Anda di halaman 1dari 3

Hukum perkawinan PBL

1. gugatan Alief terhadap harta bersama yg diperoleh selama perkawinannya dg jenita janet
sudah benar, dalam kasus posisinya diceritakan bahwa selama pernikahan mereka berdua, untuk
pembelian dan perjanjian kreditnya dilakukan pada saat masih menjadi suami isteri. Namun, hal
tersebut jika diantara mereka pada saat masih berstatus menikah, tidak ada perjanjian kawin
mengenai pemisahan harta yang dibuatnya, sehingga terhadap harta didalamnya statusnya
menjadi harta bersama.

Karena, didalam UUPerkawinan Pasal 35 ayat 1 :

“harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”

Dilanjutkan pada pasal 36 ayat 1 :

“mengenai harta benda bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.”

Maka dengan adanya pasal tersebut, untuk yang namanya harta bersama selama perkawinan,
keputusannya bertindak dengan persetujuan suami istri tersebut. Dan Alief berhak
memperjuangkan haknya utk pembagian harta gono gini tersebut.

Didalam KHI juga mengatur mengenai harta bersama, yaitu didalam pasal 85-97 KHI. Bahwa
harta perkawinan terbagi atas :
“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-
masing suami atau isteri.”
1. harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan
2. harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan.
3. harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi
harta bersama.
3. harta hasil hadiah, hibah, waris suami yang diperolehnya .
4. harta hasil hadiah, hibah, waris istri yang diperolehnya .

Lain dengan BW, yang diatur di Pasal 119 BW :

“mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan harta secara bulat
antara kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai hal itu dengan perjanjian kawin tidak
diadakan ketentuan lain”

Yaitu, bahwa dengan menikahnya suami-istri, maka semua harta yang dibawa oleh suami
ataupun istri ke dalam perkawinan, masuk dalam satu kelompok harta yang disebut harta
persatuan dan yang demikian terjadi demi hukum, tanpa suami-istri harus meperjanjikannya.
Harta yang diperoleh sepanjang perkawinanpun juga masuk kedalam harta persatuan itu.
Ada statement dr pihak jenita janet kalau alief tidak berhak mengajukan gugatan harta gono gini
adalah beralasan karena selama perkawinan berlangsung, hanya jenita (sang istri) saja yg bekerja
dan menghasilkan harta tersebut, sedangkan alief (sang suami) tidak bekerja. Tetapi, Hak atas
harta gono gini tetap akan menjadi milik bersama walaupun yang bekerja hanya suami atau
hanya istri saja, tidak ada kepemilikan secara khusus mengenai siapa yang mendapatkan harta
benda tersebut selama masa perkawinan. Dan apabila mereka pada saat pernikahan membuat
atau mempunyai perjanjian kawin yg didalamnya terdapat pemisahan harta suami istri, maka
harta yg dihasilkan dengan kerja keras dr sang istri (jenita janet) adalah tetap milik istri dan
bukan merupakan harta bersama.

Intinya, jika terdapat perjanjian kawin namun tidak menyebutkan adanya penggabungan harta
bawaan, berarti secara otomatis harta bawaan suami dan istri terpisah. Karenanya, tidak bisa
menjadi objek harta yang dipersengketakan, sehingga menjadi harta bawaan tetap menjadi milik
masing-masing.

Sementara dalam hal harta bersama, jika tidak ada perjanjian kawin, maka harta tersebut
otomatis tergabung sebagai harta bersama. Sebaliknya, jika ada perjanjian kawin yang
memisahkan harta perolehan dari suami dan istri selama perkawinan, maka objek harta gono-gini
(harta bersama) menjadi hilang.

Hak atas harta gono gini tetap akan menjadi milik bersama walaupun yang bekerja hanya suami
atau hanya istri saja, tidak ada kepemilikan secara khusus mengenai siapa yang mendapatkan
harta benda tersebut selama masa perkawinan. 

2. menurut saya wajar dan sah sah saja hakim memutuskan seperti itu, memang aturan dasarnya
telah diatur didalam psl 37 UU perkawinan, "bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing masing". Oleh karena mereka (jenita janet dan alief)
ini sama sama beragama islam, maka dimohonkan terhadap pengadilan agama dan menggunakan
hukum islam.

seharusnya, karena diantara jenita janet dan alief tidak ada anak, maka dengan aturan hukum
islam didalam KHI pasal 97, janda atau duda yang bercerai mempunyai hak untuk mendapatlan
harta bersama, dibagi masing2 setengah dr harta bersama tersebut, dan selama tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan. Dan cara pembagian harta gono gini juga sesuai dengan
kondisi tentang perceraian mereka.

Namun apabila tidak jg ditemukan kesepakatan diantara kedua belah pihak, maka pengadilan
akan menerapkan hukum positif Negara dengan berdasarkan BW dan UU Perkawinan. Berlainan
dengan hal tersebut, walaupun seharusnya harta bersama dibagi dua, tetapi hakim di pengadilan
dapat memutus berbeda selama dapat diyakinkan. Hakim dalam memutus mengenai harta gono
gini/harta bersama jg mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi atau alasan-alasan sebab
perceraian dan demi keadilan pasangan yang paling dirugikan, siapakah yang lebih berperan
dalam menghasilkan pendapatan dalam pernikahan dsb. Didalam kasus ini, adanya pengakuan dr
pihak jenita janet kalau selama pernikahan ia yang telah bekerja sedangkan alief tdk punya
pekerjaan. Hal inilah yang mungkin dijadikan dasar putusan hakim dalam memutus gugatan
harta gono gini antara jenita janet dan alief, sehingga alief hanya mendapatkan ¼ harta bersama
dr keseluruhan harta.

Anda mungkin juga menyukai