Anda di halaman 1dari 9

LOGBOOK TUTORIAL FARMAKOTERAPI II

KASUS PENYAKIT TONSILITIS AKUT

Ny. S berumur 31 tahun pergi ke klinik dengan keluhan nyeri waktu menelan
hingga nyeri ke telinga, demam dengan suhu panas 39◦C, rasa lesu, rasa nyeri di
sendi-sendi dan tidak nafsu makan. Keluhan tersebut telah dirasakan semenjak
3 hari yang lalu. Berdasarkan pemeriksaan, tampak tonsil membengkak (T4),
hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel. Dokter mendiagnosis pasien
menderita tonsillitis akut dan memberikan obat sebagai berikut.
R/ Ibuprofen No. X
S 3 dd 1
R/ Prednison No. X
S 3 dd 1
R/ Ranitidin No. X
S 3 dd 1 ac

 DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Menurut Reeves tonsilitis merupakan inflamasi atau
pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Penyebaran infeksi tonsilitis
melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Tonsilitis akut merupakan
peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus yang
terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu. Tonsilitis kronis merupakan kondisi di
mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan serangan infeksi yang berulang -
ulang.
 EPIDEMIOLOGI
Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak. Pada
balita, tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus sedangkan infeksi
bakterial lebih sering terjadi pada anak berusia 5-15 tahun. Group A
betahemolytic streptococcus merupakan penyebab utama tonsilitis bacterial.
Abses peritonsilar lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. World
Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai jumlah kasus
tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak dibawah 15 tahun
mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi 248.000 (86,4
%)mengalami tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6 %) lainnya menjalani
tonsilektomi.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi Indonesia,
prevalensi tonsilitis kronik 3,8 % tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6 %.
Tonsilitis baik akut maupun kronik dapat terjadi pada semua umur, namun lebih
sering terjadi pada anak. Faktor yang menjadi penyebab utama hal tersebut adalah
ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat.4,5 Tonsilitis
lebih umum pada anakanak usia 5-15 tahun dengan prevalensi tonsillitis bakterial
15-30% pada anak dengan gangguan tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan
gangguan tenggorokan.
 ETIOLOGI
Secara etiologi pada penyakit tonsilitis akut diakibatkan adanya infeksi virus
yang mengakibatkan common cold atau salesma bersamaan dengan adanya rasa
nyeri pada tenggorokan. Tidak hanya itu, bakteri yang menginfeksi saluran
pernafasan akan menimbulkan nyeri pada saat menelan, adanya pembengkakan
serta menimbulkan kemerahan pada tonsil. Infeksi bakteri pada saluran pernafasan
ini dapat juga menimbulkan demam tinggi yang dapat berlangsung secara singkat
ataupun lama atau dapat terjadi dalam hitungan jam, hari atau minggu. Penyebab
tersering pada penyakit tonsilitis adalah virus Epstein Barr kemudian Haemofilus
influenzae yaitu virus penyebab tonsilitis akut supuratif, sedangkan untuk virus
coxschakie ini dapat menimbulkan luka-luka kecil pada palatum yang
menimbulkan rasa nyeri hebat pada tonsil.
 PATOFISIOLOGI
Tonsilitas akut disebabkan oleh virus DNA virus DNA untai ganda
(adenovirus manusia, Virus Epstein Barr), virus DNA untai tunggal (Human Boca
Virus), virus RNA untai tunggal (virus influenza dan para-influenza; virus;
entero-virus termasuk virus Coxsackie; virus corona; respiratory syncytial virus
(RSV); human meta-pneumo-virus), retrovirus [human immunodeficiency virus
(HIV) atau bakteri group A beta-hemolytic streptococcus  (GABHS) yang
menyebabkan peradangan pada tonsil. Penularan penyakit umumnya terjadi
melalui infeksi droplet yang ditularkan oleh pasien lain dengan tonsilitis GABHS
akut, tangan serta ciuman. Reservoir patogen lainnya yang mungkin terjadi yaitu
pada hewan peliharaan, hewan ternak, tetapi juga barang-barang penggunaan
sehari-hari seperti sikat gigi.

inflamasi pada tonsil


Bakteri/Virus masuk Disaring oleh tonsil
memicu keluarnya
kedalam hidung dan kemudian menginfeksi
leukosit
mulut. lapisan epitel tonsil
polimorfonuklear.

Adanya infeksi yang


Tubuh membentuk terus menerus atau
Tonsil mengalami
antibody terhadap berulang menyebakan
perbesaran
infeksi yang datang tonsil mengalami
kelelahan.

Adanya Peradangan Timbul gejala seperti


pada tenggorokan demam, sakit tenggorokan,
terutama pada tonsil sulit menelan, tidak nafsu
yang mengalami abses maka, bengkak nyeri pada
(abses peritoniser) telinga, sendi dan otot.

 DIAGNOSIS OTITIS MEDIA


a. Kultur Swab Tenggorok
Kultur swab tenggorok yang optimal dilakukan dengan swab tunggal pada
tonsil dan faring posterior, dengan menghindari mukosa bukal dan lidah.
Hasil swab yang diperoleh dimasukkan ke dalam media transpor berupa
Stuart atau tioglikolat.. Kemudian di oleskan pada agar darah.
Pemeriksaan swab tenggorok ini dilakukan sebelum antibiotik mulai
diberikan. Hasil kultur pada agar darah yang positif menunjukkan zona
karakteristik hemolisis komplit (hemolisis beta) pada infeksi Spyogenes
dan homolisis parsial pada Streptococcus pneumoniae. Hasil kultur positif
swab tenggorok untuk GHBS dapat menentukan diagnosis nyeri tenggorok
akibat streptokokus, namun kultur yang negatif tidak menyingkirkan
kemungkinan penyebabnya adalah streptokokus.
b. Rapid Antigen Test (RAT)
Bahan diambil dari swab tenggorok dan hasilnya didapatkan dalam 10
menit. Dengan adanya RAT, maka peresepan antibiotik dapat bekurang.
Nilai prediktif positif RAT berkisar antara 77% dan 97%, umumnya
sekitar 90%.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Titer anti-streptolysin O (ASO) and anti-deoxyribonuclease B dapat
digunakan untuk mengindentifikasikan infeksi streptokokus grup A pada
pasien yang dicurigai memiliki demam reumatik atau komplikasi non-
supuratif lainnya. Titer ASO mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O
pada darah. Streptolisin O merupakan substasi yang diproduksi oleh
GABHS. Tes ini digunakan untuk mendeteksi infeksi streptokokus grup A
sebelumnya. Antibodi ASO diproduksi sekitar seminggu sampai sebulan
setelah infeksi terjadi dan mencapai puncaknya pada 3-5 minggu setelah
penyakit muncul. Hasil titer ASO >200 IU atau lebih dari 166 Todd unit
dinyatakan positif.
 SUBJEKTIF
Nyeri menelan hingga nyeri ke telinga, demam, lesu, nyeri sendi dan tidak
nafsu makan. Riwayat pasien berdasarkan pemeriksaan adanya tonsil
membengkak (T4), hiperemis dan detritus berbentuk folikel. Pasien
didiagnosis menderita tonsillitis akut.
Penjelasan : Tonsil membengkak (T4) yaitu tonsil yang membesar
hingga mencapai arkus anterior atau lebih, dimana tonsil mencapai garis
tengah (uvula). Detritus yaitu tampak seperti bintik putih atau kekuningan di
tonsil yang sedang meradang. Tonsilitis akut yaitu peradangan pada tonsil
yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus yang terjadi dalam waktu
kurang dari 3 minggu, dengan gejala yang timbul menyerupai common cold
(pilek) dan disertai nyeri tenggorokan.
 OBJEKTIF
Pemeriksaan Nilai Pemeriksaan Nilai Normal Keterangan
Suhu 390C 36,5-37,50C Tinggi

 ASSESMENT
Ny.S denagn pemeriksaan klinis didapatkan ukuran tonsilnya T4 artinya tonsil
menempati > 75 % dari faring lalu muncul detritus, dimana detritus ini
disebabkan oleh mikroba yang dihasilkan dari sisa makanan/ air liur yang
terperangkap di sela-sela amandelnya dan membuat amandel
mengeras/radang. Maka dibutuhkan terapi antibiotic, untuk mengatasi
mikroba yang di hasilkan tadi yang menyebabkan terbentuknya detritus.
- Obat yang diberikan :
Nama obat Indikasi Golongan Dosis
Ibuprofen Anti radang, meredakan Obat keras 3x1 tab/hr
nyeri dan sakit
Ranitidine Mengurangi jumlah asam Obat keras 3x1 tb/hr sebelum
lambung dalam perut. makan
Prednisone Kortikosteroid (anti Obat keras 3x1 tab/hr
inflamasi)

- DRUG RELATED PROBLEM


1. Penggunaan obat tanpa indikasi
RANITIDINE (karena obat ini lebih tepatnya digunakan untuk penyakit
lambung seperti magh.
2. Indikasi yang tidak diobati
Penyebaran mikroba yang terjadi diamandel, yang membuat amandel
menjadi mengeras, luka atau radang.
3. Over dosis : -
4. Dosis sub terapeutik/dosis kurang : -
5. Reaksi yang merugikan/ ES akibat obat
PREDNISON : mual, muntah, nyeri otot dan sendi, penglihatan menjadi
kabur bisa juga katarak.
IBUPROFEN : mual, muntah, kelelahan, pusing, dyspepsia.
6. Duplikasi obat :-
7. Salah pemberian obat
Kurang tepat dalam pemberian obat ranitidine, karena pada kasus tidak ada
Riwayat magh, lebih baik diganti dengan antibiotic untuk pengobatan
mikroba pada amandelnya karena mikroba tersebut yang membuat
terbentuknya detritus.
8. Interaksi obat

9. Rekomendasi pemberian obat


Amoksisilin 500 mg, 3x1 diberikan selama 10 hari
Kontra indikasi : hipersensitivitas/ Riwayat reaksi alergi berat
Kewaspadaan khusus : pasien dengan penurunan produksi urin, Riwayat
kejang, epilepsy yang diobati atau gangguan meningeal ; leukemia
limfatik, individuatopik, gangguan hati dan ginjal.
Reaksi yang merugikan :
- Gangguan system darah dan limfatik : jarang, trombositopenia,
keukopenia
- Gangguan gastrointestinal : mual, diare, muntah
- Pemeriksaan penunjang : peningkatan enzim hati, perubahan jumlah
darah
- Gangguan system saraf : sakit kepala, pusing, agitasi
- Gangguan psikiatri : hiperaktif reversible, kecemasan, insomnia,
kebingungan, perubahan perilaku.
- Gangguan system reproduksi dan payudara : infeksi vulvovaginal
- Gangguan kulit dan jaringan subkutan : ruam, urtikaria, pruritus
Berpotensi fatal : reaksi hipersensitivitas termasuk anafilaksis,
anafilaktoid, dan reaksi merugikan kulit yang parah, diare.
 PLAN TERAPI FARMAKOLOGI
Rekomendasi terapi:
a. Analgetika
Dewasa Ibuprofen atau paracetamol merupakan pilihan utama
untuk analgetika pada dewasa. (level bukti II, derajat rekomendasi B).
Ibuprofen mempunyai hasil yang lebih baik untuk mengurangi nyeri
tenggorok daripada paracetamol. (level bukti II, derajat rekomendasi B)
Kombinasi keduanya tidak memberikan hasil yang signifikan pada pasien
dewasa.
Dosis Ibuprofen sebagai analgetik 3x1 tablet Ibuprofen 400 mg. Untuk
meredakan demam dan sakit tenggorokan akibat Tonsilitis.
Terapi tambahan :
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada anak dan dewasa dapat memberikan
perbaikan yang signifikan terhadap gejala dan memberikan efek samping
yang minimal. Penggunaan kortikosteroid kombinasi dengan antibiotik
tidak diberikan secara rutin sebagai terapi tonsilitis, tetapi dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan gejala yang berat. Pemberian steroid
lebih dari 3 hari mungkin tidak memberikan hasil yang lebih efektif
dibandingkan dosis tunggal pada anak dan remaja dengan infeksi
streptokokus. (level bukti II, derajat rekomendasi B)
Dosis kortikosteroid sebagai antiinflamasi 3x1 tablet prednisone 5 mg
selama 3 hari
2) Antibiotik
Karena pemberian Ranitidin pada Ny.S tidak tepat maka diganti
dengan antibiotic. Berikut antibiotic yang dapat diberikan pada Ny.S :
Dosis antibiotik Amoxicilin 500 mg 3x1, diberikan selama 10 hari
 Terapi Non Farmakologi
a. Terapi kompres dingin
Terapi kompres dingin/es (mengatasi nyeri otitis media akut) dapat
menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan
subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi
(Andarmoyo, 2013: 86). Pada aplikasi dingin juga memberikan efek fisiologis
yakni menurunkan respon inflamasi,menurunkan aliran darah dan
mengurangi edema, mengurangi rasa nyeri lokal. Dalam memberikan efek
terapetik suhu kompres dingin yang diberikan berkisar antara 18-27ºC
(Tamsuri, 2006: 55-56).
b. Istirahat yang cukup (CDC)
c. Banyak minum air (CDC)
Hal-hal yang dapat membantu mencegah terjadinya infeksi telinga (CDC) :
- Pastikan anak mendapatkan vaksinasi terbaru dan mendapatkan
vaksin flu setiap tahun. Vaksin pneumokokus melindungi terhadap
Streptococcus pneumoniae, penyebab infeksi telinga tengah.
- Membersihkan tangan
- Menyusui secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan dan terus
menyusui selama setidaknya 12 bulan.
- Jangan merokok dan hindari paparan asap rokok.
 MONITORING PASIEN TONSILITIS AKUT
1) Kontrol Demam dan Nyeri
2) Pastikan pasien memiliki asupan cairan dan nutrisi yang adekuat.
3) Monitoring efek samping dari obat anti-inflamasi yang diberikan,
yaitu prednisone.
4) Monitoring Antibiotik yang diberikan, yaitu Amoxicilin.
5) Monitoring penggunaan ibuprofen bersama predisone karena
terjadi Interaksi ketika menggunakan predisone bersama dengan
ibuprofen dapat meningkatkan risiko efek samping pada saluran
pencernaan seperti peradangan, perdarahan, ulserasi, dan jarang,
perforasi. Perforasi gastrointestinal adalah kondisi yang berpotensi
fatal dan darurat medis di mana lubang terbentuk di sepanjang
perut atau usus.
 FOLLOW UP PASIEN TONSILITIS AKUT
1) Berikan analgesik seperti paracetamol atau obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen.
2) Memberikan makanan bernutrisi serta menjaga status tubuh pasien
agar tetap terhidrasi.
3) Hindari penggunaan prednisone dalam jangka panjang,karena
menyebabkan kadar kalium rendah seperti nyeri atau kelemahan
otot, kram otot, atau detak jantung yang tidak terasa normal.
4) Menghabiskan Amoxicilin yang diberikan untuk menghindari
resistensi antibiotic.
5) Jika kortikosteroid dan NSAID digunakan bersama-sama, terutama
pada pasien dengan riwayat penyakit ulkus peptikum atau
perdarahan GI dan pada pasien lanjut usia dan lemah. Selama
terapi bersamaan, pasien harus disarankan untuk minum obat
dengan makanan dan segera melaporkan tanda dan gejala ulserasi
dan perdarahan GI seperti sakit perut yang parah, pusing, kepala
terasa ringan, dan munculnya tinja berwarna hitam dan lengket.
Penggunaan selektif terapi anti-ulkus profilaksis (misalnya,
antasida, antagonis H2) dapat dipertimbangkan.

REFERENSI
 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.01.07/MENKES/157/2018 TENTANG PEDOMAN
NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA
TONSILITIS
 Management of sore throat and indications for tonsillectomy A national
clinical guideline
 Basuki, S. W., Nuria SI, I., Ziyaadatulhuda A, Z., Utami, F., & Ardilla, N.
(2020). TONSILITIS.
 Guidelines for ear infections, Centers for Disease Control and Prevention
(CDC)
 Tamsuri. 2006. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta.EGC

Anda mungkin juga menyukai