Anda di halaman 1dari 18

STUDENT PROJECT

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

HEMATOLOGY

02

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun
kronis yang bersifat sistemik dengan berbagai manifestasi klinis yang
dominan mempengaruhi wanita. Pada tahun 2017, World Health Organization
menjelaskan bahwa Systemic Lupus Erythematosus adalah salah satu penyakit
tidak menular yang merupakan faktor utama dari penyebab kematian. World
Health Organization (WHO) juga mencatat jumlah penyakit lupus di seluruh
dunia mencapai 5 juta orang. Di Indonesia, jumlah penderita penyakit Lupus
secara tepat belum diketahui. Prevalensi Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) di masyarakat berdasarkan survei yang dilakukan Prof. Handono
Kalim, dkk di Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5% terhadap total
populasi(1).
Peningkatan jumlah kasus Lupus perlu diwaspadai dan harus diberi
perhatian khusus oleh masyarakat. SLE merupakan penyakit yang belum
diketahui secara pasti penyebabnya. Terdapat beberapa manifestasi klinis
diantaranya gangguan sistem imun, susunan saraf pusat, gangguan kulit dan
mukosa, sendi, darah dan berbagai organ tubuh seperti jantung, paru-paru,
dan ginjal. Systemic Lupus Erythematosus memiliki gambaran klinis yang
luas dan tampilan perjalanan yang beragam sehingga sering terjadi kekeliruan
dalam mengenali penyakit Lupus serta keterlambatan dalam mengdiagnosis
kasus penyakit. Beberapa faktor resiko penyakit LES, yaitu faktor genetik,
faktor lingkungan, dan faktor hormonal.
Berdasarkan latar belakang di atas, pembahasan secara lengkap dan
mendalam mengenai Systemic Lupus Erythematosus serta cara menegakkan
diagnosis Systemic Lupus Erythematosus diperlukan untuk meningkatkan
pemahaman penyakit tersebut di masyarakat.
BAB II
ISI

2.1 Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit
autoimun pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun
menyerang jaringan tubuh sendiri(2). Pada SLE ini, sistem imun terutama
menyerang inti sel (Matt, 2003 dalam Roviati, 2012)(1). Menurut dokter
umum Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy
Qimindra (2008) , Lupus atau SLE berasal dari bahasa latin yang berarti
anjing hutan. Istilah ini mulai dikenal sejak abad ke-10. Sedang
eritematosus berarti merah. Ini untuk menggambarkan ruam merah pada
kulit yang menyerupai gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan pipi.
Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit
Systemic Lupus Erythematosus(1).
Gejala awalnya sering memberikan keluhan rasa nyeri di
persendian. Tak hanya itu, seluruh organ pun tubuh terasa sakit bahkan
terjadi kelainan pada kulit, serta tak jarang tubuh menjadi lelah
berkepanjangan dan sensitif terhadap sinar matahari. Dikatakan Qimindra,
batasan penyakit ini adalah penyakit autoimun, sistemik, kronik, yang
ditandai dengan berbagai macam antibodi tubuh yang membentuk
komplek imun, sehingga menimbulkan reaksi peradangan di seluruh tubuh.
Autoimun maksudnya, tubuh penderita lupus membentuk daya tahan tubuh
(antibodi) tetapi salah arah, dengan merusak organ tubuh sendiri, seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah dan lain-lain. Padahal antibodi seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri atau virus yang masuk tubuh(1).
Sedangkan sistemik memiliki arti bahwa penyakit ini menyerang hampir
seluruh organ tubuh. Sementara kronis, maksudnya adalah sakit lupus ini
bisa berkepanjangan, kadang ada periode tenang lalu tiba-tiba kambuh
lagi. Penyakit lupus lebih banyak menyerang wanita usia 15-45 tahun
dengan perbandingan mengenai perempuan antara 10-15 kali lebih sering
dari pria. Artinya, penyakit ini sering mengenai wanita usia produktif
tetapi jarang menyerang laki-laki dan usia lanjut. Sebetulnya terdapat tiga
jenis penyakit lupus, yaitu lupus diskoid, lupus terinduksi obat dan lupus
sistemik atau SLE ini.

2.2 Epidemiologi
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau lupus adalah salah
satu dari penyakit autoimun yang menyerang sistem imun pada jaringan
tubuh yang mempengaruhi imunitas humoral dan selular. Penyakit lupus
bukanlah penyakit yang menular namun termasuk penyakit yang mematikan.
Berdasarkan data dari SIRS Online pada tahun 2016 terdapat 2.116 pasisen
menderita penyakit lupus dan 550 pasien meninggal dunia. Penyakit lupus
sulit dideteksi karena gejalanya mirip dengan penyakit lain, sehingga dalam
proses pemeriksaan dalam rangka menegakkan diagnosa yang tepat
membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 6-12 bulan. Proses
pemeriksaan yang lama juga dapat mengakibatkan penyebaran penyakit ke
organ vital.

Penyakit Systemic Lupus Erythematosus dapat menyebabkan


peradangan jaringan dan masalah pembuluh darah yang parah di hampir
semua bagian tubuh, terutama menyerang organ ginjal. Jaringan yang ada
pada ginjal, termasuk pembuluh darah dan membran yang mengelilinginya
mengalami pembengkakan dan menyimpan bahan kimia yang diproduksi oleh
tubuh yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini menyebabkan ginjal
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penderita biasanya tidak
menyadari adanya gangguan pada ginjalnya, hingga kerusakannya menjadi
parah. Peradangan pada penderita Systemic Lupus Erythematosus juga dapat
terjadi pada selaput dalam, selaput luar dan otot jantung. Jantung dapat
terpengaruh meskipun tidak pernah mengalami gejala gangguan jantung.
Masalah yang paling umum adalah terjadi pembengkakan pada endokardium
dan katup jantung. Penyakit Systemic Lupus Erythematosus juga
menyebabkan peradangan dan kerusakan kulit berupa ruam merah terutama
dibagian pipi dan hidung.
Hampir seluruh penderita Systemic Lupus Erythematosus
mengalami rasa sakit dan peradangan sendi. Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus dapat mempengaruhi semua jenis sendi, namun yang paling
umum adalah tangan, pergelangan tangan dan lutut. Terkadang sendi-sendi
mengalami pembengkakan. Selain itu, otot juga tidak luput dari serangan
Systemic Lupus Erythematosus. Biasanya penderita mengeluhkan rasa sakit
dan melemahnya otot-otot atau jaringan otot mengalami embengkakan. Pada
stadium lanjut, Systemic Lupus Erythematosus dapat menyebabkan kematian
tulang yang disebut dengan osteonekrosis, yang dapat menyebabkan cacat
yang serius.

Penyakit Systemic Lupus Erythematosus dapat menyerang sistem


syaraf dengan gejala sakit kepala, pembuluh darah di kepala yang tidak
normal dan organic brain syndrom, yaitu masalah serius pada memori,
konsentrasi dan emosi serta halusinasi. Selain itu, serangan pada paru-paru
dan darah juga biasanya terjadi. Masalah pada jantung dapat berupa
peradangan, perdarahan, penggumpalan darah pada arteri, serta kontraksi
pembuluh darah, pembengkakan paru-paru. Sedangkan penurunan jumlah sel
darah merah dan sel darah putih sehingga menyebabkan anemia.

Pada kasus penyakit lanjut, sering didapatkan adanya cairan di rongga


paru dan rongga jantung yang menyebabkan penderita sesak nafas. Gejala ini
mirip dengan penyakit jantung kronis atau penyakit paru-paru kronis,
sehingga menyebabkan penderita sesak nafas. Gejala ini mirip dengan
penyakit jantung kronis atau penyakit paru-paru kronis, sehingga
menyebabkan salah diagnosa dan berakhir dengan kematian. Organ lain yang
juga diserang adalah sistem saraf penderita sehingga berakibat penderita
merasa kesemutan dan dapat mengalami kelumpuhan(1).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


2.4 Patogenesis
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit multigenic,
yang artinya terdapat banyak gen yang terlibat pada pathogenesis sehingga
menyebabkan manifestasi pada setiap populasi beragam yang kemudian
dibuktikan pada studi famili penderita SLE. Risiko kembar monozigot menderita
SLE sebesar 54-57%, sedangkan kembar dizigot 2-5% (Crow, 2017). Risiko
munculnya pada suatu individu didasari oleh munculnya gen yang multigenik dan
faktor lingkungan, seperti sinar matahari, infeksi, sinar UV atau hormonal.
Walaupun begitu, secara umum masih banyak yang belum diketahui bagaimana
faktor lingkungan berperan dalam menyebabkannya SLE, tetapi tetap saja faktor
lingkungan memegang peranan besar dalam terjadinya SLE.
Salah satu faktor lingkungan adalah sinar UV. Sinar UV memiliki banyak
efek terhadap sel kulit, salah satunya adalah merusak rantai DNA yang kemudian
mengakibatkan perubahan ekspresi gen atau apoptosis, atau nekrosis sel.
Walaupun sel yang rusak tidak mengalami kematian sel, tetapi kerusakan rantai
DNA dapat berperan sebagai antigen yang menstimulasi respon imun. Telah
dibuktikan bahwa pasien SLE yang mengalami gejala fotosensitif yang
berhubungan autoantibodi tersebut, ultraviolet mampu menyebabkan apoptosis
dan merangsang proses produksi IFN yang mengaktifkan sistem imun dengan
memicu terbentuknya kompleks imun dan aktivasi sel imun (Bertsias, 2017).
Selain itu, faktor genetik juga merupakan fakto yang sangat penting dalam
mendasari patogenesis SLE. Major histocompatibility complex (MHC) merupakan
gen yang padat aktif melakukan transkripsi yang terletak di kromosom
chromosome 6p21.3 (Ramos et al., 2010). MHC yang terdiri dari klas I dan klas II
merupakan gen yang konsisten sebagai faktor risiko terhadap penyakit SLE
terutama pada populasi kaukasian. Pada alel ini, seseorang akan beresiko SLE
sebanyak dua hingga tiga kali lipat (Tsao & Wu, 2007). Sedangkan alel HLA-DQ
dan -DR diduga kuat berhubungan dengan sintesis autoantibodi (Fernando et al.,
2007). Penyebab SLE bukanlah gen tunggal, tetapi suatu penyakit yang
didasarkan dengan multi genetik, seperti tumor necrosis factor α (TNF or TNFA),
PTPN22, interferon, sitokin, gen superkiller viralicidic activity 2 (SKIV2l) yang
sangat banyak terekspresi pada Sel T, B, dan dendritik. Meskipun banyak studi
yang menyimpulkan bahwa gen yang mendasari penyakit SLE ini adalah
multigenik, tetapi ada beberapa studi yang juga melaporkan SLE dapat
ditimbulkan oleh gen tunggal, seperti complement component 1q (C1q)
subcomponent A (C1QA), C1QB, C1QC, three-prime repair exonuclease 1
(TREX1), atau deoxyribonuclease 1-like 3 (DNASE1L3). Gen-gen ini berperan
dalam menimbulkan disregulasi sistem imun dan setiap individu mempunyai
variasi genetik yang menyebabkan perbedaan dalam manifestasi klinik, aktivitas
penyakit, morbiditas, motralitas, dan prevalensi. (Lahita, 2004; Rus et al., 2007).
Badai sitokin juga penting dalam memicu disregulasi sistem imun sebelum
terbentuknya autoantibodi, diduga tidak mutlak adanya autoantibodi dan
kompleks imun saja yang mendasari patogenesis SLE.
Berkembangnya penelitian tentang single nucleotide polymorphisms
(SNPs) membuat penemuan varian-varian genetik pada SLE semakin pesat. Data
dari studi asosiasi genome menunjukkan bahwa polimorfisme dalam sebanyak 50
gen berkontribusi terhadap kerentanan SLE (Crow, 2017). Penelitian terbaru
berfokus pada gen yang terkait dengan reseptor Tolllike (TLRs), interferon tipe I,
jalur regulasi imun, dan pembersihan kompleks imun yang berhubungan dengan
SLE. Berbagai macam varian gen tersebut memproduksi jenis protein tertentu
yang dapat memengaruhi dan mengubah fungsi sistem imun. Hal ini
membuktikan bahwa sistem imun berkontribusi signifkan terhadap terjadinya
inflamasi dan kerusakan organ luas pada penyakit SLE. Seperti halnya dengan
aktivasi sistem imun oleh suatu antigen asing, gen yang terkait SLE dapat
memproduksi suatu protein tertentu yang bertindak sebagai self-antigen dan
mengaktifkan respons imunitas bawaan maupun adaptif (De Azevêdo et al.,
2014).
2.5 Diagnosis
2.6 Diagnosis Banding
Dalam melakukan diagnosis banding Systemic Lupus Erythematosus ada
beberapa hal yang harus diperhatikan. Hal tersebut terjadi karena beberapa
penyakit memiliki gambaran klinis yang mirip dengan Systemic Lupus
Erythematosus, seperti Rheumatoid Arthritis, Lupus imbas obat, Undifferentiated
Connective Tissue Diseases (UCTD) dan Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD), serta vasculitis. Penyakit-penyakit diatas memiliki gambaran klinis yang
mirip dengan Systemic Lupus Erythematosus, sehingga perlu diperhatikan dalam
melakukan diagnosis banding.
Rheumatoid Arthritis merupakan kondisi autoimun di mana sistem
kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat dan menyebabkan peradangan dalam
tubuh. Menurut sebuah artikel (2018), sindrom rhupus adalah kejadian langka dan
hanya mempengaruhi 0,09% orang. Rheumatoid Arthritis menyebabkan sistem
kekebalan menyerang lapisan yang menutupi sendi/sinovium, hal ini
menyebabkan peradangan dan mencegah sinovium bekerja dengan benar untuk
memberi pelumas pada sendi. Mengakibatkan persendian rusak dan menjadi tidak
stabil, menyebabkan nyeri dan kaku, serta gerakan normal menjadi terbatas.
Systemic Lupus Erythematosus dan Rheumatoid Arthritis umumnya
mempengaruhi sendi yang sama, biasanya merupakan sendi yang lebih kecil di
tubuh (jari tangan, pergelangan tangan, lutut, pergelangan kaki, dan jari kaki), dan
biasanya akan mengalami nyeri pada kedua sendi pergelangan tangan. Perbedaan
antara Systemic Lupus Erythematosus dan Rheumatoid Arthritis adalah Systemic
Lupus Erythematosus dapat mempengaruhi kulit, lalu ruamnya membentuk kupu-
kupu di pipi dan hidung, dapat mempengaruhi organ dalam (seperti ginjal, paru-
paru, dan jantung). Sedangkan Rheumatoid Arthritis biasanya tidak
mempengaruhi kulit, dan juga meskipun Rheumatoid Arthritis dapat
mempengaruhi organ dalam namun biasanya tidak mempengaruhi ginjal, gejala
utamanya adalah nyeri sendi dan kaku. Meskipun Systemic Lupus Erythematosus
dan Rheumatoid Arthritis memiliki beberapa gejala yang sama namun juga ada
perbedaannya.
Lupus imbas obat adalah gangguan autoimun yang disebabkan oleh reaksi
terhadap obat-obatan tertentu, dua obat yang paling sering dikaitkan adalah
procainamide dan hydralazine. Gejala yang ditimbulkan mirip dengan kondisi
Systemic Lupus Erythematosus, namun cenderung lebih ringan dan organ dalam
tidak terpengaruh. Lupus ini bersifat reversible. Lupus imbas obat memiliki
beberapa gejala yang sama dengan Systemic Lupus Erythematosus, seperti nyeri,
rasa sakit di sekitar jantung atau paru-paru (menyerang organ dalam), ruam kulit
merah meradang dan gatal yang dipicu oleh sinar matahari, dan sebagainya.
Namun ada beberapa perbedaan gejala antara keduanya. Lupus jenis ini akan
membaik setelah berhenti minum obat sehingga tidak diperlukan perawatan
jangka Panjang, hindari sinar matahari jika timbul ruam kulit.
Menurut M.Mosca (2006) Undifferentiated Connective Tissue Diseases
(UCTD) adalah kondisi autoimun sistemik yang ditandai dengan profil klinis
ringan dan repertoar autoimun yang disederhanakan, kondisi ini umumnya tidak
membahayakan(3). Umumnya digunakan untuk menggambarkan entitas klinis
tetapi tidak memenuhi kriteria untuk penyakit jaringan ikat (CTDs) yang
ditentukan. Undifferentiated Connective Tissue Diseases merupakan pasien
Systemic Lupus Erythematosus yang juga memiliki gejala penyakit autoimun lain
namun belum lengkap untuk didiagnosis penyakit autoimun tertentu, sama halnya
dengan Mixed Connective Tissue Disease (MCTD). Mixed Connective Tissue
Disease (MCTD) menunjukkan kombinasi tanda dan gejala penyakit autoimun
terutama lupus, scleroderma, dan polimiositis. MCTD adalah kelainan autoimun
yang langka, gejalanya sama seperti Systemic Lupus Erythematosus namun ada
beberapa yang berbeda.
Salah satu bentuk dari Systemic Lupus Erythematosus adalah vaskulitis.
Vaskulitis adalah peradangan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan perubahan pada dinding pembuluh darah, perubahan ini mengganggu
aliran darah yang normal dan menyebabkan gangguan pada beberapa organ tubuh.
Vaskulitis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang pembuluh darah
sendiri, diduga vaskulitis disebabkan oleh: penyakit autoimun (seperti rheumatoid
arthritis, lupus, atau scleroderma), reaksi alergi terhadap penggunaan obat-obatan
tertentu, reaksi terhadap infeksi, dan kanker darah. Gejala umum vasculitis antara
lain: pegal-pegal, kelelahan, kehilangan nafsu makan, ruam pada kulit, dan lain
sebagainya.

2.7 Penatalaksanaan/manajemen
Berdasarkan jurnal erepo UNUD,hingga saat ini belum ditemukan
pengobatan secara lebih spesifik yang dapat menyembuhkan LES.Meskipun
demikian, klinisi dapat memberikan penanganan untuk mengurangi dan
membantu meringankan gejala LES pada pasien serta mencegah terjadinya
kerusakan organ(4). Pada pasien yang memiliki keluhan disertai rasa
letih,nyeri di bagian tubuh tertentu dan autoantibodi yang disebabkan oleh
LES namun tanpa keterlibatan organ mayor,manajemen dapat difokuskan
untuk mengurangi keluhan pasien.Analgesik dan antimalaria merupakan
pengobatan yang umum diberikan kepada pasien.NSAID dikatakan
bermanfaat sebagai analgesik/anti-inflamasi terutama pada
arthriris/arthralgia.Meskipun demikian,penggunaanya berkaitan dengan dua
permasalahan yaitu:
(1) Pasien LES memiliki resiko meningitis aseptik akibat NSAID yang
lebih tinggi dibandingkan populasi umum
(2) Semua NSAID, khususnya yang menghambat cylooxigenase-
2,dapat meningkatkan resiko infark miokard.
Pengobatan anti malaria (hydroxychloroquine, chloroquine, dan
quinacrine) pada umumnya dapat mengurangi dermatitis, arthritis dan rasa
letih.

Perlu diketahui juga penderita LES sebelum diberi pengobatan,harus ada


keputusan dari dokter apakah penderita tergolong yang butuh terapi
konservatif atau imunosupresif yang agresif.Pada umumnya,penderita LES
yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan
organ akan diterapi secara konservatif.Bila penyakit ini mengancam nyawa
dan menyerang organ-organ penting,perlu adanya pertimbangan untuk
penanganan melalui terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya.

Penatalaksanaan juga dapat dilaksanakan dengan melakukan beberapa


perubahan gaya hidup untuk memperbaiki kualitas hidup yaitu,hindari
aktivitas fisik yang berlebihan,hindari stres dan trauma fisik,hindari
perubahan cuaca karena memengaruhi proses inflamasi,hindari pemakaian
obat dan kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dan yang terpenting
selalu melakukan kontrol dan minum obat secara teratur.

Dikutip juga dari jurnal UMS, penyakit ini juga menyebabkan


problematika dibidang fisioterapi.Dalam hal penatalaksanaan juga dapat
digunaka melalui modalitas berupa IRR (Infra Red Radiation), ES (Electrical
Stimulation) arus interverensial, dan exercise. Pada kasus LES terhadap
penurunan nyeri,kualitas kinetik dan aktivitas fungsional pasien.Setelah
dilakukan terapi selama 4 kali maka hasil yang didapat adalah penurunan
nyeri,peningkatan lingkup gerak sendi dan kemampuan pasien dalam aktivitas
fungsional.

2.8 Komplikasi

Lupus Eritematosus Sistemik dapat menyerang semua organ yang ada di


tubuh kita sehinggga dapat memicu beberapa komplikasi. LSE ini
menyebabkan beberapa komplikasi seperti :

1. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi yang sering terjadi pada bagian ini


adalah pericarditis dan Libman-Sacks endocarditis
2. Komplikasi osteoarticular, yaitu osteoporosis, rheumatoid arthritis,
jaccoud arthropathy, rhupus, osteoporosis, dan fraktur tulang
3. Hematologik, yaitu anemia, leukopenia, leukositosis, trombositopenia, dan
trombosistosis
4. Komplikasi otot, yaitu kelemahan otot, myalgia, dan franc myositis
5. Komplikasi paru-paru, seperti pneumonia, perdarahan alveolus, dan
hipertensi pulmonal
6. Komplikasi gastrointestinal, seperti sakit perut, nausea dan muntah,
anorexia, dan sindrom iritasi usus besar
7. Komplikasi ginjal

2.9 Pencegahan
Minimnya tingkat pengetahuan pasien dengan SLE, maka akan
dikhawatirkan status perkembangan penyakitnya pun akan berada pada level
yang buruk akibat ketidaktahuan tentang apa saja yang harus diperhatikan
pada penyakit SLE ini. Maka dari itu, dibutuhkan suatu kajian mengenai
peran self regulation sebagai bagian dari terapi pada SLE yang dapat
dilakukan oleh pasien dalam rangka mengurangi efek negatif yang akan
muncul dari penyakit SLE ini.
Penerapan program self management ini pada pasien, salah satunya
adalah penyakit SLE. Telah terbukti bahwa program self management
memiliki efek dalam mengurangi kondisi fatigue dan depresi, serta dapat
meningkatkan kemampuan koping dan self efficacy. Oleh karena itu, self
management dapat menjadi suatu intervensi terbaik untuk pasien.

Integrasi self management pada perawatan pasien dengan SLE


mempunyai efek positif, yaitu hasil klinis yang membaik, mengurangi
pengeluaran dana, dan peningkatan kualitas hidup. Hasil klinis yang membaik
dapat menjadi salah satu indikator keberhasilan dari suatu program self
management pada penyakit kronis. Hal ini dapat terjadi karena dengan
meningkatnya kemampuan pasien untuk mengatur kondisi penyakit dan
kesehatan, maka akan semakin berkurang juga untuk ke pusat pelayanan
kesehatan. Peningkatan kualitas hidup merupakan efek yang dapat timbul
dengan semakin membaiknya dan semakin meningkatnya kemampuan pasien
dalam self management.

Edukasi tentang beberapa hal seperti menjelaskan mengenai


penyakit yang dialami meliputi penyebab, faktor risiko, pencegahan, dan
pengobatan akan diberikan. Memberikan edukasi pasien pentingnya taat
terhadap pengobatan sesuai anjuran dokter. Menjaga kebersihan masing-
masing individu dengan mandi teratur dan rajin mengganti pakaian.
Menghindari menggaruk-garuk lesi secara berlebihan dikhawatirkan
menyebabkan timbulnya port d entreinfeksi sekunder. Menghimbau pasien
untuk mengompres lesi dengan kassa yang direndam dalam cairan steril
setiap sehabis mandi pagi dan mandi sore selama 20 menit, setelah itu
baru memberi salep pada lesi. Menjelaskan tentang penggantian sabun
mandi menjadi sabun mandi yang lebih mild seperti sabun bayi.
Memberi edukasi agar pasien mengontrol evaluasi hasil pengobatan.

2.10 Prognosis
Sytemic Lupus Erythematosus (SLE) memiliki prognosis yang sangat
bervariasi sesuai dengan patofisiologi dan perjalanan penyakit pengidapnya.
Reaksi imun akibat SLE dapat menyebabkan komplikasi pada organ-organ
mulai dari yang ringan seperti kulit hingga organ vital seperti jantung, paru-
paru, dan otak.

Kelangsungan hidup pasien dihitung mulai dari saat diagnosis SLE.


Penyebab kematian ditentukan berdasarkan data klinis dan dianggap sebagai
peristiwa patologis. Resiko kematian dengan penyakit SLE dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu adanya riwayat penyakit seperti penyakit kardiovaskular
dan penyakit ginjal, jenis kelamin, usia, dan status sosial ekonomi. Pasien SLE
dengan penyakit kardiovaskular memiliki resiko kematian yang meningkat
tajam diperkirakan 2 hingga 10 kali lipat dibandingkan dengan pasien SLE
saja. Peningkatan risiko kardiovaskular sebelum diagnosis dapat disebabkan
oleh keterlambatan diagnosis SLE dan peradangan autoimun aktif yang
mempercepat penyakit kardiovaskular yang dimulai pada awal SLE. Pasien
SLE pria beresiko lebih tinggi dibandingkan wanita serta pasien yang lebih
muda memiliki resiko lebih tinggi dari pasien pada umumnya. Sebuah
penelitian dari University of California Lupus Outcomes Study membuktikan
bahwa pendidikan rendah juga akan meningkatkan resiko kematian.

Prognosis lupus eritematosus sistemik (SLE) telah meningkat dari


kurang dari 50% kelangsungan hidup 5 tahun pada tahun 1955 ke lebih dari
90% kelangsungan hidup 10 tahun dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa
faktor dapat berkontribusi pada peningkatan tingkat kelangsungan hidup pada
pasien dengan SLE, termasuk perbaikan klasifikasi pasien, diagnosis lebih
awal, dimasukkannya kasus yang lebih ringan, skema pengobatan yang lebih
intensif seperti penggunaan agen sitotoksik/imunosupresif, denyut nadi tinggi,
dosis prednison, dan kemajuan dalam pengobatan hipertensi, infeksi, dan gagal
ginjal, termasuk dialysis dan transplantasi ginjal.

Terapi dan kontrol rutin yang dilakukan oleh pasien SLE diharapkan
dapat meningkatkan keberlangsungan hidup lebih dari 10 tahun dan
menurunkan tingkat resiko kematian akibat Systemic Lupus Erythematosus.

BAB III
KESIMPULAN
1. Roviati E. Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun
Bawaan Yang Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Sci Educ. 2012;1
edisi 2.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Lupus di Indonesia.
Pusat Data dan Informasi Kementeri Kesehat RI. Infodatin. 2017;
3. M M. “Undifferentiated connective tissue diseases (UCTD).” Autoimmun
Rev vol 6, no 1, 2006, pp 1-4 Sci
https//www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1568997206000358
Accessed 16 Agustus 2022. 2006;
4. M.A.S. D. Lupus Eritematosus Sistemik. Erepo.unud.ac.id. 2019;

DAFTAR PUSTAKA

Fajriansyah, Najirman. 2019. Lupus Eritematosus Sistemik pada Pria. Jurnal


Kesehatan Andalas. 8(3):750-754

K. Chen, S., Karen H. Costenbader. 2019. Prognosis and Mortality of SLE.


doi:10.1016/B978-0-323-47927-1.00062-1

Doria, A., dkk. 2006. Long-Term Prognosis and Causes of Death in Systemic
Lupus Erythematosus. The American Journal of Medicine. 119(8), 0–
706. doi:10.1016/j.amjmed.2005.11.034 

Zucchi D, Elefante E, Schilirò D, Signorini V, Trentin F, Bortoluzzi A, Tani C.


One year in review 2022: systemic lupus erythematosus. Clin Exp
Rheumatol. 2022 Jan;40(1):4-14.

Infodatin, Infodatin Lupus di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementeri


Kesehat RI. Published online 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017.
Fatmawati, A. (2018). Regulasi Diri pada Penyakit Kronis-Systematic Lupus
Erythematosus. Jurnal Keperawatan Indonesia, 21, 43-50.
Rena Roy, A. I. (2021).. Jurnal Kesehatan Tambusi, 2, 40-46.
Vincent Ki, C. R. (2008). Bacterial Skin and Soft Tissue. Can J Infect Dis Med
Microbiology, 19, 173-184.
Damayanti M.A.S. 2019. Lupus Eritematosus Sistemik. Erepo.unud.ac.id
Saputri F.H. 2017. Penatalaksanaan fisioterapi pada pasien dengan systemic
lupus erithematosus di rsud dr. Moewardi surakarta. eprints.ums.ac.id.
Siti Azifatul Laeli, Karyono Karyono. Pengalaman Sakit Pada Penderita Lupus:
Interpretative Phenomenological Analysis. Jurnal Empati.
2017;5(3):566-571.

Ramalia Noratama Putri, Debi Setiawan. Prediksi Penyakit Systemic Lupus


Erythematosus Menggunakan Algoritma Genetika. Jurnal Teknologi
Informasi dan Komunikasi. 2021. Tersedia dari :
https://doi.org/10.31849/digitalzone.v12i1.5973

“Ini Bedanya Lupus dan Rheumatoid Arthritis.” Lifestyle, 25 June 2021,

https://lifestyle.bisnis.com/read/20210625/106/1409911/ini-bedanya-

lupus-dan-rheumatoid-arthritis. Accessed 16 August 2022.

.M, Mosca,. “Undifferentiated connective tissue diseases (UCTD).” Autoimmunity

Reviews, vol. 6, no. 1, 2006, pp. 1-4. ScienceDirect,

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1568997206000358.

Accessed 16 Agustus 2022.

“Mengapa Konsumsi Obat Bisa Sebabkan Lupus?” Halodoc, 9 December 2019,

https://www.halodoc.com/artikel/mengapa-konsumsi-obat-bisa-

sebabkan-lupus. Accessed 16 August 2022.

“Mixed Connective Tissue Disease Adalah? - Tanda, Penyebab, Gejala, Cara


Mengobati.” HonestDocs, 30 April 2019,
https://www.honestdocs.id/penyakit-jaringan-ikat-campuran. Accessed
16 August 2022.
Shaharir, Madya Dr Syahrul Sazliyana. "Merungkai Misteri Penyakit “Systemic
Lupus Erythematosus”(SLE): Sempena Sambutan Hari Lupus Sedunia
10 Mei Merungkai Misteri Penyakit “Systemic Lupus
Erythematosus”(SLE)."
Army, Saniyyah, et al. "Hubungan Derajat Aktivitas Penyakit Dengan
Fibromialgia Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Di
Komunitas Odapus Lampung."

Iftimie, G, Stoian AP, Socea B, Motofei B, Marcu D, Costache RS, Diaconu C.


2018. Complications of Systemic Lupus Erythematosus: A Review.
121(3), Romanian Journal of Military Medicine. Research Gate.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2019. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. Edisi revisi, Perhimpunan Reumatologi
Indonesia. Jakarta.

Yuliasih. 2020. Perkembangan Patogenesis dan Tata Laksana Systemic Lupus


Erythematosus.

Tanzilia, M. F., Tambunan, B. A., Dewi, D. N. S. S. 2021. Patogenesis dan


Diagnosis Sistemik Lupus Eritematosus. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan, 11(2).

1. Roviati E. Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun


Bawaan Yang Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Sci Educ. 2012;1
edisi 2.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Lupus di Indonesia.
Pusat Data dan Informasi Kementeri Kesehat RI. Infodatin. 2017;
3. M M. “Undifferentiated connective tissue diseases (UCTD).” Autoimmun
Rev vol 6, no 1, 2006, pp 1-4 Sci
https//www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1568997206000358
Accessed 16 Agustus 2022. 2006;
4. M.A.S. D. Lupus Eritematosus Sistemik. Erepo.unud.ac.id. 2019;

Anda mungkin juga menyukai