Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN STUDI KASUS

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MAKASSAR

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN NON

SPESIFIK Et Causa SCOLIOSIS

OLEH :

AYU RENSI AMBABUNGA PO.71.4.241.19.4.010


NURNANENGSIH PO.71.4.241.19.4.022
MUH. ILHAM NUR PO.71.4.241.19.4.032
RATNA RIANTI PO.71.4.241.19.4.036
AULIA MASITA PO.71.4.241.21.2.004
SRI WAHYUNINGSIH PO.71.4.241.21.2.010

DIV FISIOTERAPI
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV
JURUSAN FISIOTERAPI
TAHUN 2022
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang Maha Esa karena dengan

rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan Laporan Studi

Kasus yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Low Back Pain Non

Spesifik Et Causa Scoliosis” yang disusun untuk memenuhi persyaratan dalam

menyelesaikan ”Praktik FT. Komprehensif ”.

Penyusun berharap Laporan ini dapat berguna dalam rangka menambah

wawasan serta pengetahuan kita. Penyusun juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam

ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penyusun berharap

adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan laporan kasus yang telah dibuat dimasa

yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu sempurna tanpa saran yang membangun.

Makassar, 22 Agustus 2022

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................Error! Bookmark not defined.


KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG............................................................................................1
B. TUJUAN PENULISAN.........................................................................................3
C. MANFAAT PENULISAN.....................................................................................3
BAB II TINJAUAN KASUS............................................................................................5
A. TINJAUAN ANATOMI BIOMEKANIK..............................................................5
B. TINJAUAN TENTANG LOW BACK PAIN ET CAUSA SCOLIOSIS............14
BAB III TINJAUAN ASESMEN DAN INTERVENSI FISIOTERAPI........................19
A. TINJAUAN TENTANG ASESMEN FISIOTERAPI..........................................19
B. TINJAUAN TENTANG INTERVENSI FISIOTERAPI.....................................22
BAB IV PROSES ASSESSMEN FISIOTERAPI...........................................................30
A. IDENTITAS PASIEN..........................................................................................30
B. HISTORY TAKING............................................................................................30
C. INSPEKSI/OBSERVASI.....................................................................................31
D. REGIONAL SCREENING TEST........................................................................31
E. PEMERIKSAAN GERAK...................................................................................31
F. PEMERIKSAAN SPESIFIK................................................................................32
G. PENGUKURAN FISIOTERAPI.........................................................................32
H. DIAGNOSA FISIOTERAPI................................................................................39
I. PROBLEMATIK FISIOTERAPI.........................................................................39
BAB V PROSEDUR INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI.......................41
A. RENCANA INTERVENSI FISIOTERAPI.........................................................41
B. STRATEGI INTERVENSI FISIOTERAPI.........................................................41
C. PROSEDUR PELAKSANAAN INTERVENSI FISIOTERAPI.........................42
D. EDUKASI DAN HOME PROGRAM.................................................................45
E. EVALUASI FISIOTERAPI.................................................................................45
BAB VI PEMBAHASAN...............................................................................................46

iv
A. PEMBAHASAN ASSESSMENT FISIOTERAPI...............................................46
B. PEMBAHASAN INTERVENSI FISIOTERAPI (KAITANNYA DENGAN
CLINICAL REASONING).........................................................................................48
BAB VII PENUTUP.......................................................................................................60
A. KESIMPULAN....................................................................................................60
B. SARAN.................................................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................62

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Skoliosis merupakan kelainan postur dimana sekilas mata penderita tidak

mengeluh sakit atau yang lain, tetapi suatu saat dalam posisi yang dibutuhkan

suatu kesiapan tubuh membawa beban tubuh misalnya berdiri, duduk dalam

waktu yang lama, maka akan membuat kerja otot tidak akan pernah

seimbang. Hal ini dikarenakan akibat suatu mekanisme proteksi dari otot –

otot tulang belakang yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh

justru bekerja berlebihan dikarenakan pada salah satu sisi otot yang tidak

sempurna sehingga yang terjadi dalam waktu yang terus menerus adalah

ketidakseimbangan postur tubuh ke salah satu sisi tubuh. (Rosadi, 2009).

Skoliosis adalah kelainan yang paling umum terjadi pada tulang belakang.

Skoliosis didefinisikan sebagai kelengkungan dari lateral tulang belakang

0
yang derajatnya mencapai 10 atau lebih besar. (Hresko, 2013). Skoliosis bisa

terjadi secara fungsional atau struktural. Skoliosis fungsional (postural) bisa

disebabkan karena faktor selain keterlibatan tulang belakang, seperti nyeri,

postur yang buruk, panjang tungkai yang tidak sama, atau spasme otot yang

terjadi akibat herniasi dari diskus atau spondylolisthesis. Kurva yang muncul

dapat diperbaiki. Skoliosis fungsional dapat menjadi skoliosis struktural

apabila tidak ditangani dengan tepat. (Glanzman, 2009).

Prevalensi skoliosis di seluruh dunia mencapai 1% dari populasi. Skoliosis

menyerang 2-3% penduduk di US atau sekitar 7 juta orang. Pada tahun 2004,

berdasarkan data The American Academy of Orthopaedic Surgeons, sekitar

1.26 juta pasien dengan masalah gangguan tulang belakang di layanan

1
kesehatan, 93% diantaranya didiagnosis skoliosis. Klasifikasi secara garis

besar pada skolisis berdasarkan penyebabnya terdiri dari, idiopatik dan non-

idiopatik. Prevalensi skoliosis tertinggi terdapat pada klasifikasi idiopatik

sebesar 85% dengan 65% - 80% terjadi pada perempuan. Skoliosis idiopatik

pada remaja merupakan penyakit yang sering terjadi dengan prevalensi 0.47-

5.2% (Sengkey, 2016).

Skoliosis mengenai 2-3 persen dari populasi, atau menaksir 6 sampai 9

juta orang di Amerika Serikat. Skoliosis dapat terjadi pada masa pertumbuhan

atau diawal masa kanak-kanak. Bagaimanapun, usia pokok terjadinya

serangan skoliosis adalah 10 sampai 15 tahun, sama-sama terjadi diantara

kedua jenis kelamin, tetapi wanita 8 kali lebih besar untuk berkembang

menjadi kurva besar yang membutuhkan pengobatan. (Anon., 2016).

Daruwalla menemukan bahwa prevalensi skoliosis berdasarkan usia lebih

tinggi bagi para remaja daripada anak-anak: 0,12% di kelompok 6-7 tahun;

1,0% pada kelompok 11-12 tahun dan 3,12% pada kelompok usia 16-17

tahun (hanya anak perempuan yang diselidiki dalam kelompok kedua). Cilli

tidak menemukan hubungan yang signifikan antara bentuk kurva dengan

kelompok usia, tetapi hanya menyelidiki anak-anak dari kelompok usia 10-15

tahun. Di Jerman, Kamtsiuris menemukan prevalensi sebesar 6,5% pada usia

11-13 tahun dan sebesar 11,1% pada usia 14-17 tahun. Data ini menunjukkan

bahwa prevalensi yang lebih tinggi dari skoliosis pada pasien yang berusia

lebih tua dari 15 tahun (setelah pubertas) (Konieczny, 2013).

2
B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan umum

Untuk memahami hasil penatalaksanaan fisioterapi yang diterapkan pada

kasus low back pain et causa skoliosis.

2. Tujuan khusus

Penulis diharapkan mampu :


a. Melakukan pengumpulan data melalui anamnesa dan pemeriksaan

fisik yang dibutuhkan untuk mengetahui keadaan pasien secara

menyeluruh

b. Mengidentifikasi masalah atau diagnosa yang mungkin terjadi untuk

mengantisipasi penanganan kasus

c. Menyusun perencanaan penatalaksanaan fisioterapi secara

menyeluruh dengan tepat dan sesuai

d. Melaksanakan intervensi fisioterapi yang efektif dan efisien sesuai

kebutuhan pasien

C. MANFAAT PENULISAN

1. Bagi penulis

Untuk menambah pengetahuan tentang penatalaksanaan fisioterapi pada

skoliosis.

2. Bagi pendidikan

3
Dapat menambah informasi dan pengetahuan kesehatan, khususnya ilmu

kesehatan muskuloskeletal yang berkaitan dengan skoliosis. Serta dapat

menjadi bahan penelitian selanjutnya.

3. Bagi profesi fisioterapi

Dapat menjadi tolak ukur atau acuan dalam pemberian intervensi pada

pasien skoliosis.

4. Bagi masyarakat

Dapat memberikan manfaat dan pengetahuan untuk masyarakat luar

terhadap penanganan kasus skoliosis dan perawatannya secara mandiri di

rumah.

4
BAB II
TINJAUAN KASUS

A. TINJAUAN ANATOMI BIOMEKANIK

1. Anatomi

Spine atau tulang belakang merupakan suatu penopang tubuh yang

memanjang kebawah dari dasar tulang tengkorak hingga tulang panggul.

Tulang belakang tersusun dari 33 tulang yang biasa disebut vertebra .

Terdapat 33 tulang vertebrae yaitu 7 tulang cervical, 12 tulang thoracal,

5 tulang lumbal, 5 tulang sacral dan 4 tulang cogcygeal. Dari 4 bagian spinal

tersebut masing-masing memiliki kurva normal merupakanyang berbeda,

kurva normal pada area cervical dan lumbal ialah lordosis sedangkan area

thoracal dan sacral ialah kifosis (Lippert, 2006)

Thompsoon, J. C. (2002). Netter's Concise Orthopaedic Anatomy 2nd


Edition. Philadelpia: SAUNDERS Elsivier.
Gambar 2.1 TulangBelakang

5
a. Anatomi thoracal

Thoracal vertebra mempunyai struktur tulang yang lebih besar dan kuat dari

cervical vertebra, yang membedakan kelebihan pada thoracal vertebra adalah

facetnya yang bersendi dengan tulangrusuk. Gerakan pada region thorak dibatasi

oleh adanya persendian tulang rusuk dengan tulang sternum. (Tortora &

Derricson,2010).

Thompsoon, J. C. (2002). Netter's Concise Orthopaedic


Anatomy 2nd Edition. Philadelpia: SAUNDERS Elsivier.

Gambar 2.2 Thoracal Vertebrae

6
b. Anatomilumbalvertebrae

Thompsoon, J. C. (2002). Netter's Concise Orthopaedic Anatomy 2nd


Edition. Philadelpia: SAUNDERS Elsivier.
Gambar 2.3 lateral view

lumbar vertebrae (L1 sampai L5) adalah tulang vertebra yang tidak menyatu

yang paling besar dan kuat pada kolumn vertebra. Jenis bentuk proyeksinya

pendek dan tebal dan pada prosesus pinosusnya telah beradaptasi baik dengan

backmusclenya(Tortora&Derricson,2010).

7
c. Anatomivertebraesacral

Thompsoon, J. C. (2002). Netter's Concise Orthopaedic


Anatomy 2nd Edition. Philadelpia: SAUNDERSElsivier.

Gambar 2.4 Sacral (AnteriorView)

a. Anatomi otot

8
Tulang belakang memiliki banyak otot yang yang mendukung kerja tulang dalam

menjaga tubuh tetap stabil. Otot-otot tersebut di bagi menjadi 2 grup besar, yang

pertama yaitu otot-otot extrinsic yaitu otot-otot yang berada di lapisan paling luar, yang

ke dua otot- otot intrinsic yaitu otot-otot yang berada dibawah otot-otot extrinsic. Otot-

otot intrinsic dibagi menjadi 3, yakni intrinsic superfisial layer dan intrinsic intermediet

layer, dan deeplayer. Yang termasuk otot-otot extrinsic spine adalahm. levator scapula,

m. trapezius, m. latissimuss dorsi, m. Serratus posterior inferior, m. Serratus posterior

supperior.

Thompsoon, J. C. (2002). Netter's Concise Orthopaedic Anatomy


2nd Edition. Philadelpia: SAUNDERS Elsivier.

Gambar 2.6 Otot-ototExtrinsic

a. Anatomi otot-otot intrinsic

Otot-otot intrinsic ataui ntrinsic muscles dibagi menjadi 3 lapisan, lapisan luar atau

superficial layer, lapisan tengah atau intermediet layer, dan lapisan dalam atau deep

layer. Yang termasuk kelompok otot-otot superficial layaer ialah m. splenius capitis

dan m.splenius cervicis.

hompsoon, J. C. (2002). Netter's Concise Orthopaedic Anatomy2nd

9
Edition. Philadelpia: SAUNDERS Elsivier.
Gambar 2.7 Otot-ototintrinsic

Kemudianotot-ototyang termasuk kelompok intermediet layer ialahm.

iliocostalis cervicis, m. iliocostalis thoracis, longissimuss capitis, longissimuss cervicis,

longissimus thoracis, spinalis capitis, spinalis cervicis, spinalisthoracis.

Yang termasukotot-ototdeep layer adalah m. semispinalis capitis, semispinalis

cervicis, semispinalis thoracis, m. multifidusc(C2-C4), m. rotatores, m.

levatorcostarum, m. interspinosus, m. intertransversus(Thompsoon, 2002)..

b. Anatomi sendi dan ligamen

Ligamen merupakan jaringan lunak penghubung yang berfungsi sebagai stabilisasi

pasif saat kita bergerak. Berikut adalah ligamen-ligament pada tulang belakang

Ligamen-ligamen yang termasuk intervertbral ligament yaituanterior longitudinal

ligament, posterior longitudinal ligament, ligamentum flavum, interspinosus ligament,

intertransversus ligament, supraspinosus ligament, ligamentum nuchae, dan

iliolumbaar ligament. Yang termasukligamen-ligamen costovertebral joint yaitu,

intraarticular ligament, costotransversus ligament, radiate ligament. Adapun

sendinyayaitu costovertebral yang terdiridarihead of the ribs dan thoracic vertebra dan

10
facet joint yaituantarasuperior articular prosses dan inferior articular prosses

(Thompsoon, 2002).

c. AnatomisarafSpinalcord

d. Bermula dari brain stem menjalar kebawah sampai conus medullaris (terminal pada

L1) spinal cord terletak di dalam spinal canal dimana dia terlindungi. Spinal cord

berlanjut menjadi terminale filum dan cauda equina (lumbar and sacral nerve roots)

di spinal canal. Spinal cord dilapisi dengan oleh beberapa membrane yaitu dura

mater, arachnoid mater, pia mater (Thompsoon,2002).

e. Thompsoon, J. C. (2002). Netter's Concise Orthopaedic Anatomy 2nd

Edition. Philadelpia: SAUNDERS Elsivier.

11
Gambar 2.1.1 Spinal nerve

Spinal nerve terdiri dari cervical nerve, thoracic nerve, lumbar nerve. Spinal nerve

mempersarafi baik autonomic system maupun somatic system. Penyebaran semua saraf

medula spinalis dimulai dari torakal satu sampai ketiga mempunyai cabang-cabang

saraf yang akan keluar membentuk pleksus dan ini akan membentuk saraf tepi yang

terdiri dari :

1) Pleksus servikalis

Suatu bagian yang dibentuk oleh cabang-cabang saraf servikalis anterior. Cabang

ini berkerja sama dengan saraf vagus dan nervus assesoris. Untuk otot leher dan

bahu. Saraf frenik padadiafragma.

2) Pleksus brakhialis

Suatu bagian yang dibentuk oleh persatuan cabang- cabang anterior dari saraf

servikal empat dan torakal satu. Sarap terpenting nervus medianus yaitu nervus

ulnaris radialis dan mempersarafi anggota gerak atas yaitu sensasi tangan dan fleksi

jari –jari.

3) Pleksus lumbalis

Terbentuk oleh serabut saraf dan torakal dua belas. Saraf terbesar yaitu nervus

femoralis dan nervus obturatoir. Untuk otot – otot tungkai bawah dan dinding

abdomen bawah

4) Pleksus sakralis

Dibentuk oleh saraf dari lumbal dan sakral, saraf skiatik yang merupakan saraf terbesar

keluar mempersarafi otot anggota gerak bawah setinggi vertebra lumbal satu yang

dikelingi dan dilindungi oleh tulang belakang Biomekanik vertebra lumbal.

Biomekanik adalah sendi tentang struktur dan fungsi dari sistem biologis dengan

mekanika. Ditinjau dari keluasan gerak sendinya termaksuk amphiartrosis (hyaline joint).

12
Adapun bidang geraknya antara lain bidang gerak sagital, trasversal dan frontal.

Sedangkan gerakan yang terjadi yaitu fleksi, ekstensi, rotasi dan lateral fleksi. (Kapanji,

2010).

a. Gerakan fleksi lumbal

Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis gerakan frontal. Sudut yang

normal gerakan fleksi lumbal sekitar 60°. Gerakan ini dilakukan oleh otot fleksor yaitu

otot recturabdominis dibantu oleh otot-otot esktensor spinal (Kapanji, 2010).

b. Gerakan ekstensi lumbal

Gerakan ini menempati bidang sagital dengan axis frontal, sudut ekstensi lumbal

sekitar 35°. Gerakan ini dilakukan oleh otot spinalis dorsi, otot longisimus dorsi dan

iliococstalis lumborum (kapanji, 2010).

c. Gerakan rotasi lumbal

Terjadi di bidang horizontal dengan aksis melalui processus spinosus dengan sudut

normal yang dibentuk 45° dengan otot pergerakan utama M. iliocostalis lumborum untuk

rotasi ipsi leteral dan kontra lateral, bila otot berkontraksi terjadi rotasi ke pihak

berlawanan oleh m. obliques eksternal abdominis. Gerakan ini dibatasi oleh rotasi

samping yang berlawanan dan ligamen interspinosus (Kapanji, 2010).

d. Gerakan lateral fleksi lumbal

Gerakan pada bidang frontal dan sudut normal yang di bentuk sekitar 30° dengan

otot pergerakan m. Abliques internus abomiminis, m rektus abdominis. Pada posisi

normal, seharusnya semua komponen struktur stabilitator terjadi harmonisasi gerak, yaitu

antara otot dan ligamen. Bagian lumbal mempunyai kebebesan yang besar sehingga

13
mempunyai kemungkinan cidera yang besar walaupun tulang-tulang vertebra dan

ligament di daerah punggung lebih kokoh (Cailliet, 2003). Posisi berdiri sudut normal

lumbosakral untuk laki-laki 30° dan wanita 34°. Semakin besar sudut lumbosacral,

semakin besar kurva lordosis, begitu pula sebaliknya (kepandji, 2010).

Gerakan fleksi trunk 50% juga berasal dari rotasi pelvis, demikian juga geraka dari

posisi membungkuk ke berdiri (fleksi-ekstensi) juga akan terjadi rotasi pelvis ke depan

yang diikuti ekstensi tulang belakang. Beban pergerakan dari fleksi 90° ke 45° akan

ditanggung oleh ligament sedangkan beban dari fleksi 45° ke posisi tegak akan di

tanggung oleh otot. Tekanan intra discus di daerah lumbal pada posisi tidur terlentang 20

kg. Tidur miring 75 kg, duduk tegak 175 kg, duduk membungkuk 190 kg. Jadi tekanan

intradiskus pada posisi tegak lebih rendah dari pada posisi membungkuk, dan tekanan

intradiskus yang paling kecil adalah posisi tidur terlentang (Cailliet, 2003).

B. TINJAUAN TENTANG LOW BACK PAIN ET CAUSA SCOLIOSIS

1. Definisi

Kata skoliosis berasal dari bahasa Yunani skolios yang berarti bengkok. Skoliosis

adalah kelainan tulang belakang yang berupa lengkungan ke samping/ lateral. Jika dilihat

dari belakang, tulang belakang pada skoliosis akan berbentuk seperti huruf “C” atau “S”

(Gambar 1). Definisi lain menyatakan bahwa skoliosis adalah sebuah tipe deviasi

postural dari tulang belakang dengan penyebab apapun, yang dicirikan oleh adanya kurva

lateral pada bidang frontal yang dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan rotasi

korpus vertebra pada bidang aksial dan sagital.

14
Skoliosis idiopatik.

Skoliosis idiopatik Adalah kasus skoliosis yang tidak diketahui penyebab

pastinya. Skoliosis idiopatik memang tidak diketahui penyebabnya tetapi faktor

genetik diduga memiliki peran dalam terjadinya skoliosis tipe ini. Skoliosis idiopatik

diderita sebanyak 80 persen dari jumlah penderita skoliosis.

Skoliosis degeneratif.

Skoliosis degeneratif adalah skoliosis yang terjadi akibat kerusakan bagian

tulang belakang secara perlahan-lahan. Skoliosis tipe ini sering terjadi pada orang

dewasa dikarenakan seiring bertambahnya usia beberapa bagian tulang belakang

menjadi lemah dan menyempit. Selain itu ada beberapa penyakit yang bisa

menyebabkan skoliosis degeneratif, seperti osteoporosis, penyakit Parkinson, motor

neurone disease, sklerosis multipel, dan kerusakan tulang belakang yang terjadi

akibat operasi.

Skoliosis kongenital.

Skoliosis kongenital atau bawaan adalah skoliosis yang disebabkan oleh

pertumbuhan tulang belakang yang tidak normal pada saat bayi masih dalam

kandungan. Akibatnya setelah lahir kondisi tulang belakang pada bayi sudah tidak

15
normal.

Skoliosis neuromuskular.

Skoliosis neuromuskular adalah skoliosis yang disebabkan oleh gangguan

persarafan dan otot seperti pada penyakit lumpuh otak atau distrofi otot. Persarafan

dan otot yang mengalami gangguan tersebut mengakibatkan otot-otot pada tulang

belakang menjadi lemah sehingga kondisi tulang belakang menjadi bengkok ke

samping.

klasifikasi skoliosis dari derajat kurva yang terbentuk 

 Scoliosis ringan : kurva kurang dari 20 o

 Scoliosis sedang : kurva 20 o – 40 o/50 o

 Scoliosis berat : lebih dari 40 o/50o

Pada kebanyakan kasus, pada mulanya penderita tidak merasakan adanya

gangguan, kemudian pada kondisi yang lebih parah baru dirasakan adanya ketidak

seimbangan posisi thorax, scapula yang menonjol pada satu sisi,

 posisi bahu yang tidak horizontal, panggul yang tidak simetris, dan kadang-

kadang penderita merasakan pegal-pegal pada daerah punggung.

2. Etiologi

Penyebab dan patogenesis skoliosis belum dapat ditentukan dengan pasti.

Kemungkinan penyebab pertama ialah genetik. Banyak studi klinis yang mendukung

pola pewarisan dominan autosomal, multifaktorial, atau X-linked. Penyebab kedua

ialah postur, yang mempengaruhi terjadinya skoliosis postural kongenital. Penyebab

ketiga ialah abnormalitas anatomi vertebra dimana lempeng epifisis pada sisi

kurvatura yang cekung menerima. tekanan tinggi yang abnormal sehingga mengurangi

16
pertumbuhan, sementara pada sisi yang cembung menerima tekanan lebih sedikit,

yang dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih cepat. Selain itu, arah rotasi

vertebra selalu menuju ke sisi cembung kurvatura, sehingga menyebabkan kolumna

anterior vertebra secara relatif menjadi terlalu panjang jika dibandingkan dengan

elemen-elemen posterior. Penyebab keempat ialah ketidakseimbangan dari kekuatan

dan massa kelompok otot di punggung. Abnormalitas yang ditemukan ialah

peningkatan serat otot tipe I pada sisi cembung dan penurunan jumlah serat otot tipe II

pada sisi cekung kurvatura. Selain itu, dari pemeriksaan EMG didapatkan peningkatan

aktivitas pada otot sisi cembung kurvatura ( Nachemson AL, 2015).

3. Tanda dan gejala

Tanda dan Gejala-gejala yang paling umum dari skoliosis ialah suatu lekukan

yang tidak normal dari tulang belakang. Skoliosis dapat menyebabkan kepala nampak

bergeser dari tengah atau satu pinggul atau pundak lebih tinggi daripada sisi

berlawanannya. Masalah yang dapat timbul akibat skoliosis ialah penurunan kualitas

hidup dan disabilitas, nyeri, deformitas yang mengganggu secara kosmetik, hambatan

fungsional, masalah paru, kemungkinan terjadinya progresifitas saat dewasa, dan

gangguan psikologis.

4. Patofisiologi

Kelainan bentuk tulang punggung yang disebut scoliosis berawal dari adanya

syaraf yang lemah atau bahakan lumpuh yang menarik ruas-ruas tulang belakang

tarikan ini berfungsi menarik tulang belakang berada pada garis yang normal yang

bentuknya seperti penggaris atau lurus. Tetapi suatu hal diantaranya kebiasaan duduk

yang miring membuat syaraf yang bekerja menjadi lemah. Bila ini terus berulang

menjadi kebiasaan maka syaraf itu bahkan mati. Ini berakibat pada keseimbangan

tarikan pada arus tulang belakang. Oleh karena itu tulang belakang yang menderita

17
scoliosis bengkok seperti huruf S dan C Duduk dengan mirirng kesamping akan

mengakibatkan suatu mekanisme proteksi dari otot tulang belakang untuk menjaga

keseimbangan, manifestasi yang terjadi justru overuse pada satu sisi otot dalam waktu

terus menerus dan hal yang sama terjadi adalah keseimbangan postur tubuh kesalah

satu sisi ( Romano,2012 ).

5. Gambaran Klinis

Pada Gambaran X Ray, akan nampak gambaran tulang belakang seakan membentuk huruf

”S” atau ”C” (tidak lurus). Menurut The Scoliosis Research Society, seseorang dikatakan

menderita Skoliosis bila pada pemeriksaan rontgen didapatkan kelengkungan tulang belakang

lebih dari 10º.

18
BAB III
TINJAUAN ASESMEN DAN INTERVENSI FISIOTERAPI

A. TINJAUAN TENTANG ASESMEN FISIOTERAPI

Dalam asuhan fisioterapi, maka asesmen merupakan unsur yang vital untuk

menetapkan sebuah diagnosis fisioterapi. Asesmen sering diterjemahkan sebagai suatu

pengkajian. Untuk mendapatkan efektifitas yang tinggi dari pelayanan fisioterapi,

maka kesesuaian intervensi fisioterapi dengan problematik fisioterapi menjadi unsur

yang sangat menentukan.

Pelaksanaan asesmen dilakukan melalui pengumpulan informasi tentang

riwayat penyakit (history taking), Skrining(screening), tes-tes yang spesifik (Specific

test), metode pengukuran dan tindakan evaluasi dari hasil pemeriksaan melalui kajian

analisis dan sintesis. Berdasarkan definisi WCPT tersebut terlihat bahwa pada

prinsipnya asesmen terdiri dari kegiatan pemeriksaan dan evaluasi, dimana pada aspek

pemeriksaan merupakan aktivitas pengumpulan data sedangkan evaluasi adalah bagian

dari kegiatan analisis dan sintesis dari data pemeriksaan yang telah dilakukan.

Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, fisioterapi seharusnya selalu

memulai dengan melaksanakan assesment yaitu di mulai dari pengkajian  data

(anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spesifik, dan lain-lain) kemudian

dilanjutkan dengan tujuan terapi, penatalaksanaan fisioterapi serta tindak lanjut dan

evaluasi.

1. Pengkajian Data

Dalam pengkajian fisioterapi, proses pemeriksaan untuk menentukan problematika

pasien dimulai dari anamnesa, pemeriksaan, dan dilanjutkan dengan menentukan

diagnose fisioterapi.

19
2. Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan

mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (auto anamnesis) ataupun

dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (hetero anamnesis)

mengenai kondisi/ keadaan penyakit pasien. Dengan melakukan anamnesis ini akan

diperoleh informasi-informasi penting untuk membuat diagnosis. Anamnesis

dikelompokan menjadi dua yaitu anamnesis umum dan anamnesis khusus.

1) Anamnesis Umum

Identitas pasien

Data identitas pasien yang diperoleh berupa  nama, jenis kelamin, umur, agama,

pekerjaan, serta alamat pasien.

2) Anamnesis Khusus

a. Keluhan utama

Merupakan satu atau lebih keluhan atau gejala dominan yang mendorong penderita

untuk mencari pertolongan.

b. Kapan terjadi

Merupakan waktu awal terjadinya keluhan pada pasien yang dirasakan hingga saat

diberikan terapi.

c. Riwayat penyakit sekarang

Merupakan rincian keluhan dan menggambarkan proses terjadinya riwayat penyakit

secara kronologis dengan secara jelas dan lengkap. Yang isinya kapan mulai

terjadinya, sifatnya seperti apa, manifestasi lain yang menyertai, penyebab sakit, dan

lain-lain.

d. Riwayat penyakit dahulu / penyerta

Pertanyaan diarahkan pada penyakit-penyakit yang pernah dialami yang tidak

berkesinambungan dengan munculnya keluhan sekarang.

20
e. Riwayat pribadi

Riwayat pribadi adalah hal-hal atau kegiatan sehari-hari yang dilakukan pasien

menyangkut hobi atau kebiasaan Riwayat penyakit keluarga

f. Riwayat keluarga dalah penyakit-penyakit yang bersifat menurun dari orang tua atau

keluarga yang lain .

3. Pemeriksaan Spesifik

 Adam forward bendtest : Adanya hump pada sisi sinistra.

ALGORHITMA ASSESSMEN PADA LOW BACK PAIN NON SPESIFIK Et Causa

SCOLIOSIS

History Taking: Pasien merasakan nyeri pada punggung bawah saat


duduk lama dan berdiri lama sejak 1 tahun yang lalu. Pasien dulu
sering memindahkan alm suaminya transfer posisi dari kursi roda ke
tempat tidur selama 5 tahun. Pasien merasakan ketegangan otot di
punggung dan lumbalnya.

Inspeksi Statis :Ada hump di sisi sinistra

Kedua shoulder terlihat tidak simetris

Ada cekungan di lumbal L1-L5

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gerak aktif dan pasif : Fleksi


Palpasi : Adanya nyeri tekan pada Adam forward bendtest :
Lumbal, Ekstensi Lumbal, Internal rotasi,
otot serratus anterior, Latissimus Adanya hump pada sisi
Eksternal Rotasi, Side fleksi lumbal tidak
dorsi, Erector spine. Adanya spasme sinistra.
ada nyeri dan keterbatasan. Pemeriksaan
melawan tahanan: ada kelemahan pada pada otot serratus anterior, Latissimus
m.abdominis dan m. multifidus dorsi, Erector spine.

21
Low Back Pain non spesifik
et causa Scoliosis
ke

Diagnosa ICF : Trunk pain


with spasm

B. TINJAUAN TENTANG INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Short Wave Diathermy (SWD)


Short Wave Diathermy adalah alat terapi yang menggunakan energi
elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak-balik frekuensi tinggi 27,22
MHz (Sujatno, 2002).Efek yang ditimbulkan dari modalitas Short Wave
Diathermy
yaitu :
a) metabolisme meningkatkan suplay darah
b) meningkatkan konduktivitas dan ambang rangsang
c) menurunkan eksitabilitas pada saraf
d) menurunkan viscositas darah dan tekanan darah
e) merelaksasikan dan memberikan kondisi optimal otot (Sujatno, 2002).
Hal ini disebabkan oleh karena efek pemanasan lokal, yang akan meningkatkan
sirkulasi jaringan pada sendi glenohumeralis berupa vasodilatasi capilair dan
arteriole sehingga terjadi peningkatan suhu dan perbaikan sirkulasi jaringan
dapat menurunkan aktivitas saraf sensorik bermielin tipis A delta dan tak
bermielin C karena pengaruh

22
modulasi nyeri level sensorik dan level spinal, dengan demikian nyeri berkurang
Efektifitas dalam penggunaan SWD ditentukan oleh penentuan dosis dan
intensitas. Intensitas ditentukan oleh penderita sendiri terhadap rasa panas yang
diterima. Menurut Scliphake, intensitas dibagi menjadi empat tingkatan yaitu :
a) intensitas submitis (penderita tidak merasakan panas)
b) intensitas mitis (penderita merasakan sedikit panas)
c) intensitas normalis (penderita merasakan nyeri yang nyaman)
d) intensitas fortis (penderita merasakan sangat panas namun masih bisa ditahan)
(Arofah, 2010).
Hal yang juga harus diperhatikan pada saat menentukan dosis pada kasus
frozen shoulder :
a. luas area yang akan diterapi
b. kedalaman jaringan dari permukaan
c. tempat yang mengalami nyeri.
Parameter yang harus di perhatikan pada saat pengaplikasian Short Wave
Diathermy yaitu :
a. apabila kondisi nya adalah sub akut maka waktu yang digunakan adalah 15-
20 menit dan arusnya intermitten
b. apabila dalam kondisi kronis maka waktu yang digunakan adalah 20-30
menit dengan arus continues (Sujatno, 2002)

2. TENS

TENS merupakan suatu cara penggunaan energy listrik untuk

merangsang system saraf melalui permukaan kulit. Dalam hubungannya

dengan modulasi nyeri (Slamet, 2006). Dalam kasus ini menggunakan

metode umum dimana pemasangan elektroda pada atau sekitar nyeri. Cara

ini merupakan cara yang paling mudah dan paling sering digunakan sebab

metode ini langsung ditempatkan pada daerah nyeri tanpa memperhatikan

karakter nyeri ataupun letak yang paling optimal yang hubungannya dengan

jaringan penyebab nyeri (Slamet, 2006).

23
a. Tujuan

1) Mengurangi nyeri akut dan kronik

2) Meningkatkan aliran darah

3) Memelihara sifat fisiologis otot dengan adanya rangsangan saraf

4) Mengatasi resorbsi oedema

b. Alasan Klinis

TENS mampu mengaktifasi serabut saraf berdiameter besar dan

berdiameter kecil yang akan menyampaiakan informasi sensorik ke

sistem saraf pusat. Pengunaan TENS akan mengaktivasi serabut saraf

afferent tipe A-alfa dan A-beta serta serabut saraf tipe C yang akan

memfasilitasi interneuron substansia gelatinosa sehingga akan

mengurangi nyeri melalui efek bloking atau penutupan gerbang transmisi

nyeri yang berkakibat terhentinya masukan afferent diameter kecil.

TENS juga akan menstimulasi produksi anti nyeri alamiah tubuh yaitu

endofrin.

c. Indikasi dan Kontraindikasi

i. Indikasi

a) Nyeri akibat trauma

b) Sprain atau strain

c) Nyeri sendi

d) Nyeri kepala

e) Nyeri pasca melahirkan

f) Nyeri visceral

ii. Kontraindikasi

24
a) Hyposensasi

b) Ibu hamil

c) Epilepsi

d) Luka terbuka

e) Gangguan sensorik

f) Pemasangan plate post operasi

g) Perdarahan

3. MET (Muscle Energy Technique)

Muscle Energy Technique suatu kelompok metode manipulasi

osteopathic soft tissue yang menggabungkan arah dan kontrol yang tepat dari

pasien, kontraksi isometrik dan/atau isotonik, yang didesain untuk

memperbaiki fungsi muskuloskeletal dan menurunkan nyeri.

Berbagai pendapat dari pelopor MET :

 T.J. Ruddy ; rangkaian kontraksi isometrik pulsasi & low amplitudo melawan

tahanan

 Fred Mitchell Snr ; mengembangkan suatu sistem metode manipulasi dengan

menggunakan otot pasien dari posisi kontrol yang tepat dalam arah yang

spesifik.

 Philip Greenman ; muscle energy technique dapat diaplikasikan pada sendi

baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan memanjangkan atau

merelaksasikan otot-otot disekitar sendi.

 Sandra Yale : Muscle energy techniques secara khusus efektif pada pasien

nyeri berat dengan disfungsi somatic acute.

25
BENTUK APLIKASI MET

 Ada 2 bentuk aplikasi MET yaitu postisometrik relaksasi dan reciprocal

inhibition.

 Post isometrik relaksasi (PIR) : otot yang mengalami spasme/tight

dikontraksikan secara gentle, kemudian relaks, secara automatik akan terjadi

keadaan relaks secara singkat pada fase akhir

 Reciprocal inhibition (RI) : otot antagonis dikontraksikan secara gentle,

kemudian relaks, otot agonis yang spasme/tight akan terinhibisi dan akan

menunjukkan penurunan tonus dengan cepat setelah kontraksi tersebut

Manfaat MET pada sendi yang terbatas :

 Melepaskan jaringan lunak yang guarding atau spasme melalui PIR atau

reciprocal inhibition.

 Melepaskan hambatan gerak joint play melalui mobilisasi sendi pasca

kontraksi.

Kriteria sederhana aplikasi MET pada keterbatasan sendi (Sandra Yates) :

 Sendi harus diposisikan pada hambatan fisiologis (spesifik pada 3 bidang gerak

jika terjadi pada segmen spinal : fleksi atau ekstensi, lateral fleksi dan rotasi)

APLIKASI MET PADA OTOT

 Aplikasi MET dengan kontraksi isometrik yang ringan dapat menghasilkan

penurunan tonus otot melalui efek PIR dan RI.

26
 Tercapainya relaksasi pada otot yang tight memudahkan terjadinya

pemanjangan otot melalui aplikasi MET.

 Aplikasi MET juga dapat menyebabkan pemulihan kekuatan otot dengan cepat

melalui kontraksi isometrik disertai dengan pemanjangan otot pasca relaksasi.

MET PADA ERECTOR SPINE THORACO-LUMBAL

Posisi pasien prone lying. Terapis mengulurkan otot erector spine pasien.

Tahan selama 10 detik lakukan pengulangan 3x repetisi.

MET PADA QUADRATUS LUMBORUM

Posisi pasien side lying. Terapis mengulurkan otot quadratus lumborum

pasien. Tahan selama 10 detik lakukan pengulangan 3x repetisi.

27
4. William Flexor Exercise

A. Teknik Pelaksanaan

1.) Pasien tidur terlentang, kedua lutut di tekuk kemudian gerakan yang

dilakukan yaitu menekan punngung ke bawah ditahan selama 5 detik

kemudian rileks, dosis 10 x hitungan

2.) Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua lutut di tekuk kemudian

pasien menggerakkan fleksi kepala sehingga dagu menyentuh dada

tahan selama 5 detik dosis 10 x hitungan.

3.) Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua lutut di tekuk kemudian

pasien menggerakkan fleksi satu lutut ke arah dada dan kedua tangan

mencapai paha belakang. Secara bergantian dosis 10 x

hitungan.

4.) Posisi pasien berlutut seperti hendak melakukan sujud. Flexikan

lumbal hingga dada menyentuh matras, tangan lurus ke depan.

5. Core Stability

28
1) Gerakan 1

Berbaring telentang di atas meja atau tikar dengan pinggul dan lutut

ditekuk hingga 90 derajat dengan kaki rata di lantai dan lengan

menghadap ke bawah. Menarik otot perut dan pertahankan selama

latihan. Pelan-pelan angkat letakkan meja / mat dengan menggunakan

glutes dan hamstrings Anda sampai trunk sejajar dengan paha; tahan

selama 3-5 detik. Ulangi 10 - 20 kali.

Gambar 2.14 Supine Butt Lift With Arm and side


Core Stability Exercise

29
BAB IV
PROSES ASSESSMEN FISIOTERAPI

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. “S.M”

Umur : 70 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan Guru

Alamat : BTN Mangga 3

B. HISTORY TAKING
1. Keluhan utama : Nyeri pada punggung bawah

2. Sifat keluhan : Nyeri lokal

3. Lokasi keluhan : Thorako Lumbal

4. RPP : Pasien merasakan nyeri pada punggung bawah

saat duduk lama dan berdiri lama sejak 1 tahun yang lalu. Pasien dulu sering

memindahkan alm suaminya transfer posisi dari kursi roda ke tempat tidur

selama 5 tahun. Pasien merasakan ketegangan otot di punggung dan

lumbalnya.Saat ini pasien menjalani terapi di klinik fisioterapi RSUD Kota

Makassar.

5. Vital sign :

- Tekanan darah : 120/60 mmHg

30
- Denyut nadi : 88 x/menit

- Frekuensi nafas : 20x/menit

- Suhu : 36,70C

C. INSPEKSI/OBSERVASI
1. Inspeksi/observasi

 Inspeksi Statis :

 Ada deformitas pada tulang belakang pasien

 Bahu pasien sebelah kanan terlihat lebih rendah dibanding

sebelah kiri

 Pinggul kanan lebih tinggi dari pinggul kiri

- Inspeksi Dinamis :

 Tidak ada gangguan dalam berjalan

2. Palpasi

 Adanya nyeri tekan pada otot serratus anterior, Latissimus dorsi,

Erector spine.

 Adanya spasme pada otot serratus anterior, Latissimus dorsi,

Erector spine.

D. REGIONAL SCREENING TEST

Tidak dilakukan

E. PEMERIKSAAN GERAK

Aktif :

 Fleksi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

 Ekstensi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

31
 Side Fleksi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

 Internal Rotasi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

 Eksternal Rotasi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

Pasif :

 Fleksi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

 Ekstensi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

 Side Fleksi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

 Internal Rotasi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

 Eksternal Rotasi lumbal tidak nyeri dan tidak terbatas

Isometrik melawan tahanan :

 Fleksi lumbal tidak mampu melawan tahanan minimal

 Ekstensi lumbal tidak mampu melawan tahanan minimal

 Side Fleksi lumbal tidak mampu melawan tahanan minimal

 Internal Rotasi lumbal tidak mampu melawan tahanan minimal

 Eksternal Rotasi lumbal tidak mampu melawan tahanan minimal

F. PEMERIKSAAN SPESIFIK

Adam forward bendtest : Adanya hump pada sisi sinistra.

G. PENGUKURAN FISIOTERAPI
1. Pengukuran Nyeri

Visual Analog Scale (VAS)

Tujuan : Untuk mengetahui derajat nyeri pasien

Hasil :

1) Nyeri diam : 6,3

32
2) Nyeri gerak : 0

3) Nyeri tekan : 6,1

2. Pengukuran Kekuatan Otot

Manual Muscle Testing

 Fleksi lumbal : nilai 3

 Ekstensi lumbal : nilai 3

3. Pengukuran ROM

Regio / Gerakan ROM

Normal Aktif Pasif

Fleksi Lumbal 85° 85° 85°

Ekstensi Lumbal 30° 30° 30°

Side fleksi 30° 30° 30°


lumbal
Lumbal
Internal Rotasi 40° 40° 40°
lumbal
Eksternal 40° 40° 40°
Lumbal

4. Pengukuran Fungsional Oswestry Disability Index (ODI)

ODI (OSWESTRY DISABILITY INDEX) SCORE

1. Intensitas Nyeri 2

0 = saya dapat mentolerir nyeri tanpa menggunakan

obat pereda nyeri

1 = nyeri terasa buruk, tapi saya dapat menangani

33
tanpa obat pereda nyeri

2 = obat pereda nyeri membantu mengurangi nyeri

saya secara keseluruhan

3 = obat pereda nyeri mengurangi sebagian nyeri saya

4 = obat pereda nyeri mengurangi sedikit nyeri saya

5 = obat pereda nyeri tidak mempunyai efek terhadap

nyeri yang saya alami

2. Perawatan Diri 0

0 = saya dapat merawat diri secara normal tanpa

menambah nyeri

1 = saya dapat merawat diri secara normal, tetapi

menambah nyeri saya

2 = perawatan diri menyebabkan nyeri, sehingga

melakukan dengan lambat dan berhati- hati

3 = saya butuh bantuan, tetapi saya dapat menangani

sebagian besar perawatan diri saya

4 = saya butuh bantuan dalam sebagian besar aspek

perawatan diri saya

5 = saya tidak berpakaian, kesulitan mencuci, dan

tetap ditempat tidur

3. Mengangkat 1

0 = saya dapat mengangkat benda berat tanpa

menambah nyeri

1 = saya dapat mengangkat benda berat, tetapi

34
menambah nyeri

2 = nyeri mencegah saya mengangkat benda berat,

tetapi saya dapat menangani jika benda tertentu

ditempatkan pada tempat yang membuat saya nyaman

( misalnya diatas meja)

3 = nyeri mencegah saya mengangkat benda berat dari

lantai, tetapi saya dapat menangani benda ringan dan

sedang pada tempat yang membuat saya nyaman

4 = saya hanya dapat mengangkat benda yang sangat

ringan

5 = saya tidak dapat mengangkat atau membawa suatu

benda

4. Berjalan 0

0 = nyeri tidak menghambat saya berjalan dalam

berbagai jarak

1 = nyeri menghambat saya berjalan lebih dari 1 km

2 = nyeri menghambat saya berjalan lebih dari

setengah km

3 = nyeri menghambat saya berjalan lebih dari

seperempat km

4 = saya dapat berjalan dengan tongkat atau kruk

5 = sebagian besar waktu saya di tempat tidur dan saya

harus merangkak ke toilet

5. Duduk 2

35
0 = saya dapat duduk diberbagai jenis kursi sepanjang

waktu saya suka

1 = saya hanya dapat duduk di kursi favorit saya

sepanjang waktu saya suka

2 = nyeri menghambat saya duduk lebih dari 1 jam

3 = nyeri mencegah saya duduk lebih dari 30 menit

4 = nyeri mencegah saya duduk lebih dari 10 menit

5 = nyeri mengahambat saya duduk

6. Berdiri 2

0 = saya dapat berdiri selama yang saya inginkan

tambah menambah nyeri

1 = saya dapat berdiri selama yang saya inginkan,

tetapi menambah nyeri

2 = nyeri menghambat saya berdiri lebih dari 1 jam

3 = nyeri menghambat saya berdiri lebih dari 30 menit

4 = nyeri menghambat saya berdiri lebih dari 10 menit

5 = nyeri menghambat saya berdiri

7. Tidur 1

0 = nyeri tidak menghambat saya tidur nyaman

1 = saya dapat tidur nyaman jika menggunakan obat

pereda nyeri

2 = meskipun saya menggunakan obat pereda nyeri,

tidur saya kurang dari 6 jam

3 = meskipun saya menggunakan obat pereda nyeri,

36
tidur saya kurang dari 4 jam

4 = meskipun saya menggunakan obat pereda nyeri,

tidur saya kurang dari 2 jam

5 = nyeri menghambat tidur saya

8. Kehidupan sosial 2

0 = kehidupan sosial normal tanpa menghambat nyeri

1 = kehidupan sosial saya normal, tetapi tingkat nyeri

saya bertambah

2 = nyeri menghambat saya berpartisipasi melakukan

kegiatan banyak energik (olahraga, dansa, dll)

3 = nyeri sering menghambat saya keluar

4 = nyeri menghambat kehidupan sosial saya dirumah

5 = saya kesulitan melakukan kehidupan sosial karena

nyeri

9. Bepergian 1

0 = saya dapat bepergian kemana saja tanpa

menambah nyeri

1 = saya dapat bepergian kemana saja, tetapi

menambah nyeri

2 = nyeri menghambat saya bepergian lebih dari 2 jam

3 = nyeri menghambat saya bepergian lebih dari 1 jam

4 = nyeri menghambat saya bepergian untuk suatu

kebutuhan di bawah setengah jam

5 = nyeri menghambat saya bepergian kecuali

37
mengunjungi dokter atau terapis atau kerumah sakit

10. Pekerjan/Rumah Tangga 2

0 = pekerjaan/aktivitas kerja normal tidak

menyebabkan nyeri

1 = urusan rumah tangga/aktivitas kerja normal

menambah nyeri, tetapi saya dapat melakukan semua

yang membutuhkan saya

2 = saya dapat melakukan kegiatan urusan rumah

tangga/tugas rumah tetapi nyeri menghambat saya

melakukan kegiatan yang membutuhkan aktivitas fisik

(misalnya mengangkat, membersihkan rumah)

3 = nyeri menghambat saya melakukan sesuatu kecuali

pekerjaan ringan

4 = nyeri menghambat saya melakukan aktivitas

pekerjaan/urusan rumah tangga sehari hari

5 = saya sama sekali tidak dapat melakukan urusan

pekerjaaan/rumah tangga

Total Skor 13

Skor dalam ODI

0 – 20 : Ketergantungan minimal

21-40 : Ketergantungan moderat

41-60 : Ketergantungan parah

61-80 : Nyeri punggung melumpuhkan

38
81-100 : Merasakan gejala nyeri yang hebat

Skor pasien : 13 (Ketergantungan minimal)

Hasil : 13/50 x 100 =26% ketergantungan moderat

H. DIAGNOSA FISIOTERAPI
Low Back Pain Non Spesifik et causa Scoliosis

1. Body Function
b7300 : Power of isolated muscles and muscle groups
b7305 : Power of muscles of the trunk
2. Activities and Participation
d4751 : Driving motorized vehicles
d9300 : Organized religion
3. Environmental factors
e2108 : Physical geography, other specified
e310 : Immediate family
4. Body structures
s7601: Muscles of trunk
s7609: Structure of trunk, unspecified

I. PROBLEMATIK FISIOTERAPI

Kondisi/ Penyakit:

Low Back Pain Non Spesifik et causa Scoliosis

Impairment Activity Limitation Participation Restriction

 Kesulitan melakukan aktivitas  Kesulitan untuk


 Palpasi : Adanya nyeri tekan
sehari-hari (ADL) melakukan pekerjaan
pada otot serratus anterior,
 Nyeri saat duduk lama dan rumah tangga
latissimus dorsi, Erector
berdiri lama
spine. Adanya spasme pada
otot serratus anterior,
Latissimus dorsi, Erector
spine.
 Kelemahan kekuatan otot 39
abdominis dan otot
Multifidus
Pemeriksaan/Pengukuran
No.
Komponen ICF
Yang Membuktikan

1. Impairment
a. Adanya nyeri tekan pada otot serratus
anterior, Latissimus dorsi, Erector spine. Palpasi
Adanya spasme pada otot serratus
anterior, Latissimus dorsi, Erector spine.

b. Kelemahan kekuatan otot abdominis Pengukuran MMT


dan multifidus

2. Activity Limitation

a. Kesulitan melakukan aktivitas Pengukuran ODI


sehari-hari (ADL)

b. Nyeri saat duduk lama dan berdiri VAS


lama

3. Participation Restriction

a. Kesulitan untuk melakukan Pengukuran ODI

pekerjaan rumah tangga

40
BAB V
PROSEDUR INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. RENCANA INTERVENSI FISIOTERAPI


TUJUAN JANGKA PENDEK

- Mengurangi Nyeri

- Meningkatkan dan Memelihara Kekuatan Otot

- Mengurangi spasme pada otot serratus anterior, latissimus dorsi,

Erector spine

TUJUAN JANGKA PANJANG

- Meneruskan Tujuan Jangka Pendek

- Meningkatkan Aktivitas Fisik Dan Fungsional

B. STRATEGI INTERVENSI FISIOTERAPI


Problematik

a. Impairment

- Nyeri pada punggung bawah saat berdiri lama dan duduk lama

- Adanya spasme otot pada otot serratus anterior, latissimus dorsi,

Erector spine

- Adanya penurunan kekuatan otot pada M. Abdominis

b. Functional Limitation

- Adanya gangguan saat berdiri lama dan duduk lama saat sholat dan

mengaji

41
c. Participant Restriction

- Pasien merasa terganggu dalam melakukan pekerjaan rumah tangga

No. Tujuan Intervensi Jenis Intervensi


Komponen ICF

1. Impairment
a. Adanya nyeri local dan tekan pada
otot serratus anterior, Latissimus dorsi, Menurunkan nyeri lokal SWD, TENS, MET,
Erector spine. Adanya spasme pada otot Mengurangi spasme William flexor exercise
serratus anterior, Latissimus dorsi,
Erector spine.

b. Kelemahan kekuatan otot Meningkatkan dan Core stability


Abdominis memelihara kekuatan
otot

2. Activity Limitation

a. Kesulitan melakukan aktivitas Meningkatkan aktivitas Core stability, MET


sehari-hari (ADL) sehari-hari (ADL)

3. Participation Restriction

a. Kesulitan untuk melakukan Mengembalikan aktivitas MET, Core Stability.


pekerjaan rumah tangga
pekerjaan rumah tangga tanpa keluhan

C. PROSEDUR PELAKSANAAN INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Aplikasi SWD

Tujuan : Untuk mengurangi nyeri

Persiapan Alat :

 Siapkan modalitas SWD

 Pasangkan kabel SWD ke stop kontak

42
 Pasangkan SWD tipe coplannar

Persiapan Pasien :

Pasien dalam posisi prone lying dengan area yang akan diberikan SWD bebas

dari kain.

Intervensi :

Letakkan SWD pada area yang akan diterapi. Kemudian hidupkan alat, lalu

atur arus dan intensitas yang akan di aplikasikan pada pasien. Atur selama 10

menit.

2. Aplikasi TENS

Tujuan : Untuk mengurangi nyeri

Persiapan Alat

Tentukan prosedur yang akan digunakan, semua tombol dalam posisi nol. Pad

dibasahi terlebih dahulu, untuk pad yang menggunakan gel diletakan pada

permukaan pad yang akan di kontakan dengan kulit pasien. Pemeriksaan alat

yang akan di gunakan. Pesiapan semua materi yang akan digunakan. Pemanasan

alat yakinkan tombol intensitas “off”.

Persiapan pasien

Posisi pasien senyaman dan serileks mungkin. Periksa area yang akan di terapi

dalam hal ini: kulit harus bersih dan bebas dari lemak, lotion. Periksa sensasi

kulit. Lepaskan semua metal diarea terapi. Sebelum memulai intervensi, terapist

43
memberi penjelasan mengenai cara kerja dan efek yang dapat ditimbulkan dari

TENS.

Intervensi

Pad diletakan pada daerah nyeri, dengan durasi 10 menit dan frekuensi 4 kali

dengan intensitas sesuai toleransi pasien.

3. Aplikasi MET

Tujuan : Untuk mengulurkan otot dan meningkatkan kekuatan otot

Persiapan Pasien :

Pasien dalam posisi prone lying dan side lying dengan area yang akan

diberikan terapi bebas dari kain.

Intervensi :

Pasien dalam kondisi rileks, dan terapis memberikan MET pada pasien selama

10 detik dan dilakukan selama 5x pengulangan.

4. Aplikasi William flexor exercise

Tujuan : Untuk meningkatkan kekuatan otot

Persiapan Pasien :

Pasien dalam posisi supine lying dengan area yang akan diberikan terapi bebas

dari kain.

Intervensi :

44
Pasien dalam kondisi rileks, dan terapis memberikan masing-masing Latihan

William flexor exercise pada pasien selama 10 detik dan dilakukan selama 5x

pengulangan.

5. Aplikasi Core Stability

Tujuan : Untuk meningkatkan kekuatan otot

Persiapan Pasien :

Pasien dalam posisi prone lying dan side lying dengan area yang akan

diberikan terapi bebas dari kain.

Intervensi :

Pasien dalam kondisi rileks, dan terapis memberikan masing-masing Latihan

Core Stability pada pasien selama 10 detik dan dilakukan selama 5x

pengulangan.

D. EDUKASI DAN HOME PROGRAM

 Pasien diminta untuk mengurangi mengangkat beban yang berat

 Pasien di beritahu cara mengangkat barang dengan cara yang benar

 Pasien diminta untuk melakukan latihan isometric dan latihan William

flexor exercise dirumah

E. EVALUASI FISIOTERAPI

No. Problematik Intervensi Evaluasi


Fisioterapi
Awal Terapi Akhir Terapi

1. Nyeri Lokal SWD, TENS VAS : VAS :


Nyeri diam 6,3/10 Nyeri diam 5,2/10

45
Nyeri tekan 6,1/10 Nyeri tekan 4,9/10

2. Kelemahan William flexor MMT : 3 MMT : 3+


Otot exercise, MET,
Core Stability

3. Adanya MET, Core Skala ODI : 26% Skala ODI :24%


gangguan Stability. William
dalam aktivitas flexor exercise
sehari-hari

BAB VI
PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN ASSESSMENT FISIOTERAPI

Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, fisioterapi seharusnya selalu

memulai dengan melaksanakan assesment yaitu di mulai dari pengkajian  data

(anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan spesifik, dan lain-lain) kemudian

dilanjutkan dengan tujuan terapi, penatalaksanaan fisioterapi serta tindak lanjut dan

evaluasi.

1. Pengkajian Data

Dalam pengkajian fisioterapi, proses pemeriksaan untuk menentukan

problematika pasien dimulai dari anamnesa, pemeriksaan, dan dilanjutkan

dengan menentukan diagnose fisioterapi.

2. Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan

mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (auto anamnesis)

ataupun dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung

(hetero anamnesis) mengenai kondisi/ keadaan penyakit pasien. Dengan

melakukan anamnesis ini akan diperoleh informasi-informasi penting untuk

46
membuat diagnosis. Anamnesis dikelompokan menjadi dua yaitu anamnesis

umum dan anamnesis khusus.

1) Anamnesis Umum

Identitas pasien

Data identitas pasien yang diperoleh berupa  nama, jenis kelamin, umur,

agama, pekerjaan, serta alamat pasien.

2) Anamnesis Khusus

a) Keluhan utama

Merupakan satu atau lebih keluhan atau gejala dominan yang

mendorong penderita untuk mencari pertolongan.

b) Kapan terjadi

Merupakan waktu awal terjadinya keluhan pada pasien yang

dirasakan hingga saat diberikan terapi.

c) Riwayat penyakit sekarang

Merupakan rincian keluhan dan menggambarkan proses terjadinya

riwayat penyakit secara kronologis dengan secara jelas dan

lengkap. Yang isinya kapan mulai terjadinya, sifatnya seperti apa,

manifestasi lain yang menyertai, penyebab sakit, dan lain-lain.

d) Riwayat penyakit dahulu / penyerta

Pertanyaan diarahkan pada penyakit-penyakit yang pernah dialami

yang tidak berkesinambungan dengan munculnya keluhan sekarang.

47
e) Riwayat pribadi

Riwayat pribadi adalah hal-hal atau kegiatan sehari-hari yang

dilakukan pasien menyangkut hobi atau kebiasaan Riwayat

penyakit keluarga

f) Riwayat keluarga adalah penyakit-penyakit yang bersifat menurun

dari orang tua atau keluarga yang lain .

3. Pemeriksaan spesifik

Adam’s Forward Bending Test

Adam’s Forward Bending Test adalah pemeriksaan fisik pada permukaan

punggung belakang yang diperkenalkan oleh Adam’s Williams pada

tahun 1865. Merupakan pemeriksaan fisik dasar dalam skrining

scoliosis. Pemeriksaan dilakukan dengan meminta responden untuk

membungkuk 900 ke depan dengan lengan menjuntai ke bawah dan

telapak tangan berada pada lutut hingga posisi Pundak sejajar dengan

pinggul lalu diinspeksi pada vertebra torakal, otot tulang belakang,

viscera, lemak dan kulit apakah terdapat abnormalitas berupa rotasi yang

berkaitan dengan kurvatura lateral, penonjolan scapula dan rib hump,

deviasi kepala dan leher terhadap celah lekuk pantat, pelvic obliquity,

dan perbedaan panjang kedua tungkai.

48
B. PEMBAHASAN INTERVENSI FISIOTERAPI (KAITANNYA DENGAN
CLINICAL REASONING)

1. SWD (Short Wave Diathermy)

a. Pengertian

Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi

tinggi yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan

tubuh. Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek

nonthermal. Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atas

Short Wave Diathermy (yang akan dibahas) dan Micro Wave Diathermy.

Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi

elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal

Communications Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang

digunakan pada short wave diathermy, yaitu :

1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.

2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter.

3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5

meter.

49
Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah

frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.

b. Arus

Short Wave Diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2

arus yaitu arus Continuos SWD dan Pulsed SWD.

1) Continous Short Wave Diathermy (CSWD)

Pada penerapan Continous SWD, energi thermal dominan terjadi dalam

jaringan. Setiap jaringan yang menerima panas memiliki tahanan yang

berbeda-beda. Jaringan lemak cepat menyerap panas daripada otot (1 : 10),

sedangkan jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit. Secara

fisiologis, jaringan otot tidak memiliki “thermosensor” tetapi hanya pada

jaringan kulit, sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian

Continous SWD maka sebenarnya sudah terjadi “overthermal” pada jaringan

otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima panas daripada

kulit. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima

jaringan melebihi batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak; menurut

Thomas H (2003) ukuran subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita

merasa hangat.

Menurut Hollander JS (2009) bahwa para peneliti menyatakan pemberian

Continous SWD pada kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan

sebagian besar penelitian melarang pemberian Continous SWD pada arthritis.

Hal ini disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu asam “Hyaluronik”

yang suhu optimalnya adalah 36,7o, dan sangat sensitif terhadap penambahan

suhu. Dengan penambahan suhu 1o saja (terjadi pada pemberian CSWD) maka

50
suhunya menjadi 37,4o, sementara pada suhu 37o saja akan mengaktifkan

cairan/enzym hyaluronidase yang dapat merusak ujung-ujung tulang rawan

sendi, dan kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi tidak akan pernah

mengalami regenerasi/reparasi.

Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan

efek fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme.

2) Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD)

Sekitar tahun 2000, mulai digalakkan penelitian baru terhadap Pulsed SWD

sebagai salah satu efek terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut

dilakukan penerapan Pulsed SWD pada hapusan susu, dan ternyata pada

hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk “untaian kalung”. Kemudian bentuk

tersebut juga terjadi pada cairan darah, limpha dan eiwit. Penemuan tersebut

menunjukkan bahwa Pulsed SWD sangat bermanfaat dalam menghasilkan efek

terapeutik, sedangkan efek fisiologisnya hanya timbul sedikit (pengaruh panas

hanya minimal). Pada Pulsed SWD, mempunyai energi/power output yang

maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian, energi/power output rata-rata

adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 – 80 watt (tergantung pada pemilihan

frekuensi pulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan

subthermal dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi

Pulsed SWD sangat cocok untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan

akut dimana terapi panas merupakan kontraindikasi.

Jika kita menerapkan Pulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan

pulsasi rectangular dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi

tersebut dapat diatur sampai 1000 W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor

51
maka energi power dapat diatur sampai nilai maksimum. Interval pulsasi yang

dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi repetition (15 – 200

Hz), sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean power

(watt). Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan

intensitas arus dan frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi

pulsasi repetition yang dipilih maka semakin rendah mean powernya. Dengan

demikian, penerapan Pulsed SWD dapat memungkinkan kita memilih

intensitas arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan frekuensi pulsasi

repetition yang selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan.

c. Efek Fisiologis

1) Perubahan panas/temperatu

a) Reaksi lokal/jaringan

(1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap

kenaikan temperatur 1º C.

(2) Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik

lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal.

b) Reaksi general

(1) Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang

mengakibatkan kenaikan temperatur darah untuk mempertahankan temperatur

tubuh secara general.

(2) Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas

2) Jaringan ikat

Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen

kulit, tendon, ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks

52
jaringan; pemanasan ini tidak akan menambah panjang matriks jaringan ikat

sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika disertai dengan latihan

peregangan.

3) Otot

a) Meningkatkan elastisitas jaringan otot.

b) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali

hipertoni akibat emosional dan kerusakan SSP.

4) Saraf

a) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf.

b) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang

(threshold).

d. Indikasi

Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-

kondisi subakut dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti

sprain/strain, osteoarthritis, cervical syndrome, NPB dan lain-lain).

e. Kontraindikasi

Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang,

tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada

sendi, kondisi menstruasi dan kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis.

Kontraindikasi dari pulsed SWD adalah tumor atau kanker, pacemaker pada

jantung, regio mata dan testis, kondisi menstruasi dan kehamilan. Pada

gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan kontraindikasi dari continuos

SWD tetapi bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsasi yang rendah.

53
2. TENS

TENS merupakan suatu cara penggunaan energy listrik untuk

merangsang system saraf melalui permukaan kulit. Dalam hubungannya

dengan modulasi nyeri (Slamet, 2006). Dalam kasus ini menggunakan

metode umum dimana pemasangan elektroda pada atau sekitar nyeri. Cara

ini merupakan cara yang paling mudah dan paling sering digunakan sebab

metode ini langsung ditempatkan pada daerah nyeri tanpa memperhatikan

karakter nyeri ataupun letak yang paling optimal yang hubungannya dengan

jaringan penyebab nyeri (Slamet, 2006).

d. Tujuan

1) Mengurangi nyeri akut dan kronik

2) Meningkatkan aliran darah

3) Memelihara sifat fisiologis otot dengan adanya rangsangan saraf

4) Mengatasi resorbsi oedema

e. Alasan Klinis

TENS mampu mengaktifasi serabut saraf berdiameter besar dan

berdiameter kecil yang akan menyampaiakan informasi sensorik ke

sistem saraf pusat. Pengunaan TENS akan mengaktivasi serabut saraf

afferent tipe A-alfa dan A-beta serta serabut saraf tipe C yang akan

memfasilitasi interneuron substansia gelatinosa sehingga akan

mengurangi nyeri melalui efek bloking atau penutupan gerbang transmisi

nyeri yang berkakibat terhentinya masukan afferent diameter kecil.

TENS juga akan menstimulasi produksi anti nyeri alamiah tubuh yaitu

endofrin.

54
f. Indikasi dan Kontraindikasi

i. Indikasi

a. Nyeri akibat trauma

b. Sprain atau strain

c. Nyeri sendi

d. Nyeri kepala

e. Nyeri pasca melahirkan

f. Nyeri visceral

ii. Kontraindikasi

a. Hyposensasi

b. Ibu hamil

c. Epilepsi

d. Luka terbuka

e. Gangguan sensorik

f. Pemasangan plate post operasi

g. Perdarahan

3. MET (Muscle Energy Technique)

Muscle Energy Technique suatu kelompok metode manipulasi

osteopathic soft tissue yang menggabungkan arah dan kontrol yang tepat dari

pasien, kontraksi isometrik dan/atau isotonik, yang didesain untuk

memperbaiki fungsi muskuloskeletal dan menurunkan nyeri.

Berbagai pendapat dari pelopor MET :

 T.J. Ruddy ; rangkaian kontraksi isometrik pulsasi & low amplitudo melawan

tahanan

55
 Fred Mitchell Snr ; mengembangkan suatu sistem metode manipulasi dengan

menggunakan otot pasien dari posisi kontrol yang tepat dalam arah yang

spesifik.

 Philip Greenman ; muscle energy technique dapat diaplikasikan pada sendi

baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan memanjangkan atau

merelaksasikan otot-otot disekitar sendi.

 Sandra Yale : Muscle energy techniques secara khusus efektif pada pasien

nyeri berat dengan disfungsi somatic acute.

BENTUK APLIKASI MET

 Ada 2 bentuk aplikasi MET yaitu postisometrik relaksasi dan reciprocal

inhibition.

 Post isometrik relaksasi (PIR) : otot yang mengalami spasme/tight

dikontraksikan secara gentle, kemudian relaks, secara automatik akan terjadi

keadaan relaks secara singkat pada fase akhir

 Reciprocal inhibition (RI) : otot antagonis dikontraksikan secara gentle,

kemudian relaks, otot agonis yang spasme/tight akan terinhibisi dan akan

menunjukkan penurunan tonus dengan cepat setelah kontraksi tersebut

Manfaat MET pada sendi yang terbatas :

 Melepaskan jaringan lunak yang guarding atau spasme melalui PIR atau

reciprocal inhibition.

 Melepaskan hambatan gerak joint play melalui mobilisasi sendi pasca

kontraksi.

Kriteria sederhana aplikasi MET pada keterbatasan sendi (Sandra Yates) :

56
 Sendi harus diposisikan pada hambatan fisiologis (spesifik pada 3 bidang gerak

jika terjadi pada segmen spinal : fleksi atau ekstensi, lateral fleksi dan rotasi)

APLIKASI MET PADA OTOT

 Aplikasi MET dengan kontraksi isometrik yang ringan dapat menghasilkan

penurunan tonus otot melalui efek PIR dan RI.

 Tercapainya relaksasi pada otot yang tight memudahkan terjadinya

pemanjangan otot melalui aplikasi MET.

 Aplikasi MET juga dapat menyebabkan pemulihan kekuatan otot dengan cepat

melalui kontraksi isometrik disertai dengan pemanjangan otot pasca relaksasi.

MET PADA ERECTOR SPINE THORACO-LUMBAL

Posisi pasien prone lying. Terapis mengulurkan otot erector spine pasien.

Tahan selama 10 detik lakukan pengulangan 3x repetisi.

MET PADA QUADRATUS LUMBORUM

57
Posisi pasien side lying. Terapis mengulurkan otot quadratus lumborum

pasien. Tahan selama 10 detik lakukan pengulangan 3x repetisi.

4. William flexor exercise

William Flexion Exercise William Flexion Exercise diperkenalkan oleh

Dr. Paul Williams. Program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien

kronik nyeri punggung bawah (NPB) dengan kondisi degenerasi corpus vertebra

sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang dan

banyak ditujukan pada laki-laki dibawah usia 50 tahun dan wanita dibawah usia

40 tahun yang mengalami lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space

diskus antara segmen lumbal dan gejala-gejala kronik nyeri punggung bawah

(NPB).

Adapun tujuan dari William Flexion Exercise adalah untuk mengurangi

nyeri, memberikan stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif

pada otot abdominal, gluteus maximus, dan hamstring, untuk menigkatkan

fleksibilitas / elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower back

(sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan

kerja antara group otot postural fleksor & ekstensor.

58
Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis,

spondyloarthrosis, dan disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang

bawah. Kontraindikasi dari William Flexion Exercise adalah gangguan pada

diskus seperti disc. bulging, herniasi diskus, atau protrusi diskus.

5. Core stability

Core stability merupakan komponen penting dalam mengefisiensi gerak

fungsi atletik. Fungsi sering diproduksi oleh kinetic chain, koordinasi, dan

rangkaian aktivasi dari segmen tubuh yang terletak pada segmen distal di posisi

yang optimal, pada posisi yang optimum dapat memproduksi gerakan attletik.

Otot core sangat penting untuk memberikan kekuatan lokal, keseimbangan, dan

menurunkan resiko cidera. Dengan kata lain, otot core merupakan pusat dari

kontrol kekuatan otot core, keseimbangan, dan gerakan yang akan di

maksimalkan oleh kinethic chains baik dari ekstremitas atas maupun bawah

(Kibler et al., 2006).

Stabilitas pada spine tidak hanya bergantung pada kekuatan otot, namun

dari input sensori yang selalu siap menjadi alarm central nervous system

mengenai interaksi antara tubuh dan lingkungan, menyediakan umpan balik

yang konstan dan memperboleh pergantian gerakan (Akuhota, 2008). Core

stability exercise merupakan latihan yang memfasilitasi dari otot bagian dalam

dari spine pada level rendah yang terus menerus isometric dan kontraksi, yang

mengintegrasi menjadi latihan dan beprogres pada fungsional. Core stability

exercise menggunakan prinsip motor learning untuk memfasilitasi koordinasi

dari otot bagian dalam dari spine (Pourahmadi, 2017).

59
BAB VII
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Skoliosis merupakan kelainan postur dimana sekilas mata penderita

tidak mengeluh sakit atau yang lain, tetapi suatu saat dalam posisi yang

dibutuhkan suatu kesiapan tubuh membawa beban tubuh misalnya berdiri,

duduk dalam waktu yang lama, maka akan membuat kerja otot tidak akan

60
pernah seimbang. Hal ini dikarenakan akibat suatu mekanisme proteksi dari

otot – otot tulang belakang yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan

tubuh justru bekerja berlebihan dikarenakan pada salah satu sisi otot yang

tidak sempurna sehingga yang terjadi dalam waktu yang terus menerus adalah

ketidakseimbangan postur tubuh ke salah satu sisi tubuh. (Rosadi, 2009).

B. SARAN

1. Fisioterapi
a. Harus memahami dan mengerti tentang patofisiologi Low Back Pain et
causa Scoliosis , sehingga mendapatkan hasil maksimal dalam
pemeriksaan dan pengobatan.
b. Dalam memberikan latihan sebaiknya dilakukan secara bertahap sesuai
toleransi pasien
c. Menambah pengetahuan agar dapat mengikuti perkembangan fisioterapi
dan mempunyai pola pikir yang baik dalam melaksanakan peran dan
fungsinya

2. Pasien

a. Hendaknya pasien mau bekerjasama dengan terapis yaitu menghindari hal


hal yang memperparah kondisi, kooperatif selama menjalani terapi serta
latihan secara mandiri, melaksanakan home progam dan edukasi yang
diberikan.
b. Apabila dalam melakukan aktifitas merasa nyeri meningkat atau merasa
lelah maka lebih baik latihan dihentikan dan pasien segera beristirahat.

3. Keluarga

Menyarankan agar selalu memberikan dukungan mental kepada pasien,


sehingga pasien mempunyai semangat dalam melakukan latihan dan
pengobatan.

4. Masyarakat

61
Sesegera mugkin berobat jika terjadi keluhan, menjaga pola hidup sehat,
membudayakan latihan dan berolahraga.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II.pdf (umm.ac.id) diakses pada jam 23.02 pada tanggal 24 Agustus 2022.

John F.munro, & Michael J.ford. (n.d.). Pemeriksaan Klinis. Kedokteran, 49–51.

Kisner, Carolyn, 1996 ; Therapeutik Exercise Foundations and Techniques ; Third


Edition, F. A. Davis Company, Philadelphia.

Phyioactive. 2014. Syndrome periformis , http://physiotherapyactive.blogspot.com


/2014/12/piriformis-syndrome.html diakses 21 Agustus 2022.

62
Tiaranita, L. (2013). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Low Back Pain Et
Causa Hernia Nukleus Pulposus L5-S1 Dengan Modalitas Micro Wave Diathermy
Dan Terapi Latihan Di Rsup Dr. Sarjito Yogyakarta.

Vitriana, D. (2010). Aspek Anatomi dan Biomekanik Tulang Lumbosakral dalam


Hubungannya dengan Nyeri Pinggang. Smf Rehabilitasi Medik Fk Unpad, 2–26.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/aspek_anatomi_dan_biome
kanik_tulang_lumbosakral.pdf

63

Anda mungkin juga menyukai