Anda di halaman 1dari 15

AHWAL DALAM AJARAN TASAWUF

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah :Akhlaq Tasawuf

Dosen Pengampuh: Komarudin

KELAS BPI-A

Disusun Oleh :

1. Syafroni Candra Aditiya (1901016023)


2. Ulfa Munawaroh (1901016032)
3. Rizkyana Maghfiroh (1901016035)

BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dengan lainnya saling berkaitan.
Keterkaitan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, pertengahan, dan ada pula yang
jauh.Begitu pula ketika kita membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan
ahwal. Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak mungkin ada
tasawuf, baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai amalan, tanpa kehadiran maqamat
dan ahwal.
Selain itu, seseorang yang menuntut ilmu pengetahuan haruslah mempunyai jiwa yang
baik sehingga dapat menerima ilmu dengan baik pula. Contohnya kita tidaklah boleh selalu
merasa senang, sedih, takut, dan sebagainya, jadi keadaan jiwa kita haruslah stabil. Dalam
hal ini disebut ahwal, dalam pengertian lain ahwal adalah situasi kejiwaan yang diperoleh
seorang sufi sebagai karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala, bukan dari hasil usahanya
sendiri. Memperbaiki budi pekerti dan membersihkan jiwa hanyalah bisa dilakukan dengan
semata-mata mengikuti sunnah Nabi dan meneladaninya akan membuahkan hasil berupa
akhwal yang baik.

2. Rumusan Masalah
1.) Apa yang dimaksud dengan Akhwal Tasawuf?
2.) Apa saja jenis-jenis yang termasuk dalam Ahwal Tasawuf?
A. Pengertian Al-Ahwal
Al-ahwal jama’ dari kata “al-hal” yang secara bahasa diartikan sebagai kondisi batin
yang baik.
Menurut syekh Abu Nash As-sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak
yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
Menurut Abuddi Nata dalam bukunya Akhlak Tassawuf, hal atau ahwal merupakan
suasana atau keadaan yang menyelimuti qalbu, yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada
Allah dalam hati setiap hamba-Nya, tidak ada sufi yang mampu merubaah keadaan tersebut
apabila datang saatnya, atau memperhatikannya apabila pergi.
Menurut Imam Al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal
saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian sementara.
Dari berbagai pendapat para ahli di atas, dapat kami simpulkan bahwa al-ahwal
berarti kondisi batin yang baik yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada Allah dalam
setiap hamba-Nya dan bersifat sementara.

B. Al-Ahwal yang digunakan dalam Tasawuf


Pada prinsipnya ajaran tasawuf adalah perbaikan hati, penyembuhannya dari segala
macam penyakit, dan penghiasannya dengan sifat-sifat sempurna.
Abu Bakar al-Kattani dan Abu Hasan ar-Ramli pernah bertanya kepada Abu Said al-
Kharraz, “Beritahukan kepada kami langkah-langkah pertama dalam tarekat menuju Allah?”
Dia menjawab, “Tobat.” Lalu ia menjelaskan tentang syarat-syaratnya, setelah itu ia berkata:
“Kemudian dari derajat tobat beralih ke derajat khauf (takut). Dari derajat khauf beralih ke
derajat raja’ (harapan). Dari derajat raja’ beralih ke derajat orang-orang yang saleh. Dari
derajat orang-orang yang saleh beralih ke derajat murid. Dari derajat murid beralih ke derajat
orang-orang yang taat. Dari derajat orang-orang yang taat beralih ke derajat orang-orang
yang cinta. Dari derajat orang-orang yang cinta beralih ke derajat orang-orang yang rindu.
Dari derajat orang-orang yang rindu beralih ke derajat para wali. Dari derajat para wali
beralih ke derajat orang-orang yang dekat dengan-Nya (muqarrabin).”
Setiap derajat spiritual ini memiliki sepuluh syarat. Jika seorang sufi dapat melewati
semua derajat itu sesuai dengan kode etiknya dan menghiasi hati dengannya, maka hatinya
akan terus-menerus melihat kenikmatan dan memikirkan kebaikan, jiwanya akan selalu zikir
dan rohnya akan mengembara dalam kerajaan Allah dengan penuh pengetahuan tentang-Nya
dan sampai ke danau makrifat. Kepada-Nya dia datang, di pintu-Nya dia mengetuk dan
untuk-Nya tercurah cinta kasihnya.
Dalam mencapai tujuan spiritual, dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi spiritual yang
terkait dengan keadaan hati dan ketinggian akhlak untuk meraih hal itu. Dan semuanya
membutuhkan upaya keras dan sungguh-sungguh dalam melawan hawa nafsu mujahadah
serta latihan-latihan kerohanian riyadhah.
Al-Ahwal yang ditemui dalam perjalanan sufi sebagai berikut:
1. Tobat
Tobat adalah kembali dari segala sesuatu yang tercela dalam pandangan syariat
kepada segala sesuatu yang terpuji dalam pandangannya. Allah telah memerintahkan
orang-orang yang beriman untuk bertaubat dalam firmannya:

ْ َ‫وج ُهنَّ َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَ ُهنَّ ِإاَّل َما ظَ َه َر ِم ْن َها ۖ َو ْلي‬
َ‫ض ِربْن‬ َ ‫صا ِر ِهنَّ َويَ ْحفَ ْظنَ فُ ُر‬ َ ‫ضنَ ِمنْ َأ ْب‬ ْ ‫ض‬ ِ ‫َوقُ ْل لِ ْل ُمْؤ ِمنَا‬
ُ ‫ت يَ ْغ‬
‫ِب ُخ ُم ِر ِهنَّ َعلَ ٰى ُجيُوبِ ِهنَّ ۖ َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَ ُهنَّ ِإاَّل لِبُ ُعولَتِ ِهنَّ َأ ْو آبَاِئ ِهنَّ َأ ْو آبَا ِء بُ ُعولَتِ ِهنَّ َأ ْو َأ ْبنَاِئ ِهنَّ َأ ْو َأ ْبنَا ِء بُ ُعولَتِ ِهنَّ َأ ْو‬
‫ال‬ ِّ َ‫ساِئ ِهنَّ َأ ْو َما َملَ َكتْ َأ ْي َمانُ ُهنَّ َأ ِو التَّابِ ِعينَ َغ ْي ِر ُأولِي اِإْل ْربَ ِة ِمن‬
ِ ‫الر َج‬ َ ِ‫ِإ ْخ َوانِ ِهنَّ َأ ْو َبنِي ِإ ْخ َوانِ ِهنَّ َأ ْو َبنِي َأ َخ َواتِ ِهنَّ َأ ْو ن‬
ِ ‫ض ِربْنَ بَِأ ْر ُجلِ ِهنَّ لِيُ ْعلَ َم َما يُ ْخفِينَ ِمنْ ِزينَتِ ِهنَّ ۚ َوتُوبُوا ِإلَى هَّللا‬ ِ ‫َأ ِو الطِّ ْف ِل الَّ ِذينَ لَ ْم يَ ْظ َه ُروا َعلَ ٰى ع َْو َرا‬
َ ِّ‫ت الن‬
ْ َ‫سا ِء ۖ َواَل ي‬
َ‫َج ِمي ًعا َأيُّهَ ا ْل ُمْؤ ِمنُونَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون‬
“Dan bertobatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya
kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

َ ‫َر َّب ُك ْم ُث َّم ُتوبُوا ِإلَ ْي ِه يُرْ سِ ِل ال َّس َما َء َعلَ ْي ُك ْم م ِْد َرارً ا َو َي ِز ْد ُك ْم قُوَّ ًة ِإلَ ٰى قُوَّ ِت ُك ْم َواَل تَتَ َولَّ ْوا مُجْ ِرم‬
‫ِين‬
“Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian dan bertobatlah kepada-Nya.” (QS.
Hud: 52)

ٍ ‫ِين آ َم ُنوا ُتوبُوا ِإلَى هَّللا ِ َت ْو َب ًة َنصُوحً ا َع َس ٰى َر ُّب ُك ْم َأنْ ُي َك ِّف َر َع ْن ُك ْم َس ِّيَئ ا ِت ُك ْم َويُ ْد ِخلَ ُك ْم َج َّنا‬
‫ت‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
َ ُ ‫ِيه ْم َو ِبَأ ْي َمان ِِه ْم َيقُول‬
‫ون‬ ِ ‫ِين آ َم ُنوا َم َع ُه ۖ ُنو ُر ُه ْم َيسْ َع ٰى َبي َْن َأ ْيد‬ َ ‫َتجْ ِري مِنْ َتحْ ِت َها اَأْل ْن َها ُر َي ْو َم اَل ي ُْخ ِزي هَّللا ُ ال َّن ِبيَّ َوالَّذ‬
‫ك َع َل ٰى ُك ِّل َشيْ ٍء َقدِير‬ َ ‫اغفِرْ َل َنا ۖ ِإ َّن‬ َ ‫َر َّب َنا َأ ْت ِم ْم لَ َنا ُن‬
ْ ‫ور َنا َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya.” (QS. At-Tahrim: 8)
Diriwayatkan dari Aghar ibn Yasar al-Muzani dari Nabi shalallahu alaihi
wassalam, beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah
dan mohonlah ampunan-Nya. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya dalam sehari
semalam sebanyak seratus kali.”(HR. Muslim)
Tobat merupakan prinsip pokok dalam kegiatan spiritual para sufi, kunci
kebahagiaan bagi para murid dan syarat sahnya perjalanan menuju Allah. Seorang sufi
tidak hanya bertobat dari maksiat, tetapi juga bertobat dari segala sesuatu yang
menyibukkan hatinya dari Allah. Setiap kali seorang sufi memperbaiki pengetahuannya
terhadap Allah dan memperbanyak amalnya, maka tobatnya akan semakin mendalam.
Tobat juga harus diiringi dengan memperbanyak istighfar, baik saat tengah
malam maupun siang hari. Dengan demikian, seorang sufi akan merasakan
kehambaannya yang hakiki dan kelalaiannya dalam mengerjakan hak Tuhan.
Dalam Quwa’id at-Tashawwuf, Ahmad Zaruq menyatakan, “Tobat tanpa
diiringi dengan takwa adalah sia-sia. Takwa yang tidak menampakkan nilai istiqomah
adalah sesuatu yang tercemari. Istiqamah tanpa wara’ tidak sempurna. Wara’ yang tidak
menghasilkan zuhud adalah kecolongan. Zuhud tanpa diperkuat dengan tawakal adalah
kering. Dan tawakal yang tidak berbuah mengesampingkan segala sesuatu selain Allah
dan berlindung kepada-Nya adalah wujud tanpa substansi. Ketulusan tobat akan tampak
ketika seseorang bisa membendung segala yang haram. Kesempurnaan takwa akan
tampak ketika seseorang beranggapan bahwa Allah selalu mengawasinya. Bukti adanya
istiqamah adalah ketika seseorang selalu berusaha melakukan wirid dan menjauhi bid’ah.
Dan bukkti adanya wara’ adalah ketika seseorang berada dalam kesenangan duniawi dan
ragu. Jika ia meninggalkannya maka itulah wara’. Dan jika tidak, maka tidak.”
Cara bertaubat:
Jika maksiat yang dilakukan antara hamba dengan Allah, dan tidak ada
kaitannya dengan hak manusia, maka ada tiga syarat tobat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Dia harus menghentikan maksiatnya.
b. Dia harus menyesali perbuata yang terlanjur dilakukannya.
c. Dia harus berniat dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Sementara jika maksiat yang dilakukan berkenaan dengan hak manusia, maka
syarat tobat yang harus dipenuhi ada empat, yaitu tiga syarat yang telah disebutkan di atas
ditambah dengan menyelesaikannya dengan pemilik hak tersebut. Jika hak tersebut
adalah harta, maka ia harus mengembalikannya. Jika hak tersebut adalah had qadzf
(menuduh orang lain berzina), maka dia harus menyerahkan diri untuk dijatuhi had atau
meminta maaf kepada orangnya. Jika hak tersebut adalah ghibah, maka dia harus
meminta maaf dari orang yang digunjingnya. Dan wajib atasnya untuk bertobat dari
semua dosa.
Selain itu, masih terdapat satu syarat tobat. Yakni meninggalkan pergaulan
dengan orang-orang jahat yang selalu mendorongnya untuk berbuat maksiat. Kemudian
bergabung dengan orang-orang shalih, jujur, dan baik atau orang-orang yang dapat
membentenginya agar tidak bermaksiat.

2. Muhasabah (Introspeksi Diri)


Muhasabah berartu menanamkan larangan-larangan agama dalam jiwa,
kemudian mendidiknya untuk menumbuhkan perasaan minder yang menjadi kendala
untuk mencapai ketulusan hati, mahabbah, dan keikhlasan.
Muhasabah dapat diartikan pemeriksaan diri secara terus-menerus, yakni
seorang mukmin meninjau kembali ucapan dan perbuatan setiap hari, setiap jam apakah
baik atau buruk (Fathullah, 2001: 28).
Dari Syadad bin Aus r.a., Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalambersabda,
“Orang yang pintar adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta
beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang
dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah subhanahu wa
ta’ala.” (HR. Tirmidzi)
Muhasabah akan membuahkanrasa tanggung jawab di hadapan Allah, di
hadapan manusia, dan di hadapan jiwa yang dibebani dengan beban-beban syariat berupa
perintah dan larangan. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda nabi shalallahu ‘alaihi
wassalam, “Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali dia akan diajak bicara oleh Allah
(di akhirat). Di antara dirinya dan Tuhan tidak ada penerjemah. Dia akan melihat orang
yang lebih beruntung darimya yang tidak mendapatkan kecuali apa yang telah
dilakukannya (di dunia). Dia akan melihat orang yang lebih cilaka darinya yang tidak
mendapatkan kecuali apa yang telah dilakukannya. Dan dia melihat apa yang ada di
hadapannya dan dia tidak mendapatkan kecuali api neraka. Oleh karena itu, lindungilah
diri kalian dari neraka, meskipun dengan separuh buah kurma. Barangsiapa tidak
menemukannya, maka dengan perkataan yang baik.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
Menurut Ibnu Rajab Al Hambali dkk (2004: 93-94), muhasabah sesudah
beramal itu ada tiga, yaitu:
a. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan.
b. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
c. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, atas dasar apa ia melakukannya.
Dalam Quwa’id at-Tashawwuf, Ahmad Zaruq berkata, “Kelalaian melakukan
muhasabah terhadap jiwa akan membuatnya menjadi liar. Kelengahan untuk menegasinya
akan membuatnya merasa dibiarkan untuk mengikuti keinginannya. Mengekangnya akan
membuatnya memberontak. Dan terlalu lembut kepadanya akan meninabobokannya.
Dengan demikian, seseorang harus terus-menerus melakukan muhasabah dan mengambil
keputusan tegas kepada jiwanya, serta mengerjakan amal yang benar dan dapat
mendekatkannya kepada Allah. Dia harus memetik pelajaran dari ungkapan,
‘Barangsiapa yang harinya tidak lebih baik dari sebelumnya, maka dia adalah orang yang
tertipu. Barangsiapa yang tidak bertambah maka dia berada dalam kekurangan. Dan
keteguhan dalam melakukan suatu amal adalah nilai tambah baginya. Oleh karena itu,
Junaid berkata, ‘Seandainya seseorang menghadap kepada Allah selama setahun, lalu dia
berpaling dari-Nya, niscaya apa yang ditinggalkannya itu lebih banyak dari aoa yang
telah diperolehnya.”

3. Muraqabah (Keterjagaan/Meditasi Sufi)


Menurut Linda O’Riordan, meditasi memungkinkan kita menjelajahi batin
untuk mereflekiskan identitas riil kita dan belajar tentang tujuan dan misi hidup ini.
Caranya, belajar mengontrol tubuh-tubuh mental dan emosional kita dan menemukan
siapakah diri ini sebenarnya. Agar berhasil, perlu belajar menjadi pendiam dan
membiarkan pikiran mendengar dan menyerap. Selain menemukan cara mengenyahkan
sesuatu yang melampaui batasan sehari-hari, meski kita akan tetap terperangkap dalam
lingkaran-lingkaran pengalaman fisik dan sensoris.
Tata Cara Bermeditasi:
a. Kosongkan diri dari sesuatu selain Allah
b. Cari tempat yang tidak dilewati oleh orang lain
c. Pilih tempat yang hening dan bersih
d. Pilih tempat yang lembut dan nyaman sehingga perhatian kepada Allah tidak berubah
menjadi perhatian terhadap diri sendiri
e. Bebas dari segala jenis bau-bauan
f. Memusatkan pikiran kepada Allah dan mencerminkan dalam hati
g. Tidak memikirkan nafsu diri–bahkan hingga keadaan melupakan identitas diri sebagai
mediator
h. Meninggalkan semua keinginan atau nafsu
i. Menghadap kiblat
j. Berlatih minimal lima belas menit per hari.
Sikap dalam Bermeditasi:
a. Sikap 1
Duduk tegak di atas lutut dengan kaki ditekuk ke bawah, meletakkan telapak
tangan di paha kiri dan menggenggam pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri.
Dengan sikap ini maka kedua kaki dan kedua lengan sama-sama membentuk kata
Arab ‘la’ (.....) yang artinya ‘tidak ada’.
b. Sikap 2
Duduk dengan cara yang sama seperti sikap 1, tetapi dengan kedua kaki bersila.
Di sini, baik lengan maupun kaki membentuk kata ‘la’ (....).
c. Sikap 3
Duduk dengan kaki bersilang, kaki diangkat, dan kedua tangan melingkari kaki,
telapak tangan kiri menggenggam pergelangan tangan kanan dan kepala sedikit
menunduk ke arah hati. Dengan sikap ini, maka bentuk ‘la’ yang sama terbentuk.
Dahulu para sufi sering mengikatkan reshteh (sabuk pengikat) pada kaki agar tetap
terjaga untuk waktu lama tanpa merasa lelah.
d. Sikap 4 (Untuk Waktu Lama)
Untuk waktu meditasi yang lama, para sufi menggunakan sikap 3 dan
menyandarkan kepalanya (alis mata kiri bersandar pada lutut kiri). S’adi, dalam
Golestan, menceritakan sebuah kisah tentang seorang sufi yang bermeditasi dengan
sikap ini yang benar-benar tenggelam dalam lautan penemuan. Ketika sang sufi
kembali dari keadaan ini, seorang sahabat bertanya padanya tentang apa yang ia
peroleh untuk sahabat-sahabatnya di taman. Sang sufi menjawab, “Aku merasa bahwa
ketika aku memasuki sebuah kebun bunga mawar jubahku terpenuhi dengan bunga
mawar. Tetapi ketika akhirnya aku mendekati kebun bunga itu, aku menjadi sangat
mabuk dengan aroma bunga mawar sehingga perhatianku pada jubahku hilang.”
e. Sikap 5
Apabila secara fisik tidak mampu, maka pelaku meditasi bisa duduk pada sebuah
kursi dengan kedua kaki sebatas paha menggantung ke lantai, kepala tegak, dan kedua
tangan dalam posisi yang sama sebagaimana sikap1.

4. Al-Khauf (Perasaan Takut)


Abu Hafsh berkata, khauf adalah cambuk Allah subhanahu wa ta’ala yang
digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya
(Mulyad dalam Syamsun Ni’am, 2001: 65). Khauf dikatakan pula sebagai ungkapan
derita hati dan kegundahannya terhadap apa yang akan dihadapi. Sehingga mampu
mencegah diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan (Ibnu
Rajab dkk, 2005: 147).
Menurut Al-Ghozali, khauf adalah rasa takut dalam hati karena khawatir akan
terjadi sesuatu yang tidak disenangi di masa sekarang. Al-Ghozali memaparkan khauf
terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, yaitu:
a. Tingkatan Qashir (pendek), yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki
wanita, perasaan ini seringkali dirasakan ketika mendengarkan bacaan ayat-ayat
Allah.
b. Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada di antara
khauf qashir dan mufrith.
c. Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati
batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa. Khauf tingkat ini
menyebabkan hilangnya kendali akal dan bahkan kematian. Khauf ini dicela karena
membuat manusia tidak bisa beramal.
Sementara Ibnu Ujaibah mengelompokkan orang-orang yang takut kepada
Allah menjadi tiga. Pertama, takutnya orang awam pada siksaan dan hilangnya pahala.
Kedua, takutnya orang khawwash dari celaan dan hilangnya kedekatan dari sisi-Nya.
Ketiga, takutnya orang khawwashulkhawwash akan tertutupnya pandangan dari akhlak
yang buruk.

5. Ar-Raja’ (Pengharapan)
Menurut Ahmad Zaruq, raja’ adalah kepercayaan atas karunia Allah yang
dibuktikan dengan amal. Kalau bukan demikian, maka itu adalah keterperdayaan diri.
Raja’ diartikan berharap atau optimisme, yaitu tenang dan senangnya hati
karena menunggu sesuatu yang dicintai. Karena keterbatasan bahasa Indonesia, tidak ada
padanan kata yang sesuai untuk Ar Raja’, yang paling mendekati artinya adalah
‘harapan’, meskipun sebetulnya artinya bukan harapan (Nasarudin Umar, 2007).
Jika seorang hamba sedang menghadap kepada Tuhannya dan berjalan untuk
mencapai kedekatan di sisi-Nya, maka sebaiknya dia menggabungkan antara maqam
khauf dan maqam raja’. Jangan sampai khauf-nya mengalahkan raja’-nya sehingga dia
berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. Dan jangan pula raja’-nya mengalahkan
khauf-nya, sehingga dia terjerumus ke jurang maksiat dan kejahatan.

6. Syauq
Abu Ali Daqaq mengatakan, “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu
dengan yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru
berakhir setelah melihat dan bertemu.” Sedangkan Suhrawardi dalam Solihin (2003: 29)
berujar, selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Kerinduan yang terdalam ingin
berjumpa dengan Tuhan, sehingga matinya jasad bukan sesuatu yang ditakuti. Bahkan
diinginkan oleh para sufi, karena dengan begitu impiannya ingin berjumpa dengan Allah
subhanahu wa ta’ala dapat terkabul.
7. Hubb (Cinta)
Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah yang berasal dari
kalimat habba-hubban-hibban yang berarti waddahu, punya makna kasih atau mengasihi
(Louis Ma;luf dalam Syamsun Ni’am, 2001: 111). Al-Ghazali berkata, cinta adalah
kecenderungan naluriah kepada sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan menurut Al
Junaid, cinta berarti masuknya sifat-sifat sang kekasih mengambil alih sifat-sifat pencinta.
Ketika Rabi’ah al-Adhawiyah ditanya tentang cinta, dia menjawab, “Antara orang yang
mencintai (muhibb) dan orang yang dicintai (mahbub) tidak ada jarak.” (Syamsun Ni’am,
2001: 117).
Ibnu Arabi berkata, “Orang yang mendefinisikan cinta, berarti ia belum tahu arti
cinta. Orang yang belum meminum anggur dari cawan, maka ia belum mengetahui
rasanya. Orang yang berkata, “Aku telah merasakan isi cawan, di mana cinta adalah
anggur,” maka ia belum mengetahuinya jika belum meneguknya.” Artinya jika seseorang
belum mencinta maka ia tidak akan pernah tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa
didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu kali merasakan cinta belum cukup
baginya unttuk bisa memahami rasa cinta.
Ibnu Rajab Al-Hambali dkk (2004. 127) mengatakan, cinta yang paling
bermaanfaat, yang paling wajib, yang paling tinggi, dan yang paling mulia adalah cinta
kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepada-Nya dan menjadikan seluruh
makhluk memiliki fitrah untuk mengesakan-Nya. Artinya, hakikat cinta hanya
diperuntukkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb Yang Maha Mencintai dan
pantas dicintai.

8. Uns (Intim)
Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa kesepian (Anwar
dan Solihin, 2000: 76)
Seseorang yang merasa uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba
yang suka merasakan suka cita berdzikir mengingat Allah dan merasakan gelisah di saat
lalai. Kedua, seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati,
dsb. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa
kedekatan kemuliaan dan mengangungkan disertai dengan suka cita.

9. Wara’
Menurut al-Jurjani, wara’ adalah menghindari hal-hal yang syubhat (samar)
karena takut terjerumus ke dalam hal-hal yang haram. Sedangkan menurut Ibnu Ujaibah,
wara’ adalah menahan diri dari berbuat sesuatu yang dampaknya makruh.
Menurut Syaikh Abdul Qadir Isa, tingkatan-tingkatan wara’ adalah sebagai
berikut:
a. Wara’ orang awam adalah meninggalkan segala hal yang subhat, sehingga dia tidak
terjerumus ke lumpur dosa.
b. Wara’ orang khawwash adalah meninggalkan apa-apa yang mengotori hati dan
membuatnya selalu dalam kekhawatiran dan kekacauan.
c. Wara’ orang khawwashulkhawwash adalah menolak segala ketergantungan kepada
selain Allah dan menutup pintu harapan kepada segala sesuatu selain Dia.

10. Zuhud
Junaid berkata, “Zuhud adalah menganggap dunia ini kecil dan menghilangkan
semua pengaruhnya dari hati.”Ibnu Jalla berkata, “Zuhud adalah memandang dunia
dengan memicingkan mata, supaya dia menjadi kecil dalam pandanganmu. Dengan
begitu, engkau akan mudah berpaling darinya.”
Ibrahim ibn Adham berkata, “Zuhud adalah kosongnya hati dari dunia, dan
bukan kosongnya tangan. Inilah zuhud para ahli makrifat. Tingkatan zuhud yang ada di
atasnya adalah zuhud muqarrabin, yaitu zuhud dari apa-apa selain Allah, baik itu dunia,
surga, maupun yang lainnya. Zahid pada tingkatan ini hanya menginginkan sampai
kepada Allah dan dekat dengan-Nya.”
Zuhud tidak berarti bahwa seorang mukmin melepaskan diri dari hal-hal
duniawi, sehingga mengosongkan tangannya dari harta, meninggalkan usaha yang halal
dan menjadi beban bagi orang lain.
Para pemuka sufi telah mengarahkan pikiran mereka pada hal-hal yang dapat
membantu mewujudkan tercapainya maqam zuhud. Di antaranya:
a. Mengetahui bahwa dunia hanyalah bayangan yang akan hilang dan hayalan yang
palsu.
b. Mengetahui bahwa di balik dunia terdapat tempat yang lebih agung dan akhir yang
lebih penting, yaitu tempat yang kekal abadi.
c. Mengetahui bahwa zuhud orang-orang mukmin terhadap dunia tidak dapat
menghalangi apa-apa yang telah ditetapkan bagi mereka, dan usaha mereka yang
sungguh-sungguh untuk meraih dunia tidak akan memberikan apa-apa yang tidak
ditetapkan bagi mereka.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari perbedaan pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, dapat disimpulkan
bahwa ahwal (hal) adalah anugrah Allah yang diberikan kepada seorang hamba sebagai hasil
dari usaha dan perjuangan dalam menempuh maqamat yang dapat dilakukan dengan cara
tobat, muhasabah, muraqabah, al-khauf, ar-raja’, syauq, hubb, uns, wara’, dan zuhud.
DAFTAR PUSTAKA

Isa, Syaikh ‘Abdul Qadir. 2011. Hakekat Tasawuf. Jakarta: Qisthi Press.

Sulaiman. 2015. Sufi Healing: Penyembuhan Penyakit Lahiriah dan Batiniah Cara Sufi.
Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.

Syukur, Amin. 2010. Sufi Healing: Terapi dalam Literatur Tasawuf. Semarang.

Tirthasari, Maharani. 2014. Maqam dan Ahwal dalam Tasawuf. www.academia.edu (Diakses
pada 16 September 2019)

https://tafsirweb.com/6159-surat-an-nur-ayat-31.html (Diakses pada Jumat, 4 Oktober 2019)

https://tafsirweb.com/11012-surat-at-tahrim-ayat-8.html (Diakses pada Jumat, 4 Oktober 2019)

https://tafsirweb.com/3544-surat-hud-ayat-52.html (Diakses pada Jumat, 4 Oktober 2019)

Anda mungkin juga menyukai