Anda di halaman 1dari 37

DAFTAR ISI MIMPI JADI ENTREPRENEUR.................................................................................................................3 MENJADI ENTREPRENEUR, SEMUA BISA...........................................................................................3 MANAGER YANG BERJIWA ENTREPRENEUR...................................................................................

4 GAGAL KULIAH, JADILAH ENTREPRENEUR....................................................................................5 BERANI DULU, BARU TRAMPIL.............................................................................................................6 KAYA IDE, MISKIN KEBERANIAN.........................................................................................................7 PELUANG BISNIS DI SEKITAR................................................................................................................8 BUKAN MELULU KARENA UANG..........................................................................................................9 MEMULAI BISNIS BARU..........................................................................................................................10 MEMULAI BISNIS TANPA UANG TUNAI.............................................................................................11 MITOS HUTANG........................................................................................................................................12 BERHUTANG ITU MULIA........................................................................................................................13 JANGAN JADI PENGUSAHA KLIEN.....................................................................................................14 BELAJAR BISNIS SAMBIL JALAN........................................................................................................15 PROSES KREATIF BERWIRAUSAHA...................................................................................................16 KEBERANIAN ENTREPRENEUR WANITA.........................................................................................18 KEBERUNTUNGAN DAN TIMING.........................................................................................................19 SUKSES ITU BIKIN "PEDE"....................................................................................................................20 REJEKI ITU BISA DIRENCANAKAN.....................................................................................................20 SUKSES ITU GURU YANG JELEK.........................................................................................................21 KARIR ENTREPRENEUR.........................................................................................................................22 BISNIS KELUARGA...................................................................................................................................23 JIKA ANAK INGIN BISNIS.......................................................................................................................24 BODOL, BOTOL, DAN BOBOL................................................................................................................25 MAU BIKIN APA LAGI..............................................................................................................................26 Mochamad Muhaimin/MJT/APP, 1 ENTREPRENEUR UNIVERSITY

BANGUN BISNIS, BELI PROPERTI........................................................................................................27 SETELAH PENSIUN, MAU APA?............................................................................................................28 MALU MEMASAK, SESAT DALAM BERBISNIS !..............................................................................28 JADI RAJA PROPERTY DENGAN JUAL RUMAH SENDIRI............................................................30 DAYA UNGKIT BISNIS.............................................................................................................................32 VIRUS ENTREPRENEUR..........................................................................................................................33 JADI PENGUSAHA TAK HARUS PINTAR............................................................................................34 KAYA ITU MIMPI......................................................................................................................................36 BELAJAR MANDIRI DENGAN BUKA USAHA....................................................................................36

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Mimpi Jadi Entrepreneur


Sunday, 24 October 2004

Jika kita punya tekad besar, tak mustahil hal itu akan terwujud. Banyak di antara kita, yang ingin bekerja pada perusahaan orang lain, sebagai karyawan. Apakah itu karyawan perusahaan swasta maupun pegawai negeri. saya kira alasannya, kita tentu sudah tahu semua, yaitu sebagai karyawan yang dibutuhkan adalah keamanan. Setiap bulan ada kepastian terima gaji. Setelah tua dapat pensiun. Mengapa tidak tertarik untuk menjadi entrepreneur. Saya kira, hal itu karena di antara kita banyak yang tidak

siap menghadapi risiko atau lebih tepat disebut suka menjauh dari risiko. Sehingga, tidak mengherankan,
banyak di antara kita yang kemudian takut untuk menjadi entrepreneur. Karena inginnya aman-aman saja, saya kira itu sebabnya mengapa yang sudah jadi karyawan pun sulit untuk berubah menjadi entrepreneur. Oleh karena itu, saya mengajak bagaimana kalau kita menjadi entrepreneur. Menurut saya, jika kita punya tekad besar, tak mustahil hal itu akan terwujud. Saya yakin, kita akan lebih bangga, karena kita akhirnya punya banyak karyawan, dan bisa menggaji mereka, cobalah kita jalani. Pemikiran saya ini memang beda dengan saat kita sekolah dulu. Dimana setelah kita lulus nanti, mencari kerja, lalu bekerja keras, dan terus mendapatkan uang. Setelah uang itu kita raih, uang itu kita tabung. Jadinya, kita tak pernah belajar bagaimana untuk berani mengambil risiko. Kita tak pernah belajar bagaimana untuk berani membuka usaha. Tapi sebaliknya, kita justru lebih diajarkan bagaimana kita bisa mencari pekerjaan pada perusahaan orang lain atau istilah lain, menggantungkan nasib kita pada orang lain. Akhirnya apa yang terjadi, kalau dia terkena PHK. Akibatnya, mereka pun menganggur. Saya justru berpendapat, bahwa sistem pendidikan kita semestinya tidak seperti itu. Tapi sebaliknya, sistem pendidikan kita seharusnya mengajarkan bagaimana kita bisa mandiri. Oleh karena itulah, menurut saya, di era otonomi sekarang ini tak ada salahnya kalau kita mau membangun mental dan emosi kita. Kita harus pula selalu punya keberanian mengambil risiko. Kita tidak seharusnya takut membuat kesalahan, dan kita tidak seharusnya takut untuk gagal. Saya yakin, dengan begitu kita akan lebih punya keberanian membuka usaha. Bahkan, menurut Robert Kiyosaki, penulis best seller "Rich Dad Poor Dad", agar kita bisa menjadi pengusaha, maka kita harus punya mimpi. Kita harus punya tekad besar, kemauan untuk belajar, dan punya kemampuan Menggunakan dengan benar aset kita yang tak lain merupakan pemberian Tuhan. Itu sebabnya, mengapa banyak orang di sekitar kita yang tidak tertarik untuk memiliki bisnis sendiri. Jawabannya, dapat disimpulkan dalam satu kata: Resiko. Yah, takut menghadapi risiko. Sehingga, mental dan emosi kita hanya ingin aman-aman saja. Oleh karena itu, kenapa kita tidak mau mencoba menjadi pengusaha. Kalau kita punya mimpi dan tekad besal, saya berkeyakinan, kita bisa menjadi entrepreneur. Apalagi, kalau kita mau merubah mental dan emosi kita yang selama ini inginnya selalu menjadi karyawan. Mental dan emosi untuk selalu aman menerima gaji, seharusnya kita ubah menjadi mental dan emosi untuk bisa memberi gaji. Anda berani mencoba?

Menjadi Entrepreneur, Semua Bisa


Wednesday, 27 October 2004

Menjadi entrepteneur sangat tergantung kemampuan kita merekayasa diri.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Menjadi entrepreneur, saya yakin siapapun bisa. Hal ini, sengaja saya ungkap dalam tulisan ini, mengingat di lapangan kita masih sering melihat bahwa kebanyakan orang Padang, Bugis atau keturunan Cina itu lebih berhasil di bidang bisnis dibanding lainnya. Sehingga disimpulkan, bahwa hal itu karena sifat keturunan atau bakat. Saya kira itu bukan satu-satunya. Justru yang benar, menurut saya, anak-anak mereka sejak kecilnya memang telah belajar secara informal tentang bisnis (yang menjadi dunia orang tuanya) dari lingkungan keluarganya terus menerus, dan kemudian merekamnya dalam memori otaknya, yang selanjutnya membentuk pola berpikir dan cara berperilaku. Dalam konteks ini, saya justru berpendapat, meski kita tak ada bakat dagang, bisa saja jadi pedagang atau wirausahawan. Karena itu, janganlah kita merasa rendah diri hanya karena persoalan berbakat atau tidak. Menurut saya, untuk menjadi pengusaha itu juga tak mengenal usia tua atau muda. Kaya atau miskin. Jenius atau tidak. Mahasiswa atau bukan. Sudah sarjana atau belum. Dan, gelar formal seseorang itu, saya kira, bukanlah jaminan atau faktor penentu satu-satunya untuk kita berhasil menjadi pengusaha. Bahkan, Al Ries, seorang penulis buku: "Positioning: The Battle of Your Mind", ini pernah mengungkapkan, bahwa lebih dari lima puluh persen anggota eksekutif puncak di Mc. Donald's Corporation, ternyata juga tidak bergelar akademis. Namun, mereka mampu meraih kesuksesan yang luar biasa. Selain itu, untuk menjadi pengusaha itu, juga tidak mengenal etnis. Artinya, etnis apapun bisa menjadi pengusaha yang sukses. Maka, sebaiknya janganlah ada kekhawatiran lainnya yang mungkin masih terbayang dibenak kita atau yang intinya kita "alergi" dengan dunia usaha. Sebab, sesungguhnya keberhasilan seseorang menjadi pengusaha sangat tergantung pada kemampuan kita untuk merekayasa diri melalui pengalaman hidup di luar keluarga. Misalnya, bisa melalui pendidikan atau pelatihan atau mentoring. Atau bisa juga kita belajar dari pengalaman di lapangan atau istilahnya "universitas kehidupan". Apalagi, kalau kita juga mampu melaksanakan empat tugas pokok seorang wirausahawan, yakni: tugas kreatif, tugas manajerial, tugas interpersonal, dan tugas kepemimpinan. Hal tersebut tentunya akan lebih memungkinkan lagi bagi kita, untuk lebih bisa meraih keberhasilan dalam karier sebagai pengusaha yang sukses.

Maka, sekali lagi, percayalah pada kemampuan kita. Pemikiran pesimistis yang membuat kita merasa tidak mampu menjadi pengusaha, itu harus kita buang jauh-jauh. Sebaliknya, kita tidak hanya yakin sekadar bisa menjadi pengusaha, tapi kita pun akan semakin yakin dan mampu menjadi pengusaha yang sukses.
Saya yakin, dengan kita bersikap begitu, pasti selalu ada jalan untuk menjadi pengusaha yang sukses. Itu ibarat air yang tak akan mulai mengalir kalau krannya belum diputar. Anda berani mencoba?

Manager Yang Berjiwa Entrepreneur


Thursday, 30 June 2005

Memajukan perusahaan, saya kira, itulah harapan setiap orang yang bergerak di bidang bisnis. Itu hal yang sangat mungkin, asal orang-orang yang ada di dalamnya mau berusaha mewujudkan keinginan tersebut. Menurut saya, salah satu jalan untuk mewujudkan keinginan tersebut diantaranya adalah membentuk manajermanajer yang berjiwa entrepreneur di sebuah perusahaan.

Hal ini sangatlah penting. Sebab jika tidak, akan berakibat pada perusahaan atau bisnis itu sendiri, yakni usaha akan berada pada posisi stabil atau status quo. Kondisinya hanya begitu-begitu saja.
Namun lain halnya, apabila sebuah perusahaan memiliki manajer yang berjiwa entrepreneur, saya yakin bisnis yang tersebut akan lebih berpeluang cepat berkembang. Juga, akan lebih siap menghadapi persaingan bisnis

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

yang ketat di era globalisasi. Selain itu, manajer berjiwa entrepreneur akan membuat sebuah perusahaan lebih kreatif dan inovatif. Sebab, bisnis yang sudah mencapai titik optimum biasanya jika tidak disentuh oleh manajer berjiwa entrepreneur, justru akan mengalami kondisi menurun. Saya sendiri merasakan bahwa ketika sebuah perusahaan memiliki manajer berjiwa entrepreneur, biasanya perusahaan tersebut juga akan selalu siap menghadapi setiap perubahan dalam bisnis. Itu pula yang saya kira, ada di perusahaan saya. Dan, perubahan, bagi manajer berjiwa entrepreneur adalah pekerjaan itu sendiri. Sedangkan resiko yang timbul juga bagian dari pekerjaannya. Persis seperti yang dikatakan oleh William Ahmanson, bahwa dalam bisnis tidak ada jalan lurus yang dapat ditempuh dari tempat satu ke tempat lain. Maka, dalam konteks inilah, saya melihat, bahwa ada tiga komponen di dalam sebuah bisnis, meliputi: investor (orang yang mencari resiko), entrepreneur (orang yang mengambil resiko), dan manager (orang yang menghindar dari resiko). Dan, dalam kondisi bisnis yang baik, jiwa entrepreneur menjadi hal yang sangat penting. Apalagi di saat sebuah usaha harus menghadapi krisis ekonomi, tentu saja sikap ini akan lebih penting lagi. Karena itu, kita bisa melihat, bagaimana orang-orang barat yang bergerak di dunia usaha juga terus melakukan pengambangan bentuk-bentuk intuisi, yang saya tahu itu sangat banyak membantu dalam mengembangkan usahanya. Itu juga pertanda, bahwa mereka memiliki jiwa entrepreneur. Adapun ciri-ciri manajer berjiwa entrepreneur memang tidak hanya itu. Menurut J.A Schumpeter dalam bukunya The Entrepreneur as Innovator, manajer berjiwa entrepreneur juga merupakan sosok yang berambisi tinggi di dalam mengembangkan bisnisnya, energik, percaya diri, kreatif dan inovatif, senang dan pandai bergaul, berpadangan ke depan, bersifat fleksibel, berani terhadap resiko , senang mandiri dan bebas, banyak inisiatif dan bertanggung jawab, optimistik, memandang kegagalan sebagai pengalaman yang berharga (positif), selalu berorientasi pada keuntungan, dan gemar berkompetisi. Berbeda dengan manajer yang tidak berjiwa entrepreneur. Biasanya mereka cenderung berpikir sangat rasional, suka kemapanan, dan tidak menginginkan adanya perubahan. Kerap kali terjadi mereka mengalami kesulitan dalam mengikuti gaya berpikir seorang entrepreneur. Mereka juga akan kesulitan mengikuti langkah-langkah bisnis entrepreneur. Namun ketika seorang manajer memiliki sense of entrepreneur, biasanya ia akan bisa menjadi entrepreneur sejati. Dan, apabila Anda sebagai entrepreneur telah memiliki manajer yang menjalankan usaha Anda, sebaiknya manajer perusahaan yang berjiwa entrepreneur tersebut Anda beri lagi sebuah tantangan yang lebih besar, misalnya mengelola unit usaha anda, lantas berbekal jiwa entrepreneur yang dimilikinya, ia memberanikan diri mendirikan usaha sendiri. Itu tentu saja lebih baik. Sebab tindakannya itu akan membantu menciptakan lapangan kerja, entrepreneur-entrepreneur baru pun semakin sering bermunculan. Memang, pada akhirnya bisa jadi ia akan menjadi kompetitor Anda jika ternyata bisnis yang digelutinya sama dengan bisnis Anda. Saran saya, anggap saja itu sebagai bumbu penyedap dalam menggeluti bisnis. Selamat menjadi manajer berjiwa entrepreneur. Atau, membentuk manajer Anda memiliki karakter entrepreneur . Gagal Kuliah, Jadilah Entrepreneur
Sunday, 24 October 2004

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Mulailah berwirausaha justru di saat kita tidak punya apa-apa. Waktu kuliah dulu saya punya teman yang pandai dan memiliki wawasan dunia bisnis yang lumayan. Ide-ide rencana usaha yang muncul dari pemikirannya sangat cemerlang. prospeltif, dan berpeluang besar untuk digarap. Selalu saja, ide-ide itu adalah ide bisnis yang menarik, Semua teman kuliah berdecak kagum dengan lontaran ide-idenya. Tetapi ide-ide itu tinggal ide saja. Sampai hari ini belum ada satu pun bisnis yang pernah dijalankannya. Malahan, terakhir saya ketemu dia, berstatus karyawan sebuah perusahaan publik di Jakarta. Dia memang terlalu pandai untuk merencanakan sebuah usaha sekaligus terlalu takut untuk memulai. Ada juga mahasiswa yang pernah datang pada saya. Dia menyatakan ingin berwirasusaha, kemudian dia mengatakan, bahwa dirinya belum punya modal dan tidak begitu pandai. Saya katakan pada dia: "Kebetulan!" Kemudian saya katakan lagi: "Jangan takut, karena modal utama untuk memulai bisnis adalah keberanian." Mengapa saya katakan seperti itu? Sebab, biasanya kalau terlalu pinter itu malah terlalu berhitung. Orang yang tahu banyak hal, maka dia akan tahu banyak risiko dan halangan di depannya. Hal itu menurut saya justru akan menciutkan nyalinya. Saya malah pernah bilang pada seorang sarjana yang ingin berwirausaha. Saya katakan: "Sekarang, abaikan ijazahmu. Buatlah dirimu seolah-olah tidak punya apa-apa, kecuali semangat dan keinginan yang kuat." Saya teruskan: "Mulailah berwirausaha justru pada saat Anda tidak punya apa-apa. Saat Anda merasa tertekan. Saat Anda tidak dapat berbuat apa-apa dengan ijazah Anda. Saat Anda kebingungan karena harus bayar kredit rumah. Atau pada saat Anda merasa terhina." Memang nasehat saya ini agak berbeda dengan kebanyakan orang. Biasanya orang menyarankan, kalau mau usaha sebaiknya mengumpulkan modal dulu, kemudian cari tempat dan seterusnya. Tetapi, banyak orang sukses sebagai wirausahawan justru dimulai dari sebaliknya, hanya punya semangat dan tidak punya apa-apa. Kondisi yang ada memaksa mereka harus "bermimpi" tentang masa depannya, kemudian tertantang untuk menggapainya, dan berusaha keras untuk mewujudkannya. Anda tentu tahu atau paling tidak pernah mendengar nama Steve Jobs. sebelumnya dia bukan siapa- siapa. Jobs hanyalah anak muda yang gemar bercelana jeans belel dan berkantong kempes. Belakangan, dia membuat Apple Computer di garasi rumahnya, dan mendirikan perusahaan yang masuk Fortune 500 lebih cepat dari siapapun sepanjang sejarah. Jobs adalah contoh orang yang berhasil dalam berwirausaha, justru bukan karena kepandaiannya di bangku kuliah. Tapi, karena ia memiliki keberanian dan keyakinan akan usaha yang digelutinya. Dia mampu bertindak merealisasi gagasannya dengan meninggalkan lingkungan kuliah dan temantemannya yang suka berhura-hura. Tapi, saya tidak menyarankan Anda untuk mengabaikan pendidikan. Hanya saja, saya ingin mengatakan, bahwa untuk menjadi wirausahawan terlebih dahulu dibutuhkan keberanian memulai (bertindak), untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Hal tersebut harus segera dilakukan, sebelum orang lain mendahuluinya. Kepandaian akademis akan diperlukan bila usaha kita sudah berjalan, dan itu bisa kita dapatkan dengan mengikuti kuliah lagi, atau kita bisa membayar orang-orang pandai sebagai karyawan atau konsultan.

Berani Dulu, Baru Trampil


Sunday, 24 October 2004

Saya bisanya hanya nggodhog wedang atau merebus air, tapi akhirnya saya bisa juga punya restoran. Itu karena, saya punya keberanian. Saat saya berbicara pada kuliah kewirausahaan di Fakultas Ekonomi sebuah universitas

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

swasta di Yogyakarta, saya sempat ditanya para mahasiswa: "Apakah seorang untuk menjadi pengusaha itu harus memiliki keterampilan dulu ?" Saya rasa, ini pertanyaan bagus. Pertanyaan yang sama pernah juga hinggap di benak saya, yaitu saat saya baru memulai menjadi pengusaha. Saat pertanyaan ini saya balikkan pada mereka, teryata sebagian besar mahasiswa mengatakan: "Perlu terampil dulu, baru berani memulai usaha." Saya rasa jawaban mereka tidak bisa disalahkan. Mereka cenderung menggunakan otak rasional. Padahal menurut saya, untuk menjadi pengusaha, kita harus berani dulu memulai usaha, baru setelah itu memiliki keterampilan. Bukan sebaliknya, terampil dulu, baru berani memulai usaha. Sebab, saya melihat di Indonesia, ini sebenarya banyak sekali pengangguran yang tidak sedikit memiliki keterampilan tertentu. Namun, mereka tidak punya keberanian memulai usaha. Akibatnya, keterampilan yang dimiliki apakah yang diperolehnya saat sekolah atau bekerja sebelumnya, akhirnya banyak yang tidak dimanfaatkan. Itu 'kan itu sayang sekali. Seperti yang saya alami sendiri, saat membuka usaha Restoran Padang Sari Raja. Saya katakan pada mereka, bahwa terus terang saya tidak bisa membuat masakan padang yang enak. saya penikmat masakan padang. Tapi saya tidak tahu bumbunya apa saja yang membuat masakan tersebut enak. Saya katakan pada mereka: "Saya bisanya hanya nggodhog wedang atau merebus air". Itu artinya apa? Saya bisa punya usaha restoran, karena saya punya keberanian. Begitu juga, saat saya dulu membuka usaha Bimbingan Belajar Primagama. Saya belum pernah mengajar atau menjadi tentor di tempat lain. Bahkan saya belum pernah menjadi karyawan di perusahaan orang lain. Namun, saya memberanikan diri untuk membuka usaha tersebut. Sebab, saya berpendapat, kalau kita tidak punya keterampilan, maka banyak orang lain yang terampil di bidangnya bisa menjadi mitra usaha kita. Karena itu bagi saya, yang terpenting adalah keberanian dulu membuka usaha. Apapun jenisnya, apapun namanya. Sebab, sesungguhnya, untuk menjadi pengusaha, keterampilan bukan segala-galanya. Tetapi keberanian memulai usaha itulah yang harus kita miliki terlebih dahulu. Banyak contoh, orang yang sukses menjadi manajer, tapi ternyata belum tentu sukses sebagai entrepreneur. sebaliknya, seseorang yang di awal memulai usaha dengan tidak memiliki keterampilan manajerial, tetapi ia memiliki keberanian memulai usaha, banyak yang ternyata berhasil. mau mengembangkan jiwa entrepreneur. Orang jenis terakhir ini selain memiliki keberanian, juga Oleh karena itulah saya kira, jiwa entrepreneur, harus kita bangun atau kita bentuk sejak awal.

Kaya Ide, Miskin Keberanian


Sunday, 24 October 2004

Kita harus ada keberanian untuk jatuh - bangun. Ada sebuah pertanyaan menarik dari seorang peserta "Entrepreneur University" angkatan ketiga saat mengikuti kuliah perdana pekan lalu. "Saya begitu banyak sekali ide bisnis, tapi nyatanya tak ada satu pun ide bisnis itu terealisir. Akibabnya, saya hanya sekadar kaya ide, tapi bisnis tak ada?", tanya peserta yang kebetulan ibu-rumah tangga itu. Saya kira, pertanyaan atau kejadian seperti itu tak hanya dialami oleh ibu tadi, tapi juga cukup banyak dialami oleh kita semua, bahwa yang namanya ide bisnis itu ada-ada saja. Tapi, yah hanya sekadar ide bisnis, sementara bisnisnya nol atau tak terwujud sama sekali.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Terkadang ide yang tidak kita realisir justru sudah dicoba lebih dulu oleh orang lain. Dalam konteks ini, saya berpendapat, sebenarnya untuk membuat bisnis, memang dibutuhkan ide. Hanya saja, karena kita hanya kaya ide, namun miskin keberanian untuk mencobanya, maka yang berkembang adalah idenya, sedang bisnisnya nol. Menurut saya, miskinnya keberanian itu bermula ketika kita mendapat pendidikan di sekolah atau di bangku kuliah, yang kita dapat hanyalah teori semata. Jadi, kita terlalu banyak berteori, tapi miskin praktek. Akibatnya, ketika kita kaya ide, miskin keberanian. Artinya, kalau kita hanya menguasai teori, namun kalau tidak bisa dipraktekkan, maka ide bisnis sehebat apapun akan sulit jadi kenyataan. Yah, seperti halnya, kita belajar setir mobil. Kalau kita hanya tahu teorinya, tapi tak pernah mencoba atau mempraktekkannya, tentu tetap tidak bisa setir mobil. Jadi, saya kira, persoalannya adalah terletak pada, bagaimana kita yang semula hanya kaya teori atau hanya sekadar bermain logika atau istilah lainnya hanya mengandalkan otak kiri , kemudian bisa berpikir atau bertindak dengan otak , kemudian bisa berpikir atau bertindak dengan otak kanan, Saya yakin, jika kita mampu juga menggunakan otak kanan, maka seperti pada saat kita setir mobil. Serba otomatis, tidak lagi harus dipikir, semua sudah di bawah sadar kita. Kalau pun, di saat kita praktek setir mobil atau mempraktekkan teori kita itu, terjadi berbagai kendala, seperti: di saat kita memasukkan mobil ke garasi, mobil kita sedikit rusak karena nyenggol pagar misalnya, saya kira nggak masalah. Begitu juga, ketika kita kecil belajar bersepeda, mengalami jatuh beberapa kali, itu sudah biasa. Tapi, akhirnya, bisa juga kita naik sepeda. Artinya, kita baru bisa naik sepeda setelah pernah mengalami jatuh beberapa kali. Di bisnis, saya kira itu juga sama. Kita harus ada keberanian untuk jatuh dan bangun. Sebaliknya, kalau tidak ada keberanian seperti itu, bisnis sekecil apapun tak akan ada. Dan, kalau kita biarkan ide bisnis itu, akibatnya kita hanya kaya ide bisnis, tapi miskin duitnya. Saya yakin, engan keberanian itulah akan mendatangkan duit. Oleh karena itulah, menurut hemat saya, lebih baik kita berani mencoba dan gagal dari pada gagal mencoba. Anda berani mencoba?

Peluang Bisnis Di Sekitar


Monday, 25 October 2004

Kita harus ada keberanian untuk jatuh - bangun. Ada sebuah pertanyaan menarik dari seorang peserta "Entrepreneur University" angkatan ketiga saat mengikuti kuliah perdana pekan lalu. "Saya begitu banyak sekali ide bisnis, tapi nyatanya tak ada satu pun ide bisnis itu terealisir. Akibabnya, saya hanya sekadar kaya ide, tapi bisnis tak ada?", tanya peserta yang kebetulan ibu-rumah tangga itu. Sebenarnya di sekitar kita ini banyak sekali macam bisnis yang bisa diraih. Hanya saja, kita harus betulbetul memahami kebutuhan masyarakat konsumen. Sebagai contoh, di beberapa kota di Amerika Serikat, sudah banyak bisnis yang dikembangkan dari ide-ide sederhana seprti bisnis membangunkan orang tidur (morning call). Aneh, tapi itu nyata. Tentu, pengguna jasa ini harus menjadi member terlebih dahulu dengan membayar annual fee dalam jumlah tertentu. Ada juga bisnis yang di sini masih langka dan belum memasyarakat, yakni bisnis menyewakan pakaian dan perlengkapan bayi. Barangkali sekarang ini belum banyak yang kita temukan. Namun, saya yakin jika kita kreatif, akan mampu melihat peluang bisnis sebanyak-banyaknya dan mampu menangkap satu atau dua di antaranya. Pendek kata, peluang bisnis tidak akan pernah ada habisnya, selama minat manusia masih menjalankan hajat hidupnya di dunia ini.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Dimana saja sebenarnya peluang bisnis disekitar kita? Misalnya, Saat ldul Fitri yang membawa tradisi kirim mengirim parcel dan buah tangan lainnya, walau itu sifatnya musiman, namun saya melihat itu adalah peluang bisnis. Awalnya musiman, tetapi bila dikembangkan dan ditekuni dapat dijadikan bisnis permanen bersama berkembangnya kehidupan sosial masyarakat. Keterampilan tertentu juga bisa dijadikan peluang bisnis. Terampil dibidang elektronika misalnya, bisa membuka bisnis reparasi dan maintenance alat-alat elektronik. Ahli di bidang komputer bisa membuka bisnis software dan hardware. Terampil di mesin, bisa memulai bisnis dari servis motor atau mobil. Atau barangkali, punya kreativitas yang berciri khas dan unik, kita bisa merintis bisnis kreatif, seperti Kaos Dagadu itu. Bahwa produk ini akhirnya jadi souvenir khas yogya, itu sebagai bukti bahwa kreativitas bisa jadi peluang bisnis yang menarik untuk digeluti. Maka, tidak ada salahnya, jika kita juga mencoba mengembangkan kreativitas yang tidak lazim dan unik, agar bisa dijadikan peluang bisnis. Tingkat pendidikan kita juga bisa menjadi peluang bisnis dengan pengembangan profesi. Misal sarjana matematika membuka kursus matematika. Sarjana Sastra lnggris memulai usaha dengan membuka kursus bahasa lnggris. Peluang bisnis juga ada dilingkungan keluarga. Bisa dimulai dengan berbisnis makanan atau katering dan keluarga bisa diajak serta, dan bisnis ini bisa dikelola dari rumah. Peluang itu juga terdapat di lingkungan pekerjaan, organisasi dan tetangga. Tentu saja, di lingkungan itu kita banyak teman. Maka, jika punya produk tertentu, bisa saja kita jual produk tersebut kepada mereka. Bahkan relasi kita pun bisa juga jadi peluang bisnis. Misalnya, bisa pinjam uang pada relasi untuk modal usaha. Produk yang dihasilkan, selain bisa dijual pada orang lain, juga pada relasi kita itu. Dengan begitu, kita tak hanya jeli mencari peluang bisnis, tapi juga mampu menciptakan Pasar. Begitu pula, jika punya hobi. Misalnya melukis, bisa jadi pelukis, dan lukisan itu bisa dijual digaleri. Bagi yang hobi senam aerobik atau body Inngunge, bisa berwirausaha buka studio senam. Bahkan, peluang bisnis itu juga bisa diraih saat kita melakukan perjalanan ke luar kota. lde bisnis bisa muncul setelah kita melihat bisnis di kota lain, dan itu bisa dikembangkan di kota sendiri. Hanya saja, agar bisnis yang akan dijalankan tidak sia- sia, ada baiknya pastikan dulu pasarnya. Tapi, tentu, peluang bisnis itu hanya bisa diraih, jika kita jeli dan gigih. Ingat pepatah yang mengatakan: " Tidak ada usaha, tidak ada hasil". Oleh karena itu, sebaiknya jangan ragu di dalam setiap meraih peluang bisnis yang ada di sekitar kita. Soal besar kecilnya peluang jangan jadi masalah. Tangkap dulu peluang yang ada. Dan, jangan khawatir, peluang bisnis yang berikutnya pasti akan mengikuti. Bisnis itu selalu mengalir, seperti bola salju, dimulai dari yang kecil lalu menggumpal menjadi besar.

Bukan Melulu Karena Uang


Monday, 25 October 2004

Kesukses bisnis kita bukan semata-mata uang, tapi visi. Karena itu, visi masa depan harus kita miliki. Saya kira, tidak sedikit obsesi entrepreneur dalam menekuni bisnisnya, bukan semata karena uang. Banyak dari mereka yang maju karena visi, yaitu ingin menciptakan lapangan pekerjaan, dan dari usahanya itu mempunyai dampak sosial bagi kesejahteraan masyarakat. Dan, karena visinya seperti itu, maka dengan berhasil menciptakan lapangan kerja, atau usahanya memiliki dampak sosial yang positif, maka hal itu pun sudah merupakan sesuatu yang sangat memuaskan dirinya. Bahkan, saya merasakan, bahwa dengan memiliki visi itu, maka kalaupun usaha yang kita jalankan tidak untung,

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

tetapi tetap jalan, maka hal tersebut bukanlah merupakan permasalahan yang amat penting. Selama ini saya jarang melihat, ada entrepreneur yang mencapai puncak prestasinya, dengan cara lebih menempatkan uang sebagai penggerak utamanya. Tapi saya berpendapat, keberhasilannya karena ia memang lebih punya kemampuan menggerakkan visinya. Sehingga, sosok entrepreneur seperti ini, selalu saja punya keinginan merubah cara kerja dunia. Mereka selalu kreatif dan inovatif, Mereka menikmati apa yang dilakukannya. Pendeknya, visi itulah yang sebenarnya menggerakkan entrepreneur melakukan sesuatu yang akhirnya usahanya meraih kesuksesan. Hanya saja, untuk bisa menjadi entrepreneur yang baik, maka perlu memiliki kebebasan untuk mengejar visi-visi tersebut. sebaliknya, jika tak dapat melakukannya, maka kita tidak akan pernah memperoleh keuntungan dari hal tersebut. Pengusaha yang bisa kita jadikan contoh memiliki visi yang luar biasa adalah Bill Gates pendiri perusahaan komputer perangkat lunak terbesar di dunia, Microsoft Corp, yang baru-baru ini meraih gelar Doctor (HC) di sebuah universitas di Jepang. Pengusaha ini termasuk orang tersukses pada akhir abad ke-20 dalam kategori bisnis. Namun, dari apa yang saya pahami, keberhasilannya itu karena ia memiliki visi dan komitmen untuk sukses, dan ternyata Bill Gates sangat menikmatinya. Jelas, bahwa kesuksesannya nyata-nyata bukan Semata- mata karena soal uang, tetapi karena ia memiliki komitmen yang luar biasa pada visinya. sesuatu yang mungkin sulit kita bayangkan sebelumnya. Dalam konteks ini, saya sependapat dengan Fred Smith, pendiri dan CEO Federal Express Corporation, bahwa untuk bisa menjadi entrepreneur sukses, semestinya kita juga memiliki kemampuan melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Atau minimal melihat sesuatu dalam cara yang berbeda dari orang lain yang melihatnya secara tradisional. Jadi menurut saya, sebaiknya kita sebagai seorang entrepreneur, memiliki kemampuan membuat visi masa depan. Disamping juga, kita harus mampu menggunakan intuisi, bahkan kalau perlu kita pun juga sering membuat perubahan "revolusioner". Dengan begitu, setidaknya kita memiliki kemampuan melihat masa depan dengan lebih baik. Kita harus yakin, bahwa tahun-tahun ke depan akan menjadi masa terbaik bagi para entrepreneur. Maka tak ada salahnya kalau kita berani meraihnya. Memulai Bisnis Baru
Monday, 25 October 2004

Jika kita memang ingin memulai bisnis baru, maka semestinya peluang pasarlah yang lebih kita jadikan pijakan. Saya percaya, bahwa setiap tahun telah cukup banyak orang yang masuk dunia bisnis. Mereka umumnya melakukan tiga cara. Yakni, membeli bisnis yang sudah ada, menjadi partner dalam sebuah franchise, atau dengan memulai bisnis baru. Jika kita akan memulai bisnis baru, tentu kita harus bisa menjawab empat pertanyaan ini. Pertama, produk atau layanan apakah yang akan kita buat, dan itu untuk siapa? Kedua, mengapa harus usaha itu? Mengapa calon customer harus membeli dari kita? Apa yang akan kita berikan jika ternyata produk itu belum ada? Bagaimana kompetisinya? Apa keuntungan yang akan kita peroleh dari kompetisi itu? Ketiga, Apakah kita mempunyai sumbernya? Apakah kita akan mendapat order? Apakah order itu datang segera? Keempat, siapa pasar kita? Lantas dari manakah ide untuk mulai bisnis baru itu berasal? Hasil sebuah survey di AS, yang tertuang dalam buku The Origins of Entrepreneurship, memang disebutkan, bahwa 43% pengusaha itu dapat ide dari pengalaman yang diperoleh saat dia bekerja di industri yang sama.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

10

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Mereka tahu operasional suatu usaha dan umumnya punya jaringan kerjasama. Sebanyak 15% pengusaha dapat ide bisnis saat melihat orang lain mencoba suatu usaha. Sebanyak 11% pengusaha dapat ide saat melihat peluang pasar yang tidak atau belum terpenuhi, 7% pengusaha dapat ide karena telah meneliti secara sistematik kesempatan berbisnis, dan 3% pengusaha dapat ide karena hobi atau tertarik akan kegemaran tertentu. Di Indonesia sendiri bagaimana? Saya kira dalam konteks ini, kita tidak harus sependapat dengan hasil data tersebut. Data 43% pengusaha itu dapat ide dari pengalaman yang diperoleh ketika bekerja di industri yang sama, itu menunjukkan bahwa dia tipe pengusaha yang hanya berani memulai bisnis baru karena hanya semata melihat sisi terangnya saja. Menurut saya, jika kita memang benar-benar ingin memulai bisnis baru, semestinya peluang pasarlah yang lebih kita jadikan pijakan. Untuk itulah langkah yang kita gunakan pun bukannya inside out aproach melainkan outside in approach, yaitu pendekatan dari luar ke dalam. Cara ini cenderung melihat dahulu, apakah ada peluang bisnis atau tidak. Sebab, sesungguhnya ide dasar bisnis itu sukses adalah jika kita mampu merespon dan mengkreasikan kebutuhan pasar. Cara ini biasanya disebut opportunity recognition. Oleh karena itulah, saya berpendapat, sebagai pengusaha kita semestinya harus berani memulai bisnis baru. Hal itu memang bukan hal mudah, karena membutuhkan analisa dan perencanaan yang serius. Namun, percayalah bahwa ide memulai bisnis baru tak terlalu sulit. Ide itu bisa berasal dari mana saja dalam berbagai cara.Yang pasti,sekali ide bisnis itu dikembangkan dengan jelas, maka bisnis baru itu niscaya akan berkembang. Apalagi, setelah terlebih dahulu kita adakan evaluasi dengan teliti, baik itu berkaitan dengan customer dan Kompetisinya. Memulai Bisnis Tanpa Uang Tunai
Monday, 25 October 2004

Bisnis punya uang tunai dulu, itu sudah lumrah. Tapi tak benar, tak mungkin memulai bisnis tanpa uang tunai Mungkinkah kita mulai bisnis tanpa memiliki uang tunai? Saya kira itu mungkin saja. Mengapa tidak! Jika kita mampu mengoptimalkan pemikiran kita, maka akan banyak jalan yang bisa ditempuh dalam menghadapi masalah permodalan untuk kita bisa memulai bisnis. Cuma masalah permodalan untuk kita bisa memulai bisnis. Cuma masalahnya, darimana duit itu berasal? Logikanya, semua bisnis itu membutuhkan modal uang. Memang, kebanyakan kita selalu mengeluh ketiadaan modal uang sebagai alasan mengapa kita "enggan" berwirausaha. Padahal, modal yang paling vital sebenarnya bukanlah uang, tetapi modal non-fisik, yakni berupa motivasi dan keberanian memulai yang mengebu-gebu. Saya yakin, jika hal itu sudah bisa dipenuhi, maka mencari modal uang bukanlah persoalan yang tidak mungkin,

meski secara pribadi kita tidak memiliki uang. Sementara kita telah tahu, bahwa peluang bisnis telah ada di
depan mata. Tentu, alangkah baiknya jika kita tidak menundanya untuk memulai berbisnis. Toh kita tahu, bahwa sebenarnya banyak sumber permodalan. Seperti uang tabungan, uang pesangon, pinjam di bank dan di koperasi atau dari lembaga keuangan atau dari pihak lainnya. Namun, jika kita ternyata tidak memiliki uang tabungan, uang pesangon atau katakanlah belum ada keberanian untuk meminjam uang di bank atau koperasi, saya kira kita juga tidak perlu risau. Karena ada cara untuk memulai bisnis, meski kita tidak memiliki uang tunai sekalipun. Contohnya, kita bisa menjadi seorang perantara. Misalnya, menjadi perantara jual beli rumah, jual beli motor dan lain-lain. Keuntungan yang kita dapat bisa dari komisi penjualan atau cara lain atas kesepakatan kita dengan pemilik produk. Saya yakin, kita pasti bisa melakukannya. Kita bisa juga membuat usaha dengan cara konsumen melakukan pembayaran di muka. Dalam hal ini, kita bisa mencari bisnis dimana konsumen yang jadi sasaran bisnis kita itu mau membayar atau mengeluarkan uang dulu

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

11

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

sebelum proses bisnis, baik jasa maupun produk, itu terjadi. Misalnya bisa dilakukan pada bisnis jasa, seperti industri jasa pendidikan. Dimana, siswa diwajibkan membayar dulu didepan sebelum proses pendidikan itu terjadi. Bisa juga misalnya, ada orang yang memesan barang pada kita, namun sebelum barang yang dipesan itu jadi, pihak konsumen sudah memberikan uang muka dulu. Artinya, itu sama saja kita telah diberi modal oleh konsumen. Masih ada cara lain memulai bisnis tanpa kita memiliki uang tunai. Contohnya, menggunakan sistem bagi hasil. Biasanya, cara bisnis model ini banyak diterapkan pada Rumah Makan Padang. Dimana kita sebagai orang yang memiliki keahlian memasak, sementara patner bisnis kita sebagai pemilik modal uang. Kita bekerjasama dan keuntungan yang didapat pun dibagi sesuai kesepakatan bersama. Atau kita mungkin ingin cara lain? Tentu masih ada. Contohnya, kita bisa melakukannya dengan sistem barter dengan pemasok, dan kita pun jika memiliki keahlian tertentu, mengapa tidak saja menjadi seorang konsultan. Selain itu, bisa saja denagn cara kita mengambil dulu produk yang akan diperdagangkan, hanya untuk pembayarannya bisa kita lakukan setelah produk tersebut terjual pada konsumen. Tentu, masih banyak cara lain untuk kita memulai bisnis tanpa uang tunai. Oleh karena itu, menurut saya, sebaiknya kita tidak perlu berkecil hati atau takut dipandang rendah, bila ternyata kita memang tidak memiliki uang tunai namun berhasrat untuk memulai bisnis. Saya yakin, dengan kita memiliki uang tunai namun berhasrat untuk memulai bisnis. Saya yakin, dengan kita memiliki kemauan besar menjadi seorang wirausahawan atau entrepreneur, maka setidaknya akan selalu ada jalan untuk memulai bisnis. Nyatanya, tidak sedikit pengusaha yang telah meraih keberhasilan meski saat memulai bisnisnya dulu tanpa memiliki uang tunai. Itu menunjukkan bahwa tidak benar kalau ada yang mengatakan "Tak mungkin kita memulai bisnis tanpa memiliki uang tunai." Kuncinya sebetulnya terletak pada motivasi dan keberanian kita memulai bisnis yang mengebungebu. Hanya saja, untuk cepat meraih sukses - apalagi tanpa memiliki uang tunai - itu tidak semudah seperti kita membalikkan telapak tangan. Semuanya membutuhkan perjuangan Mitos Hutang
Monday, 25 October 2004

Kalau bisnis kita ingin maju, maka hutang untuk perusahaan saya kira bukan masalah Mitos atau anggapan "Hutang itu Buruk", bisa benar bisa salah. Benar hutang itu buruk, apabila kita berhutang terlalu banyak, hanya untuk keperluan konsumtif. Tetapi apabila hutang itu kita manfaatkan untuk melakukan bisnis atau usaha, maka anggapan hutang itu buruk adalah salah. Saya sepakat, kalau kalau kita mempunyai hutang pribadi, sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan. Jangan banyakbanyak. Dan pastikan hutang kita itu ada yang bayar. Dalam berbisnis, kalau bisnis kita mulai berkembang, pasti sangat membutuhkan tambahan modal kerja maupun investasi. Kalau kita mau maju, maka hutang untuk bisnis bukan suatu masalah, justru sangat perlu. Asal kita bisa menggunakannya secara tepat, hal itu justru akan membuat bisnis kita lebih berkembang. Sebagai contoh kita mempunyai modal Rp. 10 juta. Dari modal itu kita unntung 20%, maka keuntungan yang kita peroleh Rp. 2 juta. Namun kalau dari Rp. 10 juta kita bisa mendatangkan tambahan modal Rp. 90 juta dari hutang, sehinga modal menjadi Rp. 100 juta, maka keuntungan kita yang 20% menjadi Rp. 20 juta. Dari sini kita bisa membandingkan berapa keuntungan kita sebelum dan sesudah mendapatkan modal dari luar. Itu hitungan sederhana. Banyak cara untuk mendapatkan hutang. Misalnya melalui bank. Tetapi bank dalam memberikan pinjaman pasti melihat kredibilitas kita.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

12

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Kalau bisnis kita baik, mengapa kita takut hutang. Karena dengan tambahnya modal, maka bisnis kita akan menjadi lebih baik. Sehingga dengan berkembangnya bisnis kita, dampak positifnya dapat membuka lapangan kerja baru. Kredit modal kerja adalah salah satu bentuk hutang yang bisa kita manfaatkan. Dan modal itu bisa kita pakai terus, karena sistemnya rekening koran, dimana kita membayar bunga dari saldo pinjaman yang kita pakai. Setiap jatuh tempo kita diperpanjang. Bahkan kalau bisnis kita semakin maju, maka kita dapat mengajukan tambahan kredit lagi sesuai kebutuhan. Yang penting dalam berhutang tidak ada sedikitpun pikiran atau niat untuk ngemplang atau tidak membayar. Kita harus punya niat baik menepati perjanjian kredit dengan bank. Perlu kita ketahui, pihak bank sendiri dalam operasionalnya selalu menggunakan fungsi intermediasi, yakni penyaluran dana dan menghimpun dana. Kedua fungsi ini harus seimbang. Dalam penyaluran kredit, pihak bank mengharapkan adanya keuntungan demi kelancaran operasional dan peningkatan kesejahteraan karyawan, serta perkembangan bank itu sendiri. Sedang bagi kita yang memanfaatkan kredit sehingga bisnisnya berkembang, maka dampak positifnya, kesejahteraan karyawan akan meningkat. Disinilah perlunya, pihak bank dan pengusaha saling kerjasama, saling memberikan dukungan. Sebenarnya, seorang yang mempunyai citra buruk dalam berhutang, pada dasarnya disebabkan orang tersebut ingkar janji, tidak bisa membayar atau bahkan ngemplang tidak mau membayar. Tetapi ada pula citra buruk diciptakan oleh mereka yang tidak percaya untuk mendapatkan hutang. Sehingga sebagai kompensasi kejengkelannya, mereka menyebarkan isu, bahwa hutang itu buruk. Anggapan seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi, karena apa yang kita lakukan itu demi kemajuan bisnis kita. Sayangnya, sebagian besar masyarakat percaya tentang hal itu. Padahal kalau kita mau eksis dan maju dalam berbisnis, salah satu jurus yang kitu adalah harus mau dan mampu memanfaatkan dana dari pihak lain. Untuk melakukan itu memang dituntut keberanian dan rasa optimis. Bisa saja kita punya rasa optimis justru dengan modal sendiri, walaupun ada yang mengatakan, bisnis dengan modal sendiri berarti kita egois, tidak sosial, tidak mau bagi-bagi keuntungan. Dan dari aspek spiritual, menurut saya, semakin banyak kita melibatkan dana orang lain utnuk mengembangkan bisnis, maka semakin banyak pula orang ikut mendoakan bisnis kita. Sebaliknya, kalau bisnis kita menggunakan modal sendiri, maka yang mendoakan bisnis kita hanya kita sendiri. Berani mencoba?***

Berhutang Itu Mulia


Monday, 25 October 2004

Janganlah mudah percaya pada mitos, yang mengatakan, bahwa usaha itu tak mungkin dimulai dengan modal dengkul Dalam sebuah program pelatihan entrepreneur yang diadakan Prima Enrepreneurship, beberapa waktu lalu, saya ditanya peserta, "Bagaimana cara kita berwiraswasta namun tidak mempunyai modal?" Saya jawab "Kuncinya, BODOL!". Itu singakatan: berani, optimis, duit, orang lain. Maksudnya, bila kita berani menjadi wirausahawan atau entrepreneur, tentunya kita harus punya keberanian. Tak hanya berani mimpi, tetapi juga berani mencoba, berani gagal dan berani sukses. Saya kira hal itu penting dan harus kita miliki. Selain itu, kita juga harus optimis. Sebab dengan kita tetap optimis, maka kita akan selalu yakin akan masa depan, yakin pada kemampuan, dan juga menghentikan alur pemikiran yang negatif. Dan, kita janganlah mudah percaya pada mitos yang mengatakan, bahwa usaha itu tak mungkin dimulai dengan modal dengkul berarti mulai kecil-kecilan. Saya percaya, bahwa kalau kita yakin akan bisnis yang kita lakukan, pastilah bisa jalan. Kalaupun nanti di tengah jalan kesulitan modal, anggaplah itu wajar saja dalam bisnis. Sebab, sesungguhnya, salah satu ciri usaha atau bisnis kita berkembang adalah selalu saja kekurangan modal. Bila bisnis

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

13

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

kita bertambah maju dan omset naik, maka tentu dituntut pula menyediakan modal tambahan. Singkatnya, dengan omset naik, kita dihadapkan pada kesulitan modal. Kita butuh duit. Duit itu dapat dari mana? Jika kita punya warisan dan simpanan banyak tak masalah. Jika tidak ada? Duit itu bisa saja kita dapat dari duit orang lain atau hutang. Apalagi yang namanya modalnya entrepreneur adalah dengkulnya. MAka tak punya dengkulpun, bisa meminjam dengkulnya orang lain. Atau katakanlah, akhirnya hutang di bank, atau kita dapat hutang berarti kita membuktikan bahwa kita memang dipercaya. Credible. Sehingga, semakin besar hutang kita pada bank dan tidak macet, maka semakin besar pula kepercayaan bank pada kita. Sehingga bonafiditas seorang entrepreneur diukur dari seberapa besar hutang yang didapatnya, dan kita semakin dihormati. Sebab, bunga hutang kita itu pun digunakan untuk membiyayai operasional bank tersebut, termasuk membayar gaji karyawannya dan bunga para penabung Ingat, bisnis bank salah satu sumber pendapatannya dari bunga pinjaman. Bahwa dengan kita berhutang yang digunakan untuk mengembangkan usaha, maka tentu saja hal itu tak mustahil akan menciptakan lapangan kerja baru. Itu sangat bermanfaat. Apakah itu, namanya tidak mulia? Bicara soal hutang, saya jadi teringat pada metabolisme tubuh manusia. Agar metabolisma tubuh kita berjalan baik, tentu saja aliran darahnya juga harus baik dan stabil sesuai kebutuhan organ-organ tubuh kita. Kalau kurang darah tentu saja perlu diatasi dengan cara tambahan darah. Nah, hutang itulah saya ibaratkan darahnya. Memang yang namanya hutang di bank itu ada resikonya. Tapi semuanya itu dianggapnya perjuangan. Perjuangan adalah hari-hari yang dijalani oleh seorang entrepreneur. Saya sendiri sangat merasakan hal itu. Tapi anggaplah, resiko itu sesuatu yang harus senantiasa diperhitungkan, namun tidak perlu ditakuti. Asal saja, hutang atau tambahan modal usaha itu betul-betuk digunakan untuk kepentingan bisnis dan bukan untuk kepentingan konsumtif. Memang, kita dituntut pintar dan seefektif mungkin menggunakannya. Sehingga kita dapat membayar hutang tepat waktu. Saya dan anda, mungkin sama-sama yakin betul, bahwa seorang entrepreneur yang cerdas pasti bisa memanfaatkan hutang itu sebaik mungkin. Alasannya adalah seorang pekerja keras, tekun, tak mudah puas, berani bersaing, gerak langkahnya cenderung mengejar prestasi terbaik, dan berani mengambil resiko, termasuk berhutang tadi. Itu sebabnya, mengapa dia lebih mampu menangkap dan memanfaatkan peluang apapun dengan baik, termasuk tentunya kejeliannya dalam berhutang. Maka tak mustahil, kaslau seorang entrepreneur tidak berhutang hidupnya pun terasa hampa. Karena, baginya, berhutang pun tetap mulia. Yah itulah entrepreneur.***

Jangan Jadi Pengusaha Klien


Monday, 25 October 2004

Jadi pengusaha klien aman membuat kita repot, jadi pengusaha otonom akan membuat kita sukses. Selama ini kita masih seringkali melihat, adanya pengusaha yang selalu "repot-repot" dengan mengundang pejabat tertentu untuk meresmikan pembukaan usahanya. Sementara, istri pejabat itu sambil tersenyum seraya mengguntung pita. Hadirin tepuk tangan. Itu semua, tentu saja, selalu ada pamrihnya. Setidaknya, pengaruh pejabat itu akan memuluskan usahanya kelak. Namun, di era milenium ketiga ini, tampaknya hal-hal seperti itu tidak perlu terjadi lagi. Artinya, kita tidak usah repot-repot seperti itu. Sebaiknya, kita harus bebas dari pengaruh kekuasaan politik dan pemerintah, apalagi pejabat tertentu. Menurut saya, justru yang sangat diperlukan dalam siatu sistem perekonomian terbuka sekarang ini, adalah pengusaha yang kompetitif dan otonom. Pengusaha semacam inilah adalah pengusaha yang tidak tergantung pemerintah, tapi lebih tergantung mekanisme pasar.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

14

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Saya yakin, kehadiran pengusaha yang kompetitif dan otonom akan merupakan satu elemen yang sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Sosok seperti ini, cenderung akan lebih mampu berperan sebagai kekuatan utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi sayangnya, dinegara kita ini, golongan pengusaha yang kompetitif dan otonom semacam ini, ternyata belum berkembang secara maksimal. Justru, yang saya lihat selama ini, yakni masih banyak munculnya kelompok-kelompok pengusaha swasta jenis lain yang biasa kita namakan pengusaha klien (client businessmen). Dalam aktivitas bisnisnya, mereka memang banyak tergantung, dan menjadi kroni pejabat, atau tergantung pada pengaruh kekuasaan politik atau pemerintah. Dalam konteks inilah, saya kira sebaiknya peranan pemerintah tidak diperbesar. Karena, inefesiensi dalam birokrasi jelas sudah usang. Hal itu sudah tak cocok lagi dengan kecepatan bisnis, apalagi di era milenium ketiga ini. Dan, kita sendiri sebagai pengusaha atau wiraswastawan juga perlu banyak belajar dari pengalaman, bahwa sesungguhnya menjadi pengusaha klien nyata-nyata tidak membuat kita mandiri dalam bisnis. Sebab, bagaimanapun juga, kalau kita menjadi pengusaha yang otonom, akan lebih mampu memperbaiki kredibilitas negara kita. Bahkan, saya optimis, kita juga akan mampu membantu mengembalikan kepercayaan pada investor asing. Saya yakin, kalau pengusaha yang kompetitif dan otonom ini berkembang dengan baik di negara kita, diharapkan bisa pulih kembali. Agaknya, semua harapan ini masih termasuk wajar. Hanya, bagaimana pemerintah kita menyikapinya. Kita sebagai pengusaha, memang dituntut untuk terus berusaha menjadi pengusaha otonom. Dengan demikian, kita akan lebih mampu menjadi pengusaha yang kompetitif. Karena itu, menurut saya, sekarang ini bukan waktunya lagi bagi kita untuk mengembangkan bisnis klien, yang dikenal sebagai bisnis lobi. Bisnis lobi karena faktor kedekatan dengan politikus maupun pemerintahan semacam itu, dulu memang banyak berkembang di negara kita. Sehingga, tak mengherankan kalau lantas banyak bermunculan kasus KKN. Sementara, kita lihat pengusaha yang benar-benar otonom menjadi sulit berkembang. Pengertian otonom yang saya maksud disini, bukan lantas hubungan antar perusahaan, itu tidak penting. Hubungan sinergi dalam bisnis itu, tentu saja tetap diperlukan. Begitupula hubungan kita dengan pemerintah, juga harus tetap harmonis dan transparan. Hanya saja, tergantung pada pemerintah itu ganti atau partainya tidak lagi memerintah, akibatnya bisnis bisa bangkrut atau hancur. Oleh karena itulah, ada baiknya kita menjauhi saja bisnis lobi. Dan, lebih baik kita menggalakan bisnis yang berhubungan langsung dengan pasar. Sebab, bagaimanapun juga kita harus tetap berusaha, bahwa dengan kondisi pasar yang terus bergerak, ternyata pasar tetap membutuhkan produk kita. Itu lebih penting. Sebab, kalau seorang pengusaha berhasil menjalankan bisnis pasar, tentu dia akan memiliki kredibilitas yang tinggi sebagai pengusaha otonom yang sukses.*** Belajar Bisnis Sambil Jalan
Monday, 25 October 2004

Untuk jadi pengusaha, kita tak harus punya pengalaman bisnis yang mumpuni dulu. Saya sependapat kalau ada yang mengatakan, bahwa untuk meraih sukses bisnis, kita bisa meniru sukses orang lain, apakah itu strateginya, atau pilihan usaha yang dilakukannya. Selain itu, saya ingin menambahkan, bahwa untuk kita bisa menjadi pengusaha, sesungguhnya tidak harus punya pengalaman bisnis yang mumpuni dulu. Logikanya adalah, kalau kita menunggu sampai punya pengalaman bisnis yang mumpuni, lantas kapan kita akan memulai usaha? Dari pengalaman saya sendiri, maupun pengalaman pengusaha Bob Sadino, juga pengalaman pengusaha-pengusaha lain, bahwa sesungguhnya pengalaman bisnis yang mumpuni itu bisa kita raih sambil menjalankan bisnis kita. Maka, jika kita ingin memulai usaha,

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

15

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

ada baiknya jangan banyak dipikirkan atau pakai rencana yang muluk-muluk. Yakinlah, bahwa semua itu dalam bisnis bisa saja berubah, dan itu bisa kita tangani sambil jalan. Hanya saja, mungkin ketakutan kita sementara ini justru karena kita terlalu siap, terlalu banyak yang dipikir, bahkan terlalu takut dengan resiko bisnis. Padahal, menurut saya, dalam praktek bisnis, yang terjadi sesungguhnya banyak berbeda dengan apa yang pernah kita pikirkan. Sehingga tak mengherankan kalau kita kemudian banyak menemukan jalan keluar utnuk mengatasi semua kesulitan bisnis yang kita alami. Jadi, sesungguhnya tidak ada alasan untuk kita untuk tidak memulai usaha, karena alasan pengalaman bisnis kita terbatas. Katakanlah, dengan kita piawai menarik pelajaran dari setiap kejadian, saya yakin hal itu justru membuat kita tambah piawai dalam bisnis. Dan, kalau kita lihat dilapangan,banyak usaha yang ternyata dimulai dengan modal nol. Misalnya, uang tidak punya, itu bisa diatasi dengan pinjam orang lain. Kemudian pengalaman bisnis tidak punya, bisa tanya pada orang lain. Bahkan ide pun tak punya, bisa pakai ide orang lain. Begitu juga tempat usaha yang tak ada, dan masih banyak lagi. Apa artinya semua itu? Artinya, kita bisa lakukan dengan menggunakan "kepunyaan" orang lain. Justru dari Keadaan semacam inilah, akan membuat kita mandapat banyak pelajaran dalam berbisnis. Pemikiran itu menurut saya hal yang paling penting untuk memulai bisnis. Oleh karena itu, menurut saya, sesungguhnya belajar bisnis sambil jalan atau jalan sambil belajar, di dunia usaha itu sama saja, yang penting kita telah berusaha dengan memulai usaha. Menurut Bob Sadino dengan melangkah seperti itu, paling tidak kita sudah malangkah lebih maju dalam berbisnis. Kita tidak lagi hanya berjalan di tempat, yang berarti kita tidak kemana-mana atau tidak melakukan bisnis apapun. "Saya sukses karena saya melangkah. Bukan mengangan-angankan langkah", kata Bob Sadino yang memulai usaha dari nol. Tentu saya sependapat dengan Bob, yang kini memiliki banyak supermarket dalam grup Kem Chick's itu. Artinya, dengan melangkah, maka ada kemungkinan kita sukses, disamping ada pula kemungkinan gagal. Namun dengan tidak melangkah, maka kita tidak pernah akan sukses. Maka tidak ada salahnya, kita belajar bisnis sambil jalan.***

Proses Kreatif Berwirausaha


Monday, 25 October 2004

Kita berani berpikir kreatif, itu berarti kita sudah berani mengambil resiko. Salah satu tugas kita sebagai pengusaha, selain memiliki keterampilan interpersonal, leadership, dan managerial, juga harus mampui melakukan tugas kreatif. Saya yakin, selama pengusaha itu kreatif, maka usahanya akan tetap eksis dan berkembang maju. Jadi intinya, menjadi pengusaha itu memang harus kreatif. Seolah tiada hari tanpa kreativitas. Karena itulah, kini saatnya kita untuk terus kreatif. ataupun di negara lain. Ini mengingatkan macam usaha di Indonesia belum sebanyak di Amerika Serikat Di Amerika Serikat misalnya, ada bisnis menyewakan pakaian dan perlengkapan bayi. Jadi sebenarnya banyak macam usaha yang bisa kita kerjakan, asal kita mau kreatif. Didalam kita memilih usaha juga harus kreatif. Begitu juga sewaktu kita menjalankan usaha juga harus kreatif. Maka, tak ada salahnya kalau suasana di perusahaan itu harus diciptakan iklim yang kondusif untuk kita kreatif. Ide-ide kreatif yang semula tak pernah kita pikirkan, akan cenderung muncul.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

16

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Hanya saja memang kratif itu memerlukan proses, yakni proses kreatif. Jadi pada awalnya, untuk kreatif itu perlu persiapan, meski secara tidak formal. Tinggal, bagaimana kita sendiri membuat suasana kerja itu kreatif. Dalam prosesnya, ternyata kreatif itu juga membutuhkan konsentrasi kita. Padahal, yang mungkin terjadi pada saat kita melakukan konsentrasi adalah menemui hambatan atau jalan buntu. Sehingga akibatnya, kita tak bisa berbuat apa-apa, atau mengalami frustasi. Dan, sebenarnya frustasi itu merupakan bagian dari proses kreatif itu sendiri. Dalam kondisi inilah, menurut saya, sebaiknya kita tidak menyerah atau putus asa. Jangan berhenti sampai di situ. Tapi, kita harus yakin, bahwa pada saatnya nanti wawasan atau iluminasi akan muncul. Kemudian, kita Melewati proses kreatif berikutnya, yaitu inkubasi atau pengendapan masuk ke alam bawah sadar. Pada saatnya, yaitu pada kondisi yang tidak disengaja, bisa saja muncul iluminasi. Itu artinya ide kreatif kita telah kita temukan. Lantas yang perlu kita jalankan adalah mengolah atau menjalankan ide kreatif itu menjadi nyata, demi kemajuan bisnis kita. Bahkan menurut saya, untuk memberikan kepuasan pada pelanggan, kita pun harus menggunakan pendekatan yang kreatif. Termasuk juga bagaimana kita mencari modal atau dana untuk pengembangan usaha, peningkatan kegiatan produksi, perbaikan desain, pemasaran, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah, orang kreatif itu sebenarnya adalah sama dengan orang yang berani mengambil resiko. Hanya tinggal seberapa besar sebenarnya kualitas kreativitas itu akan mempengaruhi resiko usaha yang dijalankan. Bahkan, saya berpendapat, bahwa seseorang yang berani berpikir kreatif, berarti dia sudah

berani mengambil resiko.


Dan saya yakin, hanya pengusaha yang berani mengambil resiko itulah yang usahanya dapat berkembang maju, baik untuk saat ini ataupun untuk masa depan.***

Gaya Berwirausaha
Monday, 25 October 2004

Ada 2 gaya berwirausaha, yakni "manajerial" dan "kejuraganan". Tak ada salahnya kita memilihnya. Itu tergantung kemantapan kita, yang penting bisnis kita maju. Sebagai pengusaha, saya banyak memjumpai teman-teman pengusaha yang menjalankan bisnis dengan gaya yang berbeda-beda. Ada teman pengusaha yang menggunakan manajemen atau yang kita sebut gaya berwirausaha "manajerial". Tapi ada juga yang menjalankan bisnisnya dengan menggunakan gaya "kejuraganan". Saya kira, dengan gaya berwirausaha apapun yang kita terapkan dalam bisnis kita, yang penting bisnis kita tetap bisa dijalankan dan maju. Itu semua memang tergantung pada diri kita masing-masing. Asal kita mantap dengan gaya tersebut, ya lakukan saja. Sebab, kalau kita sudah mantap, maka bisnis yang kita jalankan sekarang ini tentu akan semakin mantap meraih kesuksesan. Sudah banyak terbukti, bahwa pengusaha yang menggunakan gaya berwirausaha "kejuraganan" terbukti usahanya sukses. Gaya ini menempatkan 4 fungsi manajemen, yakni produksi, pemasaran, sumber daya manusia dan keuangan, terpusat pada pengusahanya. Teman saya sendiri sukses luar biasa dengan gaya tersebut. Para juragan biasanya lebih suka bekerja seperti karyawan saja, dan jangan heran kalau kita kemudian menjadi sulit untuk membedakan perannya. Bisa sewaktu-waktu menjadi pengusaha atau pemilik bisnis, bisa juga sebagai karyawan, sebagai keuangan, dan lain sebagainya. Itu sekali lagi karena ke-4 fungsi manajemen dilakukannya sendiri.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

17

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Sementara karyawannya yang bekerja di perusahaannya, hanya berfungsi melaksanakan tugas atau delegasi teknis saja. Sementara itu, ada teman saya yang lain asyik menjalankan bisnisnya dengan begitu gigih menggunakan gaya berwirausaha "manajerial". Artinya ke-4 fungsi manajemen didelegasikan kepada manajer-manajernya di perusahaannya. Dan, ternyata gaya "manajerial" ini pun sama-sama bisa berhasil meraih sukses.

Gaya manajerial ini kalau kita amati memang cenderung membuat kita lebih berani mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab pada manajer atau karyawan kita. Kita juga lebih mendorong mereka untuk memberikan peluang meningkatkan prestasi. Pemberdayaan seperti ini memang tak ada pada gaya
"kejuraganan". Menghadapi 2 pilihan itu, akhirnya memang tergantung kita sendiri. Kita mau pilih gaya berwirausaha yang mana yang kita suka. Apakah kita akan memilih yang "manajerial", ataupun yan "kejuraganan"? Yang penting semua itu tergantung kemantapan kita.***

Keberanian Entrepreneur Wanita


Monday, 25 October 2004

Entrepreneur wanita cenderung lebih peka intuisi bisnisnya dari pada entrepreneur laki-laki Peluang bisnis bagi wanita, sebenarnya sangat besar. Bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk saat yang akan datang. Bahkan, peluang bisnis bagi entrepreneur wanita itu sebenarnya lebih besar dari pada entrepreneur laki-laki. Itu karena, dia punya kelebihan. Kelebihannya adalah terletak justru pada "kewanitaanya". Dimana, sosok entrepreneur wanita itu cenderung lebih unggul dalam negosiasi. Itu mungkin karena keluwesan atau fleksibilitasnya. Atau istilah Candida G. Brush, asisten profesor dari Management Policy of Boston University, entrepreneur wanita labih kooperatif, informal dan lebih mudah membangun kesepakatan dengan pihak lain. Sebaliknya, entrepreneur laki-laki cenderung lebih kompetitif, lebih terkesan formal, dan lebih suka berpikir sistematik. Selain itu, menurut saya, entrepreneur wanita juga cenderung lebih peka instuisi bisnisnya. Sehingga saya yakin, jika dia memang mampu mengembangkan kelebihannya itu, tentu bisnisnya juga akan berkembang luar biasa. Seperti kalau kita lihat, keberhasilan entrepreneur wanita seperti: Dr. Martha Tilaar, Moeryati Soedibyo, Poppy Dharsono, Dewi Motik, dan Nyonya Suharti. Hanya saja, sayangnya saya melihat entrepreneur wanita umumnya dikenal terlalu hati-hati dalam berbisnis, dan bahkan terlalu takut untuk mengambil resiko. Sehingga, jika kelemahan itu tidak berhasil dikelola dengan baik, maka jelas akan mengakibatkan jumlah entrepreneur wanita yang terjun ke dunia usaha saat sekarang ini, masih relatif kecil. Contohnya, anggota Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) yang jumlahnya relatif lebih sedikit dari pada kalau kita bandingkan dengan anggota Kadin atau HIPMI atau organisasi serupa yang "laki- laki". Mungkin hal itu bisa saja karena kebanyakan bisnis yang dimiliki entrepreneur wanita, lebih sedikit dari pada jika mereka bekerja pada suatu perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh sebuah riset dari Institute for Women's Policy Research di Washington DC. Sementara, Marger Lovero, direktur dari Entrepreneurial Centre at Manattancile College mengatakan, bahwa entrepreneur wanita itu sulit berkembang maju, juga karena mereka cenderung mempertahankan bisnis kecilnya.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

18

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Sebab, baginya selama ini yang terpenting bukan pada usaha bagaimana membuat bisnisnya menjadi besar, tapi lebih pada keinginan untuk memcoba men-support dirinya sendiri atau mandiri, membawa keseimbangan dan Fleksibilitas dalam mengatur waktu kesehariannya. Tapi kalau dia bekerja di perusahaan lain, flesibilitas itu tak didapatnya. Dalam konteks inilah, barangkali ada baiknya sekarang ini bisnis di kalangan entrepreneur wanita, perlu untuk terus didorong pada kegiatan bisnis industri rumah tangga, yang lebih memungkinkan bisnis atau jiwa entrepreneurnya bisa terus berkembang. Oleh karena itulah, saya kira meski keberanian wanita di dalam menekuni dunia usaha tidak sebesar keberanian yang dilakukan entrepreneur laki-laki, namun jika entrepreneur wanita ingin berkembang bisnisnya, dia semestinya harus berani mengambil resiko, dan lebih berani membentuk jaringan bisnis yang lebih luas lagi.*** Keberuntungan dan Timing
Monday, 25 October 2004

Hari ini bisa saja kita ambil peluang bisnis. Jika tidak, maka tak mustahil akan diambil orang lain. Dalam dialog bisnis yang diadakan oleh Assosiasi Manager Indonesia (AMA) Yogyakarta beberapa waktu lalu, ada seorang peserta dialog yang menanyakan kepada saya, tentang bagaimana faktor keberuntungan dan faktor timing menentukan keberhasilan dalam bisnis? Seberapa penting faktor keberuntungan itu bagi pengusaha? Orang-orang Cina punya kebiasaan, jika ingin terjun ke dalam bisnis, maka kita harus punya hoki atau keberuntungan yang besar. Kalau tidak punya, maka bisnis kita akan bangkrut. Kalau ternyata kita tidak punya keberuntungan, maka disarankan kita jangan mendirikan bisnis. Padahal, menurut saya, yang namanya keberuntungan atau hoki itu sebenarnya adalah bagian dari hidup yang tidak dapat kita kontrol. Tidak dapat kita duga. Dan, sesungguhnya itulah hidup. Bagaimana kita tahu, bahwa kita punya keberuntungan, kalau kita belum pernah mencobanya. Keberuntungan harus dibuktikan, bukan hanya diangan-angankan. Saya berpendapat, bahwa bisa saja kita punya keberuntungan. Hanya saja, oleh satu keadaan tertentu, keberuntungan itu bisa saja lantas rugi. Berbeda dengan timing, dalam setiap kegiatan bisnis yang kita lakukan, maka kita bisa mengontrolnya. Artinya, timing lebih sedikit bisa dikendalikan dari pada keberuntungan. Karena itulah, menurut saya, memang mungkin saja bisnis itu bisa kita mulai atau kita ambil saat ini. Tetapi bisa saja, kalau kita mulai sejak lima tahun yang lalu, sehingga timing ini sedikit bisa kita kontrol. Jelas, hal itu menunjukkan, bahwa peluang bisnis itu sesungguhnya datangnya tidak mengenal waktu. Hari ini bisa saja saatnya kita mengambil peluang bisnis itu. Dan, kalau ditunda, tak mustahil akan diambil orang lain dan kita kehilangan peluang bisnis itu. Saya kira, orang pertama yang menjual minuman aqua di Indonesia, yakni Tirto Utomo, juga membutuhkan perjuangan sekitar 8 tahun untuk bisa eksis seperti sekarang ini. Mungkin saja, waktu produk itu pertama kali dimunculkan, belum saatnya atau timing-nya kurang tepat. Sebab, sebagian besar yang membeli produk aqua tersebut adalah orang asing. Tapi ternyata, dari waktu ke waktu, orang Indonesia mulai sangat menggemari minuman aqua itu. Sehingga, orang kemudian mengenal air putih dengan menyebut "aqua". Begitu juga pada teh botol, yang pertama kali diperkenalkan oleh Pak Sosro. Dimana, pada saat itu Teh Sosro masuk di pasar, juga bukan pada timing yang tepat. Sehingga, produk itu untuk bisa sampai dikenal dan digemari masyarakat, membutuhkan perjuangan yang keras. Jadi saya kira, ada atau tidaknya keberuntungan di dalam kita berbisnis, sebaiknya tidak terlalu kita pikirkan hal itu, karena memang tidak bisa kita kontrol.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

19

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Tapi sebaiknya dengan timing. Hal tersebut bisa kita kontrol sebaik mungkin. Tinggal bagaimana timing itu tepat, dan mudah-mudahan itu sesuai dengan keberuntungan kita.*** Sukses Itu Bikin "Pede"
Monday, 25 October 2004

Sukses itu membuat kita percaya diri Lowongan untuk menjadi pengusaha, saya kira sampai kapanpun masih terbuka luas, tidak terbatas. Artinya, kapan saja, sekarang atau besok, kita bisa saja jadi pengusaha. Bahkan, kalau kita ingin cepat menjadi pengusaha, bisa juga kita lakukan hari ini. Misalnya, cukup datang ke Notaris, buat CV atau PT, maka jadilah kita pengusaha sekaligus direktur di perusahaan kita sendiri. Dan, tak perlu ada upacara pengangkatan segala, sebab siapa lagi yang mengangkat kita kalau bukan kita sendiri. Namun, coba saja kalau kita bekerja pada perusahaan milik orang lain, maka untuk bisa menjadi direktur membutuhkan waktu lama. Itupun masih sangat tergantung pada keputusan atasan kita. Padahal, menurut saya, untuk menjadi pengusaha sekaligus direktur, tidak harus membutuhkan pengalaman kerja. Karena, pada dasarnya, lowongan kita untuk menjadi pengusaha itu tidak terbatas. Maka, semestinya kita harus "jadi" dulu. Itu setidaknya, dengan kita sudah menjadi direktur di perusahaan sendiri, merupakan langkah awal memulai bisnis. Dan, ternyata membuat bisnis itu lebih mudah dari pada kita mencari pekerjaan. Sehingga, dari "sukses" itulah menjadikan kita tumbuh rasa percaya diri. Dan, setelah kita percaya diri, maka kita akan bisa melakukan sesuatu. Banyak contoh di masyarakat, bahwa seseorang mendapat jabatan, baik itu di pemerintahan ataupun swasta, padahal dia tidak punya pengalaman sebelumnya. Dan ternyata, dia bisa juga melaksanakan pekerjaan itu dengan baik. Artinya, kepercayaan diri atau "Pede" kita bertambah saat kita dapat kesusksesan. Meski, katakanlah bisnis yang kita dirikan itu hanya meraih sukses-sukses kecil. Namun, itu bukanlah suatu masalah. Justru, hal itu akan membuat kita lebih termotivasi untuk bisa meraih sukses bisnis yang lebih besar. Saya kira, kita memang sebaiknya jangan mengabaikan sukses-sukses kecil itu. Percayalah, bahwa sesungguhnya dari sukses-sukses kecil itu akan menjadi kesuksesan yang luar biasa pada bisnis kita dimasa depan. Memang, bagi kita yang terbiasa berpikir linier, pasti akan mengatakan, bahwa percaya diri dulu baru kita sukses. Kalau kita setuju dengan pendapat, percaya diri dulu baru seseorang meraih sukses, lantas kapan kita bisa menjadi pengusaha?***

Rejeki Itu Bisa Direncanakan


Monday, 25 October 2004

Rejeki itu akan datang, sesuai pengambilan resiko bisnis kita. Rejeki itu sebenarnya sudah ada yang mengatur-Nya. Saya kira, itu memang benar. Dan, sebagian besar kita berpendapat demikian. Karena sejak lahir setiap orang itu membawa rejeki sendiri- sendiri. Tapi, apakah kita itu bisa meningkatkan rejeki kita sendiri? Dan, apakah kita bisa merencanakannya?

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

20

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Saya berpendapat, meski rejeki itu sudah ada yang mengatur-Nya, namun kita harus teap aktif merencanakannya. Tanpa direncana, rejeki itu akan sulit kita raih. Saya kira, rejeki itu membutuhkan peluang untuk mendatanginya. Menurut saya, mana mungkin rejeki itu datang kalau setiap harinya kita tak punya aktivitas apa- apa. Hanya pasrah saja. Dan, kita terlalu yakin, bahwa rejeki itu tak perlu dikejar, pasti akan datang sendiri. Saya tidak Sependapat dengan prinsip ini. Sebab, bagaimanapun juga kalau pada diri kita tak ada gairah bekerja, dan hanya selalu memimpikan rejeki itu datang, maka rejeki itu pun akan sulit datang atau justru malah menjauh. Tapi sebaliknya, jika kita tekun bekerja, dan kreatif berwirausaha, saya yakin, pasti rejeki akan datang. Bisnis kita pun akan lebih berkembang. Apalagi, kalau kita berani memilih profesi seperti pengusaha, dokter, notaris, pengacara, pelukis, seniman dan lainlain. Profesi ini saya lihat sangat berpeluang mendatangkan rejeki yang relatif besar atau tidak linier. Sebab, profesi ini berbeda dengan orang yang digaji atau seperti karyawan. Artinya, jika saat ini kita misalnya, sedang menekuni dunia usaha atau sebagai pengusaha, maka jelas sangat memungkinkan sekali bagi kita untuk datangkan rejeki yang relatif besar. Sementara, kalau saja kita sekarang ini bekerja ikut orang lain atau setiap bulannya digaji tetap, maka jelas peluang akan datangnya rejeki yang relatif besar, menjadi kecil. Oleh karena itu, rejeki besar itu datangnya mencari tempat yang pas, dan ini bisa kita rencanakan. Tinggal, kita berani atau tidak. Bicara soal rejeki, saya jadi teringat pengalaman rekan saya. Dia seorang Notaris. Saya lihat, dalam menjalankan profesinya, dia hanya menggunakan motor. agar dia "berani" ambil mobil baru secara kredit, dia terkejut. Lantas, ganti mobil. Itu pun mobil lama. Namun, ketika saya sarankan Apalagi, ketika saya sarankan mobil lamanya dijual saja, untuk bayar uang muka. Setiap bulannya 'kan harus bayar angsuran? itu pertanyaannya. Saya jawab, "Nah itulah rejeki akan mengikuti rencana anda. Kalau anda menggunakan mobil bagus pasti klien akan lebih percaya. Karena performance atau penampilan dibutuhkan dalam bisnis anda. Apalagi anda mau bekerja keras dan kreatif menjaring klien, saya yakin anda pasti mampu membayar angsurannya. "Rupanya, dia ikuti saran saya. Apa yang terjadi selanjutnya? Rejeki notaris itu ternyata mengalir deras. Kliennya kian bertambah. Selain bisa bayar angsuran, dia pun masih punya kelebihan rejeki itu. Dan, kepercayaan dirinya akan profesinya semakin mantap. Kejadian ini, diantaranya yang membuat saya percaya, bahwa rejeki itu sesungguhnya akan datang mengikuti rencana hutang kita. Rejeki itu juga akan datang sesuai pengambilan resiko bisnis kita. Sehingga, pada saat kita mengambil resiko bisnis yang kecil, rejeki yang mengalir pun juga kecil. Sebaliknya, bila kita berani ambil resiko yang bear, maka rejeki yang menglir pun juga besar.***

Sukses Itu Guru Yang Jelek


Monday, 25 October 2004

Kesuksesan akan menjerumuskan kita, kalau kita terlalu bangga.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

21

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

ROBERT T. Kiyosaki dalam bukunya "Cash Flow Quadrant" berpendapat, bahwa sebenarnya sukses itu guru yang jelek. Tapi itu berlaku untuk diri kita sendiri. Artinya, sebagai entrepreneur, kita memang sebaiknya tidak berguru pada kesuksesan kita sendiri. Sebab, hal ini akan membuat kita menjadi kurang bersemangat, menjadi tidak kreatif, menjadikan kita lengah atau sombong, menjadikan kita lupa diri, bahkan tak menutup kemungkinan kesuksesan yang kita raih akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Sukses itu, menurut saya, bukan berarti "waktunya untuk menikmati". Memang, kesuksesan kita itu bisa menjerumuskan kita. Apalagi kalau kita terlalu membanggakan kesuksesan itu, akan membuat kita lupa diri. Oleh karena itu, agar kesuksesan itu tidak menjadi bumerang bagi diri kita sendiri, maka kita harus pandai-pandai mengelola kesuksesan kita. Itu boleh. Bahkan, itu bisa menjadikan kesuksesan bisnis seseorang. Sebab, pada dasarnya belajar dari kesuksesan orang-orang lain, itu memang bisa menjadi guru yang baik. Meski kita sebetulnya juga bisa belajar pada orang yang gagal. Dalam konteks inilah, menurut saya, agar bisnis kita tetap langgeng bahkan bisa berkembang lebih baik di masa mendatang, adakalanya kita harus menyadari hal ini. Atau lebih tepatnya, sebagai entrepreneur seharusnya lebih menilai, bahwa kegagalan itu sebetulnya sebagai pelajaran yang terbaik. Oleh karena itulah, saya kira kita sebaiknya janganlah takut dengan kegagalan. Kita belajar paling banyak tentang diri kita ketika kita gagal, jadi jangan takut gagal. Sebab, kegagalan itu sebenarnya adalah proses kita untuk menjadi sukses. Saya yakin, yang namanya entrepreneur itu sebetulnya tidak bisa sukses tanpa mengalami kegagalan. Maka, pada saat kita ingin memulai bisnis atau di saat bisnis kita mulai berkembang, tapi kemudian tiba- tiba bangkrut atau mengalami kegagalan, saya kira hal itu janganlah membuat kita patah semangat. Justru, disaat itulah jiwa entrepreneur kita harus bangkit kembali. Sebab, menurut pengalaman saya dan rekan pengusaha lainnya, mereka baru sukses, setelah mereka pernah mengalami kegagalan paling tidak sampai tujuh kali. kalau kita baru gagal dua atau tiga kali, saya kira itu wajar-wajar saja bagi seorang entrepreneur. Mestinya, entrepreneur tidak akan pernah mendapatkan pelajaran tanpa mendapatkan pelajaran tanpa melakukan langkah-langkah yang berarti. Baik itu langkah yang gagal maupun sukses. Langkah-langkahnya dimulai dari langkah kecil sampai langkah besar. Dengan perkataan lain, saya mengatakan, sebuah perjalanan 1000 km itu sebenarnya dimulai dari langkah kecil. Kalau kita tidak berani memulai atau mengembangkan bisnis, kapan kita akan punya bisnis, atau kapan bisnis kita berkembang. Saya menemukan kata-kata yang menarik buat kita renungkan bersama yaitu, "Memulai itu mengalahkan kita memulai." Artinya, orang yang berani memulai atau mengembangkan bisnis, itu lebih baik, dari pada orang yang sama sekali tidak berani memulai atau mengembangkan bisnis.***

Karir Entrepreneur
Monday, 25 October 2004

Jika bisnis kita ingin hidup, maka kualitas harus kita tingkatkan. PETER F. Drucker berpendapat, bahwa setiap orang dapat saja berkarir menjadi entrepreneur. "Tidak ada yang misterius," begitu katanya. Meski, menjadi entrepreneur sekarang lain dengan entrepreneur dulu. Mungkin saja, kehidupan entrepreneur itu lebih mudah beberapa tahun yang lalu. Dimana, membuat tetangga menjadi pelanggan begitu mudah. Begitu juga, saat kita mau mengembangkan produk lokal. Tapi saya rasa, sekarang sudah beda. Tuntutan pasar semakin banyak, dan kualitas pun harus kita tingkatkan. Begitulah jika kita ingin hidup. Tapi saya yakin, jika saat ini kita mau menekuni karir sebagai entrepreneur prospeknya sangat bagus dan

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

22

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

sangatlah luas. Artinya, kita bisa kapan saja memulai bisnis. Dan, kita bisa jual produk atau jasa apa pun juga. Sedang, berapa jenis usaha yang bisa kita lakukan, tentu saja juga tergantung kemampuan kita. Namun, dari sebuah survey mengungkapkan, bahwa rata-rata sekitar 44% entrepreneur yang terjun dalam dunia bisnis selama lebih dari 6 tahun telah, memiliki beberapa jenis bisnis yang tidak saling berhubungan atau tumpang tindih. Sementara 35% lagi entrepreneur hanya memiliki satu jenis bisnis, dan 21% lagi memiliki beberapa jenis bisnis yang masih ada hubungan atau rangkaian. Lantas bagaimanakah agar kita bisa menjadi entrepreneur yang sukses? Dari berbagai pengalaman, saya melihat, bahwa ada 4 karakter seseorang bisa menjadi entrepreneur sukses, yaitu Pertama, adanya keinginan. Dimana, dia menggunakan keinginanya untuk membuat sesuatu yang besar dari hal yang kecil. Selain itu, juga ada keinginan sesuai dengan cara yang ingin mereka lakukan. Kedua, adanya intuisi. Kesempatan jadi entrepreneur adalah sama untuk semua orang. Tidak ada tes IQ. Bahkan, jika kita tidak pintar pun tak menghalangi untuk jadi entrepreneur. Artinya, setiap entrepreneur yang sukses adalah mereka yang telah belajar mengembangkan intuisinya. Ketiga, dia punya kemampuan untuk terus hidup walau punya hutang. Jadi, semua entrepreneur telah bertahan melewati karirnya yang naik turun. Mereka pernah sukses, pernah gagal. Pernah menghasilkan uang, atau kehilangan uang, dan lain-lain. Bahkan, hutang pun selalau ada di setiap bisnisnya. Saya rasa, ini adalah kenyataannya. Sebab, bagaimanapun juga, seorang entrepreneur harus belajar beradaptasi dengan hutang. Keempat, selalu optimis. Misalnya saja, ada peluang bisnis, namun karena ada alasan yang lebih logis, peluang itu tidak dikejarnya. Sebab, ia telah mempertimbangkan dengan instuisinya, dan menutupinya dengan optimisme. Jadi, menurut saya, entrepreneur itu adalah pencipta dan sekaligus pelaku bisnis. Dia membuat hidupnya dengan mengatasi berbagai alasan untuk tidak mengejar peluang bisnis, dan kemudian meyakinkan orang lain untuk mengikuti caranya. Oleh karena itu, menurut saya, kalau kita memang ingin sukses berkarier sebagai entrepreneur, maka pastikan saja kita mempunyai ke-4 karakter tersebut. Dan, sebaiknya jangan pernah kita merasa ragu untuk melangkah. Anda berani mencoba?*** Bisnis Keluarga
Monday, 25 October 2004

Bisnis keluarga sah-sah saja kita lakukan. Asal saja mereka yang terlibat dalam bisnis keluarga harus memiliki jiwa entrepreneur. Ada sebuah referensi menarik yang pernah saya baca, bahwa kebanyakan bisnis di negara barat, khususnya Amerika adalah bisnis keluarga. Hanya saja, bisnis semacam itu bisa jadi besar atau jadi satu kekuatan ekonomi, asal saja ada kekompakan dalam keluarga. Selain itu, mereka juga harus memiliki jiwa entrepreneur. Memang tujuan paling urgent bagi bisnis keluarga adalah dapat menghasilkan keuntungan, dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Saya akui, memang ada kekuatan dan kelemahan dari bisnis keluarga. Kekuatannya, yaitu ada suatu kepercayaaan lebih pada keluarga itu sendiri dibandingkan orang lain. Dan, jika pemilik atau anggota keluarga bisa melayani langsung pada pelanggan atau konsumen tentu mereka akan merasakan pelayanan khusus. Sementara, kelemahanya adalah bisnisnya akan terganggu jika ada masalah keluarga masuk dalam operasional bisnis. Sebab, bagaimanapun juga yang namanya bisnis keluarga, tentu banyak berkaitan dengan emosi, perlakuan, keamanan disamping soal produktivitas, keuntungan dan pencapaian tujuan bisnis itu sendiri. Contohnya, ada pasangan suami-istri jadi pengusaha. Maka, bisnis mereka akan berhasil jika mereka bisa jadi partner bisnis yang baik. Tapi jika tidak, pengalaman yang menyakitkan akan mereka alami.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

23

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Menurut pakar entrepreneurship, Charles Kuehl, kelemahan suami istri yang sama-sama pengusaha itu, yaitu mereka akan terlalu sering bersama-sama. Perbincangan di rumah kerap kali didominasi masalah bisnis. Jika sampai terjadi perceraian, mengakibatkan suramnya bisnis mereka. Sedangkan keuntungannya adalah pasangan keluarga ini biasanya dapat bekerja lebih lama untuk bisa membuat bisnisnya sukses. Dan, mereka juga dapat berganti shift berjaga di rumah dan di kantor. Lantas bagaimana jika dalam bisnis tersebut anak-anak mereka juga ikut serta? Saya rasa, hal itu sah- sah saja. Karena hal itu sudah merupakan bagian dari hidup mereka. Meski ada juga pakar yang berpendapat, bahwa bisnis seperti itu Jika Anak Ingin Bisnis Monday, 25 October 2004 Kita janganlah apriori, jika anak kita tiba-tiba menyatakan keinginannya meniru profesi kita sebagai pengusaha. Yang terpenting adalah, carilah pembimbing yang benar-benar memiliki keterampilan mententor anak kita. Jika anak kita ingin bisnis seperti profesi yang digeluti orang tuanya, bagaimana sebaiknya sikap kita sebagai orang tua menghadapi hal itu. Apakah kita apriori atau ingin ikuti saja keinginannya. Saya rasa, kasus ini tak sedikit dialami kalangan pengusaha, termasuk saya sendiri, yaitu ketika anak saya yang masih duduk di bangku SMP juga punya keinginan jadi pengusaha Warnet. Menurut saya, hal itu wajar terjadi, karena barangkali anak kita sudah terbiasa dengan atmosfer bisnis. Meski, tak sedikit pula anak pengusaha yang sama sekali tidak ingin bercita-cita jadi pengusaha, karena dia tahu ayahnya sangat sibuk. Sedangkan, untuk mendidik sendiripun tidak mudah. Masalahnya, adalah faktor kedekatan emosional sangat besar, dan itu terkadang menjadi kendala perkembangan anak itu dendiri. Sementara itu, saya melihat belum adanya sekolah yang bisa menyiapkan seseorang jadi pengusaha. Sehingga, jika anak kita ingin jadi pengusaha, maka dirasa perlu ada orang lain yang kita percaya untuk menjadi pembimbingnya atau mentor-nya. Hanya, di dalam kita melibatkan mentor dari luar keluarga, tetap harus direncanakan dengan baik. Dan, agar berhasil, menurut Patricia Schiff Estess, kolumnis di Entrepreneur Magazine, kita harus memperhatikan faktorfaktor dibawah ini. Faktor pertama, kita harus tahu siapa orang yang menjadi mentornya. Memiliki keterampilan dan dapat memberikan bimbingan, memang merupakan syarat utama. Dan, kita sebagai orang tua, semestinya harus lebih dulu percaya sebelum mentor tersebut kita libatkan di dalam membimbing anak kita. Faktor kedua, apa yang harus kita ketahui pada mentor, artinya, sebelum mentor dari luar keluarga itu menentukan aturan-aturan dalam memberikan bimbingan, sebaiknya kita perlu menjelaskan pada mentor tersebut, apa saja yang menjadi ruang geraknya, dan apa saja yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya saja, dia harus dapat mendidik sikap disiplin pada anak kita. Faktor ketiga, adalah apa saja yang tidak boleh dilakukan mentor. Misalnya, dia tidak semestinya mencoba melakukan masukan bagi kemampuan anak kita di bidang bisnis. Sehingga proses tersebut nantinya, akan menjadi anak kita lebih "sabotage" pada proses mentoring itu sendiri. Sebab, sebenarnya inti dari mentoring adalah bagaimana memberikan matang dalam bisnis. Oleh karena itulah, saya kira, program mentoring semacam itu sebaiknya kita rencanakan untuk jangka waktu

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

24

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

terbatas, 5 atau sampai 10 tahun. Sebab, saat itulah, kita sebagai pengusaha akan pensiun atau istirahat. Sementara, anak kita di saat itu telah siap menjadi pengusaha.***

Bodol, Botol, dan Bobol


Monday, 25 October 2004

Tak punya duit, tenaga, atau ide? Pakai jurus Bodol, Botol, Bobol Ada satu pertanyaan yang menarik untuk kita simak dari seorang peserta Entrepreneur University angkatan ketiga di Jakarta beberapa waktu lalu. "Kenapa sih Pak, saya ini kok tak ada keberanian dalam berbisnis. Rasanya sulit sekali. Apalagi saya cukup punya duit, keahlian dan ide bisnis. Apa mungkin saya bisa

berbisnis?," ujarnya. Saya yang ditanya soal masalah yang satu ini, sambil bercanda saya balik bertanya.
"Apakah bapak ketika masuk ke kamar mandi juga harus berpikir lebih dahulu satu atau dua jam sebelumnya?", Tanya saya. Dia agak terkejut mendengarnya. Pikirnya kok aneh pertanyaan saya ini. "Ah...nggak perlu satu atau dua jam sebelumnya. Wah Bapak ini gimana sih." jawabnya bersemangat. Mendengar jawaban spontan itu, serentak peserta yang sebagian besar ibu rumah tangga, karyawan, pensiunan, dosen dan bahkan ada yang bergelar master serta doktor itu tertawa lepas. "Yah seperti itulah, kalau kita mau berbisnis,"jawab saya singkat "nggak usah terlalu dipikir-pikir" Saya berpendapat, kenapa energi kita habis hanya untuk berpikir dan berpikir terus mau bisnis apa, tapi tak ada

wujudnya. Saya kira, kalau kita mau bisnis saja sudah terlalu banyak dipikir, bisa saja bisnis itu tidak akan terwujud. Padahal mungkin kita ada keinginan jadi pengusaha. Karena itulah, kita harus memiliki keberanian memulai bisnis apa pun yang kita inginkan. Misalnya saja, ketika kita mau memulai apa pun yang kita inginkan. Misalnya saja, ketika kita mau memulai bisnis tapi menghadapi kendala tak punya modal.
Nggak usah bingung pakai saja jurus BODOL, apa itu Bodol? Saya singkat dari kata "Berani, Optimis, Duit, Orang, Lain?."maksud saya, dalam bisnis kita harus punya keberanian. Kita harus Optimis. Nah, kalau nggak punya duit, kita bisa 'pakai' atau pinjam duitnya orang lain. Saya yakin, asal bisnis kita jelas, dan punya prospek bagus, pasti ada saja orang yang meminjamkan duit atau modal pada kita. Pinjam duit pada orang lain untuk bisnis, saya kira sah-sah saja. Bahkan sering saya menyarankan, walaupun punya duit sebaiknya jangan dipakai duit sendiri untuk bisnis.

Kalau kita punya duit atau modal, tapi kita tidak ahli dibidang bisnis yang akan kita jalankan, saya rasa kita bisa saja pakai jurus BOTOL. Singkatan apa pula ini?Berani, Optimis, Tenaga, Orang, Lain. Artinya, selain kita
tetap memiliki keberanian dan optimis, kita pun bisa memakai tenaga orang lain atau kita bisa mencari orang yang ahli dibidangnya, sehingga bisnis kita bisa jalan. Pendeknya tak harus bisnis itu kita jalankan dengan tenaga sendiri. Kalau ide bisnis pun ternyata pun juga tidak punya, maka jurus BOBOL bisa kita lakukan, Singkatan Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain. Jadi, kita harus berani dan optimis dalam memulai bisnis dengan meniru bisnis orang lain. Nah, kenapa kita merasa sulit dan tak berani memulai bisnis, padahal setiap saat kita memiliki keberanian masuk kamar mandi. Kita masuk kamar mandi tanpa banyak dipikir. Kalau lantas airnya kurang hangat atau terlalu dingin, kita juga bisa mengaturnya. Seperti halnya bisnis. Kalau bisnis yang kita jalankan kurang berkembang, kita bisa atur.

Bisa kita perbaiki mana yang kurang. Dan kalaupun ia tak punya modal, tak punya keahlian atau tak punya ide, maka bisa saja memanfaatkan kepunyaan orang lain. Tapi yang penting, bisnis kita tetap jalan. Justru
kekurangan bisnis kita disana sini akan membuat kita dewasa dalam berbisnis. Jiwa entrepreneur kita pun akan

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

25

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

semakin berkembang. Oleh karena itu, bagi kita yang mau memulai bisnis tapi tak punya duit atau modal, atau tak punya keahlian, atau mungkin juga tak punya ide bisnis, saya sarankan coba saja kita menerapkan jurus Bodol, Botol, dan Bobol. Anda berani mencoba?.***

Mau Bikin Apa Lagi


Monday, 25 October 2004

Saya Selalu Bermimpi, Mau Membuat Bisnis Apalagi?

Bisnis supermarket atau swalayan, memang saat ini sedang trend. Banyak pihak yang mencobanya. Barangkali bisnis ini menjanjikan untung besar. Tapi yang jelas, permintaan konsumen akan kebutuhan pangan
dan sandang terus meningkat dan belum bisa dipenuhi oleh swalayan yang ada. Sebagai entrepreneur, saya ikut mencobanya. Saya beri nama Pro Market Swalayan. Saya gulirkan awal Desember 2001 lalu. Sebenarnya, tujuan saya mendirikan Pro Market Swalayan bukan semata-mata mencari untung atau membuat diri saya 'kaya' secara pribadi. Bukan itu. Tapi, saya berharap kehadiran Pro Market Swalayan akan menciptakan 'kekayaan' baru, yaitu akan banyak menciptakan lapangan kerja baru. Pertimbangan lain adalah Pro Market Swalayan bukan semata-mata hanya sebagai ritel saja, tapi juga bisnis properti. Adanya Pro Market Swalayan juga akan menaikan harga property di sekitarnya. Jadi ada dampak positif pada lingkungannya. Lihat saja, ketika pagi hari disekitar jalan Diponegoro sibuk dengan kegiatan perkantoran, perbankan dan bisnis lainnya, tapi begitu malam tak ada kegiatan bisnis sekalipun masih terlihat sejumlah pedagang kaki-lima. Atas pertimbangan itulah, yang menguatkan tekad saya dan memberikan keyakinan bahwa saat sekarang inilah saya perlu mencoba bisnis ritel ini. Apalagi, saya melihat, belum ada swalayan besar di sekitar jalan P. Diponegoro Yogyakarta. Nah begitu, saya buka Pro Market, ternyata suasana jalan ini di malam hari menjadi 'hidup'. Jalan menjadi lebih ramai, dan saya yakin akan memancing pengusaha lain untuk ikut meramaikan dengan bisnisbisnis lainnya. Peluang bisnis ritel ini memang masih menganga. Keuntungannya sangat menantang, tak kalah dibandingkan dengan bisnis lainnya. Tapi, lantaran bisnis ini bagi saya masih relatif baru, maka ketimbang buntung, saya lebih baik mencari mitra bisnis yang profesional di bidangnya. Sebab, bagaimanapun juga, kalau bisnis dikelola secara profesional tak mustahil akan menjadi core bisnis baru dalam kelompok bisnis grup Primagama. Sekalipun sesungguhnya bisnis ini tak mudah, namun berbekal optimisme saya yakin, Pro Market Swalayan akan berkembang. Terus terang, optimisme itulah yang membuat saya yakin semakin percaya diri. Semula saya tak yakin bisnis baru ini muncul, karena saya memang tak punya pengalaman. Tapi berbekal pengalaman saya membuka restoran Padang Prima Raja, yang juga sama sekali tak ada pengalaman tapi akhirnya berhasil saya wujudkan, maka jiwa entrepreneur saya pun tergerak juga untuk mewujudkan Swalayan ini. Dan, akhirnya terwujud juga. Sekalipun untuk suksesnya bisnis ini, waktu jualah yang akan membuktikannya. Memang, seusai membuka bisnis ritel pertama ini saya sempat diledek oleh teman-teman pengusaha maupun relasi lainnya. "Mau bikin apalagi?" Tanya mereka. Mendengar pertanyaan itu, saya tersenyum. Tapi yang jelas, dalam benak saya sesungguhnya masih ada mimpi lain yang belum terwujud sampai sekarang ini. Misalnya, ingin punya hotel. Tapi terkadang muncul keinginan lain lagi, yaitu punya lapangan golf.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

26

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Tapi itu semua memang baru mimpi, bolehkan? Saya kira, begitu juga anda pasti punya mimpi yang tinggi. Namun yang terpenting dari semua ini adalah sebagai pengusaha kita ingin menciptakan banyak lapangan kerja dengan kita mengembangkan bisnis.***

Bangun Bisnis, Beli Properti


Monday, 25 October 2004

Saya membeli properti, untuk mendapatkan hutang. Ada satu petuah bisnis menarik yang diajarkan Robert T. Kyosaki, penulis buku "Rich Dad, Poor Dad", yang menjadi best seller. Petuah itu bunyinya, "Setelah kita sukses membangun bisnis maka jangan lupa beli properti. Selain kita punya penghasilan dari bisnis yang kita jalankan, kita juga akan mendapat untung dari gain kenaikan nilai properti itu." Saya kira, Kyosaki benar. Petuah itu sebenarnya merupakan kata kunci yang menjadi sebab, mengapa orang kaya makin kaya. Karena orang kaya yang cerdas selalu membeli properti yang setiap waktu akan terus berlipat nilainya, itulah yang membuatnya semakin kaya. Namun, jauh sebelum membaca buku itu, sebagai entrepreneur saya sudah mempraktekan ajaran itu sejak dulu. Karena itu, ada petuah tambahan yang bisa saya berikan untuk anda dalam membeli properti, dari hasil keuntungan dari sukses bisnis yang anda bangun. Dalil bisnisnya berbunyi, "Kalau anda berniat membeli properti, janganlah sesuai kemampuan dana yang tersedia. Bahkan lebih baik belilah properti dengan hutang Bank. Karena semakin sedikit uang anda keluarkan untuk membeli properti, semakin besar kentungan anda." Jelasnya, kalau kita punya dana Rp 400 juta janganlah membeli properti pas senilai dana yang kita punya. Bukankah membeli properti tidak harus cash. Bisa dengan cara credit. Jadi sebaliknya pecahlah Rp 400 juta anda untuk 4 properti, misalnya masing-masing seharga Rp 400 juta, dimana masing-masing cukup anda bayar uang muka pembeliannya sebesar Rp 100 juta, sisanya Rp 300 juta dari Bank. Nah, kalau anda hanya membeli satu properti senilai Rp 400 juta, maka lima tahun kemudian anda hanya akan menerima keuntungan berlipatnya harga dari satu properti saja. Tapi kalau empat properti, lima tahun kemudian satu property anda yang semula Rp 400 juta telah berlipat menjadi Rp 2 miliar. Sehingga 4 properti menjadi 8 miliar. Barangkali Anda bertanya, mengapa membeli properti dengan hutang lebih menguntungkan? Ada baiknya kita simak saran bisnis dari Dolf De Roos, konsultan ayah kaya Robert T. Kyosaki. Dalam bukunya, "Real Estate Riches" Dolf menulis, "Saya tidak membeli properti untuk membeli tanahnya, karena itu tidak produktif. saya tidak membeli properti untuk membangun gedung karena butuh maintenance. Dan, saya tidak membeli properti untuk disewakan karena butuh manajemen. Alasan terkuat saya membeli properti adalah untuk mendapatkan hutang. Alasan sederhana, "Jumlah hutang selalu sama, tapi nilai aset terus melambung." Dengan memetik petuah bisnis tersebut, saran saya, kita sebaiknya jangan takut berhutang ke bank kalau untuk membeli properti. Ubahlah mindset, bahwa hutang akan mengundang masalah bagi anda. Memang untuk belajar

memupuk percaya diri dalam berhutang bolehlah memulai dengan nilai kecil. Tapi, sekali anda berhasil bukan anda yang mencari hutang ke bank, tapi sebaliknya bank yang justru akan mencari anda supaya mengambil hutang. Tak salah kalau lantas muncul canda di kalangan entrepreneur bahwa, "Kalau anda hanya berani hutang Rp 50 juta, andalah yang punya masalah. Tapi kalau anda sudah berani

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

27

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

hutang 50 miliar, bank yang akan punya masalah. Percayalah, semakin sering kita berani hutang, maka bank akan semakin percaya pada bisnis kita." Anda berani mencoba?*** Setelah Pensiun, Mau Apa?
Monday, 01 November 2004

Nikmatnya pensiun itu hanya tiga bulan, Selebihnya sumpek, jenuh, dan stress, maka berbisnislah. Rasanya memang bahagia, setelah kita sudah tahu bahwa kita pensiun dengan dapat uang pensiunan. Apalagi kalau uang pensiunan kita itu gede jumlahnya. Singkatnya, tidak bekerja pun kita dapat duit. Kita tinggal ambil bunga dari deposito yang kita miliki di Bank. Tapi berdasarkan pengalaman teman-teman yang baru pensiun dan kini mengikuti pendidikan entrepreneursip Entrepreneur University, katanya, pensiun itu enaknya hanya tiga bulan. Mengapa? yah, karena kegiatan kita setiap hari banyak dihabiskan dengan bangun-tidur, nonton TV, bercanda dengan cucu, dan lain-lain. Habis mau apa lagi, karena memang tidak ada kegiatan. Tanpa kerjapun kita nggak pusing, sementara duit masih cukup di bank. Semula pikirnya, duit adalah segala-galanya. Namun ternyata yang banyak kita jumpai dilapangan, mereka merasakan enaknya masa pensiunan itu hanya tiga bulan. Setelah itu menurut pengakuannya, mereka jadi stres. Karena nggak ada kegiatan dan waktunya habis di rumah untuk bersantai ria. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa bekerja. Akibatnya setelah pensiun pikirannya jadi sumpek, jenuh, dan stres. Menurut saya, sebaiknya jika kita sudah pensiun, tak ada salahnya kita punya berbagai kegiatan. Diantaranya, kita bisa aktif di organisasi sosial, aktif di organisasi keagamaan, terjun dalam dunia bisnis. Dan, mungkin justru di saat itulah kita belajar memulai usaha. Kita bisa meniru semangat wirausaha Kolonel Sanders, yang di saat sudah usia 62 tahun dia nekad buka usaha Kentucky Fried Chicken. Artinya, faktor usia itu bukanlah menjadikan masalah bagi kita untuk belajar memulai usaha. Usia bukan penghalang untuk jadi lebih sukses, sekalipun sebelumnya kita sudah banyak pengalaman menjadi karyawan atau sebagi professional. Pendeknya, para pensiunan belum terlambat untuk memulai usaha. Memang ada pensiunan yang bercerita pada saya, bahwa seusai ia menjalani pensiun, yang muncul dalam benaknya hanyalah memikirkan akhirat saja. Saya kira wajar. Tapi, setelah mengikuti pendidikan Entrepreneur University (EU) atau setelah terkena virus entrepreneur, dia tidak hanya berpikir akhirat saja, tapi kepentingan dunia pun juga ikut dipikirkan, yaitu misalnya dengan jalan berwirausaha. "Saya ikut kuliah sebenarnya juga untuk memberikan contoh pada anak saya, ini lho walaupun bapak sudah pensiun tapi tetap mau belajar berwirausaha," katanya. Bahkan tak hanya itu saja, menurut pengakuannya, setelah kuliah lagi di EU semangat hidupnya kembali bergairah. Apalagi masuk EU tak ada tes, dan tak ada ujian. "Hidup saya ini betulbetul bergairah. Itu karena sentuhan jiwa entrepreneur tidak punya usaha sama sekali, tapi kini setelah terkena virus entrepreneur, dia sudah punya tiga unit usaha. Saya kira, masih banyak contoh para pensiunan yang semula tak bersemangat lagi beraktivitas, kini saya lihat mereka sudah ada yang mulai aktif berwirausaha dengan membuka rumah makan, bisnis warnet, bisnis jasa pendidikan, percetakan, buka bisnis design grafis, dll. Oleh karena itulah, saya mengajak para pensiunan, yuk kita mencoba berani berwirausaha."Usia boleh tua, tapi semangat berwirausaha tetap muda". Anda berani mencoba?***

Malu Memasak, Sesat Dalam Berbisnis !


Saturday, 06 November 2004

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

28

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Kalau saja ada lembaga yang mau membuat polling dengan isu: bias gender dalam keahlian memasak. Hasilnya mungkin mudah ditebak. Boleh jadi, diantara 10 pria Indonesia, tak akan lebih dari 2 orang yang bisa memasak. Memasak, dalam arti bukan sekedar menceplok telur mata sapi atau merebus air! Tapi menciptakan makanan dengan memadukan ramuan bumbu dan bahan makanan yang tepat sehingga menghasilkan makanan yang bukan hanya enak, gurih atau lezat dilidah banyak orang, tapi juga sedap dipandang saat penyajiannya. Tak keliru kalau keyword, sebuah iklan bumbu penyedap diklaim, "rasa lezat bukan suatu kebetulan !". Tentu, dibutuhkan sebuah proses kreatif yang memerlukan "kecerdasan" tangan dan lidah dalam meramu, memadukan racikan bumbu dan bahan makanan, sehingga tersaji makanan yang sempurna di lidah dan mata penikmatnya. Mungkin karena dirasa njelimet dan kurang melihat adanya tantangan, dalam domain rumah tangga Indonesia, bapak selalu tak bisa memasak, atau persisnya tak berani dan tak punya rasa percaya diri untuk mencoba memasak. Karena itu kebanyakan, keahlian memasak selalu didominasi oleh ibu ketimbang bapak. Bahkan, tak sedikit pria Indonesia, malu memasak. Sebuah mindset yang keliru dan perlu diluruskan. Karena tidak "pede" nya para pria atau bapak rumah tangga Indonesia untuk berani memasak umumnya bersumber pada masalah malas dan tidak Percaya diri, jadi bukan berarti masakan bapak selalu kalah enak dengan masakan ibu. Perlu bukti? Dalam konteks entrepreneurship, dengan mudah bisa kita lakukan survei. Hampir semua warung atau gerai makanan khas Indonesia 99% yang bernama PAK, dan nyaris tak ada yang bernama BU. Di Jogja ada Soto Pak Sholeh, Nasi Goreng Kambing Cak Kandar, Soto Lenthok Pak Sadari, Bakmi Pak Mangun, Bakso Pak Kintel dan masih sederet panjang lagi nama warung makanan bernama awal Pak. Hanya Gudeg Mbok Amat dan Ayam Goreng Ny Suharti yang menonjol di antara deret restoran makanan bernama awal perempuan di Jogja. Apa artinya? Bila cukup percaya diri dan mau berlatih dan tentu berani mencoba, pria, tak selalu kalah piawai dalam memasak dibanding wanita. Berani mencoba, mau gagal dan belajar dari kegagalan tak menyerah dan selalu mencoba lagi. Itu modal yang dibutuhkan siapapun, tak hanya para pria untuk bisa piawai memasak. Siapa saja, karena tidak sedikit pula para wanita dan ibu rumah tanga yang melempar tanggung jawab ke pembantu untuk urusan masakan. Modal itu pula yang diperlukan seseorang untuk bisa terampil menjadi seorang pengusaha! Jangan lupa, meramu sebuah bisnis yang jempol, dalam arti laku di pasaran, bahkan mampu mencipta loyalitas konsumen pada produk bisnis kita sehingga bisnis bukan hanya laku di pasar tapi juga tumbuh membesar, memerlukan kepiawaian yang butuh latihan dan uji nyali. Sekali seorang pengusaha berani mencoba membuka usaha, mestinya pantang baginya untuk takut gagal. Andaipun gagal dalam bisnis, terjatuh dari usahanya, segeralah bangkit dan mencoba membuat temuan racikan menu bisnis baru yang terus disempurnakan demi konsumen. Kalau paduan ramuan bisnis kita sudah sempurna, tak susah bagi seorang pengusaha untuk menjual produk bisnisnya. Setiap kita melihat kesuksesan bisnis seorang pengusaha, umumnya kita jarang yang melihat bagaimana sang pengusaha dahulu berjuang, jatuh bangun merintis usahanya hingga dipandang sukses oleh khalayak. Seichiro Honda, pendiri Honda Motor Jepang, pernah bertamsil, "Orang sering silau oleh 1% kesuksesan saya, tapi mereka tak pernah melihat 99% kegagalan saya sebelumnya". Dari tamsil itu, jelas terbaca bahwa janganlah seseorang itu berani memvonis dirinya gagal dalam bisnis, hanya karena satu dua kali kegagalan dalam merintisnya, asal terus mencoba dan berani menghadapi kegagalan, sukses, tentu akan terwujud.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

29

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Salah satu uji nyali, yang penulis sarankan untuk dicoba oleh calon-calon pengusaha adalah dengan belajar memasak. Saran ini berlaku baik buat pria maupun wanita. Ada banyak analogi yang sama antara belajar memasak dan belajar membuat usaha. Misalnya, dalam meramu masakan yang sedap kita tidak dilarang untuk mencontoh bahkan mengambil bahan yang sudah dibuktikan banyak lidah orang kalau rasanya enak. Karena itu, kalau kita pengin bikin nasi goreng kambing tapi tak yakin nanti daging kambingnya bisa gurih dengan bumbu yang meresap dalam daging, boleh saja, kita comot kambing dari warung sate kambing atau sop buntut yang sudah punya nama. Kita ambil daging dan pisahkan kuahnya, kita campurkan pada nasi goreng dengan bumbu buatan kita. Jadilah nasi goreng kambing kita lebih sedap dengan rada sop buntut bang Udin langganan kita. Salah? Tentu saja tidak. Justru kreatifitas kita itu telah melahirkan satu jenis makanan baru yang lebih lezat dan menggiurkan lidah ! Begitu juga dalam membuat bisnis, kalau kita tak cukup yakin akan ide bisnis kita bakal laku dijual, kenapa Tidak mencontoh bahkan mengambil utuh konsep bisnis orang lain yang terbukti punya citra dan merk dagang yang bagus. Dalam bisnis, kita bisa melakukan langkah tersebut dengan konsep franchise, waralaba. Kita membeli, merek dengan segala bentuk konsep layanan, penyajian dan ruang gerainya dari sebuah merk bisnis dan bisa kita memilikinya dengan membayar royaltinya pada pemilik merk. Meskipun demikian, bukan berarti kita tak boleh berkreasi dengan sajian ala merk itu. Kini kita mencatat perkembangan, meski di sononya, orang makan ayam goreng Kentucky hanya dengan kentang goreng, karena orang Indonesia belum merasa makan kalau belum pakai nasi, maka kini Kentucky juga menyajikan teman makan ayam gorengnya dengan nasi putih dan nasi goreng. Kini, kita bisa pula makan nasi Tortilla di resto Pizza Hut yang ada di Indonesia. Varian menu berbeda bisa pula di sajikan di outlet dua resto multinasional itu di negara lain. Semua perubahan itu demi satu tujuan, disukai konsumen dan bisnis bisa berkembang. Jadi, mari jadikan memasak sebagai sebuah kegiatan menantang yang menarik untuk menguji nyali kita dalam menajamkan intuisi bisnis kita. Semakin piawai kita mencipta masakan baru yang unik dan lezat, hampir pasti semakin handal pula kita menciptakan ragam bisnis baru yang menantang pula untuk dikembangkan sebagai sebuah bisnis yang sukses! Penulis justru kuatir, kalau rasa malu untuk memasak terus dipelihara dalam diri anda, justru bisa membuat anda tersesat dalam berbisnis! Karena ketajaman, rasa, selera dan kreativitas untuk mengatasi masalah tak pernah terlatih dan teruji hasilnya. Memasak merupakan latihan paling sederhana untuk membuktikannya. Tak perlu ditunda lagi. Mulailah, besok pagi anda masak nasi goreng sarapan anda sendiri!

Jadi Raja Property Dengan Jual Rumah Sendiri


Sunday, 02 January 2005

Lebih baik di sini, rumah kita sendiri... Segala nikmat dan karunia yang kuasa... semuanya, ada di sini... Pesan lirik lagu Rumah Kita, yang ngetop lewat rocker Achmad Albar itu memang tak keliru. Memiliki rumah sendiri benar memberikan kenikmatan tersendiri. Apalagi, kalau di dalam rumah itu semuanya serba ada. Serasa berat hati kita berpindah rumah. Tak heran sebagian orang punya keyakinan, memiliki rumah itu --orang Jawa bilang-- pulung. Artinya ada hoki dan rezeki. Kalau belum hoki, memiliki rumah susahnya seperti mencari jodoh, susah didapat. Karena itu, tak heran jika sudah didapat rasanya berat dilepas.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

30

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Mindset seperti itu, dalam pandangan kewirausahaan ternyata keliru besar. Dalam seni entrepreneur, segala sesuatu yang bisa dijual dan menghasilkan keuntungan halal, boleh

dijual, termasuk rumah milik kita sendiri. Kalau rumah kita saat ini nilainya naik, dan kita dapat selisih kenaikan nilai rumah itu untuk membeli rumah lagi, kenapa tidak dicoba? Kalau memang jual satu bisa beli dua atau tiga rumah baru, mengapa tidak dilepas saja rumah kita, meski fasilitas maupun nostalgia ada di sana?
Nasihat bisnis Robert Kiyosaki mengajarkan, jualah franchise belilah property, kalau ingin kaya raya. Namun, selagi kita belum punya merk usaha yang bisa dijual franchisenya, kenapa kita tidak jual rumah kita untuk memborong property yang lebih menguntungkan? Untuk memprovokasi keberanian bisnis Anda, saya ingin mengulas contoh dari seorang siswa Entrepreneur University. Sebut saja namanya Nomad. Ia sudah mempraktikkan ide menjual rumah sendiri sejak 2 tahun lalu. Dalam tempo sesingkat itu, rumah pertama Nomad yang hanya berharga Rp 50 jutaan, karena kecerdasan entrepreneur dan tentu saja kemampuannya terus berpindah rumah dan mencari rumah berprospek bagus, kini seharga lebih dari Rp 1 Milyar. Lebih dari lumayan bukan? Saat saya tanyakan, apa modal utama yang diperlukan merintis ide menjual rumah tempat tinggal sendiri? Jawabnya, sikap mental keluarga untuk siap pindah rumah setiap saat. Bukan soal sederhana memang. Pindah rumah bikin pusing, terutama bagi orang yang sudah berkeluarga. Tapi, rupanya, si Nomad sukses mengubah mindset keluarganya, kalau pindah rumah bukan lagi hal merisaukan tapi mengasyikkan. Tak heran, Nomad mengaku bukan hanya tiap tahun pindah rumah, tapi enam bahkan tiga bulan harus pindah rumah lagi, karena rumah yang ditinggali diminati pembeli dengan harga yang aduhai! Selain memiliki sikap mental yang kuat untuk siap pindah rumah setiap waktu, kita juga mesti jeli mengelola keuntungan penjualan rumah. Keuntungannya bukan hanya untuk membeli rumah lagi, entah satu atau lebih, atau setidaknya di lokasi yang lebih bagus. Tapi, tentu juga untuk biaya hidup keluarga, atau untuk mempercatik rumah kita. Yang belum bertaman, dibuat taman cantik. Yang belum berlantai keramik, dikeramik, dindingnya juga dicat ulang atau di lapis batu alam yang lagi trend. Kalau dana memungkinkan, lengkapi fasilitas rumah agar semakin nyaman dan berdaya jual jauh lebih tinggi. Misalnya, kamar diberi wastafel dan ac yang sejuk. Bahkan, kalau Toh, kini ada bisnis pembuatan kolam ada tanah dan dana memungkinkan, buatkan kolam renang di halaman dalam. renang yang pembayarannya bisa dicicil setelah kolam jadi. Ide bisnis ini bisa juga diterapkan dalam produk lain. Mobil bekas, misalnya. Kita beli barang yang kondisinya serba minus, kita poles dengan warna cat baru yang kinclong, lengkapi fasilitasnya dan dijual lagi, pasti untungnya lebih ciamik! Dalam dunia hobi, menjual koleksi sendiri bahkan merupakan hal sangat lazim. Seorang staf saya yang sangat hobi burung kenari, dalam waktu 3 bulan bisa memoles kenari yang dibelinya hanya Rp 250 ribu. Setelah dua tiga kali diikutkan kontes burung dan diganti sangkarnya dengan sangkar yang lebih bagus, bisa laku jutaan. Dengan dana itu, staf saya itu bisa memborong bakalan kenari jantan baru yang lebih banyak, dan untungnya tentu akan lebih berlipat.

Kembali ke soal menjual rumah sendiri. Satu kunci penting yang mesti kita kuasai adalah mengikuti perkembangan tata kota. Lihatlah prospek perkembangan wilayah kota tempat tinggal kita. Bidik dan dapatkan lokasi-lokasi rumah, atau bisa juga ruko yang berprospek bagus. Poleslah, lengkapi fasilitasnya dan dijual lagi kalau untung sudah didapat. Jadi, jangan takut lagi menjual rumah sendiri.
Belajarlah jadi Raja Property dengan menjul rumah sendiri! Itu lebih

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

31

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

baik daripada terus sekadar mimpi! Tak salah, kalau berhasil, kita bisa memplesetkan lagunya Achmad Albar Lebih baik begini, jual rumah sendiri. Segala nikmat dan untung memang anugerah yang kuasa! Tapi yang pasti, masuk kantong sendiri.. Rumah Kita.

Daya Ungkit Bisnis


Tuesday, 11 January 2005

Kalau kita memulai bisnis dengan berpikir akan berhasil maka akan berhasil juga bisnis kita; tapi kalau yang kita pikir kegagalan, maka realitas yang akan kita hadapi juga kegagalan. Akademi Manajemen Dian Nuswantoro Semarang awalnya tidak populer di kalangan remaja Indonesia. Paling tidak baru remaja Semarang dan sebagian Jawa Tengah saja yang mengenal perguruan tinggi milik Ir. Edi Noersasongko, M.Kom. Tapi Edi Noersasongko tak kurang akal untuk mengungkit pamor kampusnya, dipilihlah Basuki menjadi bintang iklan dengan key word: Ini Toh, kampus Manajuminem Dian Nuswantoro. Sekarang sejak istilah Manajemen dipelesetkan sebagai Manajuminem oleh Basuki, perguruan tinggi itu malah jadi makin nge-top dan berkembang maju. Menciptakan daya ungkit bisnis adalah salah satu seni tersendiri bagi seorang entrepreneur dalam menjaga stamina bisnisnya. Untuk bisa survive dan berkembang, seorang pengusaha harus kreatif menciptakan daya ungkit dan menjaga nama besar perusahaannya. Seorang pengusaha pun dituntut untuk terus menerus menjaga energinya,

bahkan seharusnya terus bertambah. Berkurangnya energi sang pengusaha bisa berdampak serius bagi usahanya, bisa seret bahkan kalau fatal bisa membuat usaha kita bangkrut. Daya ungkit dalam bisnis, dalam buku yang ditulis pakar entrepreneur dunia, Robert Kiyosaki, disebut sebagai leverage. Menurut Robert, dengan memiliki daya ungkit, maka apa yang kita pikir nyata itulah yang akan menjadi realitas kita. Kalau kita memulai bisnis dan berpikir akan berhasil maka akan berhasil juga bisnis kita: tapi kalau yang kita pikir kegagalan, maka realitas yang akan kita hadapi juga kegagalan. Menciptakan daya ungkit dengan trik-trik bisnis yang kreatif merupakan kiat yang efektif ketimbang dua modus lainnya yakni daya ungkit fisik dan daya ungkit finan. Kalau daya ungkit lewat otak, kita harus memaksimalkan lahirnya ide-ide kegiatan untuk mengungkit bisnis kita. Kita mencatat misalnya, usaha Es Teller 77 yang dirintis Sukiatno Nugroho, sebelumnya belum dikenal, tapi diapun menciptakan acara lomba membuat es teller seJakarta yang diikuti banyak peserta. Acara itu diliput media dan nama Es Teller 77 sebagai penyelenggara makin populer. Setelah ngetop, Sukiatno tidak membuat lomba es Teller lagi, karena lomba itu hanya dijadikan leverage bagi bisnisnya. Di kalangan pengusaha makanan tradisional, leverage bisnis juga disadari artinya. Tak aneh kalau di berbagai kota sadar kalau prestasi yang pernah mereka dapat bisa jadi leverage bagi usahanya. Konsumen tentu akan percaya bahwa lotek atau gado-gadonya akan dijamin lezat karena sudah dapat juara. Selain kreatif dengan ide-ide bisnis, daya ungkit fisik juga diperlukan dalam menjaga stamina bisnis kita. Seorang peserta program Entrepreneur University, pernah bercerita bahwa order percetakannya meningkat pesat sejak dia berani mengubah mobilnya menjadi lebih bagus. Mobil dan rumah atau tempat usaha yang bagus memang memiliki daya ungkit secara fisik yang terbukti meningkatkan pamor bisnis kita.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

32

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Tak ada salahnya sejak awal memulai bisnis, kita tak perlu alergi pada pameran mobil atau rumah mewah. Jangan segan atau takut mendatangi acara pameran mobil atau pameran rumah. Kalau perlu tanyakan satu persatu harga dan cara pembeliannya. Bukankah kedua barang itu selalu bisa dibeli dengan cara mencicilnya? Dengan tahu harganya, kita menjadi berani mengukur kemampuan atau setidaknya menjadi target untuk memilikinya. Keinginan untuk memiliki itulah yang akan memacu kita untuk bekerja keras memajukan usaha kita sehingga keinginan itu bisa terwujud. Kalau telah berhasil mewujudkan keinginan secara fisik, jangan cepat berpuas diri atau merasa sudah sukses. Jadikan kelebihan harta yang kita sebagai daya ungkit finansial. Bisa menjadi agunan ketika kita akan meminjam dana dari bank. Tidak dipungkiri, sampai saat ini, bonafid tidaknya bisnis kita masih sering dilihat oleh mitra bisnis dari kacamata fisik. Mulai penampilan pakaian, kendaraan sampai rumah tinggal kita. Jadi, cerdas-cerdaslah memutar otak temukan ide-ide kegiatan bisnis yang mampu mengungkit nama baik usaha kita. Jaga dan terus kembangkan aset yang kita miliki jangan sampai jatuh. Sekali kita jatuh, biasanya susah untuk memulai lagi dari nol.

Virus Entrepreneur
Wednesday, 26 January 2005

Beberapa hari yang lalu, saya diundang oleh peserta "Entrepreneur University (EU)" untuk mencoba masakan di rumah makan yang baru saja di buka. Restoran yang terletak di Jalan Kaliurang Yogyakarta ini memang milik dua orang peserta EU. Padahal, sebelumnya mereka adalah pegawai negeri, sehingga mereka belum pernah bisnis. Saya bangga setelah mereka ikut pendidikan entrepreneurship di "Entrepreneur University" yang kebetulan saya dirikan itu, ternyata mereka telah membuktikan, bahwa setelah terkena "virus" entrepreneur ahirnya mereka berani buka usaha. Kini, "Virus Entrepreneur" telah menjalar dimana-mana. Tidak hanya menular dikalangan peserta "Entrepreneur University" saja, tapi orang-orang yang berada di sekitar sayapun juga terkena wabahnya. Mulai direktur, manager dan para karyawan. Mereka yang semula ogah-ogahan berwirausaha, kini mulai bisnis bengkel motor, bengkel mobil, kolam pemancingan, persewaan komputer, reparasi AC, fotocopy, lembaga pendidikan, bahkan supermarket. Pendeknya, virus entrepreneur yang saya tularkan dari "Entrepreneur University" benar-benar mewabah. Bahkan, peserta EU yang baru saja buka rumah makan tersebut, tak lama lagi akan membuat bisnis baru, yaitu Pendidikan Komputer. Ada juga peserta lain, yang sudah punya pemancingan, kini buka bisnis garmen celana, dan ada rencana bisnis jamur merang. Ada juga, yang tadinya buka toko batik, kini akan buka mini market. Jadi, Virus Entrepreneur benar-benar merajalela. Saya kira itu semua positif. Apalagi, sekarang banyak pengangguran yang membutuhkan lapangan kerja. Sementara

kita melihat, bahwa banyak diantara kita yang sebelumnya tidak punya modal, tidak punya pengalaman bisnis dan keluarganyapun juga tidak mendorongnya, tapi tidak sedikit yang telah berhasil menjadi wirausahawan sukses. Namun virus itu, saya kira bukan virus yang 'mematikan'. Tapi virus yang baik, yang membuat kita terobsesi untuk mandiri. Virus ini secara perlahan, tapi pasti telah menumbangkan paradigma lama, yaitu kita harus cari kerja atau jadi karyawan. Mochamad Muhaimin/MJT/APP, 33 ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Jadi, tidak ada dalam pikiran kita, bahwa kita harus menciptakan bisnis, kita harus menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan punya bisnis dimana-mana. Namun, ternyata setelah kita terkena virus tersebut, sikap dan prilaku kita berubah. Bagi yang kini sibuk kuliah, mulai bersemangat untuk bisnis. Bagi yang kini jadi ahirnya terobsesi untuk belajar berwirausaha. Saya kira, ini membuktikan bahwa virus entrepreneur telah memacu Adrenalin kita, yaitu yang semula kita ragu membuka bisnis, kini jadi bersemangat berwirausaha. Yang tadinya kita setuju dengan tiga syarat penting untuk berwirausaha, yaitu harus ada dukungan keuangan yang memadai, harus memiliki pengalaman dan ada dorongan keluarga, seperti yang dikatakan John Kao, dalam bukunya "Entrepreneurship, Creativity and Organization" ternyata kini terjungkir balikkan, bahwa tanpa modal uang, tanpa pengalaman dan tanpa dorongan keluarga, ternyata setelah kita terkena virus entrepreneur, kini kita bisa berwirausaha. Oleh karena itulah, bagi anda yang belum terkena virus tersebut, maka bersiap-siap saja terkena virus entrepreneur. Saya yakin, virus entrepreneur akan membuat kita lebih bersemangat menjadi wirausahawan.

Jadi Pengusaha Tak Harus Pintar


Thursday, 03 February 2005

Berikut ini dipaparkan beberapa kutipan Purdi E Chandra, pendiri Primagama dan Entrepreneur University yang menjadi pembicara utama dalam seminar yang mengangkat tema "gila", maka setiap ungkapan yang dikemukakan Purdi terasa "gila" dan membuat peserta tertawa. Saya masuk kuliah di empat universitas tapi tidak selesaikan kuliah. Tapi saya juga heran kenapa bisa dirikan Primagama, sebuah lembaga bimbingan belajar terbesar di Indonesia yang cabangnya sampai ratusan. Padahal saya tidak terlalu pintar-pintar amat. Makanya saya berpikir kalau kita terlalu pintar menyebabkan terlalu banyak pertimbangan, yang akhirnya tak ada sama sekali yang bisa dikerjakan. Makanya mungkin alangkah baiknya anak kita jangan terlalu pintar (hadirin tertawa). Anak saya yang di SMP ranking 11 langsung minta mobil. Ini sudah luar biasa dibandingkan sebelumnya yang ranking 20-an. Dia juga mau jadi pengusaha. Lihat saja banyak orang pintar tapi tidak mau kerja. Untuk mau menjadi pengusaha jangan terlalu banyak pertimbangan. Laksanakan saja niat itu dan tunggu hasilnya. Coba lihat pakar akuntansi tidak mau berusaha karena apa. Yah itu tadi karena mereka belum berusaha sudah takut jadi pengusaha, karena mereka sudah mempelajari dulu hitung-hitungan menjadi pengusaha yang mengerikan makanya mereka takut sebelum berusaha.

Lalu kenapa orang mau jadi pengusaha. Saya kira Jaya Setiabudi sudah memaparkan banyak tadi. Yah jadi pengusaha itu misalnya gini, saya merasa tiap hari kerjanya apa. Paling kalau ada yang mau ditandatangani
baru muncul. Makanya yang perlu diketahui calon pengusaha tidak usah muluk-muluk kalu sudah bisa tanda tangan yah bagus-lah (hadirin tertawa). Pengusaha itu tidak perlu tinggi-tinggi sekolah, karena yang mereka perlukan hanya tahu tanda tangan dan mengingat bentuk tanda tangannya jangan sampai salah tanda tangan satu dengan lainnya. Selain itu, pengusaha kebanyakan dari orang malas. Sebab orang yang sudah pintar itu diperebutkan sama perusahaan untuk menjadi karyawan. Makanya yang jadi pengusaha itu dulunya orang malas. Orang malas sebenarnya bukan hal yang negatif karena melihat pengalaman selama ini, kebanyakan mereka yang jadi pengusaha.

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

34

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Nah, orang pintar akan dibutuhkan pengusaha sebagai tulang punggung perusahaan. Misalnya, saya sebagi Direktur, banyak pegawai saya adalah para doktor, sementara saya tamat kuliah juga tidak. Paling saya membuat akademi perguruan tinggi dan memanggil para doktor mengajar di tempat saya dan gelar saya dapat dari akademi saya sendiri. Setelah berbicara bahwa seorang pengusaha tak harus pintar, pendiri lembaga pendidikan Primagama dan Entrepreneur University, Purdie E Chandra, mengupas pembicaraan mengenai fungsi otak kanan sebagai salah satu tips menjadi pengusaha, berikut beberapa petikannya. Untuk menjadi pengusaha memang harus sedikit "gila". Lebih gila lagi kalau teman-teman tidak mau jadi pengusaha (hadirin tertawa). Untuk menjadi seorang pengusaha pakailah otak kanan Anda. Kalau perlu jangan gunakan sama sekali otak kiri. Kenapa harus otak kanan? Ini yang lucu karena otak kanan mengajarkan kita hal yang tidak rasional. Berbeda dengan otak kiri, ia memberitahukan sesuatu yang rasional, teratur, dan berurut-urut. Misalnya begini, murid SD disuruh kreatif sama gurunya. Ia disuruh membuat gambar pemandngan. Karena dari dulu gambar pemandangan yang ia tahu hanya yang ada gunung lalu dibawahnya jalan raya dan sungai, maka sampai dia SMU pun hanya gambar itu yang ia tahu. Ketika diperintahkan menggambar pemandangan. Ini keteraturan tapi tidak ada kreativitas. Kalau ada otak kanan maka ia akan memberitahukan sesuatu yang lebih kreatif. Lalu, apakah Anda mau dari dulu jadi karyawan terus menerus, tidak kreatif ingin menjadi pengusaha dan punya karyawan. Atau begini, anda bangun setiap pagi, mandi, naik angkot ke kantor, bekerja lalu menjelang sore pulang ke rumah setelah itu tidur dan besoknya lagi ke kantor. Itu dijalani selama belasan tahun bahkan sampai kakeknenek. Dan sama sekali terbatas waktu yang sebanyak-banyaknya dengan orang luar yang lain dari yang dibayangkan. Itulah keteraturan dan yang mengatur semua itu adalah otak kiri. Apakah Anda mau seprti itu seterusnya? Makanya gunakanlah otak kanan. Mau jadi pengusaha biasakanlah otak kanan Anda yang bekerja. Dan Anda tak perlu setiap hari ke kantor dan pulang sore. Kenapa tangan kanan kita selalu bergerak? Karena yang menggerakan adalah otak kiri makanya teratur hasilnya. Lalu, apakah kita harus seperti anak SD terus yang hanya pintar menggambar pemandangan satu model yang diajarkan gurunya?

Otak kanan tidak banyak hitungan atau pertimbangan macam-macam. Ia lebih banyak mengerjakan apa yang dipikirkannya. Kalau mau usaha jangan terlalu banyak hitung-hitungan. Waktu bikin banyak usaha saya tidak banyak hitung-hitungan dan Alhamdulillah sukses. Saya kira banyak pengusaha lain yang seperti itu. Lihat

saja beberapa orang terkaya di dunia tidak sampai selesai kuliahnya, Bill Gates misalnya bahkan dia menjadi
penyokong dana utama Harvard University (Universitas ternama dunia di Amerika). Ibaratkan kita mau jadi pengusaha itu sama seperti ketika hendak masuk kamar mandi. Kenapa? Karena masuk kamar mandi kita tidak berpikir-pikir....kalau kebelet....yah langsung masuk saja. Terserah di dalam kamar mandi "sukses" atau tidak itu urusan belakang. Kalau di dalam kamar mandi tidak ada sabun kan kita akhirnya keluar juga dan ada upaya untuk mencari. Orang terkadang akan mencari sesuatu apapun yang menurutnya mendesak dengan berbagai

cara. Kalau pun pada saat itu tidak ada sabun di rumah ia akan berusaha untuk mencari sabun sampai dapat. Untuk latih otak kanan tidak perlu sekolah-sekolah tinggi. Anak saya yang SMP sekarang kalau bukan Mochamad Muhaimin/MJT/APP, 35 ENTREPRENEUR UNIVERSITY

karena takut ditanya calon mertua kelak, mungkin dia sudah berhenti sampai SMP saja. Jangan sampai calon
mertua nanti tanya, anaknya lulusan apa? (peserta seminar tertawa).

Kaya Itu Mimpi


Sunday, 20 March 2005

KAYA itu, saya kira, bukan bakat, dan juga tidak harus keturunan. Tapi, kaya itu mimpi atau visi. Mimpi yang menjadi kenyataan. Artinya, kalau kita tidak berusaha sama sekali untuk menjadi kaya, misalnya dengan jalan berwirausaha, maka mana mungkin kekayaan itu kita dapat. Terlepas dari apakah Anda sepakat atau tidak dengan pendapat saya ini, tapi yang jelas, semua orang pasti punya mimpi. Saya rasa, setiap kita menjalankan bisnis apapun, sebenarnya yang kita cari bukanlah semata-mata uang atau ingin kaya. Tapi, karena adanya keinginan kita untuk mewujudkan mimpi tersebut. Sebagai konsekuensi logis atas jerih payah kita adalah kita bisa mendapatkan keuntungan atau uang, dan bisa juga aset kita yang semakin bertambah. Hal itu seiring dengan kegigihan kita di dalam menjalankan bisnis. Saya yakin, jika kita sebagai seorang entreprener atau wirausahawan, yang namanya mimpi-mimpi bisnis tak akan ada habisnya. Seolah kita adalah sosok yang tak akan pernah kehabisan mimpi. Apalagi, kita termasuk entreprener habisnya. Seolah kita adalah sosok yang tak akan pernah kehabisan mimpi. Apalagi, kita termasuk entreprener yang kreatif dan inovatif. Bisnis yang satu maju pesat, bisnis yang lainnya ikut berkembang. Sementara, bisnis yang lainnya lagi ikut bermunculan. Sehingga, tak terasa atau bagaikan sebuah mimpi,

ternyata bisnis kita semakin banyak. Aset yang kita miliki juga semakin bertambah.
Kalau bisnis kita semakin maju, tentu akan ada percepatan dalam penambahan aset. Bukan tak mungkin, kita akan semakin pintar memutar bisnis kita, bahkan mampu mendatangkan dana dari luar yang nantinya juga akan Menjadi aset kita. Saya kira, itu semua berjalan seiring dengan mimpi atau visi kita sebagai entreprener. Katakanlah, yang semula kita dalam menjalankan bisnis, hanyalah bermodal dengkul, tapi karena kita punya mimpi ingin jadi pengusaha sukses, ingin punya bisnis yang berkembang, dan ingin menciptakan lapangan kerja, maka tak mustahil mimpi itu akhirnya akan menjadi kenyataan. Dulunya, kita masih kontrak rumah untuk bisnis, kini sudah punya kantor sendiri. Kalau dulu, kita naik sepeda motor untuk menjalankan bisnis, kini sudah punya mobil sendiri, bahkan lebih dari satu mobil. Dan, seterusnya seiring dengan mimpi kita, maka kekayaan itu pun akan menyertai kita. Tentunya, mimpi itu akan terwujud jika jiwa entreprener melekat pada diri kita. Pendeknya, tanpa jiwa entreprener mimpi itu tak mungkin terwujud. Kekayaan itu tak mungkin kita dapat. Oleh karena itulah, saya kira jika kita ingin menjadi entreprener sukses, maka kita harus pandai-pandai merealisir mimpi kita sendiri. Percayalah, di saat mimpi kita jadi kenyataan, maka akan muncul mimpi-mimpi baru. Dari satu mimpi ke-mimpi berikutnya. Dari satu bisnis berkembang ke-bisnis berikutnya. Ibaratnya,

putaran bola salju, kalau semakin cepat putarannya semakin besar bolanya. Anda berani mimpi?.
Belajar Mandiri Dengan Buka Usaha
Tuesday, 15 March 2005

Ibu rumah tangga muda ini bernama Tuti Fatmawati, Amd. Dia peserta EU angkatan I. Jauh-jauh datang dari Indramayu, Jawa Barat, ia relakan waktunya untuk ikut pendidikan di Entrepreneur University di Yogya, karena ingin belajar mandiri dengan buka usaha. "Kebetulan, suami saya 'kan asli orang Yogya",ujarnya. "Setelah belajar di EU membuat saya

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

36

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

semakin berani untuk belajar membuka usaha, yang saya awali dengan buka usaha kelontong dan distributor sembako. Yah, masih kecil-kecilan sih!. Tapi, itu semua membuat saya semakin besar keinginan untuk mengembangkan usaha", tambahnya bersemangat. Kini ia merintis lagi usaha baru, yaitu konveksi. "Mudah-mudahan dari konveksi ini akan berkembang menjadi bisnis butik yang sejak lama memang saya idam-idamkan. Saya yakin, berkat bimbingan Pak Purdi, saya bisa mewujudkannya di masa mendatang, dan saya tidak takut untuk gagal, dan saya pun siap untuk sukses", kata Tuti yang sebelum ikut Eu pernah mengatakan, takut memulai usaha karena takut gagal

Mochamad Muhaimin/MJT/APP,

37

ENTREPRENEUR UNIVERSITY

Anda mungkin juga menyukai