Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PSIKOLOGI PENDIDIKAN
PERBEDAAN INDIVIDU DALAM PEMBELAJARAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu:
Imaningtyas, M.Pd.

Disusun Oleh:
Anadya Puspita Vania (1107620185)
Sisca Amelia (1107620191)
Syifa Maulida Adisti (1107620200)
Zalfa Nuranti (1107620206)
Selvrysah Nasution (1107620214)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
TAHUN 2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai “Perbedaan Individu
dalam Pembelajaran” tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu
Imaningtyas, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi kami dan juga teman-
teman. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada kepada semua pihak yang
telah membantu, membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami memohon maaf kepada semua. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun akan sangat kami nantikan agar kedepannya kami dapat memperbaiki
kesalahan-kesalahan dan dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Perbedaan Individu .......................................................................... 2
B. Konsep Inteligensi dan Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) .. ..... 2
1. Konsep Inteligensi .. .......................................................................... 2
2. Kecerdasan Majemuk ........................................................................ 7
C. Neurosains Dalam Pendidikan .. .................................................................... 11
1. Pengertian Neurosains .. .................................................................... 11
2. Tujuan dan Manfaat Neurosains .. ..................................................... 11
3. Neurosains Pendidikan (Educational Neuroscience) .. ...................... 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................... 15
B. Saran ............................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Guru merupakan seorang pendidik profesional yang tugas utamanya adalah


mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik. Untuk dapat menjadi guru yang profesional maka seorang guru hraus mempunyai
kemampuan-kemampuan atau standar kompetensi. Salah satu standar kompetensi yang
harus dimiliki seorang guru adalah kompetensi pendagogik, yaitu kemampuan guru untuk
bisa mengelolah sutau proses pembelajaran di kelas serta interaksinya dengan peserta
didik. Dalam kompetensi pendagodik guru diharapkan dapat mengusai/memahami
karakteristik masing-masing peseta didik.

Seperti yang kita ketahui bahwa setiap individu memiliki perbedaan karakter satu
sama lain, tidak hanya karakter tetapi juga kecerdasan, sifat, dan lainnya. Setiap individu
adalah unik, tidak ada yang sama persis antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu
terdapat psikologi pendidikan sebagai cabang ilmu psikologi yang berupaya menerapkan
teori-teori dan konsep psikologi untuk memahami dan meningkatkan pembelajaran dan
pengajaran di lingkungan pendidikan formal. Ilmu psikologi ini dapat membantu guru
ataupun siswa untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang sesuai dan efektif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi perbedaan individu?
2. Apa saja konsep inteligensi dan kecerdasan majemuk (multiple intelligences)?
3. Apa itu neurosains dalam pendidikan?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami perbedaan individu
2. Mengetahui dan memahami konsep inteligensi dan kecerdasan majemuk (multiple
Intelligences)
3. Mengetahui dan memahami neurosains dalam pendidikan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perbedaan Individu

Perbedaan individu adalah suatu perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu baik
fisik maupun non fisik yang menjadikan seseorang memiliki karakter/ ciri-ciri yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan individu merupakan faktor penting
sebagai dasar pengembangan individualized instruction. Beberapa perbedaan yang sangat
penting diperhatikan dalam proses pengajaran adalah perbedaan kemampuan dasar atau
bakat, minat, kecepatan dan cara belajar anak. Setiap anak memiliki kemampuan dasar
bawaan, dan akan mengalami perubahan karena pengalaman, karena kebutuhan anak dan
kemampuan dasar bawaannya berbeda maka minat anak dalam belajar akan berbeda juga.

Masalah individu mendapat perhatian yang besar dalam kajian psikologi, sehingga
melahirkan suatu cabang psikologi yang dikenal dengan indivual psychology, atau
differential psychology, yang memberikan perhatian besar terhadap penelitian tentang
perbedaan antar individu. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada dua
orang yang persis sama. Setiap anak akan member respon secara berbeda sesuai keunikan
minat dan kepribadiannya. Yang bisa dilakukan dan di upayakan guru maupun orang tua
adalah membuka akses selebar lebarnya untuk mereka pada seberagam mungkin ide yang
berharga.

B. Konsep Inteligensi dan Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)

1. Konsep Inteligensi
Inteligensi atau kecerdasan intelektual adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat
diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata
yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.

 Ormrod (2008) mengemukakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan


untuk mengaplikasikan secara fleksibel pengetahuan dan pengalaman yang
telah diperoleh untuk menghadapi tugas-tugas baru yang menantang. Individu
dikatakan berperilaku inteligen apabila melakukan sesuatu secara efektif
dengan bantuan minimal atau bahkan tanpa bantuan sama sekali dari orang lain
sekitar.
 Santrock (2008) merupakan kemampuan dalam menyelesaikan masalah serta
menyesuaikan diri dan belajar dari pengalaman hidup. Penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa inteligensi adalah kemampuan potensial individu dalam

2
menyesuaikan diri dan menyelesaikan masalah yang dihadapi sehari-hari sesuai
tugas perkembangannya.
 David Wechsler (1958) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
memahami dunia, bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
menggunakan sumber daya secara efektif saat menghadapi masalah atau
tantangan.
 Walters dan Gardners (1986) mendefinisikan inteligensi sebagai serangkaian
kemampuan- kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan
masalah atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu.
Ormrod (2008) menyimpulkan pandangan dari para tokoh tentang definisi dan
rumusan inteligensi yang memiliki berbagai kualitas sebagai berikut.
1. Bersifat adaptif, dapat digunakan secara fleksibel untuk merespons berbagai
situasi dan kondisi permasalahan yang dihadapi.
2. Berkaitan dengan kemampuan untuk belajar. Orang yang cerdas dalam bidang
tertentu dapat mempelajari informasi-informasi dan perilaku-perilaku baru
dalam bidang tersebut secara lebih cepat dan lebih mudah dibanding orang
yang kurang cerdas.
3. Istilah inteligensi lebih merujuk pada penggunaan pengetahuan yang
sebelumnya telah dimiliki untuk menganalisis dan memahami situasi baru
secara efektif.
4. Istilah inteligensi melibatkan interaksi dan koordinasi yang kompleks dari
berbagai proses mental.
5. Istilah inteligensi terkait dengan budaya tertentu. Bahwa perilaku inteligen
dalam budaya tertentu tidak selalu dianggap perilaku inteligen dalam budaya
lain.
Dalam psikologi, pengukuran inteligensi dilakukan dengan menggunakan alat-alat
psikodiagnostik atau yang dikenal dengan istilah Psikotest. Hasil pengukuran
inteligensi biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang dapat
menyatakan tinggi rendahnya inteligensi yang diukur, yaitu IQ (Intellegence
Quotient).

Secara umum kita dapat mengatakan bahwa inteligensi tidak hanya merupakan
suatu kemampuan untuk memecahkan berbagai persoalan dalam bentuk simbol-
simbol (seperti dalam matematika), tetapi jauh lebih luas menyangkut kapasitas
untuk belajar kemampuan menggunakan pengalaman dalam memecahkan berbagai
persoalan, serta kemampuan untuk mencari berbagai alternatif.

Contoh perbuatan yang menyangkut inteligensi: Jika seseorang mengamati suatu


pemandangan alam, dan mempunyai tanggapan dalam memorinya tentang
pemandangan tersebut, ini adalah persepsi. Tetapi kalau ia mengamati detail seperti
pohon, bunga, matahari, kemudian menganalisis, membandingkan dan mencari
hubungan dari berbagai benda yang diamatinya, maka perbuatannya sudah
merupakan perbuatan yang berinteligensi.
3
a. Pengukuran Inteligensi
Tes inteligensi yang awal dikenal dikemukakan oleh Alfred Binet dan
Theodore Simon (1904) psikolog asal Prancis yang merancang alat untuk
mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-
anak yang kurang pandai) biasa disebut dengan Tes Binet-Simon. Tes ini
terdiri dari 30 item yang mencakup kemampuan seseorang untuk menyentuh
hidung atau telinganya ketika diminta, hingga kemampuan untuk
menggambar desain dari ingatan dan mendefinisikan konsep-konsep abstrak
(King, 2010).

Binet mengembangkan konsep usia mental (Mental Age – MA) yang


merupakan tingkat perkembangan mental seseorang dibandingkan dengan
orang lain. Binet berpendapat bahwa anak yang mengalami
keterbelakangan mental akan menunjukkan kinerja seperti anak yang
usianya lebih muda. Binet mengembangkan norma untuk kecerdasan
dengan menggunakan rerata usia mental (Mental Age= MA) berkaitan
dengan usia kronologis (Chronological Age=A), yang merupakan usia
seseorang dari hari kelahirannya. Anak yang sangat cerdas akan memiliki
MA yang lebih tinggi dibandingkan dengan CA, sedangkan anak yang
kurang cerdas akan memiliki MA di bawah CA-nya.

Pada tahun 1985 Tes Binet mengalami revisi beberapa kali di Universitas
Standford sehingga disebut sebagai Tes Stanford-Binet untuk menganalisis
respons-respons individual pada empat ranah, yaitu: penalaran verbal,
penalaran kuantitatif, penalaran abstrak/visual, dan ingatan jangka pendek.
Tes Stanford-Binet diberikan pada individu berusia 2 tahun hingga dewasa
meliputi serangkaian item yang membutuhkan respons-respons verbal dan
nonverbal.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan


banyak perbaikan terhadap tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah
menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio
(perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan
yang disebut Tes Stanford-Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah
diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern,
yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-
Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai
usia 13 tahun.

Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa
tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Spearman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang
umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih
4
spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence).

Tokoh lain, David Wechsler membuat suatu alat tes inteligensi yang
menjadi saingan besar tes Stanford-Binet. Menurut Wechsler, tes Stanford-
Binet terlalu banyak menggali unsur verbal, padahal kecerdasan menggali
unsur verbal dan nonverbal. Alat tes yang dikembangkan menurut teori
faktor oleh Wechsler adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale)
untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)
untuk anak-anak. Tes kecerdasan Wechsler juga sudah mengalami berbagai
revisi. Sampai saat ini tes Wechsler (WAIS-III dan WISC-IV) menjadi alat
tes kecerdasan yang sangat populer dan paling banyak digunakan. Di
samping alat- alat tes yang sudah dijelaskan, banyak dikembangkan alat tes
dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana
alat tes tersebut dibuat.

Hasil tes inteligensi dapat membedakan tingkat inteligensi atau kecerdasan


individu yang terkait dengan kemampuannya dalam belajar, menyerap dan
mengolah informasi serta berbagai kegiatan lainnya. Salah satu kualifikasi
berdasarkan tes Weschler sebagai berikut.

Tabel brp. Klasifikasi Skor IQ Berdasarkan Skala Wechsler.

Perlu diingat bahwa pengklasifikasian skor kecerdasan tidak untuk melabel


atau menghakimi bahwa seorang anak itu “bodoh” atau “pintar”, tetapi
sebagai pijakan bagi guru untuk memberikan layanan pendidikan yang tepat
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak didik. Kecerdasan
(inteligensi) memang merupakan modal potensial untuk kemudahan dan
keberhasilan belajar, namun selain kecerdasan, ada faktor individual lain
yang ikut memengaruhi, seperti motivasi, minat, emosi, kesehatan fisik, dan
lainnya. Inteligensi merupakan potensi dasar dari pengembangan berbagai
kemampuan berpikir seperti berpikir kritis, berpikir konvergen dan berpikir
divergen (kreatif).

5
Berdasarkan kualifikasi tingkat kecerdasan anak, dapat dibedakan antara
anak yang memiliki kecerdasan normal (average), di atas normal dan di
bawah normal. Untuk anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata
disebut anak berbakat intelektual (gifted), sedangkan anak yang memiliki
kecerdasan di bawah rata-rata disebut mental retarded atau penyandang
tuna grahita. Baik anak berbakat intelektual maupun tuna grahita
merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki kebutuhan khusus
sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus.

b. Anak Berbakat Intelektual (Gifted)


Istilah anak berbakat berasal dari kata “gifted and talented”, yang di
Indonesia menggunakan konsep keberbakatan sesuai rumusan US Office
Education (dalam Munandar, 1987), yaitu: Anak yang diidentifikasi oleh
profesional, memiliki kemampuan unggul, mampu mencapai prestasi yang
tinggi. Mereka membutuhkan program pendidikan yang berdiferensiasi, di
atas layanan jangkauan sekolah biasa agar dapat mewujudkan bakat-bakat
mereka secara optimal, baik bagi pengembangan diri maupun untuk
memberikan sumbangan bermakna bagi kemajuan masyarakat.

Menurut konsep “Model Tiga Lingkaran” dari Renzulli,1981 (dalam


Semiawan dkk., 1987), keberbakatan tidak hanya ditentukan oleh unsur
kecerdasan atau inteligensi yang tinggi (minimal 130), tetapi juga didukung
oleh kreativitas dan pengikatan diri terhadap tugas (task commitment) yang
tinggi. Anak-anak berbakat intelektual ini dapat ditemukan di dalam kelas
reguler, meskipun mereka sebenarnya membutuhkan layanan khusus. Dua
macam layanan pendidikan yang dapat diberikan kepada anak berbakat
intelektual adalah: percepatan (akselerasi) dan pengayaan (enrichment);
selama ini di Indonesia sudah ada kelas-kelas akselerasi yang
diselenggarakan untuk bisa memenuhi kebutuhan belajar AB. Namun bagi
mereka yang ada di kelas reguler, guru perlu mengenali mereka bukan
hanya dari prestasi yang tinggi (karena ada anak berbakat yang berprestasi
di bawah kemampuannya, yang disebut under achiever), tetapi dari ciri-ciri
yang menunjukkan keberbakatan dan kreativitas antara lain:
 perbendaharaan kata yang luas; berminat pada masalah-masalah
aktual;
 memiliki rasa ingin tahu yang tinggi;
 tidak menyukai kegiatan yang rutin, suka pada tantangan;

 berani mengambil risiko, bekerja dengan sumber belajar yang


bervariasi;
 tidak suka bekerja sama dengan yang tidak sama tingkat
kemampuannya;
 suka bergaul dengan orang yang lebih tua.

6
Bila guru menemukan anak berbakat yang selain memiliki skor IQ 130 atau
lebih, dan menunjukkan beberapa ciri keberbakatan dan kreativitas tersebut
di kelas, maka guru perlu menyesuaikan pembelajaran di kelasnya agar
dapat memenuhi kebutuhan mereka, antara lain dengan memberikan tugas-
tugas yang menantang, yang memungkinkan anak berbakat belajar secara
lebih luas dan mendalam.

c. Terbelakang Mental (Mental Retarded)


Penyandang mental retarded bisa dibedakan dalam kualifikasi ringan-
sedang atau berat. Seperti terlihat pada kualifikasi inteligensi menurut skala
Wechsler, anak yang memiliki IQ 80-89 dengan kategori dull/ bodoh,
biasanya mengalami kesulitan dalam belajar, karena rendahnya kemampuan
mereka dalam menerima, menyerap maupun mengolah informasi; mereka
biasanya memerlukan waktu yang lebih banyak untuk bisa menguasai materi
tertentu. Pada umumnya penyandang tuna grahita ringan hanya bisa
mengikuti pelajaran pada tingkat pendidikan SD, dan akan mengalami
kesulitan untuk mengikuti pendidikan lanjutan.

Implikasi dari pemahaman guru tentang anak-anak yang menyandang tuna


grahita ringan (kualifikasi sedang biasanya dididik di SLB; dan berat hanya
mampu rawat), maupun anak dengan IQ mendekati normal, yang mungkin
ada di dalam kelas reguler adalah dengan menyesuaikan materi yang lebih
sederhana, strategi pembelajaran yang lebih mempermudah mereka
mencerna pelajaran dan dengan waktu yang lebih lama. Agak sulit bagi guru
apabila kelasnya berisi anak-anak yang berkemampuan heterogen, dari
yang rendah, normal, cerdas dan sangat cerdas. Tentu sangat dituntut
kesabaran, serta keterampilan profesional yang tinggi. Apabila guru kelas
reguler tidak memiliki kemampuan khusus dalam menangani anak-anak
berbakat intelektual atau yang memiliki kecerdasan di bawah normal, maka
sebaiknya anak-anak tersebut dimasukkan di dalam kelas atau sekolah
khusus sesuai dengan kapasitas intelektual mereka.

2. Kecerdasan Majemuk
Kecerdasan majemuk pertama kali diperkenalkan tahun 1983 oleh Howard Gardner
di Harvard School of Education and Harvard Project Zero. Teori ini membantah tes
seperti contoh Stanford Binet Test yang dikatakan sebagai hitungan tradisional
yang tidak adekuat menilai kecerdasan. Menurut Gardner, kecerdasan melebihi dari
hanya sekedar IQ (Intelligence Quotient) karena IQ yang tinggi tanpa ada
produktifitas bukan merupakan kecerdasan yang baik. Anak harus dinilai
berdasarkan apa yang mereka dapat kerjakan bukan apa yang tidak dapat mereka
kerjakan. Kecerdasan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memecahkan
masalah dan memiliki nilai lebih dalam sebuah kultur masyarakat. Kecerdasan
adalah potensi biopsikologikal untuk mengolah informasi sehingga dapat
7
memecahkan masalah, menciptakan hasil baru yang menambah nilainilai budaya
setempat.

a. Konsep Kecerdasan Majemuk


 Setiap lingkungan anak memiliki fasilitas untuk mengembangkan
kecerdasan majemuk yang dimiliki tiap anak
 Satu jenis kemampuan tidak cukup untuk menyelesaikan berbagai
persoalan manusia secara menyeluruh. Oleh sebab itu, kemampuan
intelektual anak harus diperhatikan secara menyeluruh.
 Setiap anak punya karakteristik kecerdasannya sendiri. Karenanya,
setiap anak harus memiliki perhatian dan pendampingannya sendiri-
sendiri.
 Penilaian kecerdasan anak harus kontekstual dan terkekang pada tes
tertulis dengan standar formal.

b. Macam – macam Kecerdasan Majemuk


 Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menggunakan kata secara
efektif. Pandai berbicara, gemar bercerita dan dengan tekun
mendengarkan cerita atau membaca merupakan tanda anak yang
memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol. Potensi kecerdasan
berbahasa yang dimiliki seorang anak hanya akan tinggal potensi bila
tidak dilatih atau dikembangkan. Pola asuh sangat berpengaruh dalam
hal ini. Anak yang tidak diberi kesempatan berbicara atau selalu dikritik
saat mengemukakan pendapatnya akan kehilangan kemampuan dan
ketrampilannya dalam mengungkapkan ide dan perasaannya.

 Kecerdasan Logika Matematika


Kecerdasan logika matematika pada dasarnya melibatkan kemampuan
untuk menganalisis masalah secara logis, menemukan atau menciptakan
rumusrumus atau pola matematika dan menyelidiki sesuatu secara
alamiah. Ada juga yang secara awam menjabarkan kecerdasan ini
sebagai kecerdasan ilmiah karena berkaitan dengan kegiatan berfikir
atau berargumentasi secara induktif dan deduktif, berfikir dengan
bilangan dan kesadaran terhadap pola-pola abstrak. Anak yang memiliki
nilai tinggi untuk kategori kecerdasan ini suka melakukan eksperimen
untuk membuktikan rasa penasarannya antara lain dengan pertanyaan
atau aksi eksperimental.

 Kecerdasan Visual Spasial


Kecerdasan visual-spasial memungkinkan orang membayangkan
bentuk geometri atau tiga dimensi dengan lebih mudah karena ia mampu
mengamati dunia spasial secara akurat dan mentransformasikan

8
persepsi ini termasuk di dalamnya adalah kapasitas untuk
memvisualisasi, menghadirkan visual dengan grafik atau ide spasial,
dan untuk mengarahkan diri sendiri dalam ruang secara tepat.
Kecerdasan ini juga membuat individu mampu menghadirkan dunia
ruang secara internal dalam fikirannya.

 Kecerdasan Gerak Tubuh


Anak dengan kecerdasan gerakan tubuh di atas ratarata senang bergerak
dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan,
ketangkasan dan keanggunan dalam bergerak, dan mengeksplorasi
dunia dengan otot-ototnya.

 Kecerdasan Musikal
Anak dengan kecerdasan musikal mudah mengenali dan mengingat
nada-nada. Ia juga dapat mentransformasi kata-kata menjadi lagu dan
menciptakan berbagai permainan musik. Merekapun pintar
melantunkan bait lagu dengan baik dan benar, menggunakan kosa kata
musikal, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara
dalam sebuah potongan komposisi music

 Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk bisa memahami dan
berkomunikasi dengan orang lain, serta mampu membentuk dan
menjaga hubungan, dan mengetahui berbagai peran yang terdapat dalam
suatu lingkungan sosial. Memiliki interaksi yang baik dengan orang
lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan
menggunakan beragam cara saat berinteraksi, adalah ciri-ciri
kecerdasan interpersonal yang menonjol.

 Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan seseorang untuk
memahami diri sendiri, mengetahui siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukan, apa yang ingin ia lakukan, bagaimana reaksi diri terhadap
suatu situasi dan memahami situasi seperti apa yang sebaiknya ia
hindari serta mengarahkan dan mengintrospeksi diri.

 Kecerdasan Naturalis
Anak dengan kecerdasan naturalis yang tinggi pada usia sangat dini
telah memiliki daya tarik yang besar terhadap lingkungan alam sekitar
termasuk pada binatang. Di usia yang lebih besar, anak-anak tersebut
sangat berminat pada biologi, botani, ilmu hewan, geologi, meteorologi,
palentologi atau astronomi.

9
 Kecerdasan Eksistential
Kecerdasan eksistensial, menurut Howard Gardner sebagaimana
dikutip oleh Thomas Armstrong(2004: 250), pada dasarnya adalah
minat pada masalah-masalah pokok kehidupan. Kecerdasan ini
mencakup kemampuan menempatkan diri dalam hubungan dengan
jangkauan kosmos yang terjauh (yang tidak terhingga besarnya dan
tidak terhingga kecilnya)dan kemampuan lain yang terkait, yakni
menempatkan diri dalam hubungan dengan berbagai aspek
eksistensial manusia, misalnya makna hidup, arti kematian, nasib
dunia fisik dan psikologis, serta pengalaman mendalam seperti
cinta pada sesama atau keterlibatan total dalam karya seni.
Kesembilan kecerdasan tersebut perlu dikembangkan secara maksimal dan
sejak usia dini, agar bermanfaat bagi individu yang bersangkutan. Hal
ini karena pada usia tersebut, manusia mengalami perkembangan yang
sangat pesat dan apa - apa yang dipelajari di masa tersebut menjadi pijakan
bagi masa - masa selanjutnya.

c. Penilaian Kecerdasan Majemuk


Untuk mengetahui kompetensi dan potensi seseorang, Gardner memiliki
konsep yang berbeda dari para peneliti bidang kecerdasan sebelumnya.
Hampir semua tes kompetensi dan potensi yang dilakukan sebelumnya
berusaha untuk menetapkan dengan tes formal yang dilakukan secara
seragam dan sebagian besar instrumen pengujian amat bias karena
menggunakan dua variabel kecerdasan yaitu linguistik dan logika-
matematika saja. Kesimpulan tentang kompetensi dan potensi seharusnya
diberikan berdasarkan pengamatan yang bijaksana dalam lingkungan sosial
secara individual.

Tampaknya banyak yang mencoba untuk mengetahui potensi dan


kompetensi dengan desain yang sebaliknya yaitu menciptakan kebutuhan,
bukan untuk memenuhi kebutuhan akan pengetahuan terhadap potensi dan
kompetensi seseorang. Oleh karenanya perlu diberikan penegasan bahwa
yang dilakukan bukanlah suatu tes (pengujian) melainkan penilaian untuk
memperoleh informasi mengenai ketrampilan dan potensi dari individu
dengan dua sasaran yaitu memberikan umpan balik yang bermanfaat
terhadap individu yang bersangkutan dan data yang berguna kepada orang
yang berada di sekitarnya tempat mereka berinteraksi.

10
C. Neurosains Dalam Pendidikan

1. Pengertian Neurosains
Neurosains secara etimologi adalah ilmu neural (neural science) yang mempelajari
sistim syaraf, terutama mempelajari neuron atau sel syaraf dengan pendekatan
multidisipliner.Secara terminologi, neurosains merupakan bidang ilmu yang
mengkhususkan pada studi saintifik terhadap sistim syaraf. Dengan dasar ini,
neorosains juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari otak dan seluruh fungsi-
fungsi syaraf belakang.

2. Tujuan dan Manfaat Neurosains


Mempelajari dasar-dasar biologis dari setiap perilaku. Artinya, tugas utama dari
neurosains adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang
terjadi di dalam otaknya. Penelitian mutakhir di bidang neurosains menemukan
sejumlah bukti hubungan tidak terpisahkan antara otak dan perilaku (karakter)
manusia. Melalui instrumen Positron Emission Tomography (PET) diketahui
bahwa terdapat enam sistem otak (brain system) yang secara terpadu meregulasi
semua perilaku manusia. Keenam sistem otak tersebut adalah cortex prefrontalis,
sistem limbik, gyros cingulatus, ganglia basalis, lobus temporalis, dan cerebellum.

Neurosains merupakan ilmu pengetahuan yang khusus mempelajari otak dan


dinamikanya. Maka dari itu mempelajari ilmu neurosains yang penting dan sangat
bermanfaat untuk semua bidang terutama yang berhubungan dengan manusia dan
teknologi, ini sampai ke masyarakat luas.

3. Neurosains Pendidikan (Educational Neuroscience)


a. Pengertian Neurosains Pendidikan
Neurosains pendidikan adalah bidang penelitian intedisipliner yang
berupaya menelaah temuan penelitian tentang mekanisme pembelajaran
saraf ke praktik dan kebijakan pendidikan.

11
Neurosains dan pendidikan dapat berhubungan secara langsung, mengingat
otak sebagai organ biologis yang perlu berada dalam kondisi optimal untuk
belajar (kesehatan otak) atau tidak langsung, karena neurosains membentuk
teori psikologi dan psikologi mempengaruhi pendidikan.

b. Isu dan Masalah dalam Mengembangkan Neurosains Pendidikan


Keragaman teori yang didorong secara empiris tentang pembelajaran
selama 150 tahun terakhir dapat dilihat sebagai indikasi sifat yang sangat
kompleks dari fenomena terkait pembelajaran. Dimana dalam waktu yang
lama tampaknya fenomena tersebut hanya bisa ditangkap secara terpisah-
pisah. Namun, baru-baru ini, psikolog pendidikan dan ahli saraf kognitif
telah mengakui bahwa adalah mungkin untuk membangun model
pembelajaran yang lebih terintegrasi, yang lebih adil terhadap kompleksitas,
yaitu dengan menyatukan proses sosial dan kognitif atau kognitif dan saraf
(neuron) dalam satu akun.

c. Impelementasi Hasil Riset Educational Neuroscience dalam Pendidikan


Dasar

Electroencephalography (EEG), Magnetoencephalography (MEG),


Positron Emission Tomography (PET), dan Functional Magnetic
Resonance Imaging (FMRI) adalah beberapa contoh dari hasil temuan/riset
dalam educational neurosciece. Hasil temuan tersebut telah menunjukkan
bahwa struktur dan sistem saraf di dalam otak mendasari perilaku dan
perkembangan keterampilan anak. Namun, hasil-hasil riset di laboratorium
neuroscience tersebut tidak dapat langsung diterapkan ke dalam
pembelajaran di ruang kelas karena kondisi di laboratoriaum berbeda
dengan di kelas dan variabel yang mempengaruhi perilaku dan keterampilan
manusia cukup kompleks.

Tommerdahl dalam Hidayat telah mengusulkan 5 jembatan penghubung


yang harus dilalui sebelum sebelum menerapkan hasil temuan riset di
laboratorium neurosains ke dalam praktik pembelajaran, yaitu:neurosains,
neurosains kognitif, mekanisme psikologi, teori pendidikan, dan ruang
kelas pembelajaran(Hidayat, 2017). Dengan jembatan penghubung tersebut
maka hasil riset educational neuroscience akan lebih komprehensif dalam
memahami manusia.

12
Hasil riset dalam educational neuroscience telah menginspirasi praktisi
pendidikan dalam mengembangkan pendekatan yang memfasilitasi otak
agar bekerja dengan optimal, yaitu brain-based learning (pembelajaran
berbasis kemampuan otak). Pendekatan ini mempertimbangkan apa yang
sifatnya alami bagi otak dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan
dan pengalaman sehingga proses pembelajaran tidak memaksa siswa untuk
belajar, tetapi mendorong siswa untuk belajar dengan sendirinya (Latifah &
Mahmudi, 2018).

Syafa’at dalam penjelasan Lestari mengungkapkan bahwa pendekatan


pembelajaran berbasis otak menawarkan konsep pembelajaran yang
berorientasi pada upaya pemberdayaan otak siswa dengan cara menciptakan
lingkungan belajar yang mendorong siswa untuk aktif, menantang,
menyenangkan, dan bermakna bagi kehidupan siswa (Lestari, 2014).
Pembelajaran aktif artinya pembelajaran yang mendorong anak aktif dalam
melakukan atau mengalami suatu proses yang melibatkan tubuh dan alat
indranya. Sementara pembelajaran menantang berarti pembelajaran yang
membuat otak siswa merasa tertantang untuk menyelesaikan suatu
persoalan, misalnya melalui games dan teka-teki. Adapun pembelajaran
menyenangkan berarti pembelajaran yang membuat siswa nyaman dan
bersemangat dalam belajar.

Sebagaimana biologis yang lain, otak anak juga berkembang secara alami
dan memerlukan asupan gizi untuk dapat bekerja dengan optimal. Oleh
karena itu, orang tua juga bertanggung jawab dalam memantau kecukupan
gizi anak, menjaga kondisi biologisnya dari berbagai ancaman, dan
memberikan tugas-tugas yang sesuai dengan tahap perkembangan otak
anak.

Dari berbagai bentuk implementasi hasil riset educational neuroscience


dalam pendidikan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa guru dan orang

13
tua terdorong untuk menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan
tahap perkembangan anak yang dapat membangun kemampuan dan
menstimulasi otak anak

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

 Perbedaan individu adalah suatu perbedaan yang dimiliki oleh setiap


individu baik fisik maupun non fisik yang menjadikan seseorang memiliki
karakter/ ciri-ciri yang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan
individu merupakan faktor penting sebagai dasar pengembangan
individualized instruction. Beberapa perbedaan yang sangat penting
diperhatikan dalam proses pengajaran adalah perbedaan kemampuan dasar
atau bakat, minat, kecepatan dan cara belajar anak. Setiap anak memiliki
kemampuan dasar bawaan, dan akan mengalami perubahan karena
pengalaman, karena kebutuhan anak dan kemampuan dasar bawaannya
berbeda maka minat anak dalam belajar akan berbeda juga.
 Inteligensi atau kecerdasan intelektual adalah suatu kemampuan mental
yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi
tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir
rasional itu
 Kecerdasan majemuk adalah konsep penilaian kecerdasan anak dengan
beberapa tolak ukur kemampuan. Pencetus konsep kecerdasan ini adalah
Howard Gardner pada tahun 1983. Teori Gardner menyatakan bahwa
kecerdasan tidak hanya intelligence quotient (IQ). Menurutnya IQ tinggi
tanpa adanya produktivitas bukan sebagai kecerdasan yang baik.
 Neurosains merupakan bidang ilmu yang mengkhususkan pada studi
saintifik terhadap sistem syaraf. Dengan dasar ini, neorosains juga disebut
sebagai ilmu yang mempelajari otak dan seluruh fungsi-fungsi syaraf
belakang. Neurosains dalam pendidikan dapat berhubungan secara
langsung maupun tidak langsung.

B. Saran

Dalam penerapan metode pembelajaran, mengetahui perbedaan karakter,


kecerdasan maupun sifat dari masing-masing peserta didik. Maka metode pembelajaran
harus disesuaikan dengan kondisi psikologis siswanya. Oleh karena itu, untuk calon
pendidik maupun pendidik diharuskan mempelajari psikologi pendidikan agar tujuan dari
pembelajaran yang sebenarnya dapat tercapai. Dengan dituliskannya makalah ini semoga
dapat membantu pembaca untuk dapat menambah pengetahuannya, kelompok kami juga
mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan makalah di kemudian hari.

15
DAFTAR PUSTAKA

Wahidah. 2019. Memahami Perbedaan Individu Pebelajar Dalam Proses Belajar Mengajar.
Jurnal Pendidikan, Sosial dan Kebudayaan Volume 11 Nomor 2 Tahun 2019. (diakses pada 01
September 2021)
Kadek Suarca, Soetjiningsih, Iga, Endah Ardjana 2005. Kecerdasan Majemuk Pada Anak.
https://www.saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/857/791 (diakses pada
tanggal 01 September 2021)
Syarifah 2019. Konsep Kecerdasan Majemuk Howard Gadner. Jurnal Ilmiah Sustainable Vol.
2No. 2 Desember 2019, hal 154-175 (diakses pada tanggal 01 September 2021)
Aminul Wathon. 2012. Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal LENTERA Kajian Keagamaan,
Keilmuan,dan Teknologi. (diakses pada 02 September 2021)
Michael S. C. Thomas,1 Daniel Ansari,2 and Victoria C. P. Knowland3. 2019. Annual Research
Review: Educational neuroscience: progress and prospects. Journal of Child Psychology and
Psychiatry 60:4 (2019), pp 477–492. (diakses pada 02 September 2021)
Wiley Blackwell. 2014. Educational Neuroscience.
https://books.google.co.id/books?id=daILAQAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Educational+n
euroscience&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=Educational%20neuroscience&f=false
(diakses pada 02 September 2021)
Asep Supena, Hamdan Husein. 2018. Educational Neuroscience dalam Pendidikan Dasar. JPD:
Jurnal Pendidikan Dasar. (diakses pada 03 September 2021)

16

Anda mungkin juga menyukai