PSIKOLOGI PENDIDIKAN
PERBEDAAN INDIVIDU DALAM PEMBELAJARAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu:
Imaningtyas, M.Pd.
Disusun Oleh:
Anadya Puspita Vania (1107620185)
Sisca Amelia (1107620191)
Syifa Maulida Adisti (1107620200)
Zalfa Nuranti (1107620206)
Selvrysah Nasution (1107620214)
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai “Perbedaan Individu
dalam Pembelajaran” tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu
Imaningtyas, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi kami dan juga teman-
teman. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada kepada semua pihak yang
telah membantu, membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami memohon maaf kepada semua. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun akan sangat kami nantikan agar kedepannya kami dapat memperbaiki
kesalahan-kesalahan dan dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Perbedaan Individu .......................................................................... 2
B. Konsep Inteligensi dan Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) .. ..... 2
1. Konsep Inteligensi .. .......................................................................... 2
2. Kecerdasan Majemuk ........................................................................ 7
C. Neurosains Dalam Pendidikan .. .................................................................... 11
1. Pengertian Neurosains .. .................................................................... 11
2. Tujuan dan Manfaat Neurosains .. ..................................................... 11
3. Neurosains Pendidikan (Educational Neuroscience) .. ...................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap individu memiliki perbedaan karakter satu
sama lain, tidak hanya karakter tetapi juga kecerdasan, sifat, dan lainnya. Setiap individu
adalah unik, tidak ada yang sama persis antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu
terdapat psikologi pendidikan sebagai cabang ilmu psikologi yang berupaya menerapkan
teori-teori dan konsep psikologi untuk memahami dan meningkatkan pembelajaran dan
pengajaran di lingkungan pendidikan formal. Ilmu psikologi ini dapat membantu guru
ataupun siswa untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang sesuai dan efektif.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi perbedaan individu?
2. Apa saja konsep inteligensi dan kecerdasan majemuk (multiple intelligences)?
3. Apa itu neurosains dalam pendidikan?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami perbedaan individu
2. Mengetahui dan memahami konsep inteligensi dan kecerdasan majemuk (multiple
Intelligences)
3. Mengetahui dan memahami neurosains dalam pendidikan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Perbedaan individu adalah suatu perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu baik
fisik maupun non fisik yang menjadikan seseorang memiliki karakter/ ciri-ciri yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan individu merupakan faktor penting
sebagai dasar pengembangan individualized instruction. Beberapa perbedaan yang sangat
penting diperhatikan dalam proses pengajaran adalah perbedaan kemampuan dasar atau
bakat, minat, kecepatan dan cara belajar anak. Setiap anak memiliki kemampuan dasar
bawaan, dan akan mengalami perubahan karena pengalaman, karena kebutuhan anak dan
kemampuan dasar bawaannya berbeda maka minat anak dalam belajar akan berbeda juga.
Masalah individu mendapat perhatian yang besar dalam kajian psikologi, sehingga
melahirkan suatu cabang psikologi yang dikenal dengan indivual psychology, atau
differential psychology, yang memberikan perhatian besar terhadap penelitian tentang
perbedaan antar individu. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada dua
orang yang persis sama. Setiap anak akan member respon secara berbeda sesuai keunikan
minat dan kepribadiannya. Yang bisa dilakukan dan di upayakan guru maupun orang tua
adalah membuka akses selebar lebarnya untuk mereka pada seberagam mungkin ide yang
berharga.
1. Konsep Inteligensi
Inteligensi atau kecerdasan intelektual adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat
diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata
yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
2
menyesuaikan diri dan menyelesaikan masalah yang dihadapi sehari-hari sesuai
tugas perkembangannya.
David Wechsler (1958) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
memahami dunia, bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
menggunakan sumber daya secara efektif saat menghadapi masalah atau
tantangan.
Walters dan Gardners (1986) mendefinisikan inteligensi sebagai serangkaian
kemampuan- kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan
masalah atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu.
Ormrod (2008) menyimpulkan pandangan dari para tokoh tentang definisi dan
rumusan inteligensi yang memiliki berbagai kualitas sebagai berikut.
1. Bersifat adaptif, dapat digunakan secara fleksibel untuk merespons berbagai
situasi dan kondisi permasalahan yang dihadapi.
2. Berkaitan dengan kemampuan untuk belajar. Orang yang cerdas dalam bidang
tertentu dapat mempelajari informasi-informasi dan perilaku-perilaku baru
dalam bidang tersebut secara lebih cepat dan lebih mudah dibanding orang
yang kurang cerdas.
3. Istilah inteligensi lebih merujuk pada penggunaan pengetahuan yang
sebelumnya telah dimiliki untuk menganalisis dan memahami situasi baru
secara efektif.
4. Istilah inteligensi melibatkan interaksi dan koordinasi yang kompleks dari
berbagai proses mental.
5. Istilah inteligensi terkait dengan budaya tertentu. Bahwa perilaku inteligen
dalam budaya tertentu tidak selalu dianggap perilaku inteligen dalam budaya
lain.
Dalam psikologi, pengukuran inteligensi dilakukan dengan menggunakan alat-alat
psikodiagnostik atau yang dikenal dengan istilah Psikotest. Hasil pengukuran
inteligensi biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang dapat
menyatakan tinggi rendahnya inteligensi yang diukur, yaitu IQ (Intellegence
Quotient).
Secara umum kita dapat mengatakan bahwa inteligensi tidak hanya merupakan
suatu kemampuan untuk memecahkan berbagai persoalan dalam bentuk simbol-
simbol (seperti dalam matematika), tetapi jauh lebih luas menyangkut kapasitas
untuk belajar kemampuan menggunakan pengalaman dalam memecahkan berbagai
persoalan, serta kemampuan untuk mencari berbagai alternatif.
Pada tahun 1985 Tes Binet mengalami revisi beberapa kali di Universitas
Standford sehingga disebut sebagai Tes Stanford-Binet untuk menganalisis
respons-respons individual pada empat ranah, yaitu: penalaran verbal,
penalaran kuantitatif, penalaran abstrak/visual, dan ingatan jangka pendek.
Tes Stanford-Binet diberikan pada individu berusia 2 tahun hingga dewasa
meliputi serangkaian item yang membutuhkan respons-respons verbal dan
nonverbal.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa
tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Spearman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang
umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih
4
spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence).
Tokoh lain, David Wechsler membuat suatu alat tes inteligensi yang
menjadi saingan besar tes Stanford-Binet. Menurut Wechsler, tes Stanford-
Binet terlalu banyak menggali unsur verbal, padahal kecerdasan menggali
unsur verbal dan nonverbal. Alat tes yang dikembangkan menurut teori
faktor oleh Wechsler adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale)
untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)
untuk anak-anak. Tes kecerdasan Wechsler juga sudah mengalami berbagai
revisi. Sampai saat ini tes Wechsler (WAIS-III dan WISC-IV) menjadi alat
tes kecerdasan yang sangat populer dan paling banyak digunakan. Di
samping alat- alat tes yang sudah dijelaskan, banyak dikembangkan alat tes
dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana
alat tes tersebut dibuat.
5
Berdasarkan kualifikasi tingkat kecerdasan anak, dapat dibedakan antara
anak yang memiliki kecerdasan normal (average), di atas normal dan di
bawah normal. Untuk anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata
disebut anak berbakat intelektual (gifted), sedangkan anak yang memiliki
kecerdasan di bawah rata-rata disebut mental retarded atau penyandang
tuna grahita. Baik anak berbakat intelektual maupun tuna grahita
merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki kebutuhan khusus
sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus.
6
Bila guru menemukan anak berbakat yang selain memiliki skor IQ 130 atau
lebih, dan menunjukkan beberapa ciri keberbakatan dan kreativitas tersebut
di kelas, maka guru perlu menyesuaikan pembelajaran di kelasnya agar
dapat memenuhi kebutuhan mereka, antara lain dengan memberikan tugas-
tugas yang menantang, yang memungkinkan anak berbakat belajar secara
lebih luas dan mendalam.
2. Kecerdasan Majemuk
Kecerdasan majemuk pertama kali diperkenalkan tahun 1983 oleh Howard Gardner
di Harvard School of Education and Harvard Project Zero. Teori ini membantah tes
seperti contoh Stanford Binet Test yang dikatakan sebagai hitungan tradisional
yang tidak adekuat menilai kecerdasan. Menurut Gardner, kecerdasan melebihi dari
hanya sekedar IQ (Intelligence Quotient) karena IQ yang tinggi tanpa ada
produktifitas bukan merupakan kecerdasan yang baik. Anak harus dinilai
berdasarkan apa yang mereka dapat kerjakan bukan apa yang tidak dapat mereka
kerjakan. Kecerdasan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memecahkan
masalah dan memiliki nilai lebih dalam sebuah kultur masyarakat. Kecerdasan
adalah potensi biopsikologikal untuk mengolah informasi sehingga dapat
7
memecahkan masalah, menciptakan hasil baru yang menambah nilainilai budaya
setempat.
8
persepsi ini termasuk di dalamnya adalah kapasitas untuk
memvisualisasi, menghadirkan visual dengan grafik atau ide spasial,
dan untuk mengarahkan diri sendiri dalam ruang secara tepat.
Kecerdasan ini juga membuat individu mampu menghadirkan dunia
ruang secara internal dalam fikirannya.
Kecerdasan Musikal
Anak dengan kecerdasan musikal mudah mengenali dan mengingat
nada-nada. Ia juga dapat mentransformasi kata-kata menjadi lagu dan
menciptakan berbagai permainan musik. Merekapun pintar
melantunkan bait lagu dengan baik dan benar, menggunakan kosa kata
musikal, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara
dalam sebuah potongan komposisi music
Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk bisa memahami dan
berkomunikasi dengan orang lain, serta mampu membentuk dan
menjaga hubungan, dan mengetahui berbagai peran yang terdapat dalam
suatu lingkungan sosial. Memiliki interaksi yang baik dengan orang
lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan
menggunakan beragam cara saat berinteraksi, adalah ciri-ciri
kecerdasan interpersonal yang menonjol.
Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan seseorang untuk
memahami diri sendiri, mengetahui siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukan, apa yang ingin ia lakukan, bagaimana reaksi diri terhadap
suatu situasi dan memahami situasi seperti apa yang sebaiknya ia
hindari serta mengarahkan dan mengintrospeksi diri.
Kecerdasan Naturalis
Anak dengan kecerdasan naturalis yang tinggi pada usia sangat dini
telah memiliki daya tarik yang besar terhadap lingkungan alam sekitar
termasuk pada binatang. Di usia yang lebih besar, anak-anak tersebut
sangat berminat pada biologi, botani, ilmu hewan, geologi, meteorologi,
palentologi atau astronomi.
9
Kecerdasan Eksistential
Kecerdasan eksistensial, menurut Howard Gardner sebagaimana
dikutip oleh Thomas Armstrong(2004: 250), pada dasarnya adalah
minat pada masalah-masalah pokok kehidupan. Kecerdasan ini
mencakup kemampuan menempatkan diri dalam hubungan dengan
jangkauan kosmos yang terjauh (yang tidak terhingga besarnya dan
tidak terhingga kecilnya)dan kemampuan lain yang terkait, yakni
menempatkan diri dalam hubungan dengan berbagai aspek
eksistensial manusia, misalnya makna hidup, arti kematian, nasib
dunia fisik dan psikologis, serta pengalaman mendalam seperti
cinta pada sesama atau keterlibatan total dalam karya seni.
Kesembilan kecerdasan tersebut perlu dikembangkan secara maksimal dan
sejak usia dini, agar bermanfaat bagi individu yang bersangkutan. Hal
ini karena pada usia tersebut, manusia mengalami perkembangan yang
sangat pesat dan apa - apa yang dipelajari di masa tersebut menjadi pijakan
bagi masa - masa selanjutnya.
10
C. Neurosains Dalam Pendidikan
1. Pengertian Neurosains
Neurosains secara etimologi adalah ilmu neural (neural science) yang mempelajari
sistim syaraf, terutama mempelajari neuron atau sel syaraf dengan pendekatan
multidisipliner.Secara terminologi, neurosains merupakan bidang ilmu yang
mengkhususkan pada studi saintifik terhadap sistim syaraf. Dengan dasar ini,
neorosains juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari otak dan seluruh fungsi-
fungsi syaraf belakang.
11
Neurosains dan pendidikan dapat berhubungan secara langsung, mengingat
otak sebagai organ biologis yang perlu berada dalam kondisi optimal untuk
belajar (kesehatan otak) atau tidak langsung, karena neurosains membentuk
teori psikologi dan psikologi mempengaruhi pendidikan.
12
Hasil riset dalam educational neuroscience telah menginspirasi praktisi
pendidikan dalam mengembangkan pendekatan yang memfasilitasi otak
agar bekerja dengan optimal, yaitu brain-based learning (pembelajaran
berbasis kemampuan otak). Pendekatan ini mempertimbangkan apa yang
sifatnya alami bagi otak dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan
dan pengalaman sehingga proses pembelajaran tidak memaksa siswa untuk
belajar, tetapi mendorong siswa untuk belajar dengan sendirinya (Latifah &
Mahmudi, 2018).
Sebagaimana biologis yang lain, otak anak juga berkembang secara alami
dan memerlukan asupan gizi untuk dapat bekerja dengan optimal. Oleh
karena itu, orang tua juga bertanggung jawab dalam memantau kecukupan
gizi anak, menjaga kondisi biologisnya dari berbagai ancaman, dan
memberikan tugas-tugas yang sesuai dengan tahap perkembangan otak
anak.
13
tua terdorong untuk menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan
tahap perkembangan anak yang dapat membangun kemampuan dan
menstimulasi otak anak
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
Wahidah. 2019. Memahami Perbedaan Individu Pebelajar Dalam Proses Belajar Mengajar.
Jurnal Pendidikan, Sosial dan Kebudayaan Volume 11 Nomor 2 Tahun 2019. (diakses pada 01
September 2021)
Kadek Suarca, Soetjiningsih, Iga, Endah Ardjana 2005. Kecerdasan Majemuk Pada Anak.
https://www.saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/857/791 (diakses pada
tanggal 01 September 2021)
Syarifah 2019. Konsep Kecerdasan Majemuk Howard Gadner. Jurnal Ilmiah Sustainable Vol.
2No. 2 Desember 2019, hal 154-175 (diakses pada tanggal 01 September 2021)
Aminul Wathon. 2012. Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal LENTERA Kajian Keagamaan,
Keilmuan,dan Teknologi. (diakses pada 02 September 2021)
Michael S. C. Thomas,1 Daniel Ansari,2 and Victoria C. P. Knowland3. 2019. Annual Research
Review: Educational neuroscience: progress and prospects. Journal of Child Psychology and
Psychiatry 60:4 (2019), pp 477–492. (diakses pada 02 September 2021)
Wiley Blackwell. 2014. Educational Neuroscience.
https://books.google.co.id/books?id=daILAQAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Educational+n
euroscience&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=Educational%20neuroscience&f=false
(diakses pada 02 September 2021)
Asep Supena, Hamdan Husein. 2018. Educational Neuroscience dalam Pendidikan Dasar. JPD:
Jurnal Pendidikan Dasar. (diakses pada 03 September 2021)
16