Anda di halaman 1dari 9

I LOVE YOU

By : Renly

Hari ini pertama kuliah, Juno dengan semangat mempersiapkan segala sesuatunya, buku catatan,
alat tulis, buku bahan ajar, dll. Selesai sudah, pandangannya lalu tertuju pada sebungkus besar
plastik berisi beberapa bungkusan kecil berisi aneka tablet dan kapsul-kapsul warna warni.

“huftthhh, emang jodoh kali kita yah, ampe gua kuliah sekarang aja masih sama-sama, ckck..”
Juno berbicara seolah obat-obatan itu sahabatnya.

Dimasukkannya juga obat-obatan itu di ke dalam tasnya, tak lama ibunyapun memanggilnya.

“Juno, udah siap nak???”

“udah ma, bentar…” seru Juno sambil berlari menuju ruang makan di lantai bawah.

“ayo duduk nak, ini sarapannya” kata bu martha sembari menyendoki sesendok besar nasi
goreng ke piringnya, terlihat pula astri, pembantu mereka yang genit sedang menyiapkan jus
jeruk.

“makan yang banyak yah den ganteng, astri masakin nasi goreng udang lo, kesukaan den
ganteng, hehe..” celotehnya dengan gaya surti dalam sinetron ‘putri yang di tukar’.

“mas ganteng, mas ganteng, huh dasar kamu ini tri-tri…” kata mamanya agak kesal.

“ya namanya usaha bu, hehe…”

“husshh!”

“hussh, eh huss huss, ah ibu…” latahnya kambuh.

“hahahaha, makasih yang tri, kayaknya enak nih nasi gorengnya, mmhhh harum..” kata Juno
seraya mulai memakan nasi goreng tersebut dengan lahapnya.

Ibunya memandangi Juno dengan penuh haru, ia sungguh bersyukur anaknya masih bisa
bertahan dari tumor ganas yang menggerogoti tubuhnya. Tumor itu diketahui dimiliki Juno saat
ia masih kelas 2 sma, saat itu ujian pertengahan semester, Juno pingsan diruang ujian dengan
darah segar mengalir dari hidungnya. Sejak saat itu, hidup Juno harus terus ditemani obat-obatan
untuk menghambat penyakitnya itu. Mamanya menyesal, sejak Juno sd, ia dan suaminya
bercerai, alhasil Juno harus hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, bahkan juga seorang ibu.
Ibunya yang seorang direktur utama sebuah perusahaan tekxtil ternama, jarang memiliki waktu
kosong yang bisa diluangkan untuk bersama Juno, Juno lebih banyak bersama bik lasmi ibu lastri
dari pada ibunya. Saat Juno masuk smp, bik lasmi meninggal karena sakit, untunglah Juno sudah
bisa mandiri, dia sudah mengerti kesibukan ibunya, diapun tak mau merepotkannya. Hingga
puncaknya pada saat ia kelas 2 sma itu, sejak itulah ibunya menyesal dan mulai berusaha
memberikan perhatian yang lebih pada anaknya itu.

“mah, Juno bawa motor sendiri aja hari ini ya mah, ayolah ma, Juno kan udah kuliah sekarang
ma, ya ma ya…” kata Juno memelas saat sudah selesai sarapan.

“tapi nak…” mamanyamasih terlihat ragu.

“ayolah ma, Juno bisa jaga diri kok, nanti kalo ada apa-apa Juno langsung telepon mama deh, ya
ma yaaahh…” Juno makin memelas.

“hmmhh… yaudah, tapi bener ya ? obatnya juga jangan ada yang telat di minumnya..” mamanya
akhirnya menyerah.

“makasih ma, mama emang de best deh…” dipeluknya ibunya itu sangat erat, saat ia mau
melepaskan pelukannya ibunya malah memeluknya makin erat, terdengar tangis kecil dari
ibunya.

“kamu jaga diri ya nak..” suara ibunya terisak.


Juno tersenyum pada ibunya, ia sangat paham kekhawatiran ibunya itu, “ percaya sama Juno ma,
Juno pasti bisa”.

Mamanya pun hanya bisa memandangi motor Juno melaju keluar dari garasinya, di pandangi
anaknya itu lekat-lekat, saat motornya melaju keluar dari pekarangan rumahnya hingga
menghilang di tikungan.

********

Tiba di kampus, pagi itu cukup cerah, Juno dengan semangat melangkah menuju ruang kuliah
setelah memarkir motornya di tempat parkir mahasiswa, ia berjalan agak cepat mencari ruang
kuliahnya itu. Sebenarnya saat ospek sudah di kenalkan ruang ruang tersebut, namun karena
pengenalan di lakukan secara semi-militer oleh para senior, banyak ruangan yang tidak di kenali
dengan baik oleh mahasiswa baru, salah satunya ruangan kuliah Juno kali ini.

Setelah hampir setengahnya berputar-putar di areal fakultas sastra kampusnya itu, akhirnya Juno
melihat ruangan itu, ia lalu dengan cepat berlari menuju ruangan tersebut.

“huh, akhirnya ketemu juga..” saat itulah ia bertabrakan dengan seorang mahasiswa lainnya,
masih seangkatan dengannya.

“aduh, eh kalo jalan liat-liat dong” ketus pemuda itu.

“iya-iya maaf..” Juno membantu memungut buku-bukunya yang jatuh.

“udah-udah gak usah, biar gua aja..” ketus pemuda itu lagi.
“ye di bantuin nyolot..” Juno kesal juga akhirnya.

Mereka berdua yang sudah terlambat memasuki ruang kuliah bersamaan, sang dosen ternyata
sudah mulai mengajar. Sang dosen tak bersuara, ia hanya memandang sinis kedua mahasiswa
didepannya, lalu kemudian melirik ke arah mejanya, menginstruksikan mereka duduk di situ.

“hah, disitu pak ?” tanya pemuda itu kaget


Si dosen tak menjawab, ia hanya mengangguk dengan mata melotot ke arah meja yang di
maksud. Mahasiswa di dalam mulai menertawakan mereka.

“yah apes deh.. gara-gara lu nih..’” ketus pemuda itu menyalahkan Juno.

“kok aku sih, udah kita duduk aja, yuk..” Juno mendorong pemuda itu.

“ah, ogah-ogah.. lu aja sana.” Pemuda itu menghindar.

“yaudah” dengan santai Juno pun duduk di kursi dosen tersebut.

Pemuda itu bingung harus aja, ia terus saja mematung di depan, para mahasiswa yang lain mulai
mengolok-oloknya. Si dosen melirik ke arahnya, tak lama lalu ia berhenti menulis dan duduk di
samping Juno.

“eh, lu nyanyi deh…” kalimat pertama yang keluar dari dosen itu sejak tadi.

Junoterkikik pelan di tempat duduknya, antara kaget dengan cetusan si dosen juga takjub dengan
gaya bicara sang dosen, yang di maksud terbelalak mendengarnya.

“hah, nyanyi pak?” si dosen hanya mengangguk.

Pemuda itu diam sejenak, ia menunduk, terlihat gelisah, mulutnya komat kamit ga jelas, ia
menggerutu. Setelah beberapa saat, ia lalu mengangkat wajahnya dan mulai bernyanyi.

‘berulang kali, kau..’

“eh..eh brenti dulu, perkenalkan dulu nama kamu..” potong si dosen.

“huffth…. perkenalkan semua, nama saya Ferdinand arjuna sitohang,panggilan dinan, saya
lulusan dari salah satu sma negeri di medan, salam kenal..” ia lalu melirik ke dosen.
“silahkan..”

Ferdinand pun kembali bernyanyi, awalnya terlihat kaku, ia sangat gugup, beberapa kali juga ia
salah. Namun doertengahan ia mendapatkan percaya dirinya, ia ternyata memiliki suara yang
indah. Juno pun memandangi Ferdinand dengan begitu kagum.

‘ku harus pergi meninggalkan kamu, yang telah hancurkan aku, sakitnya.. sakitnya.. oh
sakitnya…
‘cintaku, lebih besar dari cintanya, cukup aku rasakan, bukan dia, bukan dia, tapi aku…

Selesai sudah lagu itu dinyanyikannya, seluruh mahasiswa dalam ruang itu bertepuk tangan
bersama saat ia selesai, termasuk Juno yang duduk di samping dosen. Sang dosen pun tersenyum
melihatnya.

“bagus, bagus, sekarang kalian berdua duduk sana… ” perintah sang dosen.

Ferdinand dan Juno pun menurut mereka mencari tempat di bagian belakang ruangan itu, mereka
pun duduk bersebelahan. Ferdinand dari tadi diam saja, Juno pun membuka pembicaraan.

“suara kamu bagus banget, gak kalah sama penyanyi aslinya..”

“biasa aja..” jawab Ferdinand ketus.

“kenalin aku Juno..” ia mengulurkan tangannya.

“hmm, gua Ferdinand udah denger kan tadi” ia menyambut jabatan tangan Ferdinand tetap
dengan style juteknya.

“iya iya, jutek amat sih..” ketus Juno.

Iapun membenarkan posisi duduknya, lalu mulai serus memperhatikan penjelasan dosen, ia tak
menyadari sebenarnya dari tadi dinan terus saja melihatinya. Beberapa kali ia mencuri pandang,
tak di sadari Juno, sampai entah kali keberapa dinan melakukannya, Juno menyadarinya.

“hayo, ngeliatin aku ya dari tadi??”

“ah, ngapain.. nggak kok, ge er banget sih lo” jawab dinan gugup.

“alaah ga usah bo’ong, lagian kalo emang enggak biasa aja dong, ga usah gugup gitu, tuh pipi
kamu merah ampir kayak tomat, he..”

“ahh, terserah lo deh” ia memalingkan wajahnya membelakangiJuno.

“ha.. ha.. ha..” Juno cengar cengir disampingnya.

“errrrggghhhhh” gerutu dinan.

Tak terasa 6 jam pun berlalu, kuliah hari pertama pun selesai, entah kebetulan atau apa, Juno dan
Ferdinandsekelas terus dari 3 mata kuliah hari itu. Jam sudah menunjukan pukul 3 sore saat
mereka pulang.

“hey!” seru Juno saat melihat Ferdinand dengan cepat keluar dari kelas, ia ingin mengembalikan
handphone dinan yang tertinggaldi bangkunya.
Entah tak mendengar atau memang ingin menghindar, dinan tak mengindahkan panggilan Juno.
Ia terus berjalan menuju tempat parkir. Dengan cepat di menaiki motornya lalu menjalankannya
keluar areal kampus. Dengan sigap Juno pu berlari menuju motornya, lalu mengejar dinan
sebelum terlalu jauh.

“hey, berhenti dulu…!” teriak Juno saat motornya sudah di belakang dinan, entah tak terdengar
atau memang sengaja mengabaikannya, dinan teris memacu motornya menjauh dari Juno,
mereka menyusuri jalan raya yang lengang di sore hari, di sisi kiri jalan terhampar laut lepas
yang dengan indah membiaskan cahaya matahari yang hampir terbenam.

“hey, berhenti dulu dooong !, kamu gak dengar apa pura-pura budeg sih ???” Juno makin kesal.

Mendengar itu bukannya melambat, dinan malah menginjak gas hingga semakin cepat menjauh
dari Juno, Juno pun tak mau kalah ia semakin mempercepat motornya mengejar dinan.

“oh, jadi mau balapan nih ceritanya ? oke…, kita balapan sampe lampu merah di ujung sana,
kalo aku yang menang , kamu berhenti , oke ?” ujar Juno setengah teriak.

Tidak menjawab, dinan malah menginjak gas meninggalkan Juno.

“woi !, curang yah !” Juno pun menginjak gas. Alhasil terjadilah balapan mini antara Juno dan
Ferdinand di sore yang cukup cerah itu, beberapa kali terjadi kejar mengajar, kadang Juno
memimpin, kadang pula dinan yang memimpin, mendekati lampu merah posisi mereka sama,
kecepatannya pun sama.

“udahlah, kamu gak bakal menang deh lawan aku, gini-gini aku sepupunya lorenzo tau, haha..”
Juno kembali menginjak gas meninggalkan dinan di belakang.

“sialan !, awas lu ya!, waaaaaa… !” saat ingin menginjak gas, sebuah truk sampah melintas di
depannya, hampir saja tertabrak.

“hahahaha..” Juno tertawa melihat kejadian di belakangnya itu, tak mau emnyia-nyiakan ke
sempatan ia pun memacu motornya dan akhirnya ia berhasil mencapailampu merah lebih dulu,
dinan mengikutinya dari belakang.

“hehe.. aku yang menang kan” ledek Juno.

“huh, coba kalo nggak ada tu truk sampah sialan..” ketus dinan.

“udah udah, udah untung kamunya gak ke tabrak, eit janji tetep janji, yuk kita nepi ke situ tuh,
dah mau sunset nih, keren tau..”

“huh, ngapain sih ke situ, emang lu mau apa kejer-kejer gua dari tadi ?”

“udah ga usah bawel ikut aja”


Akhirnya dinan pun mengalah ia mengikuti Juno menuju taman kota yang letaknya di persis di
tepi laut lepas manado yang sore itu membaskan sinar matahari senja dengan begitu indahnya.
Mereka berhenti di salah satu sudut taman itu. Juno turun dari motor diikuti dinan, mereka
melepas helm bersamaan, Juno lalu membuka tasnya mengambil sesuat di dalamnya, sebuah
kamera.

Ia lalu berjalan mencari sudut yang tepat untuk memotret matahari senja di situ, setelah
mendeapat tempat yang tepat ia mulai memotret. Dinan mengikutinya dengan malas dari
belakang, ia tak mengerti maksud Juno membawanya kesini.

“lu ngapain sih bawa gua kemari ?” cetus dinan saat Juno terlihat sudah selesai memotret,
padahal sebetulnya ia senang di ajak Juno ke situ.

Juno mengeluarkan handphone dinan dari sakunya, “ceroboh banget sih, hp mahal gini
ditinggalin, nih..” kata Juno sambil tersenyum sembari menyerahkan hp itu ke tangan dinan.

“oh, damn… maaf yah..” dengan canggung dinan mengambil hp itu.

“udah ga pa-pa kok, oh iya kamu dari sma mana ?, kalo aku dari sma 3…” kata Juno sambil
memandang laut lepas.

Ferdinand tak menjawab. Lalu hening menyergap. Dua insan itu asyik dengan benak mereka
masing-masing. Beribu kata-kata sudah ada di ujung lidah ke duanya namun masih saja sulit
mengeluarkannya. Terkekang ego keduanya. Juno bergerak kemudian, ia merogoh sesuatu dari
sakunya. Dua buah Lolypop.

“nih..? satu buat kamu, satu buat aku. Hmm, mungkin terdengar konyol, aku bisa ngerasa lebi
tenang kalo makan ini, jadi kemana-mana selalu aku bawa.”

Tanpa kata-kata Ferdinand mengambil lolypop itu dari tangan Juno. Benda manis itu pun
menjadi teman percakapan mereka sore itu.

“gua, gua pindahan dari jakarta.. bokap pindah tugas ke manado.” Ferdinand

“oh gitu yah, pantesan lu gua lu guanya kentel banget yah ?, hehe..”

“bisa aja lu, eh.. kamu..”

“haha, tu kan.. , aku juga dari jakarta lo, aku besar di sana cuman pas aku masuk smp mama
sama papa cerai, aku ikut mama balik ke kampung halamannya, ya manado ini..”

“hmm, jadi kamu broken yah..”

“gitu deh, he.. tapi gak parah-parah amat kok, komunikasi aku sama papa sampe sekarang lancar
lancar aja, minimal sebulan sekali dia datang buat ketemu aku”
“hmm baguslah, eh anyway thanks yah kamu balikin hp aku, gak tau deh jadinya kalo yang
nemuin bukan kamu”

“yaudah, lain kali jangan ampe lupa lagi, oke kita pulang yuk, tiba-tiba mendung lagi, mau ujan
kayaknya..”

“yaudah yuk, btw rumah kamu di mana?”

“rumahku deket sma 1, ampe sekarang aku gak hafal nama jalannya, he.. aneh ya?”

“deket sma 1 yah, berarti kita searah tuh, bisa bareng dong kalo ke kampus..”

“wah, kebetulan tuh, bisa-bisa, yaudah yuk,.. aww..” tibatiba tubuh Juno limbung, ia memegang
kepalanya menahan sakit, tubuhnya terhempas pelan ke arah dinan, hidungnya pun
mengeluarkan darah.

“aduh, kamu kenapa jun ? hidung kamu ..” sontak dinan panik.
Rasa sakit itu perlahan hilang, Juno kembali berdiri tegap, ia rogoh sakunya mengambil sapu
tangan lalu menyeka darah segar yang keluar dari hidungnya.

“hehe.. sorry yah bikin kamu panik, ga papa kok, ini udah biasa, sejak sma aku kayak gini,
yaudah balik yuk, nih udah mulai gerimis tuh”ujar Juno dengan santai sambil tersenyum ia
memakai helmnya.

“serius kamu gak apaapa jun?” dinan masih terlihat panik.

“iya aku udah ga papa, biasa aja kali tu muka, nih pake deh nih helm, ga usah banyak tanya
bawel” cetus Juno sembari memakaikan helm dinan ke kepalanya, dinan hanya bisa diam saat
itu, ia terus memandangi sosok pemuda tampan di depannya itu, nyaman, itulah yang dia rasakan
saat di sampingnya.
“yaudah, yuk..”

“oke”

Mereka berdua pun pulang kerumah masing-masing, rumah mereka searah, tepat di tikungan
depan rumah Juno mereka berpisah. Juno memandangi dinan melaju dengan motornya sampai
menghilang di tikungan selanjutnya.

***

“pagi pa, hmm… harum banget nih, tumben masak pa…”

“iya dong, ini kan hari minggu… papa baru punya waktu off, harus di manfaatin benar-benar, nih
cobain..”
“mmmhh, enak banget pa, sering-sering aja kayak gini pa, dinan makan yah, lalalalalala…” kata
dinan sambil bernyanyi-nyanyi menuju meja makan.

“ada angin apa nih sama anak papa yang satu ini, kayaknya akhir-akhir ini hepi banget, haa…
papa tau nih, kamu lagi jatuh cinta yaa?, hayo ngaku sama papa..”

“ih apaan sih pa, mau tau aja..” jawab  dinan dengan mulut penuh makanan.

“halah, ga usah bohon kamu sama papa, keliatan kok dari muka kamu, papa paling tau gimana
gejala-gejala jatuh cinta.. haha..” ujar papanya dengan santai.

“iya, soalnya papa kan paling sering tuh jatuh cinta, hahaha…, wek..” dinan meledek bapaknya
lalu berlari keluar ruang makan.

“anak itu..” gumam ayahnya.

Minggu pagi yang cerah di pusat kota manado kala itu, Juno sedang asyik memotret
pemandangan laut di taman yang waktu itu. Dinan akhirnya tau itulah tempat favorit Juno di kota
itu, hampir tiap hari Juno datang ke tempat itu untuk sekedar nongkrong atau memotret
pemandangan yang memang sangat indah dari sana.

Pagi itu seperti biasa, Juno sedang melakukan hobby barunya, melukis Juno yang sedang
memotret pemandangan di taman itu. Ia menggambarnya dengan teliti, setiap detailnya,
wajahnya, tubuh tegapnya, semuanya, saat tengah asyik menggambar….

“hayo, lagi nyariin aku yah ?, itu gambar apaan sih, liat dong…”

“kyaaaa… ! kamu kok, disini.. tadi.. ini, oh nggak kok, ini ini bukan apa apa.. aduhhh..” dinan
terlonjak kaget hingga melempar semua kertas di tangannya hingga berserakan di lantai,
semuanya gambar Juno.
“yah maaf yah, sini aku bantuin, hmm… gambar siapa nih, jelek banget..” kata Juno sambil
melirik ke arah dinan, dinan semakin gugup.

“hah, oh.. eh.. itu.. arggghh…” ia lalu berlari menjauh dari Juno tanpa sempat memungut semua
gambar yang berserakan itu.

“hey nan tunggu, ini masih ada gambar kamu…” Juno memungut sisanya lalu berlari mengejar
dinan.
Juno pun mencapainya,

“huh.. nih gambar kamu, aku bercanda kali tadi nan, gambarmu bagus, cuman kayaknya aku
kenal, he.. tapi siapa yah” Juno pura-pura tidak tau.

Tiba-tiba dinan memeluknya, tanpa bersuara ia terus memeluknya dengan erat.

“nan, kamu baik-baik aja?” kata Juno heran.


“aku cinta sama kamu jun, aku suka sama kamu sejak pertama kita ketemu waktu itu,itu semua
gambar kamu, satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk terus mengagumimu tanpa kau ketahui,
aku.. aku sayang sama kamu, aku bingung dengan semua ini, aku tau ini salah, tapi, aku.. aku..”

Juno yang dari tadi diam pun membalas pelukan Juno dengan hangat, tanpa perlu di kataan pun
Juno sudah tau semua itu, perasaan dinan padanya, rasa yang sama yang ia juga rasakan memang
tidak sejak pertama mereka bertemu, tapi rasa itu perlahan tumbuh seiring berjalannya waktu.

“aku juga suka sama kamu nan, aku sayang sama kamu, memang nggak ssejak pertama kita
bertemu, tapi seiring berjalannya waktu, dari semua perhatian kamu ke aku, dari semua ketulusan
dan kesungguhan kamu ke aku, aku pun sadar aku cinta sama kamu, mulai hari ini kamu nggak
perlu menggambar aku untk terus mengagumiku, aku milik kamu seutuhnya sekarang” ujar Juno
dengan tenang dalam pelukan dinan.

“kamu serius jun, aku nggak lagi mimpi kan, hwaaaaa… yeyeyeyeye… hahaha I LOVE YOU
JUNOOOO !!!” dinan berteriak kegirangan sambil berdiri di kursi taman tanpa mempedulikan
sekitarnya, Juno hanya tersenyum melihat tingkah kekasih barunya itu.

Tiba-tiba ia turun dan dengan cepat mengecup pipi Juno didepan umum, sangat cepat lalu ia
kembali duduk sambil senyam-senyum sendiri.

“idih, main nyosor aja ya..”

“hehe, udah bole kan yank..” tiba-tiba Juno menarik tubuhnya lalu mendaratkan ciuman mesra ke
bibirnya.

Dinan terbelalak melihat Juno melakukan itu, jantungnya berdetak 10x lebih cepat saat itu,
waktu rasanya berhenti, bumi pun berhenti berputar saat itu, Juno melumat bibirnya dengan
lembut dan penuh perasaan, perlahan dinan pun membalas ciuman Juno dengan lembut, dunia
rasanya hanya milik mereka berdua saat itu, mereka tak peduli orang-orang yang lalu lalang
memperhatikan mereka.

“i love Ferdinand..”
“love you too Juno…”

THE END

Anda mungkin juga menyukai