spesies
1) Tulisan menarik tentang upaya penyelamatan spesies ditulis
oleh Tom Friedman dalam buku Tom Freidman (2008). Hot,
Flate and Crowded. Penguin Book. London., dengan sub judul
A Million Noahs, A Million Arks, halaman 297.
• Menuju Kopenhagen
1) The Economics of Climate Change in South East Asia:Regional
Review. ADB April 2009. Executive summary. http://www.
adb.org/publications/economics-climate-change-southeast-asia-
regional-review

168
Bahan Rujukan

2) UN Climate Change Negotiations result in more clarity on


‘bricks and mortar’ of Copenhagen agreed outcome. UNEP Press
Release, 09/ 10/ 2009 http://www.unep.org/climatechange/
News/PressRelease/tabid/416/language/en-US/Default.aspx?D
ocumentId=599&ArticleId=6338
3) Bill Mac Kibben, mengkampanyekan batas aman dan
menghendaki target emisi pada 350 ppm CO2, lihat www.350.org
• Negosiasi Durban
1) Pertemuan Conference of the Parties (COP) ke-17 di Durban,
Afrika Selatan, yang diadakan pada 28 November hingga 9
Desember 2011, diikuti oleh 20 ribu peserta dan peninjau yang
datang dari minimal 194 penanda tangan konvensi serta negara
lainnya. Lihat: http://www.cop17-cmp7durban.com
• Doha Gateway
1) Kolom ini ditulis bersama Muhammad Farid, Sekretaris Pokja
Negosiasi Internasional Dewan Nasional Perubahan Iklim
(DNPI) & Pendapat yang ada pada artikel ini merupakan
pandangan kedua penulis dan tidak mencerminkan pendapat
lembaga (di mana mereka bekerja).
2) The world Bank. 2012. Turn Down the Heat: Why a 4 Degree
Centrigrade Warmer World Must be Avoided. A Report for
the World Bank by the Potsdam Institute for Climate Impact
Research and Climate Analytics. The world Bank Washington,
D.C. Available at. http://climatechange.worldbank.org/
sites/default/files/Turn_Down_the_heat_Why_a_4_degree_
centrigrade_warmer_world_must_be_avoided.pdf

2. Bagian II. Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati


• Keberpihakan Mengelola Kekayaan Bumi

169
Mempertahankan Keseimbangan

1) Bank Dunia mencatat masih ada 1 miliar orang di dunia


mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang di
dunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Lihat, Wikipedia,
Kemiskinan dan The World Bank, juga lihat berita: 35 Persen
Masyarakat Sekitar Hutan Miskin TEMPO Interaktif, Sabtu, 19
Agustus 2006.
2) Aida Vitalaya Hubbeis, tentang kemiskinan moral yang terjadi
di pinggiran hutan. Lihat, Pemiskinan Masyarakat Sekitar
Hutan. Makalah ini disampaikan pada acara Sarasehan dan
Kongres LEI Menuju CBO : Sertifikasi Di Simpang Jalan: Politik
Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan;
Ruang Bina Karna Auditorium Ruang Rama, Hotel Bumi
Karsa Komp. Bidakara dan Karna, Jakarta, 19-22 Oktober 2004.
3) JATAM (2005), mencatat tentang kemiskinan di Kalimantan
Timur yang mempunyai Produk Domestik Regional Bruto
Rp88 triliun per tahun, masih menyisakan 12% penduduk
Kaltim (dari 2,7juta jiwa penduduknya), masih berada di bawah
garis kemiskinan. Lihat. Tambang dan Kemiskinan Kasus Kasus
Pertambangan di Indonesia (2001-2003). Jaringan Advokasi
Tambang (Jatam), 2005. 437 halaman.
• Keanekagaraman Hayati Melawan Kemiskinan
1) Membangun jalan 590 meter, anggaran dibuat sama dengan
atau lebih dari 130 miliar, untuk APBN 2009/2010. Informasi
Infrastruktur tentang mahalnya harga sebuah bangunan
misalnya jalan, dapat dilihat di http://pustaka.pu.go.id/new/
infrastruktur-jembatan-detail.asp?id=324
2) Ulasan para ilmuwan dalam Bioscience yang mengatakan
natural capital sangat penting, sebagai upaya kompensasi pada
pada masyarakat miskin dan upaya melindungi habitat yang
bersifat vital yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

170
Bahan Rujukan

Bisa dilihat pada, Turner, W. R., Brandon, K., Brooks, T. M.,


Gascon, C., Gibbs, H. K., Lawrence, K. S., Mittermeier, R.
A., et al. (2012). “Global Biodiversity Conservation and the
Alleviation of Poverty”. BioScience, 62(1), 85-92.
• Pemekaran Daerah dan Keanekaragaman Hayati
1) Butchart, S., M. Walpole, B. Collen, A. van Strien, J.P. W.
Scharlemann. 2010. “Global Biodiversity: Indicators of Recent
Declines”. Science: 328 (5982): 1164–1168.
2) Tentang AZE (alliance of zero extinction), inisiatif sekelompok
ahli untuk mencegah kepunahan, dapat dilihat di situs: http://
www.zeroextinction.org
• Kuasa Politik terhadap Alam
1) Angka Forested land 133.57 million ha : Statistic Year 2003
(revised edition), based on review on Peta Penunjukan Kawasan
for all provinces except. Central Kalimantan and Riau (TGHK)
and including water/sea park, nature reserve (perairan/
taman laut/wisata alam).Landsat ETM+ 7 Imagery 2003 and
interpretation 2005. Angka ini diumumkan oleh MOF in COP
13 Bali 2007, yaitu Indonesian Deforestation rate 2000 - 2005
= 1.08 million ha per year. Based on MOF publication FRMA
Doc Serial No 3 and 4, Forest Planning Agency.
2) Berita diputuskan untuk Al Amin Nasution sebagai koruptor
kasus lahan hutan Pulau Bintan: Corruption court hands eight
years for Al Amin Nasution. http://www.tempointeractive.
com/hg/hukum/2009/01/05/brk,20090105-153771,uk.html

• Mengapa Taman Nasional Perlu Diselamatkan?


1) Tentang kunjungan Oprah ke Yosemite lihat: http://www.oprah.
com/oprahshow/Oprah-and-Gayles-Big-Yosemite-Camping-
Adventure_1

171
Mempertahankan Keseimbangan

2) Tentang steriotipe black and criminal di USA lihat: http://


en.wikipedia.org/wiki/Criminal_black_man_stereotype
3) Tentang hubungan keterikatan manusia dan alam, bisa dibaca
tentang biofilia pada hipotesis Kellert, SR & EO Wilson. 1993.
The Biophilia Hypothesis. Island Press, Washington DC. 484
pages.
4) Tentang Taman Nasional bisa dilihat di John Sheail 2010.
National Spectacle The World’s First National Park and
Protected Places. Earth Scan London, 346 pages.
• Keanekaragaman Hayati Modal Bangsa
1) Tentang sumber daya hayati potensial Indonesia, dapat membaca.
Maryanto, I., J.S, Rahajoe, S.S. Munawar, W.Dwiyanto. D.Asyikin,
S. A. Arianti, Y. Sunarya &D. Susiloningsih (Eds). Bioresource
untuk Pembangunan Ekonomi Hijau. LIPI 2013. 227 halaman.
2) Tentang air yang harus disuling dari laut, untuk mendapatkan
air bersih dapat melihat. Website: Global Water inteligence.
3) h t t p : / / w w w . g l o b a l w a t e r i n t e l . c o m / p i n s e n t - m a s o n s -
yearbook/2011-2012/part-ii/33/

3. BAB III. Hutan Penyangga Kehidupan


• Dilema Pohon di Era Globalisasi
1) Menurut Bank Dunia (2007), jika emisi dari penggundulan hutan
dimasukkan dalam inventarisasi emisi gas rumah kaca, Indonesia
berkontribusi sebagai produsen gas rumah kaca nomor tiga di
dunia setelah AS dan Cina. Lihat World Bank (2007). Indonesia
and Climate Change Working Paper on Current Status and
Policieshttp://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/
Resources/226271-1170911056314/3428109-1174614780539/
PEACEClimateChange.pdf .

172
Bahan Rujukan

• Harga Hutan Alam


1) Indrawan, D. R. B. Primarck and J. Supriatna. 207. Biologi
Konservasi. Yayasan Obor Indonesia.
• Moratorium Hutan
1) Departement of International Development (DFID, 2007)
mencatat bahwa 84% dari emisi Indonesia sebenarnya
berasal dari deforestasi, kebakaran hutan dan penghancuran
kawasan gambut lihat http://siteresources.worldbank.org/
INTINDONESIA/Resources/Environment/ClimateChange_
ExecSum_EN.pdf
2) lihat juga, Indonesia puts moratorium on new forest
clearing. Reuters Thu May 27, 2010 9:30am http://uk.reuters.
com/article/2010/05/27/us-indonesia-forest-moratorium-
idUKTRE64Q0V220100527
• Bahtera Nabi Nuh
1) Conservation International (2008) memperkirakan, jika di
muka bumi ini terdapat 5 juta spesies, maka 25% dari 5 juta
spesies adalah = 1,3 juta spesies, kasarnya akibat kerusakan
dan perubahan iklim sekarang ini tengah terjadi kepunahan 1
spesies per 20 menit lihat website mereka:
2) Penelitian Pimm dkk yang dipublikasikannya di Science (1995),
mengungkap bahwa 5 hingga 50% spesies akan mengalami
kepunahan akibat kehancuran habitat mereka antara tahun
2000 hingga 2050. Pimm et al.1995. Science 269 (5222): 347–
350.
3) Thomas dkk dalam Nature memprediksikan pula bahwa antara
15% hingga 37% spesies akan mengalami kepunahan dalam
periode yang sama akibat pemanasan global. Skenario tersebut
juga memukul rata kira-kira 25% spesies akan punah pada

173
Mempertahankan Keseimbangan

tahun 2050 lihat Thomas et al. 2004. Nature 427: 145–148.


• Biofuel vs Pembukaan Lahan Baru
1) Ahmad Mizani Rahman, 2007. Solusi Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Energi Kalteng. (Tidak dipublikasikan)
2) Tentang sudut pandang lingkungan, akibat dari lajunya
kerusakan hutan dan pembukaan lahan yang mengakibatkan
spesies-spesies endemis Indonesia segera mengalami kepunahan.
Misalnya orangutan, menurut Orangutan Protection (COP)
diperkirakan terbunuh 1.500 ekor pada tahun 2006, lihat
Martin Hickman. 2006. Shoppers’ thirst for palm oil threatens
to wipe out orangutan. 23 May 2006. http://news.independent.
co.uk/environment/article570195.ece
3) Indonesia akan menjadi pemasok minyak sawit nomor satu di
dunia. Dari jumlah tersebut 6 juta hektar (54%) kebun kelapa
sawit dari 11 juta ha ada di dunia, berada di Indonesia dan
negara ini diperkirakan akan menjadi produsen minyak sawit
nomor satu dunia menggantikan Malaysia di masa depan, Lihat
: Lian Pin Koh and David S. Wilcove. 2007. Cashing in palm
oil for conservation. Nature (448) : 993-994.
• Restorasi Ekosistem
1. Departemen Kehutanan Menyerahkan SKI IUPHHK RE
Hutan Alam kepada PT REKI http://www.dephut.go.id/index.
php?q=id/node/3352 Date October 29 2008
2. Myers, Erin C. (Dec 2007). “Policies to Reduce Emissions
from Deforestation and Degradation (REDD) in Tropical
Forests” (PDF). Resources Magazine: 7. Retrieved. 20091124.
http://www.rff.org/Publications/Pages/PublicationDetails.
aspx?PublicationID=17519

174
Bahan Rujukan

3. Harian Bisnis. 2013. Industri Kehutanan: Produksi Kayu Hutan


Alam Terus Turun .Jum’at, 08 Februari 2013 | 05:39 WIB
http://m.bisnis.com/articles/industri-kehutanan-produksi-
kayu-hutan-alam-terus-turun
4. Secretariat UNCB. Strategic Plan for Biodiversity 2011–2020
and the Aichi Targets. http://www.cbd.int/doc/strategic-
plan/2011-2020/Aichi-Targets-en.pdf
5. The World Bank. Indonesia: Environmental and Natural
Resources Management in a Time of Transission. (Washington.
DC)
• Tahun-tahun dalam Bahaya
1) Rim  Fire near Yosemite National Park Update for Friday
Morning, September 13, 2013. http://goldrushcam.com/
sierrasuntimes/index.php/news/mariposa-daily-news-2013/158-
september/9981-rim-fire-near-yosemite-national-park-update-
for-friday-morning-september-13-2013
2) Mongabai. 2014. Konsumsi Kelapa Sawit Eropa Melonjak
Menambah Resiko Kelestarian Hutan Tropis. http://www.
mongabay.co.id/2013/09/10/konsumsi-kelapa-sawit-eropa-
melonjak-menambah-resiko-kelestarian-hutan-tropis/
3) Mayer, Norman. 1988. Threatened Biotas: “Hot Spots” in
Tropical Forests, Environmentalist. Volume 8, Number 3, 187-
208 (1988), diakses dari http://www.latimes.com/local/lanow/
la-me-ln-rim-fire-tuesday-80-20130910,0,7904497.story

4. BAB IV. Kota Hijau dan Pembangunan Berkelanjutan


Tantangan Jokowi dalam Mengelola Sumber Daya Alam
1) Belinda Arunarwati Margono, Peter V. Potapov, Svetlana
Turubanova, Fred Stolle & Matthew C. Hansen. Primary forest

175
Mempertahankan Keseimbangan

cover loss in Indonesia over 2000–2012. http://www.nature.


com/nclimate/journal/vaop/ncurrent/full/nclimate2277.html
2) Dwi Yandhi Febriyanti. 2007. Skripsi Fakultas Kehutanan
IPB, Studi Nilai Manfaat Hutan Mangrove Resort Bedul Bagi
Masyarakat Sekitar Kawasan Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi
3) Erni Sisca Dewi. 2006. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB, Analisis
Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Ternate
Provinsi Maluku Utara.
4) Herlianto. 2005. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Nilai
Ekonomi Fungsi Hidrologis Hutan Taman Nasional Gunung
Halimun (Studi Kasus di desa Cisarua Kecamatan Sukajaya dan
Desa Curug Bitung Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor)
5) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2014. Kekinian
Keanekaragaman Hayati Indonesia . LIPI Press.
• Keseimbangan untuk Kota Hijau
1) Bustanus Salatin, adalah karangan Pujangga Aceh. Nuruddin
Arraniri pada Zaman Sultan perintah Sultan Iskandar Thani
1047 H/1637 M, dengan judul lengkapnya Bustan al-Salatin fi
Dhikr al-Awwalin wa’l-Akhirin.
2) Diamond, J. 1999. Guns, Germs, and Steel. New York: W. W..
Norton
• Menyikapi Krisis Energi
1) Indonesia berubah menjadi importir minyak dan keluar dari
organisasi negera pengeksor minyak (OPEC) (Koran Tempo
29/8/2007).
2) Lester Brown. 2009. Plan B. Yayasan Obor Indonesia
• Menantang Kodrat Alam
1) Kerugian Banjir Jakarta tahun 2007 mencapan 8,8 triliun dan

176
Bahan Rujukan

paling tidak 7,2 miliar para tahun 2008, rupiah (Koran Tempo,
3 Februari 2008)
2) Tentang organic desingn lihat S.R. Kellert Building for Life
(2005). Island Press. Washington.DC.
• Restorasi Ekosistem
1) Departemen Kehutanan Menyerahkan SKI IUPHHK RE
Hutan Alam kepada PT REKI http://www.dephut.go.id/index.
php?q=id/node/3352 Date October 29 2008
2) Myers, Erin C. (Dec 2007). “Policies to Reduce Emissions
from Deforestation and Degradation (REDD) in Tropical
Forests” (PDF). Resources Magazine: 7. Retrieved 20091124.
http://www.rff.org/Publications/Pages/PublicationDetails.
aspx?PublicationID=17519
3) Berita tentang produksi kayu alam yang turun. Industri
Kehutanan: Produksi Kayu Hutan Alam Terus Turun .Jum’at,
8 Februari 2013 | 05:39 WIB http://m.bisnis.com/articles/
industri-kehutanan-produksi-kayu-hutan-alam-terus-turun
4) Tentang Aichi Target, Secretariat UNCB. Strategic Plan for
Biodiversity 2011–2020 and the Aichi Targets. http://www.cbd.
int/doc/strategic-plan/2011-2020/Aichi-Targets-en.pdf
5) The World Bank. 2001. Indonesia: Environmental and Natural
Resources Management in a Time of Transission. (Washington.
DC)
• Mengapa Taman Nasional Perlu Diselamatkan?
1) Untuk kunjungan Oprah Winprey ke Yosemite National Park
lihat: http://www.oprah.com/oprahshow/Oprah-and-Gayles-Big-
Yosemite-Camping-Adventure_1
2) Tentang angka kriminalitas warga kulit hitam dan Steriotipe
black and criminal di USA lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/

177
Mempertahankan Keseimbangan

Criminal_black_man_stereotype
3) Tentang keterkaitan manusia dengan alam, lihat Kellert, SR
& EO Wilson. 1993. The Biophilia Hypothesis. Island Press,
Washington DC. 484 pages.
4) John Sheail 2010. National Spectacle The World’s First National
Park and Protected Places. Earth Scan London, 346 pages.
• Dilema Gaya Hidup dan Harga BBM
1) Matarasso, M dan G. V. Dung. (tanpa tahun) . Pendidikan
Lingkungan: Pedoman Pelatihan untuk Para Praktisi
(diterjemahkan dari: Environmental Education: Trainer Guide
for Nature Conservation). Timber for Aceh, WWF Indonesia.
Jakarta. 125 halaman.
2) Untuk angka mobil dan motor baru di jakarta, lihat http://
www.merdeka.com/jakarta/setiap-hari-2-ribu-motor-amp-400-
mobil-baru-musuhi-jakarta.html
• Membungkus Keberlanjutan
1) Artikel tentang ekonomi hijau yang menarik dibaca di
Asahi Simbun: RIO+20: Nations divided over green
economy resolution. http://ajw.asahi.com/article/economy/
environment/AJ201206180074
2) Khalisah Khalid, Gelapnya Ekonomi Hijau, Kompas, 21 Juni
2012.
3) Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Rio +20, tahun
2012.http://www.greenaceh.or.id/2012/06/21/sby-speech-
moving-towards-sustainability
4) The future we want outcomes: http://daccess-dds-ny.
un.org/doc/UNDOC/GEN/N12/381/64/PDF/N1238164.
pdf?OpenElement
5) Tentang komintmen sukarela para peserta konferensi Bumi.

178
Bahan Rujukan

Baca Voluntary commitment, http://www.uncsd2012.org/


voluntarycommitments.html
6) Kompas. Memaknai Pembangunan. Dirampok Keserakahan
dan Kerakusan. Kompas, Selasa, 12 Juni 2012, hlm. 6.

5. BAB V Kembali pada Etika Agama


• Agama Pasar
1) Koran Tempo, Subsidi Membengkak Dana Tambahan
Disiapkan, 17 Juli 2012, hlm. B1.
2) Knitter, Paul. 2010. Prologue. In Vigil, J.M., L E Tomita and
M. Barros (eds). 2010. Along the many path of God.-IV.
Intercontinental Liberation Theology of Religous Pluralism.
EATWOT, Ecumenical Association of Third World Theologians.
EATWOT’s International Theological Commission. Cyberspace,
March 2010 www.InternationalTheologicalCommission.org
3) Potensi Penurunan Emisi Indonesia. Melalui Perubahan Gaya
Hidup Individu. Institute for Essential Services Reform (IESR).
2011. www.iesr.or.id/files/report_kjk.pd
• Pendekatan Etika Agama
1) Tulisan ini dikutip kembali dari: Primack dkk. 2007. Biologi
Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
2) Calvin B. DeWitt. 2002. The Good in Nature and Humanity
Stephen R. Kellert dan Timothy J. Farnham, Island Press.
• Agama dan Perubahan Iklim
1) Acara The Windsor Celebration yang dihadiri oleh Sekjen PBB,
Ban Ki-Moon, dan Pangeran Philip (Duke of Edinburgh) serta
perwakilan pemeluk agama-agama dunia, bisa dilihat: Many
Heaven One Earth: Faith Commitments to Protect the Living
Planet. Alliance of Religions and Conservation in partership

179
Mempertahankan Keseimbangan

with United Nations Development Programme. November


2009.
• Rencana Aksi Agama-agama Menghadapi Perubahan Iklim
1) Muslim Seven Year Action Plan (M7YAP) dapat di download
di sini: http://www.loe.org/images/content/090731/M7YAP_
draft.pdf
2) Many Heaven One Earth (Ringkasan Rencana Aksi Agama-Agama
untuk Perubahan Iklim bisa di downloads (179 halaman): http://
www.windsor2009.org/Windsorcommitmentslayoutfinal.pdf.
pdf (179 halaman)
• Haji Ramah Lingkungan
1) Teks buku haji ramah lingkungan dapat diakses dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris pada laman ini: South East
Asian pilgrims start planning for Hajj, 2014. http://www.
arcworld.org/news.asp?pageID=672
2) Laman menarik tentang keterlibatan agama dan pejiarah dapat
dilihat di www.greenpilgrimage.net
• Etika Islam terhadap Lingkungan
1) Pada Oktober 2008, penulis dua kali diundang mengikuti
pertemuan dengan topik peran dunia muslim terhadap
lingkungan. Pertama, pertengahan Oktober, di Oxford Centre
for Islamic Studies, yang membahas isu Islam dan lingkungan
secara keseluruhan, dan kedua di Kuwait, membahas Islam dan
Perubahan Iklim (Islam and Climate Change ) yang diadakan
pada akhir Oktober. Lihat catatan di blog pribadi penulis :
http://nature-of-indonesia.blogspot.com/2008/10/islam-and-
environment-simposium-di.html
2) Richard Foltz. 2005. Environmentalism in the Muslim World.
Nova Science Publisher. New York.

180
PUSTAKA

Alliance of Religions and Conservation (ARC). 2009. Many Heaven One Earth:
Faith Commitments to Protect the Living Planet. Alliance of Religion
and Conservation in partership with United Nations Development
Programme. November 2009. ARC. Bath.
Asian Development Bank (ADB). 2009. The Economics of Climate Change
in South East Asia:Regional Review. ADB April 2009. Executive
summary. http://www.adb.org/publications/economics-climate-
change-southeast-asia-regional-review
Belinda Arunarwati Margono, Peter V. Potapov, Svetlana Turubanova, Fred
Stolle & Matthew C. Hansen. Primary forest cover loss in Indonesia
over 2000–2012. http://www.nature.com/nclimate/journal/vaop/
ncurrent/full/nclimate2277.html
Brown, L. 2009. Plan B. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Butchart, S., M. Walpole, B. Collen, A. van Strien, J.P. W. Scharlemann.
2010. “Global Biodiversity: Indicators of Recent Declines”. Science:
328 (5982) : 1164–1168.
Calvin B. DeWitt. 2002. The Good in Nature and Humanity Stephen R. Kellert
dan Timothy J. Farnham, Island Press. New York.
Erni Sisca Dewi, Erni Sisca. 2006. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB, Analisis
Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Ternate
Provinsi Maluku Utara
Diamond, J. 1999. Guns, Germs, and Steel. New York: W. Norton.

181
Mempertahankan Keseimbangan

Febriyanti, Dwi Yandhi. 2007, Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Studi Nilai
Manfaat Hutan Mangrove Resort Bedul Bagi Masyarakat Sekitar
Kawasan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
Foltz, R. 2005. Environmentalism in the Muslim World. Nova Science Publisher.
New York.
Friedman, T. (2008). Hot, Flate and Crowded. Penguin Book. London.
Herlianto,2005, Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Nilai Ekonomi Fungsi
Hidrologis Hutan Taman Nasional Gunung Halimun (Studi Kasus
di Desa Cisarua Kecamatan Sukajaya dan Desa Curug Bitung
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor)
Hickman, M. 2006. Shoppers’ thirst for palm oil threatens to wipe out orangutan.
23 May 2006. http://news.independent.co.uk/environment/
article570195.ece
Hubbeis, A.V. 2004. “Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan”. Makalah Sarasehan
dan Kongres LEI Menuju CBO : Sertifikasi Di Simpang Jalan: Politik
Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan; Ruang
Bina Karna Auditorium Ruang Rama, Hotel Bumi Karsa Komp.
Bidakara dan Karna, Jakarta, 19-22 Oktober 2004.
Indrawan, D., Primack R. & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
JATAM. 2005. Tambang dan Kemiskinan Kasus Kasus Pertambangan di
Indonesia (2001-2003). Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), 2005.
437 halaman.
Kellert, S.R. 2005. Building for Life. Island Press. Washington.DC.
Kellert, S.R. & E.O. Wilson. 1993. The Biophilia Hypothesis. Island Press,
Washington DC. 484halaman..
Khalid, Khalisah. 2012. “Gelapnya Ekonomi Hijau”. Kompas, 21 Juni 2012.
Knitter, Paul. 2010. Prologue. In Vigil, J.M., L E Tomita and M. Barros
(eds). 2010. Along the many path of God.-IV. Intercontinental
Liberation Theology of Religous Pluralism. EATWOT, Ecumenical
Association of Third World Theologians. EATWOT’s International
Theological Commission. Cyberspace, March 2010 www.
InternationalTheologicalCommission.org

182
Pustaka

Koh, L.P. & David S. Wilcove. 2007. Cashing in palm oil for conservation.
Nature (448): 993-994.
Kompas. 2012. Memaknai Pembangunan. Dirampok Keserakahan dan
Kerakusan. KOMPAS Selasa, 12 Juni 2012, hlm. 6.
Koran Tempo. 2012. Subsidi Membengkak Dana Tambahan Disiapkan, 17 Juli
2012, hal B1.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).2014. Kekinian Keanekaragaman
Hayati Indonesia . LIPI Press.
Maryanto, I., J.S, Rahajoe, S.S. Munawar, W. Dwiyanto. D. Asyikin, S. A.
Arianti, Y. Sunarya & D. Susiloningsih (ed.). 2013. Bioresource untuk
Pembangunan Ekonomi Hijau. LIPI, 227 halaman.
Matarasso, M & G. V. Dung. (tanpa tahun). Pendidikan Lingkungan: Pedoman
Pelatihan untuk Para Praktisi (diterjemahkan dari: Environmental
Education: Trainer Guide for Nature Conservation). Timber for
Aceh, WWF Indonesia. Jakarta. 125 halaman.
Mayer, Norman. 1988. Threatened Biotas: “Hot Spots” in Tropical Forests,
Environmentalist. Volume 8, Number 3, 187-208 (1988), diakses
dari http://www.latimes.com/local/lanow/la-me-ln-rim-fire-
tuesday-80-20130910,0,7904497.story
Mittermeier, R., Gil, P. Dan Goettsch-Mittermeier, C. 1997. Megadiversity:
Earth’s Biologically Wealthist Nations. Cemex, Prado Norte
Mongabai. 2014. Konsumsi Kelapa Sawit Eropa Melonjak Menambah Resiko
Kelestarian Hutan Tropis. http://www.mongabay.co.id/2013/09/10/
konsumsi-kelapa-sawit-eropa-melonjak-menambah-resiko-kelestarian-
hutan-tropis/ http://www.loe.org/images/content/090731/M7YAP_
draft.pdf
Myers, Erin C. (Dec 2007). “Policies to Reduce Emissions from Deforestation
and Degradation (REDD) in Tropical Forests” (PDF). Resources
Magazine: 7. Retrieved.20091124. http://www.rff.org/Publications/
Pages/PublicationDetails.aspx?PublicationID=17519
Nature, 2009. A safe operating space for humanity Article : Nature Page 4 of
8 http://www.nature.com/nature/journal/v461/n7263/full/461472a.
html 9/25/2009

183
Mempertahankan Keseimbangan

Pimm, S.L. Gareth J. Russell; John L. Gittleman; Thomas M. Brooks.1995. The


Future of Biodiversity. Science 269 (5222): 347–350
Rahman, A. M. 2007. “Solusi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Energi
Kalteng”. (Tidak dipublikasikan).
Rockström, J. et al. 2009. “A safe operating space for humanity”. Nature 461,
472-475, 24 September.
Sheail, J. 2010. National Spectacle The World’s First National Park and Protected
Places. Earth Scan London, 346 halaman.
The World bank. 2001. Indonesia. Environment and Natural Resource
Management in a Time of Transition. Washington DC. 130 pages
The World Bank. 2007. Indonesia and Climate Change
Working Paper on Current Status and Policieshttp://
siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/
Resources/226271-1170911056314/3428109-1174614780539/
PEACEClimateChange.pdf
The World Bank. 2012. Turn Down the Heat: Why a 4 Degree Centrigrade
Warmer World Must be Avoided. A Report for the World Bank by
the Potsdam Institute for Climate Impact Research and Climate
Analytics. The world Bank Washington, D.C. Available at.
Thomas, C.D., A. Cameron, R. E. Green, M. Bakkenes, L J. Beaumont, Y.C.
Collingham, B. F. N. Erasmus, M. F. de Siqueira, A. Grainger,
L.Hannah, L.Hughes, B. Huntley, A. S. van Jaarsveld, G. F. Midgley,
L. Miles, Miguel A. Ortega-Huerta12, A.T. Peterson, O. L. Phillips &
S.E. Williams.. 2004. “Extiction Risk from the Climate Change”,
Nature 427: 145–148.
Turner, W. R., Brandon, K., Brooks, T. M., Gascon, C., Gibbs, H. K., Lawrence, K.
S., Mittermeier, R. A., et al. 2012. “Global Biodiversity Conservation
and the Alleviation of Poverty”. BioScience, 62(1), 85-92.

Website:
http://ajw.asahi.com/article/economy/environment/AJ201206180074

184
Pustaka

http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N12/381/64/PDF/
N1238164.pdf?OpenElement
http://en.wikipedia.org/wiki/Criminal_black_man_stereotype
http://goldrushcam.com/sierrasuntimes/index.php/news/mariposa-daily-news-
2013/158-september/9981-rim-fire-near-yosemite-national-park-
update-for-friday-morning-september-13-2013
http://gulfnews.com/opinions/columnists/egypt-threatened-by-climate-
change-1.688363.
http://m.bisnis.com/articles/industri-kehutanan-produksi-kayu-hutan-alam-
terus-turun
http://pustaka.pu.go.id/new/infrastruktur-jembatan-detail.asp?id=324
http://www.arcworld.org/news.asp?pageID=672
http://www.cbd.int/doc/strategic-plan/2011-2020/Aichi-Targets-en.pdf
http://www.cbd.int/doc/strategic-plan/2011-2020/Aichi-Targets-en.pdf
http://www.conservation.org/learn/climate/forests/Pages/overview.aspx
http://www.cop17-cmp7durban.com
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/3352 Date October 29 2008
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/3352 Date October 29 2008
http://www.globalwaterintel.com/pinsent-masons-yearbook/2011-2012/part-
ii/33/
http://www.merdeka.com/jakarta/setiap-hari-2-ribu-motor-amp-400-mobil-baru-
musuhi-jakarta.html
http://www.oprah.com/oprahshow/Oprah-and-Gayles-Big-Yosemite-Camping-
Adventure_1
http://en.wikipedia.org/wiki/Criminal_black_man_stereotype
http://www.uncsd2012.org/voluntarycommitments.html
http://www.unep.org/climatechange/News/PressRelease/tabid/416/language/
en-US/Default.aspx?DocumentId=599&ArticleId=6338
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=X0fMr2iJR3
http://www.zeroextinction.org

185
Mempertahankan Keseimbangan

ttp://www.350.org
ttp://www.greenpilgrimage.net
ttp://www.iesr.or.id/files/report_kjk.pd
http://nature-of-indonesia.blogspot.com/2008/10/islam-and-environment-
simposium-di.html.
http://www.tempointeractive.com/hg/hukum/2009/01/05/brk,20090105-
153771,uk.html
http://uk.reuters.com/article/2010/05/27/us-indonesia-forest-moratorium-
idUKTRE64Q0V220100527
http://newsbusters.org/blogs/noel-sheppard/2011/01/31/climate-alarmist-
blames-egypt-crisis-global-warming#ixzz1D0yCjVHk
http://www.theworld.org/2011/02/03/food-prices-egypt-climate-change/
http://www.greenaceh.or.id/2012/06/21/sby-speech-moving-towards-
sustainability
http://www.mongabay.co.id/2013/07/05/upaya-mengembalikan-keindahan-
jalak-bali-ke-habitat-alami/

186
INDEKS

agama, 146, 148, 150, 152 Cina, 5


“agama pasar”, 140 Conference of the Parties (COP), 25,
alam, 42, 45, 49 26
penguasaan sumber daya, 42 COP-18, 29, 32
Al Gore, 23 Conservation International, 13, 49,
168, 173
Amerika Serikat, 7
Copenhagen Accord, 4
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL), 18
Dekila Chugyalpa, 151
“Arab Spring”, 9
Desa Aek Nabara, 35
Arne Naess, 143
Arnold Schwarzenegger, 12 E.O. Wilson, 41
Asian Development Bank (ADB), 21 ekofeminisme, 143
atmosfer, 3 ekonomi hijau (green economy), 68,
penebalan, 4 124, 127, 131
ekosistem, 130, 134
Bangladesh, 5
El Nino Southern Oscilation (ENSO),
banjir badang, 21 10, 17
Barack Husein Obama, 7 emisi, 6
Bill Mac Kibben, 24 dan Indonesia, 6
bumi, 3 emitter, 13
keberadaan ekosistem, 38
Filipina, 21

187
Mempertahankan Keseimbangan

Badai Perma, 21 krisis, 9, 10


fitrah, 111 penguasa lahan di, 68
Friedrich von Hayak, 140 Islam,109, 161
arsitektur, 109
gambut, 92, 93 kawasan konservasi dalam, 110
kawasan, 92
gandum, 11 Joseph Alcamo, 45
gas rumah kaca (GRK), 5, 29, 30, 31,
94, 120 Kalimantan Timur, 37
globalisasi, 75 Kalpataru, 18
karbon diaoksida (CO2), 5, 6, 13
hedonisme, 139 di Indonesia, 6
Husni Mubarak, 9 keanekaragaman hayati (kehati), 45,
hutan, 10, 133 69, 129
bakau, 41 kebakaran, 10
di Indonesia, 97 hutan dan lahan, 10
kebakaran, 10 Kebun Raya Charter, 145
kehilangan, 77, 87 kemiskinan, 36
lindung adat, 19 alam dan, 36
pencegahan kerusakan, 12 dan keterbelakangan penduduk, 81
Rimbo Tujuh Danau, 19 pengentasan, 43
Kesultanan Aceh, 108
iklim, 10 istana, 108
perubahan, 10, 28 khalifah, 111
illegang logging, 91 konsumerisme, 139
India, 5, 6 Kopenhagen, 21
Indonesia, 6, 17, 23, 38, 43, 50, 52, 60,
64, 87, 130, 133 lahan, 42
dan emisi, 6 konflik, 42
hutan di, 101 konversi, 43

188
Indeks

pembukaan, 77 Paul Knitter, 140


Lapindo, 17 Pegunungan Himalaya, 156
banjir lumpur, 17 pemanasan global, 49
Lembaga Adat Dayak Wehea, 19 Pertemuan Bangkok, 22
lingkungan, 3, 11, 16, 75 Pertemuan Doha, 29, 31
ajaran Islam tentang, 111 “Pertemuan Gubernur Menghadapi
degradadi yang masif, 44 Iklim Global”, 12
bencana, 3 Pertemuan Rio+20, 131
protes rakyat, 9
Maladewa, 5 Protokol Kyoto, 14, 26, 31
Mandailing Natal, 21 Pulau Sipora, 46
Master Xing Zhi Ren, 151 Puncak Himalaya, 5
Mesir, 9, 11 puso, 10
krisis politik, 9, 10
Millenium Development Goal (MDG), Raja Ampat, 40
43, 45 revolusi industri, 4
Milton Friedman, 140 Riau, 37
Mittermeier, 68 hutan alam di, 101
Mizan, 111 kebakaran di, 101
Mokiwa Valentine, 151 rob (banjir pasang air laut), 17
moratorium, 94, 95 rumah kaca, 3
gas, 5
Nepal, 5 Rusia, 11
Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung, dan gandum, 11
19
sawit, 89
orangutan, 89
kebun, 89
Pakistan, 11 serangga penyerbuk, 44
Papua, 40 Soeharto, 9

189
Mempertahankan Keseimbangan

penggulingan, 9
Sonny Keraf, 143

taman nasional, 110


Taman Nasional Gunung Halimun,
134
Taman Nasional Tesso Nilo, 102
tauhid, 111
Tom Friedman, 18
Tunisia, 9
krisis politik, 9
Turki, 109

ziarah, 158
Zine El Abidine Ben Ali, 9

190
TENTANG PENULIS

Dr. Fachruddin Majeri


Mangunjaya adalah Wakil Ketua
Pusat Pengajian Islam (PPI), di
Universitas Nasional, Jakarta. Dosen
di Fakultas Biologi Universitas
Nasional. Memperoleh gelar doktor
(S3) di Bidang Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan (PSL)
Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis
sejumlah buku lingkungan. Salah
seorang yang diundang sebagai aktivis
agama dan lingkungan di Windsor Celebration 2009 (www.windsor2009.org).
Aktif dalam beberapa pertemuan tentang agama dan lingkungan: antara lain,
Oxford Centre for Islamic Studies, Islam and Environment Symposium,
2008; Istanbul Declaration for Muslim Seven Year Action Plan for Climate
Change (M7YAP), Turki, 2009; Japan Interfaith Symposium: Traditions for
the Future: Culture, Faith and Values for a Sustainable Planet di Ise-Shima,
Jepang, 2014. Key note speaker dan narasumber untuk pelatih bertema
lingkungan di dunia Muslim, seperti Kuwait, Nigeria, Turki, Malaysia,
dan lain-lain. Selain mengajar beliau juga adalah Independent Consultant
untuk United National Environmental Program (UNEP) dan United Nation

191
Development Program (UNDP). Blog pribadinya dapat di akses di: http://
nature-of-indonesia.blogspot.com. Twitter: @FachruddinM; Facebook:/
fachruddin.mangunjaya; E-mail: fmangunjaya@civitas.unas.ac.id

192

Anda mungkin juga menyukai