Judul:
Mempertahankan Keseimbangan: Perubahan Iklim, Keanekaragaman
Hayati, Pembangunan Berkelanjutan dan Etika Agama
Dr. Fachruddin Majeri Mangunjaya
vii
Mempertahankan Keseimbangan
tambang, emas, batubara, besi, dan seterusnya, akan segera habis. Seperti
halnya minyak, di mana Indonesia sekarang merupakan salah satu negara
importir, dan kita membakar minyak tersebut dengan mengisap subsidi
dari negara!
Tulisan yang tertuang dalam buku ini sesungguhnya ringan-ringan
saja untuk dicerna, tetapi baik juga direnungkan secara serius, bahwa
seperti inilah warga bumi dan bangsa Indonesia memperlakukan
lingkungannya sekarang. Tentu saja bukan hanya mencatat ironi, tetapi
juga upaya dan usaha untuk berbuat. Sebab itulah, aksi dan perbuatan
untuk memelihara lingkungan dan kelestarian alam, bukan hanya
slogan, tetapi juga perlu berdaya aksi dan tentu akan berdampak pasti.
Jadi, buku ini mencatat juga sejumlah aksi yang diharapkan mencatat
contoh pada sebuah kepedulian yang pasti dan tentu perlu diteruskan
dan diikuti.
Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Alimatul
Rahim yang membantu kompilasi tulisan serta ananda Fataya Azzahra
yang ikut memberikan sentuhan penyuntingan pada banyak tipos dan
salah makna. Adapun beberapa foto dalam buku ini yang merupakan
sumbangan dari teman-teman di Conservation International dan WWF
yaitu lembaga—tempat saya pernah bergabung bekerja—di mana saya
mendapat pengalaman berharga di bidang konservasi dan lingkungan.
Saya ucapkan terima kasih juga kepada Sdr. Mohamad Arif Rifqi, yang
telah menyumbangkan beberapa foto. Akhir kata, mudah-mudahan
buku ini bermanfaat. Selamat membaca.
viii
DAFTAR ISI
ix
Mempertahankan Keseimbangan
x
Daftar Isi
EPILOG 163
SUMBER TULISAN 165
BAHAN RUJUKAN 167
PUSTAKA 181
INDEKS 187
TENTANG PENULIS 191
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
Gambar 6. Hutan hujan tropis yang menyimpan kekayaan hayati 68
berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan secara maksimal.
Hutan asli semacam ini semakin terancam termasuk kekayaan
satwa serta organisme potensial yang ada di dalamnya (Foto:
©Arif Rifki)
Gambar 7. Kebakaran hutan dan pembukaan lahan, merupakan 69
sumber tertinggi emisi Indonesia. Upaya pemerintah untuk
menanggulangi perubahan iklim, sudah tentu mengharuskan
bagaimana kebakaran dan pembukaan lahan secara liar dapat
dicegah (Foto: ©Arif Rifki)
Gambar 8. Negara-negara maju telah menyadari tentang pentingnya 69
energi alternatif sehingga program pembangunan energi
terbarukan, seperti kincir angin pembangkit listrik ini, sangat
mudah dijumpai di berbagai tempat (Foto: ©Fachruddin
Mangunjaya)
Gambar 9. Program penanaman kembali jenis jenis liar di kawasan taman 70
nasional yang dirambah oleh manusia, merupakan keniscayaan
yang harus dilakukan, untuk menanggulangi kerusakan habitat
serta mencegah timbulnya bencana alam yang berlarut-larut
(Foto: ©Anton Ario/Conservation International)
Gambar 10. Tokoh tokoh agama dari seluruh dunia, mengikuti perayaan 70
komitmen agama dalam upaya menanggulangi pemanasan
global dan perubahan iklim di Istana Windsor, Inggris
pada November 2009 (Foto: ©Alliance of Religions and
Conservation (ARC))
xiii
PROLOG
Musim semi sangat sejuk di Kota London tahun 2009. Selepas Maghrib,
bersama dengan staf atase Penerangan Kedutaan Besar RI di London,
saya meluncur menuju Toybee Hall, sebuah tempat pertemuan untuk
komunitas perkotaan di negeri Pangeran Charles itu. Waktu itu saya
bersama teman-teman dari Islamic Foundation for Ecology and
Environmental Science (IFEES), yang kantornya terletak di Birmingham,
mengadakan kegiatan bersama di London untuk menggalang dana dari
berbagai individu, terutama komunitas Muslim di United Kingdom atau
Britania Raya, guna turut menyumbang bagi penanaman pohon yang
kami sebut dengan Program School for Trees.
Sekitar 150 orang hadir dalam forum tersebut. Saya diberikan
kehormatan, berceramah, mengampanyekan program penanaman
pohon. Penggalangan dana dilakukan oleh IFEES dan penanaman
difasilitasi oleh Conservation International (CI)—tempat saya bekerja
ketika itu— bersama dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
di Jawa Barat. Penanaman pohon, merupakan salah satu dari sedikit
upaya untuk memulihkan ekosistem guna menjaga keseimbangan bagi
bumi kita. Walaupun tidak semua orang sadar tentang pentingnya
pohon, setidaknya, sepanjang hidupnya, manusia memerlukan oksigen
xiv
Prolog
xv
Mempertahankan Keseimbangan
xvi
Prolog
xvii
Mempertahankan Keseimbangan
xviii
Prolog
xix
Mempertahankan Keseimbangan
xx
Prolog
“Kami yakin bahwa sains dan agama dapat bekerjasama untuk mengurangi
dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan
yang terjadi di bumi. Walau kamipun yakin bahwa dimensi krisis ini
sebenarnya tidak sepenuhnya diambil hati oleh para pemimpin kita
yang memimpin lembaga-lembaga penting dan juga pemimpin industri.
Namun demikian, kita menerima kewajiban kita untuk membantu
memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap jutaan orang yang
xxi
Mempertahankan Keseimbangan
xxii
BAGIAN I
M
engapa cuaca di bumi hari ini semakin panas? Dan semakin
minggu, bulan, dan tahun banyak bencana lingkungan
tidak terduga timbul di berbagai tempat? Beberapa kawasan
yang tidak biasa banjir, bahkan di negara maju dengan sistem drainase
yang baik, tetap kebanjiran dan membawa korban harta benda, serta
nyawa. Fenomena bencana lingkungan tersebut merupakan akibat
ketidakseimbangan, atau chaos, yang merupakan dampak dari adanya
perubahan iklim. Bumi adalah sistem yang kait-mengait, yang mempunyai
kadar yang terukur dan mempunyai kapasitas daya dukung yang terbatas.
Ketidakseimbangan terjadi takala sesuatu dilakukan dengan berlebihan
sehingga mengakibatkan keseimbangannya terganggu.
3
Mempertahankan Keseimbangan
tipis atmosfer ini, terdapat gas-gas rumah kaca, di antaranya CO2 yang
sebelum revolusi industri—setelah diteliti—konsentrasinya berada pada
ketebalan 280 ppm (part per million).
Ketika terjadi revolusi industri, manusia banyak menggunakan
bahan bakar atau energi berbasis fosil—mengandung karbon dioksida
(CO2) seperti minyak bumi dan batu bara, sehingga mengakibatkan
bahan-bahan karbon yang tadinya tertimbun di bumi, lalu terpompa
ke udara dan mengakibatkan penebalan lapisan atmosfer tersebut. Pada
tahun 1930, CO2 meningkat menjadi 315, ke 330 ppm (1970), 360 ppm
(1990), dan 380 ppm (2008).
Penyebab penebalan atmosfer, bukan hanya energi, misalnya
kebakaran hutan dan lahan, namun juga penebangan hutan yang
mengakibatkan bumi kehilangan kemampuan alami untuk menyerap
karbon dioksida (carbon sink) dan juga akibat kebakaran hutan.
Menyadari masifnya perubahan lingkungan dan perilaku manusia
di bumi. Maka berbagai bangsa berupaya menurunkan emisi masing-
masing dan berkomitmen untuk menjalankan pembangunan yang
ramah lingkungan. Perjalanan panjang negosiasi berbagai negara dalam
upaya menurunkan emisi gas-gas rumah kaca, seperti karbon dioksida,
metana dan sejenisnya, memang tampaknya hingga sekarang belum
optimal dirasakan dampaknya.
Setelah pertemuan Kopenhagen Denmark, dalam konferensi puncak
PBB Conference of Parties (COP) 15 UNFCCC, pada 8-18 Desember
2009, hanya dihasilkan Copenhagen Accord yang tidak mengikat
berbagai negara untuk melakukan komitmen penurunan gas-gas rumah
kaca dalam langkah mereka (Lihat Gambar 1).
Padahal, beberapa negara telah sedemikian khawatir bahkan telah
menjadi korban akibat bencana perubahan iklim. Untuk menghimbau
dan menarik perhatian dunia, misalnya dua rapat kabinet “ektrem”
4
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim
digelar secara simbolik di dua titik nadir kawasan yang paling rentan
terhadap pemanasan global, yaitu kabinet para menteri di Negara Pulau
Maladewa yang menggelar rapat di bawah laut, pada Oktober 2009.
Lalu, di ketinggian gunung pada bulan berikutnya—Desember—Perdana
Menteri Nepal menggelar rapat kabinet memimpin 12 menterinya di
puncak gunung tertinggi di dunia, Himalaya. Menteri Lingkungan Nepal,
menjelaskan bahwa kenyataannya gletser mencair karena pemanasan
global. Seperti dituturkannya pada kantor berita AFP, bahwa mereka
ingin meminta perhatian dunia terhadap kondisi ini.
Maladewa adalah negara dengan permukaan tanah paling rendah di
muka bumi, terancam tenggelam bila kenaikan permukaan laut semakin
meninggi akibat gletser mencair. Begitu pula Puncak Himalaya, akan
mencair perlahan-lahan, yang dikhawatirkan berdampak pada sumber
air bagi empat miliar penduduk bumi. Puncak Himalaya merupakan
menara air tempat sungai-sungai besar di Asia Tengah, Selatan, dan
Tenggara seperti, Sungai Kuning, Sungai Yangte, Sungai Mekong,
Sungai Brahmaputra, dan Sungai Gangga di India berhulu. Sungai besar
ini akan terganggu kestabilannya jika gletser puncak gunung tersebut
mencair, yang dapat mengakibatkan empat negara besar, yaitu Cina,
India, Bangladesh, Nepal, dan beberapa negara di Asia Tenggara dapat
mengalami krisis sumber air.
Mempertahankan Keseimbangan
Pada dasarnya, upaya yang keras yang sedang dilakukan dalam negosiasi
perubahan iklim adalah usaha manusia untuk tetap mempertahankan
bumi dalam keseimbangan. Gas-gas rumah kaca (GRK) seperti CO2,
pada dasarnya mempunyai manfaat menguntungkan untuk planet
bumi, namun pada konsentrasi yang pas di mana bumi menjadi hangat
dan tidak diselimuti es. Berdasarkan fakta jutaan tahun dari penelitian
Paleoclimate bahwa keadaan sekarang terjadi karena konsentrasi CO2 di
5
Mempertahankan Keseimbangan
atmosfer berada di bawah 450 satuan per sejuta volume ppmv (Nature,
2009).
Para ilmuwan menghimbau agar konsentrasi CO2 di atmosfer tidak
melebihi konsentrasi 350 ppm, dan kekuatan radiasi (matahari) tidak
lebih dari 1 watt per meter kuadrat, dibandingkan dengan masa sebelum
indurtrialisasi (praindustri). Jika konsentrasi melewati keadaan ini, kita
akan melewati titik kritis yang mengakibatkan perubahan iklim, seperti
menghilangnya selimut es, peningkatan permukaan laut, perubahan
drastis hutan dan sistem pertanian. Sekarang ini konsentrasi CO2 telah
mencapai 387 ppm dengan kekuatan radiasi 1,5 watt per meter kuadrat,
kita pun merasakan akibat perubahan iklim dengan terjadinya pergeseran
pergeseran ektrim iklim dan cuaca di muka bumi.
Kenyataan ini disimpulkan salah satunya dampak industrialisasi
dengan banyaknya pemakaian bahan bakar fosil—untuk penggunaan
energi—yang mengakibatkan emisi dan konsentrasi gas CO2 di udara
semakin meninggi dan menambah ketebalan atmosfer. Oleh karena itu,
setelah Kopenhagen, masing-masing negara secara politis telah berniat
untuk menurunkan emisi di masing-masing negaranya. Indonesia telah
mencanangkan penurunan 26% emisinya. Bahkan India—yang dikenal
alot dengan negosiasi karena menginginkan pertumbuhan ekonomi dan
penggunaan energi yang besar—telah membuat target penurunan emisi
20-25 %, pada tahun 2020.
Bagi Indonesia penurunan emisi 26% merupakan langkah yang
berani, sekaligus langkah politis, sebab 85% dari emisi Indonesia berasal
dari pembukaan lahan dan hutan (land use change and forestry). Bank
Dunia, seperti dikutip dalam laporan Indonesia Second National
Communication under UNFCCC (November, 2009), melaporkan,
bahwa 53% CO2 di Indonesia berasal dari kebakaran lahan dan gambut.
Tentu saja pada musim hujan seperti sekarang ini, Indonesia sangat
diuntungkan, karena tidak ada pembakaran hutan dan lahan. Namun,
6
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim
kerja keras harus dilakukan untuk menurunkan titik api pada kebakaran
hutan dan lahan—terutama gambut—pada tiap musim panas.
Walaupun tidak ada perjanjian mengikat, pada akhirnya ada
29 negara yang berkomitmen untuk berbagi menurunkan emisinya
pada tahun 2020 sebagai bagian dari kesepakatan Kopenhagen (Lihat
Tabel). Termasuk komitmen Amerika Serikat, karena negara adidaya ini
mengemisi lebih dari 15% keseluruhan gas-gas rumah kaca yang terlepas
ke atmosfer. Negara ini—seperti digadang-gadang banyak negara—
yang kerap diucapkan pada pidato Barack Obama, mencanangkan
penurunan emisi 17% CO2 tahun 2020.
Perkapita Emisi
No Nama Negara Komitmen Penurunan Pada Tahun 2020 (%)
(tonCO-e)
1 Antigua Burbuda 25 5,6
7
Mempertahankan Keseimbangan
17 Marshal Island 40 -
18 Mexico 30 6,6
19 Moldova 25 3,3
20 Monaco 30 -
21 New Zealand 10-20 19,1
22 Norwegia 30-40 11,2
23 Rusia 15-25 14
24 Singapore 7-11 11,3
25 South Africa 34 9,0
26 South Korea 30 11,8
27 Switzerland 20/30 7,2
28 Ukraine 20 10,5
29 United States 17 23,1
8
2
KRISIS POLITIK DAN PERUBAHAN IKLIM
D
alam dua minggu terakhir—Februari 2011—kita disuguhkan
pada fenomena perubahan dan perseteruan politik yang sangat
menegangkan di negara-negara Timur Tengah, yang dijuluki
para pengamat sebagai “Arab Spring”. Pertama, krisis politik di Tunisia
berupa demontrasi rakyat yang memaksa Presiden Zine El Abidine
Ben Ali yang berkuasa, untuk mundur. Kedua, yang sangat sengit dan
bertahan sampai 18 hari adalah krisis politik yang terjadi di Mesir, dalam
upaya memaksa turun Presiden Husni Mubarak yang telah berkuasa
selama 30 tahun.
Banyak yang sependapat bahwa peristiwa protes rakyat yang turun
ke jalan untuk menggulingkan penguasa tersebut, mirip dengan kondisi
penggulingan Presiden Soeharto yang kemudian dipaksa lengser dari
kekuasaannya pada tahun 1998. Namun, bila dicoba ditarik ke belakang,
selain sebuah “kebosanan” terhadap kekuasaan yang terlalu lama, hal
lainnya ialah saluran atau hak politik yang tersumbat, korupsi, kolusi
dan nepotisme yang merajalela. Satu hal yang mungkin dilupakan—
bahkan cenderung tidak diingat—bahwa pemicu gelombang kemarahan
tersebut—sangat mirip seperti terjadi di Mesir sekarang—ditandai dengan
9
Mempertahankan Keseimbangan
10
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim
11
3
GUBERNUR PEDULI PERUBAHAN IKLIM
A
gaknya, pertemuan para gubernur peduli terhadap perubahan
iklim yang diadakan di Beverly Hills, Kalifornia, 18-19
November lalu, memberi harapan akan percepatan tindakan
dalam upaya menanggulangi perubahan iklim. Alasannya, perubahan
iklim menjadi suatu fakta traumatik yang tidak dapat menunggu tanpa
adanya sikap pro-aktif dan “political will” para pengambil kebijakan
untuk segera bertindak.
Ilmuwan sudah memberikan fakta-fakta yang jelas tentang air laut
yang sudah mulai meninggi, garis-garis pantai sudah mulai tenggelam,
pergeseran musim menambah tingginya curah hujan yang ektrem,
termasuk juga catatan akan panas atau kekeringan yang lebih panjang
dibandingkan sebelumnya. Kita juga menyaksikan beberapa kali
badai yang lebih kuat menghantam beberapa negara, yang kemudian
menimbulkan korban tidak sedikit.
Salah satu kesepakatan penting dalam pertemuan yang difasilitasi
oleh Gubernur Kalifornia, Arnold Schwarzenegger, yang disebut dengan
“Pertemuan Gubernur Menghadapi Iklim Global” adalah kesepakatan
untuk aksi pencegahan perusakan hutan dan di negara-negara bagian
12
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim
13
Mempertahankan Keseimbangan
14
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim
Janji Obama
Salah satu support penting mengenai kemauan politik para gubernur
tentang peduli perubahan iklim itu rupanya mendapatkan dukungan
secara totalitas dari Presiden AS terpilih, Barack Husein Obama. Dalam
pidato yang dikirimkannya dari jarak jauh, Presiden Obama memberikan
pesan dan sinyal yang kuat akan dukungannya pada gubernur yang
pro pada perubahan iklim. Menurut Obama, walaupun menghentikan
perubahan iklim bukanlah perkara mudah dan tidak akan terjadi dalam
semalam, “tetapi, saya”, ujarnya, menjajikan hal ini: “Ketika saya menjadi
presiden, gubernur mana saja yang ingin mempromosikan energi bersih,
maka akan mempunyai mitra di Gedung Putih. Perusahaan apa pun
yang menginginkan investasi pada energi bersih akan mendapatkan
teman di Washington. Dan bangsa manapun yang ingin bergabung
untuk mencegah adanya perubahan iklim, akan mendapatkan bantuan
dan teman dari Amerika Serikat.”
Selain itu dalam pidato jarak jauhnya itu, dengan tegas pula Obama
memberikan target tahunan yang kuat dalam upaya menurunkan
tingkat emisi untuk menyamai emisis tahun 1990, pada tahun 2020, dan
kemudian akan mereduksi lagi 80% pada tahun 2050. Untuk komitmen
itu, Obama mengatakan pemerintahnya akan menginvestasikan $15
miliar setiap tahun untuk mengkatalisasi upaya swasta dalam upaya
mencari energi bersih masa depan.
15
4
PERUBAHAN IKLIM
DAN KEPUNAHAN SPESIES
K
ondisi lingkungan kita penuh tantangan. Karena perilaku kita
dalam memperlakukan bumi tempat kita tinggal belum berubah.
Penilaian ini barang kali akan dijumpai dari tahun ke tahun
dengan terungkapnya fakta-fakta baru seriusnya kerusakan lingkungan
di tanah air, maupun dunia yang lain. Maka, kalau ada persoalan yang
paling mengkhawatirkan semua orang di abad ke-21 ini, selain krisis
ekonomi dan kondisi politik yang berujung pada peperangan, itu adalah:
masalah lingkungan. Peperangan dan politik dapat mengakibatkan
kematian dan saling bunuh antara sesama umat manusia (genocide).
Sedangkan bencana lingkungan dapat mengakibatkan selain kerugian
ekonomi juga dapat mengakibatkan kematian yang disebabkan bencana
lingkungan (ecocide).
Contoh aktual terjadinya musibah lingkungan adalah jebolnya
tanggul Situ Gintung yang mengakibatkan korban jiwa. Ditambah lagi
banjir dan tanah longsor di berbagai daerah yang terkadang membuat jiwa
warga negara terbawa hanyut hampir setiap tahun. Kerugian yang sangat
disesalkan yang terus mendera warga negara dengan keprihatinan secara
16
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim
17
Mempertahankan Keseimbangan
jalan raya, ibu rumah tangga yang membuang sampah tanpa mengolah
dan mereduksi limbahnya, hingga di tingkat daerah yang harusnya bisa
mendapatkan adipura setiap tahun. Dan, kebijakan pemerintah yang
tidak benar-benar pro terhadap lingkungan.
Pengusaha tidak dapat menjalankan bisnisnya secara langgeng
kalau investasi yang dilakukannya mencemari alam sekitar. Dampak
lingkungan perlahan tapi pasti akan ‘menampar’ perusahaannya secara
alamiah. Ongkos sosial, ekonomi dan lingkungan akan terlihat tinggi
apabila pengabaian terhadap dampak lingkungan tidak diperdulikan.
Maka Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak dapat
hanya formalitas belaka, karena pada akhirnya hukum alam yang
merupakan turunan dari “Hukum Tuhan” pasti akan berlaku cepat
atau lambat, apabila perhitungan yang dilakukan melanggar dalil-dalil
keberlanjutan.
Jadi, apa yang dapat dilakukan? Tom Friedman kolumnis the
New York Time, menuliskan upaya-upaya pelestarian alam dan usaha
yang dilakukan di berbagai belahan dunia, dan terkesan dengan upaya
yang dilakukan oleh para konservasionis untuk melindungi alam asli.
Tom menuliskannya dalam buku Hot, Flate and Crowded (2008), yang
menyebutkan upaya pelestarian alam, katanya ibarat upaya pelestarian
lingkungan memerlukan “Nabi Nuh” dalam nyelamatkan kapalnya di
tengah badai kerakusan dan ketamakan manusia dalam mengkonsumsi
sumber daya alam yang tersedia. Satu bab dia menuturkan, bahwa bumi
memerlukan “sejuta Nuh” dan sejuta pula “kapal” (A Million Noahs, A
Million Arks).
Indonesia belum memiliki ‘sejuta Nabi Nuh’, baru ada beberapa
ratus. Mereka itulah yang diberi penghargaan Kalpataru oleh Menteri
Lingkungan Hidup. Mereka dapat berupa perorangan, atau masyarakat
berkelompok yang menjadi pelopor penyelamatan lingkungan. Sejak
tahun 1980 hingga 2009, jumlah penerima penghargaan Kalpataru baru
18
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim
sebanyak 264 orang atau kelompok, termasuk tahun 2009 ini, diterima
12 orang.
Apa bentuk ‘Kapal Nabi Nuh mereka?’ Tahun ini misalnya,
Lembaga Adat Dayak Wehea dari Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan
Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur,
menerima Penghargaan Kalpataru karena para pemangku adat berhasil
melestarikan hutan lindung adat seluas 38.000 ha yang menjadi habitat
yang aman bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan langka dangan cara
menerapkan hukum adat.
Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung dari Desa Baru, Kecamatan
Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, berhasil menjaga hutan
Rimbo Tujuh Danau seluas 1.000 ha dengan hukum adat, sehingga
berhasil menjaga kelestarian hutan dan satwa di dalamnya. Kalau mereka
berhasil melestarikan, maknanya mereka berhasil menjadi penyelamat
spesies yang ada di ‘kapal-kapal’ mereka yang berupa hutan lindung
tersebut.
Di tingkat RT dan RW orang banyak mengenal Ibu Bambang,
seorang janda pensiunan yang menjadi penggerak di tingkat RT di
Jakarta, menciptakan lingkungannya bersih. Nenek ini memulai dari
rumahnya, dengan arisan pohon lalu mengolah sampah rumah tangga
menjadi sampah organik dan mendapatkan penghargaan sebagai pelopor
lingkungan. Di tingkat ini setidaknya ibu ini memberikan optimisme
bahwa perawatan lingkungan dapat dilakukan di perkotaan.
Tentu saja yang paling besar dampaknya pada persoalan lingkungan
adalah upaya para pengusaha. Dalam kondisi seperti sekarang ini, slogan
“Go Green” tidak akan cukup hanya ditempelkan sebagai tema tanpa
ada aksi. Pegawai perusahaan akan mempunyai kebanggaan moral
jika mereka dapat terlibat dalam aksi sebagai penyelamat lingkungan,
misalnya mengadopsi pohon, menanamnya dan merawatnya langsung di
19
Mempertahankan Keseimbangan
***
20
5
PERUBAHAN IKLIM, MENUJU KOPENHAGEN
P
erubahan iklim menjadi momok terhadap kelangsungan peradaban
manusia di bumi. Maka, menghadapi hal itu, dalam bulan-bulan
ini, semua ancang-ancang dan dialog dilakukan dalam merespon
ancaman perubahan iklim dan menuju arena negosiasi di Kopenhagen,
awal Desember 2009. Perubahan iklim sudah menjadi fakta dan ancaman,
bukti terakhir adalah Badai Perma di Filipina yang menewaskan lebih
dari 600 orang, dan setengah juta orang kehilangan tempat tinggal akibat
banjir dan tanah longsor yang merusak tempat rumah rumah mereka
(Koran Tempo, 12/10). Sebelumnya banjir bandang—bencana akibat
curah hujan tinggi, yang merupakan dampak perubahan iklim—terjadi
di Mandailing Natal, sehingga menelan korban 12 orang tewas, 25 hilang
dan 4.300 orang mengungsi.
Ancaman lain masih mungkin terjadi. Laporan Asian Development
Bank, ADB (2009) bertajuk Economic of Climate Change in South East
Asia, menganalisis hal yang paling buruk bakal terjadi bila skenario emisi
tahunan global masih tidak berubah. Mengutip data Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC), laporan itu berkesimpulan temperatur
rata-rata di negara Asia Tenggara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan
Vietnam—diproyeksikan akan mencapai 4.8°C pada 2100 dari level tahun
21
Mempertahankan Keseimbangan
22
Krisis Lingkungan dan Perubahan Iklim
G20 dua pekan lalu, akan berkontribusi menurunkan emisi hingga 26%
pada 2020.
Hal penting lain dari pertemuan Bangkok adalah identifikasi untuk
mengarahkan kesepakatan kepala negara dan pemerintah tentang sumber
pendanaan dan sumber daya teknologi, dengan mekanisme menempatkan
dana yang dihasilkan secara otomatis dari waktu ke waktu. Akhirnya,
mereka sepakat bahwa perundingan Kopenhagen perlu menciptakan
struktur pemerintahan yang adil untuk mengelola dana adaptasi dan
mitigasi yang membahas kebutuhan negara-negara berkembang.
23
Adapun Bill Mac Kibben, penulis The End of Nature, menetapkan
target 350 ppm CO2 dengan kampanye www.350.org untuk mengejar
batas paling aman—menurut para ilmuwan— konsentrasi yang bisa
ditolerir agar bumi tetap dalam keseimbangan. Sekarang ini, kondisi
kita sudah mengkhawatirkan, karena sudah di atas zona aman yaitu 386
ppmv. Maka, setidaknya secepatnya kita kembali pada zona aman segera
pada 350 ppm pada abad ini, maka mungkin kita melewati batas bahaya
(tipping points), kondisi di mana keadaan tidak dapat dikembalikan,
ketika selimut di Greenland mencair dan gas metana dilepaskan dari
gundukan raksasa es yang meleleh.
6
NEGOSIASI DURBAN
T
idak ada konvensi internasional paling krusial sifatnya yang
setiap tahun membawa banyak negara beserta para negosiator
dan aktivis lingkungan, kecuali konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang perubahan iklim (UNFCCC). Pertemuan Conference of
the Parties (COP) ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang diadakan pada
28 November hingga 9 Desember 2011, diikuti oleh 20 ribu peserta dan
peninjau yang datang dari minimal 194 penanda tangan konvensi serta
negara lainnya.
UNFCCC sesungguhnya telah hampir menjadi sebuah konvensi
universal yang diikuti oleh mayoritas negara di muka bumi. Mereka
yang tergabung dalam konvensi tersebut adalah pemerintah negara yang
berkomitmen untuk: pertama, mengumpulkan dan berbagi informasi
tentang emisi gas rumah kaca, kebijakan nasional, dan praktek terbaik
yang mereka lakukan; kedua, berkomitmen membuat strategi nasional
untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dan dalam rangka mitigasi
perubahan iklim serta—tentu saja termasuk—pemberian dukungan
keuangan dan teknologi untuk negara-negara berkembang; ketiga, bekerja
sama dalam mempersiapkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim
dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang akan terus meningkat.
25
Adapun COP merupakan pertemuan tertinggi antarnegara anggota
untuk menilai kemajuan dalam berurusan dengan perubahan iklim.
Tahun ini ada dua agenda penting yang diperdebatkan dalam negosiasi
tersebut. Pertama, perjuangan mereduksi emisi yang selama ini berbasis
pada kesepakatan antarbangsa (global accord) Protokol Kyoto akan
berakhir pada 2012, sehingga langkah berikutnya akan membahas
apakah protokol ini akan diganti atau diperpanjang menjadi Protokol
Kyoto II. Kedua, bagi negara berkembang—termasuk Indonesia—adalah
agenda penting mengikutkan agar skema REDD+ mendapat pengakuan
legal dari dunia, sehingga kredit karbon akan didapatkan guna menjamin
mekanisme finansial untuk tetap mempertahankan hutannya. Beberapa
praktisi—termasuk banyak NGO—berupaya dan mendesak supaya hal ini
bisa diwujudkan dengan kesepakatan yang mengikat (legally binding).
Sebab, bagaimanapun mempertahankan hutan yang ada sama dengan
berupaya secara preventif mencegah kerusakan yang lebih parah.
26
bilateral dari Norwegia dan berbagai partisipasi tidak mengikat lainnya
dari berbagai pemerintah untuk mencoba REDD+ di lapangan.
Banyak kemajuan dan juga uji coba kesiapan REDD+ sudah
dilakukan, debat publik sering terjadi—di mailing list lingkungan—
terutama dalam upaya penerapan insentif bagi masyarakat yang ada
di pinggiran hutan, di antaranya bahwa REDD+ sesungguhnya tidak
dikehendaki mengulang kapitalisasi hutan menjadi keuntungan para
elite pengusaha hutan yang “berganti baju investasi” menjadi penjaga
hutan dengan mengambil rente karbon yang dimilikinya, tanpa dapat
mengubah keadaan masyarakat pinggiran hutan. Disadari pula bahwa
selama ini pengusahaan hutan produksi dan pembukaan lahan untuk
pertambangan ternyata tidak mampu mengentaskan masyarakat miskin
di sekitar hutan, yang bahkan hanya mendapat bencana ketika hutan
ditinggalkan, seperti sisa lahan yang tercemar tambang dan tidak lagi
subur, banjir, tanah longsor, kekeringan, serta kekurangan air bersih.
Bagi keuntungan global, sesungguhnya cost and benefit sebuah
hutan alam yang produktif: dari segi penyerap karbon, layanan ekosistem,
penahan kesuburan lahan, penyedia plasma nutfah, penghasilan langsung
masyarakat dari hasil hutan bukan kayu, sesungguhnya dapat dihitung
dalam jangka panjang. Kebijakan jangka pendek tentu tidak akan
dapat menolong hutan kita. Sebab, sudah pasti kebutuhan akan kayu,
bahan tambang, dan hasil yang instan akan lebih menarik serta terlihat
menguntungkan. Di sinilah diperlukan pemilihan pemimpin yang
mempunyai wawasan ke depan, yang tidak hanya memikirkan kantong
pribadi, partai, atau kelompoknya, tapi memikirkan masa depan anak-
cucunya dan masa depan bumi.
Demikian pula sesungguhnya adaptasi dapat dilakukan dengan upaya
mempertahankan alam—hutan dan penataan ruang yang tepat—sebagai
barier alami atas perubahan iklim. Misalnya, tanpa disadari pemerintah
Indonesia telah menghabiskan jutaan dolar membangun jalan ke Bandar
27
Udara Soekarno-Hatta untuk mengatasi kenaikan genangan air laut
(rob)—ketika terjadi banjir besar—tapi lupa bahwa kawasan tersebut dulu
merupakan hutan mangrove yang telah diubah menjadi lahan gudang,
pabrik, dan perumahan.
Bagaimanapun, upaya mempertahankan lingkungan harus dapat
mengubah perilaku kebijakan dengan berbagai upaya dan pendekatan.
Perubahan iklim memerlukan kesadaran kolektif dari tingkat individu
(warga negara) hingga kebijakan negara. Karena itu, tumpuan perubahan
perilaku (gaya hidup) hendaknya tidak hanya dilakukan dalam negosiasi
global, juga dalam skala nasional, lokal, tingkat organisasi kolektif
masyarakat (misalnya organisasi kemasyarakatan), bahkan tingkat
perusahaan. Misalnya, perusahaan—yang telah berkomitmen untuk
go green—perlu mendorong karyawan mempunyai kebanggaan moral,
bahkan memberi insentif, jika mereka bisa menggunakan sepeda
ke kantor dalam upaya mereduksi emisi karbon individual mereka.
Misalnya, perusahaan—yang telah berkomitmen untuk go green—perlu
mendorong karyawan mempunyai kebanggaan moral, bahkan memberi
insentif, jika mereka bisa menggunakan sepeda ke kantor dalam upaya
mereduksi emisi karbon individual mereka.
28
7
DOHA GATEWAY
K
onferensi PBB untuk perubahan Iklim (UNFCCC) COP-18, dari
26 November—8 Desember, 2012, telah berakhir. Konferensi
ini mempunyai nilai penting bagi masa depan dan peradaban
manusia di planet bumi ini. Pertemuan Doha, telah diwarnai dengan
dinamika pesimis dan optimisme tentang komitmen baru sertaaksi
jangka panjang dalam upaya perunan gas-gas rumah kaca (GRK) guna
menjaga stabilitas iklim di planet bumi ini.
Konferensi UNFCCC bertujuan penting bagi penduduk bumi, yaitu
menstabilkan konsentrasi volume gas rumah kaca guna menghindari
tingkat yang membahayakan bertambahnya emisi yang disebabkan
oleh manusia (antropogenic caused). Upaya sedang dilakukan untuk
membatasi kenaikan suhu global paling maksimal 2 derajat celsius atau
bahkan lebih rendah yaitu 1,5 derajat celsius pada akhir abad ke-21 ini.
Bagi negara kepulauan seperti Indonesia dan negara-negara pulau yang
lain, kenaikan suhu di atas 2 derajat akan sangat mengkhawatirkan, sebab
menurut prediksi ilmiah, selain akan terjadi keguncangan lingkungan
akibat perubahan iklim yang tidak seimbang yang lebih banyak berujung
bencana, juga akan mempercepat mencairnya es di kutub dan berisiko
banyak pulau yang akan terancam tenggelam.
29
Masa depan iklim akan sangat suram apabila tidak ada tindakan
berarti menahan—melakukan mitigasi atas laju emisi GRK yang terus
meningkat. Laporan Bank Dunia (2012), memberikan gambaran, bahwa
kita (warga bumi) jika tetap melakukan business as usual (BAU) arahnya
adalah akan terjadi peningkatan suhu hingga 4°C, dan hal ini akan
mengakibatkan dampak yang mematikan: kota-kota pesisir terancam
banjir, produksi pangan terancam turun, hal ini tentu saja akan berdampak
pada meningkatkan kasus malnutrisi disebabkan banyak kawasan kering
yang akan semakin kekeringan, dan kawasan basah menjadi lebih basah.
Selain itu dampak buruk lain dapat terjadi dengan banyaknya kawasan
yang akan mengalami gelombang panas, terutama di daerah tropis: banyak
kawasan akan mengalami kelangkaan air, siklon tropis akan semakin
sering dan keanekaragaman hayati—termasuk ekosistem terumbu karang
yang menjadi tempat tinggal ikan—terancam punah. Hal ini tentunya akan
berpengaruh besar pada perekonomian negara termasuk Indonesia.
Jadi, selain negara maju—yang memang dibebankan untuk
menurunkan tingkat emisinya— semua negara, sudah semestinya berupaya
dan berkomitmen pada aksi nyata untuk mengurangi gas-gas rumah kaca
(GRK) yang terus menumpuk mempertebal lapisan atmosfer. Oleh karena
itu, selain mendorong negara-negara maju (annex 1) untuk meningkatkan
ambisi penurunan emisinya. Oleh karena itu, semua negara didorong
untuk melakukan upaya pembangunan dengan skenario pembangunan
berbasis rendah karbon (low emission development scenarios-LED)
misalnya melalui sektor energi, pertanian, kehutanan, transportasi dan
limbah. Atau dengan mendorong perluasan aksi mitigasi tidak hanya
melalui negosiasi UNFCCC tetapi inisiatif yang ada di luar UNFCCC.
Adapun Indonesia, seperti yang telah disampaikan oleh Presiden RI
dalam KTT G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, September 2009—telah
secara sukarela menargetkan pengurangan emisi sebesar 26% padatahun
2020, dan bahkan hingga 41% pada tahun 2020, jika mendapatkan
30
dukungan internasional. Niat itu secara teguh dipegang oleh pemerintah
dengan dikeluarkannya Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang telah mulai
diimplementasikan di seluruh daerah di tanah air.
Sementara, upaya menurunkan emisi melalui negosiasi di UNFCCC—
terutama di negara maju—berjalan sangat alot. Sangat disayangkan pula
bahwa negara besar dan maju, termasuk AS, masih tetap pada pendirian
untuk tidak menandatangani Protokol Kyoto yang menjadi satu sarana
resmi untuk melakukan skema penurunan emisi yang mengikat. Selain
itu, empat negara telah menyatakan bahwa mereka tidak mengikuti
Protokol Kyoto tahap kedua, antara lain: Kanada, Rusia, Jepang, dan
Selandia Baru. Sedangkan Uni Eropa, Australia, dan 9 negara lainnya
telah mengindikasikan bahwa mereka akan berpartisipasi dalam periode
komitmen kedua yang akan berawal tahun depan. Komitmen rata-rata
dari negara maju saat ini baru dapat menurunkan 15-16, 2% emisi tahun
1990 dengan periode 2013-2020, sedangkan kelompok negara-negara
kepulauan yang paling terancam tenggelam mengusulkan penurunan
22,7% di bawah level tahun 1990.
32
BAGIAN II
DILEMA MELESTARIKAN
KEANEKARAGAMAN HAYATI
1
KEBERPIHAKAN PENGELOLAAN
KEKAYAAN BUMI
“Bumi akan cukup memenuhi kebutuhan setiap manusia, tapi tidak akan
cukup untuk memenuhi keserakahan manusia ...”— Mahatma Gandhi
P
eringatan Hari Bumi, telah berusia 39 tahun. Hampir empat
dekade bagi kita belajar mensyukuri karunia Tuhan yang ada di
bumi ini dengan segala kelengkapan dan keasrian yang harus terus
dipertahankan. Beberapa waktu yang lalu, dalam kunjungan ke Desa Aek
Nabara di Sumatera, saya tertegun: menyaksikan seorang petani yang
bersahaja di suatu sore yang terang, memikul cangkul pulang ke rumah.
Pakaian petani tersebut kotor dan sederhana, tapi di balik punggungnya
saya menyaksikan sawah dengan padi menguning dan kebun-kebun yang
menghampar.
Sebentar lagi kelihatannya petani itu akan panen dan berbahagia
dapat makan dengan padi baru yang lezat dari sumber daya alam lokal.
Kehidupannya yang sederhana, memang tidak dapat diukur dengan
berapa jumlah uang yang harus diperolehnya sehari-hari—sama halnya
dengan manusia di belahan bumi manapun—sesungguhnya bukan uang
35
Mempertahankan Keseimbangan
yang akan masuk ke mulutnya, tetapi hasil panen dan segala sumber
daya yang alam sehat itulah yang akan mencukupinya.
Gambaran tadi melukiskan keharmonisan alam yang masih asri di
mana bumi dalam keadaan seimbang: air yang tidak tercemar, pak tani
yang sangat bergantung dengan jasa lingkungan (ekosistem) yang ada
di sekitarnya. Kesehatan alam sekitar dapat membantu masyarakat di
pedesaan, terutama yang bergantung dengan kondisi hutan, dengan air
bersih gratis mengalir deras. Ikan segar dapat dipancing dan dijala di
empang atau di danau, dan keperluan dasar kehidupan dapat dipenuhi
dari waktu ke waktu. Bila panen tiba, beras dan hasil sawah ladang dapat
dijual dan petani dapat hidup berkecukupan. Mereka memiliki masa
depan, menuai hasil jerih payah dari hasil dukungan alam dan terhindar
dari kemiskinan.
36
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati
37
Mempertahankan Keseimbangan
38
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati
39
2
KEANEKARAGAMAN HAYATI
MELAWAN KEMISKINAN
R
aja Ampat di Papua adalah sebuah kabupaten baru yang alamnya
masih asli. Lautnya bersih, pantainya indah, hutan di pulau-
pulau yang ada di bagian leher “Kepala Burung” Papua ini masih
relatif belum terjamah. Masyarakatnya hidup tenang. Karena kaya dengan
ikan, jika ingin mendapatkan lauk untuk makan siang, cukup pergi ke
dermaga memancing tanpa umpan, yang mereka sebut mencigi. Ribuan
ikan berenang di dermaga seperti di kolam kaca, saking banyaknya tidak
lagi perlu ditunggu mengigit umpan, melainkan cukup menjerat salah
satu dari tumpukan ribuan ikan yang berkeliaran itu dengan menarik
kail secara mendadak. Inilah modal alam (natural capital) memberikan
ketersediaan pangan bagi mereka (Lihat Gambar 2 Ikan-ikan di Raja
Ampat). Keberadaan modal alam ini, tersedia berkat dukungan jasa
ekosistem yang lain: terumbu karang yang sehat, hutan bakau yang sehat
sebagai tempat pemijahan, aliran nutrisi laut yang tidak tercemar, dan
suhu laut yang mendukung segala jenis dan daur produksi yang ada
di laut. Dengan alam yang kaya ini tidak mungkin masyarakat di sana
kelaparan dan kekurangan gizi.
40
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati
Begitu alam yang asli dan terjaga dapat menjadi sebuah kapital yang
terkadang lepas dari perhitungan. Keanekaragaman hayati merupakan
aset alami termasuk diantaranya jasa ekosistem seperti air tawar, tempat
pemijahan ikan, penangkal gelombang, regulasi iklim, suplai oksigen,
dan pengganti fisik penaggulangan badai, obat-obatan, zat pewarna
dan seterusnya. Ahli keanekaragaman hayati, E.O Wilson, mengatakan,
bangunan alami mempunyai kelebihan yang sangat banyak dibanding
dengan bangunan fisik yang dibuat oleh manusia. Bangunan fisik
tidak akan mampu menandingi jasa alam yang bangunannya terdiri
dari makhluk hidup (organik) yang mempunyai banyak kelebihan dan
harganya sangat murah, tetapi bangunan fisik selain tidak mampu
berbuat banyak, pembangunannya menelan biaya dan investasi tidak
sedikit.
Hutan bakau, jika dipertahankan, dapat berfungsi dalam banyak
hal, antara lain penyedia nutrisi, pencegah abrasi, tempat pemijahan
ikan dan udang, penyerap oksigen sebagai regulasi iklim, dan buah-
buahnya dapat dibudidayakan sebagai pendapatan alternatif masyarakat.
Sebaliknya, jika hutan bakau diubah menjadi bangunan fisik, keuntungan
ekonomi hanya dapat dihitung sebagai kepentingan sesaat dan hanya
untuk fungsi bangunan itu saja. Penanggulangan abrasi di pantai utara
Jakarta menggunakan biaya ratusan miliar akibat kehilangan ekosistem
hutan bakau dan ekosistem bakau, yang mengakibatkan kestabilan tanah
terganggu dan intrusi terjadi, air tanah tidak bisa digunakan untuk
mandi—karena asin— juga mengakibatkan beberapa kawasan di Jakarta
turun lebih rendah dari pemukaan laut. Ujung-ujungnya, pemerintah
lalu harus mengeluarkan anggaran dengan melakukan adaptasi. Sama
halnya dengan upaya membuat jalan layang untuk menghindari intrusi
dan rob masuk, melalui Bandara Soekarno Hatta.
41
Mempertahankan Keseimbangan
Rawan Konflik
Fenomena konflik lahan dan penguasaan sumber daya alam menjadi
marak akhir-akhir ini disebabkan dua hal: pertama, masyarakat yang
telah lama dekat dengan sumber daya alam, seperti masyarakat adat
merasa sangat kehilangan hak atas sumber daya yang mereka miliki
sejak turun-temurun, terutama yang mereka peroleh secara cuma-cuma
dan disediakan oleh alam. Mereka pun telah merawat alam atas wisdom
turun-temurun untuk menghargai dengan tidak merusak alam. Konversi
lahan—seperti perubahan menjadi lahan perkebunan sawit, tambang dan
konsesi kayu—memperparah keadaan dan rasa kehilangan hak tersebut.
Masyarakat yang biasa subsisten menerima keberkahan alam dengan
memungut hasil hutan dan ketersediaan yang gratis dari alam sebagai
sumber kehidupan, mendadak merasa kehilangan apa yang semestinya
mereka dapatkan dengan mudah. Hipotesisnya adalah, masyarakat
pinggiran hutan yang berbasis pembuka lahan dan perkebunan serta
pengumpul, tidak siap, tanpa ada perubahan gradual keterlibatan
pemberdayaan yang berarti dalam kehidupan mereka, untuk menerima
perubahan fungsi lahan.
Kedua, masyarakat di daerah, walaupun dengan adanya otonomi
dan desentralisasi, tetap merasa tidak dihargai dalam ikut mengelola alam
mereka sendiri. Hal tersebut disebabkan proses pengambilan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam tidak dilakukan secara partisipatif dari
bawah. Ketika banyak sumber daya alam dan habitat yang sifatnya
vital seperti penyedia air, keragaman plasma nutfah, pencarian bahan
makanan, dan kesuburan tanah telah terenggut dari sisi masyarakat
awam yang masih hidup subsisten, telah tidak dapat lagi mereka peroleh
di alam—karena fungsi lahan yang telah berubah—maka, mereka merebut
–dengan segala resiko, hidup atau mati—untuk mengambil kembali lahan
mereka sebagai sumber penghidupan.
42
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati
Mengentaskan Kemiskinan
Target pengentasan kemiskinan Millenium Development Goal (MDG),
hanya menghitung tingkat nilai finansial standar kemiskinan yang setara
dengan perolehan tidak kurang dari satu dollar per hari, indikator ini
semestinya tidak menilai alam hanya secara fisik. Merujuk pada studi
terbaru yang dipublikasikan oleh Turner dkk (2012) dalam Jurnal
Bioscience yang mengatakan natural capital adalah sangat penting
sebagai upaya kompensasi pada pada masyarakat miskin dan upaya
melindungi habitat yang bersifat vital yang dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat. Laporan tersebut mencatat dua solusi persoalan dunia
yang dapat diatasi sekaligus: keanekaragam hayati dan kemiskinan.
Masyarakat di pinggiran hutan yang subur, apalagi diperkenankan
mengelola sendiri haknya secara berkelanjutan, niscaya akan mampu
terangkat dari kemiskinan dengan pemberdayaan tanpa merusak alam.
Kawasan hotspots keanekaragaman hayati, menurut laporan tersebut
dapat bernilai lebih dari $500 miliar pertahun atau mampu menyediakan
kebutuhan bagi 330 juta penduduk miskin dunia. Di Indonesia, konversi
lahan mengubah banyak habitat ---yang berfungsi sebagai jasa ekosistem –
yang lalu tidak menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat sekitarnya.
Sebab, keuntungan hanya diperoleh para pemegang modal yang bersifat
kapitalistik untuk melanggengkan usahanya. Kawasan yang mempunyai
keanekaragaman hayati yang tinggi seperti Indonesia sesungguhnya
menyediakan sumber-sumber modal alam yang dibutuhkan untuk
kehidupan atau mereka yang dianggap miskin. Maka memberikan hak
sekaligus melakukan perlindungan pada kawasan-kawasan produktif,
sesungguhnya tidak saja melindungi keanekaragaman hayati, namun
juga dapat dihitung sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan,
sebagaimana yang ditargetkan oleh MDG Perserikatan Bangsa Bangsa.
43
3
PEMEKARAN DAERAH DAN
KEANEKARAGAMAN HAYATI
S
elama lebih kurang 12 hari (18-29 Oktober 2010) para pemimpin
dunia berkumpul di Jepang dalam pertemuan puncak Konferensi
PBB ke-10 (COP), tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati
(CBD). Diperkirakan, 193 negara akan hadir dalam perhelatan akbar
guna membuat keputusan akan status dan penanggulangan terhadap
krisis keanekaragaman hayati serta membicarakan manfaat yang dapat
dilakukan manusia.
Dalam hal penanggulangan (mitigasi) terhadap perubahan iklim,
misalnya, perlindungan keanekaragaman hayati sangat diperlukan untuk
menjamin penyimpanan yang memadai karbon dalam ekosistem alami.
Selain itu, keanekaragaman kehidupan merupakan kebutuhan penting
manusia untuk dipertahankan sebagai kawasan lindung, berupa cagar alam,
suaka marga satwa hingga taman nasional yang dapat berfungsi sebagai
tempat kegiatan seperti rekreasi, sosial budaya, kegiatan ekonomi yang
berkelanjutan atau untuk menikmati kecantikan alam mereka yang unik.
Degradasi lingkungan yang masif menyebabkan banyak ahli
lingkungan khawatir akan eksistensi kehidupan dan keanekaragaman
hayati. Kompleksitas ekosistem yang telah ada ribuan bahkan jutaan
44
Dilema Melestarikan Keanekaragaman Hayati
45
Mempertahankan Keseimbangan
46
Mempertahankan Keseimbangan
Mempertahankan Keseimbangan
Pada dasarnya, upaya keras yang sedang dilakukan dalam negosiasi
berbagai negara dalam menanggulangi perubahan iklim merupakan usaha
manusia untuk tetap mempertahankan bumi dalam keseimbangan. Gas-
gas rumah kaca (GRK) seperti CO2, pada dasarnya mempunyai manfaat
menguntungkan untuk planet bumi, namun pada konsentrasi yang pas
di mana bumi menjadi hangat dan tidak diselimuti es. Berdasarkan fakta
jutaan tahun dari penelitian Paleoclimate, ternyata keadaan sekarang
terjadi karena konsentrasi CO2 di atmosfer berada di bawah 450 satuan
per milimiter volume ppmv.
Di lain pihak, ada pendapat dari para ahli untuk menghimbau agar
konsentrasi CO2 di atmosfer tidak melebihi konsentrasi 350 ppmv, dan
kekuatan radiasi (matahari) tidak lebih dari 1 watt per meter kuadrat
dibandingkan dengan masa sebelum indurtrialisasi (pra-industri).
Alasannya, jika konsentrasi melewati keadaan ini, kita akan melewati
titik kritis yang mengakibatkan perubahan iklim, seperti menghilangnya
selimut es, peningkatan permukaan laut, perubahan drastis hutan
94
Hutan Penyangga Kehidupan
95
6
TAHUN-TAHUN HIDUP DALAM BAHAYA
H
arrison Ford datang ke Indonesia, melihat langsung keadaan
hutan di Sumatera dan Kalimantan. Aktor sekuel film
Indiana Jones ini memang sangat gencar berkampanye upaya
perlindungan hutan. Dia juga menjadi duta kampanye penyadaran
publik tentang konservasi pada sebuah organisasi konservasi lingkungan
ternama di AS dan menjadi ikon penyadaran pentingnya menjaga
kestabilan iklim guna mendukung pelaksanaan konvensi PBB untuk
Perubahan Iklim (UNFCCC).
Harrison juga terlibat proyek film dokumenter bertajuk Years
of Living Dangerously karya produser James Cameron dan Arnold
Schwarzenegger. Film ini mengangkat tema tentang dampak perubahan
iklim yang diakibatkan oleh manusia serta akan membahayakan planet
bumi dan mempunyai dampak pada generasi mendatang.
Secara tidak langsung, negara-negara maju seperti Amerika Serikat
dan Eropa, sesungguhnya ikut merasakan dampak kehilangan hutan
dan perubahan iklim. Selain dari sektor energi, 16 hingga 20% penyebab
perubahan iklim adalah kebakaran hutan dan pembukaan kawasan hutan.
Negara-negara maju sekarang ini merasakan anomali iklim yang tidak
96
Hutan Penyangga Kehidupan
terduga, frekuensi badai yang kian bertambah tinggi, musim kering yang
panjang dan curah hujan yang sangat tinggi, sehingga mengakibatkan
banjir yang menenggelamkan bangunan dan membawa korban.
Bahkan, dalam soal kebakaran hutan, AS juga mengalami nasib
yang sama dengan Indonesia. Sejak Agustus hingga awal September
ini, Yosemite National Park, sebuah taman nasional yang sangat dicintai
oleh bangsa Amerika—menjadi role model taman nasional di dunia—
telah terbakar akibat api liar yang tidak diketahui pangkalnya. Laporan
terakhir menyatakan lebih dari 103,5 ribu hektare hutan terbakar—luasan
ini sama dengan dua setengah kali luas Taman Nasional Tesso Nilo—
yang mengakibatkan kerugian mencapai 108 juta dolar AS. Musim panas
mengakibatkan api liar muncul, menurut Kepala Pelayanan Kehutanan,
AS Tomas Tidwell, diakibatkan panas lebih panjang dalam dua bulan
terakhir dan api liar memusnahkan dua kali lebih luas dari kebakaran
yang pernah terjadi 40 tahun sebelumnya.
Adapun hutan Indonesia telah menjadi sorotan sejak awal 1990-
an, ketika kajian ilmiah tentang kritisnya beberapa kawasan di planet
bumi yang mempunyai peran penting, terancam akibat eksploitasi yang
berlebihan. Indonesia (kecuali Papua) dalam kajian tersebut disebut
sebagai kawasan hotspot bersama puluhan negara lain yang ditelaah
mempunyai dua aspek luar biasa, sehingga harus mendapat prioritas dan
perhatian: pertama, memiliki konsentrasi spesies flora dan fauna yang
tinggi dan tingkat endemisme yang luar biasa, dan, kedua, menghadapi
ancaman kepunahan yang luar biasa pula. Negara hotspot telah diprediksi
Norman Mayers (1988) akan kehilangan 90% tutupan hutan mereka di
akhir abad ke-20 dan menjelang abad ke-21, yang akan menyebabkan
kepunahan hampir 7% spesies tumbuhan yang ada di bumi dan hal yang
sama akan terjadi pada spesies hewan.
Karena adanya perubahan iklim, masyarakat semakin menyadari,
bahwa kondisi lingkungan di belahan bumi lain, secara tidak langsung
97
Mempertahankan Keseimbangan
Kelapa sawit
Dua hari sebelum Harrison Ford tiba, saya menyaksikan sendiri betapa
kompleksnya permasalahan Taman Nasional Tesso Nilo. Hutan yang
tersisa di sana merupakan kawasan konservasi yang paling kritis,
terancam menyempit karena perambahan dan tindakan yang dilakukan
penuh ketidakpastian. Taman nasional ini relatif baru menjadi
kawasan konservasi karena, setelah diteliti, masih mempunyai kekayaan
keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Tindakan perlindungan
dilakukan karena masih ada harapan, untuk menyelamatkan hutan serta
isinya, termasuk beberapa jenis endemik Sumatera, seperti harimau, gajah,
dan lainnya dari kepunahan konversi lahan, baik untuk perkebunan
maupun hutan tanaman.
Sejak berdirinya, Taman Nasional Tesso Nilo, tahun 2009, pada
dasarnya belum mendapatkan fasilitas dari pemerintah secara baik.
Perkebunan kelapa sawit baik milik masyarakat maupun perusahaan telah
merangsek ke dalam taman akibat belum ada tata batas yang jelas di mana
sebenarnya posisi taman nasional tersebut. Konflik terjadi dikarenakan
kawasan ini tadinya merupakan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
yang tidak mendapatkan perhatian ketat dan open access akibat adanya
pembuatan jalan yang mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan
untuk kepentingan perusahaan tanaman industri. Efek pembukaan ini
98
Hutan Penyangga Kehidupan
99
7
TOLONGLAH RIAU
B
encana kebakaran hutan dan lahan di Riau kembali merepotkan.
Sebagai kasus lingkungan dapat menjadi momok setiap tahun
atau bahkan beberapa kali dalam setahun, kejadian yang berulang
merupakan sebuah ironi, yang menunjukkan gagalnya semua sektor dan
penanggung jawab untuk belajar dalam upaya penanggulangan yang
tepat dan cepat untuk kebakaran hutan dan lahan.
Dalam sebulan ini, asap menyelimuti kota-kota di Riau sudah
seperti berada dalam bara sekam. Sangat berbahaya bagi kesehatan
bahkan membawa kematian. Belum lagi kerugian materi, seperti kebun
masyarakat yang ikut ramai-ramai terbakar dan gagal panen, tertundanya
penerbangan dan ditutupnya kantor dan sekolah karena asap yang tidak
dapat ditolerir. Media ini mengutip kerugian mencapai 15 triliun (Koran
Tempo, 15/4).
Perubahan hutan akibat kebakaran, selain punahnya hutan—
terutama hutan alam—juga kemungkinan rusaknya ekosistem penyangga
kehidupan yang ada di sekitar kawasan yang terbakar, dengan demikian,
jasa ekosistem kawasan misalnya daerah tangkapan air atau hutan
produktif—termasuk Cagar Biosfer Giam Siak— yang sangat bernilai
100
Hutan Penyangga Kehidupan
101
5
HAJI RAMAH LINGKUNGAN
P
ada 2010, dua anak muda muslim dari Afrika Selatan melakukan
perjalanan ibadah haji “ramah lingkungan”, yaitu dengan
menggunakan sepeda, menuju Mekah. Nathim Cairncross dan
Imtiyaz Ahman Haron bersepeda sejauh 11 ribu km, memakan waktu
sembilan bulan.
Perjalanan ribuan kilometer dari negara asalnya menuju Mekah,
dengan hanya mengayuh sepeda, tentu saja merupakan upaya yang sangat
keras, menguras tenaga, dan melelahkan. Tetapi ini menjadi tanda bahwa
kehidupan beragama mempunyai spirit dalam upaya berkontribusi
kepada kepedulian lingkungan hidup. Perjalanan “haji hijau” ini tentu
saja zero emisi, sudah pasti ramah lingkungan karena tidak berkontribusi
kepada emisi karbon individual.
Mengurangi emisi gas rumah kaca, seperti penggunaan CO2, baik
individual maupun kolektif, akan berkontribusi pada upaya mitigasi
(mengurangi) terjadinya perubahan iklim. Sebab, apabila Anda
menggunakan kendaraan yang memakai bahan bakar minyak (BBM)
yang berasal dari fosil, artinya akan berkontribusi pada emisi gas rumah
kaca yang mengakibatkan bertambahnya ketebalan atmosfer yang
156
Kembali pada Etika dan Agama
157
Mempertahankan Keseimbangan
Ziarah
Ziarah tidak hanya berupa mengunjungi tempat tertentu—antarnegara
dan bangsa—tapi ada juga berkumpulnya massa dari sebuah kawasan
(region) tertentu. Misalnya, ziarah jemaah tarekat Tasawuf Qadiriyyah
di Kano, Nigeria, yang dihadiri lebih dari 1,5 juta pengikutnya setiap
tahun. Sementara itu, kota suci Assisi merupakan tempat ziarah yang
telah bertahan selama 800 tahun, yang dikunjungi oleh ratusan ribu
penganut Katolik. Kota ini merupakan tempat kelahiran Santo yang
ekologis, yaitu St Francis Assisi, di mana beliau berkhotbah tidak hanya
kepada manusia, juga untuk burung dan binatang-binatang yang ada di
sekitarnya.
158
Kembali pada Etika dan Agama
159
6
ETIKA ISLAM TERHADAP LINGKUNGAN
D
alam bulan Oktober 2008, penulis dua kali diundang mengikuti
pertemuan dengan topik peran dunia muslim terhadap
lingkungan. Pertama, pertengahan Oktober, di Oxford Centre
for Islamic Studies, yang membahas isu Islam dan lingkungan secara
keseluruhan, dan kedua di Kuwait, membahas Islam dan Perubahan
Iklim (Islam and Climate Change) yang diadakan pada akhir Oktober.
Dalam kancah global yang tidak mempunyai sekat ini, kondisi
planet bumi yang hanya satu ini mengundang keprihatinan semua
pihak. Kekhawatiran akan melajunya gejala perubahan iklim yang
lebih cepat dari prakiraan para ilmuwan, mandegnya perundingan
dan gagalnya praktek-praktek penyelamatan lingkungan konvensional
dalam upaya menghambat laju kerusakan lingkungan dan mencegah
bencana, merupakan alasan yang kuat bahwa manusia tidak lagi mampu
mendekati alam dengan cara-cara dan perlakuan yang serba mekanistis,
tetapi juga harus diikuti dengan unsur yang spiritualistis.
Pasar global membuktikan dengan runtuhnya harga saham
baru-baru ini dan tentu saja peristiwa tersebut membuktikan bahwa
kapitalisme yang serakah dan kekayaan yang diperoleh oleh para pialang
selama ini adalah sesuatu yang semu. Padahal, dampak dari keserakahan
160
Kembali pada Etika dan Agama
161
Mempertahankan Keseimbangan
162
EPILOG
163
Mempertahankan Keseimbangan
164
SUMBER TULISAN
165
Mempertahankan Keseimbangan
166
BAHAN RUJUKAN
167
Mempertahankan Keseimbangan
168
Bahan Rujukan
169
Mempertahankan Keseimbangan
170
Bahan Rujukan
171
Mempertahankan Keseimbangan
172
Bahan Rujukan
173
Mempertahankan Keseimbangan
174
Bahan Rujukan
175
Mempertahankan Keseimbangan
176
Bahan Rujukan
paling tidak 7,2 miliar para tahun 2008, rupiah (Koran Tempo,
3 Februari 2008)
2) Tentang organic desingn lihat S.R. Kellert Building for Life
(2005). Island Press. Washington.DC.
• Restorasi Ekosistem
1) Departemen Kehutanan Menyerahkan SKI IUPHHK RE
Hutan Alam kepada PT REKI http://www.dephut.go.id/index.
php?q=id/node/3352 Date October 29 2008
2) Myers, Erin C. (Dec 2007). “Policies to Reduce Emissions
from Deforestation and Degradation (REDD) in Tropical
Forests” (PDF). Resources Magazine: 7. Retrieved 20091124.
http://www.rff.org/Publications/Pages/PublicationDetails.
aspx?PublicationID=17519
3) Berita tentang produksi kayu alam yang turun. Industri
Kehutanan: Produksi Kayu Hutan Alam Terus Turun .Jum’at,
8 Februari 2013 | 05:39 WIB http://m.bisnis.com/articles/
industri-kehutanan-produksi-kayu-hutan-alam-terus-turun
4) Tentang Aichi Target, Secretariat UNCB. Strategic Plan for
Biodiversity 2011–2020 and the Aichi Targets. http://www.cbd.
int/doc/strategic-plan/2011-2020/Aichi-Targets-en.pdf
5) The World Bank. 2001. Indonesia: Environmental and Natural
Resources Management in a Time of Transission. (Washington.
DC)
• Mengapa Taman Nasional Perlu Diselamatkan?
1) Untuk kunjungan Oprah Winprey ke Yosemite National Park
lihat: http://www.oprah.com/oprahshow/Oprah-and-Gayles-Big-
Yosemite-Camping-Adventure_1
2) Tentang angka kriminalitas warga kulit hitam dan Steriotipe
black and criminal di USA lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/
177
Mempertahankan Keseimbangan
Criminal_black_man_stereotype
3) Tentang keterkaitan manusia dengan alam, lihat Kellert, SR
& EO Wilson. 1993. The Biophilia Hypothesis. Island Press,
Washington DC. 484 pages.
4) John Sheail 2010. National Spectacle The World’s First National
Park and Protected Places. Earth Scan London, 346 pages.
• Dilema Gaya Hidup dan Harga BBM
1) Matarasso, M dan G. V. Dung. (tanpa tahun) . Pendidikan
Lingkungan: Pedoman Pelatihan untuk Para Praktisi
(diterjemahkan dari: Environmental Education: Trainer Guide
for Nature Conservation). Timber for Aceh, WWF Indonesia.
Jakarta. 125 halaman.
2) Untuk angka mobil dan motor baru di jakarta, lihat http://
www.merdeka.com/jakarta/setiap-hari-2-ribu-motor-amp-400-
mobil-baru-musuhi-jakarta.html
• Membungkus Keberlanjutan
1) Artikel tentang ekonomi hijau yang menarik dibaca di
Asahi Simbun: RIO+20: Nations divided over green
economy resolution. http://ajw.asahi.com/article/economy/
environment/AJ201206180074
2) Khalisah Khalid, Gelapnya Ekonomi Hijau, Kompas, 21 Juni
2012.
3) Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Rio +20, tahun
2012.http://www.greenaceh.or.id/2012/06/21/sby-speech-
moving-towards-sustainability
4) The future we want outcomes: http://daccess-dds-ny.
un.org/doc/UNDOC/GEN/N12/381/64/PDF/N1238164.
pdf?OpenElement
5) Tentang komintmen sukarela para peserta konferensi Bumi.
178
Bahan Rujukan
179
Mempertahankan Keseimbangan
180
PUSTAKA
Alliance of Religions and Conservation (ARC). 2009. Many Heaven One Earth:
Faith Commitments to Protect the Living Planet. Alliance of Religion
and Conservation in partership with United Nations Development
Programme. November 2009. ARC. Bath.
Asian Development Bank (ADB). 2009. The Economics of Climate Change
in South East Asia:Regional Review. ADB April 2009. Executive
summary. http://www.adb.org/publications/economics-climate-
change-southeast-asia-regional-review
Belinda Arunarwati Margono, Peter V. Potapov, Svetlana Turubanova, Fred
Stolle & Matthew C. Hansen. Primary forest cover loss in Indonesia
over 2000–2012. http://www.nature.com/nclimate/journal/vaop/
ncurrent/full/nclimate2277.html
Brown, L. 2009. Plan B. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Butchart, S., M. Walpole, B. Collen, A. van Strien, J.P. W. Scharlemann.
2010. “Global Biodiversity: Indicators of Recent Declines”. Science:
328 (5982) : 1164–1168.
Calvin B. DeWitt. 2002. The Good in Nature and Humanity Stephen R. Kellert
dan Timothy J. Farnham, Island Press. New York.
Erni Sisca Dewi, Erni Sisca. 2006. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB, Analisis
Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Ternate
Provinsi Maluku Utara
Diamond, J. 1999. Guns, Germs, and Steel. New York: W. Norton.
181
Mempertahankan Keseimbangan
Febriyanti, Dwi Yandhi. 2007, Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Studi Nilai
Manfaat Hutan Mangrove Resort Bedul Bagi Masyarakat Sekitar
Kawasan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
Foltz, R. 2005. Environmentalism in the Muslim World. Nova Science Publisher.
New York.
Friedman, T. (2008). Hot, Flate and Crowded. Penguin Book. London.
Herlianto,2005, Skripsi Fakultas Kehutanan IPB, Nilai Ekonomi Fungsi
Hidrologis Hutan Taman Nasional Gunung Halimun (Studi Kasus
di Desa Cisarua Kecamatan Sukajaya dan Desa Curug Bitung
Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor)
Hickman, M. 2006. Shoppers’ thirst for palm oil threatens to wipe out orangutan.
23 May 2006. http://news.independent.co.uk/environment/
article570195.ece
Hubbeis, A.V. 2004. “Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan”. Makalah Sarasehan
dan Kongres LEI Menuju CBO : Sertifikasi Di Simpang Jalan: Politik
Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan; Ruang
Bina Karna Auditorium Ruang Rama, Hotel Bumi Karsa Komp.
Bidakara dan Karna, Jakarta, 19-22 Oktober 2004.
Indrawan, D., Primack R. & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
JATAM. 2005. Tambang dan Kemiskinan Kasus Kasus Pertambangan di
Indonesia (2001-2003). Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), 2005.
437 halaman.
Kellert, S.R. 2005. Building for Life. Island Press. Washington.DC.
Kellert, S.R. & E.O. Wilson. 1993. The Biophilia Hypothesis. Island Press,
Washington DC. 484halaman..
Khalid, Khalisah. 2012. “Gelapnya Ekonomi Hijau”. Kompas, 21 Juni 2012.
Knitter, Paul. 2010. Prologue. In Vigil, J.M., L E Tomita and M. Barros
(eds). 2010. Along the many path of God.-IV. Intercontinental
Liberation Theology of Religous Pluralism. EATWOT, Ecumenical
Association of Third World Theologians. EATWOT’s International
Theological Commission. Cyberspace, March 2010 www.
InternationalTheologicalCommission.org
182
Pustaka
Koh, L.P. & David S. Wilcove. 2007. Cashing in palm oil for conservation.
Nature (448): 993-994.
Kompas. 2012. Memaknai Pembangunan. Dirampok Keserakahan dan
Kerakusan. KOMPAS Selasa, 12 Juni 2012, hlm. 6.
Koran Tempo. 2012. Subsidi Membengkak Dana Tambahan Disiapkan, 17 Juli
2012, hal B1.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).2014. Kekinian Keanekaragaman
Hayati Indonesia . LIPI Press.
Maryanto, I., J.S, Rahajoe, S.S. Munawar, W. Dwiyanto. D. Asyikin, S. A.
Arianti, Y. Sunarya & D. Susiloningsih (ed.). 2013. Bioresource untuk
Pembangunan Ekonomi Hijau. LIPI, 227 halaman.
Matarasso, M & G. V. Dung. (tanpa tahun). Pendidikan Lingkungan: Pedoman
Pelatihan untuk Para Praktisi (diterjemahkan dari: Environmental
Education: Trainer Guide for Nature Conservation). Timber for
Aceh, WWF Indonesia. Jakarta. 125 halaman.
Mayer, Norman. 1988. Threatened Biotas: “Hot Spots” in Tropical Forests,
Environmentalist. Volume 8, Number 3, 187-208 (1988), diakses
dari http://www.latimes.com/local/lanow/la-me-ln-rim-fire-
tuesday-80-20130910,0,7904497.story
Mittermeier, R., Gil, P. Dan Goettsch-Mittermeier, C. 1997. Megadiversity:
Earth’s Biologically Wealthist Nations. Cemex, Prado Norte
Mongabai. 2014. Konsumsi Kelapa Sawit Eropa Melonjak Menambah Resiko
Kelestarian Hutan Tropis. http://www.mongabay.co.id/2013/09/10/
konsumsi-kelapa-sawit-eropa-melonjak-menambah-resiko-kelestarian-
hutan-tropis/ http://www.loe.org/images/content/090731/M7YAP_
draft.pdf
Myers, Erin C. (Dec 2007). “Policies to Reduce Emissions from Deforestation
and Degradation (REDD) in Tropical Forests” (PDF). Resources
Magazine: 7. Retrieved.20091124. http://www.rff.org/Publications/
Pages/PublicationDetails.aspx?PublicationID=17519
Nature, 2009. A safe operating space for humanity Article : Nature Page 4 of
8 http://www.nature.com/nature/journal/v461/n7263/full/461472a.
html 9/25/2009
183
Mempertahankan Keseimbangan
Website:
http://ajw.asahi.com/article/economy/environment/AJ201206180074
184
Pustaka
http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N12/381/64/PDF/
N1238164.pdf?OpenElement
http://en.wikipedia.org/wiki/Criminal_black_man_stereotype
http://goldrushcam.com/sierrasuntimes/index.php/news/mariposa-daily-news-
2013/158-september/9981-rim-fire-near-yosemite-national-park-
update-for-friday-morning-september-13-2013
http://gulfnews.com/opinions/columnists/egypt-threatened-by-climate-
change-1.688363.
http://m.bisnis.com/articles/industri-kehutanan-produksi-kayu-hutan-alam-
terus-turun
http://pustaka.pu.go.id/new/infrastruktur-jembatan-detail.asp?id=324
http://www.arcworld.org/news.asp?pageID=672
http://www.cbd.int/doc/strategic-plan/2011-2020/Aichi-Targets-en.pdf
http://www.cbd.int/doc/strategic-plan/2011-2020/Aichi-Targets-en.pdf
http://www.conservation.org/learn/climate/forests/Pages/overview.aspx
http://www.cop17-cmp7durban.com
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/3352 Date October 29 2008
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/3352 Date October 29 2008
http://www.globalwaterintel.com/pinsent-masons-yearbook/2011-2012/part-
ii/33/
http://www.merdeka.com/jakarta/setiap-hari-2-ribu-motor-amp-400-mobil-baru-
musuhi-jakarta.html
http://www.oprah.com/oprahshow/Oprah-and-Gayles-Big-Yosemite-Camping-
Adventure_1
http://en.wikipedia.org/wiki/Criminal_black_man_stereotype
http://www.uncsd2012.org/voluntarycommitments.html
http://www.unep.org/climatechange/News/PressRelease/tabid/416/language/
en-US/Default.aspx?DocumentId=599&ArticleId=6338
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=X0fMr2iJR3
http://www.zeroextinction.org
185
Mempertahankan Keseimbangan
ttp://www.350.org
ttp://www.greenpilgrimage.net
ttp://www.iesr.or.id/files/report_kjk.pd
http://nature-of-indonesia.blogspot.com/2008/10/islam-and-environment-
simposium-di.html.
http://www.tempointeractive.com/hg/hukum/2009/01/05/brk,20090105-
153771,uk.html
http://uk.reuters.com/article/2010/05/27/us-indonesia-forest-moratorium-
idUKTRE64Q0V220100527
http://newsbusters.org/blogs/noel-sheppard/2011/01/31/climate-alarmist-
blames-egypt-crisis-global-warming#ixzz1D0yCjVHk
http://www.theworld.org/2011/02/03/food-prices-egypt-climate-change/
http://www.greenaceh.or.id/2012/06/21/sby-speech-moving-towards-
sustainability
http://www.mongabay.co.id/2013/07/05/upaya-mengembalikan-keindahan-
jalak-bali-ke-habitat-alami/
186
INDEKS
187
Mempertahankan Keseimbangan
188
Indeks
189
Mempertahankan Keseimbangan
penggulingan, 9
Sonny Keraf, 143
ziarah, 158
Zine El Abidine Ben Ali, 9
190
TENTANG PENULIS
191
Development Program (UNDP). Blog pribadinya dapat di akses di: http://
nature-of-indonesia.blogspot.com. Twitter: @FachruddinM; Facebook:/
fachruddin.mangunjaya; E-mail: fmangunjaya@civitas.unas.ac.id
192