MODERASI BERAGAMA Memperteguh Nilai Islam Dalam Aktualitas Umat
MODERASI BERAGAMA Memperteguh Nilai Islam Dalam Aktualitas Umat
MODERASI
BERAGAMA
Memperteguh Nilai Islam Dalam Aktualitas Umat
Penulis:
H. Muhammad Nasir. S.Ag. MH
ISBN: 978-623-91873-0-9
Diterbitkan oleh
Kementerian Agama Kabupaten Lingga Kepri
MODERASI BERAGAMA | 3
kebutuhan untuk keseimbangan. Moderasi.
Beragama yang moderat adalah seimbang baik dalam
pemahaman maupun dalam pengamalan.
Moderasi dalam Islam perlu dipahami sebagai
komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan
yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat
atau umat Islam, apa pun suku, etnis, budaya, agama,
dan pilihan politiknya, penting untuk mau saling
mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar
melatih kemampuan mengelola dan mengatasi
perbedaan yang ada. Jadi jelas bahwa moderasi
beragama sangat erat kaitannya dengan menjaga
kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa.
Sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita untuk
saling memahami dan ikut merasakan satu sama lain
yang berbeda dengan kita.
Dalam empat tahun terakhir ini, moderasi
beragama telah disosialisasikan melalui berbagai
cara. Sejak dicanangkan moderasi beragama oleh
Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saefuddin (2014-
2019) sampai saat ini, umat beragama, khususnya
umat Islam, diharapkan mampu menerjemahkan ruh
moderasi beragama itu ke dalam kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Moderasi beragama
penting untuk menjadi arus utama dalam
membangun Indonesia. Pengarusutamaan moderasi
beragama memang perjuangan yang tidak mudah.
Selain dengan menjadikannya sebagai cara pandang
setiap umat beragama, upaya ini juga akan lebih
4 | H. Muhammad Nasir
bermakna jika diiringi dengan mengintegrasikan
moderasi beragama ke dalam sistem perencanaan
pembangunan Indonesia jangka menengah dan
jangka panjang, agar program-program yang
dijalankan mendapat dukungan semua pihak.
Dengan dimasukkannya moderasi beragama
ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang disusun oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), tentu harapannya adalah agar moderasi
beragama menjadi bagian tak terpisahkan dari
strategi kebudayaan dalam memajukan sumber daya
manusia Indonesia. Dalam konteks bernegara,
moderasi beragama penting diterapkan agar paham
agama yang berkembang, tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
Pemahaman dan pengamalan keagamaan secara
esensial tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
kebangsaan dan keragaman umat beragama dalam
masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini
sebagai takdir. Ia tidak diminta, melainkan pemberian
Tuhan Yang Maha Mencipta. Bukan untuk ditawar,
tapi untuk diterima (taken for granted) satu sama lain.
Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola
keragaman tersebut terkadang masih terjadi. Dari
sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah
dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki, tentu
MODERASI BERAGAMA | 5
tidak sulit membuat hamba-Nya menjadi seragam
dan satu jenis saja. Tapi Allah memang Maha
Berkehendak (Al-Iradah). Dia menghendaki agar
umat manusia beragam, bersukusuku, berbangsa-
bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi
dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu
sama lain. Dengan begitu, bukankah keragaman itu
sangat indah? Betapa kita harus bersyukur atas
keragaman bangsa Indonesia ini. Selain agama dan
kepercayaan yang beragam, dalam tiap-tiap agama
pun terdapat juga keragaman penafsiran atas ajaran
agama, khususnya ketika berkaitan dengan praktik
dan ritual agama.
Pada umumnya, masing-masing penafsiran
ajaran agama itu memiliki penganutnya yang
menghendaki dan meyakini kebenaran atas tafsir
yang dipraktikkannya. Dalam Islam misalnya,
terdapat beragam madzhab fikih yang secara
berbeda-beda memberikan fatwa atas hukum dan
tertib pelaksanaan suatu ritual ibadah, meski ritual itu
termasuk ajaran pokok sekalipun, seperti ritual salat,
puasa, zakat, haji, dan lainnya. Keragaman itu dapat
dipahami dengan menimbang perkataan Ibnu
Qayyim al-Jauzi, “Sesungguhnya fatwa bisa berubah
atau berbeda karena perubahan atau perbedaan
waktu, tempat, keadaan atau kondisi, dan adat
kebiasaan.” Itulah mengapa kemudian dalam tradisi
Islam dikenal ada ajaran yang bersifat pasti (qath'i),
tidak berubah-ubah (tsawabit), dan ada ajaran yang
6 | H. Muhammad Nasir
bersifat fleksibel, berubah-ubah (dzanni) sesuai
konteks waktu dan zamannya. Agama selain Islam
pun niscaya memiliki keragaman tafsir ajaran dan
tradisi yang berbeda-beda.
Perbedaan tafsir agama ini dapat menimpa
berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama
yang sama (intra agama), atau terjadi pada beragam
kelompok dalam agama-agama yang berbeda (antar
agama). Hal yang demikian berpotensi menyebabkan
konflik umat beragama, yang biasanya awal
terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh
sikap saling menyalahkan tafsir dan paham
keagamaan yang disertai dengan ujaran kebencian.
Kehadiran buku MODERASI BER-AGAMA
(Memperteguh Nilai Islam dalam Aktualitas Umat),
buah karya H. Muhammad Nasir, S.Ag, M.H. ini
menjadi sangat penting di tengah-tengah masyarakat
majemuk seperti Indonesia. Mengapa sangat
penting? Di antaranya adalah karena masih adanya
kecenderungan sebagian kalangan umat Islam yang
bersikap eksterim dan sangat ketat dalam memahami
hukum-hukum tertentu dalam agama dan mencoba
memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat
muslim. Bahkan dalam beberapa hal dengan
menggunakan tindak kekerasan, termasuk ujaran
kebencian. Selain itu juga masih ada sebagian umat
Islam yang terlalu longgar dalam beragama, dan atau
tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang
berasal dari budaya dan peradaban bangsa lain tanpa
MODERASI BERAGAMA | 7
mengindahkan nilai-nilai pokok dan teks-teks agama
sama sekali. Kecenderungan ini dapat
mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya karena
larut dalam budaya dan peradaban lain.
Oleh sebab itu tidak ada jalan lain, kita harus
kembali pada karakter umat Islam itu sendiri
sebagaimana yang disebutkan Al-Quran sebagai
Ummatan Wasatha (Q.S. Al-Baqarah: 143) dengan arti
umat pertengahan, moderat, adil, dan terbaik. Dalam
konteks inilah karya ini dipersembahkan. Baik
moderasi dalam membangun umat beragama,
moderasi dalam idealitas sosial, dan moderasi dalam
membangun keluarga. Selamat membaca dan
semoga jadi ibadah. []
8 | H. Muhammad Nasir
Kata Pengantar
Dr. H. Mahbub Daryanto, M.Pdi.
Ka. Kanwil Kemenag Kepri
MODERASI BERAGAMA | 9
Buku Moderasi Beragama ini perlu
mendapatkan apresiasi, karena dapat menjadi
penguatan dalam pelaksanaan kebijakan
Kementerian Agama di Provinsi Kepulauan Riau.
Apalagi kebijakan moderasi beragama ini tidak hanya
bersifat nasional, melainkan juga internasional
(bilateral, regional, dan multilateral). Kementerian
Agama dengan mandatnya sebagai institusi yang
melayani kehidupan beragama dan keagamaan yang
merata dan berkualitas, berpandangan bahwa
kontinuitas dan peningkatan peran strategis
Indonesia serta posisi Indonesia dalam perspektif
global terhadap isu-isu yang bersifat agama dan
keagamaan, budaya, maupun sosial, sangat penting
dan perlu. Dengan demikian tulisan ini sangat penting
dibaca oleh siapa saja untuk menambah literasi
wawasan keIslaman untuk memperteguh komitmen
beragama yang moderat, santun dan adil di tengah-
tengah pluralitas umat beragama. Kemudian saya
ucapkan selamat kepada saudara H. Muhammad
Nasir. S.Ag., M.H. (Kepala Kemenag Kabupaten
Lingga) yang telah berkarya untuk umat dan
masyarakat Kepulauan Riau khususnya, masyarakat
Indonesia umumnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabara-
katuh.
Tanjungpinang, 21 November 2020
10 | H. Muhammad Nasir
Pengantar Penulis
MODERASI BERAGAMA | 11
konflik yang berpotensi membuat negara ini menjadi
disintegrasi, baik di sisi budaya maupun agama.
Setiap umat beragama sangat perlu didorong
untuk menggali dan mengaktualisasikan nilai-nilai
yang bersumber dari ajaran agama masing-masing
dalam rangka memperkaya landasan theologis dan
landasan etis untuk mewujudkan moderasi beragama
dan saling mempertahankan jati diri agama itu
sendiri.
Alhamdulillah, atas upaya keras kita bersama,
saat ini moderasi beragama sudah dimasukkan ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang disusun oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas). Kita berharap agar moderasi
beragama dapat menjadi bagian tak terpisahkan dari
strategi kebudayaan dalam memajukan sumber daya
manusia Indonesia. Dalam konteks bernegara,
moderasi beragama penting diterapkan agar paham
agama yang berkembang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai kebangsaan. Pemahaman dan pengamalan
keagamaan secara esensial tidak boleh bertentangan
dengan sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan
bernegara. Dan tak kalah pentingnya adalah
moderasi dalam konteks pembangunan, baik
membangun umat beragama itu sendiri maupun
dalam membangun keluarga serta bagaimana
12 | H. Muhammad Nasir
semestinya moderasi beragama dalam idealitas sosial
dalam pergaulan global saat ini.
Buku yang ada di tangan Anda akan
memberikan sedikit penjelasan tentang kearifan
beragama di tengah-tengan pergaulan dunia global
yang serba kompetitif dan masif. Kehidupan sosial
yang sangat rentan terhadap kontradiktif yang tidak
hanya dalam bidang pembangunan sosial budaya,
tetapi juga memasuki pembangunan sosial agama.
Beragama dengan arif dan bijaksana merupakan ciri
utama Syariat Islam sejak lama dan Anda akan
menemukan sisi keluasan dan keluwesan ajaran yang
terkandung di dalamnya. Selamat membaca. Mudah-
mudahan jadi ibadah. Amin. []
MODERASI BERAGAMA | 13
PROLOG
ANTARA TATARRUF (EKSTRIMISME), GHULUW
(BERLEBIHAN), DAN WASATHIYAH
(PERTENGAHAN)
14 | H. Muhammad Nasir
pertama memberikan citra negatif sehingga Islam
dan umat Islam distigmakan sebagai agama dan
masyarakat yang eksklusif serta mengajarkan
kekerasan. Sedangkan pada kecenderungan yang
kedua mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya
karena larut dalam budaya dan peradaban lain.
Bahkan membuat Islam kehilangan fungsinya
sebagai agama yang menjadi pedoman hidup
manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT,
manusia, alam, dan kehidupan.
Untuk menyikapi dua kecenderungan
tersebut, tidak ada jalan lain, kita harus kembali
kepada karakter, sikap, dan jati diri umat Islam itu
sendiri yang Alquran telah menyebutnya sebagai
‘ummatan wasathan’ sebagaimana Qs. Al-Baqarah:
143).
MODERASI BERAGAMA | 15
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang (Qs. Al-Baqarah: 143).
Dalam ayat tersebut Allah SWT, telah
memberikan petunjuk bahwa Islam dan umat Islam
adalah umat yang adil dan pilihan yang memiliki
karekter adil, terbaik, pertengahan atau moderat.
Dalam bahasa Arab wasathiyah berasal dari kata
wasath yang bermakna adil, baik, tengah dan
seimbang. Sebab itu wasathiyah berlawanan dengan
sifat at-Tarruf/tatharruf (ekstrimisme) atau
ghuluw/berlebihan, sebagaimana yang dijelaskan
Allah SWT dalam Qs. Al-Maidah: 77).
16 | H. Muhammad Nasir
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus." (Qs. Al-Maidah: 77).
At-Taghluw/sikap berlebihan dalam
beragama dapat dilihat dari beberapa pandangan,
yaitu (1) Fanatisme yang berlebihan. Fanatik yang
berlebihan mengakibatkan seseorang menutup diri
dari pandangan lain dan menganggap pandangan
yang berbeda dengannya sebagai pandangan yang
sesat. Fanatisme akan lebih berbahaya lagi jika
disertai dengan pemaksaan pendapat kepada orang
lain; (2) Mempersulit diri. Tidak ada larangan
seseorang berpegang kepada pendapat yang ketat.
Misalnya saja dalam fiqih seseorang tidak
menggunakan keringanan (rukhshah) sebagai bentuk
kehati-hatian dalam melaksanakan syariah. Akan
tetapi kurang bijak jika mengharuskan orang lain atau
masyarakat mengikutinya. Rasulullah SAW, secara
pribadi atau dalam sholat sendirian adalah orang
yang sangat kuat beribadah sehingga kakinya
bengkak karena lama berdiri. Akan tetapi ketika
mengimami sholat berjamaah di masjid, beliau tidak
memperpanjang bacaan sholatnya. Beliau SAW,
bersabda, “Jika seseorang mengimami orang lain,
berilah keringanan (dengan memperpendek bacaan),
sebab boleh jadi di antara mereka ada orang sakit,
orang lemah, dan orang tua. Jika sholat sendirian,
perpanjanglah sesuai kehendak.” (HR. Ibnu Majah); (3)
Berprasangka buruk terhadap orang lain. Sikap
merasa paling benar menjadikan seseorang
MODERASI BERAGAMA | 17
berprasangka buruk kepada orang lain, seakan-akan
tidak ada kebaikan pada diri orang lain. Apabila
mendapati seorang ulama memberikan kemudahan
dalam fatwanya, dia dianggap telah
menggampangkan atau memudah-mudahkan
agama. Padahal salafussaleh mengajarkan agar
setiap muslim selalu berprasangka baik kepada orang
lain dan berusaha memahami alasannya. Sikap ini
lahir dari ujub atau merasa dirinya yang paling benar
dan hebat dari yang lain. Ibnu Attailah, mengingatkan
hal ini. “Boleh jadi Allah membukakan pintu ketaatan
kepada seseorang, tetapi tidak dibukakan pintu
diterimanya amal itu darinya. Boleh jadi seseorang
berbuat maksiat, tetapi itu menjadi sebab seseorang
mencapai keridhaan Allah SWT. Kemaksiatan yang
melahirkan perasaan hina dan bersalah, lebih baik dari
pada ketaatan yang melahirkan rasa bangga diri dan
sombong; (4) Mudah mengkafirkan orang lain. Sikap
ghuluw akan lebih berbahaya jika sampai pada
tingkat mengkafirkan orang lain atau menghalalkan
darahnya. Ini pernah terjadi pada kelompok khawarij
di masa awal Islam. Meskipun mereka sangat taat
dalam beragama dan melaksanakan semua ibadah
seperti puasa, sholat malam, dan membaca alquran,
tetapi karena pemikiran yang ghuluw mereka
menghalalkan darah banyak orang muslim. Sampai-
sampai seorang ulama yang tertangkap oleh
kelompok Khawarij, agar terbebas dari pembunuhan,
mengaku dirinya sebagai seorang musyrik yang
18 | H. Muhammad Nasir
mencari perlindungan dan ingin mendengar Firman
Allah SWT. Sebab dalam Alquran, orang musyrik yang
meminta perlindungan harus diberikan jaminan
keamanan (At-Taubah: 6). Jika dia mengaku sebagai
seorang muslim, mereka akan membunuhnya.
Pandangan Tatharruf/Ghuluw ini pula yang telah
mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Sesuai ajaran Rasulullah SAW, seseorang
tidak boleh mudah mengkafirkan orang lain, sebab
berimplikasi hukum yang panjang seperti halal
darahnya, dipisah dari istrinya (cerai paksa), tidak
saling mewarisi jika dia meninggal, tidak dimandikan,
tidak dikafankan, tidak disholatkan, dan tidak dikubur
di pekuburan umat Islam. Seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimah syahadat adalah muslim
yang harus dilindungi. Kemaksiatan, sampai pun dosa
besar, tidak membuat seseorang keluar dari agama,
selama tidak menolak hukum Allah SWT.
Sebagaimana yang telah kita uraikan di atas
bahwa sifat ghuluw atau tatarruf (ekstrimisme)
merupakan sikap yang tercela dalam perilaku
beragama (baca: Islam). Oleh sebab itu sikap yang
lebih bijak dan santun sebagaimana yang diajarkan
Islam, baik melalui Alquran maupun sunnah Nabi
SAW, adalah sikap beragama (ber-Islam) dengan
sikap moderasi/wasathiyah (sikap pertengahan).
Sikap wasathiyah adalah memahami agama dengan
ciri-ciri sebagai berikut. (1) Memahami realitas
MODERASI BERAGAMA | 19
dengan benar. Sebagaimana yang kita maklum,
bahwa kehidupan manusia selalu berubah dan
berkembang tiada batas. Sementara teks-teks
keagamaan terbatas. Karena itu ajaran Islam
berisikan ketentuan-ketentuan yang tsawabit (tetap)
dan hal-hal yang memungkinkan untuk berubah
sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu
(mutaghayyirat). Hal-hal yang tetap hanya sedikit,
yaitu berupa prinsip-prinsip aqidah, ibadah,
muamalah, dan akhlaq. Sedangkan selebihnya
bersifat elastis dan fleksibel (murunah) dan
dimungkinkan untuk dipahami sesuai perkembangan
zaman (mutaghayyirat). Kenyataan inilah yang
mendasari beberapa lembaga fatwa terkemuka di
negara-negara minoritas muslim untuk mengambil
pandangan yang berbeda dengan apa yang selama ini
dipahami dari kitab-kitab fiqih. Bagaimanapun segala
tindakan hendaknya diperhitungkan maslahat dan
madharatnya secara realistis sehingga keinginan
melakukan kemaslahatan jangan sampai
mendatangkan mudharat yang lebih besar; (2)
Memahami hal-hal prioritas dalam beragama. Di
dalam Islam perintah dan larangan di tentukan
bertingkat-tingkat. Misalnya saja perintah yang
bersifat anjuran (sunnah), dibolehkan (mubah),
ditekankan untuk dilaksanakan (sunnah muakkadah),
wajib dan fardhu (‘ain dan kifayah). Sedangkan
larangan ada yang bersifat dibenci bila dilakukan
(makruh) dan ada ajaran Islam yang bersifat ushul
20 | H. Muhammad Nasir
(pokok-pokok/prinsip) dan ada yang bersifat furu’
(cabang). Sikap Wasathiyyah/moderat menuntut
seseorang untuk tidak mendahulukan hal-hal yang
bersifat sunnah dan meninggalkan yang wajib.
Mengulang-ulang ibadah haji adalah sunnah,
sementara membantu saudara muslim yang
kesusahan adalah sebuah keharusan apabila ingin
mencapai kesempurnaan iman. Demikian pula
penentuan hilal puasa dan Idhul Fitri adalah
persoalan furu’iyyah yang tidak boleh mengalahkan
dan mengorbankan sesuatu yang prinsip dalam
ajaran agama, yaitu persatuan umat; (3) Memahami
sunnatullah dalam penciptaan. Yang kita maksudkan
dengan sunnatullah di sini adalah pentahapan
(tadarruj) dalam segala ketentuan hukum alam dan
agama. Langit dan bumi diciptakan oleh Allah dalam
enam masa (fi sittati ayyam) padahal sangat mungkin
bagi Allah untuk menciptakannya sekali jadi dengan
“kun fayakun”. Dan demikian pula penciptaan
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang
dilakukan secara bertahap. Seperti halnya alam raya,
ajaran agama pun diturunkan secara bertahap. Pada
mulanya dakwah Islam di Makkah menekankan sisi
keimanan/tauhid yang benar. Kemudian secara
bertahap turun ketentuan syariat. Bahkan dalam
menentukan syariat pun terkadang dilakukan secara
bertahap. Seperti pada larangan minum khamar yang
melalui empat tahapan (An-Nahal 67, Al-Baqarah 219,
An-Nisa’ 43, dan Al-Maidah 90). Sunnatullah yang
MODERASI BERAGAMA | 21
berbentuk tadarruj ini perlu mendapat perhatian
serius dari para ulama, juru dakwah, pemikir, aktivis,
politisi, dan sebagainya. Tahapan dalam ajaran
agama terbaca jelas dalam ungkapan Sayyidah Aisyah
RA, “Yang pertama kali turun dari Al-Quran adalah
surat-surat yang menyebutkan surga dan neraka,
kemudian ketika orang banyak masuk Islam turunlah
ketentuan halal dan haram. Kalau yang turun pertama
kali jangan minum khamar, maka mereka akan
mengatakan, “kami tidak akan meninggalkan khamar
selamanya.” Bila yang pertama kali turun jangan
berzina, mereka akan mengatakan,”Kami tidak akan
meninggalkan perbuatan zina selamanya.” (HR.
Bukhari); (4) Memahami kemudahan dalam
beragama. Memberikan kemudahan adalah metode
dakwah Rasulullah SAW. Ketika mengutus Mu’az bin
Jabal dan Abu Musa al-Ansyari ke Yaman, beliau
berpesan agar keduanya memberi kemudahan dalam
berdakwah dan berfatwa, serta tidak mempersulit
orang (yassira wala tu’assira) (HR. Bukhari). Hal ini
tidak berarti mengorbankan teks-teks keagamaan
dengan mencari yang paling mudah, tetapi dengan
mencermati teks-teks itu dan memahaminya secara
mendalam untuk menemukan kemudahan yang
diberikan oleh agama. Bila dalam satu persoalan ada
dua pandangan yang berbeda, yang satu boleh ketat
dan yang lainnya lebih mudah. Sebab, jika Rasulullah
SAW dihadapkan pada dua pilihan, beliau mengambil
yang paling mudah selama bukan perbuatan dosa; (5)
22 | H. Muhammad Nasir
Memahami teks keagamaan secara komprehensif.
Syariat Islam akan dapat dipahami dengan baik jika
Alquran dan hadits dipahami secara komprehensif
dan tidak sepotong-sepotong. Ayat-ayat Alquran,
begitu pula dengan hadits-hadits Nabi, harus
dipahami secara utuh. Sebab hubungan antara satu
dengan yang lainnya saling menafsirkan (al-Quran
yufassiru ba’dhuhu ba’dhan). Misalnya dengan
membaca ayat-ayat Alquran, secara utuh akan dapat
disimpulkan bahwa kata jihad dalam Alquran tidak
selalu berarti perang. Tetapi dapat bermakna jihad
melawan hawa nafsu dan setan; (6) Mengedepankan
dialog, toleran, dan terbuka dalam beragama. Sikap
Wasathiyyah/Moderat Islam ditunjukkan melalui
keterbukaan dengan pihak-pihak lain yang berbeda
pandangan. Sikap ini didasari pada kenyataan bahwa
perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah
keniscayaan. Hal ini dapat kita baca dalam Alquran
surat Al-Kahfi: 29.
MODERASI BERAGAMA | 23
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Qs. Al-
Kahfi: 29).
24 | H. Muhammad Nasir
Daftar Isi
MODERASI BERAGAMA | 25
3. PARADIGMA PENDIDIKAN BERWAWASAN
KERUKUNAN .......................................................... 160
4. KERUKUNAN SOSIAL DAN KEMULIAAN............... 169
5. SPIRIT HIJRAH UNTUK MODERASI BERBANGSA
DAN BERAGAMA .................................................... 175
6. MENUJU MODERASI SOSIAL SPIRITUAL .............. 181
7. MEMBANGUN INDONESIA RUKUN………………………189
8. MODERASI ISLAM DAN ETIKA SOSIAL …………………195
BAGIAN KETIGA
MODERASI DAN KELUARGA
1. KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA ... 198
2. MORALITAS KELUARGA DAN DEMOKRASI ............. 227
3. PRINSIP-PRINSIP MODERASI DALAM
PERNIKAHAN.......................................................... 239
4. POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA ............... 252
5. FITRAH ENERGI SUCI MANUSIA ............................ 262
6. REVOLUSI SPIRITUAL DAN IDUL FITRI ................. 268
7. MEMBANGUN RUHANI UNTUK KESEJAHTERAAN
JASMANI .................................................................. 277
BAGIAN KEEMPAT
PENUTUP
KHATIMAH .................................................................. 285
P E N U T U P (K H A T I M A H) .................................... 286
DAFTAR BACAAN ......................................................... 291
Profil Penulis ............................................................... 301
26 | H. Muhammad Nasir
BAGIAN KESATU
MODERASI DALAM
MEMBANGUN UMAT
MODERASI BERAGAMA | 27
1
TOLERANSI BERBUDAYA DAN
BERAGAMA
28 | H. Muhammad Nasir
peradaban Islam. Pembauran peradaban tersebut
telah menjadikan lahirnya peradaban Ilmu
pengetahuan yang terbaratkan, yaitu pengetahuan
sekuler. Sekulerisasi yang telah menggejala di dunia
global termasuk dunia Islam, telah berperan
melepaskan makna spiritual dari dunia ciptaan.
Akibatnya terjadi kerusakan ilmu pengetahuan
(corruption of knowledge) yang membuatnya tidak
memerankan fungsi budaya dan peradaban antar
umat manusia. Hal itu pula yang menyebabkan
tercerabutnya akar dan budaya kebersamaan yang
telah terpatri dalam prinsip-prinsip toleransi
beragama dan berbudaya yang selama ini terjalin
dengan baik. Antara budaya dan agama tidak lagi
jelas batas-batasnya. Peran budaya dianggap agama
dan peran agama dianggap budaya. Padahal tidak
semua budaya dan agama dapat berperan sejalan
dan tidak saling bertentangan satu sama lain.
Walaupun keduanya dapat hidup dan berkembang
dalam masyarakat selama dapat diterima oleh nilai
agama dan budaya yang dianut masyarakat.
Untuk itu sangat perlu adanya upaya
menempatkan kembali prinsip-prinsip toleransi
tersebut dalam pergaulan global saat ini. Prinsip
toleransi yang berkembang tersebut cenderung
bersifat sekuleristik, hedonistic dan liberalistic yang
bertentangan dengan jati diri manusia yang
spiritualis.
MODERASI BERAGAMA | 29
Toleransi dan Moralitas Kemanusiaan
30 | H. Muhammad Nasir
kemuliaan, harga diri, dan kebebasan manusia
dirampas pada masa jahiliyah, sehingga menutup diri
dari pengaruh baru yang lebih baik demi
mempertahankan tradisi leluhurnya, sehingga
“Apabila dikatakan kepada mereka: ’Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah SWT’, mereka menjawab;
“Tidak, Kami hanya mengikuti tradisi nenek moyang
kami.” Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun
leluhur mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun,
dan tidak mendapat petunjuk”. (Qs 2: 170).
Kebudayaan Islam bukanlah kebudayaan
tertutup. Justru keaslian dan kekuatan internalnya
merupakan agama yang terbuka dengan
kebudayaan-kebudayaan lain selagi kebudayaan lain
itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam.
Sebab itu seorang muslim bangga dengan budaya
dan risalah agamanya. Dia juga terbuka terhadap
kebudayaan lain untuk mengambil atau tidak
mengambil kebudayaan lain itu menurut
pertimbangan tertentu (Dr. Yusuf Qardhawi: 2000).
Rasulullah SAW, bersabda: “Kearifan (al-Hikmah)
adalah barang hilang milik seorang muslim, di mana
saja dia mendapatkannya, dia lebih berhak
memungutnya kembali.” (HR. Tirmidzi).
Dalam prinsip yang lain, toleransi merupakan
filsafat akhlaq yang berhubungan dengan sisi
kemuliaan dalam hidup seorang muslim. Sifat ini akan
menjaga seseorang dari kecenderungan ekstrim,
untuk kemudian menjadi orang yang bersifat
MODERASI BERAGAMA | 31
moderat, bersikap seimbang, pertengahan dan adil
sebagaimana petunjuk Allah SWT dalam Alquran:
“Dan carilah karunia Allah di negeri akkhirat, tapi
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
kenikmatan duniawi (Qs. Al-Qashas: 77).
Toleransi juga sebagai prinsip epistemologi.
Dalam hal ini toleransi berpijak pada sikap percaya
terhadap fitrah manusia. Meskipun terjadi
penyimpangan dalam dirinya, karena pangaruh
lingkungan, tetapi ada potensi kebaikan dalam
dirinya. Sebab itulah seorang muslim akan
memperlakukan orang lain yang berbeda agama
dengan prinsip ketetanggaan, persaudaraan,
kemanusiaan, kebangsaan, dan kebinekaan yang baik
dengan mengambil pelajaran dari pengalaman
berharga dari mereka. Sebagai prinsip epistemologi,
toleransi akan hadir dengan sikap bijaksana terhadap
beberapa sikap, yaitu; kesatu, percaya dengan fitrah
manusia. Kedua, bertetangga yang baik dengan
penganut agama-agama lain. Dan ketiga,
memanfaatkan pengalaman penganut agama lain.
Artinya, bahwa seorang muslim yang hidup dengan
prinsip kedamaian di tengah masyarakat yang plural,
baik dari agama maupum kebudayaan, dia bisa
mengambil unsur-unsur yang baik dari produk
kebudayaan dan peradaban mereka, tentu selagi
tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut
dalam masyarakat dan nilai-nilai aqidah, ataupun
32 | H. Muhammad Nasir
tidak menyalahi dengan unsur-unsur asli bawaan
Islam.
Keterbukaan Budaya
MODERASI BERAGAMA | 33
mana yang baik dan mana yang buruk, kemudian
menimbangnya dengan pendekatan hukum-hukum
agama untuk menguji kebaikannya. Jika terbukti ia
bertentangan dengan ajaran agama maka ia ditolak.
Petunjuk Allah SWT, dalam hal ini dalam surat Al-
Maidah ayat 100, “Katakanlah; tidak sama yang buruk
dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu
menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai
orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat
keberuntungan.”
Dan yang tak kalah pentingnya bahwa dalam
mengadopsi obyek adalah dengan melakukan
Islamisasi obyek yang dikutip dengan
mengembalikannya kepada prinsip-prinsip Islam.
Kedua, Aturan terkait dengan pelaku pengutipan.
Dalam hal ini terdapat beberapa aturan yang harus
diikuti oleh subyek, antara lain harus menguasai ilmu-
ilmu Islam. Komitmen dengan Islam. Bangga dengan
agamanya dan tidaklah silau melihat kebudayaan lain.
Ketiga, apabila diabaikan aturan-aturan tersebut
maka akan mengidap penyakit atau virus “siap
dijajah” apa yang disebut dengan qabiliyyah Li as-
isti’mar (Dr. Abbas Mansur Tamam: 2017). Aturan-
aturan itu sangat penting, karena mengabaikannya
akan melahirkan kerentanan terhadap jiwa yang siap
dijajah/al-qabiliyah li al-isti’mar. Hal ini merupakan
penyakit budaya yang menjangkit sebagian umat ini
ketika terbelalak melihat peradaban lain. Lalu
menjadikannya sebagai satu-satunya alternatif dalam
34 | H. Muhammad Nasir
upaya memajukan umat dan menyikapi
keterbelakangannya.
Golongan orang-orang liberal karena
mengabaikan aturan-aturan dalam keterbukaan
budaya, mereka terjebak dan menjadi agen
peradaban Barat (Muhammad Emara: 1931). Mereka
kemudian mendakwahkan agar umat ini berkiblat ke
Barat. Nauzubillah. Sebab itu, gerakan liberal di
tengah umat Islam merupakan ancaman besar dan
akan memperparah penyakit kebudayaan dan mental
dalam bentuk kerentanan jiwa siap dijajah sehingga
membuka peluang berbagai penjajahan dalam
berbagai bentuknya.
Kemudian di antara wilayah yang bisa
dimanfaatkan dari kebudayaan non muslim untuk
keterbukaan budaya, antara lain, Pertama, sain dan
teknologi bukan humaniora. Sain dan teknologi
merupakan warisan kemanusiaan. Menurut
Muhammad Asad (Leopold Weis 190-19920) pemikir
Islam kelahiran Austro-Hyngaria, berpendapat bahwa
kedua bidang itu harus dipelajari umat Islam dari
Barat. Bukan dalam bidang humaniora yang bisa
membahayakan agama mereka. Masih menurut
Asad, bahwa umat Islam ketika melakukan
keterbukaan budaya, seperti yang seharusnya
mereka lakukan terhadap sarana-sarana modern di
bidang sain dan industri. Mereka sesungguhnya tidak
melakukan lebih dari mengikuti insting kemajuan
MODERASI BERAGAMA | 35
yang membuat orang memanfaatkan pengalaman
bangsa-bangsa lain.
Tetapi jika yang mereka mengadopsi itu,
adalah sesuatu yang tidak perlu dilakukan dengan
mengambil model kehidupan Barat, sastra, tradisi,
konsep-konsep sosial Barat. Mereka sesungguhnya
tidak mengambil manfaat sedikit pun. Karena apa
yang disuguhkan Barat untuk mereka di bidang ini,
tidak lebih utama dan luhur ketimbang yang telah
disuguhkan oleh kebudayaan mereka sendiri, yaitu
yang diajarkan agamanya sendiri (Muhammad Asad:
1997). Kedua, kerugian akibat salah pilih bidang.
Kesalahan dalam memilih bidang yang tepat untuk
keterbukaan dan pengutipan akan mengakibatkan
kerugian, di antaranya, umat Islam akan kehilangan
identitas agama dan peradabannya. Kemudian
setelah itu umat Islam kehilangan jati dirinya, mereka
mengalami kelumpuhan total dalam memerankan
fungsi peradabannya bagi umat manusia. Ketiga,
keterbukaan liberal terhadap Barat. Sangat
disayangkan, kaum liberal di kalangan umat Islam
dalam sepanjang sejarah, mereka telah kehilangan
kedewasaannya dalam memilih bidang yang tepat.
Seperti dengan jelas terlihat dalam pemikiran Toha
Husein di Mesir, Ahmad Khan di India, hingga gerakan
liberal di dunia Islam hari ini, dan di Indonesia sendiri.
Jika kita mengambil gerakan Sir Ahmad Khan
di India sebagai sampel, ia telah fokus mengerahkan
kinerjanya di bidang yang tidak dibutuhkan oleh
36 | H. Muhammad Nasir
dunia Islam. Bertentangan dengan tatanan
kehidupan masyarakat yang dibangun di atas pondasi
aqidah dan syariat, serta risalah Islam. Abu Al-Hasan
An-Nadwi, 1989, menggambarkan kepada kita
kesalahan itu. Menurutya, Ahmad Khan telah
mengimpor sistem pendidikan Barat secara lengkap,
termasuk ciri-ciri khusus, ruh, dan karakternya,
bersama peradaban Barat yang mewadahinya. Dia
dengan ketat memperjuangkan kedua sisi itu, yaitu
sistem pendidikan dan peradaban Barat dengan
semangat. Akibat dari itu semua, menurut An-Nadwi,
Universitas Aligar telah melahirkan mahasiswa-
mahasiswa yang terbaratkan dan melepaskan diri
dari aqidah Islam. Disebabkan oleh pengadopsian
yang salah ini, dan karena pengaruh iklim Barat yang
dominan, di kampus itu telah tumbuh generasi
terpelajar yang namanya muslim, tapi berpikir Barat.
Aqidahnya kacau. Dia hidup terasing dari masyarakat.
Jauh dari perasaannya. Berbeda level hidupya.
Membuat masalah baru baik di rumah maupun di
tengah masyarakat Islam. Sama sekali tidak bisa
berbaur dengan masyarakat.
MODERASI BERAGAMA | 37
lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah yang
dipandu oleh para ulama, menuju lembaga-lembaga
pendidikan Barat yang dikendalikan oleh para
orientalis yang melakukan kajian terhadap Islam.
Meskipun istilah orientalisme kini tidak lagi dipakai,
tetapi mereka memakai istilah Islamic Studies. Tetapi
tradisi akademisnya tidak banyak berubah dari tradisi
orientalisme itu. Jika hal ini tidak dijelaskan dalam
perspektif Islam, maka di satu sisi akan membuat
sebagian orang mendewakan produk keilmuan
orientalisme seperti yang dilakukan oleh orang-orang
liberal. Di sisi lain akan membuat sebagian lain
mengabaikan sisi positif yang dikandung di
dalamnya.
Untuk itu, tidak diragukan bahwa Allah SWT
telah mewajibkan kita untuk bersikap adil dalam
memperlakukan orang-orang yang berbeda aqidah
dengan kita. Kita simak penjelasan Allah SWT dalam
Al-Maidah ayat 8:
38 | H. Muhammad Nasir
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs
Al-Maidah: 8).
MODERASI BERAGAMA | 39
dibutuhkan dalam keterbukaan dan pengutipan dari
kebudayaan lain tersebut.
40 | H. Muhammad Nasir
Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Qs Al-
Baqarah 143).
Oleh sebab itu sikap Islam dalam konteks
peradaban menjadi sangat penting dan fundamental
sebagai sebuah kesatuan ilmu pengetahuan. Dalam
hal ini dapat kita uraikan sebagai berikut:
MODERASI BERAGAMA | 41
1. Keterpaduan ilmu dan peradaban.
Menurut Malek Ben Nabi (1905-1973), filsuf
muslim asal Al-Jazair yang memiliki otoritas dalam
filsafat peradaban, membagi peradaban dalam tiga
unsur fundamental. Yaitu unsur manusia, unsur
tanah, dan unsur waktu (Malek ben Nabi: 1991).
Menurut rumus ini sebuah peradaban terkait dengan
pergerakan masyarakat dan interaksi individunya
dengan ruang dan waktu. Peradaban adalah intisari
sejarah. Karena fase-fase sejarah yang dilewati oleh
masyarakat dan negara secara sadar akan
menciptakan dinamika peradaban yang memberikan
ruang kepada setiap bagian dari masyarakat itu untuk
bekerja, memiliki cara tertentu dalam hidup dan
melahirkan gerakan ilmiah yang bergairah.
Ben Nabi menekankan pentingnya umat Islam
memiliki konsep dan metodologi ilmiah yang
independen, yang sesuai dengan nilai Islam. Karena
itu ia memandang absurd untuk mengimport konsep
dan metodologi ilmiah itu apa adanya dari Barat.
Alasannya karena Islam memiliki karakter yang khas,
yang membedakannya dari peradaban-peradaban
lain. Sehingga ia mengatakan, “Setiap peradaban
memiliki ciri, metode, dan pilihannya sendiri. Dunia
Barat yang memiliki basisnya dalam peradaban
Romawi dengan kepercayaan paganismenya. Hanya
membuka matanya kepada obyek yang ada di
sekitarnya, yaitu materi. Tetapi peradaban Islam
dengan aqidah tauhidnya membuka mata pada alam
42 | H. Muhammad Nasir
gaib dan supra natural, yaitu pada pemikiran (Umar
Misqawi: 2002). Artinya peradaban Barat dibangun di
atas paganism dan materialism sedang kan
peradaban Islam dibangun di atas tauhid. Dengan
kata lain, peradaban Islam adalah peradaban berbasis
aqidah tauhid yang konsisten dengan hukum-hukum
syariat yang menjadi pedoman hidup.
Prinsip utama peradaban Islam adalah
swadaya, yaitu fokus menggali dan mengembangkan
potensi yang ada dalam agamanya. Kecuali
menyangkut sains yang merupakan kepemilikan
bersama umat manusia atau pengalaman-
pengalaman penting bangsa lain yang bisa
memperkaya khazanah peradaban dan tidak
bertentangan dengan ajaran agamanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan.
Pertama, peradaban Islam memiliki karakteristik
yang membedakannya dari peradaban lain. Karena
itu tidak semua pemikiran bisa dianalogikan sebagai
“pohon zaitun yang berkah yang tidak Timur dan tidak
pula Barat”(Qs. An-Nur 35). Kedua, pemikiran adalah
produk dari peradaban. Peradabanlah yang
melahirkan pemikiran. Sebab itu menjadi lelucon jika
hukum ini dibalik, yaitu mengimport pemikiran Barat
untuk membangun peradaban Islam.
MODERASI BERAGAMA | 43
pembaharuan di luar Islam. Karena menurut Islam,
ilmu pengetahuan bukanlah monopoli suatu bangsa
tertentu, tetapi milik umat manusia. Karena
penemuan-penemuan ilmiah tidak lain merupakan
mata rantai kinerja akal seluruh umat manusia.
Interaksi antar berbagai peradaban bisa
terjadi dalam dua tipe ilmu pengetahuan, yang
masing-masing memiliki hukum berbeda. Pertama,
dalam ilmu-ilmu universal milik bersama umat
manusia seperti matematika, kimia, fisika,
kedokteran, dan disiplin lainnya yang baik metode
ilmiah, kebenaran dan hukum-hukumnya tidak
berbeda karena perbedaan peradaban. Kedua, dalam
pengetahuan terkait dengan kekhasan peradaban,
seperti ilmu-ilmu politik, sosial dan filsafat. Hukum
yang berlaku, ilmu-ilmu universal yang merupakan
milik bersama, terbuka lebar untuk diadopsi oleh
siapa saja. Tetapi pengetahuan yang berhubungan
dengan privasi peradaban harus ekstra hati-hati dan
dikritisi oleh norma-norma asli peradaban. Karena itu
sisi-sisi yang bertentangan dengan nilai-nilai
fundamental, peradabannya harus ditolak.
44 | H. Muhammad Nasir
budaya, diperlukan adanya otoritas tertinggi yang
bisa menundukkan dan menyatukan sebagai unsur
yang berbeda agar unsur-unsur asing bisa menjadi
paradigma baru yang harmonis dan sistematis
dengan unsur-unsur yang asli. Dan menjadi nilai
memajukan peradaban dan memperkaya khazanah
budaya Islam itu sendiri. Kedua, tauhid otoritas
tertinggi dalam sinergi budaya. Sesuatu yang pasti
bahwa tauhid merupakan otoritas tertinggi dalam
proses penyerapan budaya. Menyerap konsep-
konsep baru di luar Islam merupakan masalah serius
dan rumit. Islam membutuhkan kesadaran yang
sempurna, kritis, dan terbuka dalam melihat sisi baik
dan buruknya. Karena itu penyerapan pikiran-pikiran
baru tidak boleh merusak aqidah dan kepribadian
Muslim. Ketiga, proyek Islamisasi ilmu. Profesor Al-
Attas dan Al-Faruqi mengusung sebuah proyek
perubahan yang disebut dengan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Tujuannya adalah untuk
merekonstruksi setiap ilmu yang asing agar menjadi
serasi dengan Islam. Menurut ia, tauhid yang menjadi
otoritas tertinggi dalam mensinergikan kebudayaan
asing ke dalam Islam memiliki tiga dimensi, yaitu a.
Kesatuan epistemologi. Kesatuan ini menuntut agar
setiap ilmu berusaha untuk mencari kebenaran
dengan kebenaran logis, obyektif, dan kritis. Dimensi
ini akan menghilangkan persepsi laten yang membagi
ilmu kedalam akli dan naqli, yang mengisyaratkan
bahwa yang disebut dengan naqli berarti tidak logis.
MODERASI BERAGAMA | 45
Atau membagi penelitian kedalam penelitian ilmiah
dan normatif dalam arti tidak ilmiah. b. Kesatuan
hidup. Konsekuensinya, setiap ilmu harus dipandang
dengan karakter memiliki tujuan dalam
penciptaannya. Dimensi ini akan menghilangkan
untuk selamanya persepsi yang memandang
sebagian ilmu memiliki manfaat, sebagian enteral,
dan sebagian lagi tidak bernilai sama sekali selama
ilmu itu mendatangkan kebaikan bagi kehidupan. c.
Kesatuan sejarah. Konsekuensinya setiap ilmu harus
mengakui bahwa seluruh aktivitas manusia memiliki
karakter sosial atau terkait dengan umat, dan harus
mengacu kepada tercapainya tujuan umat dalam
sejarah. Dimensi ini pada gilirannya akan mengakhiri
pembagian ilmu ke dalam wilayah yang bersifat
pribadi dan sosial. Dengan menegaskan bahwa
seluruh ilmu memiliki karakter keterkaitannya
dengan umat. []
46 | H. Muhammad Nasir
2
ORMAS ISLAM
DAN NILAI PANCASILA
MODERASI BERAGAMA | 47
Namun sebaliknya, jika kemajemukan ini disikapi
secara tidak proporsional dan bahkan terus
menonjolkan aspek perbedaan yang kemudian diikuti
oleh semangat ego sektoral, maka ia akan menjadi
sumber perpecahan dan malapetaka bagi umat dan
bangsa.
Agar potensi kekuatan tersebut dapat
terintegrasi dan menjadi energi positif dalam konteks
yang kuat untuk menjadi jembatan komunikasi umat
dan perekat kemajemukan, maka peran organisasi
Islam sangat penting terutama dalam menggerakkan
dan menyalurkan ide-ide besar umat dalam
menentukan arah pembangunan bangsa. Peran
organisasi masyarakat (ORMAS) Islam di Indonesia
dalam proses pembangunan, baik secara fisik
maupun pembangunan sumber daya manusia, sudah
terbukti dalam sejarah perjuangan bangsa. Bahkan,
dapat dikatakan bahwa tanpa organisasi masyarakat
(Ormas) maka kemerdekaan Indonesia akan sulit
diwujudkan ketika itu.
Sejarah bangsa mencatat peran yang sangat
penting dimainkan organisasi masyarakat, seperti:
Boedi Oetomo (1908), Syarikat Dagang Islam (1911),
Muhammadiyah (1912), Nahdhatul Ulama (1926),
organisasi-organisasi pemuda kedaerahan (Jong
Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dll./1918),
organisasi kependidikan, dll, dalam perjuangan
pencerdasan anak bangsa menuju Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.
48 | H. Muhammad Nasir
Penguatan Kelembagaan Umat
MODERASI BERAGAMA | 49
sekalipun aktivitas kegiatan tersebut beragam dan
tidak satu model.
Dalam melakukan aktivitas, ormas dan
lembaga keagamaan hendaknya selalu mendasarkan
diri di atas prinsip, yaitu pertama, niat yang baik,
perencanaan yang terpadu, metode keagamaan
(manhaj) yang shahih; Kedua, kehidupan sosial yang
mengedepankan semangat kekeluargaan (al-
ukhuwwah) moderasi (a-tawassuth), keseimbangan
(al-tawazun) dinamis, dan memanfaatkan segala
potensi yang ada.
Ruang lingkup gerakan keagamaan (harakah
diniyah) harus mencakup segala bidang, seperti
aqidah, syariah, akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial,
politik dan budaya. Dengan demikian, perlu ada
kesadaran kolektif akan pentingnya institusi yang
mengkoordinasikan seluruh potensi kelembagaan
umat agar terarah, terkoordinasi, sinkron, dan
sinergis. Untuk tercapainya gerakan yang efektif
tersebut, MUI umpamanya diharapkan dapat
menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, sinkronisasi,
dan sinergi, sehingga tercapai tujuan gerakan
bersama.
50 | H. Muhammad Nasir
membangun komunikasi yang efektif dan kreatif
melalui jejaring ormas lainnya. Jejaring komunikasi
dalam hal ini adalah suatu wadah untuk
mensinergikan institusi atau jaringan yang memiliki
kepentingan yang sama baik dari pemerintah, non
pemerintah, media masa, dan organisasi
kemasyarakatan dalam suatu kerja sama yang lebih
mengarah pada kegiatan komunikasi untuk
menghasilkan manfaat satu sama lain.
Jejaring sosial (sosial networking) adalah
suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-
simpul (yang umumnya adalah individu atau
organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe
relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, temuan, dll. Dalam
konteks ini jejaring komunikasi merupakan hubungan
timbal balik antara individu dengan kelembagaan,
baik yang bersifat formal, informal, dan non formal.
Jejaring komunikasi kelembagaan adalah
sebuah jejaring yang bersifat sistematik antar ormas
dengan kelembagaan untuk mensinergikan potensi
ormas dan kelembagaan Islam dalam suatu gerak
langkah (tansikul harokah) yang mengarah kepada
kegiatan yang bersifat strategis. Analisis jejaring
komunikasi baik yang bersifat sosial maupun
kelembagaan memandang bahwa hubungan
tersebut sebagai simpul dan ikatan. Simpul adalah
faktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan
adalah hubungan antar faktor tersebut. Simpul dan
MODERASI BERAGAMA | 51
ikatan tersebut dapat dikembangkan berdasarkan
firman Allah Ali Imran (3): 103.
52 | H. Muhammad Nasir
Strategi Penguatan Jaringan Ormas
Peran Komunikasi
MODERASI BERAGAMA | 53
Pembentukan Jejaring Komunikasi Ormas Islam
54 | H. Muhammad Nasir
tujuan bersama dalam pembangunan pendidikan,
ekonomi, dan dakwah (PED).
Apa yang mesti dilakukan
Tingkatkan kinerja ormas Islam dan lembaga
Islam melalui: 1) Terintegrasinya data, informasi,
pengetahuan dan program sosial pendidikan,
ekonomi dan dakwah (PED); 2) Tersedianya akses
informasi yang berkualitas bagi seluruh anggota
jejaring dan pemangku kepentingan; 3) Terciptanya
koordinasi, kerja sama dan kolaborasi antar
pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat,
dan swasta); 4) Terwujudnya penguatan dan
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan,
pendidikan, ekonomi, dan dakwah (PED) yang
berkelanjutan.
MODERASI BERAGAMA | 55
Adapun prinsip-prinsip organisasi yang
dikembangkan adalah: 1) Terbuka. Perorangan dan
lembaga yang melakukan aktivitas terkait
permasalahan; 2) Formal. Organisasi yang memiliki
badan hukum; 3) Inklusif. Melibatkan semua pihak
yang terkait dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan
dakwah (PED); 4) Independen. Organisasi yang tidak
berafilisi terhadap pemerintah dan organisasi politik
dan tunduk pada keputusan rapat anggota; 5)
Penerapan prinsip kemitraan dalam bentuk kerja
sama pendidikan, ekonomi, dan dakwah (PED) 6)
Peningkatan kapasitas lembaga dan sumber daya
manusia. 7) Peningkatan penyediaan dana dari, oleh,
dan untuk umat.
Azas Organisasi
Prinsip Organisasi
56 | H. Muhammad Nasir
pada keputusan rapat anggota; 2) Struktur organisasi
sederhana (tidak birokratis) dengan tim pengarah
yang kedudukannya berada di bawah keputusan
rapat anggota. Peran tim pengarah adalah
memberikan arahan koordinasi; 3) Tim pengarah
terdiri dari perwakilan anggota yang dipilih dengan
suara terbanyak oleh rapat anggota berdasarkan
kompetensi dan integritasnya; 4) Terdapat beberapa
koordinasi bidang kerja sesuai dengan keputusan
rapat angota; 5) Selain menangani bidang kerja
tertentu, koordinator bidang juga dapat menangani
wilayah kerja tertentu; 6) Kinerja organisasi
didukung oleh ketersediaan sumber dana yang
berasal dari anggota dan sumber-sumber lain yang
sah dan disepakati. []
MODERASI BERAGAMA | 57
3
AGAMA DAN INKLUSIFISME
PENDIDIKAN ISLAM
58 | H. Muhammad Nasir
sendiri. Sebab itulah ada orang yang taat beragama
dan ada orang yang tidak taat beragama.
Dalam kajian-kajian sosiologis, kita sering
menemukan dua istilah, yaitu ‘agama’ (religion) dan
‘keberagamaan’ (religiousity). Agama (baca: Islam)
memiliki petunjuk yang jelas yang tidak ada keraguan
di dalamnya. Islam sebagai petunjuk berbeda dengan
doktrin. Sedangkan agama dalam kajian sosiologis itu
mungkin saja dapat dikaitkan dengan doktrin sebagai
keyakinan agama di luar Islam. Kalau di luar Islam
doktrin dapat dikatakan sebagai keyakinan,
sedangkan penyikapan mengandung arti
pemahaman dan pemaknaan terhadap doktrin.
Setiap penyikapan terikat oleh sosio-kultural; dan
setiap lingkungan sosio-kultural tertentu ini sangat
mempengaruhi terhadap pemahaman seseorang
tentang agamanya. Berbeda dengan Islam, petunjuk
dan ajarannya, termasuk paham ajarannya tidak
dapat dipengaruhi oleh sosio-cultural mana pun.
Kebenarannya mutlak sepanjang sejarah. Tetapi
manusianya atau umatnya yang dapat terpengaruh
oleh socio-cultural sebagaimana pandangan di atas.
Jika mengikuti pandangan para ahli studi
agama-agama pada umumnya, memang
membedakan dua istilah itu. Religion biasa
dialihbahasakan menjadi “agama” yaitu himpunan
doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku,
yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk
manusia. Sedangkan religiousity, istilah ini lebih
MODERASI BERAGAMA | 59
mengarah pada kualitas pengahayatan dan sikap
hidup seseorang berdasarkan pada nilai-nilai
keagamaan yang diyakininya.1 Dalam kehidupan para
penganut agama, antara doktrin dan
penghayatannya tidak bisa dipisahkan. Keduanya
menunjukkan dinamika kehidupan dalam beragama.
Pada sisi lain, pengungkapan keyakinan agama
seseorang atau sekelompok orang, akan berhadapan
dengan berbagai keyakinan agama yang beragam.
Oleh karena itu, berapa pandangan, teori, dan
berbagai pengalaman telah muncul berkaitan dengan
bagaimana keyakinan seseorang atau sekelompok
orang bisa hidup berdampingan secara aman, damai,
dan rukun dengan berbagai keyakinan lain yang
berbeda.
Oleh karena itu, dalam konteks
keberagamaan demikian muncul keragaman
pandangan dan paham keagamaan. Tingkat
keragaman dalam beragama ini sangat
memungkinkan terjadi sekalipun dalam
kepenganutan agama yang sama. Joachim Wach
menyatakan bahwa keberagaman pemahaman ini
mewujud dalam tiga bentuk, yaitu thought
(pemikiran) berupa sistem kepercayaan; practice
(praktik-praktik keagamaan) berupa pengabdian dan
upacara keagamaan; dan Followships (kelompok-
1Komarudin Hidayat, “Agama Untuk Kemanusiaan”, dalam Andito (ed.), Atas Nama
Agama, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hlm. 41dan 42.
60 | H. Muhammad Nasir
kelompok atau lembaga-lembaga keagamaan).2
Tinggi rendahnya kualitas beragama sebagai
“perwujudan” kebenaran agama yang diyakininya itu
terletak pada manusianya. Karena memang hanya
manusia yang menganut agama. Taufik Abdullah
menguatkan pandangan ini dengan menekankan,
bahwa memahami agama tiada lain adalah
memahami kebenaran agama dari realitas empiris,
yang berarti apa-apa yang diyakini dan diperbuat oleh
manusia dalam kesehariannya sebagai manusia
beragama.3
Penyikapan dan pandangan yang bermacam
ragam itu secara intuitif ditangkap oleh
Scheilermacher, bahwa keragaman itu sebenarnya
semakin menunjukkan adanya kesatuan di antara
(para penganut) agama-agama. Pandangan ini
tidaklah benar. Keragaman agama bukan untuk
menunjukkan kesatuan, melainkan untuk menguji
kebenaran dari agama-agama yang dianut. Maka
sangat keliru jika dikatakan bahwa “Semakin pesat
kemajuan dalam beragama, akan semakin nampak
bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang
tak terbagi.” Dan yang lebih keliru lagi apa yang
dikatakan Max Muller, seorang perintis “Science of
Religion” (Religionswissenscchaft), juga mengatakan
2Lihat Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, Diedit dan diberi pengantar oleh
Joseph M. Kitagawa, Columbia University Press, New York, 1958, hlm. 55. Edisi Indonesia
diterbitkan oleh Rajawali, Jakarta, 1984.
3 Taufik Abdullah & Rusli Karim, ed, Metodologi Penelitian Agama, Taiara Wacana,
MODERASI BERAGAMA | 61
bahwa “Hanya ada satu agama universal dan abadi
yang melingkupi, mendasari dan melampaui semua
agama-agama yang di situ mereka termasuk atau
dapat dimasukkan”.4
Ungkapan semacam ini hanyalah untuk
menunjukkan bahwa agama dan kebergamaan itu
merupakan “sesuatu yang diyakini dan dipahami
manusia”. Suatu keyakinan tidaklah berarti apa-apa
manakala tidak diekspresikan dalam tindakan
beragama oleh manusia, atau bisa dikatakan sebagai
penerapan konkret nilai-nilai yang dimiliki manusia.5
Sementara, Smith mencoba “mempersoalkan”
agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat
manusia, karena kebenaran itu muncul berdasarkan
yang dipahami oleh manusia. Keberagamaan
seseorang, bagaimanapun akan dipengaruhi oleh
struktur sosial, politik dan kultural setempat di mana
agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks ini,
kenapa “perwujudan” Islam di Indonesia bisa
dibedakan dengan Islam di Arab Saudi, Pakistan atau
Mesir? Juga, kenapa Hindu di India berbeda dengan
Hindu di Bali? Oleh karena itu, setiap agama tidak
dapat dipisahkan dari cirinya yang “kompromistis”
atau “akomodatif”. Sifat akomodatif terletak pada
penghampiran manusia terhadap agamanya yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kultur, dan politis
4 Lihat Fredrich Heiler : “Studi Agama Sebagai Persiapan Kerja Sama Antaragama”, dalam
Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000,
hlm. 232.
5 F. J. Moreno, Agama Dan Akal Fikiran, terjemahan, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 122.
62 | H. Muhammad Nasir
di mana ia hidup. Sebaliknya, sebagai sistem
keyakinan, agama dapat menjadi bagian inti dari
sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu
masyarakat dan menjadi pendorong tindakan-
tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran
agamanya.6
6
Roland Robertson, Sosiologi Agama, terjemahan, Tonis, Bandung, 1985, hlm. vi.
MODERASI BERAGAMA | 63
indera manusia bukan berarti itu tidak jelas dan pasti,
tetapi karena kemampuan nalar dan indera manusia
tidak sanggup menangkap makna di balik realitas itu.
Hal itu disebabkan oleh kelemahan akal manusia
yang sangat terbatas.
Pluralisme dapat dipahami sebagai
masyarakat majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang menggambarkan
kesan fragmentasi dalam konteks pluralisme. Selain
itu pluralisme dapat juga dipahami sebagai
“kebaikan negatif” (negative good). Apabila hanya
ditilik dari kegunaannya dalam rangka menyingkirkan
fanatisme. Di samping itu pluralisme harus dipahami
sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-
ikatan keadaban”. Bahkan, pluralisme adalah juga
suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia,
antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya.7
Makna pluralisme seperti itu, terungkap
dalam kitab suci Alquran (S.2:251): “Seandainya Allah
tidak mengimbangi segolongan manusia dengan
segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur;
namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah
kepada seluruh alam”. Suatu penegasan, bahwa Allah
menciptakan mekanisme pengawasan dan
pengimbangan antara sesama manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah
64 | H. Muhammad Nasir
satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada
umat manusia.8 Dengan demikian, pluralisme bisa
muncul pada masyarakat di mana pun ia berada. Ia
selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang
semakin cerdas dan tak ingin dibatasi oleh sekat-
sekat sektarianisme. Pluralisme harus dimaknai
sebagai konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi, bahwa
keyakinan seseorang tidak dapat diklaim benar dan
salah tanpa mengetahui dan memahami terlebih
dahulu latar belakang pembentukannya, seperti
lingkungan sosial budaya, referensi atau informasi
yang diterima, tingkat hubungan komunikasi, dan
klaim-klaim kebenaran yang dibawa dengan
kendaraan ekonomi-politik dan kemudian direkayasa
sedemikian rupa demi kepentingan sesaat, tidak akan
diterima oleh seluruh komunitas manusia mana pun.
Pada situasi dewasa ini, diperlukan kesadaran
akan sifat dan hakekat “pluralistik” dan “lintas
budaya”. Disebut “pluralistik”, karena tidak ada lagi
satu budaya, ideologi, maupun agama (kecuali Islam)
yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya sistem
yang unik dan bahkan terbaik dalam pengertian
absolut. Di sebut lintas budaya, karena komunitas
manusia tidak lagi hidup dalam sekat-sekat, sehingga
setiap persoalan manusia saat ini yang tidak dilihat
dalam parameter kemajemukan budaya adalah
persoalan yang secara metodologis salah letak.9
8Ibid.
9Raimundo Pannikar, “Dialog Yang Dialogis”, dalam Ahmad Norma Permata (ed), op.cit.
hlm. 199.
MODERASI BERAGAMA | 65
Berdasarkan fakta empiris-historis,
keragaman beragama (pluralitas) tidak mungkin bisa
dihindari. Inilah yang diingatkan oleh Nurcholish
Madjid, bahwa sistem nilai plural adalah sebuah
aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin
berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barangsiapa
yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan
budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan
yang tidak berkesudahan.10 Demikian juga
pandangan H.M Rasjidi yang mengakui bahwa dalam
kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex
yang mengandung religious pluralism, bermacam-
macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau
tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan
mengakui adanya religious pluralism (dengan tidak
mengklaim semua agama sama) dalam masyarakat
Indonesia.11 Boleh dikatakan bahwa memahami
pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari
cara memahami agama secara kontekstual.
Memahami agama, pada dasarnya memahami juga
kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika
agama dipahami secara integral dengan kondisi sosial
kulturalnya, pada saat itu pula akan tampak dengan
sendirinya mana aspek budaya yang selaras dengan
misi agama dan mana yang tidak.
Dengan kenyataan bahwa keberagamaan
masyarakat Indonesia adalah pluralistis dan
10 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995.
11 M. Rasjidi, Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968, Tahun ke VIII, hlm. 35.
66 | H. Muhammad Nasir
merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari,
maka masalah ini diakui dalam konstitusi dan telah
ditegaskan adanya jaminan untuk masing-masing
pemeluk agama dalam melaksanakan ajaran sesuai
dengan keyakinan masing-masing. Oleh karena itu,
kekayaan keragaman ini bila dikelola dengan baik dan
positif, maka akan menjadi modal besar bagi bangsa
Indonesia. Namun bisa juga menjadi bencana yang
mengandung potensi konflik. Sebagai kenyataan
sosial, pluralitas agama ini tak jarang menjadi
problem, di mana agama di satu sisi dianggap sebagai
hak pribadi yang otonom. Namun di sisi lain hak ini
memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam
kehidupan masyarakat. Masing-masing penganut
agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang
dianutnya (claim of truth) harus diwartakan dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam
konteks ini, agama seringkali menjadi potensi konflik
dalam kehidupan masyarakat.
Bukan saja hanya keragaman dalam
beragama yang berpeluang memunculkan konflik,
tetapi juga bisa terjadi karena keragaman etnis dan
budaya. Perbedaan budaya menjadi sebuah konduksi
dalam hubungan interpersonal. Misalnya, ada yang
mengangguk-nganggukkan kepala atau bilang ‘uh’,
tepuk tangan ataupun mengedipkan mata ketika
mengungkapkan perhatiannya ketika diajak bicara
atau mendengarkan pidato. Di kalangan psikolog,
perbedaan budaya menunjukkan perbedaan
MODERASI BERAGAMA | 67
intelegensia masyarakat. Masyarakat Sunda
bercirikan ramah, masyarakat Bali lemah gemulai,
dan lain-lain. Jika masyarakat atau seseorang
memiliki kemampuan menguasai hal itu maka
merupakan ciri dari tingkat intelegensianya.
Sementara, manipulasi dan rekayasa kata dan angka
menjadi penting dalam masyarakat Barat, maka
keahlian dalam memiliki kemampuan ini
menunjukkan kepada kemampuan intelegensianya.12
Di sinilah perlunya membangun kesadaran bersama
penghormatan terhadap keragaman identitas sosial
termasuk identitas dan ekspresi keberagamaan. Oleh
karena itu, sangat diperlukan adanya pengetahuan
dan pemahaman tentang budaya yang beragam itu
supaya tidak terjadi fragmentasi kelompok,
ketersinggungan, kesalahpahaman, dan konflik-
konflik horizontal.
Dalam menyikapi keragaman budaya itu,
sedikitnya ada tiga sudut pandang yang berbeda dan
bahkan bisa memunculkan konflik, yaitu 1)
Pandangan primordialis, di mana identitas asal sangat
kental, baik itu agama, suku, adat, dll; 2) pandangan
instrumentalis, di mana keragaman budaya dan
identitas dijadikan alat untuk mencapai tujuan, baik
materil maupun nonmateril. Pandangan ini sering
digunakan oleh para politisi. Misalnya ketika
meneriakkan Islam, adalah dengan maksud semua
68 | H. Muhammad Nasir
umat Islam mem-backup-nya untuk kepentingan
politiknya; dan 3) konstruktivis, yaitu keragaman
budaya dan identitas dibentuk sebagai jaringan
pergaulan sosial.13 Bagi mereka, persamaan adalah
anugerah sedangkan perbedaan adalah berkah.
Tampaknya, yang ketiga ini terbuka ruang wacana
untuk multikulturalisme dan menerima pluralitas
beragama dalam membangun toleransi, egaliteran,
persamaan, dan lain-lain yang bersikap inklusif.
Wacana ini sudah sering dibicarakan di lingkungan
akademisi, praktisi budaya, dan agamawan.
13Ibid.
14 Lihat; budhy Munawar Rachman : Resolusi Konflik Agama Dan Masalah Klaim
Kebenaran”, salah satu kumpulan tulisan yang terdapat dalam buku berjudul : Dari
Kesergaman Menuju Keberagaman, Wacana Multi-kultural Dalam Media, Sandra Kartika
dan M. Mahendra (editor), Lembaga Studi Pers & Pembangunan, Jakarta, 1999, hlm. 129-
130.
MODERASI BERAGAMA | 69
dan kebenaran agamanya. Berbeda dengan konteks
keislaman, bahwa teologi Islam sangat jelas
memberikan petunjuk tentang kebenaran (‘alhaqu
mirrabikum’) Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan
agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-
tawar, apalagi berganti. Agama bukan sebagai
(seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat
diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Ia involved
dengan keyakinan agamanya.15 Demikian pula,
pemahaman pluralistis tidak serta merta diiringi
dengan keharusan pertemuan dalam masalah-
masalah teologis, atau pertemuan dalam hal
keimanan, namun hanya untuk memberi tempat dan
pengakuan terhadap keberadaan agama-agama lain.
Pandangan pluralismenya tidak sampai masuk pada
perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang
ada di dalam agama lain. Ia sama sekali tidak
menyinggung tentang hal itu. Sebaliknya, ia juga agak
memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis
dari agama lain.
Berbagai pandangan dan teori dalam
mempelajari dan memahami keragaman dalam
beragama itu banyak ditemukan. Setidaknya, tiga
pendekatan yang sering digunakan: pendekatan
teologis, politis, dan sosial kultural. Untuk
pendekatan kedua dan ketiga, biasanya
15 M. Rasyidi, loc.cit.
70 | H. Muhammad Nasir
dikelompokkan pada pendekatan teoritis.16
Pendekatan teologis adalah mengkaji hubungan antar
agama berdasarkan sudut pandang ajaran agamanya
masing-masing. Bagaimana doktrin-doktrin agama
“menyikapi” dan “berbicara” tentang agamanya dan
agama orang lain. Sedangkan pendekatan teoritis
adalah melalui analisis politis dilihat dalam konteks
“kerukunan” dengan maksud untuk melihat,
bagaimana masing-masing (penganut) agama
memelihara ketertiban, kerukunan dan stabilitas
suatu masyarakat yang multi agama. Sedangkan
pendekatan kultur atau budaya adalah untuk melihat
dan memahami karakteristik suatu masyarakat yang
lebih menitikberatkan pada aspek tradisi yang
berkembang dan mapan, di mana agama dihormati
sebagai sesuatu yang luhur dan sakral yang dimiliki
oleh setiap manusia atau masyarakat. Tradisi “rukun”
menjadi simbol dan sekaligus sebagai karakteristik
sebuah masyarakat yang telah berjalan sejak lama
dan turun temurun. Konsep “kerukunan hidup
antarumat beragama” misalnya, bisa dianalisis
melalui pendekatan politis maupun kultural. Konsep
itu, lebih menitikberatkan pada muatan politis dan
kulturalnya ketimbang teologis. Karena agama
begitu nyata terlibat dalam dunia manusia yang tidak
lepas dari kecenderungan politis dan kulturalnya.
Melalui kajian teologis, kita bisa memahami
teks-teks masing-masing agama berkenaan dengan
16 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm. 22-23.
MODERASI BERAGAMA | 71
penyikapan agamanya dengan agama orang lain.
Oleh karena itu, buku-buku yang ditulis oleh para
ulama dan cendekiawan agama berkenaan dengan
penyikapan agama masing-masing itu, sangat
membantu kita dalam memahami doktrin-doktrin
agama berkenaan dengan hubungan antar agama,
apakah aspek ekonomi, politik, sosial budaya, dan
lain sebagainya. Sedangkan, dari pandangan politis,
kita bisa melihat dari ideologi sebuah masyarakat
atau negara yang dimilikinya. Ideologi ini sangat
mempengaruhi terhadap hubungan masing-masing
agama. Pada sebuah negara yang bertipe
“demokratis” (umumnya di Barat), misalnya, maka
hubungan antar agama akan bersifat demokratis
pula, tetapi lebih memiliki kecenderungan bahwa
agama itu hanya milik individu dan bersifat internal.
Sebaliknya, pada sebuah masyarakat yang tidak atau
semi demokratis (umumnya di Timur), cenderung
sosok agama bersifat ekslusif, masing-masing umat
beragama ingin menampakkan dan menonjolkan
agamanya sebagai satu-satunya sumber semua aspek
kehisupan manusia. Tetapi sulit diwujudkan dalam
praktik-praktik berbangsa dan bernegara, karena
berbenturan dengan agama-agama lain dan tradisi
atau budaya lainnya yang telah berkembang cukup
lama.
Demikian juga, banyak teori yang telah
diajukan oleh para agamawan (juga cendekiawan) di
Indonesia berkaitan dengan toleransi beragama.
72 | H. Muhammad Nasir
Tetapi bila disederhanakan meliputi dua hal. Pertama,
dari sisi ‘konsep kerukunan’, yakni pemaparan
teologis masing-masing agama; Kedua, pada aspek
‘dialog’ antar cendekiawan yang diwujudkan dalam
bentuk hubungan antar lembaga formal. Tetapi,
hubungan antar lembaga formal ini baru bersifat
seremonial, belum pada tataran konsepsional.
Munculnya “orde reformasi” menampakkan
kelemahan pada konsep pada kerukunan umat
beragama yang sudah dibuat dan dipublikasikan.
Ternyata, konsep itu bisa berjalan lebih bersifat
pendekatan “keamanan” dibandingkan
“kesadaran”. Maka, secara praktis, dialog
keagamaan harus berangkat dari kesadaran
beragama. Sebab, kesadaran beragama lahir dari
pengetahuan dan pengalaman beragama.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang
yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai
satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran
sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol
agama yang dipahami secara subyektif oleh setiap
pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut.
Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran
itu tampil beda ketika akan dimaknai dan
dibahasakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan
latar belakang yang diambil dari konsepsi ideal turun
ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural.
MODERASI BERAGAMA | 73
Dan ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan
keagamaan (harakah) pada umumnya. Sebab mereka
mengklaim telah memahami, memiliki, dan bahkan
menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai
suci itu.
Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari
semua perilaku pemaksaan konsep-konsep
gerakannya kepada manusia lain yang berbeda
keyakinan dan pemahaman dengan mereka.
Armahedi Mahzar menyebutkan bahwa
absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme,
dan agresivisme adalah “penyakit” yang biasanya
menghinggapi aktivis gerakan keagamaan.
Absolutisme adalah kesombongan intelektual.
Eksklusivisme adalah kesombongan sosial. Fanatisme
adalah kesombongan emosional. Ekstremisme
adalah berlebih-lebihan dalam bersikap.
Anagresivisme adalah berlebihan dalam melakukan
tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil
resmi kesombongan (‘ujub). Dua penyakit terakhir
adalah wakil resmi sifat yang berlebih-lebihan.17
Dalam konteks kehidupan beragama yang
pluralistis sebagaimana tersebut di atas, maka untuk
memelihara keragaman keyakinan beragama dalam
konteks kerukunan, diperlukan suasana saling
pengertian dan saling menghormati di antara
74 | H. Muhammad Nasir
berbagai penganut agama. Salah satu cara untuk
sampai pada suasana “rukun”, saling pengertian dan
menghormati itu adalah melalui upaya memahami
doktrin yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
moderasi beragama dengan keyakinan agama yang
berbeda. Masing-masing agama, khususnya Islam
memiliki prinsip-psinsip dasar ini. Di samping
toleransi dalam beragama ini merujuk pada norma-
norma masing-masing agama, juga, bisa berasal dari
pengalaman-pengalaman pribadi manusia beragama,
baik pengalaman langsung maupun pengalaman atas
dasar memahami fenomena beragama. Untuk itu,
bagi umat beragama diperlukan:
1. Keyakinan yang kuat yang didasarkan atas
pemahaman dan pengetahuan yang benar
tentang agamanya. Di sini, agama (doktrin)
memberikan rambu-rambu yang jelas dan tegas,
bagaimana bergaul secara komunikatif, toleran,
dan saling menghormati di antara para pemeluk
agama;
2. Minimal memiliki pengetahuan standar tentang
ajaran (doktrin) agama orang lain yang berbeda
dengan kita dari sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan. Cara ini dimaksudkan
untuk menghindari ketersinggungan,
kesalahpahaman, dan penilaian yang salah
tentang (doktrin) agama mereka.
MODERASI BERAGAMA | 75
3. Memahami karakteristik budaya, tradisi, dan
kesukuan yang beragam sebagai kunci utama
dalam memasuki pergaulan sosial.
4. Kontinyuitas dialog antar pemuka dan tokoh
agama lebih intens. Cara ini dilakukan mengingat
di mata sebagian besar umat beragama,
berkredibilitas ketokohan agama tetap tinggi
dan terpelihara untuk membimbing dan
menyelesaikan persoalan-persoalan internal dan
eksternal kehidupan beragama.
5. Peran pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik
formal maupun nonformal dalam menanamkan
nilai-nilai kerukunan, toleransi, solidaritas, dan
saling menghormati antar kepenganutan yang
berbeda sangatlah besar. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang “rukun” bukan hanya
berasal dari kultur lokal saja, tetapi jauh lebih
penting adalah dari doktrin agama yang
mengajarkan dan memberi kesadaran
kemanusiaannya.
76 | H. Muhammad Nasir
yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil
menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi
satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu, kita
tidak harus memaksakan inklusivisme “gaya kita”
pada orang lain, yang menurut kita ekslusif. Sebab,
bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya
masih terkungkung pada jerat-jerat ekslusivisme.
Tetapi dengan menggunakan inklusivisme.
Dari sisi lain, yang tampak ke permukaan
adalah, bahwa terjadinya konflik antar agama muncul
sebagai akibat kesenjangan ekonomi
(kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik,
ataupun perbedaan etnis. Akhirnya konsep
kebenaran dan kebaikan yang berakar dari idelogi
politik atau wahyu Tuhan sering menjadi alasan
pembenar penindasan kemanusiaan. Hal ini pun bisa
terjadi ketika kepentingan pembangunan dan
ekonomi atas nama kepentingan umum sering
menjadi pembenar tindak kekerasan. Ditambah pula
dengan klaim kebenaran (truth claim) dan watak
missioner dari setiap agama, peluang terjadinya
benturan dan kesalah-pengertian antar penganut
agama pun terbuka lebar, sehingga menyebabkan
retaknya hubungan eksternal agama-agama. Maka
penting dilakukan dialog antar agama. Sedangkan
untuk internal agama, diperlukan reinterpretasi
pesan-pesan agama yang lebih menyentuh
MODERASI BERAGAMA | 77
kemanusiaan yang universal. Dalam hal ini, peran
para tokoh agama lebih dikedepankan.18
Oleh karena itu, dialog kerukunan dalam
beragama’, atau kepenganutan agama dalam
konteks pluralisme keyakinan agama menjadi sangat
penting untuk dipahami, diluruskan, dan
ditindaklanjuti dalam aktivitas kehidupan beragama,
sehingga secara esensial dapat diketahui, dipahami,
dan diamalkan oleh para penganut agama ketika
bersinggungan dan berhadapan dengan para
penganut yang berbeda keyakinan. Dialog menjadi
salah satu media penting bagi terwujudnya
keharmonisan antar agama, karena berpijak dari nilai
akademis (intelektual), pengalaman dan kesadaran
dalam beragama.
78 | H. Muhammad Nasir
keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan
ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah,
luar sekolah dan keluarga. Berdasarkan konsep
pendidikan ini, maka sesungguhnya pendidikan
merupakan pembudayaan atau “enculturation”,
suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu
hidup dalam suatu masyarakat tertentu dengan
keragaman budaya dan keyakinan. Konsekuensi dari
pernyataan ini, maka praktik pendidikan harus sesuai
dengan perkembangan masyarakat, sebab praktik
pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori
pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori
pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan
hidup masyarakat yang bersangkutan. Maka tidaklah
heran kalau pendidikan bisa dipandang sebagai
simbol peradaban. Bahkan dapat dikatakan, bahwa
maju mundurnya atau baik buruknya peradaban
suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan
oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh
masyarakat bangsa tersebut.19
Pendidikan pada hakekatnya merupakan
suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi
penolong atau penentu umat manusia dalam
menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk
memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia.
Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia
sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia
MODERASI BERAGAMA | 79
masa lampau, yang sangat tertinggal baik kualitas
kehidupan maupun proses-proses
pemberdayaannya. Maka maju mundurnya atau baik
buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu
bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan
yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.
Kemajuan, peradaban yang dicapai umat manusia
dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari peran-
peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan
teknologi yang dicapai bangsa-bangsa diberbagai
belahan bumi ini, telah merupakan akses produk
suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa
kemajuan yang dicapai dunia pendidikan selalu di
bawah kemajuan yang dicapai dunia industri yang
memakai produk lembaga pendidikan.20
Pendidikan agama Islam, misalnya, tidak
dapat dipahami sebatas ‘pengajaran agama’, juga,
parameter keberhasilan pendidikan agama tidak
cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak
menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau
pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus
keagamaan semata. Lebih-lebih penilaian yang
diberikan melalui ‘angka-angka’ yang didasarkan
pada seberapa siswa didik menguasai materi sesuai
dengan buku ajar. Justru penekanan yang lebih
penting adalah seberapa dalam tertanamnya nilai-
nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa
20http://qastalany.wordpress.com/2007/09/22/paradigma-pendidikan-islam/
- _ftn3.
80 | H. Muhammad Nasir
dalam pula nilai-nilai tersebut terwujud dalam
tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan
melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Karena itu
pendidikan agama adalah pendidikan untuk
pertumbuhan total seorang manusia. Seyyed Hossein
Nasr, menegaskan bahwa pendidikan agama (Islam)
musti berkepedulian dengan seluruh manusia untuk
dididik. Tujuannya bukan hanya melatih pikiran,
melainkan juga melatih seluruh wujud pribadi. Itulah
yang menyebabkan mengapa pendidikan agama
(Islam) bukan hanya menyampaikan pengetahuan
(al-Ta’lim), tetapi juga melatih seluruh diri siswa (al-
Tarbiyah). Fungsi guru bukan sekedar seorang
mu’allim, penyampai pengetahuan, tetapi juga
seorang murabbi, pelatih jiwa dan kepribadian.21
Upaya membangun pendidikan Islam
berwawasan global yang ditandai dengan keragaman
budaya dan agama itu memang bukan persoalan
mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan
Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan,
menanamkan nilai-nilai ajaran Islam. Dan di pihak lain,
berusaha untuk menanamkan karakter budaya
nasional Indonesia dan budaya global. Tetapi, upaya
untuk membangun pendidikan Islam yang
berwawasan global yang keragaman agama itu dapat
dilaksanakan dengan langkah-langkah yang
21
Syamsul Ma’arif, “Islam dan Pendidikan Pluralisme, Menampilkan Wajah
Islam Toleran melalui Kurikulum PAI berbasis Kemajemukan”, Makalah yang
disampaikan dalam Annual Conference, Kajian Islam, Lembang Bandung, 26-
30 Nopember 2006.
MODERASI BERAGAMA | 81
terencana dan strategis. Misalnya saja, bangsa
Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang
mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya
sebagai suatu bangsa yang maju dengan tetap kental
dengan nilai-nilai religius. Dengan contoh bangsa
Jepang, maka pembinaan dan pembentukan nilai-
nilai Islam tetap relevan. Bahkan tetap dibutuhkan
dan harus dilakukan sebagai “kapital spiritual” untuk
masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
menghadapi tantangan global menuju masyarakat
madani Indonesia. Dari pandangan ini, tergambar
bahwa peran pendidikan sangatlah sentral dalam
kehidupan masyarakat yang senantiasa “sistem
sosial, politik, dan ekonomi bangsa selalu menjadi
penentu dalam penetapan dan pengembangan
peran pendidikan.22
Perbedaan budaya, agama, aspirasi politik,
kepentingan, visi, dan misi, keyakinan dan tradisi
merupakan sebuah konduksi dalam hubungan
interpersonal yang kadang-kadang juga menjadi
perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka
dapat dikatakan berbagai kekisruhan etnis yang
merebak di banyak tempat di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, bagian dari krisis multi
dimensi yang dihadapi Negara dan bangsa Indonesia
sejak pertengahan Tahun 1997 pada masa akhirnya
82 | H. Muhammad Nasir
rezim orde baru merupakan akibat dari rendahnya
kesadaran dan wawasan multikulturalisme.23
Program pendidikan bagaimanakah yang
relevan dengan kehidupan masyarakat dan bangsa
dengan corak masyarakat majemuk ini dengan
berbagai etnis, suku bangsa, dan agama yang ada di
dalamnya. Sebab masing-masing etnis, suku bangsa,
dan agama tadi membawa kultur sendiri-sendiri dan
keagamaan ini tentu menjadikan masyarakat dan
bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultural.
Oleh karenanya, pengakuan akan keragaman etnis,
suku dan budaya penting ditumbuhkan pada peserta
didik. Karena para pendiri bangsa ini sesungguhnya
telah menempatkan ideologi multikultural sebagai
dasar kehidupan bernegara dan berkebangsaan yaitu
“Bhinneka Tunggal Ika ”. Dalam ideologi
multikultural perbedaan dalam kesederajatan tentu
diakui dan diagungkan, baik secara individual atau
kelompok maupun secara kebudayaan. Sayangnya,
penghargaan terhadap perbedaan dalam
kesederajatan ini nyaris tidak pernah ditumbuh-
kembangkan terutama selama lebih dari 32 tahun
masa pemerintahan Orde Baru. Selama kurun waktu
itu, konsep pendidikan selalu seragam dan selalu
merupakan upaya atau berkarakteristik
penyeragaman budaya.
23
Adeng Muchtar Ghazali (ed), Otonomi Pendidikan, Lembaga Penelitian UIN
SGD Bandung, 2008, hlm. 1-7, diambil dari tulisan Hujair Snaky, “Paradigma
Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan
Realitas”, www.sanaky.com; September 2006.
MODERASI BERAGAMA | 83
Penutup
84 | H. Muhammad Nasir
Semua perbedaan ini mendorong manusia untuk
saling kenal-mengenal dan membutuhkan apresiasi
dan respek satu sama lain. Dalam pandangan Islam,
perbedaan itu, bukanlah warna kulit dan bangsa,
tetapi hanyalah tergantung pada tingkat ketakwaan
masing-masing.24 Inilah yang menjadi dasar
perspektif Islam tentang “Kesatuan Umat Manusia”
(Universal humanity), yang pada gilirannya akan
mendorong berkembangnya solidaritas antar
manusia (ukhuwah insaniyyah).25
Kedua, dalam perspektif Islam, manusia
dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Dengan
fitrahnya setiap manusia dianugerahi kemampuan
dan kecenderungan bawaan untuk mencari,
mempertimbangkan, dan memahami kebenaran,
yang pada gilirannya akan membuatnya mampu
mengakui Tuhan sebagai sumber kebenaran
tersebut. Kemampuan dan kecenderungan inilah
disebut sebagai sikap “hanif”.26 Atas dasar prinsip ini,
Islam menegaskan prinsipnya bahwa setiap manusia
adalah homo religius. Di dalam Alquran, manusia hanif
itu diidentifikasikan dengan Nabi Ibrahim yang dalam
pencarian kebenaran yang pada akhirnya
menemukan Tuhan sejati.27 Ibrahim dipandang
sebagai tiga panutan agama, yaitu Yahudi, Kristen
MODERASI BERAGAMA | 85
dan Islam. Sehingga di kalangan para penstudi
agama-agama dikenal sebagai “agama Ibrahim”
(Abrahamic Religions).28 []
28
Penjelasan luas tentang Agama Ibrahim ini, bisa dilihat dalam buku, Adeng Muchtar Ghazali, Agama
dan Keberagaman dalam Kontekss Perbandingan Agama, Pustaka Setia Bandung, 2004, hlm. 69-90.
86 | H. Muhammad Nasir
4
NILAI ISLAM DAN PANCASILA
DALAM JATI DIRI BANGSA
MODERASI BERAGAMA | 87
dan bernegara. Akibatnya tatanan nilai kehidupan
berbangsa terasa semakin menipis. Persoalan bangsa
terkesan semakin multi komplek dirasakan dari
berbagai posisi mana pun. Kondisi ini berdampak
pada kekhawatiran perjalanan politik, sosial,
ekonomi, dan budaya bangsa yang cenderung
kehilangan arah. Sementara nilai-nilai aktual positif
(nilai luhur) semakin menjauh dari kepribadian
bangsa, sehingga kehidupan bermasyarakat berjalan
dengan berbagai keraguan seakan-akan tanpa
kepastian. Dan bahkan kehilangan kontrol dan
pedoman dalam perilaku sosial masyarakat.
Sebagai suatu negara penduduk Indonesia
yang mendiami wilayah di tanah air ini mayoritas
adalah penduduk muslim. Kondisi itu secara prediktif-
akumulatif memungkinkan untuk mewarnai
kehidupan berbangsa di negeri ini dengan warna
Islam. Sementar di pihak lain mungkin akan
menjawab bahwa masyarakat Islam adalah
mayoritas, tetapi berfungsi minoritas atau dapat
disebut numerical majority, banyak bilangannya akan
tetapi technical minority sedikit dalam peranannya
(Imam Munawwir: 1984).
Indonesia yang memiliki masyarakat Islam
terbesar seperti itu tentu sangat diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan fungsi technical majority
(banyak dalam berperan) dan memberikan warna
dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka sebagai bangsa yang besar yang berdiri di atas
88 | H. Muhammad Nasir
tatanan hukum yang dianut dan diyakini oleh
segenap bangsa akan semakin jelas wujudnya
walaupun masih berproses menuju ke arah
kesempurnaan.
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum
(rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan
(machtsstaat), yang mana Pancasila dan UUD 1945
sebagai dasar dan pedoman hidupnya (Harun Arsyad:
1983). Banyak para pakar yang telah mencoba
mendefinisikan apa itu negara. Walaupun demikian,
dalam hukum internasional telah dijelaskan bahwa
negara biasanya mempunyai tiga unsur pokok yang
mesti terpenuhi sebagai prasyarat bisa disebut
negara, termasuk Indonesia. Ketiga unsur pokok itu
adalah: 1. Adanya Rakyat/sejumlah orang; 2. Adanya
wilayah tertentu; dan 3. Adanya pemerintahan yang
berwilayah atau berdaulat (Muhammad Thahir
Azhary: 1983).
Indonesia sebagai negara yang berfalsafah
Pancasila, telah memproklamirkan kemerdekaan 65
tahun yang lalu. Ini artinya proses kehidupan
berbangsa dan bernegara sudah berjalan lama
dengan dasar kehidupan berbangsa yang cukup
matang. Falsafah Pancasila sebagai pedoman
berbangsa dan bernegara itu berbeda dengan
falsafah bangsa lainnya di dunia seperti falsafah
bangsa barat. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Oemar Senoadji bahwa Indonesia sebagai negara
hukum yang berdasarkan Pancasila mempunyai ciri
MODERASI BERAGAMA | 89
khas berbeda dengan negara lain. Sebab itulah
Indonesia di sebut juga dengan Negara Hukum
Pancasila. Salah satu ciri khusus Negara Hukum
Pancasila itu adalah adanya jaminan terhadap
Freedom of Religion atau kebebasan beragama
(Oemar Soeno Adji: 1980). Ini berarti pula bahwa
tidak ada tempat bagi atheisme atau propaganda anti
agama di Indonesia.
Pancasila sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945, yang dipertegas dalam pasal
29, dengan jelas menyatakan bahwa kedaulatan
Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa Indonesia
bukanlah negara sekuler dan juga bukan negara
agama (Oemar Soeno Adji: 1980). Maka prinsip yang
dikandung dalam sila yang pertama adalah adanya
suatu pengakuan bangsa Indonesia terhadap Wujud
Tuhan (Kris santoro: 1980). Hal ini pernah ditegaskan
oleh Presiden Soeharto pada Dies Natalis ke–25
Universitas Indonesia tanggal 15 Februari 1975 dan
pada peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad
SAW, 24 Maret 1975 di Jakarta, beliau mengatakan:
“Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan sifat
bangsa kita yang percaya kepada kehidupan lain di
masa nanti setelah selesai kehidupan kita di dunia
sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengajar
nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka
jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.
90 | H. Muhammad Nasir
Islam dan Pancasila
MODERASI BERAGAMA | 91
kurangnya terdapat beberapa alasan, yaitu, 1. Nilai-
nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam; 2. Fungsinya
sebgai nuktah-nuktah kesepakatan antar berbagai
golongan untuk mewujudkan kesatuan politik
bersama (Dr.Nurkhalis Madjid: 1999).
Dalam sejarah perkembangan politik umat
Islam terdapat konstitusi dan dokumen politik yang
dikenal dengan Konstitusi Madinah. Konstitusi ini
tidak dapat disamakan dengan Pancasila tetapi nilai-
nilai yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa
dan bernegara terdapat kesamaan yaitu ide-ide yang
menjadi pandangan hidup modern seperti kebebasan
beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur
hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan
hubungan ekonomi antar golongan dan lain
sebagainya (Dr. Nurkhalish Madjid: 1999).
92 | H. Muhammad Nasir
perumusan formal itu yang mesti kita sebut sebagai
ideologi nasional. Pancasila adalah sebuah ideologi
modern. Hal itu tidak saja karena ia diwujudkan dalam
zaman modern, tetapi juga lebih-lebih lagi karena ia
ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang
dengan wawasan modern, yaitu para bapak pendiri
bangsa Indonesia, dan dimaksudkan untuk
memberikan landasan filosofis bersama (common
philosphical ground) sebuah masyarakat plural yang
modern yaitu bangsa Indonesia. Sebagai produk
pikiran modern, Pancasila adalah sebuah ideologi
yang dinamis. Watak dinamis Pancasila itu
membuatnya sebagai ideologi terbuka. Adapun nilai-
nilai Pancasila yang mesti diaktualisasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah,
Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila
pertama dari Pancasila ini merupakan rangkuman
ajaran teologi dari semua agama dan kepercayaan di
Indonesia. Ia merupakan nilai spiritual yang
menyadarkan manusia akan kelemahan dan
keterbatasan dirinya sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Nilai ini akan mendorong manusia dan
masyarakat untuk saling menghargai sesama
makhluk, sesama manusia, dan sesama warga
negara. Hal ini juga memberikan pedoman agar
semua warga negara yang berbeda agama dan
kepercayaan dapat hidup bersama secara damai,
rukun, dan harmonis. Di samping itu sila pertama ini
juga mengandung pengertian bahwa Indonesia
MODERASI BERAGAMA | 93
bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama
tetapi pemerintah menjamin agar setiap warga
negara dapat mengekspresikan ajaran agama dan
kepercayaan masing-masing secara nyaman, aman,
dan bertanggungjawab. Kedua, Sila kemanusiaan
yang adil dan beradab. Dalam sila kedua ini, negara
harus memenuhi, menegakkan dan melindungi hak
azazi manusia setiap warga berdasarkan prinsip
keadilan dan keadaban. Atas dasar ini pula Indonesia
telah menerima deklarasi universal HAM, meratifikasi
sejumlah komponen Internasional berkait dengan
hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
serta mengesahkan sejumlah UU Nasional tentang
perlindungan HAM; Ketiga, Persatuan Indonesia. Sila
ketiga ini merupakan pedoman negara dalam
membangun persatuan dan kesatuan Indonesia
dalam wadah NKRI. Negara kesatuan Indonesia tidak
boleh dibiarkan berpecah belah oleh keinginan
segelintir orang atau kelompok orang yang ingin
mengubah Indonesia menjadi negara sekutu dan
tidak boleh dinodai oleh pikiran-pikiran sektarian
yang mengusung ideologi teokratis dan
totalitarianism. Keempat, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Maksud luhur yang terkandung dalam
sila ini bahwa Pancasila merupakan pedoman untuk
mewujudkan negara yang demokratis yang berujung
pada kesejahteraan rakyat yang mengedepankan
prinsip hikmat kebijaksanaan dalam
94 | H. Muhammad Nasir
permusyawaratan perwakilan, membangun
kehidupan politik yang mengutamakan
kemaslahatan bukan sekedar kekuasaan. Sila ini juga
mengarahkan negara membangun suatu tatanan
sosial yang terbuka, adil dan beradap untuk
mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan yang
mementingkan kepentingan rakyat dalam
pembuatan kebijakan dan perundang-undangan.
Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial merupakan cita-cita Bangsa Indonesia
yang berwujud mensejahterakan dan mencerdaskan
kehidupan masyarakat tanpa terikat oleh strata dan
klarifikasi sosial, kelompok, dan golongan.
MODERASI BERAGAMA | 95
masa lalu oleh para pendiri bangsa ini. Sejak masa lalu
itu, Indonesia telah mengambil dan menjadikan
Pancasila sebagai wujud kepribadian dan karakter
bangsa Indonesia. Sejak lebih kurang tiga belas tahun
reformasi bergulir, perkembangan demokrasi belum
memberi manfaat besar bagi perbaikan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bahkan banyak orang
mulai sangsi dengan janji-janji politik di negeri ini.
Terasa benar bahwa Indonesia lebih merupakan
state-nation ketimbang nation-state. Seakan-akan
bangsa ini dipersatukan bukan karena kesamaan
budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena
adanya negara kesatuan, yang menampung cita-cita
politik bersama, mengatasi segala paham golongan
dan perseorangan.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia, yang membujur pada posisi strategis
persilangan antar benua dan antar samudera, dengan
daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah,
Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan
bahari yang membawa berbagai arus peradaban.
Maka jadilah Indonesia sebagai taman sari peradaban
dunia dengan mental masyarakatnya yang berjiwa
cosmopolitan. Lalu bagaimana dengan saat ini dan
apa yang mesti kita lakukan. Sebagai bangsa yang
besar kita mesti berani berbuat dan mengubah
keadaan. Tidak ada bangsa di dunia ini lalu menjadi
besar tanpa dimulai dari keberanian untuk berbuat
96 | H. Muhammad Nasir
dan berkarya, inovatif, dan kreatif dalam mengisi
pembangunan.
Membangung Indonesia merupakan
pekerjaan yang tidak ringan, tetapi apabila
dilaksanakan dengan kebersamaan dan semangat
gotong royong dengan menjadikan Pancasila sebagai
pedoman nilai tujuannya. Maka dengan menjadikan
semangat dasar Pancasila sebagai mana yang kita
uraikan terdahulu, negara atau bangsa Indonesia
akan memiliki pandangan dunia yang begitu visioner
dan tahan banting. Prinsip-prinsip Pancasila mampu
mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham
kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme
keagamaan. Antara paham kenegaraan homogenis
dengan tribalisme. Oleh sebab itu arsitektur politik
yang paling tepat untuk mempertautkan
kemajemukan Indonesia sebagai nation-in-nation
adalah desain Negara kekeluargaan (Budi Soesilo
Soepandji: 1999). Konsep negara kekeluargaan
merupakan cetakan dasar dan karakter ideal
keindonesiaan. Kekeluargaan merupakan jantung
keindonesiaan. Kehilangan semangat kekeluargaan
dalam kehidupan bernegara merupakan kehilangan
segala-galanya.
Membangun jati diri dan karakter bangsa
yang pancasilais melalui desain negara kekeluargaan
bukanlah merupakan proses sosial enggineering
dengan melibatkan seluruh unsur dan komponen
bangsa secara totalitas dan menyeluruh.
MODERASI BERAGAMA | 97
Penutup
98 | H. Muhammad Nasir
5
MODERASI BERAGAMA
DAN KEBHINNEKAAN
MODERASI BERAGAMA | 99
bahwa pluralitas bangsa harus diteguhkan dalam ke-
bhinekaan yang dituangkan dalam dasar-dasar
demokrasi dengan menghargai perbedaan dalam
keragaman, yang mana secara formal institusional
menjadi jiwa bangsa yang sangat kuat. Sehingga
ditetapkanlah wawasan kebangsaan Indonesia itu
dalam konsepsi Bhinneka Tunggal Ika .
Di tengah kondisi bangsa Indonesia sedang
berjuang melawan pandemic Covid-19 yang tak
kunjung berakhir, banyak di antara masyarakat yang
memandang bahwa kemajemukan dan ke-
bhinnekaan bangsa Indonesia seakan-akan terusik
dan bahkan menjadi ancaman bagi persatuan dan
kesatuan bangsa. Ditambah lagi dengan menurunnya
kesehatan masyarakat dunia yang semakin
mengkhawatirkan akibat virus Covid-19 yang terus
mewabah tanpa henti. Kondisi ini menyebabkan
terbukanya peluang politik kotor dalam
berdemokrasi, sehingga nilai-nilai demokrasi yang
dibangun selama ini seakan-akan terasa menurun
drastis dalam kehidupan berbangsa.
Kita tidak ingin bangsa ini tercabik-cabik oleh
kekuatan opini publik yang berkembang, dan kita
juga tidak mau nilai-nilai demokrasi bangsa ini pudar
akibat politisasi kepentingan. Apalagi jika hanya
disebabkan perbedaan pendapat dan opini yang
dibangun di atas politisasi pandemik global yang
dihadapi. Oleh sebab itu kita harus kembali
membangun opini publik dan keyakinan politik yang
MODERASI DALAM
IDEALITAS SOSIAL
Negeri No. 8 dan 9, tahun 2006, Balitbang dan Diklat Kemenag RI,
2006, hal. 11
29
Prof.Dr.H.M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama , Merajut Kerukunan
30.Perjelasan dan pernyataan Montesori ini dikutip dari Peace Education Discussion
Forum, The Peace Movemen, History, Goals, Personalities, h. 1.
31 Lea Endres, “What is Peace Education”, 1-
2
MODERASI
DALAM MEMBANGUN
KELUARGA
42
Ibid
43Doyle PaulJohnson, Sotiological Theory, Clasical Founders and
Contemporary Perstives, terj, Robert.MZ, Lawang, dalam Teori Sosiologi Klasik
dan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1984, hal.185.
1. Fungsi Keagamaan
Fungsi ini merupakan fungsi yang sangat
penting bagi keluarga masa depan. Keluarga mesti
dibangun atas dasar agama. Agama dijadikan
benteng keluarga dalam menaungi kehidupan sosial
agar nilai-nilai luhur menjadi cermin kepribadian anak-
anak dan anggota keluarga ketika dia berbaur
dengan lingkungan masyarakatnya. Allah SWT sangat
jelas memerintahkan kepada orang tua agar selalu
menjaga anak-anak dan keluarga dari kemurkaan
Dari nikah Mutah sampai nikah sunnah, dari bias lama sampai bias baru),
lentera Hati Jakarta, 2005, Hal. 123
49
Ibid.
يَا َمالَ ِئ َك ِتى:ضانَ َو َخ َر ُج ْوا اِل َى ِع ْي ِد ُك ْم يَقُ ْو ُل هللاُ تَ َعال َى َ ش ْه َر َر َم َ صا ُم ْواَ اِ َذا
َ َ َ َ َ
يَا ا ُ َّمة ُم َح َّم ٍد:ٌب ا ُ ْج َرهُ اَنى ق ْد غف ْرتُ لهُ ْم فيُنَا ِدى ُمنَادَ ِّ ُ ْ
ُ ُك ُّل عَا ِم ٍل يَطل
يَا ِعبَا ِدى:ت فَيَقُ ْو ُل هللا ُ تَعَالَى ٍ سنَا َ سيِّئَاتِ ُك ْم َحَ ُاِ ْر ِجعُ ْوااِلَى َمنَا ِزلِ ُك ْم قَ ْد بَ َد ْلت
ص ْمتُ ْم ِلى َواَ ْفطَ ْرت ُ ْم ِلى فَقُ ْو ُم ْوا َم ْغف ُ ْو ًرا لَ ُك ْم
ُ
ْ ََولِتُ ْك ِملُوا ْا ِلع َّدةَ َولِت ُ َكبِّ ُرهللاَ َعلَى َما هَدَا ُك ْم ولَعَلَّ ُك ْم ت
َش ُك ُر ْون
يَا َمالَ ِئ َك ِتى:ضانَ َو َخ َر ُج ْوا اِل َى ِع ْي ِد ُك ْم يَقُ ْو ُل هللاُ تَ َعال َى َ ش ْه َر َر َم َ صا ُم ْواَ اِ َذا
َ َ َ َ َ َ َ
يَا ا ُ َّمة ُم َح َّم ٍد:ٌب ا ُ ْج َرهُ اَنى ق ْد غف ْرتُ لهُ ْم فيُنا ِدى ُمناد َ ِّ ُ ْ
ُ ُك ُّل عَا ِم ٍل يَطل
يَا ِعبَا ِدى:ت فَيَقُ ْو ُل هللا ُ تَعَالَى ٍ سنَا َ سيِّئَاتِ ُك ْم َحَ ُاِ ْر ِجعُ ْوااِلَى َمنَا ِزلِ ُك ْم قَ ْد بَ َد ْلت
ص ْمتُ ْم ِلى َواَ ْفطَ ْرت ُ ْم ِلى فَقُ ْو ُم ْوا َم ْغف ُ ْو ًرا لَ ُك ْم
ُ
PENUTUP
KHATIMAH
MN