Anda di halaman 1dari 66

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN SIKAP PERAWAT DENGAN PELAKSANAAN ORAL HYGIENE

PADA PASIEN YANG MENGGUNAKAN VENTILATOR ASSOCIATED

PNEUMONIA (VAP) RONGGA MULUT DI ICU

RSU ANWAR MEDIKA KOTA SIDOARJO

OLEH:

RUBEN BIBABORBIR

NIM: 201801124

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BINA SEHAT PPNI

MOJOKERTO

2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada pasien yang dipasangi ventilator, potensi terjadinya infeksi nosocomial dapat

berupa (VAP) Ventilator Assosiated Pneumonia (Purnama, 2020). Ventilator associated

pneumonia (VAP) adalah pneumnia yang berkembang 48 jam atau lebih setelah pasien

diberikan atau dipasang ventilasi mekanis dengan cara menggunakan pipa endotrakeal

(ETT) atau trakeostomi (Amanullah,2013) dikutip dalam (Santoso, 2018) VAP

memperpanjang lama perawatan pasien di ICU dan berhubungan erat dengan tingginya

angka morbiditas dan mortalitas pasien di ICU, dengan angka kematian mencapai 40-50%

dari total penderita (Shakeel, 2013) dikutip dalam (Eko Prasetyo dkk, 2019). Selain itu

apabila pemasangan ventilator tidak didukung dengan perawatan oral hygiene yang tepat,

maka dapat terjadi kolonisasi mikroorganisme pada orofaring kemudian menggantikan

flora normal di orofaring dalam waktu kurang lebih 48 jam dan berkolonisasi di saluran

napas (Hunter, 2006) faktor resiko yang dapat menyebabkan VAP antara lain usia, trauma,

dan lama pemakaian ventilator. Oleh karena itu, perawatan oral hygiene merupakan salah

satu tindakan yang tepat dilakukan oleh seorang perawat untuk mencegah kejadian VAP.

Hal ini dikarenakan oral hygiene dapat menyegarkan, membersihkan dan menjaga mulut

tetap terhindar dari infeksi kuman (Perry &Potter, 2009). Selain itu oral hygiene juga

mampu mengurangi jumlah mikroorganisme dan pengumpulan organisme yang

mengalami translokasi serta kolonisasi di dalam mulut (Grapl, 2005) dikutip dalam

(Riandhyanita dkk, 2017).


Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2011 menunjukan bahwa

sekitar 8,70% dari 55 rumah sakit di 14 negara yang berada di Eropa, Timur Tengah,

Asia Tenggara, dan Pasifik menunjukkan adanya Healtcare Associated Infection (HAIs).

Prevalensi HAIs paling banyak di Mediterania timur dan Asia Tenggara yaitu sebesar 11,

80% dan 10% sedangkan di Eropa dan Pasifik Barat masing-masing sebesar 7,70% dan 9%

(Sundoro, 2020). Indonesia belum ada penyajian data insiden VAP secara keseluruhan,

namun insiden VAP lebih dari nilai standar yaitu 5,8 menjadi indikator kualitas sasaran

patient safety dan standar manejemen layanan tersebut tidak maksimal (Kemenkes, 2017)

dalam (Nurhayati, 2018). Berdasarkan Angka insiden infeksi nosokomial di Jawa Timur

pada tahun 2011 hingga 2013 mengalami tren naik yaitu sebanyak 306 pada tahun 2011,

400 pada tahun 2012, dan 526 pada tahun 2013 (Sari, 2015).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 14 Agustuss

2022 di RSU Anwar Medika Kota Sidoarjo penggunaan ventilator cukup banyak hampir

50% tiap bulannnya mulai bulan januari-juni 2022 tetapi penggunaan ventilator > 48 jam

hanya 10% yang penggunaannya > 48 jam.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Khayati dkk, menunjukan bahwa

hubungan faktor perawatan oral hygiene dengan kejadian infeksi ventilator associated

pneumonia dari hasil uji Rank spearman memperoleh hasil dengan (P=0,017) (Nur

Khayati, 2017). Hasil penelitian dari Tohirin dkk, didapatkan p value adalah 0,03 (p <

0,05), menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian ventilator

associated pneumonia (VAP) sebelum dan sesudah oral hygiene menggunakan hexadol

gargle (Tohirin, 2019).


Ada beberapa solusi yang dapat diberikan untuk mencegah tejadinya infeksi nosokomial

ventilator associated pneumonia (VAP) pada rongga mulut diantaranya oral hygiene

dengan menggunakan larutan Hexetidine yang digunakan untuk oral hygiene sangat

bermanfaat untuk mengurangi koloni bakteri dalam mulut dengan menggunakan

hexetidine mengikat protein mukosa mulut sehingga dapat menguntungkan bila

digunakan sebagai antibakteri. Hexetidine juga dapat memperpanjang efek antibakteri

karena adanya ikatan dengan protein mukosa. Ikatan protein tersebut menghambat

metabolisme mikroorganisme yang berada pada permukaan mukosa dan plak (Hartini,

2019). Sikap perawat dengan oral hygiene pada pasien dengan ventilator associated

pneumonia dikatakan positif yang tindakannya cenderung menyenangi suatu pekerjaannya

misalnya memberi asuhan keperawatan dan mengharapkan sesuatu yang baik pada objek

tertentu misalnya

1.2 Rumusan masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah adakah hubungan sikap perawat dengan

pelaksanaan oral hgiene pada pasien yang menggunakan ventilator associated pneumonia

(VAP) rongga mulut di ICU RSU Anwar Medika Kota Sidoarjo


1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan oral hgiene pada

pasien yang menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut di ICU

Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentisikasi sikap perawat dengan pelaksanaan oral hgiene pada pasien yang

menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut di Rsu Anwar

Medika Kota Sidoarjo

2. Menganalisis hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan oral hgiene pada pasien

yang menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut di ICU Rsu

Anwar Medika Kota Sidoarjo

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Responden dan Keluarga

Menambah informasi dan meningkatkan perilaku oral hygiene bagi responden

sehingga responden dapat segera melakukan tindakan pencegahan terhadap penyakit infeksi

nosocomial

1.4.2 Bagi Lokasi Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo

Diharapkan dari penelitian ini dapat menjadi acuhan begitu pentingnya pelaksanaan

oral hgiene pada pasien yang menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga

mulut di ICU Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo untuk menghindari terjadinya infeksi

nosokiomial.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan STIKes Bina Sehat PPNI

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan pengetahuan bagi

mahasiswa agar dapat dijadikan kajian lebih lanjut.

1.4.4 Bagi Peneliti

Meningkatkan pengetahuan, kemampuan serta menambah pengalaman baru bagi

peneliti tentang pentingnya pelaksanaan oral hgiene pada pasien yang menggunakan

ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab Ini Akan Diuraikan Tentang 1) Konsep Sikap, 2) Oral Hygiene, 3) Konsep Ventilator

Associated Pneumonia, 4) Kerangka Teori, 5) Kerangka Konseptual, 6) Hipotesis Penelitian.

2.1 Konsep Sikap

2.1.1 Defenisi sikap

Sikap merupakan ungkapan dari apa yang dirasakan oleh seseorang berkaitan dengan

objek baik yang disenangi ataupun yang tidak disenangi (Setiyadi dkk, 2022). Sikap adalah

respons seseorang yang tertutup terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah

melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak

setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo 2014) dikutip dalam (Sindring dkk,

2021 ). sikap merupakan evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang

lain, obyek atau issue (Karyawanto ddk, 2021).

Menurut literature lain definisi sikap adalah suatu penilaian mengenai arah positif atau

negatif, perasaan senang atau tidak senang, yang kemudian diikuti oleh kesediaan atau

ketidaksediaan untuk bereaksi terhadap objek sikap (Faiqoh, 2022). Berdasarkan beberapa

definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan reaksi atau respons seseorang

terhadap stimulus atau objek.


2.1.2 Ciri-ciri Sikap

Ciri-ciri sikap menurut Heri Purwanto (1998) dalam buku Notoadmodjo (2003, p.34) adalah:

a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang

perkembangan itu dalam hubungannya dengan obyeknya

b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelanjari dan sikap dapat berubah

apada orang -orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang

mempermudah sikap pada orang itu

c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu

obyek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenan

dengan suatu obyek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas

d. Obyek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari

hal-hal tersebut

e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang

membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang

dimiliiki orang.

2.1.3 Tingkatan Sikap

Sikap terdiri dari empat tingkatan yaitu :

1. Menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek)

2. Merespon (responding) diartikan memberikan jawaban apakah ditanya,

mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan

3. Menghargai (valuing) diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan masalah
4. Bertanggung jawab (responsible) diartikan bertanggung jawab atas segala sesuatu

yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah sikap yang paling tinggi.(Kiran,

2017).

2.1.4 Pengkategorian Sikap

Menurut (Azwar, 2013) sikap dapat dikategorikan dalam tiga orientasi pemikiran yatu :

a. Berorientasi pada respon Orientasi ini diwakili oleh para ahli seperti Louis Thurstone,

Rensis Likert dan Charles Osgood. Dalam pandangan mereka, sikap adalah suatu

bentuk atau reaksi perasaan. Secara lebih operasional sikap terhadap suatu objek

adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak

mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap objek tersebut.

b. Berorientasi pada kesiapan respon Orientasi ini diwakili oleh para ahli seperti Chave,

Bogardus, La Pierre, Mead, dan Allport. Konsepsi yang mereka ajukan ternyata lebih

kompleks. Menurut pandangan orientasi ini, sikap merupakan kesiapan untuk

bereaksi terhadap objek dengan cara-cara tertentu.

c. Beroreintasi pada skema triadic Menurut pandangan orientasi ini, sikap merupakan

konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saing berinteraksi

dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu. Sikap didefinisikan

sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan

predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitarnya

(Kartika, 2021).
2.1.5 Faktor Yang Mempengaruhi Sikap

1. Pengetahuan : pengetahuan manusia dapat diperoleh dari pengalaman langsung

maupun pengetahuan yang didapat dari sumber terpercaya. Dengan adanya

pengetahuan maka dapat mengubah keyakinan dan paradigma individu terhadap

sesuatu yang akhirnya menimbukan sikap individu terhadap sesuatu tersebut

2. Kepercayaan : sikap individu dapat dilihat sebagai cerminan dari kepercayaan yang

terhadap sesuatu hal. Misalnya kepercayaan keluarga terhadap pelayanan rumah sakit

tertentu akan mempengaruhi sikap keluarga untuk memilih berobat ke rumah sakit

yang sudah dipercaya.

3. Kebudayaan yang diperoleh dari pengalaman, pembacaan, kondisi (agama,

pendidikan, paradigma). Peran serta kebudayaan dapat mempengaruhi sikap

individu untuk menerima maupun menolak sesuatu (Hutagalung, 2021).

2.1.6 Fungsi Sikap

Secord dan Beckman mengungkapkan bahwa sikap merupakan aturan tertentu

dalam hal perasaan, pemikiran dan presdiposisi tindakan seseorang terhadap suatu objek di

lingkungan sekitarnya. Orang yang memiliki sikap positif terhadap suatu objek, apabila

orang tersebut suka maka akan bersikap favorable, sebaliknya jikaorang tersebut bersikap

negatif terhadap suatu objek, apabila orang tersebut tidak suka akan bersikap unfavorable

(Siswadi Agus, 2019). Fungsi sikap dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu: Sikap

berfungsi sebagia alat untuk menyesuaikan diri seseorang, Sikap berfungsi sebagai alat

pengatur tingkah laku seseorang, Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman

seseorang, Sikap sebagai alat pernyataan kepribadian seseorang dalam (Lilis, 2021).
2.1.7 Cara pengukuran sikap

Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah

masalah pengungkapan (assessment) dan pengukuran (measurement) sikap (Azwar S,

2011,p.87) Menurut Azwar S (2011, p.126) Ada berbagai cara untuk melakukan pengukuran

sikap yaitu :

a. Thrustone

Metode penskalaan Thrustone sering disebut sebagai metode interval tampak setara.

Metode penskalaan pernyataan sikap ini dengan pendekatan stimulus yang artinya

penskalaan dalam pendekatan ini ditujukan untuk meletakkan stimulus atau

pernyataan sikap pada suatu kontinum psikologis yang akan menunjukkan derajat

favourable atau tak favourable pernyataan yang bersangkutan.Dengan metode ini

perlu ditetapkan adanya sekelompok orang yang akan bertindak sebagai panel

penilai (judging group). Tugasnya adalah menilai satu penyataan per satu dan

kemudian menilai atau memperkirakan derajat favourable atau tak favourablenya

menurut suatu kontinum yang bergerak dari 1 sampai dengan 11 titik. Anggota

panel tidak boleh dipengaruhi oleh oleh rasa setuju atau tidak setujunya pada isi

pernyataan melainkan semata-mata berdasarkan penilaiannya pada sifat

favourablenya. Dalam menentukan penilaian derajat favourable atau tak favourable

setiap pernyataan sikap, kepada kelompok penilai disajikan suatu kontinum

psikologis dalam bentuk deretan kotak-kotak yang diberi huruf A sampai dengan K.
b. Likert

Menurut Likert dalam buku Azwar S (2011, p. 139), sikap dapat diukur dengan

metode rating yang dijumlahkan (Method of Summated Ratings). Metode ini

merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi

respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Nilai skala setiap pernyataan tidak

ditentukan oleh derajat favourable nya masing-masing akan tetapi ditentukan oleh

distribusi respons setuju dan tidak setuju dari sekelompok responden yang

bertindak sebagai kelompok uji coba (pilot study) Prosedur penskalaan dengan

metode rating yang dijumlahkan didasari oleh 2 asumsi (Azwar S, 2011, p 139),

yaitu: a. Setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai

pernyataan yang favorable atau pernyataan yang tidak favourable. b. Jawaban yang

diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai

yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang

mempunyai pernyataan negatif. Suatu cara untuk memberikan interpretasi terhadap

skor individual dalam skala rating yang dijumlahkan adalah dengan

membandingkan skor tersebut dengan harga rata-rata atau mean skor kelompok di

mana responden itu termasuk (Azwar S, 2011, p.155). Salah satu skor standar yang

biasanya digunakan dalam skala model Likert adalah skor-T, yaitu:


Perlu pula diingat bahwa perhitungan harga x dan s tidak dilakukan pada distribusi

skor total keseluruhan responden, yaitu skor sikap para responden untuk

keseluruhan pernyataan (Azwar S, 2011, p.156). Skor sikap yaitu skor X perlu

diubah ke dalam skor T agar dapat diinterpretasikan. Skor T tidak tergantung pada

banyaknya pernyataan, akan tetapi tergantung pada mean dan deviasi standar pada

skor kelompok. Jika skor T yang didapat lebih besar dari nilai mean maka

mempunyai sikap cenderung lebih favourable atau positif. Sebaliknya jika skor T

yang didapat lebih kecil dari nilai mean maka mempunyai sikap cenderung tidak

favourable atau negatif (Azwar S, 2011, p. 157).


2.2 Konsep Oral Hygiene

2.2.1 Defenisi Oral Hygiene

Menurut (Potter & Perry, 2005). Oral hygiene adalah tindkan keperawatan yang

bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan status kesehatan mulut, gigi, gusi, bibir,

membersihkan gigi dari partikel-partikel makanan, plak dan bakteri, memasase gusi,

mengurangi ketidaknyamanan yang dihasilkan dari bau serta rasa yang tidak nyaman

(A’yun,Mariyam,dkk, 2021). Oral higiene merupakan tindakan perawatan untuk mem-

bersihkan area keseluruhan rongga mulut, mulai dari mulut, gigi, gusi dan lidah (Widyati

dkk, 2021). Oral hygiene merupakan salah satu tindakan keperawatan yang dilakukan agar

kondisi rongga mulut tetap bersih dan segar sehingga terhindar dari infeksi (Riandhyanita

dkk, 2017).

2.2.2 Etiologi Oral Hygiene

Bakteri yang ada di dalam mulut dapat menimbulkan penyakit. Penyakit yang

ditimbulkan tidak hanya berkaitan dengan kesehatan gigi dan mulut, tapi juga kesehatan

organ lain (Susilawati & Damayanti, 2020). Keadaan gigi dan mulut yang sehat dapat

membantu mencegah bakteri berkembang secara berlebihan dan mengurangi resiko

terbentuknya lapisan di permukaan gigi yang dapat menyebabkan penyakit (Sibarani,2014).

Keadaan gigi dan mulut yang tidak terawa memberikan bakteri di dalam mulut leluasa

untuk berkembang biak, sehingga memungkinkan terjadinya penyakit pada jaringan

periodontal dan karies gigi (Pudentianaet al., 2021) dalam (Maramis, 2022).
2.2.3 Tujuan Oral Hygiene

Wartonah (2016) menyatakan tujuan oral hygiene adalah :

1. Agar mulut tetap bersih / tidak berbau

2. Mencegah infeksi mulut, bibir dan lidah pecah-pecah stomatitis

3. Membantu merangsang nafsu makan

4. Meningkatkan daya tahan tubuh

5. Melaksanakan kebersihan perorangan

6. Merupakan suatu usaha pengobatan

2.2.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Oral Hgiene

1) Status Sosial Ekonomi Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan

tingkat praktik kebersihan yang digunakan. Hal ini berpengaruh terhadap

kemampuan klien menyediakan bahan-bahan yang penting seperti pasta gigi

(Wartonah, 2013).

2) Praktik Sosial Kelompok-kelompok sosial wadah seseorang berhubungan dapat

mempengaruhi praktek hygiene pribadi. Selama masa kanak-kanak, anak-anak

mendapatkan praktik oral hygiene dari orang tua mereka (Wartonah, 2013).

3) Pengetahuan Pengetahuan yang kurang dapat membuat orang enggan memenuhi

kebutuhan hygiene pribadi. Pengetahuan tentang oral hygiene dan implikasinya bagi

kesehatan mempengaruhi praktik oral hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu

sendiri tidaklah cukup. Klien juga harus termotivasi untuk melakukan oral hygiene

(Wartonah, 2013).

4) Status Kesehatan Klien paralisis atau memiliki restriksi fisik pada tangan

mengalami penurunan kekuatan tangan atau keterampilan yang diperlukan untuk

melakukan hygiene mulut. (Wartonah, 2013).


5) Cacat Jasmani / Mental Bawaan Kondisi cacat dan gangguan mental menghambat

kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri secara mandiri (Wartonah,

2013).
2.2.5 Pelaksanaan Oral Hygiene

Cara menggunakan kebersihan mulut Tanggung jawab perawat dalam perawatan dan

cara menggunakan kebersihan mulut pada pasien menurut (Istiqomah, 2018) adalah

sebagai berikut:

1. Tanggung jawab perawat pada hygiene mulut adalah pemeliharaan dengan

pencegahan. Hal ini penting khusus jika pasien hendak menerima radiasi atau

kemoterapi sebagai bagian dari pengobatan medis. Perawat membantu pasien untuk

mempertahankan hygiene mulut yang baik dengan menampilkan hygiene secara actual

pada pasie lemah atau cacat. Tujuan dari pemeliharaan gigi dan mulut meliputi supaya

mulut dan gigi tetap bersih dan tidak bau, mencegah infeksi pada mulut, kerusakan

gigi, bibir dan lidah pecah-pecah dan stomatitis, memberikan perasaan senang dan

segar pada pasien, membantu merangsang nafsu makan dan mendidik pasien dalam

kebersihan perorangan.

2. Peralatan dan prosedur tindakan oral hygiene Menurut Kozier (2010) :

1. Alat yang digunakan dalam oral hygiene pasien sadar

a. Sikat gigi b. Pasta gigi c. Gelas kumur berisi air d. Kom kumur

e. Handuk f. Sarung tangan g. Sedotan h. masker mulut

2) Prosedur perawatan oral hygiene pada pasien sadar

a. Menjelaskan prosedur kepada klien atau pasien

b. Cuci tangan

c. Memakai sarung tangan


d. Atur posisi pasien duduk

e. Pasang perlak dan handuk dibawah dagu dan pipi pasien

f. Membasahi sikat gigi dengan sedikit air dan pasta gigi

g. Menganjurkan pasien untuk sikat gigi jika mampu atau bantu pasien

sikat gigi bila tidak mampu

h. Gigi bagian belakang, bagian dalam atas dan luar gigi (sikat dari

belakang kedepan dengan menggunakan gerakan dari atas kebawah

i. Gigi bagian depan (sikat bagian luar gigi dengan gigi dikatupkan)

j. Buka mulut, sikat bagian atas dan bagian dalam gigi

k. Sikat dengan lembut bagian dalam pipi, bibir, gusi dan lidah.

l. Menganjurkan pasien untuk berkumurdan air bekas kumur ditampung

dalam kom kumur

m. Mengusap mulut dengan handuk, kembalikan handuk pada

tempatnya

n. Mencuci sikat gigi, gelas dan kom kumur dibawah air mengalir,

mengeringkan dan mengembalikan pada tempatnya

o. Lepas sarung tangan.


3) Alat yang digunakan dalam oral hygiene pasien tidak sadar :

a. Sikat gigi

b. Pasta gigi

c. Gelas kumur berisi air

d. Kom kumur

e. Handuk

f. Sarung tangan

g. Suction

h. Sudip lidah

i. Kasa dan depress

j. Bengkok

k. Sepuit

1. Kapas lidi dan masker

m. Pinset anatomi 2 buah

n. NaCl atau perhidrol atau cairan antiseptik

o. Pelembab bibir (boraxglycerin, gentianviolet).

4) Prosedur perawatan oral hygiene pasien tidak sadar :

a. Menjelaskan prosedur kepada klien atau keluarga

b. Mencuci tangan
c. Memakai sarung tangan

d. Menutup jendela, pintu dan tirai

e. Memposisikan pasiensemi flower dan kepala miring kearah perawat

f. Memasang handuk dibawah dagu

g. Membuka mulut dengan sudip lidah yang dibungkus kasa

h. Membasahi sikat gigi yang telah diberi pasta gigi atau kasa dengan air

matang atau NaCl atau perhidrol

i. Membersihkan gusi, bagian dalam gigi, bagian luar gigi, lidah dan

langit-langit

j. Menyemprotkan air dengan spuit kepermukaan gigi

k. Membersihkan sisa air yang ada dengan suction atau kasa

1. Mengoleskan pelembab bibir dengan kapas lidi m. Melepas sarung

Tangan (Istiqomah, 2018).


2.3 Konsep Ventilator Associated Pneumonia

2.3.1 Definisi Ventilator Associated Pneumonia

Ventilator associated pneumonia atau VAP didefinisikan sebagai pneumonia yang

terjadi >48 jam setelah intubasi endotrakeal (Setyawati, Sujud, Indriasari, 2020).

VAP adalah infeksi nosokomial pneumonia yang terjadi setelah 48 jam pada pasien

dengan pemasangan ventilator mekanik, baik melalui pipa endotrakeal maupun pipa

trakeostomi (Riatsa A, 2016).

2.3.2 Etiologi Ventilator Associated Pneumonia

Etiologi VAP meliputi spektrum mikroorganisme yang luas, dapat bersifat

polimikrobial tetapi jarang disebabkan oleh jamur atau virus pada pasien imunokompeten.

Perbedaan mikroorganisme antara satu tempat dengan yang lainnya dipengaruhi oleh

populasi pasien di ICU, lama perawatan di rumah sakit dan ICU, metode diagnostik yang

digunakan, pemberian antibiotika sebelumnya (Nugroho, 2018).

Bakteri penyebab VAP dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset atau

lamanya pola kuman. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram negatif

(Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Serratai marcescens),

Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia, dan Methicillin Sensitive Staphylococcus

Aureus (MSSA). Bakteri kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman

anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus (MRSA).

Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter spp, dan

MRSA (Banuera, 2021).


2.3.3 Patofisiologi Ventilator Associated Pneumonia

Patofisiologi dari VAP adalah melibatkan dua proses utama yaitu kolonisasi pada

saluran pernapasan dan saluran percernaan serta aspirasi secret dari jalan napas atas dan

bawah. Kolonisasi bakteri mengacu pada keberadaan bakteri tanpa adanya gejala. Kolonisasi

bakteri pada paru-paru dapat disebabkan oleh penyebaran organisme dari berbagai sumber,

termasuk orofaring, rongga sinus, nares, plak gigi,saluran pencernaan, kontak pasien, dan

sirkuit ventilator. Inhalasi bakteri dari salah satu sumber ini dapat menyebabkan timbulnya

gejala, dan akhirnya terjadi VAP (Wiryana, 2007). Kolonisasi mikroorganisasi, patogen

dalam secret akan membentuk biofilm dalam saluran pernapasan. Mulai pada awal 12 jam

setelah intubasi, biofilm mengandung sejumlah besar bakteri yang dapat disebarluaskan ke

dalam paru-paru melalui ventilator. Pada keadaan seperti ini, biofilm dapat terlepas oleh

cairan ke dalam selang endotrakeal, suction, batuk, atau reposisi dari selang endotrakeal

(Niederman, 2005). Selang endotrakeal menyebabkan gangguan abnormal antara saluran

napas bagian atas dan trakea, melewati struktur dalam saluran napas bagian atas dan

memberikan bakteri jalan langsung ke saluran napas bagian bawah. Karena saluran napas

bagian atas kehilangan fungsi karena terpasang selang endotrakeal, kemampuan tubuh untuk

menyaring dan melembabkan udara mengalami penurunan. Selain itu, reflek batuk mengalami

penurunan bahkan hilang akibat pemasangan endotrakeal dan kebersihan mukosasilier bisa

terganggu karena cedera mukosa selama intubasi. Selang endotrakeal menjadi tempat bagi

bakteri untuk melekat di trakea, keadaan ini dapat meningkatkan produksi dan sekresi lendir

lebih lanjut. Penurunan mekanisme pertahanan diri alami tersebut meningkatkan

kemungkinan kolonisasi bakteri dan aspirasi (Augustyne, 2007) dalam (Da’watul, 2020).
2.3.4 Faktor yang mempengaruhi Ventilator Associated Pneumonia

Faktor yang memiliki peranan dalam mekanisme terjadinya penyakit yang dikenal

sebagai variabel epidemiologi (Yelda, 2014). Maka variabel dari epidemiologi infeksi

nosokomial, diantaranya adalah:

3. Orang

a. Usia

Pada penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kelompok yang berisiko terinfeksi

infeksi nosokomial lebih rendah pada pasien dewasa (18 - 40 tahun). Hal ini bersesuaian

dengan fakta bahwa orang dewasa memiliki status kesehatan keseluruhan yang lebih baik

(Ali et al., 2018). Dalam penelitian Hesti (2003) menyatakan bahwa pada usia tua (41 -

65tahun) dan usia yang sangat muda yakni balita (0 – 5 tahun) adalah kemompok usia

yang memiliki risiko tertinggi untu terinfeksi nosokomial.

b. Jenis Kelamin

Laki-laki memiliki peuang lebih besar terinfeksi di rumah sakit dibandingkan dengan

perempuan. Hal ini berhubungan dengan hygiene personal (Yelda, 2014). Higiene

perorangan memiliki peran penting dalam penularan infeksi. Dengan higiene perorangan

yang baik pada pasien, maka mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial tidak akan

bertahan lama di tubuh pasien.

c. Imunitas Tubuh

Gangguan yang terjadi pada mekanisme normal pertahanan tubuh akibat obat atau

intubasi trakeal dan perubahan pada sekresi hormon sitokinin yang berfungsi untuk

menghambat perkembangan bakteri dalam tubuh yang disebabkan oleh stres fisik dan

obat. Pasien dengan penyakit yang ganas cenderung akan memiliki respons imun yang

tidak normal, hal ini akibat dari proses terapi atau penyakit yang dilakukan pasien dapat

mengakibatkan menurunkan jumlah sel fagosit. (Ducel 2014).


d. Penggunaan Antibiotik

Dalam beberapa tahun terakhir pasien dengan penyakit immunocompromised terus

meningkat, begitu juga dengan bakteri resistan terhadap antibiotik, super infeksi virus dan

jamur, terus menyebabkan infeksi nosokomial yang menyebabkan 88.000 kasus kematian

pada setiap tahunnya (Light, 2013).

e. Penyakit Bawaan

Adanya penyakit bawaan pada pasien akan menjadikan risiko terkena infeksi semakin

tinggi. Penyakit diabetes adalah penyakit dengan risiko besar dalam studi faktor risiko dan

epidemiologi HAI dari unit perawatan intensif di India Utara (Datta, 2014). Penderita

diabetes ditambah dengan kondisi yang kritis atau gula darah yang tidak terkontrol,

terutama di wilayah Indonesia akan menjadi lebih rentan terhadap infeksi nosokomial,

salah satunnya adalah VAP dibandingkan dengan nondiabetik dan penderita diabetes

dengan kadar glukosa terkontrol (Vardakas 2014).

f. Tindakan invasif

Studi di Amerika Serikat dan Eropa Barat menyatakan bahwa tindakan invasif memiliki

hubungan dengan kejiadian infeksi nosokomial. Tindakan invasif terbanyak diantaranya

adalah penggunaan kateter vena sentral, penggunaan kateter arteri pulmonar, penggunaan

kateter urin, penggunaan ventilator mekanik, serta pemberian profilaksis ulkus peptikum

(Vardakas 2014). Jenis tindakan invasif yang dapat menjadi determinan kejadian infeksi

nosokomial adalah:

1. Central Venous Catheters (CVC)/ Kateter Vena Sentral

Kateter vena sentral merupakan suatu kateter yang dimasukkan kedalam vena besar

yang berada di leher (vena jugular interna), di dada (vena subclavian), di lengan

(vena basilica) atau di paha (vena femoralis). Pemasangan kateter vena sentral

diperlukan untuk memberi cairan, nutrisi parenteral jangka panjang, obatobatan


dengan konsentrasi pekat dan iritatif (seperti calcium chloride, chemotherapy,

hypertonic saline, potassium chloride, amiodarone), plasmapheresis, dialysis,

transfusi berulang, monitoring tekanan vena sentral, resusitasi cairan intravena

dengan volume besar dapat secara cepat diberikan melalui kateter vena sentral

dengan ukuran besar karena kecepatan aliran yang tinggi. Kesulitan pemasangan

kateter vena perifer pada pasien dengan syok karena vasokonstriksi perifer

merupakan salah satu indikasi pemasangan kateter vena sentral. Pemberian obat-

obatan pada resusitasi jantung paru lebih efektif melalui kateter vena sentral

dibandingkan vena perifer karena obat-obatan tersebut langsung mempengaruhi

jantung dan didistribusikan ke seluruh tubuh (Pepe, 2016).

2. Tabung endotrakeal (ETT)/intubasi endotrakeal Intubasi trakea

Tabung endotrakeal (ETT) merupakan suatu prosedur medis yang melibatkan

memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea melalui glotis sehingga ujung distal

berada di tengah trakea, yaitu antara pita suara dan percabangan trakea (Latief,

2013). Intubasi trakea adalah salah satu teknik umum anestesi inhalasi yang

memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi berupa gas atau cairan volatil melalui

alat / mesin anestesi langsung ke udara yang dihirup. Tabung endotrakeal terbuat

dari karet atau plastik. Beberapa operasi, seperti di daerah kepala dan leher,

memerlukan tabung kaku dengan nilon atau heliks besi (tidak bengkok). Untuk

mencegah kebocoran saluran napas, kebanyakan tabung endotrakeal memiliki balon

(manset) di ujung distalnya. Indikasi dari intubasi trakea diantaranya untuk menjaga

patensi jalan nafas, mempermudah ventilasi dan oksigenasi positif, dan juga

mencegah aspirasi dan regurgitasi (Latief, 2013).


3. Kateter Urine

Kateter urine adalah sebuah selang karet atau plastik (kateter) yang dimasukkan ke

dalam vesika urinaria (kandung kemih) melalui uretra (Asmadi, 2016). Ada tiga

jenis kateter urine, yaitu kateter dengan satu saluran pembuangan (lumen), dengan

dua saluran pembuangan (lumen) dan dengan tiga saluran pembuangan (lumen).

Kateter dengan satu lumen dipakai untuk tujuan satu kali, kateter dengan dua lumen

adalah kateter yang ditinggal tetap disitu satu lumen dipakai sebagai saluran

pembuangan urine, lumen yang lain dipakai untuk mengisi dan mengosongkan

balon yang dipasang pada ujungnya. Kateter dengan tiga lumen, terutama dipakai

untuk tujuan membilas kandung kemih. Disini satu lumen dipakai untuk

memasukkan cairan pembilas, satu sebagai saluran pembuangan cairan, dan satu

untuk balon penampungan (Smeltzer & Bare, 2012). Menurut Kozier (2010),

terdapat 4 jenis kateter berdasarkan bahan yang digunakan, yaitu: (a) Kateter plastik

yang digunakan untuk sementara karena mudah rusak dan tidak fleksibel; (b)

Kateter latex/karet yang digunakan untuk penggunaan/pemakaian dalam jangka

waktu singkat (kurang dari 2 atau 3 minggu); (c) Kateter silikon murni/teflon

digunakan untuk jangka waktu lama 2-3 bulan karena bahan lebih lentur pada

meatus uretra; dan (d) Kateter PVC (Polyvinylchloride) merupakan kateter dengan

harga yang sangat mahal, diperuntukan penggunaan 4-6 minggu, terbuat dari bahan

yang lembut, tidak panas dan nyaman bagi uretra.

4. Operasi

Pembedahan atau operasi adalah seluruh tindakan pengobatan yang dilakukan

dengan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh (LeMone

dan Burke, 2014). Pada umumnya operasi dilakukan dengan membuat sayatan pada

bagian tubuh yang akan ditangani, lalu dilakukan tindakan perbaikan dan diakhiri
dengan menutup dan menjahit luka. (Sjamsuhidajat, 2010). Pembedahan dilakukan

untuk mendiagnosa atau mengobati suatu penyakit, cedera atau cacat, serta

mengobati kondisi yang sulit atau tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obat-

obatan sederhana (Potter dan Perry 2015). Ada 3 faktor penting yang terkait dalam

pembedahan yaitu penyakit pasien, jenis pembedahan dan pasien itu sendiri. Dari

ketiga faktor tersebut, tindakan pembedahan adalah hal yang baik/benar. Bagi

pasien sendiri, pembedahan adalah hal yang paling mengerikan yang pernah

mereka alami. Mengingat hal tersebut di atas, sangatlah penting untuk melibatkan

pasien dalam setiap langkah langkah pre oiperatif (Baradero & Mary, 2016).

g. Jenis Kuman

Studi di Amerika Serikat dan Eropa Barat mendapatkan jenis bakteri yang menyebabkan

infeksi nosokomial paling sering adalah tipe infeksi sistemik dan infeksi luka operasi,

yaitu Staphylococcus dan Enterococcus. Sedangkan bakteri yang sering menyebabkan

infeksi saluran napas bawah adalah Pseudomonas aeruginosa. Jenis kandida dan E. coli

merupakan penyebab paling sering dari infeksi saluran kemih. Namun terjadi pergeseran

jenis kuman penyebab infeksi nosokomial, karena saat ini infeksi bakteri Gram positif dan

jamur lebih sering dijumpai (Ducel, 2012). Menurut Departemen Kesehatan 2007 kuman

penyebab infeksi nosokomial terbagi menjadi 3 jenis golongan, diantaranya:

1. Conventional Patogens Kelompok ini menyebabkan penyakit pada orang sehat

karena tidak memiliki daya tahan tubuh terhadap kuman seperti Staphylococcus

aureus, Streptococcus, Salmonella, Shigella, virus influenza, dan virus hepatitis.

2. Conditional Patogens Golongan kuman penyebab penyakit jika terdapat faktor

predisposisi spesifik pada orang dengan daya tahan tubuh menurun terhadap

infeksi (termasuk neonati) atau kuman langsung masuk kedalam jaringan tubuh/
bagian tubuh yang biasanya steril. Misalnya Pseudomonus, Proteus, Klebsiella,

Serralia dan Enterobacter.

3. Opportunistic Patogens Kelompok yang menyebabkan penyakit umum pada

pasien dengan gangguan kekebalan yang parah, seperti Mycobacteria, Nocardia,

Pneumocytis.

4. Tempat

c. Lingkungan

Lingkungan rumah sakit yang padat, sering terjadi perpindahan ruangan antar pasien

sehingga rentan mengalami infeksi dalam suatu area serta penaganan alat medis yang

belum tepat mempengaruhi tingkat infeksi (Ducel, 2012).

d. Alat medis

alat medis pada pasien memiliki risiko terinfeksi lebih besar daripada pasien yang

tidak menggunakan alat medis. Dengan penggunaan alat medis, maka dapat membantu

proses pengobatan pada suatu pasien yang memiliki beberapa penyakit sehingga

memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap infeksi. peralatan medis yang

digunakan dapat menjadi perantara bagi mikroorganisme dari lingkungan untuk masuk

ke dalam tubuh pasien, transfer patogen dari tubuh pasien satu ke tubuh pasien

lainnya, serta bertindak sebagai tempat berkembang biak patogen yang terlindungi dari

sistem imun tubuh pasien (Ducel, 2012).

e. Ruang rawat

Kepadatan dari ruang perawatan pasien mampu meningkatkan penyebaran infeksi

antara satu pasien kepada pasien lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan Rashella

(2012) ruang ICU menjadi ruang perawatan yang memiliki pasien dengan kasus

infeksi nosokomial tertinggi dibanding ruang perawatan lainnya di rumah sakit. Hal ini

dikarenakan pasien yang dirawat di ruang ICU tentu menggunakan satu atau lebih alat
kedokteran yang memiliki sifat invasif sehingga dapat menyebabkan terpajannya

bagian tubuh pasien ke lingkungan luar yang seharusnya bagian tersebut dalam

kondisi steril.

5. Waktu

Perubahan pola penyakit berdasarkan waktu yaitu menampakkan perubahan yang terjadi

berdasar lama rawat pasien. Semakin lama pasien menjalani perawatan atau pelayanan

kesehatan secara menginap di rumah sakit ataupun pelayanan kesehatan lainnya, tentu akan

meningkatkan risiko pasien terpapar berbagai mikroorganisme yang dapat menyebabkan

infeksi (Sazkiah, 2021).

2.3.5 Manifestasi Ventilator Associated Pneumonia

Salah satu manifestasi cedera paru akibat ventilator adalah distensi alveoli dan

volutrauma. Salah satu akibat volutrauma adalah ruptur alveoli, disertal lolosnya gas dari

ruang udara distal. Bentuk cedera yang dapat disalahartikan sebagai barotrauma pulmonal ini

terjadi pada 25% pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik. Lolosnya gas dari alveoli dapat

menyebabkan beragam manifestasi klinis. Gas alveoli dapat memotong jaringan di sepanjang

plana dan menyebabkan emfisema interstisial paru. Udara dapat berpindah ke dalam

mediastinum dan menyebabkan pneumomediastinum. Gas mediastinum dapat berpindah ke

leher dan menyebabkan emfisema subkutis atau lolos ke bawah diafragma dan menyebabkan

pneumoperitoneum. Pada akhirnya, jika ruptur alveoli melibatkan pleura viseral, gas akan

berkumpul di ruang pleura dan menyebabkan pneumotoraks. Setiap komplikasi ini dapat

terjadi sendiri atau bersamaan dengan komplikasi lain (Rehatta dkk, 2019).
2.3.6 Patogensesis Ventilator Associated Pneumonia

Saluran pernapasan normal memiliki mekanisme pertahanan terhadap infeksi seperti

glottis dan laring, reflek batuk, sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral

serta sistem fagositik yaitu makrofag alveolar dan neutrofil. Pneumonia terjadi bila sistem

pertahanan tersebut terganggu, terdapat invasi mikroorganisme virulen atau mikroorganisme

dalam jumlah sangat banyak. Sebagian besar VAP disebabkan oleh mikroaspirasi kolonisasi

kuman pada mukosa orofaring. Intubasi mempermudah masuknya kuman kedalam paru serta

menyebabkan kontaminasi dan kolonisasi di ujung pipa endotrakeal. Bronkoskopi serat optik,

penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat mendorong kontaminasi

kuman patogen ke dalam saluran napas bawah. Enterobacteriaceae umumnya ditemukan di

saluran orofaring sedangkan P. aeruginosa lebih sering ditemukan di trakea. Koloni kuman

gram negatif sering ditemukan di saluran pernapasan atas saat perawatan lebih dari lima hari.

Berbagai peralatan medis seperti alat nebulasi, sirkuit ventilator atau humidifier juga dapat

menjadi sumber infeksi. Ventilator associated pneumonia (VAP) dapat pula terjadi melalui

cara lain diantaranya akibat makroaspirasi material/isi lambung pada beberapa passion

meskipun peran saluran cerna sebagai sumber kolonisasi asendens ke daerah orofaring dan

trakeal masih menjadi kontroversi. Penelitian terhadap 130 pasien diintubasi menemukan

kuman gram negatif dalam trakea 58% pasien yang mendapatkan pengobatan antacid dan

antagonis H2 serta 30% pasien yang mendapatkan sukralfat. Sumber patogen ini meliputi

sinus-sinus paranasal, plak gigi, daerah subglotis antara pita suara dan endotracheal tube cuff

(Roozaliyani dkk, 2010) dalam (Choiroh, 2020).


2.3.7 Diagnosis Ventilator Associated Pneumonia

Diagnosis VAP ditemukan oleh 3 penanda infeksi sistemik yaitu adanya demam dan

leukositosis disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di foto thorax dan penemuan

bakteri penyebab infeksi paru. Menurut Torres dkk menyatakan bahwa diagnosis VAP meliputi

tandatanda infiltrat baru maupun progesif pada foto thorax disetai adanya gejala demam,

leukositosis maupun leukopenia dan secret purulent. Spesifitas diagnosis dapat ditingatkan

dengan menghitung Clinical pulmonary infection score (CPIS) yang mengkombinasikan data

klinis, laboratorium, perbandingan tekanan oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/F1O2)dan

foto thorax. Penilaian CPIS (Clinical Pulmonary Infection Score) dilakukan dalam 48 jam sejak

pasien terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik di Intensive Care Unit (ICU) dan

pemeriksaan mikrobiologi dilakukan terdapat gejala klinis. Selanjutnya CPIS dilakukan secara

berkala, biakan kuman diambil dengan teknik protected specimen brush, bronchoalveolar

lavage, ataupun blind suctioning secret bronkial. Diagnosis ditegakkan setelah menyingkirkan

adanya infeksi pneumonia sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (community acquired

pneumonia). Bila dari awal pasien masuk diruang ICU sudah menunjukkan adanya infeksi

pneumonia maka diagnosis VAP harus disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan

kuman didapatkan 48 jam dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS > 6, maka diagnosis

VAP dapat ditegakkan, jika nilai total CPIS < 6 maka diagnosis disingkirkan. Menurut Provoa

dkk, menyimpulkan bahwa selain parameter klinis sebagai evaluasi terhadap pengobatan

antibiotik, penilaian C- reactive protein (CRP) dapat mengidentifikasikan perbaikan maupun

perburukan klinis penderita. Hasil pengukuran CRP lebih besar 0,6 kali dibandingkan nilai

awal pada hari ke empat merupakan pertanda perburukan denagn sensivitas 92% dan

spesifikasi 59%. Adanya penurunan kosentrasi CRP menunjukkan resolusi sedangkan proees

inflamasi berhubungan dengan perbaikan klinis sedangkan peningkatan CRP yang menetap

menunjukkan prognosis yang buruk (Da’watul, 2020).


2.3.8 Penatalaksanaan

Ventilator Associated Pneumonia Pemberian antibiotika pada pasien ICU kurang lebih

50% adalah ditujukan untuk infeksi saluran pernapasan. Menurut Luna dkk menyebutkan

bahwa pemberian antibiotika yang adekuat sejak lama dapat meningkatkan angka ketahanan

hidup penderita VAP pada saat mikrobiologik belum tersedia. Penelitian yang dilakukan di

Prancis menunjukkan hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal

dapat mengidentifikasi pemberian antibiotika pada 95% penderita VAP sambil menunggu

hasil biakan BAL. Menurut Fowler dkk, memberikan hasil bahwa penderita yang

mendapatkan pengobatan penisilin antipseuomonas ditambah penghambat B laktanase serta

aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam merupakan

antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%),

vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminiglikosida (25%) Menurut Singh dkk, bahwa

siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar kuman Enterobacteriaecea, Haemophilus

influenza dan Staphylococcos aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari

pada penderita dengan kecenderungan VAP rendah (Da’watul, 2020).


2.3.9 Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia

Olson dkk melaporkan bahwa silvercoated tube mengurangi pembentukan biofilm

sehingga dapat mengurangi pertumbuhan kuman dengan angka risiko kecil, selain itu juga

memperlambat durasi pertumbuhan internal dari 1,8 = 0,4 menjadi 3,2 = 0,8 hari. Penderita di

ICU yang mendapatkan pengaliran subglotik intermitten memiliki insiden VAP lebih rendah

secara bermakna dibandingkan dengan kontrol. Pengurangan penggunaan antibiotik di ICU

juga dapat menurunkan insiden pneumonia nosokomial akibat resisten obat. Salah satu

intervensi yang berkaitan dengan penurunan insidensi VAP dan penggunaan antibiotik adalah

ventilasi non infasif pada penderita gagal napas akut. Pencegahan terhadap VAP dibagi

menjadi 2 kategori yakni strategi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan

pertumbuhan saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi non farmakologi yang

bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi. Intervensi dengan tujuan mencegah

pertumbuhan saluran cerna

1. Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu

2. Membatasi profilaksis tukak lambung pada penderita risiko tinggi

3. Menggunakan sulkrafat sebagai profikasis tukak lambung

4. Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif

5. Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut

6. Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi

7. Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita

8. Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR

Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi


1. Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera mungkin

2. Posisi penderita semirecumbernt atau ½ duduk

3. Menghindari distensi lambung berlebihan

4. Intubasi oral atau non nasal

5. Penyaliaran subglotik

6. Penyaliran sirkuit ventilator

7. Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan

8. Ventilasi masker non invasif untuk mencegah intubasi trakea

9. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan

Pencegahan non farmakologi lebih mudah dan lebih murah untuk dilaksanakan bila

dibandingkan dengan pencegahan VAP secara farmakologi, yang meliputi menghindari

intubasi trakea, penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin, pembagian kerja tenaga

kesehatan, subglottic suctioning. Intubasi non nasal, menghindari manipulasi yang tidak perlu

pada sirkuit ventilator, pemakaian heat and moisture exchangers, posisi setengah duduk,

menghindari lambung penuh, pencegahan terbentuknya biofilm, dan mencuci tangan dan

pemakaian desifektan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita. Sedangkan pencegahan

VAP secara farmakologi meliputi pertumbuhan traktus orodigestif, pencegahan pembentukan

biofilm kuman, dan menghindari penggunaan profilaksis stress ulcer yang berlebihan.

Meskipun pencegahan VAP secara non farmakologi sudah menjadi prosedur baku di ICU

namun angka kejadian VAP masih cukup tinggi sehingga masih perlu ditambahkan

pencegahan VAP secara farmakologi.


Pencegahan VAP secara farmakologi terbukti mampu menurunkan kejadian VAP bila

dibandingkan dengan pencegahan non farmakologi saja. Beberapa penelitian menyatakan

bahwa depertumbuhan traktus otodigestif bisa menurunkan kejadian VAP secara bermakna.

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara selective docontamination of the digestive

(SDD) atau oropharyngeal decountamination (OD). Semula pencegahan dilakukan dengan

menggunakan dengan menggunakan antibiotika, baik topikan dan atau antibiotika sistemik,

namun ternyata pemakaian antibiotika menimbulkan suatu keadaan resistensi bakteri terhadap

antibiotika, sehingga saat ini pemakaian rutin tidak lagi dianjurkan.

Berdasarkan penelitian Fourrier dkk, didapat data bahwa terdapat pengurangan jumlah

pertumbuhan bakteri gigi sebesar 37% pada penderita yang mendapatkan OD memakai gel

chlorhexidine 0,12%. Pengurangan jumlah pertumbuhan ini potensial mengurangi insiden

infeksi nosokomial di ICU. Center for Disease Control and Prevention (CDC)

mempublikasikan bahwa pemakaian chlorhexidine 0,12% pada perioperatif bedah jantung

terbukti dapat menurunkan resiko terjadinya VAP. Pada penelitian meta analisis yang

dilakukan oleh Chan dan kawan-kawan, dari 11 penelitian diperoleh data bahwa

chlorhexidine mampu mengurangi insiden VAP bukan hanya pada penderita paska bedah

jantung tapi juga pada penderita yang dirawat di ICU.

Protap pengendalian VAP Bundle pada Permenkes 27/2017

1. Membersihkan tangan setiap akan melakukan kegiatan terhadap pasien dengan

menggunakan lima momen kebersihan tangan

2. Memposisikan tempat tidur antara 30-45 bila tidak ada kontra indikasi misalnya trauma

kepala ataupun cidera tulang belakang


3. Membersihkan kebersihan mulut oral hygiene setiap 2-4 jam dengan menggunakan bahan

dasar antiseptic clorhexidine 0,2% dan dilakukan gosok gigi setiap 12 jam sekali

4. Melakukan manajemen sekresi oroparingeal dan trakeal

a. Suctioning bila dibutuhkan saja dengan memperhatikan teknik aseptic

b. Petugas yang melakukan suctioning pada pasien yang terpasang ventilator

menggunakan alat pelindung diri (APD)

c. Menggunakan kateter suction sekali pakai

d. Tidak sering membuka selang / tubing ventilator

e. Memperlihatkan kelembaban pada humidifier ventilator

f. Mengganti tubing ventilator bila kotor 39

5. Melakukan pengkajian ‘sedasi dan extubasi’ setiap hari

a. Melakukan pengkajian penggunaan obat sedasi dan dosis obat tersebut

b. Melakukan pengkajian secara rutin akan respon pasien terhadap penggunaan obat

sedasi tersebut

c. Membangunkan pasien setiap hari dan menilai responnya untuk melihat apakah sudah

dapat dilakukan penyapihan modus pemberian ventilasi

6. Memberikan Peptic ulcer disease Propylaxis pada pasien resiko tinggi

7. Memberikan Deep Vein Trombosis (DVT) Propylaxis (Da’watul, 2020).


2.3.10 Komplikasi Ventilator Associated Pneumonia

Proses intubasi dalam pemasangan ventilator mekanik dapat menyebabkan cedera pada

saluran pernapasan dan mempermudah masuknya kuman ke dalam paru sehingga

menyebabkan terjadinya kontaminasi dan kolonisasi di ujung pipa endotrakeal. Infeksi

lanjutan lebih dari 48 jam dapat menyebabkan prognosis pasien memburuk dan meningkatkan

mortalitas (Noviyanti dkk, 2022).

Pada pasien yang selamat, dapat terjadi komplikasi pembentukan abses. Sebaliknya,

aspirasi mikrob dapat terjadi pada banyak orang, terutama mereka dengan refluks

gastroesofagus, dan dapat mengeksaserbasi penyakit paru yang lain, namun tidak

mengakibatkan pneumonia. (Kumar dkk, 2019).


2.4 Kerangka Teori

Pasien Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

Oral hygiene :
Faktor yang mempengaruhi VAP : Ventilator Associated Pneumonia (VAP) :
Merupakan tindakan perawatan
Orang ; infeksi nosokomial pneumonia yang terjadi
untuk membersihkan area
Usia setelah 48 jam pada pasien dengan
keseluruhan rongga mulut Jenis kelamin pemasangan ventilator mekanik atau
Imunitas tubuh melalui pipa endotrakeal
Penggunaan antibiotik
Penyakit bawaan
Tindakan intensif
Jenis kuman
Oral hygiene Pelaksanaan Oral Hygiene
Tempat Peralatan dan prosedur tindakan oral
Waktu hygiene :
Alat yang digunakan dalam oral hygiene
Faktor yang mempengaruhi Oral pasien sadar
Hygiene : Peralatan dan prosedur tindakan oral
Status sosial ekonomi hygiene
Praktik sosial kelompok Tenaga kesehatan yang Alat yang digunakan dalam oral hygiene
Pengetahuan melakukan oral hygiene : pasien tidak sadar
Status kesehatan Perawat rosedur perawatan oral hygiene pasien
Cacat jasmani/mental bawaan tidak sadar

Sikap perawat
Baik 2. Cukup 3. Kurang

Gambar 2.4 : Kerangka Teori


2.5 Kerangka Konseptual

Faktor yang mempengaruhi


VAP :
1. Orang ;

a. Usia

b. Jenis kelamin

c. Imunitas tubuh

d. Penggunaan antibiotik

e. Penyakit bawaan
Pelaksanaan Oral
f. Oral hygiene Hygiene
g. Jenis kuman

h. Tindakan intensif

2. Tempat

3. Waktu Baik,Cukup,
Sikap Perawat
Kurang

Keterangan : : Diteliti

: Tidak Diteliti

Gambar 2.5 : Kerangka Konseptual


2.6 Hipotesis penelitian

Hipotesis penelitian adalah hipotesis kerja (hipotesis alternative Ha atau H1), yaitu

hipotesis yang disrumuskan untuk menjawab permasalahan dengan menggunakan teori-teori

yang ada hubungannya (relevan) dengan masalah penelitian dan belum berdasarkan fakta serta

dukungan data yang nyata di lapangan (jaya, 2019).

H0 : Tidak Ada hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan oral hgiene pada pasien yang

menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut

H1 : Ada Hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan oral hgiene pada pasien yang

menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut


BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan di uraikan tentang 1) Desain Penelitian, 2) Populasi, Sampling dan Sampel, 3)

Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 4) Prosedur Penelitian 5) Pengumpulan Data, 6)

Pengolahan Data, dan 7) Etika Penelitian.

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah rencana sistematis sebagai kerangka yang dibuat untuk

mencari jawaban atas pertanyaan penelitian (Ismail Nurdin, 2019 ). Desain dalam

penelitian ini adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional yaitu penelitian

yang menekan waktu pengukuran atau observasi data variable independen dan dependen

hanya satu kali pada satu saat (Nursalam, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan oral hgiene pada pasien yang menggunakan

ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut di ICU Rsu Anwar Medika Kota

Sidoarjo

3.2. Populasi, Sampling, Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan objek yang di diteliti, baik berupa orang, benda

kejadian, nilai maupun hal-hal yang terjadi (Arifin.Z, 2011:215) dikutip dalam ( Adhi

Kusumastuti, dkk, 2020). Populasi adalah lokasi generalisasi atau penyamarataan yang

didalamnya mencakup objek dan subjek yang memiliki sifat dan kualitas yang

bermacam-macam, dimana peneliti akan melakukan penelitian untuk menghasilan teori

yang nantinya diambil kesimpulannya (Aloysius Rangga Aditya Nalendra,dkk, 2021).


3.2.2 Teknik Sampling

Sampling adalah proses untuk mendapatkan sampel dari suatu populasi sebagaimana

harus benar-benar mencerminkan populasi artinya kesimpulan yang diangkat dari sampel

merupakan kesimpulan atas populasi (Umrati, 2020). Dalam penelitian ini pengambilan

sampel menggunakan teknik

3.2.3 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah maupun karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut (Sugiono, 2019). Sampel dalam penelitian ini adalah :

Terdapat kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi, dimana kriteria

tersebut digunakan untuk menentukan dapat tidaknya dijadikan sampel.

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang akan menyaring anggota populasi

menjadi sampel yang memenuhi kriteria secara teori yang sesuai dan terkait dengan

topik dan kondisi penelitian. Atau dengan kata lain, kriteria inklusi merupakan ciri-

ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai

sampel (Imas Masturoh N. A., 2018).

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria ekslusi adalah kriteria yang dapat digunakan untuk mengeluarkan

anggota sampel dari kriteria inklusi atau dengan kata lain ciri-ciri anggota populasi

yang tidak dapat diambil sebagai sampel (Imas Masturoh N. A., 2018).
3.3 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

3.3.1 Identifikasi Variable Penelitian

Variable adalah karakteristik dari orang, objek, atau kejadian yang berbeda dalam

nilai-nilai yang dijumpai pada orang, objek, atau kejadian itu (Slamet Riyanto, 2020).

Variabel dalam penelitian ini yaitu:

1. Variabel Independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab

timbulnya variabel terikat (Sugiono, 2019). Variabel independen dalam penelitian

ini adalah sikap perawat dengan pelaksanaan oral hgiene

2. Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen adalah viabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena

adanya variabel bebas (Sugiono, 2019). Variabel dependen dalam penelitian ini

adalah pasien yang menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga

mulut
3.3.2 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional berdasarkan

karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau

pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (H. Anang Setiana,dkk,

2021). Defenisi operasional dari variabel yang diteliti dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.3.2 Definisi Operasional Hubungan Sikap Perawat Dengan Pelaksanaan

Oral Hgiene Pada Pasien Yang Menggunakan Ventilator Associated Pneumonia

(VAP) Rongga Mulut

Variabel D
Defenisi
Indikator Alat Ukur Skala Kriteria
Operasional
Sikap perawat Tindakan Perawat Obervasi Nominal Sikap perawat
dalam yang pelaksana yang
pelaksanaan merupakan merawat pasien 1. Baik
oral hgiene sikap caring dalam 2. Cukup
seorang mengaplikasika 3. kurang
perawat n oral hygiene pelaksanaan oral
dalam hygiene sesuai
menjalankan SPO
rutinitas
pekerjaan
setiap
harinya.
Penggunaan Suatu alat Pasien yang Kuesioner Nominal 1. Pertama kali
VAP yang menggunakan dan
Penggunaan VAP
berfungsi VAP Observasi
sebagai
pneumonia 2. Pengguanaan
yang terjadi
>48 jam VAP yang
setelah berulang
intubasi
endotrakeal
3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Proses penelitian

1. Penelitian dimulai dengan pengajuan judul dan fenomena ke dosen pembimbing 1 dan

pembimbing 2 untuk bisa mendapat permasalahan yang akan digunakan sebagai topik

penelitian.

2. Setelah permasalahan telah didapat dan judul telah di acc oleh kedua pembimbing, maka

selanjutnya judul tersebut dibawah ke prodi untuk di screaning terlebih dahulu agar tidak

sama dengan kaka tingkat sebelumnya atau dengan teman seangkatan.

3. Setelah judul telah di screaning dan dinyatakan lolos maka, selanjutnya peneliti mulai

melakukan pembuatan Bab 1, 2 dan 3 sambil konsultasi dengan dosen pemimbing 1 dan

dosen pemimbing 2

4. Selanjutnya setelah di Acc Bab 1,2 dan 3 oleh kedua dosen pemimbing maka, peneliti

meminta surat penelitan untuk mengambil studi pendahuluan ke bagian kepengurusan

program studi S1 Keperawatan Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto dengan tujuan

penelitian di ICU Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo

5. Surat yang telah diterima kemudian diantarkan ke ICU Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo

dan menunggu balasan surat dari ICU Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo guna untuk

mendapat surat pernyataan boleh dilakukannya studi pendahuluan penelitian di tempat

tersebut. Setelah didapatkan surat balasan barulah peneliti boleh meminta data yang

diinginkan dari ICU Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo

6. Pada tahap awal penelitian, peneliti mulai mengidentifikasi responden sesuai dengan

yang diinginkan oleh peneliti.

7. Setelah itu, peneliti mulai menanyakan tentang kesediaan dari para responden untuk

menjadi responden dalam penelitian ini, dengan menjelaskan tujuan dan manfaat dari

penelitian yang dibuat. Jika para responden yang dipilih telah bersedia maka selanjutnya
peneliti memberikan surat persetujuan (inform consent) untuk di tanda-tangani guna

sebagai bukti persetujuan antara peneliti dan responden.

8. Peneliti mulai melakukan pengambilan data pada responden dengan melihat rekam medis

pasien dengan mewawancarai para responden tersebut.

9. Setelah semua data terkumpul langkah selanjutnya melakukan tabulasi data.

Setelah semua data telah selesai maka selanjutnya dilakukan penyusunan laporan
penelitian.
3.4.2 Kerangka Kerja

Langkah-langkah pengumpulan data dapat dijelaskan dalam bentuk kerangka kerja yaitu

pertahapan dalam suatu penelitian. Adapun kerangka kerja sebagai dalam penelitian ini sebagai

berikut :
Populasi
Seluruh pasien yang menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP)
rongga mulut di ICU Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo
Sebanyak 30 penderita.

Sampling: Teknik consecutive sampling

Sampel: Sebagian pasien yang menggunakan ventilator associated


pneumonia
Sampel: Seluruh (VAP)
pasien yang rongga mulut
beriwayat di ICU dengan
hipertensi Rsu Anwar Medika
kejadian Kota
stroke di Sidoarjo
sebanyak 15 orang.
wilayah kerja UPT Kedundung Kota Mojokerto sebanyak 60 responden.

Pengumpulan Data: Teknik


Pengumpulan dan Teknik
Data: prosedur pengumpulan
dan data dengandata
prosedur pengumpulan lembar
dengan
observasi atau rekam
lembar medik atau rekam medik
observasi

Pengolahan data: editing, coding, scoring dan tabulating

Pengolahan data: editing, coding, scoring dan tabulating


Analisa data: data dalam penelitian menggunakan tabulasi silang (cross
tabulating). Uji statistik yang digunakan spearman Rho
Analisa data: data dalam penelitian menggunakan distribusi frekuensi
Penyajian hasil: disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

PenyajianDesiminasi
hasil: disajikan
hasil dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
Ada hubungan sikap perawat dengan pelaksanaan oral hgiene pada pasien
yang menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut
di ICU
Desiminasi hasilRsu Anwar Medika Kota Sidoarjo
Ada hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian stroke di UPT Kedundung
Kota Mojokerto

Gambar 3.1 Kerangka Kerja


3.5 Pengumpulan Data

3.5.1 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu hal yang utama dalam sebuah penelitian,

dikarenakan tujuan utamm dari sebuah penetilian adalah mendapatkan sebuah data. Oleh

karena itu ada beberapa metode pengumpulan data yang dapat digunakan diantaranya yaitu,

observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuisioner (angket), sumber-sumber data

sekunder, dokumentasi maupun gabungan dari semuanya (Sugiono, 2019). Pada penelitian

ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuisioner, lembar observasi atau rekam

medis pasien.

3.5.2 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengukur suatu fenomena

alam maupun sosial yang diteliti. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

lembar observasi atau rekam medik dan kuisioner tentang pelaksanaan oral hgiene pada pasien

yang menggunakan ventilator associated pneumonia (VAP) rongga mulut guna untuk validasi

data.

3.5.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja ICU Rsu Anwar Medika Kota Sidoarjo

3.6 Pengolahan Data

3.6.1 Editing

Editing adalah upaya memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh/dikumpulkan

dan atau menyesuaikan data dengan rencana semula seperti apa yang diinginkan. Editing dapat

dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. (H. Anang Setiana, 2018).
3.6.2 Coding

Coding adalah kegiatan pengolahan data dengan memberikan tanda berupa angka pada

jawaban dari kuisioner untuk kemudian dikelompokkan ke dalam kategori yang sama,

tujuannya adalah menyederhanakan jawaban (Amiruddin, 2019).

1. Coding data umum.

1) Responden

Responden 1 Code : 1

Responden 2 Code : 2

2) Jenis kelamin

Laki-laki Code : 1

Perempuan Code : 2
3) Pendidikan

Rendah ( SD-SMP ) Code : 1

Tinggi ( SMA- Perguruan Tinggi ) Code : 2


4) Usia

25-35tahun Code : 1

36-45 tahun Code : 2

46-55 tahun Code : 3

56-65 tahun Code : 4

> 65 tahun Code :5

2. Coding data khusus

1) Sikap perawat Code : 1

Pelaksanaan oral hgiene Code : 2


2) Pertama kali Code : 1
Penggunaan VAP
Pengguanaan VAP
Yang berulang Code : 2

3.6.3 Scoring
Setelah data terkumpul dari seluruh responden, maka peneliti memriksa kembali dan

menyesuaikan data dengan semula apa sudah sesuai dengan yang dinginkan ataukah belum.

1. Scoring sikap perawat dalam pelaksanaan oral hygiene

Jawaban Skor
Sikap perawat 1

Pelaksanaan oral 2

hgiene

Tabel 3.2 scoring sikap perawat dalam pelaksanaan oral hygiene

2. Scoring penggunaan VAP

Jawaban Skor
Pertama kali 1
Penggunaan VAP

2
Pengguanaan VAP

Yang berulang

Tabel 3.3 scoring penggunaan VAP


3.6.4 Tabulasi Data
Tabulasi data adalah membuat penyajian data, sesuai dengan tujuan penelitian.

Pengolahan data dengan aplikasi pengolah data hampir sama dengan pengolahan data manual,

hanya saja beberapa tahapan dilakukan dengan aplikasi tersebut (Imas Masturoh, 2018). Data

yang diperoleh dari masing-masing responden melalui rekam medis atau data pasien, dan

wawancara, kemudian data tersebut disusun dan diseleksi, kemudian dilakukan cross

tabulating.

3.6.5 Analisa Uji Statistik Spearman Rho

1. Univariat

Analisa univariat digunakan untuk menganalisa 1 variabel yang menghasilkan

distribusi frekuensi dan persentase (Notoatmodjo, 2016). Menurut (Arikunto, 2016)

dalam membaca kesimpulan persentase menggunakan skala sebagai berikut:

100% : seluruhnya

76-99% : hampir seluruhnya

51-75% : sebagian besar

50% : setengah

26-49% : hampir setengah

1-25% : sebagian kecil

0% : tidak satupun

2. Bivariat
Analisis hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian stroke menggunakan uji

Spearman Rho karena tujuan penelitian bersifat korelasi, jumlah variabel ada 2, skala

data variabel yang dianalisis adalah skala ordinal. Uji uji Spearman Rho dilakukan

dengan menggunakan SPSS for Windows 20.0. Hasil ρvalue =0,000 < 0,05, maka H0

ditolak dan H1 diterima, berarti ada hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian stroke.
Untuk mengetahui arah hubungan/korelasi antara variabel independen dan
dependen yaitu dinyatakan dalam tanda plus (+) dan minus (-). Tanda (+) menunjukan
adanya korelasi searah, dan tanda (-) menunjukan korelasi sejajar berlawanan arah.
Sedangkan untuk menentukan kuatnya hubungan dapat diketahui dari besar kecilnya
angka dalam indeks korelasi, makin besar angka dalam indeks korelasi maka semakin
kuat pula korelasi ke dua variabel (Arikunto, 2016). Interpretasikan nilai koefisien
sebagai berikut :
a) 0,800 - 1,000 : sangat kuat

b) 0,600 - 0,799 : kuat

c) 0,400 – 0,599 : sedang

d) 0,200 – 0,399 : rendah

e) 0,000 – 0,199 : sangat rendah tidak berkorelasi

3.7 Etika Penelitian

Etika penelitian adalah seperangkat prinsip-prinsip tentang bagaimana peneliti dan

lembaga penelitian harus berperilaku ketika berhadapan dengan peserta penelitian, peneliti

lain dan rekan, para pengguna penelitian mereka dan masyarakat pada umumnya (Budiharto,

2015). Etika yang harus dilakukan dalam penelitian ini adalah :

3.7.1 Informed concent (Lembar Persetujuan)

Informed concent merupakan bentuk persetujuan peneliti dengan responden penelitian

dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan informed concent adalah agar subjek mengerti

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Semua responden telah bersedia

menandatangani informed consent sebagai tanda bahwa responden telah menyetujui untuk

diteliti.

3.7.2 Anonimity (tanpa nama)


Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam

penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama

responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data

atau hasil penelitian yang disajikan. Peneliti hanya mencantumkan kose responden berupa

angka 01- sejumlah responden.

3.7.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil

penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang

dilaporkan pada hasil riset. Peneliti menjaga kerahasiaan responden dengan tidak

menunjukkan wajah responden dalam proposal skripsi.


DAFTAR PUSTAKA

Adhi Kusumastuti, dkk. (2020). Metode Penelitian Kuantitatif . Yogyakrta : Deepublish.

Budi S. Pikir, dkk. (2015). Hipertensi Manajemen Komprehensif. Surabaya : Airlangga University

Press.

A’yun,Mariyam,dkk. (2021). Penerapan Oral Hygiene Dengan Madu Pada Anak Usia Sekolah

Dasar Dengan Evaluasi pH (Potential Of Hydrogen) Saliva. Posiding Seminar Nasional

UNIMUS Volume 4, e-ISSN :2654-3168, 1309.

Aloysius Rangga Aditya Nalendra,dkk. (2021). Statistika Seri Dasar Dengan SPPS. Media Sains

Indonesia.

Amin Huda N &Hardi Kusuma. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Nanda NIC NOC (Jilid 2

ed.). jogjakarta: Media Action.

Amiruddin. (2019). PENGARUH ETOS KERJA, DISIPLIN DAN MOTIVASI TERHADAP

KINERJA PEGAWAI PADA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

KABUPATEN BIAK NUMFOR. Qiara Media.

Anih, K. (2021). Self-Management Hipertensi. Surabaya: Jakad Media Publishing.

Annis Rahmawaty, dkk. (2021). PENGOBATAN GRATIS DAN SOSIALISASI “ HIPERTENSI”

DI DESA CRANGGANGKUDUS. Jurnal Pengabdian KesehatanSTIKES Cendekia

Utama Kudus, 63.

Annisa Hidayati; Dkk. (2021). Determinan Kejadian Stroke Pada Pasien Hipertensi. Jurnal

Kesehatan Global, Vol.4 No.2, 54-65.

Antonia Anna, Dkk. (2019). Konsensus penatalaksanaan hipertensi . Jakarta : Indonesia Society of

hypertension.
Bangun Dwi Hardika, M. &. (2020). Faktor Risiko yang Mempengaruhi Terjadinya Stroke Non

Hemoragik pada Pasien di RS RK Charitas dan RS Myria Palembang. Jurnal Akademika

Baiturrahim, 268.

Budiharto, W. (2015). Metode Penelitian Ilmu Komputer Dengan Komputasi Statistika Berbasis R.

Yogyakarta: Deepublish.

Chandra Tri Wahyudi,dkk. (2017). PENGARUH DEMOGRAFI, PSIKOSOSIAL DAN LAMA

MENDERITA HIPERTENSI PRIMER TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT

ANTIHIPERTENSI. JKFT: Universitas Muhammadiyah Tangerang, 16.

Citra Ayu Aprilia,dkk. (2020). PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN

PENGUKURAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI BAGI KADER

KESEHATAN DI PUSKESMAS SAWANGAN DEPOK. Jurnal Pengabdian, 196.

Despitasari, L. (2020). Hubungan Hipertensi dengan Kejadian Stroke Berulang pada Penderita

Pasca Stroke. Jurnal Kesehatan MIDWINERSLION, Vol. 5, No. 1, 125-135.

Despitasari, L. (2020). Hubungan Hipertensi dengan Kejadian Stroke Berulang pada Penderita

Pasca Stroke . Jurnal Kesehatan MIDWINERSLION , 125.

Despitasari, Lola. (2020). Hubungan Hipertensi dengan Kejadian Stroke Berulang pada Penderita

Pasca Stroke. Jurnal Kesehatan MIDWINERSLION, 125-131.

Dharma, K. K. (2018). Pemberdayaan Keluarga untuk Mengoptimalkan Kualitas Hidup Pasien

Paska Stroke. Yogyakarta : DEEPPUBLISH.

Dian Dwiana Maydinar dkk. (2017). HIPERTENSI, USIA, JENIS KELAMIN DAN KEJADIAN

STROKE DI RUANG RAWAT INAP STROKE RSUD dr. M. YUNUS BENGKULU.

Jurnal Sains Kesehatan, 23.


Dwi Hardika dkk. (2020). Faktor Risiko yang Mempengaruhi Terjadinya Stroke Non Hemoragik

pada Pasien di RS RK Charitas dan RS Myria Palembang. Jurnal Akademika Baiturrahim

Jambi, 272.

Edi Junaedi,dkk. (2013). Hipertensi Kandas Berkat Herbal. Jakarta Selatan: FMedia (Imprint

AgroMedia Pustaka).

Edoardo Boccardi dkk. (2016). Hemorrhagic Stroke. Springer International Publishing.

Eko Prasetyo dkk. (2019). Cendekia Utama. JURNAL KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

MASYARAKAT, 11.

Faiqoh, F. (2022). HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PASIEN PENYAKIT JIWA

DENGAN PERILAKU AGRESIF PERAWAT PASIEN PENYAKIT JIWA . Jurnal

Psikologi Proyeksi, 91.

Feby Erawantini, R. R. (2016). Hipertensi Terhadap Kejadian Stroke . Jurnal Ilmiah INOVASI,

103.

Femmy Lumi, M. T. (2018). Hubungan derajat penyakit hipertensi dengan tingkat kecemasan pada

kelompok lanjut usia di wilayah kerja puskesmas kahakitang Kecamatan Tatoareng. Media

Kesehatan Politeknik Kesehatan Makasar, 60.

Femmy Lumi, M. T. (2018). HUBUNGAN DERAJAT PENYAKIT HIPERTENSI DENGAN

TINGKAT KECEMASAN PADA KELOMPOK LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS KAHAKITANG KECAMATAN TATOARENG . Media Kesehatan

Politeknik Kesehatan Makassar, 60.

Fepi Susilawati, N. H. (2018). FAKTOR RESIKO KEJADIAN STROKE DI RUMAH SAKIT.

Jurnal Keperawatan, Volume XIV ISSN 1907 - 0357, 44.


Fischa Awalin dkk. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Ventilation Associated

Pneumonia (Vap) Pada Populasi Pasien Gangguan Persyarafan Diruang ICU RSU Provinsi

Banten Tahun 2019. Jurnal Kesehatan, https://doi.org/10.37048/kesehatan.v8i2.140, 42.

Fitri Suciana; Dkk. (2020). Korelasi Lama Menderita Hipertensi dengan Tingkat Kecemasan

Hipertensi. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat, Vol.9, No 2, 146-155.

Frederic Garcin, dkk. (2012). Selective digestive decontamination and empirical antimicrobial

therapy of late-onset ventilator-associated pneumonia in trauma patients. Jurnal of acute

disease, 1.

H. Anang Setiana. (2018). Riset Terapan Kebidanan. Jawa Barat: LovRinz Publishing .

H. Anang Setiana,dkk. (2021). Riset Keperawatan. Jawa Barat : LovRinz Publishing.

Hartini. (2019). Pengaruh Oral Hygiene Menggunakan Hexadol Gargle dalam Meminimalkan

Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di Ruang ICU RSUD Tugurejo

Semarang. JURNAL KEPERAWATAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT P-ISSN 2252-

8865, 9-13.

Hendri Budi, Indrawati Bahar & Heppi Sasmita . (2019). FAKTOR RISIKO STROKE PADA

USIA PRODUKTIF DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL (RSSN) BUKIT TINGGI

. JPPNI, 129.

Hidayah, N. (2019). Buku Seri Keperawatan komplementer: “Totok punggung “ (TOPUNG) untuk

penderita Stroke yang Mengalami Gangguan Mobilitas Fisik. Jakarta Timur : MEDIA

SAHABAT CENDEKIA.

Hidayat, d. (2018). BAKTERI PENYEBAB INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT GIGI

DAN MULUT UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN. pengembangan sumberdaya

perdesaan dan kearifan lokal berkelanjutan VIII ISBN:978-602-617, 187.


Hutagalung. (2021). Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Stroke dan Tentang Hipertensi Sebagai

Faktor Risiko Stroke. Nusamedia.

Iin Ernawati, dkk. (2020). Buku referensi: kepatuhan konsumsi obat pasien hipertensi :

pengukuran dan cara meningkatkan kepatuhan. Gresik: Graniti.

Iin Ernawati, dkk. (2020). Kepatuhan Konsumsi Obat Pasien Hipertensi . Gresik: Anggota IKAPI.

Iin Ernawati, dkk. (2020). kepatuhan konsumsi obat pasien hipertensi : pengukuran dan cara

meningkatkan kepatuhan. Gresik: Graniti.

Iin Ernawati, S. S. (2020). Kepatuhan konsumsi obat pasien hipertensi : pengukuran dan cara

meningkatkan kepatuhan. Gresik, Jawa Timur: Graniti.

Ilham Bachtiar Adi Pratama; Dkk. (2020). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Hipertensi

Diwilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana

UNNES, 1-6.

Imas Masturoh, N. A. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan . Jakarta Selatan : Pusat

Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan Pengembangan Dan Pemberdayaan

Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia .

Imas Masturoh, N. A. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan . Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia .

Imran1. (2020). Efektifitas New Bobath Concept terhadap Peningkatan Fungsional Pasien. Journal

of Medical Science, 14.

Ismail Nurdin, S. H. (2019 ). METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL. Surabaya : Media Sahabat

Cendekia.

jaya, I. (2019). Penerapan Statistik untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta : Prenamedia Grup .
Kartika. (2021). GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT UPAYA PENCEGAHAN

PENYAKIT COVID-19 TAHUN 2021 . Medan: POLITEKNIK KESEHATAN

KEMENKES MEDAN.

Karyawanto ddk. (2021). PENGARUH SIKAP KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN

KOMPLIKASI HIPERTENSI GRADE II SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN

PENDIDIKAN KESEHATAN. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia ISSN:746-2579, 5.

Kemenkes, RI. (2018). Pusat data dan Informasi. Jakarta selatan.

Kiran, D. (2017). Pengetahuan dan Sikap Perawat dalam Memenuhi Kebutuhan Psikologis dan

Spiritual Klien Terminal . Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia , 183.

Kurnia Anih. (2020). SELF-MANAGEMENT HIPERTENSI. Surabaya: Jakad Media Publishing.

Kurnia, A. (2019 ). MODUL MANAJEMEN DIRI BERBASIS KELUARGA TERHADAP

PERILAKU KESEHATAN DIET PADA PENDERITA HIPERTENSI . Surabaya : CV Jakad

Publishing .

Kurnia, Anih. (2020). SELF-MANAGEMENT HIPERTENSI. Surabaya: CV. Jakad Media

Publishing.

Laily, S. R. (2017). Hubungan Karakteristik Penderita Dan Hipertensi Dengan Kejadian Stroke

Iskemik. Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 1, 48-59.

Lili Indrawati, dkk. (2016). CARE YOURSELF STROKE. Jakarta : Penebar Swadaya Plus .

Lili Indrawati, W. S. (2016). CARE YOURSELF STROKE. Jakarta : Penebar plus(Penebar

Swadaya Grup).

Lili Indrawati, W. S. (2016). CARE YOURSELF STROKE. Jakarta: Penebar plus ( Penebar

Swadaya Grup).
Lilis. (2021). HUBUNGAN SIKAP PERAWAT DENGAN KEPATUHAN PELAKSANAAN HAND

HYGIENE DI RUMAH SAKIT X. Undergraduate (S1) thesis,. Malang: Universitas

Muhammadiyah .

Lola, D. (2020). Hubungan Hipertensi dengan Kejadian Stroke Berulang pada Penderita Pasca

Stroke. Jurnal Kesehatan MIDWINERSLION, 127.

Manuntung, A. (2019). TERAPI PERILAKU KOGNITIF PADA PASIEN HIPERTENSI. Malang :

WINEKA MEDIA.

Manuntung, Alfeus. (2018). Terapi perilaku kognitif pada pasien hipertensi. Malang: Wineka

media.

Maramis. (2022). BERKUMUR DENGAN SEDUHAN DAUN CENGKIH (Syzygium

Aromaticum) TERHADAP PENINGKATAN KEBERSIHAN GIGI DAN MULUTPADA

ANAK USIA SEKOLAH DASAR. JDHT Journal of Dental Hygiene and TherapyVolume

3 Nomor ISSN (online):2723-1607 DOI:10.36082/jdht.v3i1.420, 32.

Maydinar dkk. (2017). HIPERTENSI, USIA, JENIS KELAMIN DAN KEJADIAN STROKE DI

RUANG RAWAT INAP STROKE RSUD dr. M. YUNUS BENGKULU . Jurnal Sains

Kesehatan , 23.

Mufarokhah, H. (2019 ). HIPERTENSI DAN INTERVENSI KEPERAWATAN. Jawa Tengah :

Penerbit Lakeisha.

Muhammad Hafiz Bin Arifin; dkk. (2016). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian

Hipertensi Pada kelompok lanjut Usia Diwilayah Kerja UPT Puskesmas Petang 1

Kabupaten Bandung. e-jurnal Medika, 2.No.7, 1-23.

Notoatmodjo, S. (2016). METODE PENELITIAN KESEHATAN. JAKARTA: RINEKA CIPTA.


Nugroho. (2018). Pemeriksan Kultur Sekret sebagai Penunjang Diagnosis untuk Mengetahui

Kejadian Ventilator Associated Pneumonia pada Pasien Pasca Pembedahan di Intensive

Care Unit RSUP Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Anestesiologi Indonesia, 95.

Nugroho, T. (2016). Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Nur Khayati. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA PADA PASIEN YANG

MENGGUNAKAN VENTILATOR MEKANIK. Jurnal NERS Widya Husada P-ISSN

2356-3060, 85.

Nuraini Bianti. (2015). RISK FACTORS OF HYPERTENSION. MAJORITY, 17.

Nuraini, B. (2015). RISK FACTORS OF HYPERTENSION. ARTIKEL REVIEW], 10.

Nuraini, B. (2015). RISK FACTORS OF HYPERTENSION. MAJORITY, 14-15.

Nurhayati, P. (2018). HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN PELAKSANAAN BUNDLE

VAP DI RUANG INTENSIF. Jurnal Kesehatan Aeromedika , 35.

Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan . Jakarta Selatan: Salemba Medika.

Nurul, H. (2019). Buku Seri Keperawatan komplementer: “Totok punggung “ (TOPUNG) untuk

penderita Stroke yang Mengalami Gangguan Mobilitas Fisik. Jakarta Timur: MEDIA

SAHABAT CENDEKIA.

Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. yogyakarta : Nuhu Medika.

Pinatih. (2021). PREVALENSI DAN POLA KEPEKAAN MULTIDRUG RESISTANCE

Pseudomonas aeruginosa TERHADAP ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA DI

RSUP SANGLAH. Jurnal medika udayana ISSN: 2597-8012, 89.


Purnama, F. (2020). PERBANDINGAN EFEKTIFITAS ORAL HYGIENE MENGGUNAKAN

ENZYM LACTOPEROXIDASE DENGAN CHLORHEXIDINE DALAM

PENCEGAHAN VAP DI ICU RS X. JURNAL SURYA MUDA e-ISSN 2656-825x, 56.

Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta Selatan: Kemenkes RI.

Rakhma, T. &. (2020). PRIA 66 TAHUN DENGAN Intracerebral Hemorrhagic dan

Intraventrikular Hemorrhagic DENGAN KOMORBID HIPERTENSI STAGE II:

LAPORAN KASUS. ISSN: 2721-2882, 312.

Riandhyanita dkk. (2017). HUBUNGAN MOTIVASI PERAWAT DENGAN PELAKSANAAN

TINDAKAN PERAWATAN ORAL HYGIENE PADA PASIEN DI RUANG ICU. urnal

Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal Volume 7 No 1, Hal 25 - 31 ISSN : 2089-

0832, 26.

Riandhyanita dkk. (2017). HUBUNGAN MOTIVASI PERAWAT DENGAN PELAKSANAAN

TINDAKAN PERAWATAN ORAL HYGIENE PADA PASIEN DI RUANG ICU. Jurnal

Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal Volume 7 No 1, Hal 25 - 31 ISSN : 2089-

0834, 25.

Rosyida, A. (2021). Evaluasi Pelaksanaan Sistem Surveilans Healthcare Acquired Infections

(Hais) Di Rsu Haji Surabaya Tahun 2020. Jurnal Kesehatan Masyarakat ISSN: 1412-6557,

436.

Santoso, U. (2018). Efektivitas Model Suction Terbuka dan Tertutup Terhadap Kejadian

Pneumonia Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator Mekanik (VAP): Systematic Review.

Journal of Health, 62.

Sari, S. (2015). PERBEDAAN RISIKO INFEKSI NOSOKOMIAL SALURAN KEMIH

BERDASARKAN KATETERISASI URIN, UMUR, DAN DIABETES MELITUS. Jurnal


Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 , 206.

Setianingsih dkk. (2017). GAMBARAN PELAKSANAAN TINDAKAN ORAL HYGIENE

PADA PASIEN DI RUANG INSENTIVE CARE UNIT (ICU). Jurnal Perawat Indonesia

e-ISSN 2548-7051, 48.

Setianingsih dkk. (2017). GAMBARAN PELAKSANAAN TINDAKAN ORAL HYGIENE

PADA PASIEN DI RUNAG INSENTIVE CARE UNIT (ICU). Jurnal Perawat Indonesia

e-ISSN 2548-7051, 48.

Setiyadi dkk. (2022). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat terhadap Sikap Perawat dalam

Menindaklanjuti Penilaian Nursing Early Warning Score System (NEWSS) di Gedung A

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jurnal Pendidikan Tambusai ISSN: 2614-6754

(print), 1161.

Setyawati, Sujud, Indriasari. (2020). Tata laksana ICU Krisis Miasthenia pada Pasien Tuberkulosis

Paru dengan Penyulit Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Jurnal Anestesi

Perioperatif p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463, 132.

Sindring dkk. (2021 ). 4119Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat dengan Penerapan Patient

Safetypada Masa PandemiCovid-19 di Ruang IGD RSUD X. Jurnal Lentera Volume4,

Nomor2, e.ISSN 2809-2929p.ISSN 2541-4119 .

Slamet Riyanto, A. A. (2020). Metode Riset Penelitian Kuantitatif Penelitian Di Bidang

Manajemen, Teknik, Pendidikan, Dan Eksperimen . Yogyakarta : DEEPUBLISH.

Sofyan dkk. (2015). Hubungan umur, jenis kelamin, dan hipertensi dengan kejadian stroke. UHO.

Sorgavi, dkk. (2014). Risk factor for stroke . International Journal Of Current Research And

Review, 46-52.
Sri Wahyuni Dewanti, R. A. (2015). Pengaruh Konseling dan Leaflet terhadap Efikasi Diri,

Kepatuhan Minum obat, dan Tekanan Darah Pasien Hipertensi Di Dua Puskesmas Kota

Depok . Jurnal Kefarmasian Indonesia, 34.

Sugiono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sundoro. (2020). Program Pencegahan Dan Pengendalian Healthcare Associated Infections (HAIs)

di Rumah Sakit X Yogyakarta. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Berkala Jurnal Ilmu

Kesehatan Masyarakat Berkala (JIKeMB) e-ISSN: 2745-8903, 27.

Susetyowati,dkk. (2019). Peranan Gizi dalam Upaya Pencegahan Penyakit Tidak Menular.

Yogyakarta: UGM PRESS.

Syarifa, S. U. (2017). Hubungan Karakteristik Individu Penderita Hipertensi Dengan Derajat

hipertensi Dipuskemas Depok II Sleman Yogyakarta. Jurnal Formil, vol 2, nomor 1, 1-9.

Thomas Unger,dkk. (Juni 2020). 2020 International Society of Hypertension Global Hypertension

Practice Guideline. American Heart Association, 1336.

Titik Agustiyaningsih, dkk. (2020). Identifikasi aktivitas fisik pada pasien pasca Stroke. Jurnal

Keperawatan, 91.

Tohirin. (2019). PENGARUH ORAL HYGIENE MENGGUNAKAN HEXADOLGARGLE

DALAM MEMINIMALKAN KEJADIAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA

(VAP) DI RUANG ICU RSUD TUGUREJO SEMARANG. Jurnal Keperawatan dan

Kesehatan Masyarakat E-ISSN 2598 – 4217, 9.

Umrati, H. W. (2020). Analisis Data Kualitatif Teori Konsep dalam Penelitian Pendidikan.

Makasar: Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.

Wahyuni dkk. (2020). Profil Dan Pola Kepekaan Bakteri Penyebab Ventilator-Associated

Pneumonia Di Rsup H. Adam Malik Medan. Jurnal Pandu Husada, 199.


Widyati dkk. (2021). Saline Solution Oral Hygiene dalam Meningkatkan Nafsu Makan Pasien

Anoreksia. The Indonesian Journal of Health Science Volume 13 DOI :

10.32528/ijhs.v13i1.4902 , 9.

Yueniwati, Y. (2015). Deteksi Dini Stroke Iskemia: dengan Pemeriksaan Ultrasonografi Vaskular

dan Variasi Genetika . Malang : UB Press.

Yuliaji Siswanto, S. A. (2020). Hipertensi pada Remaja di Kabupaten Semarang . JURNAL

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA , 12.

Anda mungkin juga menyukai