Anda di halaman 1dari 303

H. Muhammad Nasir S.Ag., M.H.

MODERASI
BERAGAMA
Memperteguh Nilai Islam Dalam Aktualitas Umat

Kementerian Agama Kabupaten Lingga Kepri


Judul:
MODERASI BERAGAMA
(Membumikan Nilai Islam Dalam Aktualitas Umat)

Penulis:
H. Muhammad Nasir. S.Ag. MH

ISBN: 978-623-91873-0-9

Editor: Ivananda Vayaz


Penata letak: ym_creator
Desain cover: trance_worker
Bahan Ilustrasi cover: google.com

Copyright © Kementerian Agama Kabupaten Lingga Kepri


304 hlm, 13 x 19 cm
Cetakan Pertama, Februari 2021

Diterbitkan oleh
Kementerian Agama Kabupaten Lingga Kepri

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 19 PASAL 72 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
KATA PENGANTAR
ZAINUT TAUHID SA’ADI
Wakil Menteri Agama RI

Berkembangnya diskursus tentang moderasi


beragama di Indonesia belakangan ini telah banyak
memberikan dampak dan pengaruh emosional dalam
tubuh umat beragama, termasuk umat beragama
Islam. Diskursus tersebut sangat erat kaitannya
dengan berbagai kecenderungan muatan emosi
subyektifitas individual atau kelompok. Pemahaman
subyektif dalam cara beragama bila tanpa
penanganan yang tepat, berpotensi melemahkan
semangat kesatuan umat beragama. Baik antar umat
beragama maupun intra umat seagama. Kita
membutuhkan cara pandang beragama yang luas,
obyektif, santun, dan dapat membangun kesalehan
secara totalitas. Adanya cara beragama atau amaliah
yang beragam dalam koridor syariat, tidak perlu
saling dibenturkan. Karena akan merusak agama itu
sendiri. Dengan adanya keragaman tersebut lahirlah

MODERASI BERAGAMA | 3
kebutuhan untuk keseimbangan. Moderasi.
Beragama yang moderat adalah seimbang baik dalam
pemahaman maupun dalam pengamalan.
Moderasi dalam Islam perlu dipahami sebagai
komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan
yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat
atau umat Islam, apa pun suku, etnis, budaya, agama,
dan pilihan politiknya, penting untuk mau saling
mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar
melatih kemampuan mengelola dan mengatasi
perbedaan yang ada. Jadi jelas bahwa moderasi
beragama sangat erat kaitannya dengan menjaga
kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa.
Sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita untuk
saling memahami dan ikut merasakan satu sama lain
yang berbeda dengan kita.
Dalam empat tahun terakhir ini, moderasi
beragama telah disosialisasikan melalui berbagai
cara. Sejak dicanangkan moderasi beragama oleh
Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saefuddin (2014-
2019) sampai saat ini, umat beragama, khususnya
umat Islam, diharapkan mampu menerjemahkan ruh
moderasi beragama itu ke dalam kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Moderasi beragama
penting untuk menjadi arus utama dalam
membangun Indonesia. Pengarusutamaan moderasi
beragama memang perjuangan yang tidak mudah.
Selain dengan menjadikannya sebagai cara pandang
setiap umat beragama, upaya ini juga akan lebih

4 | H. Muhammad Nasir
bermakna jika diiringi dengan mengintegrasikan
moderasi beragama ke dalam sistem perencanaan
pembangunan Indonesia jangka menengah dan
jangka panjang, agar program-program yang
dijalankan mendapat dukungan semua pihak.
Dengan dimasukkannya moderasi beragama
ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang disusun oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas), tentu harapannya adalah agar moderasi
beragama menjadi bagian tak terpisahkan dari
strategi kebudayaan dalam memajukan sumber daya
manusia Indonesia. Dalam konteks bernegara,
moderasi beragama penting diterapkan agar paham
agama yang berkembang, tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
Pemahaman dan pengamalan keagamaan secara
esensial tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
kebangsaan dan keragaman umat beragama dalam
masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini
sebagai takdir. Ia tidak diminta, melainkan pemberian
Tuhan Yang Maha Mencipta. Bukan untuk ditawar,
tapi untuk diterima (taken for granted) satu sama lain.
Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola
keragaman tersebut terkadang masih terjadi. Dari
sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah
dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki, tentu

MODERASI BERAGAMA | 5
tidak sulit membuat hamba-Nya menjadi seragam
dan satu jenis saja. Tapi Allah memang Maha
Berkehendak (Al-Iradah). Dia menghendaki agar
umat manusia beragam, bersukusuku, berbangsa-
bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi
dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu
sama lain. Dengan begitu, bukankah keragaman itu
sangat indah? Betapa kita harus bersyukur atas
keragaman bangsa Indonesia ini. Selain agama dan
kepercayaan yang beragam, dalam tiap-tiap agama
pun terdapat juga keragaman penafsiran atas ajaran
agama, khususnya ketika berkaitan dengan praktik
dan ritual agama.
Pada umumnya, masing-masing penafsiran
ajaran agama itu memiliki penganutnya yang
menghendaki dan meyakini kebenaran atas tafsir
yang dipraktikkannya. Dalam Islam misalnya,
terdapat beragam madzhab fikih yang secara
berbeda-beda memberikan fatwa atas hukum dan
tertib pelaksanaan suatu ritual ibadah, meski ritual itu
termasuk ajaran pokok sekalipun, seperti ritual salat,
puasa, zakat, haji, dan lainnya. Keragaman itu dapat
dipahami dengan menimbang perkataan Ibnu
Qayyim al-Jauzi, “Sesungguhnya fatwa bisa berubah
atau berbeda karena perubahan atau perbedaan
waktu, tempat, keadaan atau kondisi, dan adat
kebiasaan.” Itulah mengapa kemudian dalam tradisi
Islam dikenal ada ajaran yang bersifat pasti (qath'i),
tidak berubah-ubah (tsawabit), dan ada ajaran yang

6 | H. Muhammad Nasir
bersifat fleksibel, berubah-ubah (dzanni) sesuai
konteks waktu dan zamannya. Agama selain Islam
pun niscaya memiliki keragaman tafsir ajaran dan
tradisi yang berbeda-beda.
Perbedaan tafsir agama ini dapat menimpa
berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama
yang sama (intra agama), atau terjadi pada beragam
kelompok dalam agama-agama yang berbeda (antar
agama). Hal yang demikian berpotensi menyebabkan
konflik umat beragama, yang biasanya awal
terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh
sikap saling menyalahkan tafsir dan paham
keagamaan yang disertai dengan ujaran kebencian.
Kehadiran buku MODERASI BER-AGAMA
(Memperteguh Nilai Islam dalam Aktualitas Umat),
buah karya H. Muhammad Nasir, S.Ag, M.H. ini
menjadi sangat penting di tengah-tengah masyarakat
majemuk seperti Indonesia. Mengapa sangat
penting? Di antaranya adalah karena masih adanya
kecenderungan sebagian kalangan umat Islam yang
bersikap eksterim dan sangat ketat dalam memahami
hukum-hukum tertentu dalam agama dan mencoba
memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat
muslim. Bahkan dalam beberapa hal dengan
menggunakan tindak kekerasan, termasuk ujaran
kebencian. Selain itu juga masih ada sebagian umat
Islam yang terlalu longgar dalam beragama, dan atau
tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang
berasal dari budaya dan peradaban bangsa lain tanpa

MODERASI BERAGAMA | 7
mengindahkan nilai-nilai pokok dan teks-teks agama
sama sekali. Kecenderungan ini dapat
mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya karena
larut dalam budaya dan peradaban lain.
Oleh sebab itu tidak ada jalan lain, kita harus
kembali pada karakter umat Islam itu sendiri
sebagaimana yang disebutkan Al-Quran sebagai
Ummatan Wasatha (Q.S. Al-Baqarah: 143) dengan arti
umat pertengahan, moderat, adil, dan terbaik. Dalam
konteks inilah karya ini dipersembahkan. Baik
moderasi dalam membangun umat beragama,
moderasi dalam idealitas sosial, dan moderasi dalam
membangun keluarga. Selamat membaca dan
semoga jadi ibadah. []

Jakarta, 6 November 2020

8 | H. Muhammad Nasir
Kata Pengantar
Dr. H. Mahbub Daryanto, M.Pdi.
Ka. Kanwil Kemenag Kepri

Membicarakan moderasi beragama dalam


konteks pluralitas umat beragama merupakan hal
yang sangat tepat dan penting. Pada prinsipnya,
beragama bukanlah hanya sekedar tindakan
ketaatan (amal) yang bersifat pribadi. Namun akan
bersinggungan dan bahkan akan melibatkan orang
atau kelompok lain. Untuk melakukan perintah-
perintah yang terkandung dalam agama tersebut,
memerlukan sikap yang sesuai dengan petunjuk dari
kemuliaan sifat umat Islam itu sendiri, yaitu umat
terbaik.
Umat Islam diharapkan memberikan
kontribusi positif dalam memberikan solusi terhadap
kerumitan hubungan kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang saat ini menggelinding liar
bagaikan bola salju. Peran umat Islam dalam
perjalanan sejarah kemanusiaan tidak diragukan lagi,
bahwa telah menjadi bukti yang melegenda dalam
tatanan peradaban dunia. Hampir semua kalangan
telah mengakui bahwa umat Islam telah memberikan
sumbangan besar terhadap perjalanan damai umat
manusia, baik dalam lapangan politik, ekonomi,
budaya, peradaban, ilmu pengetahuan dan sains.

MODERASI BERAGAMA | 9
Buku Moderasi Beragama ini perlu
mendapatkan apresiasi, karena dapat menjadi
penguatan dalam pelaksanaan kebijakan
Kementerian Agama di Provinsi Kepulauan Riau.
Apalagi kebijakan moderasi beragama ini tidak hanya
bersifat nasional, melainkan juga internasional
(bilateral, regional, dan multilateral). Kementerian
Agama dengan mandatnya sebagai institusi yang
melayani kehidupan beragama dan keagamaan yang
merata dan berkualitas, berpandangan bahwa
kontinuitas dan peningkatan peran strategis
Indonesia serta posisi Indonesia dalam perspektif
global terhadap isu-isu yang bersifat agama dan
keagamaan, budaya, maupun sosial, sangat penting
dan perlu. Dengan demikian tulisan ini sangat penting
dibaca oleh siapa saja untuk menambah literasi
wawasan keIslaman untuk memperteguh komitmen
beragama yang moderat, santun dan adil di tengah-
tengah pluralitas umat beragama. Kemudian saya
ucapkan selamat kepada saudara H. Muhammad
Nasir. S.Ag., M.H. (Kepala Kemenag Kabupaten
Lingga) yang telah berkarya untuk umat dan
masyarakat Kepulauan Riau khususnya, masyarakat
Indonesia umumnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabara-
katuh.
Tanjungpinang, 21 November 2020

10 | H. Muhammad Nasir
Pengantar Penulis

Dengan menyebut Asma Allah SWT, kita


tundukkan segenap jiwa dan raga yang setiap saat
bergelimang dosa, seraya bermunajat memohon
ampun ke hadirat Ilahi Rabbi yang tiada bosan
menanti penyesalan hamba-Nya yang tulus di setiap
waktu dan tempat. Kepada-Nya kita memohon
pertolongan, petunjuk, dan ampunan. Dia yang
menyinari hati para pencinta-Nya dengan cahaya
ma’rifat yang memenuhi jiwa para kekasihnya
dengan minuman kasih sayang, yang membuka
rahasia-rahasia yang terdapat dalam kemahasucian-
Nya, sehingga kita dapat berucap dengan tuntunan
Ilahi, melihat dengan sifat kasih sayang, bekerja dan
berdinamika dengan kebenaran.
Sebagaimana yang kita maklum bahwa
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya
heterogen dan majemuk baik dari sisi budaya
maupun agama. Sebagai negara besar, Indonesia
dikenal luas sebagai wilayah strategis bagi
berkembangnya peradaban dunia sebagai akibat
gelombang arus Globalisasi-Modernisasi yang sedang
berjalan. Pada saat yang sama, loyalitas utama
terhadap negara harus disesuaikan dengan
kebutuhan untuk mempertahankan perbedaan dari
kelompok yang beragam budaya dan agama. Pada
identitas yang komplek tersebut dapat mengundang

MODERASI BERAGAMA | 11
konflik yang berpotensi membuat negara ini menjadi
disintegrasi, baik di sisi budaya maupun agama.
Setiap umat beragama sangat perlu didorong
untuk menggali dan mengaktualisasikan nilai-nilai
yang bersumber dari ajaran agama masing-masing
dalam rangka memperkaya landasan theologis dan
landasan etis untuk mewujudkan moderasi beragama
dan saling mempertahankan jati diri agama itu
sendiri.
Alhamdulillah, atas upaya keras kita bersama,
saat ini moderasi beragama sudah dimasukkan ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang disusun oleh
Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas). Kita berharap agar moderasi
beragama dapat menjadi bagian tak terpisahkan dari
strategi kebudayaan dalam memajukan sumber daya
manusia Indonesia. Dalam konteks bernegara,
moderasi beragama penting diterapkan agar paham
agama yang berkembang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai kebangsaan. Pemahaman dan pengamalan
keagamaan secara esensial tidak boleh bertentangan
dengan sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan
bernegara. Dan tak kalah pentingnya adalah
moderasi dalam konteks pembangunan, baik
membangun umat beragama itu sendiri maupun
dalam membangun keluarga serta bagaimana

12 | H. Muhammad Nasir
semestinya moderasi beragama dalam idealitas sosial
dalam pergaulan global saat ini.
Buku yang ada di tangan Anda akan
memberikan sedikit penjelasan tentang kearifan
beragama di tengah-tengan pergaulan dunia global
yang serba kompetitif dan masif. Kehidupan sosial
yang sangat rentan terhadap kontradiktif yang tidak
hanya dalam bidang pembangunan sosial budaya,
tetapi juga memasuki pembangunan sosial agama.
Beragama dengan arif dan bijaksana merupakan ciri
utama Syariat Islam sejak lama dan Anda akan
menemukan sisi keluasan dan keluwesan ajaran yang
terkandung di dalamnya. Selamat membaca. Mudah-
mudahan jadi ibadah. Amin. []

Kabupaten Lingga, Februari 2021


Penulis

MODERASI BERAGAMA | 13
PROLOG
ANTARA TATARRUF (EKSTRIMISME), GHULUW
(BERLEBIHAN), DAN WASATHIYAH
(PERTENGAHAN)

Membicarakan moderasi beragama pada


prinsipnya bukan hal yang baru di kalangan umat
Islam. Apalagi di tengah-tengah maraknya istilah
pluralitas umat beragama saat ini yang semakin hari
semakin sering diperbincangkan oleh banyak
kalangan. Pada dasarnya moderasi merupakan
identitas dan entitas umat Islam yang dalam bahasa
agama disebut sebagai Wasathiyyah. Dalam
membicarakan wasathiyyah, sekurang-kurangnya
terdapat dua tantangan besar di kalangan umat, yaitu
Pertama, kecenderungan sebagian umat Islam untuk
bersikap ekstrim dan sangat ketat dalam memahami
hukum-hukum agama dan mencoba memaksakan
cara tersebut di tengah masyarakat muslim. Bahkan
dalam beberapa hal menggunakan kekerasan. Kedua,
kecenderungan ekstrim lain yang bersikap longgar
dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta
pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan
peradaban lain.
Dua kecenderungan di atas, jelas-jelas
merugikan dan bahkan menjadikan umat Islam lari
dari ruh Islam itu sendiri. Pada kecenderungan yang

14 | H. Muhammad Nasir
pertama memberikan citra negatif sehingga Islam
dan umat Islam distigmakan sebagai agama dan
masyarakat yang eksklusif serta mengajarkan
kekerasan. Sedangkan pada kecenderungan yang
kedua mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya
karena larut dalam budaya dan peradaban lain.
Bahkan membuat Islam kehilangan fungsinya
sebagai agama yang menjadi pedoman hidup
manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT,
manusia, alam, dan kehidupan.
Untuk menyikapi dua kecenderungan
tersebut, tidak ada jalan lain, kita harus kembali
kepada karakter, sikap, dan jati diri umat Islam itu
sendiri yang Alquran telah menyebutnya sebagai
‘ummatan wasathan’ sebagaimana Qs. Al-Baqarah:
143).

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan


kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)

MODERASI BERAGAMA | 15
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang (Qs. Al-Baqarah: 143).
Dalam ayat tersebut Allah SWT, telah
memberikan petunjuk bahwa Islam dan umat Islam
adalah umat yang adil dan pilihan yang memiliki
karekter adil, terbaik, pertengahan atau moderat.
Dalam bahasa Arab wasathiyah berasal dari kata
wasath yang bermakna adil, baik, tengah dan
seimbang. Sebab itu wasathiyah berlawanan dengan
sifat at-Tarruf/tatharruf (ekstrimisme) atau
ghuluw/berlebihan, sebagaimana yang dijelaskan
Allah SWT dalam Qs. Al-Maidah: 77).

Artinya: Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu


berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak
benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah

16 | H. Muhammad Nasir
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus." (Qs. Al-Maidah: 77).
At-Taghluw/sikap berlebihan dalam
beragama dapat dilihat dari beberapa pandangan,
yaitu (1) Fanatisme yang berlebihan. Fanatik yang
berlebihan mengakibatkan seseorang menutup diri
dari pandangan lain dan menganggap pandangan
yang berbeda dengannya sebagai pandangan yang
sesat. Fanatisme akan lebih berbahaya lagi jika
disertai dengan pemaksaan pendapat kepada orang
lain; (2) Mempersulit diri. Tidak ada larangan
seseorang berpegang kepada pendapat yang ketat.
Misalnya saja dalam fiqih seseorang tidak
menggunakan keringanan (rukhshah) sebagai bentuk
kehati-hatian dalam melaksanakan syariah. Akan
tetapi kurang bijak jika mengharuskan orang lain atau
masyarakat mengikutinya. Rasulullah SAW, secara
pribadi atau dalam sholat sendirian adalah orang
yang sangat kuat beribadah sehingga kakinya
bengkak karena lama berdiri. Akan tetapi ketika
mengimami sholat berjamaah di masjid, beliau tidak
memperpanjang bacaan sholatnya. Beliau SAW,
bersabda, “Jika seseorang mengimami orang lain,
berilah keringanan (dengan memperpendek bacaan),
sebab boleh jadi di antara mereka ada orang sakit,
orang lemah, dan orang tua. Jika sholat sendirian,
perpanjanglah sesuai kehendak.” (HR. Ibnu Majah); (3)
Berprasangka buruk terhadap orang lain. Sikap
merasa paling benar menjadikan seseorang

MODERASI BERAGAMA | 17
berprasangka buruk kepada orang lain, seakan-akan
tidak ada kebaikan pada diri orang lain. Apabila
mendapati seorang ulama memberikan kemudahan
dalam fatwanya, dia dianggap telah
menggampangkan atau memudah-mudahkan
agama. Padahal salafussaleh mengajarkan agar
setiap muslim selalu berprasangka baik kepada orang
lain dan berusaha memahami alasannya. Sikap ini
lahir dari ujub atau merasa dirinya yang paling benar
dan hebat dari yang lain. Ibnu Attailah, mengingatkan
hal ini. “Boleh jadi Allah membukakan pintu ketaatan
kepada seseorang, tetapi tidak dibukakan pintu
diterimanya amal itu darinya. Boleh jadi seseorang
berbuat maksiat, tetapi itu menjadi sebab seseorang
mencapai keridhaan Allah SWT. Kemaksiatan yang
melahirkan perasaan hina dan bersalah, lebih baik dari
pada ketaatan yang melahirkan rasa bangga diri dan
sombong; (4) Mudah mengkafirkan orang lain. Sikap
ghuluw akan lebih berbahaya jika sampai pada
tingkat mengkafirkan orang lain atau menghalalkan
darahnya. Ini pernah terjadi pada kelompok khawarij
di masa awal Islam. Meskipun mereka sangat taat
dalam beragama dan melaksanakan semua ibadah
seperti puasa, sholat malam, dan membaca alquran,
tetapi karena pemikiran yang ghuluw mereka
menghalalkan darah banyak orang muslim. Sampai-
sampai seorang ulama yang tertangkap oleh
kelompok Khawarij, agar terbebas dari pembunuhan,
mengaku dirinya sebagai seorang musyrik yang

18 | H. Muhammad Nasir
mencari perlindungan dan ingin mendengar Firman
Allah SWT. Sebab dalam Alquran, orang musyrik yang
meminta perlindungan harus diberikan jaminan
keamanan (At-Taubah: 6). Jika dia mengaku sebagai
seorang muslim, mereka akan membunuhnya.
Pandangan Tatharruf/Ghuluw ini pula yang telah
mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Sesuai ajaran Rasulullah SAW, seseorang
tidak boleh mudah mengkafirkan orang lain, sebab
berimplikasi hukum yang panjang seperti halal
darahnya, dipisah dari istrinya (cerai paksa), tidak
saling mewarisi jika dia meninggal, tidak dimandikan,
tidak dikafankan, tidak disholatkan, dan tidak dikubur
di pekuburan umat Islam. Seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimah syahadat adalah muslim
yang harus dilindungi. Kemaksiatan, sampai pun dosa
besar, tidak membuat seseorang keluar dari agama,
selama tidak menolak hukum Allah SWT.
Sebagaimana yang telah kita uraikan di atas
bahwa sifat ghuluw atau tatarruf (ekstrimisme)
merupakan sikap yang tercela dalam perilaku
beragama (baca: Islam). Oleh sebab itu sikap yang
lebih bijak dan santun sebagaimana yang diajarkan
Islam, baik melalui Alquran maupun sunnah Nabi
SAW, adalah sikap beragama (ber-Islam) dengan
sikap moderasi/wasathiyah (sikap pertengahan).
Sikap wasathiyah adalah memahami agama dengan
ciri-ciri sebagai berikut. (1) Memahami realitas

MODERASI BERAGAMA | 19
dengan benar. Sebagaimana yang kita maklum,
bahwa kehidupan manusia selalu berubah dan
berkembang tiada batas. Sementara teks-teks
keagamaan terbatas. Karena itu ajaran Islam
berisikan ketentuan-ketentuan yang tsawabit (tetap)
dan hal-hal yang memungkinkan untuk berubah
sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu
(mutaghayyirat). Hal-hal yang tetap hanya sedikit,
yaitu berupa prinsip-prinsip aqidah, ibadah,
muamalah, dan akhlaq. Sedangkan selebihnya
bersifat elastis dan fleksibel (murunah) dan
dimungkinkan untuk dipahami sesuai perkembangan
zaman (mutaghayyirat). Kenyataan inilah yang
mendasari beberapa lembaga fatwa terkemuka di
negara-negara minoritas muslim untuk mengambil
pandangan yang berbeda dengan apa yang selama ini
dipahami dari kitab-kitab fiqih. Bagaimanapun segala
tindakan hendaknya diperhitungkan maslahat dan
madharatnya secara realistis sehingga keinginan
melakukan kemaslahatan jangan sampai
mendatangkan mudharat yang lebih besar; (2)
Memahami hal-hal prioritas dalam beragama. Di
dalam Islam perintah dan larangan di tentukan
bertingkat-tingkat. Misalnya saja perintah yang
bersifat anjuran (sunnah), dibolehkan (mubah),
ditekankan untuk dilaksanakan (sunnah muakkadah),
wajib dan fardhu (‘ain dan kifayah). Sedangkan
larangan ada yang bersifat dibenci bila dilakukan
(makruh) dan ada ajaran Islam yang bersifat ushul

20 | H. Muhammad Nasir
(pokok-pokok/prinsip) dan ada yang bersifat furu’
(cabang). Sikap Wasathiyyah/moderat menuntut
seseorang untuk tidak mendahulukan hal-hal yang
bersifat sunnah dan meninggalkan yang wajib.
Mengulang-ulang ibadah haji adalah sunnah,
sementara membantu saudara muslim yang
kesusahan adalah sebuah keharusan apabila ingin
mencapai kesempurnaan iman. Demikian pula
penentuan hilal puasa dan Idhul Fitri adalah
persoalan furu’iyyah yang tidak boleh mengalahkan
dan mengorbankan sesuatu yang prinsip dalam
ajaran agama, yaitu persatuan umat; (3) Memahami
sunnatullah dalam penciptaan. Yang kita maksudkan
dengan sunnatullah di sini adalah pentahapan
(tadarruj) dalam segala ketentuan hukum alam dan
agama. Langit dan bumi diciptakan oleh Allah dalam
enam masa (fi sittati ayyam) padahal sangat mungkin
bagi Allah untuk menciptakannya sekali jadi dengan
“kun fayakun”. Dan demikian pula penciptaan
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang
dilakukan secara bertahap. Seperti halnya alam raya,
ajaran agama pun diturunkan secara bertahap. Pada
mulanya dakwah Islam di Makkah menekankan sisi
keimanan/tauhid yang benar. Kemudian secara
bertahap turun ketentuan syariat. Bahkan dalam
menentukan syariat pun terkadang dilakukan secara
bertahap. Seperti pada larangan minum khamar yang
melalui empat tahapan (An-Nahal 67, Al-Baqarah 219,
An-Nisa’ 43, dan Al-Maidah 90). Sunnatullah yang

MODERASI BERAGAMA | 21
berbentuk tadarruj ini perlu mendapat perhatian
serius dari para ulama, juru dakwah, pemikir, aktivis,
politisi, dan sebagainya. Tahapan dalam ajaran
agama terbaca jelas dalam ungkapan Sayyidah Aisyah
RA, “Yang pertama kali turun dari Al-Quran adalah
surat-surat yang menyebutkan surga dan neraka,
kemudian ketika orang banyak masuk Islam turunlah
ketentuan halal dan haram. Kalau yang turun pertama
kali jangan minum khamar, maka mereka akan
mengatakan, “kami tidak akan meninggalkan khamar
selamanya.” Bila yang pertama kali turun jangan
berzina, mereka akan mengatakan,”Kami tidak akan
meninggalkan perbuatan zina selamanya.” (HR.
Bukhari); (4) Memahami kemudahan dalam
beragama. Memberikan kemudahan adalah metode
dakwah Rasulullah SAW. Ketika mengutus Mu’az bin
Jabal dan Abu Musa al-Ansyari ke Yaman, beliau
berpesan agar keduanya memberi kemudahan dalam
berdakwah dan berfatwa, serta tidak mempersulit
orang (yassira wala tu’assira) (HR. Bukhari). Hal ini
tidak berarti mengorbankan teks-teks keagamaan
dengan mencari yang paling mudah, tetapi dengan
mencermati teks-teks itu dan memahaminya secara
mendalam untuk menemukan kemudahan yang
diberikan oleh agama. Bila dalam satu persoalan ada
dua pandangan yang berbeda, yang satu boleh ketat
dan yang lainnya lebih mudah. Sebab, jika Rasulullah
SAW dihadapkan pada dua pilihan, beliau mengambil
yang paling mudah selama bukan perbuatan dosa; (5)

22 | H. Muhammad Nasir
Memahami teks keagamaan secara komprehensif.
Syariat Islam akan dapat dipahami dengan baik jika
Alquran dan hadits dipahami secara komprehensif
dan tidak sepotong-sepotong. Ayat-ayat Alquran,
begitu pula dengan hadits-hadits Nabi, harus
dipahami secara utuh. Sebab hubungan antara satu
dengan yang lainnya saling menafsirkan (al-Quran
yufassiru ba’dhuhu ba’dhan). Misalnya dengan
membaca ayat-ayat Alquran, secara utuh akan dapat
disimpulkan bahwa kata jihad dalam Alquran tidak
selalu berarti perang. Tetapi dapat bermakna jihad
melawan hawa nafsu dan setan; (6) Mengedepankan
dialog, toleran, dan terbuka dalam beragama. Sikap
Wasathiyyah/Moderat Islam ditunjukkan melalui
keterbukaan dengan pihak-pihak lain yang berbeda
pandangan. Sikap ini didasari pada kenyataan bahwa
perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah
keniscayaan. Hal ini dapat kita baca dalam Alquran
surat Al-Kahfi: 29.

Artinya: Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya


dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin
(kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya Kami telah

MODERASI BERAGAMA | 23
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Qs. Al-
Kahfi: 29).

Ungkapan “Tapi mereka senantiasa berselisih


pendapat, menunjukkan bahwa Allah SWT tidak
menghendaki manusia satu pandangan dan
penggunaan bentuk kata kerja menunjuk pada masa
mendatang (fi’il mudhari’) menunjukkan bahwa
perbedaan di antara manusia akan terus terjadi.
Karena itu pemaksaan dalam berdakwah kepada
mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu
agama, maupun dengan penganut agama lain, tidak
sejalan dengan semangat menghargai perbedaan
yang menjadi tuntunan Alquran.
Karena Alquran menyatakan umat Islam
merupakan umat terbaik yang akan menegakkan
kebenaran dan mencegah kebathilan, maka sudah
menjadi keharusan bahwa moderasi beragama harus
ditegakkan agar tujuan penciptaan manusia dengan
keragamannya dapat dirasakan dan terwujud sebagai
rahmatan lil‘alamin. []

24 | H. Muhammad Nasir
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ZAINUT TAUHID SA’ADI (Wakil


Menteri Agama RI) ......................................................... 3
Kata Pengantar Dr. H. Mahbub Daryanto, M.Pdi. (Ka.
Kanwil Kemenag Kepri).................................................. 9
Pengantar Penulis......................................................... 11
PROLOG ........................................................................ 14
BAGIAN KESATU
MODERASI DAN PEMBANGUNAN
1. TOLERANSI BERBUDAYA DAN BERAGAMA ............ 28
2. ORMAS ISLAM DAN NILAI PANCASILA ................... 47
3. AGAMA DAN INKLUSIFISME PENDIDIKAN ISLAM . 58
4. NILAI ISLAM DAN PANCASILA DALAM JATI DIRI
BANGSA .................................................................... 87
5. MODERASI BERAGAMA DAN KEBHINNEKAAN ...... 99
6. PEMBERDAYAAN WAQAF UNTUK MEMBANGUN
UMAT ..................................................................... 107
7. MEMBANGUN KUALITAS KERUKUNAN
BERAGAMA ............................................................. 119
8. MEMPERTEGUH TOLERANSI BERAGAMA ............ 129
BAGIAN KEDUA
MODERASI DAN IDEALITAS SOSIAL
1. MODERASI BER-AGAMA DI KEPULAUAN RIAU .... 140
2. KERUKUNAN BERAGAMA DALAM BINGKAI NKRI
(Perspektif Kepulauan Riau) .................................. 148

MODERASI BERAGAMA | 25
3. PARADIGMA PENDIDIKAN BERWAWASAN
KERUKUNAN .......................................................... 160
4. KERUKUNAN SOSIAL DAN KEMULIAAN............... 169
5. SPIRIT HIJRAH UNTUK MODERASI BERBANGSA
DAN BERAGAMA .................................................... 175
6. MENUJU MODERASI SOSIAL SPIRITUAL .............. 181
7. MEMBANGUN INDONESIA RUKUN………………………189
8. MODERASI ISLAM DAN ETIKA SOSIAL …………………195

BAGIAN KETIGA
MODERASI DAN KELUARGA
1. KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA ... 198
2. MORALITAS KELUARGA DAN DEMOKRASI ............. 227
3. PRINSIP-PRINSIP MODERASI DALAM
PERNIKAHAN.......................................................... 239
4. POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA ............... 252
5. FITRAH ENERGI SUCI MANUSIA ............................ 262
6. REVOLUSI SPIRITUAL DAN IDUL FITRI ................. 268
7. MEMBANGUN RUHANI UNTUK KESEJAHTERAAN
JASMANI .................................................................. 277
BAGIAN KEEMPAT
PENUTUP
KHATIMAH .................................................................. 285
P E N U T U P (K H A T I M A H) .................................... 286
DAFTAR BACAAN ......................................................... 291
Profil Penulis ............................................................... 301

26 | H. Muhammad Nasir
BAGIAN KESATU

MODERASI DALAM
MEMBANGUN UMAT

MODERASI BERAGAMA | 27
1
TOLERANSI BERBUDAYA DAN
BERAGAMA

Membangun adalah sebuah gagasan dan


keinginan yang superioritas dari seluruh bangsa di
mana saja. Pembangunan merupakan syarat menuju
kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang maju adalah
bangsa yang berbudaya yang memiliki teologi linear
dengan peradaban (nilai adab). Manusia tidak akan
mungkin memiliki peradaban mulia tanpa agama.
Budaya dan agama merupakan perekat kehidupan
yang mesti dibangun sejalan dengan cita-cita mulia
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Pembangunan tanpa peradaban (nilai adab)
akan menjadikan hidup terasa tertindas, keras, dan
menyesakkan. Peradaban akan melahirkan budaya,
dan budaya harus diikat dengan agama. Inilah
prasyarat untuk mewujudkan masyarakat santun,
lembut, adil dan demokratis. Jika tidak, maka akan
lahir apa yang dikemukakan oleh Claude Alvares:
1992, bahwa akan terjadi intensitas himsa
(kekerasan) apabila pembangunan tidak memiliki
moral intrinsik (nilai adab) (Ziauddin Sardar: 2005).
Tren globalisasi yang terus bergulir secara
progresif telah menyebabkan arus transformasi
budaya dan peradaban dunia masuk membaur
dengan peradaban dunia lain termasuk dengan

28 | H. Muhammad Nasir
peradaban Islam. Pembauran peradaban tersebut
telah menjadikan lahirnya peradaban Ilmu
pengetahuan yang terbaratkan, yaitu pengetahuan
sekuler. Sekulerisasi yang telah menggejala di dunia
global termasuk dunia Islam, telah berperan
melepaskan makna spiritual dari dunia ciptaan.
Akibatnya terjadi kerusakan ilmu pengetahuan
(corruption of knowledge) yang membuatnya tidak
memerankan fungsi budaya dan peradaban antar
umat manusia. Hal itu pula yang menyebabkan
tercerabutnya akar dan budaya kebersamaan yang
telah terpatri dalam prinsip-prinsip toleransi
beragama dan berbudaya yang selama ini terjalin
dengan baik. Antara budaya dan agama tidak lagi
jelas batas-batasnya. Peran budaya dianggap agama
dan peran agama dianggap budaya. Padahal tidak
semua budaya dan agama dapat berperan sejalan
dan tidak saling bertentangan satu sama lain.
Walaupun keduanya dapat hidup dan berkembang
dalam masyarakat selama dapat diterima oleh nilai
agama dan budaya yang dianut masyarakat.
Untuk itu sangat perlu adanya upaya
menempatkan kembali prinsip-prinsip toleransi
tersebut dalam pergaulan global saat ini. Prinsip
toleransi yang berkembang tersebut cenderung
bersifat sekuleristik, hedonistic dan liberalistic yang
bertentangan dengan jati diri manusia yang
spiritualis.

MODERASI BERAGAMA | 29
Toleransi dan Moralitas Kemanusiaan

Menempatkan toleransi (tasammuh) dan


moralitas kemanusiaan dalam membangun
kebudayaan, memiliki makna kelenturan dan
kemudahan (Ibnu Faris Ahmad: 1990). Dalam konteks
ini Imam Bukhari membuat sebuah judul dalam kitab
sahihnya “Agama adalah Mudah”. Dan sabda Nabi
SAW, agama yang paling dicintai Allah SWT adalah
agama yang lurus (hanifiyah) dan toleran (samhah).
Islam dengan aqidah dan syariahnya adalah
agama yang toleran dan mudah. Karakter inilah yang
disebutkan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat;
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur (Al-
Maidah ayat 6). Ayat ini menurutnya bermakna,
“Supaya kamu bersyukur atas nikmat-ni’mat-Nya
dalam bentuk ajaran yang telah ditetapkan untuk
kalian yang memiliki sifat-sifat keleluasaan, lemah
lembut, kasih sayang, kemudahan, dan toleransi
(Ibnu Katsir: 1987).
Dengan demikian sangat jelas bahwa
toleransi merupakan salah satu prinsip dasar dalam
Islam. Dan prinsip ini sekaligus merupakan pondasi
peradaban Islam, di mana Islam telah merekonstruksi
manusia, dan mengatur hubungannya baik dengan
Allah SWT, atau dengan sesama manusia, dan bahkan
dengan alam lingkungan sekitarnya. Setelah

30 | H. Muhammad Nasir
kemuliaan, harga diri, dan kebebasan manusia
dirampas pada masa jahiliyah, sehingga menutup diri
dari pengaruh baru yang lebih baik demi
mempertahankan tradisi leluhurnya, sehingga
“Apabila dikatakan kepada mereka: ’Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah SWT’, mereka menjawab;
“Tidak, Kami hanya mengikuti tradisi nenek moyang
kami.” Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun
leluhur mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun,
dan tidak mendapat petunjuk”. (Qs 2: 170).
Kebudayaan Islam bukanlah kebudayaan
tertutup. Justru keaslian dan kekuatan internalnya
merupakan agama yang terbuka dengan
kebudayaan-kebudayaan lain selagi kebudayaan lain
itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam.
Sebab itu seorang muslim bangga dengan budaya
dan risalah agamanya. Dia juga terbuka terhadap
kebudayaan lain untuk mengambil atau tidak
mengambil kebudayaan lain itu menurut
pertimbangan tertentu (Dr. Yusuf Qardhawi: 2000).
Rasulullah SAW, bersabda: “Kearifan (al-Hikmah)
adalah barang hilang milik seorang muslim, di mana
saja dia mendapatkannya, dia lebih berhak
memungutnya kembali.” (HR. Tirmidzi).
Dalam prinsip yang lain, toleransi merupakan
filsafat akhlaq yang berhubungan dengan sisi
kemuliaan dalam hidup seorang muslim. Sifat ini akan
menjaga seseorang dari kecenderungan ekstrim,
untuk kemudian menjadi orang yang bersifat

MODERASI BERAGAMA | 31
moderat, bersikap seimbang, pertengahan dan adil
sebagaimana petunjuk Allah SWT dalam Alquran:
“Dan carilah karunia Allah di negeri akkhirat, tapi
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
kenikmatan duniawi (Qs. Al-Qashas: 77).
Toleransi juga sebagai prinsip epistemologi.
Dalam hal ini toleransi berpijak pada sikap percaya
terhadap fitrah manusia. Meskipun terjadi
penyimpangan dalam dirinya, karena pangaruh
lingkungan, tetapi ada potensi kebaikan dalam
dirinya. Sebab itulah seorang muslim akan
memperlakukan orang lain yang berbeda agama
dengan prinsip ketetanggaan, persaudaraan,
kemanusiaan, kebangsaan, dan kebinekaan yang baik
dengan mengambil pelajaran dari pengalaman
berharga dari mereka. Sebagai prinsip epistemologi,
toleransi akan hadir dengan sikap bijaksana terhadap
beberapa sikap, yaitu; kesatu, percaya dengan fitrah
manusia. Kedua, bertetangga yang baik dengan
penganut agama-agama lain. Dan ketiga,
memanfaatkan pengalaman penganut agama lain.
Artinya, bahwa seorang muslim yang hidup dengan
prinsip kedamaian di tengah masyarakat yang plural,
baik dari agama maupum kebudayaan, dia bisa
mengambil unsur-unsur yang baik dari produk
kebudayaan dan peradaban mereka, tentu selagi
tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut
dalam masyarakat dan nilai-nilai aqidah, ataupun

32 | H. Muhammad Nasir
tidak menyalahi dengan unsur-unsur asli bawaan
Islam.

Keterbukaan Budaya

Walaupun toleransi (tasammuh) secara etimologi


memiliki makna “memudahkan”, tetapi tidak berarti
mengabaikan prinsip-prinsip pokok di dalam agama.
Sebab itu sikap keterbukaan terhadap kebudayaan
lain tidak berarti sikap cair dengan aliran-aliran yang
bertentangan dengan Islam. Karena keislaman
menuntut karakter yang tegas, tidak kehilangan jati
dirinya, apalagi jika mengekor dan menjadi underbow
agama dan kebudayaan lain. Karakter ini menjadi
hukum agama yang mengatur baik obyek maupun
subyek dari penganut agama, yaitu kesatu, aturan
terkait obyek yang diadopsi. Obyek yang diadopsi
merupakan ilmu atau aturan yang bermanfaat yang
tidak berhubungan dengan hakikat ajaran agama,
serta sejalan dengan aqidah. Objek yang diadopsi itu
dapat memberikan sumbangsih secara efektif dan
langsung terhadap tujuan dan program umat,
membela kepentingannya, menjaga jati diri, karakter
dan lingkungan Islamnya, juga memperhatikan
kualitas bukan kuantitas (Muhammad Amin Hasan,
1996). Kemudian umat betul-betul membutuhkan
tidak ada alternatif lain yang bisa diambil dari internal
umat. Teliti dalam melakukan pengutipan serta kritis
terhadap obyek yang dikutip agar bisa membedakan

MODERASI BERAGAMA | 33
mana yang baik dan mana yang buruk, kemudian
menimbangnya dengan pendekatan hukum-hukum
agama untuk menguji kebaikannya. Jika terbukti ia
bertentangan dengan ajaran agama maka ia ditolak.
Petunjuk Allah SWT, dalam hal ini dalam surat Al-
Maidah ayat 100, “Katakanlah; tidak sama yang buruk
dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu
menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai
orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat
keberuntungan.”
Dan yang tak kalah pentingnya bahwa dalam
mengadopsi obyek adalah dengan melakukan
Islamisasi obyek yang dikutip dengan
mengembalikannya kepada prinsip-prinsip Islam.
Kedua, Aturan terkait dengan pelaku pengutipan.
Dalam hal ini terdapat beberapa aturan yang harus
diikuti oleh subyek, antara lain harus menguasai ilmu-
ilmu Islam. Komitmen dengan Islam. Bangga dengan
agamanya dan tidaklah silau melihat kebudayaan lain.
Ketiga, apabila diabaikan aturan-aturan tersebut
maka akan mengidap penyakit atau virus “siap
dijajah” apa yang disebut dengan qabiliyyah Li as-
isti’mar (Dr. Abbas Mansur Tamam: 2017). Aturan-
aturan itu sangat penting, karena mengabaikannya
akan melahirkan kerentanan terhadap jiwa yang siap
dijajah/al-qabiliyah li al-isti’mar. Hal ini merupakan
penyakit budaya yang menjangkit sebagian umat ini
ketika terbelalak melihat peradaban lain. Lalu
menjadikannya sebagai satu-satunya alternatif dalam

34 | H. Muhammad Nasir
upaya memajukan umat dan menyikapi
keterbelakangannya.
Golongan orang-orang liberal karena
mengabaikan aturan-aturan dalam keterbukaan
budaya, mereka terjebak dan menjadi agen
peradaban Barat (Muhammad Emara: 1931). Mereka
kemudian mendakwahkan agar umat ini berkiblat ke
Barat. Nauzubillah. Sebab itu, gerakan liberal di
tengah umat Islam merupakan ancaman besar dan
akan memperparah penyakit kebudayaan dan mental
dalam bentuk kerentanan jiwa siap dijajah sehingga
membuka peluang berbagai penjajahan dalam
berbagai bentuknya.
Kemudian di antara wilayah yang bisa
dimanfaatkan dari kebudayaan non muslim untuk
keterbukaan budaya, antara lain, Pertama, sain dan
teknologi bukan humaniora. Sain dan teknologi
merupakan warisan kemanusiaan. Menurut
Muhammad Asad (Leopold Weis 190-19920) pemikir
Islam kelahiran Austro-Hyngaria, berpendapat bahwa
kedua bidang itu harus dipelajari umat Islam dari
Barat. Bukan dalam bidang humaniora yang bisa
membahayakan agama mereka. Masih menurut
Asad, bahwa umat Islam ketika melakukan
keterbukaan budaya, seperti yang seharusnya
mereka lakukan terhadap sarana-sarana modern di
bidang sain dan industri. Mereka sesungguhnya tidak
melakukan lebih dari mengikuti insting kemajuan

MODERASI BERAGAMA | 35
yang membuat orang memanfaatkan pengalaman
bangsa-bangsa lain.
Tetapi jika yang mereka mengadopsi itu,
adalah sesuatu yang tidak perlu dilakukan dengan
mengambil model kehidupan Barat, sastra, tradisi,
konsep-konsep sosial Barat. Mereka sesungguhnya
tidak mengambil manfaat sedikit pun. Karena apa
yang disuguhkan Barat untuk mereka di bidang ini,
tidak lebih utama dan luhur ketimbang yang telah
disuguhkan oleh kebudayaan mereka sendiri, yaitu
yang diajarkan agamanya sendiri (Muhammad Asad:
1997). Kedua, kerugian akibat salah pilih bidang.
Kesalahan dalam memilih bidang yang tepat untuk
keterbukaan dan pengutipan akan mengakibatkan
kerugian, di antaranya, umat Islam akan kehilangan
identitas agama dan peradabannya. Kemudian
setelah itu umat Islam kehilangan jati dirinya, mereka
mengalami kelumpuhan total dalam memerankan
fungsi peradabannya bagi umat manusia. Ketiga,
keterbukaan liberal terhadap Barat. Sangat
disayangkan, kaum liberal di kalangan umat Islam
dalam sepanjang sejarah, mereka telah kehilangan
kedewasaannya dalam memilih bidang yang tepat.
Seperti dengan jelas terlihat dalam pemikiran Toha
Husein di Mesir, Ahmad Khan di India, hingga gerakan
liberal di dunia Islam hari ini, dan di Indonesia sendiri.
Jika kita mengambil gerakan Sir Ahmad Khan
di India sebagai sampel, ia telah fokus mengerahkan
kinerjanya di bidang yang tidak dibutuhkan oleh

36 | H. Muhammad Nasir
dunia Islam. Bertentangan dengan tatanan
kehidupan masyarakat yang dibangun di atas pondasi
aqidah dan syariat, serta risalah Islam. Abu Al-Hasan
An-Nadwi, 1989, menggambarkan kepada kita
kesalahan itu. Menurutya, Ahmad Khan telah
mengimpor sistem pendidikan Barat secara lengkap,
termasuk ciri-ciri khusus, ruh, dan karakternya,
bersama peradaban Barat yang mewadahinya. Dia
dengan ketat memperjuangkan kedua sisi itu, yaitu
sistem pendidikan dan peradaban Barat dengan
semangat. Akibat dari itu semua, menurut An-Nadwi,
Universitas Aligar telah melahirkan mahasiswa-
mahasiswa yang terbaratkan dan melepaskan diri
dari aqidah Islam. Disebabkan oleh pengadopsian
yang salah ini, dan karena pengaruh iklim Barat yang
dominan, di kampus itu telah tumbuh generasi
terpelajar yang namanya muslim, tapi berpikir Barat.
Aqidahnya kacau. Dia hidup terasing dari masyarakat.
Jauh dari perasaannya. Berbeda level hidupya.
Membuat masalah baru baik di rumah maupun di
tengah masyarakat Islam. Sama sekali tidak bisa
berbaur dengan masyarakat.

Menyikapi Khazanah Orientalisme

Di antara yang mengkhawatirkan yang kini


menggejala dalam studi keislaman adalah
perpindahan kiblat orientasi pendidikan Islam dari

MODERASI BERAGAMA | 37
lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah yang
dipandu oleh para ulama, menuju lembaga-lembaga
pendidikan Barat yang dikendalikan oleh para
orientalis yang melakukan kajian terhadap Islam.
Meskipun istilah orientalisme kini tidak lagi dipakai,
tetapi mereka memakai istilah Islamic Studies. Tetapi
tradisi akademisnya tidak banyak berubah dari tradisi
orientalisme itu. Jika hal ini tidak dijelaskan dalam
perspektif Islam, maka di satu sisi akan membuat
sebagian orang mendewakan produk keilmuan
orientalisme seperti yang dilakukan oleh orang-orang
liberal. Di sisi lain akan membuat sebagian lain
mengabaikan sisi positif yang dikandung di
dalamnya.
Untuk itu, tidak diragukan bahwa Allah SWT
telah mewajibkan kita untuk bersikap adil dalam
memperlakukan orang-orang yang berbeda aqidah
dengan kita. Kita simak penjelasan Allah SWT dalam
Al-Maidah ayat 8:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah


kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak

38 | H. Muhammad Nasir
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs
Al-Maidah: 8).

Oleh sebab itu, karena orientalis merupakan


respon atas hasrat Barat untuk menguasai bangsa-
bangsa timur, khususnya Islam, kini gerakan
pengetahuan itu (Islamic Studies) dikembangkan
dengan memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan politik
dan kekuatan agama. Pada kekuatan politik mereka
mendedikasikan kinerja intelektualnya ke dalam
imperialisme. Sedangkan pada kekuatan agama
mereka mendedikasikan dirinya ke dalam gerakan
kristenisasi (Ahmad, Muhammad Khalifah Hasan:
1978). Lalu bagaimana selayaknya jika kita mengambil
manfaat dari produk orientalis yang memang jujur
dalam ilmu pengetahuan, sehingga mereka telah
melakukan upaya besar dalam mempublikasikan
khazanah Islam dan Arab, seperti membuat
bibliograpi manuskrip-manuskrip Arab dan Islam,
menyiapkan kamus-kamus bahasa Arab dan
glosarium sunnah Nabi SAW, juga melakukan kajian
tentang berbagai sisi kebudayaan Islam. Dalam hal ini
Islam tidak melarang mengambil manfaat ilmu
pengetahuan dari mereka. Artinya masih ada wilayah
yang bisa dioptimalkan dalam keterbukaan kita
dengan produk-produk orientalis, tentu dengan
syarat terpenuhi ketentuan-ketentuan yang

MODERASI BERAGAMA | 39
dibutuhkan dalam keterbukaan dan pengutipan dari
kebudayaan lain tersebut.

Ilmu dan Peradaban dalam Islam

Tidak diragukan bahwa Islam adalah risalah Allah


SWT yang membuat penganutnya memiliki kejelasan
sikap dan orientasi hidupnya. Dengan risalah ini umat
Islam menempati posisi kontrol terhadap manusia.
Sehingga dengan konsisten terhadap agamanya,
umat Islam akan berada di garda depan dalam hidup
ini. Al-quran memproklamasikan status ini dengan
tegas dalam Qs. Ali Imran 110 dan Al Baqarah 143:

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang


dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik (Qs: Ali Imran 110).

40 | H. Muhammad Nasir
Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Qs Al-
Baqarah 143).
Oleh sebab itu sikap Islam dalam konteks
peradaban menjadi sangat penting dan fundamental
sebagai sebuah kesatuan ilmu pengetahuan. Dalam
hal ini dapat kita uraikan sebagai berikut:

MODERASI BERAGAMA | 41
1. Keterpaduan ilmu dan peradaban.
Menurut Malek Ben Nabi (1905-1973), filsuf
muslim asal Al-Jazair yang memiliki otoritas dalam
filsafat peradaban, membagi peradaban dalam tiga
unsur fundamental. Yaitu unsur manusia, unsur
tanah, dan unsur waktu (Malek ben Nabi: 1991).
Menurut rumus ini sebuah peradaban terkait dengan
pergerakan masyarakat dan interaksi individunya
dengan ruang dan waktu. Peradaban adalah intisari
sejarah. Karena fase-fase sejarah yang dilewati oleh
masyarakat dan negara secara sadar akan
menciptakan dinamika peradaban yang memberikan
ruang kepada setiap bagian dari masyarakat itu untuk
bekerja, memiliki cara tertentu dalam hidup dan
melahirkan gerakan ilmiah yang bergairah.
Ben Nabi menekankan pentingnya umat Islam
memiliki konsep dan metodologi ilmiah yang
independen, yang sesuai dengan nilai Islam. Karena
itu ia memandang absurd untuk mengimport konsep
dan metodologi ilmiah itu apa adanya dari Barat.
Alasannya karena Islam memiliki karakter yang khas,
yang membedakannya dari peradaban-peradaban
lain. Sehingga ia mengatakan, “Setiap peradaban
memiliki ciri, metode, dan pilihannya sendiri. Dunia
Barat yang memiliki basisnya dalam peradaban
Romawi dengan kepercayaan paganismenya. Hanya
membuka matanya kepada obyek yang ada di
sekitarnya, yaitu materi. Tetapi peradaban Islam
dengan aqidah tauhidnya membuka mata pada alam

42 | H. Muhammad Nasir
gaib dan supra natural, yaitu pada pemikiran (Umar
Misqawi: 2002). Artinya peradaban Barat dibangun di
atas paganism dan materialism sedang kan
peradaban Islam dibangun di atas tauhid. Dengan
kata lain, peradaban Islam adalah peradaban berbasis
aqidah tauhid yang konsisten dengan hukum-hukum
syariat yang menjadi pedoman hidup.
Prinsip utama peradaban Islam adalah
swadaya, yaitu fokus menggali dan mengembangkan
potensi yang ada dalam agamanya. Kecuali
menyangkut sains yang merupakan kepemilikan
bersama umat manusia atau pengalaman-
pengalaman penting bangsa lain yang bisa
memperkaya khazanah peradaban dan tidak
bertentangan dengan ajaran agamanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan.
Pertama, peradaban Islam memiliki karakteristik
yang membedakannya dari peradaban lain. Karena
itu tidak semua pemikiran bisa dianalogikan sebagai
“pohon zaitun yang berkah yang tidak Timur dan tidak
pula Barat”(Qs. An-Nur 35). Kedua, pemikiran adalah
produk dari peradaban. Peradabanlah yang
melahirkan pemikiran. Sebab itu menjadi lelucon jika
hukum ini dibalik, yaitu mengimport pemikiran Barat
untuk membangun peradaban Islam.

2. Interaksi antar peradaban.


Peradaban Islam bukanlah peradaban
tertutup dan sempit yang tidak bisa menerima

MODERASI BERAGAMA | 43
pembaharuan di luar Islam. Karena menurut Islam,
ilmu pengetahuan bukanlah monopoli suatu bangsa
tertentu, tetapi milik umat manusia. Karena
penemuan-penemuan ilmiah tidak lain merupakan
mata rantai kinerja akal seluruh umat manusia.
Interaksi antar berbagai peradaban bisa
terjadi dalam dua tipe ilmu pengetahuan, yang
masing-masing memiliki hukum berbeda. Pertama,
dalam ilmu-ilmu universal milik bersama umat
manusia seperti matematika, kimia, fisika,
kedokteran, dan disiplin lainnya yang baik metode
ilmiah, kebenaran dan hukum-hukumnya tidak
berbeda karena perbedaan peradaban. Kedua, dalam
pengetahuan terkait dengan kekhasan peradaban,
seperti ilmu-ilmu politik, sosial dan filsafat. Hukum
yang berlaku, ilmu-ilmu universal yang merupakan
milik bersama, terbuka lebar untuk diadopsi oleh
siapa saja. Tetapi pengetahuan yang berhubungan
dengan privasi peradaban harus ekstra hati-hati dan
dikritisi oleh norma-norma asli peradaban. Karena itu
sisi-sisi yang bertentangan dengan nilai-nilai
fundamental, peradabannya harus ditolak.

3. Sinergi budaya dalam Islam


Sebuah toleransi dapat berbentuk sinergi
budaya. Interaksi ini tentu saja menuntut sebuah
mekanisme yang tepat sesuai dengan tuntutan
syariat. Dalam hal ini dapat kita lihat beberapa hal
penting di antaranya. Pertama, urgensi sinergi

44 | H. Muhammad Nasir
budaya, diperlukan adanya otoritas tertinggi yang
bisa menundukkan dan menyatukan sebagai unsur
yang berbeda agar unsur-unsur asing bisa menjadi
paradigma baru yang harmonis dan sistematis
dengan unsur-unsur yang asli. Dan menjadi nilai
memajukan peradaban dan memperkaya khazanah
budaya Islam itu sendiri. Kedua, tauhid otoritas
tertinggi dalam sinergi budaya. Sesuatu yang pasti
bahwa tauhid merupakan otoritas tertinggi dalam
proses penyerapan budaya. Menyerap konsep-
konsep baru di luar Islam merupakan masalah serius
dan rumit. Islam membutuhkan kesadaran yang
sempurna, kritis, dan terbuka dalam melihat sisi baik
dan buruknya. Karena itu penyerapan pikiran-pikiran
baru tidak boleh merusak aqidah dan kepribadian
Muslim. Ketiga, proyek Islamisasi ilmu. Profesor Al-
Attas dan Al-Faruqi mengusung sebuah proyek
perubahan yang disebut dengan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Tujuannya adalah untuk
merekonstruksi setiap ilmu yang asing agar menjadi
serasi dengan Islam. Menurut ia, tauhid yang menjadi
otoritas tertinggi dalam mensinergikan kebudayaan
asing ke dalam Islam memiliki tiga dimensi, yaitu a.
Kesatuan epistemologi. Kesatuan ini menuntut agar
setiap ilmu berusaha untuk mencari kebenaran
dengan kebenaran logis, obyektif, dan kritis. Dimensi
ini akan menghilangkan persepsi laten yang membagi
ilmu kedalam akli dan naqli, yang mengisyaratkan
bahwa yang disebut dengan naqli berarti tidak logis.

MODERASI BERAGAMA | 45
Atau membagi penelitian kedalam penelitian ilmiah
dan normatif dalam arti tidak ilmiah. b. Kesatuan
hidup. Konsekuensinya, setiap ilmu harus dipandang
dengan karakter memiliki tujuan dalam
penciptaannya. Dimensi ini akan menghilangkan
untuk selamanya persepsi yang memandang
sebagian ilmu memiliki manfaat, sebagian enteral,
dan sebagian lagi tidak bernilai sama sekali selama
ilmu itu mendatangkan kebaikan bagi kehidupan. c.
Kesatuan sejarah. Konsekuensinya setiap ilmu harus
mengakui bahwa seluruh aktivitas manusia memiliki
karakter sosial atau terkait dengan umat, dan harus
mengacu kepada tercapainya tujuan umat dalam
sejarah. Dimensi ini pada gilirannya akan mengakhiri
pembagian ilmu ke dalam wilayah yang bersifat
pribadi dan sosial. Dengan menegaskan bahwa
seluruh ilmu memiliki karakter keterkaitannya
dengan umat. []

46 | H. Muhammad Nasir
2
ORMAS ISLAM
DAN NILAI PANCASILA

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan


untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (Alquran surat Ali Imran (3): 110).

Umat Islam telah memberikan andil besar


dalam gerakan perjuangan bangsa sampai
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (
NKRI ) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Karena itu umat Islam wajib mempertahankannya
dan berperan lebih sungguh-sungguh lagi dalam
menentukan arah pembangunan bangsa ini demi
mewujudkan masyarakat Indonesia yang kuat, rukun,
damai, adil, makmur, dan sejahtera (baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur). Sebagai bangsa yang
majemuk, baik dari aspek suku, bahasa, agama, adat,
paham keagamaan, dan sebagainya, keseluruhan
aspek tersebut merupakan peluang sekaligus
tantangan dalam pembangunan umat dan bangsa.
Kemajemukan ini merupakan sunnatullah yang jika
dikelola secara baik akan menjadi sumber kekuatan.

MODERASI BERAGAMA | 47
Namun sebaliknya, jika kemajemukan ini disikapi
secara tidak proporsional dan bahkan terus
menonjolkan aspek perbedaan yang kemudian diikuti
oleh semangat ego sektoral, maka ia akan menjadi
sumber perpecahan dan malapetaka bagi umat dan
bangsa.
Agar potensi kekuatan tersebut dapat
terintegrasi dan menjadi energi positif dalam konteks
yang kuat untuk menjadi jembatan komunikasi umat
dan perekat kemajemukan, maka peran organisasi
Islam sangat penting terutama dalam menggerakkan
dan menyalurkan ide-ide besar umat dalam
menentukan arah pembangunan bangsa. Peran
organisasi masyarakat (ORMAS) Islam di Indonesia
dalam proses pembangunan, baik secara fisik
maupun pembangunan sumber daya manusia, sudah
terbukti dalam sejarah perjuangan bangsa. Bahkan,
dapat dikatakan bahwa tanpa organisasi masyarakat
(Ormas) maka kemerdekaan Indonesia akan sulit
diwujudkan ketika itu.
Sejarah bangsa mencatat peran yang sangat
penting dimainkan organisasi masyarakat, seperti:
Boedi Oetomo (1908), Syarikat Dagang Islam (1911),
Muhammadiyah (1912), Nahdhatul Ulama (1926),
organisasi-organisasi pemuda kedaerahan (Jong
Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dll./1918),
organisasi kependidikan, dll, dalam perjuangan
pencerdasan anak bangsa menuju Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.

48 | H. Muhammad Nasir
Penguatan Kelembagaan Umat

Penguatan kelembagaan Islam berorientasi


pada manajemen bangsa yang bersifat majemuk
dengan strategi kebudayaan yang adil dan beradab.
Masyarakat Islam terbentuk atas dasar lembaga
sosial, budaya, dan politik yang mengupayakan
kemaslahatan umat. Di dalam menjalankan
lembaganya, muslim modern menerapkan inovasi,
musyawarah dan pemerataan. Kelembagaan Islam
menghormati pengembangan modal insani yang
berpotensi menjadi modal intelektual, modal
kesejahteraan, modal teknologi, dan modal keadilan.
Dibutuhkan pula kelompok pengontrol bagi
pelaksana lembaga terkait pendidikan, dakwah, hak
warga negara, dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
peran masyarakat madani dan perangkat hukum di
NKRI menjadi penting demi terwujudnya bangsa
Indonesia yang bermartabat.
Ijtima Ulama Indonesia yang diselenggarakan
di Pesantren Gontor pada 2006 menegaskan bahwa
Umat Islam perlu mengefektifkan gerakan, baik yang
sifatnya dakwah Islamiah (harakah al-da’wah)
maupun gerakan pembelaan bagi Islam dan umatnya
(harakah al-difa). Gerakan umat Islam yang efektif itu
adalah gerakan yang bersifat ishlahiyyah,
terkoordinasi, tersinergi, saling mendukung dan tidak
kontra-produktif, serta mengedepankan cara-cara
(kaifiyah) yang damai, santun dan berkeadaban,

MODERASI BERAGAMA | 49
sekalipun aktivitas kegiatan tersebut beragam dan
tidak satu model.
Dalam melakukan aktivitas, ormas dan
lembaga keagamaan hendaknya selalu mendasarkan
diri di atas prinsip, yaitu pertama, niat yang baik,
perencanaan yang terpadu, metode keagamaan
(manhaj) yang shahih; Kedua, kehidupan sosial yang
mengedepankan semangat kekeluargaan (al-
ukhuwwah) moderasi (a-tawassuth), keseimbangan
(al-tawazun) dinamis, dan memanfaatkan segala
potensi yang ada.
Ruang lingkup gerakan keagamaan (harakah
diniyah) harus mencakup segala bidang, seperti
aqidah, syariah, akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial,
politik dan budaya. Dengan demikian, perlu ada
kesadaran kolektif akan pentingnya institusi yang
mengkoordinasikan seluruh potensi kelembagaan
umat agar terarah, terkoordinasi, sinkron, dan
sinergis. Untuk tercapainya gerakan yang efektif
tersebut, MUI umpamanya diharapkan dapat
menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, sinkronisasi,
dan sinergi, sehingga tercapai tujuan gerakan
bersama.

Penguatan Komunikasi Kelembagaan

Ormas merupakan lembaga efektif dan


strategis dalam membangun persatuan dan kesatuan
bangsa dan umat beragama. Untuk itu ormas harus

50 | H. Muhammad Nasir
membangun komunikasi yang efektif dan kreatif
melalui jejaring ormas lainnya. Jejaring komunikasi
dalam hal ini adalah suatu wadah untuk
mensinergikan institusi atau jaringan yang memiliki
kepentingan yang sama baik dari pemerintah, non
pemerintah, media masa, dan organisasi
kemasyarakatan dalam suatu kerja sama yang lebih
mengarah pada kegiatan komunikasi untuk
menghasilkan manfaat satu sama lain.
Jejaring sosial (sosial networking) adalah
suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-
simpul (yang umumnya adalah individu atau
organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe
relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, temuan, dll. Dalam
konteks ini jejaring komunikasi merupakan hubungan
timbal balik antara individu dengan kelembagaan,
baik yang bersifat formal, informal, dan non formal.
Jejaring komunikasi kelembagaan adalah
sebuah jejaring yang bersifat sistematik antar ormas
dengan kelembagaan untuk mensinergikan potensi
ormas dan kelembagaan Islam dalam suatu gerak
langkah (tansikul harokah) yang mengarah kepada
kegiatan yang bersifat strategis. Analisis jejaring
komunikasi baik yang bersifat sosial maupun
kelembagaan memandang bahwa hubungan
tersebut sebagai simpul dan ikatan. Simpul adalah
faktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan
adalah hubungan antar faktor tersebut. Simpul dan

MODERASI BERAGAMA | 51
ikatan tersebut dapat dikembangkan berdasarkan
firman Allah Ali Imran (3): 103.

Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada


tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka
Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara;
dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk”.

Penelitian dalam berbagai bidang akademik


telah menunjukkan bahwa jaringan sosial beroperasi
pada banyak tingkatan, mulai dari keluarga hingga
negara, dan memegang peranan penting dalam
menentukan cara memecahkan masalah,
menjalankan organisasi, serta derajat keberhasilan
seorang individu dalam mencapai tujuannya. Dalam
bentuk yang paling sederhana, suatu jaringan sosial
adalah peta semua ikatan yang relevan antar simpul
yang dikaji. Jaringan tersebut dapat pula digunakana
untuk menentukan modal-modal sosial aktor
individu.

52 | H. Muhammad Nasir
Strategi Penguatan Jaringan Ormas

Strategi penguatan jaringan sosial (sosial


networking) dilakukan dengan bentuk strategi
sederhana seperti sosial software email, newsgroup,
blog, bullentin boards atau mailing list antar Ormas
Islam dan kelembagaan Islam.
Identitas Net Working
a. Visi. Terbangunnya berbagai isu menjadi arus
utama kebijakan tentang kesatuan umat Islam
(ummatan wasatha).
b. Misi. Mensinergikan program antar ormas Islam
yang strategis dan implementatif.

Peran Komunikasi

Peran jejaring komunikasi kelembagaan Islam


yakni adanya koordinasi dalam mensinergikan
potensi dari berbagai pihak baik anggota maupun
pemangku kepentingan (stakeholder) terkait,
melalui: a. Pengembangan potensi ekonomi masing-
masing organisasi Islam; b. Pengembangan potensi
dan daya saing pendidikan oleh lembaga Islam; c.
Dalam rangka mengurangi angka kemiskinan, maka
sangat urgen melakukan pemberdayaan ekonomi
masyarakat miskin; d. Pengembangan pendidikan,
ekonomi, dan dakwah (PED).

MODERASI BERAGAMA | 53
Pembentukan Jejaring Komunikasi Ormas Islam

Rendahnya kinerja ormas Islam dalam


menjalankan program pendidikan, ekonomi dan
dakwah (PED) mengakibatkan banyaknya
permasalahan yang muncul antara lain munculnya
berbagai aliran sesat, disebabkan sampai saat ini di
satu sisi, dakwah belum menjadi arus utama dalam
kebijakan pembangunan bangsa, sehingga belum
menjadi perhatian dan komitmen dari para
pengambil keputusan ditingkat nasional maupun
daerah. Di sisi lain, kebijakan ormas dan lembaga
Islam dalam penanganan dakwah ini masih belum
terpadu. Banyak program masih tumpang tindih.
Para pemangku kepentingan yang peduli terhadap
dakwah masih berjalan sendiri-sendiri. Sementara di
tingkat masyarakat, kesadaran terhadap perilaku
hidup untuk mengamalkan nilai-nilai Islam masih
rendah.
Untuk itu dibutuhkan koordinasi dan integrasi
yang lebih strategis dari berbagai pihak pemangku
kepentingan untuk saling berkoordinasi dan
membangun kekuatan bersama yang lebih besar. Di
samping itu dibutuhkan suatu jaringan yang dapat
mengkomunikasikan kebutuhan dan kepentingan
dari berbagai pihak, sehingga setiap pihak mampu
mempunyai wadah untuk dapat berkontribusi dan
saling bersinergi untuk mempercepat pencapaian

54 | H. Muhammad Nasir
tujuan bersama dalam pembangunan pendidikan,
ekonomi, dan dakwah (PED).
Apa yang mesti dilakukan
Tingkatkan kinerja ormas Islam dan lembaga
Islam melalui: 1) Terintegrasinya data, informasi,
pengetahuan dan program sosial pendidikan,
ekonomi dan dakwah (PED); 2) Tersedianya akses
informasi yang berkualitas bagi seluruh anggota
jejaring dan pemangku kepentingan; 3) Terciptanya
koordinasi, kerja sama dan kolaborasi antar
pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat,
dan swasta); 4) Terwujudnya penguatan dan
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan,
pendidikan, ekonomi, dan dakwah (PED) yang
berkelanjutan.

Kembalikan Peran Ormas Islam yang Hilang

Peran yang selama ini dibangun yang sudah


mulai redup dan bahkan hilang mesti dikembalikan,
yaitu 1) Koordinasi dalam mensinergikan potensi dari
berbagai pemangku kepentingan; 2) Pusat informasi,
tukar pengalaman dan pengetahuan; 3) Pendukung
kajian bagi solusi atas permasalahan pendidikan,
ekonomi, dan dakwah (PED); 4) Penyebar informasi,
teknologi, metodologi, dan praktik-praktik terbaik
permasalahan pendidikan, ekonomi, dan dakwah
(PED) baik nasioanl maupun internasioanl.
Kembangkan Prinsip Utama Organisasi

MODERASI BERAGAMA | 55
Adapun prinsip-prinsip organisasi yang
dikembangkan adalah: 1) Terbuka. Perorangan dan
lembaga yang melakukan aktivitas terkait
permasalahan; 2) Formal. Organisasi yang memiliki
badan hukum; 3) Inklusif. Melibatkan semua pihak
yang terkait dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan
dakwah (PED); 4) Independen. Organisasi yang tidak
berafilisi terhadap pemerintah dan organisasi politik
dan tunduk pada keputusan rapat anggota; 5)
Penerapan prinsip kemitraan dalam bentuk kerja
sama pendidikan, ekonomi, dan dakwah (PED) 6)
Peningkatan kapasitas lembaga dan sumber daya
manusia. 7) Peningkatan penyediaan dana dari, oleh,
dan untuk umat.

Azas Organisasi

Tegakkan azas-azas organisasi dengan


konsisten, yaitu, 1) Transparansi. Seluruh
pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka; 2)
Akuntabilitas. Seluruh aktivitas program dan
kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada rapat anggota; 3) Mengikuti kode etik yang
disepakati; 4) Kesetaraan gender.

Prinsip Organisasi

Tegakkan prinsip-prinsip organisasi dengan


baik, yaitu, 1) Keputusan tertinggi organisasi berada

56 | H. Muhammad Nasir
pada keputusan rapat anggota; 2) Struktur organisasi
sederhana (tidak birokratis) dengan tim pengarah
yang kedudukannya berada di bawah keputusan
rapat anggota. Peran tim pengarah adalah
memberikan arahan koordinasi; 3) Tim pengarah
terdiri dari perwakilan anggota yang dipilih dengan
suara terbanyak oleh rapat anggota berdasarkan
kompetensi dan integritasnya; 4) Terdapat beberapa
koordinasi bidang kerja sesuai dengan keputusan
rapat angota; 5) Selain menangani bidang kerja
tertentu, koordinator bidang juga dapat menangani
wilayah kerja tertentu; 6) Kinerja organisasi
didukung oleh ketersediaan sumber dana yang
berasal dari anggota dan sumber-sumber lain yang
sah dan disepakati. []

MODERASI BERAGAMA | 57
3
AGAMA DAN INKLUSIFISME
PENDIDIKAN ISLAM

Terdapat tiga dimensi utama dalam


beragama, yaitu doktrin, penyikapan (pemahaman),
dan pelaksanaan terhadap doktrin itu. Dari ketiga
dimensi ini, sering terjadi kekeliruan dalam
memahami makna petunjuk agama (baca: Islam),
maka dalam studi keagamaan seringkali dibedakan
antara ‘agama’ (religion) dengan ‘keberagaman’
(religiousity). Agama berkaitan dengan doktrin,
kebenarannya mutlak tidak bisa diganggu gugat.
Sedangkan keberagaman berkaitan dengan
penyikapan terhadap doktrin itu. Kebenaranmnya
bernilai relatif. Pandangan seperti ini tentu sangat
keliru dan dapat membahayakan bagi kelangsungan
umat beragama. Sebab sejatinya kebenaran agama
(Islam) itu dalam kondisi apa pun tetap sama dan
tidak berubah, maka sikap yang mesti tampil dalam
kehidupan umat beragama adalah taat dan patuh
terhadap seluruh perintah dan jauh dari larangan baik
dalam bentuk nilai dan keyakinan, maupun perilaku
hubungan antara manusia dengan alam ciptaan.
Dengan kata lain, seluruh petunjuk agama (baca:
Islam) mutlak kebenarannya dan yang relatif adalah
penerimaan seseorang terhadap petunjuk agama itu

58 | H. Muhammad Nasir
sendiri. Sebab itulah ada orang yang taat beragama
dan ada orang yang tidak taat beragama.
Dalam kajian-kajian sosiologis, kita sering
menemukan dua istilah, yaitu ‘agama’ (religion) dan
‘keberagamaan’ (religiousity). Agama (baca: Islam)
memiliki petunjuk yang jelas yang tidak ada keraguan
di dalamnya. Islam sebagai petunjuk berbeda dengan
doktrin. Sedangkan agama dalam kajian sosiologis itu
mungkin saja dapat dikaitkan dengan doktrin sebagai
keyakinan agama di luar Islam. Kalau di luar Islam
doktrin dapat dikatakan sebagai keyakinan,
sedangkan penyikapan mengandung arti
pemahaman dan pemaknaan terhadap doktrin.
Setiap penyikapan terikat oleh sosio-kultural; dan
setiap lingkungan sosio-kultural tertentu ini sangat
mempengaruhi terhadap pemahaman seseorang
tentang agamanya. Berbeda dengan Islam, petunjuk
dan ajarannya, termasuk paham ajarannya tidak
dapat dipengaruhi oleh sosio-cultural mana pun.
Kebenarannya mutlak sepanjang sejarah. Tetapi
manusianya atau umatnya yang dapat terpengaruh
oleh socio-cultural sebagaimana pandangan di atas.
Jika mengikuti pandangan para ahli studi
agama-agama pada umumnya, memang
membedakan dua istilah itu. Religion biasa
dialihbahasakan menjadi “agama” yaitu himpunan
doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku,
yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk
manusia. Sedangkan religiousity, istilah ini lebih

MODERASI BERAGAMA | 59
mengarah pada kualitas pengahayatan dan sikap
hidup seseorang berdasarkan pada nilai-nilai
keagamaan yang diyakininya.1 Dalam kehidupan para
penganut agama, antara doktrin dan
penghayatannya tidak bisa dipisahkan. Keduanya
menunjukkan dinamika kehidupan dalam beragama.
Pada sisi lain, pengungkapan keyakinan agama
seseorang atau sekelompok orang, akan berhadapan
dengan berbagai keyakinan agama yang beragam.
Oleh karena itu, berapa pandangan, teori, dan
berbagai pengalaman telah muncul berkaitan dengan
bagaimana keyakinan seseorang atau sekelompok
orang bisa hidup berdampingan secara aman, damai,
dan rukun dengan berbagai keyakinan lain yang
berbeda.
Oleh karena itu, dalam konteks
keberagamaan demikian muncul keragaman
pandangan dan paham keagamaan. Tingkat
keragaman dalam beragama ini sangat
memungkinkan terjadi sekalipun dalam
kepenganutan agama yang sama. Joachim Wach
menyatakan bahwa keberagaman pemahaman ini
mewujud dalam tiga bentuk, yaitu thought
(pemikiran) berupa sistem kepercayaan; practice
(praktik-praktik keagamaan) berupa pengabdian dan
upacara keagamaan; dan Followships (kelompok-

1Komarudin Hidayat, “Agama Untuk Kemanusiaan”, dalam Andito (ed.), Atas Nama
Agama, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hlm. 41dan 42.

60 | H. Muhammad Nasir
kelompok atau lembaga-lembaga keagamaan).2
Tinggi rendahnya kualitas beragama sebagai
“perwujudan” kebenaran agama yang diyakininya itu
terletak pada manusianya. Karena memang hanya
manusia yang menganut agama. Taufik Abdullah
menguatkan pandangan ini dengan menekankan,
bahwa memahami agama tiada lain adalah
memahami kebenaran agama dari realitas empiris,
yang berarti apa-apa yang diyakini dan diperbuat oleh
manusia dalam kesehariannya sebagai manusia
beragama.3
Penyikapan dan pandangan yang bermacam
ragam itu secara intuitif ditangkap oleh
Scheilermacher, bahwa keragaman itu sebenarnya
semakin menunjukkan adanya kesatuan di antara
(para penganut) agama-agama. Pandangan ini
tidaklah benar. Keragaman agama bukan untuk
menunjukkan kesatuan, melainkan untuk menguji
kebenaran dari agama-agama yang dianut. Maka
sangat keliru jika dikatakan bahwa “Semakin pesat
kemajuan dalam beragama, akan semakin nampak
bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang
tak terbagi.” Dan yang lebih keliru lagi apa yang
dikatakan Max Muller, seorang perintis “Science of
Religion” (Religionswissenscchaft), juga mengatakan

2Lihat Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, Diedit dan diberi pengantar oleh
Joseph M. Kitagawa, Columbia University Press, New York, 1958, hlm. 55. Edisi Indonesia
diterbitkan oleh Rajawali, Jakarta, 1984.
3 Taufik Abdullah & Rusli Karim, ed, Metodologi Penelitian Agama, Taiara Wacana,

Yogyakarta, 1990, hlm. Xiii.

MODERASI BERAGAMA | 61
bahwa “Hanya ada satu agama universal dan abadi
yang melingkupi, mendasari dan melampaui semua
agama-agama yang di situ mereka termasuk atau
dapat dimasukkan”.4
Ungkapan semacam ini hanyalah untuk
menunjukkan bahwa agama dan kebergamaan itu
merupakan “sesuatu yang diyakini dan dipahami
manusia”. Suatu keyakinan tidaklah berarti apa-apa
manakala tidak diekspresikan dalam tindakan
beragama oleh manusia, atau bisa dikatakan sebagai
penerapan konkret nilai-nilai yang dimiliki manusia.5
Sementara, Smith mencoba “mempersoalkan”
agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat
manusia, karena kebenaran itu muncul berdasarkan
yang dipahami oleh manusia. Keberagamaan
seseorang, bagaimanapun akan dipengaruhi oleh
struktur sosial, politik dan kultural setempat di mana
agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks ini,
kenapa “perwujudan” Islam di Indonesia bisa
dibedakan dengan Islam di Arab Saudi, Pakistan atau
Mesir? Juga, kenapa Hindu di India berbeda dengan
Hindu di Bali? Oleh karena itu, setiap agama tidak
dapat dipisahkan dari cirinya yang “kompromistis”
atau “akomodatif”. Sifat akomodatif terletak pada
penghampiran manusia terhadap agamanya yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial, kultur, dan politis

4 Lihat Fredrich Heiler : “Studi Agama Sebagai Persiapan Kerja Sama Antaragama”, dalam
Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000,
hlm. 232.
5 F. J. Moreno, Agama Dan Akal Fikiran, terjemahan, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 122.

62 | H. Muhammad Nasir
di mana ia hidup. Sebaliknya, sebagai sistem
keyakinan, agama dapat menjadi bagian inti dari
sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu
masyarakat dan menjadi pendorong tindakan-
tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran
agamanya.6

Meluruskan Paham Pluralisme Beragama dan


Keragaman Budaya

Secara fenomenologis, istilah ‘pluralisme


beragama’ (religious pluralism) menunjukkan pada
fakta, bahwa sejarah agama-agama menampilkan
suatu pluralitas tradisi dan berbagai varian masing-
masing tradisi. Sedangkan, secara filosofis istilah
‘pluralisme beragama’ menunjukkan pada suatu teori
partikular tentang hubungan antara berbagai tradisi
itu. Teori itu berkaitan dengan hubungan antar
berbagai agama besar dunia yang menampakkan
berbagai konsepsi, persepsi, dan respon tentang
ultim yang satu, realitas ketuhanan yang penuh
dengan misteri. Tetapi dalam petunjuk agama (baca:
Islam) tidak dikenal adanya realitas ketuhanan yang
penuh dengan misteri. Hal ini jelas merupakan
pandangan yang keliru karena petunjuk Islam
merupakan petunjuk yang jelas dan pasti, dan jika
keyakinan itu tidak dapat ditangkap oleh nalar dan

6
Roland Robertson, Sosiologi Agama, terjemahan, Tonis, Bandung, 1985, hlm. vi.

MODERASI BERAGAMA | 63
indera manusia bukan berarti itu tidak jelas dan pasti,
tetapi karena kemampuan nalar dan indera manusia
tidak sanggup menangkap makna di balik realitas itu.
Hal itu disebabkan oleh kelemahan akal manusia
yang sangat terbatas.
Pluralisme dapat dipahami sebagai
masyarakat majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang menggambarkan
kesan fragmentasi dalam konteks pluralisme. Selain
itu pluralisme dapat juga dipahami sebagai
“kebaikan negatif” (negative good). Apabila hanya
ditilik dari kegunaannya dalam rangka menyingkirkan
fanatisme. Di samping itu pluralisme harus dipahami
sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-
ikatan keadaban”. Bahkan, pluralisme adalah juga
suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia,
antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya.7
Makna pluralisme seperti itu, terungkap
dalam kitab suci Alquran (S.2:251): “Seandainya Allah
tidak mengimbangi segolongan manusia dengan
segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur;
namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah
kepada seluruh alam”. Suatu penegasan, bahwa Allah
menciptakan mekanisme pengawasan dan
pengimbangan antara sesama manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah

7Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,


Paramadina, Jakarta, 2001, hlm. 31.

64 | H. Muhammad Nasir
satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada
umat manusia.8 Dengan demikian, pluralisme bisa
muncul pada masyarakat di mana pun ia berada. Ia
selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang
semakin cerdas dan tak ingin dibatasi oleh sekat-
sekat sektarianisme. Pluralisme harus dimaknai
sebagai konsekuensi logis dari Keadilan Ilahi, bahwa
keyakinan seseorang tidak dapat diklaim benar dan
salah tanpa mengetahui dan memahami terlebih
dahulu latar belakang pembentukannya, seperti
lingkungan sosial budaya, referensi atau informasi
yang diterima, tingkat hubungan komunikasi, dan
klaim-klaim kebenaran yang dibawa dengan
kendaraan ekonomi-politik dan kemudian direkayasa
sedemikian rupa demi kepentingan sesaat, tidak akan
diterima oleh seluruh komunitas manusia mana pun.
Pada situasi dewasa ini, diperlukan kesadaran
akan sifat dan hakekat “pluralistik” dan “lintas
budaya”. Disebut “pluralistik”, karena tidak ada lagi
satu budaya, ideologi, maupun agama (kecuali Islam)
yang dapat mengklaim sebagai satu-satunya sistem
yang unik dan bahkan terbaik dalam pengertian
absolut. Di sebut lintas budaya, karena komunitas
manusia tidak lagi hidup dalam sekat-sekat, sehingga
setiap persoalan manusia saat ini yang tidak dilihat
dalam parameter kemajemukan budaya adalah
persoalan yang secara metodologis salah letak.9
8Ibid.
9Raimundo Pannikar, “Dialog Yang Dialogis”, dalam Ahmad Norma Permata (ed), op.cit.
hlm. 199.

MODERASI BERAGAMA | 65
Berdasarkan fakta empiris-historis,
keragaman beragama (pluralitas) tidak mungkin bisa
dihindari. Inilah yang diingatkan oleh Nurcholish
Madjid, bahwa sistem nilai plural adalah sebuah
aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin
berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barangsiapa
yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan
budaya, maka akan timbul fenomena pergolakan
yang tidak berkesudahan.10 Demikian juga
pandangan H.M Rasjidi yang mengakui bahwa dalam
kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex
yang mengandung religious pluralism, bermacam-
macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau
tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan
mengakui adanya religious pluralism (dengan tidak
mengklaim semua agama sama) dalam masyarakat
Indonesia.11 Boleh dikatakan bahwa memahami
pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari
cara memahami agama secara kontekstual.
Memahami agama, pada dasarnya memahami juga
kebudayaan masyarakat secara menyeluruh. Dan, jika
agama dipahami secara integral dengan kondisi sosial
kulturalnya, pada saat itu pula akan tampak dengan
sendirinya mana aspek budaya yang selaras dengan
misi agama dan mana yang tidak.
Dengan kenyataan bahwa keberagamaan
masyarakat Indonesia adalah pluralistis dan
10 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995.
11 M. Rasjidi, Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968, Tahun ke VIII, hlm. 35.

66 | H. Muhammad Nasir
merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari,
maka masalah ini diakui dalam konstitusi dan telah
ditegaskan adanya jaminan untuk masing-masing
pemeluk agama dalam melaksanakan ajaran sesuai
dengan keyakinan masing-masing. Oleh karena itu,
kekayaan keragaman ini bila dikelola dengan baik dan
positif, maka akan menjadi modal besar bagi bangsa
Indonesia. Namun bisa juga menjadi bencana yang
mengandung potensi konflik. Sebagai kenyataan
sosial, pluralitas agama ini tak jarang menjadi
problem, di mana agama di satu sisi dianggap sebagai
hak pribadi yang otonom. Namun di sisi lain hak ini
memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam
kehidupan masyarakat. Masing-masing penganut
agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang
dianutnya (claim of truth) harus diwartakan dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam
konteks ini, agama seringkali menjadi potensi konflik
dalam kehidupan masyarakat.
Bukan saja hanya keragaman dalam
beragama yang berpeluang memunculkan konflik,
tetapi juga bisa terjadi karena keragaman etnis dan
budaya. Perbedaan budaya menjadi sebuah konduksi
dalam hubungan interpersonal. Misalnya, ada yang
mengangguk-nganggukkan kepala atau bilang ‘uh’,
tepuk tangan ataupun mengedipkan mata ketika
mengungkapkan perhatiannya ketika diajak bicara
atau mendengarkan pidato. Di kalangan psikolog,
perbedaan budaya menunjukkan perbedaan

MODERASI BERAGAMA | 67
intelegensia masyarakat. Masyarakat Sunda
bercirikan ramah, masyarakat Bali lemah gemulai,
dan lain-lain. Jika masyarakat atau seseorang
memiliki kemampuan menguasai hal itu maka
merupakan ciri dari tingkat intelegensianya.
Sementara, manipulasi dan rekayasa kata dan angka
menjadi penting dalam masyarakat Barat, maka
keahlian dalam memiliki kemampuan ini
menunjukkan kepada kemampuan intelegensianya.12
Di sinilah perlunya membangun kesadaran bersama
penghormatan terhadap keragaman identitas sosial
termasuk identitas dan ekspresi keberagamaan. Oleh
karena itu, sangat diperlukan adanya pengetahuan
dan pemahaman tentang budaya yang beragam itu
supaya tidak terjadi fragmentasi kelompok,
ketersinggungan, kesalahpahaman, dan konflik-
konflik horizontal.
Dalam menyikapi keragaman budaya itu,
sedikitnya ada tiga sudut pandang yang berbeda dan
bahkan bisa memunculkan konflik, yaitu 1)
Pandangan primordialis, di mana identitas asal sangat
kental, baik itu agama, suku, adat, dll; 2) pandangan
instrumentalis, di mana keragaman budaya dan
identitas dijadikan alat untuk mencapai tujuan, baik
materil maupun nonmateril. Pandangan ini sering
digunakan oleh para politisi. Misalnya ketika
meneriakkan Islam, adalah dengan maksud semua

12Lihat Muhaemin el-Ma’hady, “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (sebuah


kajian awal)”, dalam www.komunitasdemokrasi.or.id; 3 Nopember 2008.

68 | H. Muhammad Nasir
umat Islam mem-backup-nya untuk kepentingan
politiknya; dan 3) konstruktivis, yaitu keragaman
budaya dan identitas dibentuk sebagai jaringan
pergaulan sosial.13 Bagi mereka, persamaan adalah
anugerah sedangkan perbedaan adalah berkah.
Tampaknya, yang ketiga ini terbuka ruang wacana
untuk multikulturalisme dan menerima pluralitas
beragama dalam membangun toleransi, egaliteran,
persamaan, dan lain-lain yang bersikap inklusif.
Wacana ini sudah sering dibicarakan di lingkungan
akademisi, praktisi budaya, dan agamawan.

Nilai Kebenaran dan Dialog Keagamaan

Sejalan dengan pluralitas dalam beragama


itu, maka yang menjadi problem paling besar dalam
kehidupan beragama dewasa ini adalah “Bagaimana
teologi dari suatu agama (truth claim) mendefinisikan
diri di tengah agama-agama lain di luar Islam.
Semakin berkembangnya pemahaman mengenai
pluralisme agama, berkembang pula suatu paham
teologia religionum, yaitu suatu paham yang
menekankan pentingnya kedewasaan berteologi
dalam konteks agama-agama.”14 Tetapi pada saat
yang bersamaan masih tetap terpelihara keyakinan

13Ibid.
14 Lihat; budhy Munawar Rachman : Resolusi Konflik Agama Dan Masalah Klaim
Kebenaran”, salah satu kumpulan tulisan yang terdapat dalam buku berjudul : Dari
Kesergaman Menuju Keberagaman, Wacana Multi-kultural Dalam Media, Sandra Kartika
dan M. Mahendra (editor), Lembaga Studi Pers & Pembangunan, Jakarta, 1999, hlm. 129-
130.

MODERASI BERAGAMA | 69
dan kebenaran agamanya. Berbeda dengan konteks
keislaman, bahwa teologi Islam sangat jelas
memberikan petunjuk tentang kebenaran (‘alhaqu
mirrabikum’) Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan
agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-
tawar, apalagi berganti. Agama bukan sebagai
(seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat
diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Ia involved
dengan keyakinan agamanya.15 Demikian pula,
pemahaman pluralistis tidak serta merta diiringi
dengan keharusan pertemuan dalam masalah-
masalah teologis, atau pertemuan dalam hal
keimanan, namun hanya untuk memberi tempat dan
pengakuan terhadap keberadaan agama-agama lain.
Pandangan pluralismenya tidak sampai masuk pada
perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang
ada di dalam agama lain. Ia sama sekali tidak
menyinggung tentang hal itu. Sebaliknya, ia juga agak
memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis
dari agama lain.
Berbagai pandangan dan teori dalam
mempelajari dan memahami keragaman dalam
beragama itu banyak ditemukan. Setidaknya, tiga
pendekatan yang sering digunakan: pendekatan
teologis, politis, dan sosial kultural. Untuk
pendekatan kedua dan ketiga, biasanya

15 M. Rasyidi, loc.cit.

70 | H. Muhammad Nasir
dikelompokkan pada pendekatan teoritis.16
Pendekatan teologis adalah mengkaji hubungan antar
agama berdasarkan sudut pandang ajaran agamanya
masing-masing. Bagaimana doktrin-doktrin agama
“menyikapi” dan “berbicara” tentang agamanya dan
agama orang lain. Sedangkan pendekatan teoritis
adalah melalui analisis politis dilihat dalam konteks
“kerukunan” dengan maksud untuk melihat,
bagaimana masing-masing (penganut) agama
memelihara ketertiban, kerukunan dan stabilitas
suatu masyarakat yang multi agama. Sedangkan
pendekatan kultur atau budaya adalah untuk melihat
dan memahami karakteristik suatu masyarakat yang
lebih menitikberatkan pada aspek tradisi yang
berkembang dan mapan, di mana agama dihormati
sebagai sesuatu yang luhur dan sakral yang dimiliki
oleh setiap manusia atau masyarakat. Tradisi “rukun”
menjadi simbol dan sekaligus sebagai karakteristik
sebuah masyarakat yang telah berjalan sejak lama
dan turun temurun. Konsep “kerukunan hidup
antarumat beragama” misalnya, bisa dianalisis
melalui pendekatan politis maupun kultural. Konsep
itu, lebih menitikberatkan pada muatan politis dan
kulturalnya ketimbang teologis. Karena agama
begitu nyata terlibat dalam dunia manusia yang tidak
lepas dari kecenderungan politis dan kulturalnya.
Melalui kajian teologis, kita bisa memahami
teks-teks masing-masing agama berkenaan dengan

16 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm. 22-23.

MODERASI BERAGAMA | 71
penyikapan agamanya dengan agama orang lain.
Oleh karena itu, buku-buku yang ditulis oleh para
ulama dan cendekiawan agama berkenaan dengan
penyikapan agama masing-masing itu, sangat
membantu kita dalam memahami doktrin-doktrin
agama berkenaan dengan hubungan antar agama,
apakah aspek ekonomi, politik, sosial budaya, dan
lain sebagainya. Sedangkan, dari pandangan politis,
kita bisa melihat dari ideologi sebuah masyarakat
atau negara yang dimilikinya. Ideologi ini sangat
mempengaruhi terhadap hubungan masing-masing
agama. Pada sebuah negara yang bertipe
“demokratis” (umumnya di Barat), misalnya, maka
hubungan antar agama akan bersifat demokratis
pula, tetapi lebih memiliki kecenderungan bahwa
agama itu hanya milik individu dan bersifat internal.
Sebaliknya, pada sebuah masyarakat yang tidak atau
semi demokratis (umumnya di Timur), cenderung
sosok agama bersifat ekslusif, masing-masing umat
beragama ingin menampakkan dan menonjolkan
agamanya sebagai satu-satunya sumber semua aspek
kehisupan manusia. Tetapi sulit diwujudkan dalam
praktik-praktik berbangsa dan bernegara, karena
berbenturan dengan agama-agama lain dan tradisi
atau budaya lainnya yang telah berkembang cukup
lama.
Demikian juga, banyak teori yang telah
diajukan oleh para agamawan (juga cendekiawan) di
Indonesia berkaitan dengan toleransi beragama.

72 | H. Muhammad Nasir
Tetapi bila disederhanakan meliputi dua hal. Pertama,
dari sisi ‘konsep kerukunan’, yakni pemaparan
teologis masing-masing agama; Kedua, pada aspek
‘dialog’ antar cendekiawan yang diwujudkan dalam
bentuk hubungan antar lembaga formal. Tetapi,
hubungan antar lembaga formal ini baru bersifat
seremonial, belum pada tataran konsepsional.
Munculnya “orde reformasi” menampakkan
kelemahan pada konsep pada kerukunan umat
beragama yang sudah dibuat dan dipublikasikan.
Ternyata, konsep itu bisa berjalan lebih bersifat
pendekatan “keamanan” dibandingkan
“kesadaran”. Maka, secara praktis, dialog
keagamaan harus berangkat dari kesadaran
beragama. Sebab, kesadaran beragama lahir dari
pengetahuan dan pengalaman beragama.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang
yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai
satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran
sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol
agama yang dipahami secara subyektif oleh setiap
pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut.
Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran
itu tampil beda ketika akan dimaknai dan
dibahasakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan
latar belakang yang diambil dari konsepsi ideal turun
ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural.

MODERASI BERAGAMA | 73
Dan ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan
keagamaan (harakah) pada umumnya. Sebab mereka
mengklaim telah memahami, memiliki, dan bahkan
menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai
suci itu.
Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari
semua perilaku pemaksaan konsep-konsep
gerakannya kepada manusia lain yang berbeda
keyakinan dan pemahaman dengan mereka.
Armahedi Mahzar menyebutkan bahwa
absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme,
dan agresivisme adalah “penyakit” yang biasanya
menghinggapi aktivis gerakan keagamaan.
Absolutisme adalah kesombongan intelektual.
Eksklusivisme adalah kesombongan sosial. Fanatisme
adalah kesombongan emosional. Ekstremisme
adalah berlebih-lebihan dalam bersikap.
Anagresivisme adalah berlebihan dalam melakukan
tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil
resmi kesombongan (‘ujub). Dua penyakit terakhir
adalah wakil resmi sifat yang berlebih-lebihan.17
Dalam konteks kehidupan beragama yang
pluralistis sebagaimana tersebut di atas, maka untuk
memelihara keragaman keyakinan beragama dalam
konteks kerukunan, diperlukan suasana saling
pengertian dan saling menghormati di antara

17 Armahedi Mahzar dalam pengantar untuk terjemahan R. Garaudy,


Islam Fundamentalis dan Fundamen-talisnya, Pustaka, Bandung,
1993, hlm. Ix.

74 | H. Muhammad Nasir
berbagai penganut agama. Salah satu cara untuk
sampai pada suasana “rukun”, saling pengertian dan
menghormati itu adalah melalui upaya memahami
doktrin yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
moderasi beragama dengan keyakinan agama yang
berbeda. Masing-masing agama, khususnya Islam
memiliki prinsip-psinsip dasar ini. Di samping
toleransi dalam beragama ini merujuk pada norma-
norma masing-masing agama, juga, bisa berasal dari
pengalaman-pengalaman pribadi manusia beragama,
baik pengalaman langsung maupun pengalaman atas
dasar memahami fenomena beragama. Untuk itu,
bagi umat beragama diperlukan:
1. Keyakinan yang kuat yang didasarkan atas
pemahaman dan pengetahuan yang benar
tentang agamanya. Di sini, agama (doktrin)
memberikan rambu-rambu yang jelas dan tegas,
bagaimana bergaul secara komunikatif, toleran,
dan saling menghormati di antara para pemeluk
agama;
2. Minimal memiliki pengetahuan standar tentang
ajaran (doktrin) agama orang lain yang berbeda
dengan kita dari sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan. Cara ini dimaksudkan
untuk menghindari ketersinggungan,
kesalahpahaman, dan penilaian yang salah
tentang (doktrin) agama mereka.

MODERASI BERAGAMA | 75
3. Memahami karakteristik budaya, tradisi, dan
kesukuan yang beragam sebagai kunci utama
dalam memasuki pergaulan sosial.
4. Kontinyuitas dialog antar pemuka dan tokoh
agama lebih intens. Cara ini dilakukan mengingat
di mata sebagian besar umat beragama,
berkredibilitas ketokohan agama tetap tinggi
dan terpelihara untuk membimbing dan
menyelesaikan persoalan-persoalan internal dan
eksternal kehidupan beragama.
5. Peran pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik
formal maupun nonformal dalam menanamkan
nilai-nilai kerukunan, toleransi, solidaritas, dan
saling menghormati antar kepenganutan yang
berbeda sangatlah besar. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang “rukun” bukan hanya
berasal dari kultur lokal saja, tetapi jauh lebih
penting adalah dari doktrin agama yang
mengajarkan dan memberi kesadaran
kemanusiaannya.

Lima langkah di atas bukanlah jaminan mutlak


yang serta merta kerukunan antarumat beragama
bisa langsung tercapai. Sebab, masalah keyakinan
adalah masalah “pribadional”. Kita memang sulit
melepaskan kerangka (frame) subyektivitas ketika
keyakinan pribadi berhadapan dengan keyakinan lain
yang berbeda. Sekali pun ada yang berpendapat
bahwa kerangka subyektif adalah cermin eksistensi

76 | H. Muhammad Nasir
yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil
menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi
satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu, kita
tidak harus memaksakan inklusivisme “gaya kita”
pada orang lain, yang menurut kita ekslusif. Sebab,
bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya
masih terkungkung pada jerat-jerat ekslusivisme.
Tetapi dengan menggunakan inklusivisme.
Dari sisi lain, yang tampak ke permukaan
adalah, bahwa terjadinya konflik antar agama muncul
sebagai akibat kesenjangan ekonomi
(kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik,
ataupun perbedaan etnis. Akhirnya konsep
kebenaran dan kebaikan yang berakar dari idelogi
politik atau wahyu Tuhan sering menjadi alasan
pembenar penindasan kemanusiaan. Hal ini pun bisa
terjadi ketika kepentingan pembangunan dan
ekonomi atas nama kepentingan umum sering
menjadi pembenar tindak kekerasan. Ditambah pula
dengan klaim kebenaran (truth claim) dan watak
missioner dari setiap agama, peluang terjadinya
benturan dan kesalah-pengertian antar penganut
agama pun terbuka lebar, sehingga menyebabkan
retaknya hubungan eksternal agama-agama. Maka
penting dilakukan dialog antar agama. Sedangkan
untuk internal agama, diperlukan reinterpretasi
pesan-pesan agama yang lebih menyentuh

MODERASI BERAGAMA | 77
kemanusiaan yang universal. Dalam hal ini, peran
para tokoh agama lebih dikedepankan.18
Oleh karena itu, dialog kerukunan dalam
beragama’, atau kepenganutan agama dalam
konteks pluralisme keyakinan agama menjadi sangat
penting untuk dipahami, diluruskan, dan
ditindaklanjuti dalam aktivitas kehidupan beragama,
sehingga secara esensial dapat diketahui, dipahami,
dan diamalkan oleh para penganut agama ketika
bersinggungan dan berhadapan dengan para
penganut yang berbeda keyakinan. Dialog menjadi
salah satu media penting bagi terwujudnya
keharmonisan antar agama, karena berpijak dari nilai
akademis (intelektual), pengalaman dan kesadaran
dalam beragama.

Peran Pendidikan Agama (Islam)

Sejalan dengan perkembangan kehidupan


beragama dan poin ke-5 (lima) langkah-langkah
kerukunan di atas itu, karena persoalan pluralitas
beragama di Indonesia menjadi tantangan, maka
harus direspon oleh semua elemen bangsa ini.
Termasuk di dalamnya, dunia pendidikan (Islam).
Sebagai sebuah proses, maka pendidikan sangat
berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan
pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya,
yakni pandangan hidup, sikap hidup, dan

18 Ghazali, op.cit., hlm. 25.

78 | H. Muhammad Nasir
keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan
ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah,
luar sekolah dan keluarga. Berdasarkan konsep
pendidikan ini, maka sesungguhnya pendidikan
merupakan pembudayaan atau “enculturation”,
suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu
hidup dalam suatu masyarakat tertentu dengan
keragaman budaya dan keyakinan. Konsekuensi dari
pernyataan ini, maka praktik pendidikan harus sesuai
dengan perkembangan masyarakat, sebab praktik
pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori
pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori
pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan
hidup masyarakat yang bersangkutan. Maka tidaklah
heran kalau pendidikan bisa dipandang sebagai
simbol peradaban. Bahkan dapat dikatakan, bahwa
maju mundurnya atau baik buruknya peradaban
suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan
oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh
masyarakat bangsa tersebut.19
Pendidikan pada hakekatnya merupakan
suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi
penolong atau penentu umat manusia dalam
menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk
memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia.
Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia
sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia

19Abdul Halim F, “Pendidikan :Simbopl Peradaban”; Sumber :


http://www.penulislepas.com; 16 April 2008.

MODERASI BERAGAMA | 79
masa lampau, yang sangat tertinggal baik kualitas
kehidupan maupun proses-proses
pemberdayaannya. Maka maju mundurnya atau baik
buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu
bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan
yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.
Kemajuan, peradaban yang dicapai umat manusia
dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari peran-
peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan
teknologi yang dicapai bangsa-bangsa diberbagai
belahan bumi ini, telah merupakan akses produk
suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa
kemajuan yang dicapai dunia pendidikan selalu di
bawah kemajuan yang dicapai dunia industri yang
memakai produk lembaga pendidikan.20
Pendidikan agama Islam, misalnya, tidak
dapat dipahami sebatas ‘pengajaran agama’, juga,
parameter keberhasilan pendidikan agama tidak
cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak
menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau
pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus
keagamaan semata. Lebih-lebih penilaian yang
diberikan melalui ‘angka-angka’ yang didasarkan
pada seberapa siswa didik menguasai materi sesuai
dengan buku ajar. Justru penekanan yang lebih
penting adalah seberapa dalam tertanamnya nilai-
nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa

20http://qastalany.wordpress.com/2007/09/22/paradigma-pendidikan-islam/

- _ftn3.

80 | H. Muhammad Nasir
dalam pula nilai-nilai tersebut terwujud dalam
tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan
melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Karena itu
pendidikan agama adalah pendidikan untuk
pertumbuhan total seorang manusia. Seyyed Hossein
Nasr, menegaskan bahwa pendidikan agama (Islam)
musti berkepedulian dengan seluruh manusia untuk
dididik. Tujuannya bukan hanya melatih pikiran,
melainkan juga melatih seluruh wujud pribadi. Itulah
yang menyebabkan mengapa pendidikan agama
(Islam) bukan hanya menyampaikan pengetahuan
(al-Ta’lim), tetapi juga melatih seluruh diri siswa (al-
Tarbiyah). Fungsi guru bukan sekedar seorang
mu’allim, penyampai pengetahuan, tetapi juga
seorang murabbi, pelatih jiwa dan kepribadian.21
Upaya membangun pendidikan Islam
berwawasan global yang ditandai dengan keragaman
budaya dan agama itu memang bukan persoalan
mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan
Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan,
menanamkan nilai-nilai ajaran Islam. Dan di pihak lain,
berusaha untuk menanamkan karakter budaya
nasional Indonesia dan budaya global. Tetapi, upaya
untuk membangun pendidikan Islam yang
berwawasan global yang keragaman agama itu dapat
dilaksanakan dengan langkah-langkah yang

21
Syamsul Ma’arif, “Islam dan Pendidikan Pluralisme, Menampilkan Wajah
Islam Toleran melalui Kurikulum PAI berbasis Kemajemukan”, Makalah yang
disampaikan dalam Annual Conference, Kajian Islam, Lembang Bandung, 26-
30 Nopember 2006.

MODERASI BERAGAMA | 81
terencana dan strategis. Misalnya saja, bangsa
Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang
mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya
sebagai suatu bangsa yang maju dengan tetap kental
dengan nilai-nilai religius. Dengan contoh bangsa
Jepang, maka pembinaan dan pembentukan nilai-
nilai Islam tetap relevan. Bahkan tetap dibutuhkan
dan harus dilakukan sebagai “kapital spiritual” untuk
masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
menghadapi tantangan global menuju masyarakat
madani Indonesia. Dari pandangan ini, tergambar
bahwa peran pendidikan sangatlah sentral dalam
kehidupan masyarakat yang senantiasa “sistem
sosial, politik, dan ekonomi bangsa selalu menjadi
penentu dalam penetapan dan pengembangan
peran pendidikan.22
Perbedaan budaya, agama, aspirasi politik,
kepentingan, visi, dan misi, keyakinan dan tradisi
merupakan sebuah konduksi dalam hubungan
interpersonal yang kadang-kadang juga menjadi
perbedaan perilaku dalam memahami sesuatu. Maka
dapat dikatakan berbagai kekisruhan etnis yang
merebak di banyak tempat di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, bagian dari krisis multi
dimensi yang dihadapi Negara dan bangsa Indonesia
sejak pertengahan Tahun 1997 pada masa akhirnya

22Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Kontekss Otonomi Daerah, Adicita,


Yogyakarta, 2001, hlm. 6.

82 | H. Muhammad Nasir
rezim orde baru merupakan akibat dari rendahnya
kesadaran dan wawasan multikulturalisme.23
Program pendidikan bagaimanakah yang
relevan dengan kehidupan masyarakat dan bangsa
dengan corak masyarakat majemuk ini dengan
berbagai etnis, suku bangsa, dan agama yang ada di
dalamnya. Sebab masing-masing etnis, suku bangsa,
dan agama tadi membawa kultur sendiri-sendiri dan
keagamaan ini tentu menjadikan masyarakat dan
bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultural.
Oleh karenanya, pengakuan akan keragaman etnis,
suku dan budaya penting ditumbuhkan pada peserta
didik. Karena para pendiri bangsa ini sesungguhnya
telah menempatkan ideologi multikultural sebagai
dasar kehidupan bernegara dan berkebangsaan yaitu
“Bhinneka Tunggal Ika ”. Dalam ideologi
multikultural perbedaan dalam kesederajatan tentu
diakui dan diagungkan, baik secara individual atau
kelompok maupun secara kebudayaan. Sayangnya,
penghargaan terhadap perbedaan dalam
kesederajatan ini nyaris tidak pernah ditumbuh-
kembangkan terutama selama lebih dari 32 tahun
masa pemerintahan Orde Baru. Selama kurun waktu
itu, konsep pendidikan selalu seragam dan selalu
merupakan upaya atau berkarakteristik
penyeragaman budaya.

23
Adeng Muchtar Ghazali (ed), Otonomi Pendidikan, Lembaga Penelitian UIN
SGD Bandung, 2008, hlm. 1-7, diambil dari tulisan Hujair Snaky, “Paradigma
Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan
Realitas”, www.sanaky.com; September 2006.

MODERASI BERAGAMA | 83
Penutup

Dalam konteks pluralitas beragama dan


keragaman budaya bangsa Indonesia itu, maka
mengembangkan sikap pluralisme pada peserta didik
adalah mutlak segera “dilakukan” oleh seluruh
pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan agama
Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam
yang toleran melalui kurikulum pendidikannya
dengan tujuan dan menitikberatkan pada
pemahaman upaya untuk bisa hidup dalam konteks
perbedaan agama dan budaya, baik secara individual
maupun secara kelompok, dan tidak terjebak pada
primordialisme dan eksklusivisme kelompok agama
dan budaya yang sempit. Sehingga sikap-sikap
pluralisme itu akan dapat ditumbuhkembangkan
dalam diri generasi muda kita melalui dimensi-
dimensi pendidikan agama. Sehingga mereka tahu
dan sadar atas kemanusiaannya. Oleh karena itulah,
Islam mengajarkan prinsip-prinsip kemanusiaan
untuk mengatur hubungan antar manusia ini. Prinsip-
prinsip itu antara lain:
Pertama, Islam pada esensinya memandang
manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan
optimis. Menurut Islam, manusia berasal dari satu
asal yang sama, keturunan Adam dan Hawa. Tetapi
kemudian manusia menjadi bersuku-suku, berkaum-
kaum atau berbangsa-bangsa lengkap dengan
kebudayaan dan peradaban khas masing-masing.

84 | H. Muhammad Nasir
Semua perbedaan ini mendorong manusia untuk
saling kenal-mengenal dan membutuhkan apresiasi
dan respek satu sama lain. Dalam pandangan Islam,
perbedaan itu, bukanlah warna kulit dan bangsa,
tetapi hanyalah tergantung pada tingkat ketakwaan
masing-masing.24 Inilah yang menjadi dasar
perspektif Islam tentang “Kesatuan Umat Manusia”
(Universal humanity), yang pada gilirannya akan
mendorong berkembangnya solidaritas antar
manusia (ukhuwah insaniyyah).25
Kedua, dalam perspektif Islam, manusia
dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Dengan
fitrahnya setiap manusia dianugerahi kemampuan
dan kecenderungan bawaan untuk mencari,
mempertimbangkan, dan memahami kebenaran,
yang pada gilirannya akan membuatnya mampu
mengakui Tuhan sebagai sumber kebenaran
tersebut. Kemampuan dan kecenderungan inilah
disebut sebagai sikap “hanif”.26 Atas dasar prinsip ini,
Islam menegaskan prinsipnya bahwa setiap manusia
adalah homo religius. Di dalam Alquran, manusia hanif
itu diidentifikasikan dengan Nabi Ibrahim yang dalam
pencarian kebenaran yang pada akhirnya
menemukan Tuhan sejati.27 Ibrahim dipandang
sebagai tiga panutan agama, yaitu Yahudi, Kristen

24 Lihat Q.S. al-Hujurat [49]:13.


25 Azyumardi Azra, Kontekss Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, Paramadina,
Jakarta, 1999, hlm. 32.
26 Lihat Q.S. al-Rum [30]:30.
27 Azyumardi, op.cit. hlm. 33.

MODERASI BERAGAMA | 85
dan Islam. Sehingga di kalangan para penstudi
agama-agama dikenal sebagai “agama Ibrahim”
(Abrahamic Religions).28 []

28
Penjelasan luas tentang Agama Ibrahim ini, bisa dilihat dalam buku, Adeng Muchtar Ghazali, Agama
dan Keberagaman dalam Kontekss Perbandingan Agama, Pustaka Setia Bandung, 2004, hlm. 69-90.

86 | H. Muhammad Nasir
4
NILAI ISLAM DAN PANCASILA
DALAM JATI DIRI BANGSA

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia


memiliki cita-cita pembangunan ideal untuk
mewujudkan kesejahteraan bangsa, yaitu
kesejahteraan jasmani dan ruhani. Cita-cita
pembangunan yang ideal itu tidak dapat terwujud
dan dirasakan tanpa semangat dan nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam falsafah bangsa yang dianut.
Di samping itu bangsa Indonesia tidak menginginkan
masyarakat tumbuh dan berkembang dalam kondisi
timpang dan goyah. Apalagi dalam menghadapi
tatanan hidup yang senantiasa terus berubah. Untuk
membangun Indonesia yang utuh, sekurang-
kurangnya ada dua nilai penting yang akan
memperkuat sendi-sendi kehidupan berbangsa yang
harus ditegakkan secara terpadu, yaitu nilai agama
(baca: Islam) dan nilai Pancasila.
Dengan bergulirnya gerakan reformasi dan
globalisasi di belahan dunia, termasuk di Indonesia
telah melahirkan New Globalisation atau arus
globalisasi baru yang ikut mewarnai implikasi ideologi
di negeri ini. Globalisasi baru merupakan efek
globalisasi yang bersifat liar dan sulit dikendalikan
sehingga dapat mengaburkan tatanan norma yang
telah ada. Termasuk norma kehidupan berbangsa

MODERASI BERAGAMA | 87
dan bernegara. Akibatnya tatanan nilai kehidupan
berbangsa terasa semakin menipis. Persoalan bangsa
terkesan semakin multi komplek dirasakan dari
berbagai posisi mana pun. Kondisi ini berdampak
pada kekhawatiran perjalanan politik, sosial,
ekonomi, dan budaya bangsa yang cenderung
kehilangan arah. Sementara nilai-nilai aktual positif
(nilai luhur) semakin menjauh dari kepribadian
bangsa, sehingga kehidupan bermasyarakat berjalan
dengan berbagai keraguan seakan-akan tanpa
kepastian. Dan bahkan kehilangan kontrol dan
pedoman dalam perilaku sosial masyarakat.
Sebagai suatu negara penduduk Indonesia
yang mendiami wilayah di tanah air ini mayoritas
adalah penduduk muslim. Kondisi itu secara prediktif-
akumulatif memungkinkan untuk mewarnai
kehidupan berbangsa di negeri ini dengan warna
Islam. Sementar di pihak lain mungkin akan
menjawab bahwa masyarakat Islam adalah
mayoritas, tetapi berfungsi minoritas atau dapat
disebut numerical majority, banyak bilangannya akan
tetapi technical minority sedikit dalam peranannya
(Imam Munawwir: 1984).
Indonesia yang memiliki masyarakat Islam
terbesar seperti itu tentu sangat diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan fungsi technical majority
(banyak dalam berperan) dan memberikan warna
dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka sebagai bangsa yang besar yang berdiri di atas

88 | H. Muhammad Nasir
tatanan hukum yang dianut dan diyakini oleh
segenap bangsa akan semakin jelas wujudnya
walaupun masih berproses menuju ke arah
kesempurnaan.
Indonesia adalah negara berdasarkan hukum
(rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan
(machtsstaat), yang mana Pancasila dan UUD 1945
sebagai dasar dan pedoman hidupnya (Harun Arsyad:
1983). Banyak para pakar yang telah mencoba
mendefinisikan apa itu negara. Walaupun demikian,
dalam hukum internasional telah dijelaskan bahwa
negara biasanya mempunyai tiga unsur pokok yang
mesti terpenuhi sebagai prasyarat bisa disebut
negara, termasuk Indonesia. Ketiga unsur pokok itu
adalah: 1. Adanya Rakyat/sejumlah orang; 2. Adanya
wilayah tertentu; dan 3. Adanya pemerintahan yang
berwilayah atau berdaulat (Muhammad Thahir
Azhary: 1983).
Indonesia sebagai negara yang berfalsafah
Pancasila, telah memproklamirkan kemerdekaan 65
tahun yang lalu. Ini artinya proses kehidupan
berbangsa dan bernegara sudah berjalan lama
dengan dasar kehidupan berbangsa yang cukup
matang. Falsafah Pancasila sebagai pedoman
berbangsa dan bernegara itu berbeda dengan
falsafah bangsa lainnya di dunia seperti falsafah
bangsa barat. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Oemar Senoadji bahwa Indonesia sebagai negara
hukum yang berdasarkan Pancasila mempunyai ciri

MODERASI BERAGAMA | 89
khas berbeda dengan negara lain. Sebab itulah
Indonesia di sebut juga dengan Negara Hukum
Pancasila. Salah satu ciri khusus Negara Hukum
Pancasila itu adalah adanya jaminan terhadap
Freedom of Religion atau kebebasan beragama
(Oemar Soeno Adji: 1980). Ini berarti pula bahwa
tidak ada tempat bagi atheisme atau propaganda anti
agama di Indonesia.
Pancasila sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945, yang dipertegas dalam pasal
29, dengan jelas menyatakan bahwa kedaulatan
Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa Indonesia
bukanlah negara sekuler dan juga bukan negara
agama (Oemar Soeno Adji: 1980). Maka prinsip yang
dikandung dalam sila yang pertama adalah adanya
suatu pengakuan bangsa Indonesia terhadap Wujud
Tuhan (Kris santoro: 1980). Hal ini pernah ditegaskan
oleh Presiden Soeharto pada Dies Natalis ke–25
Universitas Indonesia tanggal 15 Februari 1975 dan
pada peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad
SAW, 24 Maret 1975 di Jakarta, beliau mengatakan:
“Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan sifat
bangsa kita yang percaya kepada kehidupan lain di
masa nanti setelah selesai kehidupan kita di dunia
sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengajar
nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka
jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti.

90 | H. Muhammad Nasir
Islam dan Pancasila

Suatu hal yang tidak mungkin disandingkan


Islam dengan Pancasila, karena dari segi substansi
keduanya jelas berbeda. Islam sebagai agama
merupakan pedoman keyakinan dengan berdasar
kepada Alquran dan Al-hadits, sedangkan Pancasila
sebagai dasar negara merupakan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara yang diakui
secara konstitusional. Pengakuan terhadap keduanya
sangat berbeda. Pengakuan Islam sebagai pedoman
bersumber dari Tuhan sedangkan pengakuan
Pancasila sebagai pedoman bernegara bersumber
dari manusia. Tetapi pertanyaannya adakah nilai-nilai
Islam dalam Pancasila itu. Dan dapatkah kita
aktualisasikan dalam kehidupan berbangsa saat ini?
Sebagai agama universal yang bersifat
Rahmatallil ‘alamin, ajaran Islam merupakan ajaran
yang sangat luas cakupannya. Mulai dari hal-hal dan
prinsip-prinsip yang terkecil sampai kepada yang
terbesar. Mulai urausan pribadi sampai urusan
bernegara dan berbangsa. Begitu luasnya cakupan
ajaran Islam itu maka dalam kaedah usul fiqih
menjelaskan bahwa ajaran Islam sesuai dengan
segala zaman dan tempat/solihun likulli zamanin wa
makanin.
Menurut Prof. Dr. Nurchalis Majid, Pancasila
sebagai dasar dan falsafah bangsa Indonesia dapat
diterima oleh umat Islam Indonesia sekurang-

MODERASI BERAGAMA | 91
kurangnya terdapat beberapa alasan, yaitu, 1. Nilai-
nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam; 2. Fungsinya
sebgai nuktah-nuktah kesepakatan antar berbagai
golongan untuk mewujudkan kesatuan politik
bersama (Dr.Nurkhalis Madjid: 1999).
Dalam sejarah perkembangan politik umat
Islam terdapat konstitusi dan dokumen politik yang
dikenal dengan Konstitusi Madinah. Konstitusi ini
tidak dapat disamakan dengan Pancasila tetapi nilai-
nilai yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa
dan bernegara terdapat kesamaan yaitu ide-ide yang
menjadi pandangan hidup modern seperti kebebasan
beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur
hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan
hubungan ekonomi antar golongan dan lain
sebagainya (Dr. Nurkhalish Madjid: 1999).

Reaktualisasi Nilai Pancasila

Setiap bangsa mempunyai etos atau suasana


kejiwaan yang menjadi karakteristik utama bangsa
itu. Maka dengan sendirinya juga bangsa Indonesia.
Etos itu kemudian dinyatakan dalam berbagai bentuk
perwujudan seperti jati diri dan kepribadian, ideologi,
dan seterusnya. Perwujudannya dalam bentuk
perumusan formal yang sistematik menghasilkan
ideologi, khususnya di zaman modern ini. Berkenaan
dengan bangsa kita, Pancasila dapat juga dipandang
sebagai perwujudan etos nasional kita dalam bentuk

92 | H. Muhammad Nasir
perumusan formal itu yang mesti kita sebut sebagai
ideologi nasional. Pancasila adalah sebuah ideologi
modern. Hal itu tidak saja karena ia diwujudkan dalam
zaman modern, tetapi juga lebih-lebih lagi karena ia
ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang
dengan wawasan modern, yaitu para bapak pendiri
bangsa Indonesia, dan dimaksudkan untuk
memberikan landasan filosofis bersama (common
philosphical ground) sebuah masyarakat plural yang
modern yaitu bangsa Indonesia. Sebagai produk
pikiran modern, Pancasila adalah sebuah ideologi
yang dinamis. Watak dinamis Pancasila itu
membuatnya sebagai ideologi terbuka. Adapun nilai-
nilai Pancasila yang mesti diaktualisasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah,
Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila
pertama dari Pancasila ini merupakan rangkuman
ajaran teologi dari semua agama dan kepercayaan di
Indonesia. Ia merupakan nilai spiritual yang
menyadarkan manusia akan kelemahan dan
keterbatasan dirinya sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Nilai ini akan mendorong manusia dan
masyarakat untuk saling menghargai sesama
makhluk, sesama manusia, dan sesama warga
negara. Hal ini juga memberikan pedoman agar
semua warga negara yang berbeda agama dan
kepercayaan dapat hidup bersama secara damai,
rukun, dan harmonis. Di samping itu sila pertama ini
juga mengandung pengertian bahwa Indonesia

MODERASI BERAGAMA | 93
bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama
tetapi pemerintah menjamin agar setiap warga
negara dapat mengekspresikan ajaran agama dan
kepercayaan masing-masing secara nyaman, aman,
dan bertanggungjawab. Kedua, Sila kemanusiaan
yang adil dan beradab. Dalam sila kedua ini, negara
harus memenuhi, menegakkan dan melindungi hak
azazi manusia setiap warga berdasarkan prinsip
keadilan dan keadaban. Atas dasar ini pula Indonesia
telah menerima deklarasi universal HAM, meratifikasi
sejumlah komponen Internasional berkait dengan
hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
serta mengesahkan sejumlah UU Nasional tentang
perlindungan HAM; Ketiga, Persatuan Indonesia. Sila
ketiga ini merupakan pedoman negara dalam
membangun persatuan dan kesatuan Indonesia
dalam wadah NKRI. Negara kesatuan Indonesia tidak
boleh dibiarkan berpecah belah oleh keinginan
segelintir orang atau kelompok orang yang ingin
mengubah Indonesia menjadi negara sekutu dan
tidak boleh dinodai oleh pikiran-pikiran sektarian
yang mengusung ideologi teokratis dan
totalitarianism. Keempat, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Maksud luhur yang terkandung dalam
sila ini bahwa Pancasila merupakan pedoman untuk
mewujudkan negara yang demokratis yang berujung
pada kesejahteraan rakyat yang mengedepankan
prinsip hikmat kebijaksanaan dalam

94 | H. Muhammad Nasir
permusyawaratan perwakilan, membangun
kehidupan politik yang mengutamakan
kemaslahatan bukan sekedar kekuasaan. Sila ini juga
mengarahkan negara membangun suatu tatanan
sosial yang terbuka, adil dan beradap untuk
mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan yang
mementingkan kepentingan rakyat dalam
pembuatan kebijakan dan perundang-undangan.
Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial merupakan cita-cita Bangsa Indonesia
yang berwujud mensejahterakan dan mencerdaskan
kehidupan masyarakat tanpa terikat oleh strata dan
klarifikasi sosial, kelompok, dan golongan.

Jati Diri Bangsa yang Pancasilais

Membicarakan jati diri bangsa merupakan hal


yang wajar di saat bangsa ini mengalami krisis
moral/karakter seperti saat sekarang ini. Indonesia
yang dikenal dengan budayanya yang ramah-tamah
dan saling menghargai saat ini seakan-akan hilang
ditelan oleh gelombang reformasi yang sangat
dahsyat. Sebelum reformasi menjadi jargon isu-isu
pembangunan politik, ekonomi, dan sosial budaya,
bangsa kita merupakan bangsa yang bermartabat
bila bersanding dengan negara-negara lain. Hakikat
martabat bangsa, negara, dan masyarakat telah
tertanam sejak lama adalah sebagai akibat akumulasi
pengalaman pembinaan dan pengembangan sejak

MODERASI BERAGAMA | 95
masa lalu oleh para pendiri bangsa ini. Sejak masa lalu
itu, Indonesia telah mengambil dan menjadikan
Pancasila sebagai wujud kepribadian dan karakter
bangsa Indonesia. Sejak lebih kurang tiga belas tahun
reformasi bergulir, perkembangan demokrasi belum
memberi manfaat besar bagi perbaikan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bahkan banyak orang
mulai sangsi dengan janji-janji politik di negeri ini.
Terasa benar bahwa Indonesia lebih merupakan
state-nation ketimbang nation-state. Seakan-akan
bangsa ini dipersatukan bukan karena kesamaan
budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena
adanya negara kesatuan, yang menampung cita-cita
politik bersama, mengatasi segala paham golongan
dan perseorangan.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia, yang membujur pada posisi strategis
persilangan antar benua dan antar samudera, dengan
daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah,
Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan
bahari yang membawa berbagai arus peradaban.
Maka jadilah Indonesia sebagai taman sari peradaban
dunia dengan mental masyarakatnya yang berjiwa
cosmopolitan. Lalu bagaimana dengan saat ini dan
apa yang mesti kita lakukan. Sebagai bangsa yang
besar kita mesti berani berbuat dan mengubah
keadaan. Tidak ada bangsa di dunia ini lalu menjadi
besar tanpa dimulai dari keberanian untuk berbuat

96 | H. Muhammad Nasir
dan berkarya, inovatif, dan kreatif dalam mengisi
pembangunan.
Membangung Indonesia merupakan
pekerjaan yang tidak ringan, tetapi apabila
dilaksanakan dengan kebersamaan dan semangat
gotong royong dengan menjadikan Pancasila sebagai
pedoman nilai tujuannya. Maka dengan menjadikan
semangat dasar Pancasila sebagai mana yang kita
uraikan terdahulu, negara atau bangsa Indonesia
akan memiliki pandangan dunia yang begitu visioner
dan tahan banting. Prinsip-prinsip Pancasila mampu
mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham
kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme
keagamaan. Antara paham kenegaraan homogenis
dengan tribalisme. Oleh sebab itu arsitektur politik
yang paling tepat untuk mempertautkan
kemajemukan Indonesia sebagai nation-in-nation
adalah desain Negara kekeluargaan (Budi Soesilo
Soepandji: 1999). Konsep negara kekeluargaan
merupakan cetakan dasar dan karakter ideal
keindonesiaan. Kekeluargaan merupakan jantung
keindonesiaan. Kehilangan semangat kekeluargaan
dalam kehidupan bernegara merupakan kehilangan
segala-galanya.
Membangun jati diri dan karakter bangsa
yang pancasilais melalui desain negara kekeluargaan
bukanlah merupakan proses sosial enggineering
dengan melibatkan seluruh unsur dan komponen
bangsa secara totalitas dan menyeluruh.

MODERASI BERAGAMA | 97
Penutup

Mengaktualisasikan, membudayakan, dan


mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam upaya
membangun karakter bangsa sangatlah diperlukan
tanpa menunda-nunda hari esok. Upaya ini
memerlukan usaha dan kerja yang tidak ringan.
Memerlukan kesungguhan dan keikhlasan dan
bahkan pengorbanan dari berbagai pihak termasuk
kita semua warga yang berada di wilayah Republik
yang kita cintai ini. Hal ini penting karena saat ini
masyarakat kita sedang mencari idola dan panutan
publik yang mampu memberikan keteladanan.
Keteladanan yang kita inginkan adalah
keterpaduan nilai-nilai Pancasila antara pemahaman
dan tindakan yang diimplementasikan secara nyata
oleh setiap anak bangsa tanpa kecuali. Tidak hanya
sampai di situ, di samping berupaya menjadi teladan
bagi orang lain juga harus diikat dan dikuatkan
dengan komitmen pribadi yang mantap tanpa henti
dan tanpa terpengaruh oleh apa pun juga. Oleh sebab
itu komitmen pribadi dalam menegakkan nilai-nilai
luhur Pancasila dapat disederhanakan sebagai
ketaatan pribadi pada aturan-aturan dan hukum-
hukum yang berlaku. Pribadi seperti ini tergolong
pribadi yang beriman dan beramal soleh disebabkan
oleh perbuatannya yang mulia dan dicintai oleh orang
lain serta dibanggakan oleh bangsa dan negaranya.

98 | H. Muhammad Nasir
5
MODERASI BERAGAMA
DAN KEBHINNEKAAN

Menguatnya suhu politik komunalitas


(communality politics) di Indonesia saat ini, sebagai
akibat pandemik global yang merambah masuk ke
dalam sistem sosial ekonomi dan sistem demokrasi,
menyebabkan ketimpangan dan pertikaian
pendapat di kalangan elit politik. Orgumen dan
sentimen menjadi santapan publik dalam
pemberitaan di berbagai media, sehingga seakan-
akan antara kekuasaan dan keadilan tak dapat
disatukan dalam cita-cita bersama. Padahal kita telah
sepakat mengakui Indonesia adalah bangsa yang
majemuk dan demokratis. Indonesia telah
dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural
nation-state dalam konteks negara kebangsaan
Indonesia modern, bukan sebagai mono cultural
nation-state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika
praksis kehidupan bernegara sejak Indonesia
merdeka tahun 1945 sampai saat ini. Artinya bangsa
Indonesia adalah bangsa yang plural dengan
beraneka ragam suku, bahasa dan agama.
Bangsa Indonesia telah diikat kuat dengan ke-
bhinnekaan, dan menjadi wawasan nasional
pemersatu bangsa. Sejak awal berdirinya bangsa
Indonesia telah menetapkan secara konstitusional

MODERASI BERAGAMA | 99
bahwa pluralitas bangsa harus diteguhkan dalam ke-
bhinekaan yang dituangkan dalam dasar-dasar
demokrasi dengan menghargai perbedaan dalam
keragaman, yang mana secara formal institusional
menjadi jiwa bangsa yang sangat kuat. Sehingga
ditetapkanlah wawasan kebangsaan Indonesia itu
dalam konsepsi Bhinneka Tunggal Ika .
Di tengah kondisi bangsa Indonesia sedang
berjuang melawan pandemic Covid-19 yang tak
kunjung berakhir, banyak di antara masyarakat yang
memandang bahwa kemajemukan dan ke-
bhinnekaan bangsa Indonesia seakan-akan terusik
dan bahkan menjadi ancaman bagi persatuan dan
kesatuan bangsa. Ditambah lagi dengan menurunnya
kesehatan masyarakat dunia yang semakin
mengkhawatirkan akibat virus Covid-19 yang terus
mewabah tanpa henti. Kondisi ini menyebabkan
terbukanya peluang politik kotor dalam
berdemokrasi, sehingga nilai-nilai demokrasi yang
dibangun selama ini seakan-akan terasa menurun
drastis dalam kehidupan berbangsa.
Kita tidak ingin bangsa ini tercabik-cabik oleh
kekuatan opini publik yang berkembang, dan kita
juga tidak mau nilai-nilai demokrasi bangsa ini pudar
akibat politisasi kepentingan. Apalagi jika hanya
disebabkan perbedaan pendapat dan opini yang
dibangun di atas politisasi pandemik global yang
dihadapi. Oleh sebab itu kita harus kembali
membangun opini publik dan keyakinan politik yang

100 | H. Muhammad Nasir


adil dan demokratis. Maka persoalannya sekarang
adalah dapatkah agama hadir sebagai penengah dan
penyejuk di tengah bangsa menghadapi kondisi
seperti itu?
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia
memiliki dasar yang kuat dalam mempertahankan
kesatuan dan persatuan yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Namun karena resonansi politik berbangsa sedang
mempertahankan kebijakan ekonomi yang menjadi
tulangpunggung pembangunan, maka
mengakibatkan melemahnya ketahanan dan
keutuhan bangsa dengan saling mempertahankan
pendapat dalam berdemokrasi. Di sinilah agama
(baca: Islam) harus hadir, menyampaikan pesan-
pesan demokratis yang moderat. Agama harus
tampil memberikan solusi dan aksi. Maka sudah
saatnya moderasi beragama hadir dalam tata
kehidupan bernegara.
Moderasi beragama pada prinsipnya bukan
hal yang baru di kalangan masyarakat apalagi di
tengah-tengah maraknya istilah pluralitas umat
beragama. Saat ini yang semakin hari semakin sering
diperbincangkan oleh banyak kalangan. Pada
dasarnya moderasi merupakan identitas dan entitas
umat Islam yang dalam bahasa agama disebut
sebagai Wasathiyyah. Yaitu karakter, sikap, dan jati
diri umat Islam sebagaimana Alquran menyebutnya
dengan ‘ummatan wasathan’ (Qs. Al-Baqarah: 143).
Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan

MODERASI BERAGAMA | 101


kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang (Qs. Al-Baqarah: 143).
Dalam ayat tersebut Allah SWT memberikan
petunjuk bahwa Islam dan umatnya adalah umat
yang adil dan pilihan yang memiliki karakter adil,
terbaik, pertengahan, atau moderat. Dalam bahasa
Arab, wasathiyah berasal dari kata wasath yang
bermakna adil, baik, tengah, dan seimbang. Sebab itu
wasathiyah berlawanan dengan sifat at-
Tarruf/tatharruf (ekstrimisme) atau
ghuluw/berlebihan, Sebagaimana yang dijelaskan
Allah SWT dalam Qs-Al-Maidah: 77. Artinya:
Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-
lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar
dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus." (Qs. Al-Maidah 77).

102 | H. Muhammad Nasir


At-Taghluw adalah sikap beragama yang
berlebihan. Sikap ini di antaranya menunjukkan
fanatisme yang berlebihan. Fanatik yang berlebihan
mengakibatkan seseorang menutup diri dari
pandangan lain dan mengangap pandangan yang
berbeda dengannya sebagai pandangan yang sesat.
Fanatisme akan lebih berbahaya lagi jika disertai
dengan pemaksaan pendapat kepada orang lain.
Sifat ghuluw atau tatarruf (ekstrimisme) merupakan
sikap yang tercela dalam perilaku beragama (baca:
Islam). Oleh sebab itu sikap yang lebih bijak dan
santun sebagaimana yang diajarkan Islam baik
melalui Alquran maupun sunnah Nabi SAW adalah
sikap beragama (ber-Islam) dengan sikap
Moderasi/Wasathiyah (sikap pertengahan). Sikap
wasathiyah adalah memahami agama dengan ciri-ciri
sebagai berikut. (1) Memahami realitas dengan benar.
Sebagai yang kita maklum, bahwa kehidupan
manusia selalu berubah dan berkembang tiada batas.
Karena itu ajaran Islam berisikan ketentuan-
ketentuan yang tsawabit (tetap) dan hal-hal yang
memungkinkan untuk berubah sesuai dengan
perkembangan ruang dan waktu (mutaghayyirat).
Hal-hal yang tetap hanya sedikit, yaitu berupa prinsip-
prinsip aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlaq.
Sedangkan selebihnya bersifat elastis dan fleksibel
(murunah) dan dimungkinkan untuk dipahami sesuai
perkembangan zaman (mutaghayyirat).
Bagaimanapun segala tindakan hendaknya

MODERASI BERAGAMA | 103


diperhitungkan maslahat dan madharatnya secara
realistis sehingga keinginan melakukan
kemaslahatan jangan sampai mendatangkan
mudharrat yang lebih besar. (2) Memahami hal-hal
prioritas dalam beragama. Di dalam Islam perintah
dan larangan ditentukan bertingkat-tingkat. Misalnya
saja perintah yang bersifat anjuran (sunnah),
dibolehkan (mubah), ditekankan untuk dilaksanakan
(sunnah muakkadah), wajib dan fardhu (‘ain dan
kifayah). Sedangkan larangan ada yang bersifat
dibenci bila dilakukan (makruh) dan ada ajaran Islam
yang bersifat ushul (pokok-pokok/) dan ada yang
bersifat furu’ (cabang). Sikap Wasathiyyah/moderat
menuntut seseorang untuk tidak mendahulukan hal-
hal yang bersifat sunnah dan meninggalkan yang
wajib. Mengulang-ulang ibadah haji adalah sunah,
sementara membantu saudara muslim yang
kesusahan adalah sebuah keharusan apabila ingin
mencapai kesempurnaan iman. Demikian pula
penentuan hilal puasa dan Idhul Fitri adalah persoalan
furu’iyyah yang tidak boleh mengalahkan dan
mengorbankan sesuatu yang prinsip dalam ajaran
agama yaitu persatuan umat; (3) Memahami
sunatullah dalam penciptaan. Yang kita maksudkan
dengan sunnatullah di sini adalah pentahapan
(tadarruj) dalam segala ketentuan hukum alam dan
agama. Langit dan bumi diciptakan oleh Allah dalam
enam masa (fi sittati ayyam), pada hal sangat
mungkin bagi Allah untuk menciptakannya sekali jadi

104 | H. Muhammad Nasir


dengan “kun fayakun”. Dan demikian pula
penciptaan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan
yang dilakukan secara bertahap. Seperti halnya alam
raya, ajaran agama pun diturunkan secara bertahap.
Sunnatullah yang berbentuk tadarruj ini perlu
mendapat perhatian serius dari para ulama, juru
da’wah, pemikir, aktivis, politisi dan sebagainya; (4)
Memahami teks keagamaan secara komprehensif.
Syariat Islam akan dapat dipahami dengan baik jika
Alquran dan Hadits dipahami secara komprehensif
dan tidak sepotong-sepotong. Ayat-ayat Alquran,
begitupula dengan hadits-hadits Nabi, harus
dipahami secara utuh sebab hubungan antara satu
dengan yang lainnya saling menafsirkan (Al-Quran
yufassiru ba’dhuhu ba’dhan). Misalnya dengan
membaca ayat-ayat Alquran secara utuh akan dapat
disimpulkan bahwa kata jihad dalam Alquran tidak
selalu berarti perang, tetapi dapat bermakna jihad
melawan hawa nafsu dan setan; (5) Mengedepankan
dialog, toleransi, dan terbuka dalam beragama. Sikap
Wasathiyyah/Moderat Islam ditunjukkan melalui
keterbukaan dengan pihak-pihak lain yang berbeda
pandangan. Sikap ini didasari pada kenyataan bahwa
perbedaan di kalangan umat manusia adalah sebuah
keniscayaan. Hal ini dapat kita baca dalam Alquran
surat Al-Kahfi: 29. Artinya, “Dan katakanlah:
Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia

MODERASI BERAGAMA | 105


kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang
orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung
mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya
mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman
yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling
jelek. (Qs. Al-Kahfi: 29).
Ungkapan “Tapi mereka senantiasa berselisih
pendapat”, menunjukkan bahwa Allah SWT tidak
menghendaki manusia satu pandangan, satu
pendapat dan satu prinsip, karena perbedaan di
antara manusia akan terus terjadi sepanjang
kehidupan. Karena itu pemaksaan kehendak kepada
mereka yang berbeda pandangan, baik dalam satu
umat, maupun dengan umat lain, tidak sejalan
dengan semangat moderasi dalam beragama.
Dengan demikian, dalam menghadapi
persoalan bangsa Indonesia seperti saat ini,
semangat moderasi beragama menjadi pilihan yang
tepat. Kita jadikan perbedaan menjadi modal
kekuatan, yang dirakit dengan semangat
kebersamaan. Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar
berbangsa diikat dengan sikap moderat yang kuat.
Dan pada akhirnya kita berharap moderasi beragama
dapat menjadi semangat persatuan dalam perbedaan
untuk mewujudkan pembangunan bangsa Indonesia
yang maju dan modern. Amin.

106 | H. Muhammad Nasir


6
PEMBERDAYAAN WAQAF UNTUK
MEMBANGUN UMAT

Salah satu bentuk ibadah yang dapat


mendekatkan diripada Allah SWT yang berkaitan
dengan harta benda adalah wakaf. Wakaf sangat
besar artinya bagi kehidupan sosial umat terutama
dalam peningkatan ekonomi, kebudayaan dan
keagamaan. Oleh sebab itu, Islam meletakkan
amalan wakaf sebagai salah satu ibadah yang amat
penting dan strategis. Begitu pentingnya waqaf
dalam ajaran Islam, maka waqaf disepakati menjadi
lembaga ekonomi yang mesti dikembangkan dan
diwariskan bagi generasi umat di masa mendatang.
Sebagai lembaga ekonomi, wakaf dapat
dikembangkan dan dijadikan sebagai salah satu pilar
dan sarana peningkatan kehidupan sosial- ekonomi
umat yang sangat strategis. Namun disayangkan
lembaga waqaf belum dikembangkan dan fungsikan
secara maksimal, sehingga harta waqaf belum
berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Selain itu
Waqaf juga merupakan salah satu lembaga ekonomi
yang dapat meningkatkan potensi ekonomi berbasis
syariah yang mana sampai saat ini belum di kelola
secara maksimal. Di samping dapat memberikan
harapan bagi peningkatan tarap hidup umat waqaf
juga menjadi salah satu aset ekonomi yang sangat

MODERASI BERAGAMA | 107


potensial. Wakaf merupakan salah satu institusi
filantropi Islam yang bisa diandalkan menunjang
agenda keadilan sosial khususnya di kalangan
masyarakat Islam. Hal ini telah dibuktikan dalam
sejarah filantropi Islam abad pertengahan, yang jejak
keagungannya masih dapat disaksikan di negeri-
negeri muslim, seperti Turki dan Mesir.

Strategisasi Waqaf di Indonesia

Di Indonesia wakaf memiliki peran strategis


yang tidak dapat diabaikan terutama dalam upaya
membangkitkan taraf hidup ekonomi umat Islam. Di
samping itu bagi masyarakat muslim Indonesia waqaf
mempunyai nilai ajaran yang sangat tinggi dan mulia
dalam pengembangan keagamaan dan
kemasyarakatan. Dalam perkembangannya waqaf di
Indonesia memiliki dua paradigma yang menjadi
landasan filosofi peran dan fungsi waqaf yaitu
paradigm ideologis dan paradigm sosial-ekonomis.
Pertama, Paradigma Ideologis, yaitu waqaf yang
diajarkan Islam mempunyai sandaran ideologi yang
amat kental sebagai kelanjutan ajaran tauhid. Yaitu
segala sesuatu yang berpuncak pada keyakinan
terhadap kesesaan Tuhan harus dibarengi dengan
kesadaran akan perwujudan keadilan sosial. Islam
mengajarkan kepada umatnya agar meletakkan
persoalan harta dalam tinjauan yang relatif yaitu
harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang atau

108 | H. Muhammad Nasir


sebuah lembaga harus mempunyai kandungan nilai-
nilai sosial (humanistic). Kedua, landasan paradigma
sosial-ekonomis. Setelah memiliki landasan ideologis
yang bersumber pada kalimat tauhid, waqaf
mempunyai kontribusi solutif terhadap persoalan-
persoalan ekonomi kemasyarakatan. Dalam tataran
ini waqaf menjadi jawaban konkrit dalam realitas
problematika kehidupan sosial-ekonomi umat. Harta
waqaf tidak hanya dimiliki atau dikuasai oleh
seseorang atau kelompok atau lembaga saja,
melainkan juga harus dinikmati oleh orang bayak
secara bersama-sama secara adil dan
berkemakmuran.
Mengembangkan fungsi waqaf untuk
manfaat yang lebih besar merupakan langkah
strategis yang tak dapat diabaikan. Hal ini didukung
pula oleh jumlah umat Islam di berbagai daerah yang
mayoritas. Potensi ini merupakan modal capital yang
menunjang langkah strategis tersebut. Berdasarkan
potensi tersebut maka Indonesia mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
waqaf serta Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2006 sebagai pelaksanaan Undang-Unang Nomor 41
tahun 2006.
Dalam dekade terakhir dengan terjadinya
perubahan yang sangat mendasar dalam masyarakat
muslim Indonesia terhadap paradigma wakaf ini,
maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama,
menjadikan waqaf sebagai program pembangunan

MODERASI BERAGAMA | 109


ekonomi umat yang sangat perioritas dalam era
modernisasi saat ini. Berprosesnya modernisasi
dalam berbagai bidang kehidupan sosial juga
berdampak pada ekonomi umat. Hal ini tidak dapat
dielakkan karena pengaruh dunia global menjadikan
masyarakat dalam satu wawasan global yang
modern, sehingga pengembangan ekonomi harus
juga dikembangkan dalam wawasan pengembangan
ekonomi global yang modern pula. Pengembangan
ekonomi global yang modern inilah waqaf produktif
menjadi wacana dan amaliah abadi yang sangat
potensial dan strategis.
Di Indonesia, praktik wakaf produktif atau
wakaf uang masih tergolong baru. Pondok Pesantren
Gontor di Jawa Timur umpamanya merupakan salah
satu contoh lembaga yang dibiayai dari wakaf.
Sedangkan yang tidak kalah monumental adalah
Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet
Dhuafa Republika. Lembaga otonom Dompet Dhuafa
Republika ini memberikan fasilitas permanen untuk
kaum dhuafa di gedung berlantai empat, lengkap
dengan operasional medis 24 jam dan mobile-service.
LKC adalah obyek wakaf uang yang efektif, memberi
secercah harapan semangat hidup sehat kaum
dhuafa. Sebagai sebuah prosfektif, hal demikian juga
dapat dikembangkan di berbagai daerah di
Indonesia.

110 | H. Muhammad Nasir


Pemahaman dan Pengembangan Waqaf

Memahami waqaf bukan perkara sepele


begitu saja, sebab persoalan waqaf adalah persoalan
yang selalu berkembang seirama dengan
perkembangan sosial ekonomi umat sepanjang
zaman. Sejak berkembangnya Islam di Indonesia,
waqaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang
dianut oleh sebagian besar umat Islam dalam paham
Syafi’iyah. Oleh sebab itu pemahaman tentang waqaf
tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia di mana
saja sampai ke pelosok daerah yang jauh sekalipun.
Walaupun demikian, untuk memperkuat ingatan dan
pemahaman kita tidak salah kalau kita
menyampaikan kembali apa sebenarnya waqaf itu.
Wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang
unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur
kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan
(ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat
membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadi
pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan
Allah SWT yang diharapkan abadi, memberikan
manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf
diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat
bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat
pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat
(sosial benefit).15
Wakaf (Al-waqf) adalah menahan tindakan
hukum. Persoalan wakaf adalah persoalan

MODERASI BERAGAMA | 111


pemindahan hak milik yang dimanfaatkan untuk
kepentingan umum. Menurut istilah, wakaf berarti
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa
musnah seketika dan untuk penggunaan yang
mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan
keridhaan Allah SWT. Selain istilah di atas, ada
beberapa pendapat dari para ulama dan
cendekiawan mengenai wakaf, sebagai berikut. 1)
Menurut golongan Hanafi, Waqaf adalah menahanan
benda yang statusnya tetap milik si Wakif (orang
yang mewakafkan) dan yang disedekahkan adalah
manfaatnya saja. Sedangkan Wahbah Adillatuh
mengartikan wakaf adalah menahan suatu harta
benda tetap sebagai milik orang yang mewakaf (Al
Klakif) dan mensedekahkan manfaatnya untuk
kebajikan; 2) Menurut Golongan Maliki, Waqaf adalah
menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa
sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang
yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka
waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
orang yang mewakafkan; 3) Menurut Golongan
Syafi'I, Waqaf adalah menahan harta yang diambil
manfaatnya dengan tetap utuhnya barang, dan
barang itu lepas dari penguasaan di Wakif serta
dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh
agama; 4) Menurut Golongan Hambali, waqaf adalah
menahan kebebasan pemilik harta dalam
membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan
tetap utuhnya harus dan memutuskan semua hak

112 | H. Muhammad Nasir


penguasaannya terhadap harta itu sedangkan
manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 5)
Menurut Imam Syafi'i. Menurut Imam Syafi’i, wakaf
adalah suatu ibadat yang disyariatkan. Wakaf itu
telah berlaku sah, bilamana orang yang berwakaf
(Wakif) telah menyatakan dengan perkataan "saya
telah mewakafkan (waqffu), sekalipun tanpa diputus
oleh hakim”. Bila harta telah dijadikan harta wakaf,
orang yang berwakaf tidak berhak lagi atas harta itu,
walaupun harta itu tetap di tangannya, atau dengan
perkataan lain walaupun harta itu tetap dimilikinya;
6) Menurut Imam Asy Syaukani, Muhammad Ibnu Al
Syaukani dalam "Nail Al-Autar" rnerumuskan wakaf
adalah menahan harta milik di jalan Allah untuk
kepentingan fakir miskin dan Ibnu Sabil, yang
diberikan kepada mereka manfaatnya, sedangkan
barang atau harga itu tetap sebagai milik dari orang
yang berwakif; 7) Menurut Imam Ash Shan'aniy,
menurut Muhammad Ibnu Ismail Ash shan'niy dalam
"Subulus Salam", wakaf menurut istilah sra adalah
menahan harta yang mungkin diambil hartanya tanpa
menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya)
dan digunakan untuk kebaikan; 8) Farid Wajdi
Muhammad Farid Wajdi dalam "Dairah Ma'arif Al Qarn
AI-Isyrin" merumuskan wakaf adalah menahan suatu
harta benda bukan menjadi milik siapapun melainkan
milik Allah SWT semata; 9) Koesoemah Atmadja,
wakaf adalah suatu perbuatan hukum dengan

MODERASI BERAGAMA | 113


perbuatan mana suatu barang/keadaan telah
dikeluarkan/diambil kegunaarnya dalam lalu lintas
masyarakat. Semula, guna kepentingan seseorang/
orang tertentu atau guna seseorang maksudnya/
tujuanya/barang tersebut sudah berada dalam
tangan yang mati; 10) The Shorter Encyclopedia of
Islam The Shorter Encyclopedia of Islam menyebutkan
pengertian wakaf menurut Istilah hukum Islam yaitu
"The protect a thing, to prevent it from becoming tof
a third person". Artinya memelihara suatu barang
atau benda dengan jalan menahannya agar tidak
menjadi milik pihak ketiga. Barang yang ditahan itu
haruslah benda yang tetap zatnya yang dilepaskan
oleh yang punya dari kekuasaannya sendiri dengan
cara dan syarat tertentu, tetapi dapat dipetik hasilya
dan dipergunakan untuk keperluan amal kebajikan
yang ditetapkan oleh ajaran Islam. 11). Nadziroaddin
Rachmat, harta wakaf ialah suatu barang yang
sementara asalanya (zatnya) tetap, selalu berubah
yang dapat dipetik hasilnya dan yang empunya
sendiri sudah menyerahkan kekuasaannya terhadap
barang itu dengan syarat dan ketentuan, bahwa
hasilnya akan dipergunakan untuk keperluan amal
kebajikan yang diperintahkan oleh syariat; 12) Ahmad
Azhar Basyir, menurut istilah, wakaf berarti menahan
harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah
seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta
dimaksudkan mendapatkan keridhaan Allah; 13)
Rachmat Djatmika, wakaf yaitu menahan harta (yang

114 | H. Muhammad Nasir


mempunyai daya tahan lama dipakai) dari peredaran
transaksi, dengan tidak memperjualbelikannya, tidak
mewariskannya dan tidak pula menghibahkannya,
dan mensedekahkan manfaat untuk kepentingan
umum, dengan ini harta benda yang diwakafkan,
beralih menjadi milik Allah, bukan lagi menjadi miik
Wakaf; 14). H. Imam Suhadi, wakaf menurut Islam
adalah pemisahan suatu harta benda seseorang yang
disahkan dan benda itu ditarik dari benda milik
perseorangan dialihkan penggunaanya kepada jalan
kebaikan yang diridhoi Allah SWT, sehingga benda-
benda tersebut tidak boleh dihutangkan, dikurangi
atau dilenyapkan; 15) Ensiklopedia Islam Indonesia
Dalam "Ensiklopedia Islam Indonesia" yang disusun
o1ch Tim IAIN Syarif Hidayatullah yang diketuai oleh
H. Harun Nasution disebutkan bahwa wakaf berasal
dari kata waqafa yang menurut bahasa berarti
menahan, atau berhenti. Dalam hukm fiqh istilah
tersebut berarti menyerahkan sesuatu hak milik yang
tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir
(penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola,
dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya
digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran
syariat Islam. Dalam hal tersebut benda yang
diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan
dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan,
tetapi ia menjadi hak Allah (hak umum); 16) Kompilasi
Hukum Islam, rumusan yang termuat dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) di mana disebutkan

MODERASI BERAGAMA | 115


bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam. (Pasai 215 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
(KHI)); 17) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Rumusan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik yang menyatakan
bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam. (Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor: 28 Tahun 1977 tentang
perwakafan Tanah Milik); 18) Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaa Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Rumusan dalam Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf bahwa yang dimaksud dengan wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian dari harta benda
miliknya untuk selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna

116 | H. Muhammad Nasir


keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf menjelaskan bahwa berdasarkan
rumusan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf menyatakan bahwa
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian dari
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Pengertian
wakaf sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf,
diperluas lagi berkaitan dengan Harta Benda Wakaf
(obyek wakaf) yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1)
yang menyatakan Harta Benda Wakaf meliputi:
benda tidak bergerak; dan benda bergerak.
Pengembangan dan pemberdayaan waqaf
tidak cukup hanya dengan sistem administrasi dan
sumber produksi dan konsumsi yang memuaskan
melainkan harus dengan keterpaduan dalam proses
pemberdayaan secara holistik dengan konsepsi etik
dalam trend kemakmuran dalam Islam, sebab kalau
tidak harta waqaf hanya akan menjadi fitnah (QS. At-
Taqhabun, 64: 15) dalam kehidupan umat.
Memberdayakan waqaf melalui manajemen
holistik merupakan upaya teknologi pemberdayaan
dari teknologi tradisional ke teknologi modern. Di

MODERASI BERAGAMA | 117


antara langkah-langkah yang dapat dikembangkan
adalah; Pertama, pemberian peluang atau akses yang
lebih besar kepada aset produksi benda waqaf yang
bersifat sumber dana untuk modal usaha yang
digunakan secara berkesinambungan. Kedua,
memperkuat posisi transaksi dan kemitraan waqaf
melalui usaha ekonomi kerakyatan untuk selanjutnya
membangun kebersamaan dan kesetiakawanan
dengan rasa percaya diri dalam menghadapi era
keterbukaan ekonomi. Ketiga, meningkatkan layanan
pendidikan dan kesehatan melalui program produktif
untuk mewujudkan sumber daya keumatan menuju
peradaban mulia dan modern. Keempat,
menciptakan pemerataan hasil-hasil waqaf untuk
pembangunan umat dengan memperkuat ekonomi
usaha kecil dengan basis ekonomi kerakyatan untuk
kesejahteraan lahir bathin.
Dengan demikian pemberdayaan waqaf
merupakan ibadah produktif berbasis ekonomi yang
dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas
umat Islam dalam menuju kejayaan dunia dan akhirat.
[]

118 | H. Muhammad Nasir


7
MEMBANGUN KUALITAS
KERUKUNAN BERAGAMA

Upaya pemerintah untuk membangun


kerukunan beragama merupakan isu strategis yang
sangat penting. Indonesia adalah negara dengan
suku bangsa, agama, dan kepercayaan yang
beragam. Bila tidak dikelola dengan baik, keragaman
tersebut dapat berisiko menimbulkan konflik di
antara warga negara maupun antar kelompok dan
pemeluk agama. Gejala intoleransi yang mulai
mengemuka perlu mendapat perhatian serius agar
tidak merusak semangat persatuan dalam
kemajemukan. Sementara itu, perkembangan
teknologi dan informasi yang tidak disertai dengan
kearifan dan pengetahuan dapat memicu
perselisihan yang berpotensi mengganggu
kerukunan dan harmoni sosial. Pengamalan nilai-nilai
agama secara baik bagi seluruh umat, yang disertai
penghargaan dan penghormatan atas perbedaan,
diharapkan dapat menjadi perekat dan pemersatu
bangsa.
Pemerintah sejak orde baru sampai orde
reformasi telah melakukan berbagai upaya
pembinaan kerukunan, baik dalam bentuk
penyediaan kemudahan bagi para pemimpin umat
beragama untuk bermusyawarah, pengembangan

MODERASI BERAGAMA | 119


program-program yang bertujuan memupuk
kerukunan, sampai ke masyarakat paling bawah baik
dalam bentuk kajian ataupun penelitian. Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN) 2004-2009 pemerintah juga telah
menetapkan bahwa agenda meningkatkan
kesejahteraan rakyat adalah dengan peningkatan
kualitas kehidupan beragama yang salah satu sasaran
utamanya meningkatkan kerukunan umat
1
beragama.
Begitu pentingnya memperkokoh kerukunan
beragama, pemerintah secara progresif terus
menjadikan pembangunan kerukunan sebagai
prioritas (RPJMN 2020-2025). Sebagai sasaran
strategis, pembangunan kerukunan diarahkan
kepada Penguatan harmoni dan kerukunan umat
beragama dengan cakupan; sinkronisasi dan
harmonisasi peraturan perundangan terkait
kerukunan umat beragama; perkuatan peran
lembaga agama, tokoh agama dan lembaga sosial
keagamaan, peningkatan komunikasi dan dialog
lintas agama; serta sinkronisasi kegiatan lintas
sektor.2

1 ) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) 2004-2009, Peraturan Presiden RI No. 7 tahun 2005 Tentang


RPJMN hal. 331.
2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN 2020-2924)

120 | H. Muhammad Nasir


Kerukunan adalah sesuatu yang sangat
esensial dalam proses pembangunan bangsa. Hal ini
disebabkan karena kerukunan merupakan cita-cita
seluruh warga masyarakat tanpa kecuali, dan sebab
itu mutlak diperlukan iklim saling
mempercayai/mutual trust antar seluruh warga.
Manakala iklim ini tidak terpelihara dengan baik maka
proses pembangunan dengan sendirinya akan sia-sia.
Oleh karena itu baik pemerintah maupun
masyarakat, hendaknya secara dini membangun
ketahanan masyarakat/early warning sistem yang
harus disiapkan sejak awal sebelum terjadi konflik
dan peristiwa dadakan yang hanya akan merugikan
masyarakat secara keseluruhan.

Makna dan Fungsi Kerukunan

Secara etimologik ‘rukun’ berasal dari bahasa


Arab yang berarti tiang, dasar, dan sila.3 Selanjutnya
perkembangannya dalam bahasa Indonesia, kata
‘rukun’ sebagai kata sifat yang berarti cocok, selaras,
sehati, dan tidak berselisih.4

3 ) HM.Ridwan Lubis, dkk, Penuntun Kerukunan Hidup Umat

Beragama ( Bandung; LPKUB Medan dan Cipta Pustaka Media Bandung


2004, h. 21
4 ) John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Indonesia Ingris (

Jakarta : Gramedia, 1994,h.468

MODERASI BERAGAMA | 121


Sementara dalam bahasa Inggris
disepadankan dengan kata harmonius atau concord.5
Dengan demikian kerukunan berarti kondisi sosial
yang ditandai oleh adanya keselarasan, kecocokan,
atau ketidakberselisihan (harmony, concordance).
Dalam literatur ilmu sosial, kerukunan
diartikan dengan istilah integrasi yang merupakan
lawan dis-integrasi yang berarti kondisi dan proses
tercipta dan terpeliharanya pola-pola interaksi yang
beraragam di antara unit-unit atau sub sistem yang
otonom dan mencerminkan hubungan timbal balik
yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling
mempercayai, saling menghormati dan menghargai,
serta sikap saling memaknai kebersamaan.6 Dalam
proses pengembangan pola interaksi sosial
kerukunan mempunyai fungsi strategis dan penting
bagi penguatan dan pemeliharaan struktur sosial
masyarakat. Fungsi itu dapat dijelaskan di antaranya
bahwa kerukunan dapat menjadi katup pengaman
(safety valve) bagi disintegrasi soaial dan dapat pula
mereduksi konflik, di samping secara fungsional–
struktural berfungsi membangun keseimbangan
masyarakat.

5 ) HM. Ridwan Lubis, Loc-Cit.


6)Ibid

122 | H. Muhammad Nasir


Dalam berbagai konteks dan dimensi kehidupan
masyarakat makna dan fungsi kerukunan dapat
dimaknai sebagai berikut:
1. Dalam konteks dan dimensi komunikasional,
kondisi rukun (kerukunan) menyaratkan
adanya interaksi resiprokal, hubungan karib,
keintiman, kedamaian, dan ketenangan yang
didasarkan pada sikap keterbukaan, kerja
sama, sentuhan kasih, dan saling pengertian
yang pada akhirnya dapat membangun dan
memperkuat integrasi sosial sekaligus
mengurangi ketegangan dan konflik antar
umat beragama.
2. Dalam konteks dan dimensi sosial-kultural,
kerukunan berwujud sebagai interaksi
budaya, integrasi normatif, integrasi
konsensual, dan integrasi fungsional maka
kerukunan akan berfungsi dalam penataan
dan pencapaian tujuan hidup masyarakat.
Oleh sebab itu kerukunan akan menyebabkan
terjadinya struktur situasi kondusif di mana
pelaku interaksi (antar berbagai pihak
terkait) berperilaku sesuai dengan sistem dan
norma yang ada baik norma agama maupun
norma yang berkembang dan dipelihara
dengan baik dalam masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kerukunan hidup umat beragama secara normatif
merupakan kebutuhan dalam menghadapi

MODERASI BERAGAMA | 123


tantangan internal maupun global dalam suatu
tatanan masyarakat saat ini. Pada tingkat empirik,
kerukunan secara umum dapat dilihat
perwujudannya semakin menghilangnya konflik-
konflik antar umat beragama yang secara serius
mengancam keutuhan negara dan menghambat
pelaksanaan pembangunan serta kemampuan
masyarakat untuk menangkal sesedikit mungkin
dampak negatif globalisasi.

Aksi dan Peningkatan Kerukunan

Dalam gerakan-gerakan dan aksi perwujudan


kerukunan yang selama ini telah diupayakan baik oleh
pemerintah ataupun oleh umat beragama itu sendiri
masih memerlukan intrik penguatan kualitas
kerukunan ke arah yang lebih konkrit sekurang-
kurangnya dengan mengembangkan nilai religiusitas,
nilai keharmonisan, kedinamisan, kreativitas dan
produktivitas. Usaha ke arah itu dapat kita lakukan
dengan upaya, pertama, kualitas kerukunan hidup
umat beragama harus mempresentasikan sikap
religius umatnya, sehingga kerukunan benar-benar
dilandaskan pada nilai kesucian, kebenaran, dan
kebaikan dalam rangka mencapai keselamatan dan
kesejahteraan umat beragama. Kedua, kualitas
kerukunan hidup umat beragama harus
mencerminkan pola interaksi antara sesama umat
beragama yang harmonis, yaitu hubungan yang

124 | H. Muhammad Nasir


serasi, selaras, saling menghormati, saling mengasihi
dan menyayangi, saling peduli yang didasarkan pada
nilai persahabatan, kekeluargaan, persaudaraan, dan
rasa sepenanggungan. Ketiga, kualitas kerukunan
hidup umat beragama harus diarahkan kepada
pengembangan nilai-nilai dinamik yang
dipresentasikan melalui suasana hubungan interaktif,
bergerak, bersemangat, dan bergairah dalam
mengembangkan nilai kepedulian, keaktifan dan
kebajikan bersama. Keempat, kualitas kerukunan
hidup umat beragama harus diarahkan kepada
pengembangan nilai produktivitas umat beragama.
Untuk itu kerukunan ditekankan pada pembentukan
suasana hubungan yang mengembangkan nilai-nilai
sosial praktis dalam upaya mengentaskan
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan,
seperti mengembangkan amal kebajikan, bakti sosial,
badan usaha, dan berbagai kerja sama sosial ekonomi
yang mensejahterakan umat beragama.
Dalam pendekatan lain untuk memperkuat
bangunan kerukunan umat beragama melalui
pengolahan keserasian sosial yang menekankan
bahwa pada masyarakat pluralis, ikatan-ikatan sosial
sangat rentan untuk menjadi konflik sosial. Oleh
karena itu pendekatan yang dapat ditawarkan adalah
membangun harmonisasi sosial dengan resolusi
konflik (Bahrul Hayat, PhD: 2012). Menurut
pendekatan ini, pengelolaan keserasian sosial
merupakan usaha yang sistematis untuk mengatasi

MODERASI BERAGAMA | 125


konflik yang hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga
sebagai mediator, karena orang atau kelompok yang
terlibat konflik tidak mungkin dapat mengatasi
masalahnya sendiri (Al-Munawar, 2006). Keserasian
sosial akan secara otomatis terjadi apabila ikatan dan
solidaritas sosal telah kuat. Inilah suatu usaha
sistematis untuk mengarahkan interaksi sosial bagi
terwujudnya integrasi sosial yang kuat dalam bentuk
kerja sama, adaptasi, akomodasi, akulturasi, maupun
asimilasi budaya.
Di samping pendekatan sosiologis tersebut,
juga sering digunakan untuk membangun
harmonisasi dan kerukunan beragama serta
mengatasi konflik bernuansa agama adalah
pendekatan teologis-elitis (Departemen Agama;
2006). Pendekatan ini didasarkan pada argumen
bahwa norma religius dan transendental yang
terkandung dalam agama seringkali menjadi faktor
yang memberi legitimasi bagi para pelaku konflik
sosial keagamaan.
Namun demikian, mengingat konflik sosial
keagamaan bersifat multi–dimensional, harus diakui
bahwa konflik intra dan antar agama tidak cukup
diselesaikan dengan pendekatan teologis ansich.
Apalagi penerapan pendekatan ini sering kali hanya
melibatkan dialog para tokoh dan pemuka agama
yang bersifat elitis dan tidak menjangkau akar
rumput (groosroot). Dalam persfektif/pendekatan
teologis, dialog antar tokoh agama diharapkan dapat

126 | H. Muhammad Nasir


menjangkau masyarakat bawah. Masyarakat bawah
dapat mencontoh (meneladani) bentuk dialog tokoh
agama sebagai representasi sebagai seorang
pengampu, guru, dan orang yang bijaksana.
Di samping itu pendekatan lain yang dapat
dilakukan sebagai cara memperkuat bangunan
kerukunan beragama adalah melalui kesepakatan
norma-norma sosial yang menyebabkan keteraturan
sosial, norma tersebut oleh Fukuyama disebut
sebagai dunia norma --universe of norms-- (Fukuyama,
2000). Dunia norma yang akan mewujudkan
keteraturan sosial tersebut terwujud melalui empat
norma (catur norma), yaitu a) Norma yang lahir dari
proses rasional-spontan seperti lahirnya common law
dan kesepakatan sosial yang lahir dari masyarakat; b)
Norma yang lahir dari proses a-rasional-spontan,
seperti nilai dan tradisi masyarakat yang
membudaya; c) Norma yang lahir dari proses
arasional-hirarkis, seperti nilai agama dalam kitab suci
dan ajaran agama lainnya; dan d) Norma yang lahir
dari proses rasional-hirarkis, peraturan perundang-
undangan yang disusun oleh otoritas pemerintah
(Francis Fukuyama, 2000).

Dari uraian singkat tersebut dapat kita


simpulkan sebagai berikut:
1. Kerukunan hidup beragama merupakan
kebutuhan semua umat beragama dan ia
merupakan kekuatan moral dan sosial dalam

MODERASI BERAGAMA | 127


menciptakan cita-cita pembangunan
bermasyarakat dan berbangsa.
2. Sebagai masyarakat plural sudah semestinya
saling peduli terhadap sesama umat
beragama agar pembangunan kehidupan
yang harmonis tumbuh dan berkembang
secara terbuka dan toleransi.
3. Konflik adalah perusak yang mesti dihindari
karema dapat mengganggu kestabilan sosial
dalam menuju masyarakat yang damai, aman,
dan saling pengertian.
4. Kualitas kerukunan dapat tumbuh dan
berkembang apabila semua umat beragama
saling mendukung dan saling mengoreksi diri
dengan arif dan bujaksana dalam setiap hak
dan kewajiban dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, bernegara, dan beragama.
5. Kerja sama antar umat beragama dalam
tindakan positif, kreatif dan kongkrit
merupakan pola yang mesti
ditumbuhkembangkan untuk menuju kualitas
kerukunan yang diharapkan. []

128 | H. Muhammad Nasir


8
MEMPERTEGUH TOLERANSI
BERAGAMA

Di tengah-tengah suasana kehidupan agama


yang dinamis dan plural di Indonesia, kerukunan dan
toleransi beragama merupakan suatu keharusan
yang harus tumbuh serta diperteguh dengan tekad
bersama. Teguhnya toleransi harus dicerminkan
dalam suasana damai, tertib saling memahami dan
menghargai. Kebalikan dari kerukunan dan toleransi
itu adalah ketegangan atau konflik yang dicerminkan
dengan persaingan yang tidak sehat, atau saling
mengancam baik secara fisik maupun mental. Tekad
kita untuk menegakkan kebebasan agama haruslah
disertai dengan tanggung jawab untuk menciptakan
kerukunan dan menghindarkan ketegangan. Karena
sering kali ketegangan menghilangkan kebebasan itu
sendiri. Hal itu bisa terjadi akibat pemahaman agama
antar umat beragama sering dibenturkan melalui
kondisi tertentu atau masih lemahnya dasar-dasar
kerukunan dan toleransi agama dalam masyarakat.

Mengerti dan memahami agama orang lain


merupakan hal yang paling mendasar yang harus ada
dalam kehidupan beragama di Indonesia. Untuk
memahami agama orang lain secara integral
diperlukan pengetahuan yang cukup yang meliputi

MODERASI BERAGAMA | 129


modal intelektual, modal emosional dan modal
kemauan. Cara yang terbaik untuk memahami agama
orang lain adalah dengan pengalaman bergaul
karena perilaku keagamaan diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari dari pemeluk agamanya.
Sikap saling mengakui dan memahami
ekistensi keberagamaan orang lain merupakan sikap
yang sangat diperlukan dan harus dipupuk dan
diperkokoh dalam masyarakat agama yang majemuk
(plural). Menyadari pentingnya sikap itu pemeluk
agama tidak hanya memahami sebatas
kemajemukan, tetapi harus mampu memahami
secara integral dan menyeluruh. Sebab itu
memahami agama orang lain dapat dilihat dan
dipahami sesuai dengan keadaan atau kondisi
masyarakat yang majemuk, baik dilihat dari sisi adat,
suku maupun agama itu sendiri. Dalam hal ini tentu
dengan tidak menghilangkan perbedaan-perbedaan
yang ada pada agama-agama tersebut seperti
dimensi doktrinal yang tidak dapat dikompromikan.
Selanjutnya pluralitas harus dimaknai sebagai
suatu keharusan bagi kesempurnaan alam sebagai
ciptaan Tuhan dan tidak dapat dinafikan oleh siapa
pun. Dengan kesadaran itu, maka pemahaman
keagamaan tidak hanya berorientasi pada
pemahaman internal agama yang sudah baku dan
menjadi dogmatis, tetapi mengarahkan umat
beragama lebih menciptakan sikap saling mengakui
perbedaan antar pemeluk agama, sebagai gambaran

130 | H. Muhammad Nasir


ideal masyarakat Indonesia. Perbedaan doktrinal-
teologis tidak harus menghilangkan adanya
persamaan pesan ajaran agama untuk saling
mengakui eksistensi agama lain dan hidup
berdampingan secara damai dalam masyarakat yang
majemuk atau plural di Indonesia.
Dalam pluralistas agama seperti itu akan lahir
sikap toleransi beragama yang merupakan bentuk
praksis dari sikap pengakuan proporsional umat
beragama yang berbeda. Sikap toleransi ini dapat
juga dilakukan melalui dialog antar umat beragama
yang secara intensif terus terjalin. Demikian juga,
kerja sama antara lembaga-lembaga agama dan
ormas keagamaan dalam menghadapi berbagai
persoalan keagamaan.
Keinginan setiap komunitas umat beragama
untuk mempertahankan eksistensinya bahkan
melakukan ekspansi pengikut adalah suatu yang
alamiyah, terutama bagi agama dakwah (mission)
seperti Islam dan Kristen (Katholik dan Protestan).
Bahkan sebenarnya secara sosiologis sikap ekspansif
tersebut tidak hanya dimiliki oleh agama-agama
dakwah itu, tetapi juga oleh kelompok sosial politik
dan ekonomi apa pun. Namun demikian sikap
ekspansif itu akan menjadi positif apabila terorientasi
pada prinsip keselamatan dan didasarkan pada
pengakuan hak-hak orang lain untuk memilih
keyakinannya sendiri tanpa pemaksaan. Jika tidak

MODERASI BERAGAMA | 131


maka sikap itu akan sangat negatif karena justru
bertentangan dengan tujuan agama itu sendiri.

Pengendalian Potensi Konflik

Konflik antar umat beragama di negara kita


biasanya berkisar pada tiga wilayah yang bisa berdiri
sendiri atau saling berkaitan. Pertama, adalah
wilayah ajaran. Baik dari segi kepercayaan, ibadah,
maupun moral, masing-masing agama memiliki
ajarannya yang khas dan bahkan mungkin
bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Perbedaan dan pertentangan ajaran itu seringkali
menjadi bahan yang menarik untuk diungkapkan,
baik dalam bentuk ceramah maupun tulisan. Apabila
disampaikan secara retoris yang disertai kecaman
untuk penghinaan, maka hal itu akan berkembang
menjadi ketegangan yang mengganggu hubungan
antar umat beragama. Kaset atau tulisan yang
bersifat klaim kebenaran tunggal dan menafikan
adanya kebenaran di pihak lain pada masa-masa yang
lalu terbukti menimbulkan ketegangan antar agama
karena disampaikan dengan nada permusuhan.
Sekarang ini telah muncul kesadaran bahwa
perbedaan ajaran merupakan potensi ketegangan,
dan karena itu perlu dimunculkan persamaan dasar-
dasar teologis dari berbagai agama. Dalam kerangka
inilah muncul konsep atau jargon kalimatun sawa’
(ajaran yang sama). Yang sering dikemukakan oleh

132 | H. Muhammad Nasir


Nurcholish Madjid di perbagai tulisan, dan juga
mistisisme Louis Massignon dalam karyanya Le
Pasion d’l –Hallaj, filsafat perennial Frithjof Schoun
(Muhammad Isa Nuruddin) dalam tulisannya The
Transendental Unity of Religions, dan Tradisionalisme
Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Tradisional
Islam in the Modern World. Pada intinya, konsep itu
mengandung makna bahwa dalam semua agama
terdapat titik temu yang sangat esensial, sehingga
perbedaan dan pertentangan manusia atas landasan
ajaran agama tidak perlu terjadi. Kenyataannya
konsep ini masih mengundang sikap pro dan kontra,
bukan saja dari sudut esensi pemikirannya, tetapi
juga dari sudut efektivitasnya dalam menekan
ketegangan antar agama. Wilayah ketegangan kedua
adalah sosial. Sebagai gejala sosial, konflik antar
umat beragama tidaklah berbeda dengan
ketegangan–ketegangan lainnya. Dan karena itu,
konstelasi sosial sangat menentukan adanya konflik.
Pendirian rumah ibadah dari agama yang berbeda
dengan agama mayoritas penduduk bisa dipandang
sebagai ancaman, seperti halnya sebuah rumah
mewah di tengah-tengah masyarakat kumuh.
Sebaliknya, pemeluk agama yang berbeda bisa
menjalin kerja sama membangun sebuah perusahaan
raksasa tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan,
demikian juga di negara maju, seperti Amerika
Serikat, ketegangan yang terjadi antara kelompok
yahudi dan The Islamic Mission di bawah Louis

MODERASI BERAGAMA | 133


Farakhan lebih digambarkan sebagai ketegangan
antara the haves dan the havenots atau bahkan the
oppressors dan the oppressed. Oleh karena itu
kategori masyarakat berdasarkan agama kurang
lebih sama dengan katagori kelas sosial, yang
merupakan potensi ketegangan atau konflik.
Kesadaran terhadap potensi ketegangan
wilayah sosial ini telah mendorong pemikiran
perlunya perkembangan ekonomi yang lebih merata.
Pemerataan ini perlu dilakukan agar tidak terjadi
identifikasi agama dan kelas sosial. Gerakan di Cina,
misalnya, bisa saja diberikan warna agama,
sebagaimana gerakan anti penjajahan dulu juga
demikian. Inilah yang mungkin disebut dengan
bahaya double identity, sebagai contoh, jika
mayoritas agama cina itu beragama Kristen dan
mayoritas pribumi Islam, maka konflik antar Cina dan
Pribumi bisa bermakna konflik antar Kristen dan
Islam. Oleh karena itu, Yunus Yahya sangat yakin
bahwa jalan yang sangat efektif untuk pembauaran
adalah agama. Jika banyak orang Cina masuk Islam
maka bahaya double identity tidak akan terjadi.
Wilayah ketiga yang potensial untuk menjadi
sumber ketegangan adalah tidak adanya
keprihatinan yang sama terhadap masalah-masalah
kemanusiaan. Setiap agama ternyata mengandung
ajaran-ajaran yang sifatnya sangat obyektif, terutama
yang berkaitan dengan akal sehat. Semua agama
saya yakin setuju dalam persoalan-persoalan

134 | H. Muhammad Nasir


kemanusiaan, seperti keadilan, kejujuran,
kemakmuran, ketentraman, dan kesejahteraan.
Persoalan-pesoalan itu sesungguhnya harus
memancing respon dari umat beragama untuk
melakukan kerja sama. Misalnya dalam program-
program pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan
sebagainya. Jika proyek-proyek kerja sama seperti itu
dilakukan atas nama umat beragama, maka rasa
kebersamaan itu akan tumbuh secra pelan-pelan, dan
ini secara psikologis akan menekan salah satu potensi
konflik.

Ke Arah Kesadaran Kerukunan

Suatu dialog antar agama adalah sama


dengan dialog tentang keselamatan
(salvation/salamah) yang dicita-citakan masing-
masing agama. Bila keselamatan dituntut oleh tiap
agama, dan karena keselamatan selalu tidak
mentoleransi usaha yang merugikan keselamatan
orang lain, maka sebetulnya apa pun cara yang
diajarkan suatu agama untuk mencapai keselamatan,
maka tujuan itu sendiri akan menjaga agar cara yang
ditempuh jangan sampai merugikan keselamatan
orang lain. Jika demikian, maka adanya beberapa
peraturan yang berkaitan dengan penyebaran
agama, pendirian rumah ibadah dan bantuan asing
memang ditunjukkan untuk mengatur cara menuju
keselamatan itu. Tetapi jika aturan dalam rangka

MODERASI BERAGAMA | 135


keselamatan itu tidak dilaksanakan dengan penuh
kesadaran, maka justru akan menjadi sumber konflik
baru. Karena itu sangat diperlukan kesadaran itu, dan
dalam kerangka itu pemerintah sebagai pemimpin
formal dan tokoh-tokoh agama sebagai pemimpn
non-formal memiliki tanggung jawab yang besar.
Pemerintah perlu menegakkan peraturan yang ada
dan mendorong terciptanya suasana kerukunan,
sedangkan tokoh-tokoh agama perlu menyadari
bahwa mereka itu sendiri bisa menjadi sumber konflik
yang sangat potensial. Setiap gerakan protes
(protest movement) tidak akan terjadi tampa
munculnya seseorang atau beberapa orang yang
mampu memanipulasi atau mentransformasi keluhan
massa ke dalam bentuk gerakan protes. Tentu saja,
peranan semacam itu hanya bisa dilakukan setidak-
tidaknya oleh lapisan menengah, seperti tokoh-tokoh
agama dalam komunitas tersebut.
Gerakan tersebut bisa berwarna lunak seperti
penggunjingan dan kecurigaan atau berwarna keras
seperti pengrusakan rumah ibadah atau bahkan
penganiyaan. Dengan demikian, ada tiga hal yang
perlu diperhatikan dan diperteguh oleh tokoh-tokoh
agama. Pertama adalah usaha pemahaman terhadap
ajaran agama secara menyaluruh dan tepat, dan
menghindarkan distrosti historis akibat pengalaman
pahit di masa-masa yang lalu. Pemahaman seperti ini
harus ditransformasikan ke dalam sikap massa. Kedua
ialah usaha untuk menghindari penyalahgunaan

136 | H. Muhammad Nasir


agama untuk kepentingan ”tertentu” dan
pengkaitan dengan faktor lain yang potensial
menjadi sumber ketegangan, misalnya ketimpangan
sosial. Yang ketiga ialah usaha untuk melakukan kerja
sama dalam menangani masalah-masalah
kemanusiaan. Dengan demikian dapat kita simpulkan
pula bahwa; Pertama, kerukunan dan toleransi
beragama dapat mengurangi konflik yang berada di
masyarakat yang kreatif, serta dapat mendukung
terwujudnya pembangunan umat beragama. Kedua,
kerukunan dan toleransi beragama dengan upaya
tertentu dapat menata ulang dan menemukan
kembali masyarakat yang berbasis moral yang tinggi
yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Ketiga,
kerukunan dan toleransi beragama harus menjadi
cita-cita bersama dalam mewujudkan masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai luhur bangsa
berdasarkan UUD 1945. []

MODERASI BERAGAMA | 137


138 | H. Muhammad Nasir
BAGIAN KEDUA

MODERASI DALAM
IDEALITAS SOSIAL

MODERASI BERAGAMA | 139


1
MODERASI BER-AGAMA DI
KEPULAUAN RIAU

Menyikapi arus budaya dan revolusi moral


yang terjadi dalam era milenial saat ini, seluruh
elemen sosial masyarakat global tersentak dengan
kuatnya isu-isu intoleran dan new morality yang
berkembang di tengah umat beragama. Hampir di
belahan dunia isu global ini merambah dalam tatanan
kehidupan beragama, termasuk di Indonesia pada
umumnya, dan Kepulauan Riau pada khususnya.
Sebagai masyarakat yang heterogen dan plural,
Kepulauan Riau yang berbasis archipelago memiliki
berbagai macam budaya dan agama yang
berkembang secara inheren yang bersifat
melayuisme. Kondisi ini sangat strategis untuk
memperkaya dan merawat negeri ini secara utuh
menuju masyarakat yang aman damai dan sejahtera
lahir dan batin. Tentu ini semua dapat terlaksana
apabila masyarakat atau umat beragama berperan
secara aktif bersama pemerintah membangun spirit
moral agama yang kuat.
Di samping potensi tersebut, Kepulauan Riau
juga kaya dengan nilai-nilai keadaban yang bersifat
melayuistik. Nilai-nilai ini disinyalir masih terpendam
dalam bingkai sejarah yang kaku tanpa berdaya. Hal
ini perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak

140 | H. Muhammad Nasir


dan kalangan. Ibarat teori energi dalam ilmu fisika
nilai keadaban yang ada saat ini hanya berbentuk
energi kinetic (energi diam dan statis) yang mesti kita
ubah menjadi energi potensial (energi bergerak dan
berkembang). Sehingga endapan nilai yang ada
dapat menjadi sebuah kekuatan untuk merajut
idealisme moral agama secara utuh dan menjadi ciri
dan kepribadian masyarakat Kepulauan Riau. Oleh
sebab itu pendekatan lain yang dapat ditawarkan
adalah memperkokoh moderasi beragama walaupun
banyak pendekatan lain yang belum terungkap
sampai saat ini.
Di Kepulauan Riau moderasi beragama harus
dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang
antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan
penghormatan kepada praktik beragama orang lain
yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan
atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya
akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem
berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam
beragama. Seperti telah banyak dibicarakan oleh
para ahli agama. Moderasi beragama merupakan
solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam
beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem
kanan di satu sisi dan liberal atau ekstrim kiri di sisi
lain.
Pilihan pada moderasi dengan menolak
ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah
kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban

MODERASI BERAGAMA | 141


dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah
masing-masing umat beragama dapat
memperlakukan orang lain secara terhormat,
menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam
damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural
seperti Kepulauan Riau, moderasi beragama bisa jadi
bukan pilihan melainkan kemestian yaitu untuk:

1. Membangun Imeg Kebangsaan yang utuh


berazaskan melayuisme yang agamis.
Sistem kepercayaan yang tumbuh dan
berkembang di tanah melayu Kepulauan Riau telah
terbukti secara kuat tidak dapat dipisahkan antara
nilai agama dan nilai kemelayuan. Kedua nilai ini
secara inheren ada dan tumbuh walaupun belum
menunjukkan kondisi ideal yang sesungguhnya.
Untuk membangun rasa cinta tanah air semestinya
dimulai dari membangun imeg kebangsaan yang utuh
berazaskan melayuisme yang agamis. Menata sikap
kebangsaan dengan memadukan nilai-nilai melayu
dan agama adalah satu kewajaran. Namun yang tak
kalah pentingnya adalah dengan mengambil posisi
seimbang yang adil dan pertengahan dalam setiap
perilaku agama yang diyakininya. Inilah moderasi
(jalan seimbang) bukan hanya diajarkan oleh Islam,
tapi juga agama lain. Lebih jauh, moderasi merupakan
kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni
sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara
personal, keluarga, dan masyarakat hingga

142 | H. Muhammad Nasir


hubungan antar manusia yang lebih luas. Kedua nilai
ini, adil dan berimbang, akan lebih mudah terbentuk
jika seseorang memiliki tiga karakter utama dalam
dirinya: kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity),
dan keberanian (courage). Dengan kata lain, sikap
moderat dalam beragama, selalu memilih jalan
tengah, akan lebih mudah diwujudkan apabila
seseorang memiliki keluasan pengetahuan agama
yang memadai sehingga dapat bersikap bijak, tahan
godaan sehingga bisa bersikap tulus tanpa beban,
serta tidak egois dengan tafsir kebenarannya sendiri
sehingga berani mengakui tafsir kebenaran orang
lain, dan berani menyampaikan pandangannya
berdasarkan ilmu dan paham yang dimilikinya.
Komitmen kebangsaan merupakan indikator
yang sangat penting untuk melihat sejauh mana cara
pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang
yang akan berdampak pada kesetiaan terhadap
konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait
dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi
negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang
berlawanan dengan Pancasila, serta nasionalisme.
Sebagai bagian dari komitmen kebangsaan adalah
penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang
tertuang dalam konstitusi UUD 1945 yang sejalan
dengan paham dan nilai-nilai adat Melayu yang kita
pedomani.

MODERASI BERAGAMA | 143


2. Membangun solusi dan aksi dalam setiap
kebijakan dan tindakan masyarakat tanpa
keberpihakan.
Dengan moderasi beragama sebagai muatan
nilai dan praktik yang paling sesuai untuk
mewujudkan kemaslahatan bumi Melayu Kepulauan
Riau, berarti kita telah membangun solusi dan aksi
yang tepat dalam setiap kebijakan dan tindakan
masyarakat dengan cara adil dan tanpa berpihak.
Maka dari itu sikap mental moderat, adil, dan
berimbang menjadi kunci untuk mengelola
keragaman kita. Dalam berkhidmat membangun
solusi dan aksi daerah yang berbasis kepulauan
(archipelago), juga berarti setiap warga masyarakat
memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk
mengembangkan kehidupan bersama yang tenteram
dan menentramkan. Bila ini dapat kita wujudkan,
maka setiap warga masyarakat dapat menjadi
manusia seutuhnya, sekaligus menjadi manusia yang
menjalankan agama seutuhnya. Akibat dari itu maka
masyarakat akan sangat mudah memperkokoh sikap
toleransi yang dapat memberi ruang bersama dan
tidak mengganggu hak orang lain untuk
berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan
menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut
berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan
demikian, toleransi mengacu pada sikap terbuka,
lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima
perbedaan karena toleransi selalu disertai dengan

144 | H. Muhammad Nasir


sikap hormat, menerima orang lain yang berbeda
agama.

3. Gurindam Dua Belas dalam Perspektif Moderasi


Ber-Agama di Kepulauan Riau.
Bangsa Melayu sudah terkenal dengan
bangsa yang cinta hikmah terutama dengan petuah-
petuah dan bahasa syair yang sarat makna. Di antara
petuah yang sarat akan makna itu yang banyak
dikenal adalah Gurindam Dua Belas Karya Raja Ali
Haji. Gurindam Dua Belas merupakan salah satu
untaian hikmah seorang raja untuk membangun
peradaban Melayu melalui bahasa dan kata. Hikmah
yang tertuang dalam Gurindam Dua Belas adalah
nilai-nilai moral yang sejalan dengan nilai agama yang
ada. Salah satu bahasa hikmah yang memberikan
makna dalam moderasi beragama adalah
sebagaimana yang terdapat pada pasal kelima yaitu:
“Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat pada
budi dan bahasa. Jika hendak mengenal orang yang
berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia. Jika
hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada
kelakuan dia….”
Dalam hikmah tersebut terdapat makna
tentang orang yang dapat dianggap memiliki sikap
kebangsaan. Sikap itu tercermin dalam budi dan
bahasa seseorang. Orang berbudi bahasa yang baik
tidak akan membedakan seseorang berdasarkan
suku dan agama. Orang berbudi bahasa dapat

MODERASI BERAGAMA | 145


diterima oleh siapa saja dan bangsa mana saja karena
sikap dan perilakunya yang santun dan bersahaja.
Sikap ramah tamah yang terpatri dalam ucapan dan
perbuatan yang tidak mengenal perbedaan. Mereka
adalah orang-orang yang berbangsa, bukan orang-
orang yang berdiri dalam kelompok kecil yang
tersekat oleh perbedaan. Itulah komitmen mereka
yaitu komitmen untuk hidup dalam kebersamaan
sebagai komitmen dalam mengembangkan dan
mempraktikkan wawasan kebangsaan dalam cinta
tanah air dan dalam cinta NKRI.
Sikap hidup yang dipatri oleh wawasan
kebangsaan dan wawasan keagamaan merupakan
indikator yang sangat penting untuk melihat sejauh
mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama dan
praktik bernegara seseorang yang akan berdampak
pada kesetiaan pada konsensus dasar negara,
terutama terkait dengan pengamalan Pancasila
sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara
dan yang tak kalah pentingnya adalah sikapnya
terhadap tantangan ideologi yang berlawanan
dengan Pancasila, serta nasionalisme. Pada akhirnya
sikap ini tentu saja akan berwujud pada penerimaan
terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang
dalam Konstitusi Negara.
Gurindam dua belas dapat menjadi perekat
komitmen kebangsaan masyarakat melayu
Kepulauan Riau dalam kehidupan bermasyarakat.
Mereka memilih sikap hidup dalam keadilan dan

146 | H. Muhammad Nasir


keseimbangan baik dalam sikap hidup beragama
maupun sikap hidup berbudaya.”Apabila banyak
berlebih-lebihan suka, itulah tanda hampirkan duka”
(pasal ke-7). Sikap berlebihan adalah lawan dari
moderasi. Oleh sebab itu tidak dapat diterima dalam
perilaku orang Melayu. Sikap berlebihan dalam
kehidupan beragama akan mendatang maslahat dan
mafsadat. Akan membawa kerusakan bagi
pelakunya, karena itulah moderasi beragama
merupakan pilihan masyarakat melayu dalam tata
santun di dalam pergaulan masyarakat Kepulauan
Riau. []

MODERASI BERAGAMA | 147


2
KERUKUNAN BERAGAMA DALAM
BINGKAI NKRI
(Perspektif Kepulauan Riau)

Sejak terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau


berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002
yang mana Kepulauan Riau merupakan Provinsi ke-32
dari 34 Provinsi di Indonesia. Sejak itu pula upaya
Pemerintah Daerah terus berbenah dan berproses
untuk selalu meningkatkan pembangunan
masyarakat secara integral, seimbang dan
berkelanjutan di wilayah ini. Sebagai wilayah otonom
Pemerintah Daerah telah berupaya meningkatkan
taraf hidup masyarakat, baik peningkatan dalam
bidang ekonomi, sosial dan budaya maupun dalam
peningkatan hidup umat beragama. Salah satu yang
menjadi arah pembangunan di bidang agama di
Kepulauan Riau adalah meningkatkan dan
memelihara Kerukunan Umat Beragama.
Secara geografis Wilayah Kepulauan Riau
adalah wilayah yang berciri khas zona kelautan di
mana wilayahnya didominasi oleh lautan yang
mengelilingi pulau-pulau besar dan kecil dengan luas
wilayah 252.601 km, yang terdiri dari 95% laut dan 5%
daratan.1 Ciri khas ini merupakan keistimewaan dan
anugerah Allah SWT yang mesti disyukuri dan

148 | H. Muhammad Nasir


dipelihara dengan baik. Wilayah yang istimewa ini
berdekatan dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah
utara, dengan Provinsi Bangka dan Jambi sebelah
Selatan, dengan Negara Singapura dan Malaysia
serta Provinsi Riau di sebelah barat. Sementara di
sebelah timur berdampingan dengan Kalimantan
Barat dan Johor. Wilayah Kepulauan yang sedemikian
indah ini sampai tahun 2012 telah didiami oleh
penduduk sebesar 1.693.469 jiwa dengan beragam
Suku, Ras dan Agama.
Masyarakat Kepulauan Riau adalah
masyarakat religius, di mana kehidupan sosialnya
sangat diwarnai oleh nilai agama yang dianutnya.
Terdapat 6 agama besar yang tumbuh dan
berkembang di Kepulauan Riau, yaitu; Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Beragamnya
agama di Kepulauan Riau bukanlah kelemahan yang
mendorong munculnya ketidakharmonisan antar
pemeluk agama, tetapi merupakan aset dan peluang
untuk menyusun kekuatan dalam persatuan dan
kesatuan membangun bersama kerukunan umat
beragama.

1 Pemda Kepri, Kepulauan Riau Dalam Angka, tahun 2011,


hal, 15

MODERASI BERAGAMA | 149


Pembangunan kerukunan umat beragama di
Kepulauan Riau lebih menekankan kepada Trilogi
kerukunan, yaitu kerukunan antar umat beragama,
kerukunan antar umat se-agama dan Kerukunan
antar umat beragama dengan pemerintah.
Kalau kita telusuri lebih jauh makna dari
kerukunan, bahwa kata “rukun” yang secara
etimologi dari bahasa Arab, mengandung arti; tiang,
dasar dan sila.2 Selanjutnya menjadi kata bentukan
dalam Bahasa Indonesia sebagai kata sifat yang
berarti cocok, selaras, sehati dan tidak berselisih.3
Selanjutnya kerukunan umat beragama
sebagaimana yang didefinisikan dalam Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor: 9 dan 8 tahun 2006.4 adalah keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran
agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
_______________________
2 H.M. Ridwan Lubis, dkk, Penuntun Kerukunan Hidup Umat

Beragama, Bandung, LPKUB Medan dan Ciptapustaka Media Bandung,


2004, hal. 21.
3 WJS. Poerwadarminta, Logat Ketjil Bahasa Indonesia,

Jakarta, JR.Walter, 1954.


4 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri No. 8 dan 9, tahun 2006, Balitbang dan Diklat Kemenag RI,
2006, hal. 11

150 | H. Muhammad Nasir


Sebagai wilayah kepulauan, masyarakat
Kepulauan Riau sudah sangat bersahabat dengan
suasana pantai dan lautan yang menyenangkan.
Kondisi ini merupakan panorama alamiah sebagai
anugerah Allah SWT, nikmat yang tidak ternilai
harganya. Panorama alamiah seperti itu telah
mempengaruhi karakter masyarakat Kepulauan Riau
lebih dekat dengan sifat-sifat alami lingkungan yang
ramah, sejuk dan menyenangkan. Sifat alami
demikian, ikut dalam membentuk karakter dan
budaya masyarakatnya yang cinta keramahan,
menyejukan dan menyenangkan. Karakter inilah yang
akan dibangun dan menjadi dasar kerukunan umat
beragama. Oleh sebab itu bangunan kerukunan
beragama yang ingin diwujudkan di Kepulauan Riau
adalah Kerukunan Berwawasan Kepulauan.
Sifat alami demikian, ikut dalam membentuk
karakter dan budaya masyarakatnya yang cinta
keramahan, menyejukan dan menyenangkan.
Karakter inilah yang akan dibangun dan menjadi
dasar kerukunan umat beragama.
Bangunan kerukunan yang berwawasan
kepulauan adalah kerukunan yang bersifat alami
dengan karakter keramahan, menyejukkan dan
menyenangkan. Tiga karakter ini dibentuk dan
dikembangkan secara terus-menerus melalui strategi
yang tepat dan terpadu.

MODERASI BERAGAMA | 151


Strategi Pembangunan Kerukunan Beragama

Kerukunan Umat Beragama merupakan


modal dasar tata santun dalam mewujudkan
keharmonisan hidup bermasyarakat dan berbangsa
di wilayah Kepulauan Riau. Pembangunan apa saja
akan terhambat jika kerukunan beragama tidak
terpelihara dengan baik. Sebab itu Kepulauan Riau
telah menjadikan kualitas kerukunan sebagai
program strategis dalam melaksanakan peran dan
fungsi pembangunan agama di Kepulauan Riau.
Peningkatan Kerukunan Umat Beragama
menjadi hal yang sangat penting terutama dengan
kondisi Kepulauan Riau yang heterogen baik budaya
maupun agama. Di samping itu untuk upaya proses
pembangunan kerukunan beragama memperhatikan
lingkungan strategis kepulauan dengan
mengembangkan kebijakan strategis dari
pendekatan paradigma formal-struktural menjadi
paradigma humanis-strukturan, kemudian dari
pendekatan yang lebih cenderung bersifat top down
ke arah yang bersifat bottom up. Langkah-langkah
strategis lainnya mendukung proses pembangunan
Kerukunan Beragama di Kepulauan Riau adalah
optimalisasi regulasi dan implementasi Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 tahun 2006, di mana langkah ini lebih
diarahkan kepada substansi PBM yang sangat
mendasar yaitu; 1. Memperkuat peran dan fungsi

152 | H. Muhammad Nasir


Kepala Daerah dalam ikut merumuskan kebijakan
pembangunan kerukunan dengan mempedomani
PBM sebagai pedoman tugas kepala daerah/wakil
Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan sebagai
bagian penting dari kerukunan nasional; 2.
Memperkuat peran dan fungsi Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) agar dapat berdaya guna
bagi peningkatan kerukunan; 3. Memperkuat
eksistensi rumah ibadah dengan mempedomani PBM
No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Di samping itu dengan memotret berbagai
kasus di berbagai wilayah dan sejauh yang dapat kita
pantau selama beberapa tahun terakhir bahwa
munculnya berbagai kasus kerukunan beragama
berada pada masyarakat paling bawah di tingkat
kecamatan, maka melihat kondisi ini sangat penting
dan strategis untuk dibentuknya FKUB sampai pada
tingkat kecamatan hal ini sekaligus dalam upaya
peningkatan peran pemerintah daerah dalam
membangun kerukunan beragama di setiap
kecamatan.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Kepulauan
Riau No. 5 Tahun 2011, diamanahkan untuk
membentuk FKUB sampai di tingkat kecamatan.
Untuk itu tahun 2012 FKUB di tingkat kecamatan
sudah terbentuk pada 15 kecamatan, sedangkan di
kabupaten/kota sudah terbentuk 7 FKUB dan I FKUB
di tingkat Provinsi Kepulauan Riau.

MODERASI BERAGAMA | 153


Kepulauan Riau adalah masyarakat yang
heterogen, baik dari segi suku, ras dan agama.
Heterogenitas umat beragama di Kepulauan Riau
merupakan peluang yang sangat strategis dalam
upaya merajut kekuatan umat dengan semangat
kerukunan beragama. Majelis agama-agama yang
ada yaitu Majelis agama Islam (MUI), Majelis agama
Kristen (PGI), Majelis agama Katolik (KWI), Majekis
agama Hindu (PHDI), Majelis agama Budha (WALUBI)
dan Majelis agama Konghucu (MATAKIN), menjadi
wadah fungsional mempersatukan ikatan persatuan
dalam memelihara kerukunan. Untuk memelihara
dan mempertahankan kerukunan beragama majelis-
majelis agama di Kepulauan Riau telah melakukan
ikrar bersama terhadap 5 (lima) kesepakatan yang
menjadi dasar rujukan pemeliharaan kerukunan
beragama di Kepulauan Riau. Lima kesepakatan itu
dituangkan dalam lembaran kesepakatan yang
ditandatangani oleh 6 Pimpinan Majelis Agama yang
ada di Kepulauan Riau.

Rencana Aksi Kerukunan Beragama

Dalam gerakan-gerakan dan rencana aksi


peningkatan kerukunan umat beragama yang selama
ini telah diupayakan baik oleh pemerintah ataupun
oleh umat beragama itu sendiri masih memerlukan
intrik penguatan kualitas kerukunan ke arah yang
lebih kongkrit. Sekurang-kurangnya dengan

154 | H. Muhammad Nasir


mengembangkan nilai religiusitas, nilai keharmonisan,
kedinamisan, kreativitas dan produktivitas.29
Usaha ke arah itu dapat kita lakukan dengan upaya
sebagai berikut:
Pertama, kerukunan hidup umat beragama harus
mempresentasikan sikap religius umatnya, sehingga
kerukunan benar-benar dilandaskan pada nilai
kesucian, kebenaran, dan kebaikan dalam rangka
mencapai keselamatan dan kesejahteraan umat
beragama.
Kedua, kerukunan hidup umat beragama harus
mencerminkan pola interaksi antara sesama umat
beragama yang harmonis, yaitu hubungan yang
serasi, selaras, saling menghormati, saling mengasihi
dan menyayangi, saling peduli yang didasarkan pada
nilai persahabatan, kekeluargaan, persaudaraan, dan
rasa sepenanggungan.
Ketiga, kerukunan hidup umat beragama harus
diarahkan kepada pengembangan nilai-nilai dinamik
yang dipresentasikan melalui suasana hubungan
interaktif, bergerak, bersemangat, dan bergairah
dalam mengembangkan nilai kepedulian, keaktifan
dan kebajikan bersama.

29
Prof.Dr.H.M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama , Merajut Kerukunan

, Keseataraan Gender, dan Demokrasi dalam Masyarakat Multikultural,


Puslitbang Agama, Jakarta, 2006, hal. 12

MODERASI BERAGAMA | 155


Keempat, kerukunan hidup umat beragama harus
diarahkan kepada pengembangan nilai produktivitas
umat beragama. Untuk itu kerukunan ditekankan
pada pembentukan suasana hubungan yang
mengembangkan nilai-nilai sosial praktis dalam
upaya mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan, seperti mengembangkan amal
kebajikan, bakti sosial, badan usaha, dan berbagai
kerja sama sosial ekonomi yang mensejahterakan
umat beragama.
Empat arah pembangunan kerukunan di atas,
dilakukan dengan dukungan yang sungguh-sungguh
dari berbagai pihak terutama pemerintah daerah,
selaku pembuat dan pelaku kebijakan pembangunan
agama di Kepulauan Riau bersama-sama dengan
seluruh komponen masyarakat terutama dengan
umat beragama itu sendiri. Upaya yang pertama
dilakukan melalui pembinaan internal umat
beragama, umpamanya dengan melakukan gerakan
keluarga rukun dalam kapasitas anggota keluarga
yang seiman dan sekeyakinan. Pembinaan ini dapat
dilakukan dengan sosialisasi pengembangan
wawasan kerukunan keluarga dalam masyarakat.
Dalam hidup berkeluarga ditanamkan bahwa
kehidupan merupakan anugerah Allah SWT yang
tidak hanya dimiliki oleh diri sendiri, melainkan juga
dimiliki oleh orang lain. Dalam keluarga, anak-anak,
orang tua dan anggota keluarga lainnya tidak dapat
hidup tanpa kehadiran orang lain. Dengan demikian

156 | H. Muhammad Nasir


keberadaan orang lain merupakan rahmat bagi
tegaknya kerukunan beragama.
Di samping itu untuk memperkuat bangunan
kerukunan pada tingkat strata dan relasi sosial
masyarakat, dikembangkan pula pola pembinaan
terpadu melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan
upaya kerja nyata pada setiap kalangan masyarakat,
di antaranya di kalangan pelajar dan mahasiswa,
kalangan pemuda dan tokoh agama. Pembinaan
terpadu ini dilakukan secara terprogram dan
berkelanjutan baik dilakukan melalui APBN ataupun
melalui subsidi Pemerintah Daerah melalui APBD.
Keinginan masyarakat Kepulauan Riau untuk
hidup rukun merupakan cita-cita yang sangat kuat.
Upaya ke arah itu pemerintah bersama umat
beragama secara integral menyatu padu dalam
bertindak dan berbuat dengan menyusun rencana
dan strategi agar rencana pembangunan agama
khususnya membangun kerukunan benar-benar
terwujud dan dirasakan oleh segenab umat
beragama. Dalam upaya kearah itu sangat
memperhatikan peluang-peluang strategis agar tidak
terdapat kendala yang menyebabkan lemahnya atau
gagalnya bangunan kerukunan di Kepulauan Riau.
Memperkuat bangunan kerukunan di Kepulauan Riau
satu hal yang tak dapat ditawar-tawar. Untuk itu
substansi PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 adalah
menjadi dasar kuat dan menjadi pedoman bagi
Pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan

MODERASI BERAGAMA | 157


fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Strategi
dan langkah yang dupayakan adalah dengan
mengembangkan kebijakan strategis melalui
pendekatan paradigma formal-struktural menjadi
paradigma humanis-strukturan, kemudian dari
pendekatan yang lebih cenderung bersifat top down
ke arah yang bersifat bottom up. Di samping itu
agenda konkrit yang menjadi aksi pemberdayaan dan
penguatan pengembangan dan pemberdayaan
kerukunan umat beragama diarahkan kepada empat
pokok yaitu;
1. Kerukunan hidup umat beragama harus
mempresentasikan sikap religius umatnya,
sehingga kerukunan benar-benar dilandaskan
pada nilai kesucian, kebenaran, dan kebaikan
dalam rangka mencapai keselamatan dan
kesejahteraan umat beragama.
2. Kerukunan hidup umat beragama harus
mencerminkan pola interaksi antara sesama
umat beragama yang harmonis, yaitu
hubungan yang serasi, selaras, saling
menghormati, saling mengasihi dan
menyayangi, saling peduli yang didasarkan
pada nilai persahabatan, kekeluargaan,
persaudaraan, dan rasa sepenanggungan.
3. Kerukunan hidup umat beragama harus
diarahkan kepada pengembangan nilai-nilai
dinamik yang dipresentasikan melalui
suasana hubungan interaktif, bergerak,

158 | H. Muhammad Nasir


bersemangat, dan bergairah dalam
mengembangkan nilai kepedulian, keaktifan,
dan kebajikan bersama.
4. Kerukunan hidup umat beragama harus
diarahkan kepada pengembangan nilai
produktivitas umat beragama. Untuk itu
kerukunan ditekankan pada pembentukan
suasana hubungan yang mengembangkan
nilai-nilai sosial praktis dalam upaya
mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan, seperti mengembangkan
amal kebajikan, bakti sosial, badan usaha, dan
berbagai kerja sama sosial ekonomi yang
mensejahterakan umat beragama.
Di samping empat hal pokok di atas
kerukunan umat beragama di Kepulauan Riau
diharapkan berkembang mulai dari tatanan
kehidupan keluarga, di kalangan pelajar dan
mahasiswa, di kalangan tokoh agama dan
masyarakat serta di kalangan masyarakat
umumnya dan dengan harapan juga
berkembang sampai kepada tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara. []

MODERASI BERAGAMA | 159


3
PARADIGMA PENDIDIKAN
BERWAWASAN KERUKUNAN

Dunia pendidikan saat ini sedang menghadapi


berbagai tantangan yang tidak ringan, baik yang
datang dari luar sebagai akibat globalisasi teknologi
maupun dari dalam yang ada pada sistem pendidikan
itu sendiri. Spstem pendidikan yang berjalan saat ini
belum cukup untuk menjawab permasalahan dunia
global yang semakin marak. Di antara permasalahan
yang dihadapi dunia global adalah menipisnya rasa
kedamaian atau kerukunan beragama dan
bermasyarakat. Kerukunan merupakan kebutuhan
masyarakat global yang tidak dapat ditawar.
Globalisasi semakin hari semakin menggerogoti
tatanan kehidupan dalam segala dimensi, termasuk
tatanan kesatuan dan persatuan masyarakat kita, dan
jika tidak dicermati dengan bijak akan berakibat
kepada berkembangnya sikap kekerasan yang sangat
membahayakan kerukunan hidup beragama,
berbangsa dan bermasyarakat. Oleh sebab itu,
pendidikan kerukunan atau pendidikan multicultural
merupakan salah satu solusi menjawab
permasalahan tersebut. Secara sederhana istilah
multicultural berarti “keberagaman budaya” yang
menunjuk kepada pola interaksi sosial yang multi
kultur.

160 | H. Muhammad Nasir


Sebenarnya terdapat tiga istilah yang
digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang
terdiri keberagaman tersebut, baik keberagaman
agama, ras, bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu
pluralitas, (plurality), keragaman (diversity), dan
multicultural (multicultural). Ketiga istilah itu pada
dasarnya tidak mempresentasikan hal sama
walaupun sama-sama mengacu kepada adanya
kebinekaan. Mengutip apa yang katakan oleh Dr.
Maria Montesori, penerima hadiah nobel
perdamaian, yang berusaha derngan visinya yang
jelas, ia mengatakan bahwa untuk menyikapi
persoalan anti kekerasan atau upaya
kerukunan/perdamaian dunia mesti lewat
pendidikan. Baginya, pendidikan anti kekerasan pada
hakekatnya adalah kurikulum yang didesain pada
level pembangunan yang variatif dan pada akhirnya
akan mencapai puncaknya pada terbentuknya the
science of peace. 1
Konsep ini, lebih lanjut dikatakannya, harus
dikultivasi dalam ruangan kelas kita dengan
kombinasi skill akademik yang mengarah pada
intellectual understanding, dengan mewariskan
latihan kemampuan membuat rukun/perdamaian.

1) Scoot Lash dan Mike Featherstone (ed ), Recognition And


Difference: Politics Identity, Multikultural (London Sage Publicatio,
2002, hal 2-6

MODERASI BERAGAMA | 161


Kombinasi demikian merupakan sebuah keniscayaan
yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran,
karena jika tidak pendidikan telah gagal melakukan
pekerjaannya. Demikian, dalam bahasa puitis,
Montesori menyatakan, “Avoiding war is work of
politics establishing peace is the work of education”.30
Jika kerukunan atau perdamaian atau sikap
anti kekerasan merupakan kerja pendidikan, maka
pertanyaan kemudian yang muncul adalah: what is
peace education? Untuk menjawab masalah ini,
menarik dikutip pernyataan Lea Endres,31 dalam
artikelnya, What is Peace Education? Bagi Endres,
pendidikan kerukunan secara inheren merupakan
kajian interdisipliner sehingga paling tepat disebut
sebagai perspektif tentang pendidikan dan bukan
mata pelajaran tertentu (a perspective on education
rather than one distinct curriculum subject). Sebagai
agen baru dalam membangun budaya damai atau
rukun, pendidikan kerukunan merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan untuk melakukan
perubahan sosial.
Terdapat banyak pengertian mengenai
pendekatan ini sehingga paling tepat dipahami
sebagai istilah umum yang digunakan oleh para

30.Perjelasan dan pernyataan Montesori ini dikutip dari Peace Education Discussion
Forum, The Peace Movemen, History, Goals, Personalities, h. 1.
31 Lea Endres, “What is Peace Education”, 1-
2

162 | H. Muhammad Nasir


praktisi pendidikan dan kegiatan-kegiatan yang
terfokus kepada penyebaran ilmu pengetahuan
tentang konsep ini diharapkan dapat membangun
kerukunan atau perdamaian serta memperkenalkan
sikap toleran dan empati kepada para pelajar serta
kemampuan untuk bekerja sama dan menemukan
resolusi konflik sehingga mereka (para pelajar)
memiliki kemampuan dan motivasi secara individual
dan kolektif untuk hidup damai dengan orang lain.
Sebagai contoh, dalam konteks pluralitas
agama, katakanlah misalnya, agama Islam,
32
meminjam penjelasan Hasan Hanafi, ia hanya dapat
dipahami dengan menghayati perasaan umatnya,
memahami esensi dasarnya dan meninjau secara
mendalam sejarah tata hukumnya. Hidup bersama
masyarakatnya, berbagi nasib dengan mereka serta
merasakan segenap kegelisahan dan harapan
mereka, adalah prasyarat bagi para intelektual untuk
mengetahui inti kehidupan mereka. Simpati yang
tulus pada fenomena yang dipelajari tanpa
menjatuhkan vonis terlebih dahulu akan sangat
membantu dalam menganalisis komponen-
komponennya, menelusuri kemurniannya,
mengetahui sebab-sebabnya, dan merancang

32 Hasan Hanafi, “ Violence in Contemporary Islam ”, Artikel

disampaikan pada Konverensi International, Peace and Global


Transformation, Bali, 14-19 Maret 1986, h. 1.

MODERASI BERAGAMA | 163


pemecahan masalahnya. Demikian pula sebaliknya
terhadap agama-agama yang lain.
Memang sedikit ada masalah terhadap
agama dalam masyarakat pluralistik, terutama
ketika agama dipahami dalam konteks parsial,
antara das sein dan das sollen atau antara normatif
dan historis. Beberapa intelektual dan tokoh-tokoh
agama sepakat bahwa agama memiliki peranan
yang sangat penting dalam mendukung dan
menegakkan perdamaian, akan tetapi, sebagian
ilmuan berpendapat bahwa agama justru merupakan
sumber konflik dan kekerasan. Juergensmeyer,33
misalnya, dalam kata pengantar bukunya, Terror in
the Mind of God: The Global Rise of Relegious Violence,
menyatakan, “Bagian pertama buku ini berisi bab-
bab tentang kaum Nasrani di Amerika yang
mendukung pemboman klinik aborsi dan aksi militan
seperti pemboman gedung federal Oklahoma City;
kaum Katolik dan Protestan yang mendukung aksi
terorisme di Irlandia Utara; kaum Muslimin yang
dihubungkan dengan pemboman World Trade
Center di kota New York dan serangan Hamas di
Timur Tengah; kaum yahudi yang mendukung
pembunuhan perdana Menteri Yitzhak Rabin dan

33Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The


Global Rise of Relegious Violence, (California: University of California
Press, 2000), h. 13.

164 | H. Muhammad Nasir


serangan atas kuburan Wali di Herbon; kaum Sikh
yang terlibat dalam pembunuhan Perdana Menteri
India, Indira Gandhi dan Menteri Utama Punjab Beant
Singh; kaum Budhis jepang yang tergabung dalam
kelompok yang dituduh melakukan serangan gas
syaraf di kereta bawah tanah Tokyo”.
Fenomena das sein dan das sollen demikian
memerlukan pengkajian yang bersifat integral,
komprehensif, dan membutuhkan analisis
epistemologis yang mendasar, terutama
menyangkut pemahaman aspek-aspek kekerasan
dan anti kekerasan dalam doktrin keberagamaan.
Dalam agama Kristen, misalnya, ada adagium “Extra
ecclesia nulla salus”, di luar gereja tidak ada
keselamatan. Dalam Islam, Al-Qur’an menegaskan:
Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
Islam. Apakah Konstatasi-konstatasi demikian
memiliki pemaknaan tunggal atau memungkinkan
pengembangan interpretasi? Menjawab pertanyan
ini, khususnya interpretasi agama Kristen, saya ingin
mengutip pendapat Hans Kung,34 dalam artikelnya,
Christianity and World Religions: “The Dialogue with
Islam as One Model. Menurutnya, pernyataan “Extra
ecclesia nulla salus”, yang telah berjalan kurang lebih

34Hans Kung, Christianity and World Religions:


“The Dialogue
with Islam as One Model”, dalam The Muslim World, Vol.. LXXVII, NO.
2 (April 1997), h. 84-85.

MODERASI BERAGAMA | 165


1200 tahun, sekurang-kurangnya bagi orang-orang
Katolik, telah membuat mereka tidak mengukuhkan
klaim Islam. Namun dekade-dekade belakangan ini,
teologi Katolik telah mencoba untuk memperoleh
“pemahaman baru terhadap “dogma tambahan”
yang tidak kompromistis tadi. Demikian ia mengutip
konsili Vatikan. Kedua yang secara gamblang
menyatakan: “Mereka yang bukan dikarenakan
kesalahan mereka sendiri, tidak mengetahui injil
Kristus atau Gerejanya, namun mereka mencari
Tuhan dengan hati yang jujur, dan digerakkan oleh
rahmat, berusaha dalam tindakan-tindakan mereka
melaksanakan kehendaknya sebagaimana mereka
mengetahui hal itu melalui bisikan kesadaran mereka
sendiri–maka mereka pun akan memperoleh
keselamatan yang kekal.” (Art 16). Pernyataan yang
sama diungkapkan oleh Rahner, seorang teolog
Katolik yang berpengaruh pada abad ini, yang intinya
menolak adanya asumsi bahwa Tuhan mengutuk
mereka yang tidak berkesempatan meyakini injil.
Kata Rahner, mereka yang mendapatkan anugerah
Ilahi walaupun tidak melalui Yesus, tetap akan
mendapatkan keselamatan.
Di Indonesia, model pemikiran seperti di atas
mendapat bentuknya yang signifikan pada sosok
pribadi Cak Nur. Dalam bab pertama bukunya, Islam
Doktrin dan Peradaban, dengan jelas terlihat sikap
dan semangat inklusivitas ajarannya, melalui konsep
tauhid rabbaniyah-nya. Menurut Cak Nur, tauhid,

166 | H. Muhammad Nasir


atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, adalah
inti semua agama yang benar. Setiap
pengelompokan umat manusia telah pernah
mendapatkan ajaran tentang ketuhanan Yang Maha
Esa, melalui para Rasul Tuhan. Karena itu, terdapat
titik temu [kalimah sawa’] antara semua agama
manusia, dan orang-orang muslim diperintahkan dan
mengembangkan titik temu itu sebagai landasan
hidup bersama. Pengembangan titik temu ini
dimungkinkan, karena agama atau sikap
keberagamaan yang benar dalam paradigma Cak Nur
adalah sikap berserah diri kepada Tuhan
[“berislam”], dan konsekuensi kepasrahan ini
melahirkan bentuk pengakuan yang tulus bahwa
Tuhan-lah satu-satunya sumber otoritas yang serba
mutlak. Ini artinya, bahwa semua wujud yang lain
adalah relatif atau nisbi belaka. Karena itu, agama
tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun
seseorang mengaku sebagai “muslim” atau
penganut “Islam” adalah tidak benar dan tidak bakal
diterima oleh Tuhan.
Dengan demikian, secara teologis, ber-
“Islam” bagi Cak Nur, adalah sesuatu yang alami dan
wajar terhadap manusia, dan berdampak pada
bentuk hubungan yang serasi antara manusia dan
alam sekitar, sebab alam sekitar ini semuanya telah
berserah diri serta tunduk, patuh kepada Tuhan
secara alami pula. Model pemahaman seperti ini,
dalam konteks pendidikan kerukunan, harus

MODERASI BERAGAMA | 167


diajarkan dalam proses pembelajaran tidak hanya
bermain pada wilayah normatif, tetapi sekaligus
diimplementasikan pada wilayah historis dan
kehidupan praktis sekaligus. Harris dan Ian, “If one is
concerned about developing self respect, appreciation
of others, concepts of justice and non violence, they
must olso be part of the learning process.” Filosofi
ungkapan ini meletakkan guru, dosen, atau pendidik,
dalam peranannya sebagai seorang fasilitator. Bukan
seorang yang memegang otoritas mutlak yang
menciptakan sebuah pembelajaran yang berpusat
pada seseorang, melainkan juga mesti
dikembangkan menciptakan sebuah pembelajaran
yang berpusat pada lingkungan di luar dirinya, yaitu
bagaimana anak hidup bersama dengan orang lain. []

168 | H. Muhammad Nasir


4
KERUKUNAN SOSIAL DAN
KEMULIAAN

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dalam


hidup ini adalah manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia tidak bisa hidup di bumi tanpa adanya
kehadiran orang lain. Kita lahir ke bumi adalah karena
adanya orang lain, yaitu ayah dan ibu. Kita dibesarkan
sampai seperti sekarang ini adalah karena adanya
bantuan orang lain di sekeliling kita. Hidup bersama
merupakan fitrah manusia. Karena itulah menurut
ahli antropologi, manusia adalah makhluk yang hidup
berkelompok atau Zoonpoliticum. Kehidupan ini
adalah milik banyak orang. Tidak ada kemampuan
manusia untuk mengatur kehidupan ini tanpa
pertolongan orang lain. Kehidupan bersama itu
merupakan kehendak penciptaan yang Maha Agung.
Allah SWT menciptakan manusia dengan
berbeda suku, bangsa, dan warna kulit, adalah
karunia yang tidak ternilai. Taman bunga dipandang
indah karena banyaknya warna dan macam bunga
yang berbeda. Kalaulah bunga diciptakan satu jenis
saja tentu akan mengundang kebosanan bagi orang
yang melihatnya. Ternyata seragam itu kurang indah.
Keindahan itu muncul karena adanya berbagai jenis
dan adanya perbedaan. Inilah jawaban mengapa
Allah SWT ciptakan manusia dalam beragai suku dan

MODERASI BERAGAMA | 169


bangsa. Sebagaimana yang dijelaskan-Nya dalam
Alquran surat Al-Hujarat 13:

Artinya: Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami


menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (Qs. Al-Hujarat 13).

Menghargai orang lain walaupun di luar


agama kita merupakan sikap hidup mulia di hadapan
Allah SWT. Kemuliaan itu adalah penghargaan yang
paling tinggi bagi orang yang beriman. Ciri kemuliaan
manusia bukan karena jabatan, kekuasaan, harta
ataupun kebangsawanannya melainkan karena
ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sikap hidup yang
berdasarkan takwa mendorong manusia menjadi arif
dan bijaksana. Ia memandang perbedaan manusia
dan seluruh makhluk ciptaan Allah SWT merupakan
karunia yang besar. Dengan itu akan menimbulkan
sikap saling menghargai, saling melindungi dan saling
menjaga eksistensinya agar seluruh makhluk dapat

170 | H. Muhammad Nasir


hidup, tumbuh, dan berkembang dengan layak di
bumi ini.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat
insan bertaqwa akan memelihara hubungan baiknya
dengan sesama manusia. Tidak saling merendahkan
dan menjatuhkan, tidak saling menghujat dan
mengumpat. Sikap hidupnya terhindar dari
meremehkan orang lain walaupun orang lain itu
berbeda paham dan berbeda agamanya. Sebab itulah
sebelum surat Al-Hujarat ayat 13 di atas diturunkan,
sebuah cuplikan peristiwa kecil terjadi di hadapan
Rasulullah SAW, peristiwa itu terjadi ketika waktu
sholat sudah tiba, Rasulullah SAW memerintahkan
Bilal Bin Rabah yang berkulit hitam untuk
mengumandangkan azan. Setelah selesai azan
terdengar kegaduhan kecil sekelompok orang dan
berbisik-bisik memperbincangkan mengapa
Rasulullah SAW memerintahkan Bilal Bin Rabah yang
berkulit hitam untuk mengumandangkan azan dan
bukan dari golongan atau suku Qurais untuk
mengumandangkannya. Maka peristiwa itu
menyebabkan turunnya surat Al-Hujarat ayat 13 di
atas.
Dari cuplikan kecil itu Islam mengajarkan
bahwa manusia tidak boleh dipandang dan
dibedakan lalu dikucilkan kalau hanya mereka tidak
sebangsa dan sama dengan kita. Abu Zahra
mengatakan, sesungguhnya perkenalan itu
mendorong satu kelompok untuk bisa menimba

MODERASI BERAGAMA | 171


manfaat dari kelompok lain. Kebaikan seluruh bumi
ini, tergantung kepada anak bumi ini yakni manusia.
Satu kelompok tidak memiliki kelebihan dibanding
kelompok lain berdasarkan daerahnya. Seluruh
permukaan bumi ini memiliki perbedaan yang
manfaatnya dinikmati umat manusia. Tidak ada jalan
untuk meraih kemanfaatan itu kecuali dengan saling
mengenal antara manusia. Adanya perbedaan
bangsa/daerah/warna kulit adalah agar kandungan
bumi ini setiap penjuru bisa digali sehingga
manfaatnya bermuara kepada semua orang. Dalam
Qs. 2: 29 Allah SWT berfirman:

Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang


ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs. 2: 29).

Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda,


“Hendaknya setiap orang meninggalkan kebanggaan
berdasarkan bangsa, karena kebanggaan itu adalah
salah satu bara api neraka Jahannam, atau dia akan
sangat hina di sisi Allah SWT dibandingkan kumbang
yang mencium bauh busuk dengan hidungnya“.

172 | H. Muhammad Nasir


Mencintai kedamain merupakan ciri orang
beriman, karena kedamaian dan ketenangan
merupakan wujud kebahagiaan yang dicita-citakan.
Tidak ada satu pun manusia yang tidak ingin bahagia.
Oleh karena itulah doa yang selalu kita ucapkan
setiap berdoa supaya kita bahagia dunia dan akhirat:
Rabbana aatina fidunya hasanah, wafilakhirati hasana
waqina azabannar.
Islam adalah agama rahmatan llilalamin.
Agama di mana ketika dia datang di bumi membawa
suasana sejuk dan damai yang menyentuh titik nadi
kehidupan sosial yang sedang dirundung malang.
Islam datang ketika masyarakat dunia sedang
kehilangan arah dan jati diri. Masyarakat ketika itu
diwarnai oleh kehidupan kanibalisme. Kehidupan
yang hanya mementingkan diri dan suku atau
kelompok. Maka kalau kita kembali mereview
sejarah ketika Rasulullah SAW beserta para
sahabatnya hijrah ke Madinah. Pertama kali yang
beliau lakukan adalah membangun sistem
masyarakat yang berbudaya, beradab, rukun, dengan
azas toleransi yang aman, nyaman, dan damai.
Rasulullah SAW membangun masyarakat yang dirajut
dengan nilai kebersamaan, ukhuwah, dan kasih
sayang, tidak membedakan suku ras dan agama.
Mereka hidup dalam kota yang damai, di mana kota
yang dulunya bernama yasrif diubah Rasulullah SAW
menjadi kota Madinah al-munawwarah.

MODERASI BERAGAMA | 173


Di kota Madinah Nabi membangun dasar-
dasar kerukunan sebagai cita-cita masyarakat ketika
itu: nilai-nilai musyawarah, keadaban, dan saling
menghargai, menjadi ciri kehidupan sosial
masyarakat. Dari peradaban inilah lahir peradaban
dunia yang mencintai kedamaian. Karena watak Islam
adalah damai, maka mencintai kedamaian
merupakan kemuliaan. Mulia sebagai makhluk Tuhan
dan mulia sebagai makhluk sosial. []

174 | H. Muhammad Nasir


5
SPIRIT HIJRAH UNTUK MODERASI
BERBANGSA DAN BERAGAMA

Setiap satu Muharram umat Islam Indonesia


memperingati dan merayakan tahun baru Hijrah
sebagai momentum sejarah yang mengandung
makna penting bagi umat beragama (baca: Islam).
Pada tahun 2020 jatuh pada tanggal 20 Agustus 2020,
di mana bangsa Indonesia dan bangsa lain di dunia
sedang dilanda Pandemi Covid-19. Tahun Baru Hijrah
merupakan momentum penting dalam sejarah
peradaban Islam. Begitu pentingnya momentum ini
sampai-sampai Umar Ibnu al-Khattab menjadikan
tahun Hjrah sebagai tahun kebangkitan Islam menuju
peradaban baru. Dalam sejarah peradaban Islam
Hijrah dimulai sejak Rasulullah SAW pindah dari kota
Makkah ke kota Madinah. Sejak itulah dimulai
pergerakan baru Islam dengan menyusun strategi
pembangunan masyarakat melalui dasar-dasar
aqidah dan syariat secara terpadu dan seimbang.
Kemudian kedua dasar itu menjadi pedoman
bersama peletakan nilai-nilai peradaban modern
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Peristiwa Hijrah merupakan tonggak sejarah
yang syarat dengan nilai. Baik nilai-nilai ketuhanan,
nilai kemanusiaan, dan nilai kemasyarakatan.
Keterpaduan nilai-nilai itulah yang menjadi sumber

MODERASI BERAGAMA | 175


inspirasi moral dalam menata dan mengembangkan
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi
peradaban manusia. Sebab itu hijrah merupakan
semangat reformasi dan bahkan revolusi untuk
perubahan. Di antara semangat revormasi dan
revolusi yang ditawarkan dalam peristiwa Hijrah
adalah memperkokoh dan memantapkan sikap dan
perilaku berbangsa dan beragama yang wasathiyah
atau moderat. Wasathiyah yang berasal dari kata
“wasath” yang berarti adil, terbaik, atau
pertengahan, sedangkan moderat dari kata
moderation, moderasi dan sering digunakan dalam
diskusi dengan istilah moderator yaitu orang yang
menjadi penengah jalannya diskusi. Wasathiyah atau
moderat merupakan karakter umat Islam yang
sangat menonjol sebagaimna yang disebut dalam Al-
Quran dengan “Umatan wasatha” (Al-Baqarah: 143).
Yang artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan (pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa
yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan
sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan

176 | H. Muhammad Nasir


imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia. (Qs. Al-Baqarah 143).
Sikap dan perilaku berbangsa dan beragama
yang wasathiyah atau moderat merupakan cerminan
watak yang mencintai kemajemukan dan keragaman.
Watak ini akan menumbuhkan sikap keterbukaan
dengan sesama dan mendorong seseorang untuk
bekerja sama dalam mengatasi persoalan-persoalan
yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat. Tentu dengan prinsip yang tegas dan
jelas, yaitu bekerja sama dalam hal-hal yang menjadi
kesepakatan untuk diselesaikan secara bersama
dengan bersikap toleran terhadap perbedaan yang
ada sebagaimana dalam konsep usuliyah dikatakan,
“Nata’wanu fima ittafaqna wa ya’ dzaru ba’dhuna
ba’dhan fima ikhtalafna” (Dr. Mukhlis M. Hanafi, MA:
2017).
Watak dan sikap wasathiyah atau moderat
inilah yang telah terbukti secara normative-ideologis
dapat memelihara teguhnya harmonisasi kehidupan
berbangsa di Indonesia sampai saat ini. Kita tahu
bahwa kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
seperti Indonesia , adalah kehidupan yang dibangun
atas kebersamaan, baik bersama dalam keragaman
maupun dalam perbedaan. Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang majemuk dan plural. Terdapat banyak
agama, suku dan bahasa yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Keragaman demikian merupakan
potensi perekat yang selama ini di junjung tinggi yang

MODERASI BERAGAMA | 177


diikat dan tersimpul dalam simbol kebinekaan, yaitu
“Bhinneka Tunggal Ika”.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti
beraneka ragam budaya, etnis, dan agama. Namun
tetap bersatu dalam naungan rumah bangsa
Indonesia, merupakan patri. Kita satu sebagai sebuah
bangsa, namun beraneka ragam dalam suku, budaya
dan agama, kesatuan dalam keragaman (unity in
diversity), dan beragam dalam kesatuan. Inilah
pandangan hidup bangsa Indonesia yang kita anut
dan kita pelihara sampai hari ini.
Oleh sebab itu sejak awal kemerdekaan,
bangsa Indonesia telah memahami bahwa
kebinekaan bangsa Indonesia adalah bersifat dinamis
dan visioner yang memiliki nilai kebangsaan dan
kemanusiaan. Bukan hanya semata menunjuk pada
realitas antropologis dan geografis bahwa penduduk
nusantara ini tersebar di berbagai pulau dengan
ragam bahasa, budaya, dan agama. Lebih dari itu,
juga tekad untuk bersatu memajukan dan
mensejahterakan anak-anak bangsa dengan tetap
menghargai identitas masing-masing etnis dan
agama. Namun belakangan ini, prinsip-prinsip
kebinekaan seakan-akan mulai mengendur, dan
semangat kebersamaan seakan-akan terpecah
menjadi kubu-kubu kekuatan yang sulit dikendalikan.
Masing-masing kelompok kekuatan politik, ekonomi
dan budaya, kelompok intelektual dan birokrat, dan
antara kelompok masyarakat kecil dan elit sulit untuk

178 | H. Muhammad Nasir


menyatukan pandangan, sehingga standar capaian
pembangunan bangsa seakan-akan tidak lagi dirujuk
secara pasti. Dalam kondisi seperti itu tentu kita
sepakat bahwa kita harus kembali memperkokoh
kebinekaan bangsa ini dengan menghayati dan
mengimplementasikan makna dan nilai-nilai moral
yang terkandung dalam peringatan Tahun Baru Hijrah
yang kita laksanakan.
Momentum Hijrah harus menjadi edukasi
kebangsaan, untuk mengembalikan semangat baru
dalam menata dan merawat rumah Indonesia yang
kita cintai ini. Merawat Indonesia dengan sikap hidup
harmoni dan kompromi dalam satu komitmen
bersama adalah suatu keniscayaan yang tak dapat
diabaikan. Kita harus kembali menyatukan titik dan
cara pandang bahwa Pancasila adalah sebagai
landasan bersama (‘kalimatun sawa’ ) untuk
menyelesaikan persoalan bangsa yang kita hadapi.
Apa yang kita hadapi hari ini, baik ancaman dunia
kesehatan kita akibat Pandemi Covid-19 yang belum
kunjung berakhir, maupun ancaman resesi ekonomi,
pendidikan, dan sebagainya. Kesemuanya dapat kita
atasi apabila seluruh potensi bangsa ini kembali
memperkuat dan menyatukan cara pandang dalam
pendapat yang berbeda. Potensi bangsa kita yang
terserak akbibat pertikaian argumentasi dan konklusi
harus dipungut kembali. Keluasan dan keluwesan
jiwa bangsa harus dipupuk agar dapat menerima
kelebihan dan kekurangan orang lain.

MODERASI BERAGAMA | 179


Dengan demikian, momentum Hijrah tahun
ini, kita harapkan agar nilai-nilai moral yang
terkandung di dalamnya, dapat kita jadikan edukasi
kebangsaan dan sekaligus sebagai sikap hidup
berbangsa dan beragama, dan dapat pula
membangkitkan kembali semangat kebersamaan
dalam perbedaan, yaitu dengan memperteguh
wasathiyah atau moderasi berbangsa dan beragama
sekaligus. Hal itu sekurang-kurangnya dapat
mendorong bangsa ini untuk bangkit kembali dari
keterpurukan yang sedang kita hadapi saat ini dan
Indonesia Maju segera dapat kita raih. Amin. Allahu
‘alam bisawab. []

180 | H. Muhammad Nasir


6
MENUJU MODERASI
SOSIAL-SPIRITUAL

Di tengah bergulirnya pola tatanan kehidupan


baru (New Normal), dan mencermati kondisi sosial
politik, ekonomi dan hankam di belahan dunia,
khususnya Indonesia saat ini, banyak para pakar
memprediksi bahwa masyarakat Indonesia hari ini
sedang dilanda krisis ketakutan dan kecemasan atau
yang kita sebut sebagai kegundahan sosial (sosial
anxiety). Hal ini ditunjukkan oleh indikasi kehidupan
sosial yang semakin hari semakin terasa tidak santun,
tidak akrab, dan tidak bersahaja dan selalu dibayangi
dengan ancaman dis-integrasi sosial yang melelahkan.
Mulai dari krisis ketakutan dan ketidakadilan sampai
krisis beragama dan berdemokrasi. Untuk itu di
antara alternatif solusi yang dapat ditawarkan untuk
menjadi penyejuk dalam kondisi sosial seperti itu
adalah membangun dan memperkokoh moderasi
sosial–spiritual.
Moderasi sosial-spiritual adalah moderasi
yang dibangun dan didasari dengan nilai sosial-
spiritual (agama) secara terpadu. Inti dari nilai
tersebut adalah nilai suci agama yang dianut
masyarakat--dalam artikel ini yang kita maksudkan
adalah agama Islam. Ini penting, agar agama
(baca: Islam) tidak hanya berhenti pada tataran

MODERASI BERAGAMA | 181


simbol dan ritual yang bersifat personal, melainkan
juga menyentuh wilayah publik yang lebih plural.
Dalam masyarakat majemuk atau plural
seperti Indonesia, yang mana di dalamnya hidup
berbagai suku, bangsa, ras dan agama. Maka
sangatlah penting untuk meletakkan kembali dasar
dan prinsip moderasi sebagai perekat keharmonisan
dan kedamaian dalam kehidupan sosial. Dalam
prinsip moderasi kelompok satu dengan yang lain
harus mengambil sikap adil dan seimbang dalam
bersikap untuk bertindak dalam pergaulannya.
Kemajemukan adalah kekayaan, yang dijadikan
modal memperkuat tatanan sosial. Di samping itu
harus diperkuat pula dengan sikap saling percaya
(mutual trust) dan saling menghargai (mutual
respect) antara sesama warga masyarakat.
Sebenarnya dalam masyarakat seperti Indonesia
telah lama sikap ini dikembangkan. Namun belum
menyentuh secara substansi dalam kehidupan sosial.
Dalam kehidupan bernegara, Indonesia meletakan
dasar kebersamaan melalui prinsip-prinsip
demokrasi. Di bawah prinsip demokrasi bangsa
Indonesia meletakkan sikap menerima kenyataan
dalam masyarakat, bahwa keinginan seseorang tidak
mungkun semuanya diterima oleh semua orang
untuk dilaksanakan, melainkan hanya sebagian.
Sebab, salah satu azas demokrasi adalah “partial
functioning of ideas”, berlakunya hanya sebagian dari
ide-ide, karena selebihnya datang dari orang lain

182 | H. Muhammad Nasir


sesama masyarakat. (Dr. Nurcholish Madjid, MA:
2003).
Menerima kenyataan (accept the fact)
merupakan sikap adaptif yang fleksibel, luas dan
sangat dijunjung tinggi oleh moral Islam. Tentu
dengan batasan tertentu dan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai suci ajaran agama itu sendiri.
Pendek kata, seluruh aspek kehidupan sosial harus
dikendalikan dengan norma-norma dan semangat
spiritual agama secara komprehensif dan seimbang.
Karena hal itu akan mendorong tegaknya kedamaian
dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Prinsip-
prinsip inilah kemudian yang kita perkuat dengan
cita-cita demokrasi menuju moderasi sosial-spiritual.
Secara normatif Islam mempunyai konsen
yang sangat mendasar terhadap perdamaian,
keadilan dan kemaslahatan. Dalam hal ini terdapat
dua corak yang ditawarkan yaitu: Pertama,
perdamaian, keadilan dan kemaslahatan dengan
corak pasif. Yaitu setiap muslim sejatinya
menginternalisasikan sikap kedamaian, keadilan, dan
kemaslahatan dalam jiwanya. Adanya kedamaian,
keadilan, dan keselamatan dalam setiap individu
menjadi modal untuk menghayati dimensi
kemanusiaan. Biasanya kedamaian, keadilan dan
keselamatan dalam jiwa, tumbuh melalui proses
ritualisme dan praktik-praktik peribadatan yang akan
memperkukuh komitmen dan visi bahwa setiap
manusia di hadapan Tuhan adalah sama, setara, dan

MODERASI BERAGAMA | 183


sejajar. Ketakberdayaan makhluk membuktikan
keharusan untuk menghargai orang lain secara
manusiawi dan adil (moderat). Apa pun perbedaan
agama, ras, dan suku semestinya tidak merobohkan
dimensi kemanusiaan yang telah tertancap dalam jati
diri masing-masing.
Kedua, perdamaian, keadilan dan
kemaslahatan yang bercorak aktif. Yaitu setiap
muslim sejatinya dapat menebarkan kedamaian,
keadilan, dan kemaslahatan dalam kehidupan sosial
yang pluralistik. Perdamaian, keadilan, dan
kemaslahatan tidak hanya milik personal, tetapi juga
milik sosial yang bersifat inpersonal dan
transpersonal. Sebab itu kehadiran agama (baca:
Islam) semestinya bisa mendamaikan di antara dua
persengketaan dengan adil atau moderat. Islam juga
memberikan resep dan tekanan bahwa dalam
melakukan upaya keselamatan, perdamaian dan
keadilan mesti mempedomani spiritualitas (ajaran
suci) agama sebagai ukuran utamanya.
Ke sinilah arah yang kita tuju. Yaitu menuju
moderasi sosial-spiritual, yang menegakkan sendi-
sendi keadilan, kedamaian dan kemaslahatan
bersama secara seimbang dan demokratis sebagai
inti agama. Inti keberagamaan adalah kemampuan
menunjukkan wasathiyah (moderasi) dalam setiap
perilaku sosial secara seimbang dan utuh sehingga
melahirkan wajah-wajah kehidupan sosial yang
damai, menebarkan rahmat pada semesta alam,

184 | H. Muhammad Nasir


serta menebarkan nilai kemanusiaan dalam fitrah
yang sebenarnya.
Nah, sekali lagi dalam kondisi sosial seperti di
atas, moderasi sosial-plural sangat penting dan tepat.
Karena dalam menghadapi tantangan yang cukup
serius demikian, di antaranya gejala kekerasan sosial,
perang dan konflik yang menghiasi kehidupan
berbangsa dan beragama serta ketidakadilan dan
diskriminasi sosial yang secara nyata
mengatasnamakan demokrasi bahkan agama.
Moderasi sosial-spiritual tampil sebagai solusi dan
cara pandang baru terhadap tantangan yang sedang
dihadapi. Moderasi sosial-spiritual akan memberikan
solusi dari kesenjangan yang terjadi, antara nilai-nilai
universal yang idealistik dengan praktik kehidupan
sehari-hari yang bersifat partikularistik. Untuk itu,
kehidupan sosial yang moderat perlu diperkokoh
agar kehidupan berbangsa dan beragama tetap
sejalan dalam sistem demokrasi bangsa yang sedang
giatnya membangun masa depan. Amin. []

MODERASI BERAGAMA | 185


7
MEMBANGUN INDONESIA RUKUN
Dalam peringatan Hari Amal Bhakti ( HAB )
Kementerian Agama RI ke-75 Tahun 2021 , tanggal 3
Januari 2021, mengangkat thema Indonesia Rukun .
Thema ini ditetapkan dalam Edaran Sekretaris Jenderal
Kementerian Agama RI Nomor : 69 Tahun 2020. Thema
ini sangat inspiratif dan banyak mengundang
pertanyaan diantaranya adalah sejauh mana peran
Kementerian Agama dalam membangun kerukunan
beragama di Indonesia. Tentu tidak diragukan lagi
bahwa Kementerian Agama salah satu Kementerian
Lembaga pemerintah yang sejak berdirinya telah teruji
keberhasilannya membangun kerukunan di Indonesia.
Hal ini terbukti sampai saat ini umat beragama di
Indonesia masih utuh dalam semangat yang kokoh
dalam bingkai NKRI. Dan selama ini yang kita amati
bahwa toleransi, dialog dan kerjasama antar umat
beragama telah cukup kokoh berjalan sehingga
harmonisasi dan kestabilan pembangunan nasional
dapat terlaksana dengan baik.

Secara etimologik ‘rukun’ berasal dari bahasa arab


yang berarti tiang, dasar dan sila. Selanjutnya
perkembangannya dalam bahasa Indonesia kata ‘rukun’
sebagai kata sifat yang berarti cocok, selaras, sehati dan
tidak berselisih ( John .M. Echols dan Hasan Shadily :
1994 ). Sementara dalam bahasa ingris disepadankan
dengan kata harmonius atau concord. Dengan demikian

186 | H. Muhammad Nasir


kerukunan berarti kondisi sosial yang ditandai oleh
adanya keselarasan, kecocokan, atau ketidak-
berselisihan , harmony, concordance.

Dalam literatur ilmu sosial, kerukunan diartikan


dengan istilah integrasi yang merupakan lawan dis-
integrasi yang berarti kondisi dan proses tercipta dan
terpeliharanya pola-pola interaksi yang beraragam
diantara unit-unit atau sub sistem yang otonom dan
mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai
oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling
menghormati dan menghargai, serta sikap saling
memaknai kebersamaan ( HM. Ridwan Lubis : 2004 ).

Belakangan ini , dengan terjadinya perubahan


struktur masyarakat global, regional dan nasional,
bangsa Indonesia semakin di tantang dengan berbagai
problematik yang cukup berat, tidak hanya problematik
kerukunan beragama dan bahkan sampai kepada
kerukunan bernegara. Untuk itu insfirasi thema HAB
Kementerian Agama ke 75 mengingatkan kita kembali
kepada semangat kerukunan berbangsa dan beragama
yang selama ini kita rawat dengan baik.

Kerukunan berbangsa dan beragama


merupakan salah satu pondasi pembangunan nasioanl
dalam mewujudkan kedamaian dan keharmonisan
dalam masyarakat . Ia adalah perekat keragaman dan
pluralitas budaya yang sangat efektif. Karena itu
kerukunan menjadi komitmen bersama bangsa
Indonesia sehingga pemerintah ( Kementerian Agama )

MODERASI BERAGAMA | 187


menjadikan kerukunan beragama menjadi program
strategis pembangunan nasional, sebagaimana yang
dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional ( RPJMN ) 2020-2024.

Kerukunan adalah modal dasar yang sangat


esensial dalam proses pembangunan bangsa. Hal ini
sangat penting disebabkan karena pembangunan
merupakan agenda dan upaya dalam meningkatkan
kesejahteraan seluruh warga masyarakat tanpa kecuali,
sebab itu mutlak diperlukan iklim saling mempercayai
atau mutual trust antar seluruh warga. Manakala iklim
ini tidak terpelihara dengan baik maka proses
pembangunan dengan sendirinya akan sia-sia. Oleh
karena itu baik pemerintah maupun masyarakat ,
hendaknya secara terus-menerus tanpa henti
membangun ketahanan masyarakat atau early warning
system yang harus diperkuat dalam menghadapi
tantangan global sebelum terjadi konflik dan peristiwa
dadakan yang hanya akan merugikan masyarakat
secara keseluruhan.

Dalam proses pengembangan pola interaksi


sosial kerukunan mempunyai fungsi strategis dan
penting bagi penguatan dan pemeliharaan struktur
sosial masyarakat , fungsi itu dapat dijelaskan
diantaranya bahwa kerukunan dapat menjadi katup
pengaman ( safety valve ) bagi disintegrasi soaial dan
dapat pula mereduksi konflik , disamping secara
fungsional–struktural berfungsi membangun
keseimbangan masyarakat. Dalam berbagai kontek

188 | H. Muhammad Nasir


dimensi kehidupan masyarakat di Indonesia makna dan
fungsi kerukunan dapat dimaknai sebagai berikut :
Pertama ; Dalam kontek dan dimensi komunikasional,
kondisi rukun ( kerukunan ) menyaratkan adanya
interaksi resiprokal, hubungan karib, keintiman,
kedamaian, dan ketenangan yang di dasarkan pada
sikap keterbukaan, kerjasama, sentuhan kasih, dan
saling pengertian yang pada akhirnya dapat
membangun dan memperkuat integrasi sosial sekaligus
mengurangi ketegangan dan konflik antar umat
beragama. Kedua ; Dalam kontek dan dimensi sosial-
kultural , kerukunan berwujud sebagai interaksi budaya,
integrasi normatif, integrasi konsensual, dan integrasi
fungsional maka kerukunan akan berfungsi dalam
penataan dan pencapaian tujuan hidup masyarakat .
Oleh sebab itu kerukunan akan menyebabkan
terjadinya struktur situasi kondusif dimana pelaku
interaksi ( antar berbagai pihak terkait ) berperilaku
sesuai dengan sistem dan norma yang ada baik norma
agama maupun norma yang berkembang dan di
pelihara dengan baik dalam masyarakat.

Dengan demikian kerukunan beragama secara


normatif merupakan kebutuhan dalam menghadapi
tantangan internal maupun global dalam suatu tatanan
masyarakat saat ini. Pada tingkat empirik, kerukunan
secara umum dapat dilihat perwujudannya semakin
menghilangnya konflik-konflik antar umat beragama
yang secara serius mengancam keutuhan negara dan
menghambat pelaksanaan pembangunan serta

MODERASI BERAGAMA | 189


kemampuan masyarakat untuk menagkal sesedikit
mungkin dampak negatif globasilasi.

Dalam gerakan-gerakan dan aksi kerukunan


yang selama ini diupayakan baik oleh pemerintah
ataupun oleh umat beragama itu sendiri masih
memerlukan intrik penguatan kualitas kerukunan
kearah yang lebih kongkrit. Sekurang-kurangnya
dengan mengembangkan dan memperkuat kembali
kualitas nilai religiusitas, nilai keharmonisan,
kedinamisan, kreativitas dan produktivitas. Usaha
kearah itu dapat kita lakukan dengan upaya , pertama,
kualitas kerukunan hidup umat beragama harus
mempresentasikan sikap religius umatnya, sehingga
kerukunan benar-benar dilandaskan pada nilai kesucian,
kebenaran, dan kebaikan dalam rangka mencapai
keselamatan dan kesejahteraan umat beragama.
Kedua, kualitas kerukunan hidup umat beragama harus
mencerminkan pola interaksi antara sesama umat
beragama yang harmonis, yaitu hubungan yang serasi,
selaras, saling menghormati, saling mengasihi dan
menyayangi, saling peduli yang di dasarkan pada nilai
persahabatan, kekeluargaan, persaudaraan, dan rasa
sepenanggungan. Ketiga, kualitas kerukunan hidup
umat beragama harus diarahkan kepada
pengembangan nilai-nilai dinamik yang dipresentasikan
melalui suasana hubungan interaktif, bergerak,
bersemangat, dan bergairah dalam mengembangkan
nilai kepedulian, keaktifan dan kebajikan bersama.
Keempat, kualitas kerukunan hidup umat beragama
harus diarahkan kepada pengembangan nilai

190 | H. Muhammad Nasir


produktivitas umat beragama. Untuk itu kerukunan
ditekankan pada pembentukan suasana hubungan
yang mengembangkan nilai-nilai sosial praktis dalam
upaya mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan , seperti mengembangkan amal
kebajikan, bhakti sosial, badan usaha, dan berbagai
kerja sama sosial ekonomi yang mensejahteraan umat
beragama.

Disamping itu , agar kerukunan berbangsa dan


beragama semakin kokoh dan kuat kedepan sangat
perlu dilakukan sosialisasi nasional memperkuat bingkai
teologi berbangsa sampai kepada masyarakat paling
bawah untuk membongkar makna-makna simbolik
agama dalam dunia makna ( meaning world ) yang
berpotensi memicu perselisihan dan cara pandang
masyarakat yang sedang berkembang saat ini. Dan yang
tak kalah pentingnya adalah memperkuat fragmentasi
social - ekonomi masyarakat kita secara adil dan merata
yang sedang lesu dan bahkan terancam krisis akibat
pandemic Copid-19 yang belum kunjung berakhir.
Dengan demikian, mudah mudahan melalui momentum
Hari Amal Bhakti Kementerian Agama ke-75 tahun 2021
, dapat menjadi insfirasi bagi peneguhan kerukunan
beragama menuju Indonesia Rukun. Amin.[]

MODERASI BERAGAMA | 191


8
MODERASI ISLAM DAN
ETIKA SOSIAL
Fenomena keberagamaan umat deweasa ini
mengalami pendulum yang sangat warna warni. Di satu
sisi tampak banyak menekankan keberagamaan pada
asfek formal dan tekstual. Di sisi lainnya tanpak juga
lebih bercorak liberal dan kontekstual. Kedua model ini
seringkali tidak menemukan titik temu dan bahkan tidak
jarang terjadi argument conflict yang menegangkan.

Keberagamaan formal tidak jarang melahirkan


radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini banyak
mencuat ke permukaan. Menurut kelompok ini mereka
yang berada di luar kelompoknya dianggap sebagai
musuh dan tidak benar. Anehnya kelompok yang
berada di luar fahamnya dianggap bukan golongan
yang mendasarkan keyakinan, fikiran dan tindakannya
berdasarkan kedua warisan Rasulullah saw. Untuk
menyebarkan da’wah menyebarkan ajaran Islam, dan
menegakkan nilai-nilai Ilahiyah, jihad mereka maknai
hanya sebentuk perjuangan fisik ketika menghadapi
musuh-musuhnya.

Menurut Dr. Aan Hasanah, M.Ed ( 2012 ), bahwa


dalam persfektif pembangunan bangsa di Indonesia
umat Muslim dapat dikelompokan menjadi tiga
kelompok yaitu ; Pertama ; Muslim yang ber-ideologi

192 | H. Muhammad Nasir


Islam politik, yaitu muslim yang sadar politik atau mind
set-nya politik dan kekuasaan, menjadikan islam
sebagai ideology politik, bertujuan mendirikan Negara
atau khilafah Islamiyah, dan biasanya bersifat radikal,
tidak merasa menjadi Indonesia, sedikit konstribusinya
bagi pembangunan bangsa dan Negara dan bahkan
selalu merong-rong kedaulatan RI, Kedua; Muslim
mistik; yaitu muslim yang disibukkan dengan urusan
ritual keagamaan bahkan yang bersifat mistik, tidak
mempesoalkan keindonesiaan tetapi juga tidak
memberikan kontribusi yang berarti dalam
pembangunan bangsa dan Negara dan tidak
membahayakan Negara, Ketiga; Muslim moderat, yaitu;
Muslim yang ideal karena memiliki prinsip
keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat , selalu
berusaha menjadi ummatan wasatha ( ummat moderat
) , dan dimanapun berada selalu memberikan manfa’at
bagi lingkungannya. Ciri-ciri muslim moderat antara lain
adalah at home di Indonesia, mencintai berjuang dan
rela berkorban untuk bangsa dan negaranya, dan
memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa dan
Negara. Ketiga komponen bangsa tersebut sejatinya
dapat disatukan dalam wadah kebangsaan yang diikat
dengan kesadaran yang kuat yaitu kesadaran ideal
(keislaman), kesadaran tempat ( ke-Indonesiaan ).
Dengan memiliki ketiga kesadaran ini seorang muslim
akan memiliki kearifan, kemuliaan dan kejayaan.

Kehadiran Islam di muka bumi adalah sebagai


pedoman hidup manusia dan untuk memberikan solusi
yang tegas terhadap berbagai persoalan kamanusiaan.

MODERASI BERAGAMA | 193


Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu
mendapat perhatian besar dari umat Islam adalah
persoalan etika. Etika dan moralitas adalah puncak nilai
keberagamaan seseorang muslim. Hal ini sejalan
dengan Hadits Rasulullah saw, yang menyatakan bahwa
Beliau di utus adalah untuk menyempurnakan ahklaq di
muka bumi. Ber-Islam yang tidak membuahkan akhlaq
adalah sia-sia.

Menurut Raghib al-Isfahani, etika islam


berbentuk ethical individual social egoism dalam
motivasi moral. Maksudnya, pengajaran perilaku moral
individu tidak mesti mengorbankan perilaku moral etis
social. Etika islam tidak hendak memasung otoritas
individu untuk social sebagaimana faham
komutarianisme atau pengorbanan social untuk
individu sebagaimana faham universalisme. Etika Islam
harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan
kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan
social. Etika Islam adalah sebuah pandangan moralitas
agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik
antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik
dan teratur ( Kahar Mansyur : 1995 ).

Dalam kehidupan social-plural, Islam


mengajarkan umatnya untuk mengedepakan kesadaran
kolektif ( collective consciousness ), agar dapat menjaga
sikap yang saling menghormati dan menghargai. Islam
sebagai agama sejak lama telah mengemban
tanggungjawab dalam memperjuangkan nilai-nilai etika
untuk kedamaian dan menghindari kekerasan. Secara

194 | H. Muhammad Nasir


sosiologis, cara-cara hidup yang mengedepankan
toleransi dan kedamaian diyakini menjadi variable
determinan bagi terciptanya integritas berbangsa dan
bermasyarakat. Dalam konteks ini bagi umat Islam,
dituntut untuk mengembangkan sikap yang lebih
dewasa ketika mengaktualisasikan keberagamannya.
Sikap dewasa umat Islam ditunjukkan dengan
mendekati ajaran agamanya dari yang paling dalam,
hakiki, substansial, atau dicari fundamental idea-nya dari
pada sekedar memperdebatkan hal-hal yang furu’yah
atau instrumental. Secara aksiologis , muatan nilai yang
terkandung dalam agama Islam terjalin dari
fundamental value ( nilai-nilai pokok ) seperti iman,
ihsan serta instrumental value ( nilai-nilai perangkat )
seperti tatacara bermasyarakat, berpolitik,
berkomunikasi dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut
menjadi kesatuan nilai dalam tatanan kehidupan
masyarakat yang dijadikan sumber etika pergaulan
sehari-hari.

Disamping itu, agar manusia dalam kodratnya


sebagai mahluk Tuhan dan makhluk social sekaligus
dapat terjaga dari perilaku yang menyimpang yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan moralitas
atau etika, maka diperlukan adanya keseimbangan dan
keserasian dalam bertindak. Untuk itu melalui moderasi
Islam dan etika social, tujuan itu dapat dilaksanakan
melalui prinsip-prinsip sebagai berikut; yaitu ; Pertama
prinsip sikap baik, yaitu kesadaran yang harus
dimunculkan dan diperlukan dalam berhubungan
dengan siapa saja dengan sikap positif dan baik. Sikap

MODERASI BERAGAMA | 195


ini dilaksanakan secara kongkrit melalui sikap adil, jujur
dan setia kepada orang lain. Kedua; Prinsip keadilan .
yaitu sikap dimana kita mesti memberikan kepada
orang lain akan hak-haknya. Dalam prinsip ini terdapat
tiga dasar yang menjadi tolok ukur yaitu, bijaksana/
hikmah, keberanian/syaja’ah, dan menjaga kesucian/
iffah ( Imam Sukardi, dkk : 2003 ). Ketiga; prinsip hormat
terhadap diri sendiri, yaitu memberlakukan diri sebagai
sesuatu yang bernilai dengan dasar bahwa manusia
adalah person, pusat ber-perhatian, kebebasan dan
memiliki suara hati serta makhluk berakal budi.
Keempat; Prinsip kebebasan dan bertanggungjawab,
yaitu, meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki kebebasan memilih, menentukan dan
melaksanakan tanpa ada unsur ikatan yang mengikat
ataupun paksaan, baik bebas secara individual maupun
social. Dari prinsip ini maka manusia dituntut
bertanggung jawab atas segala tindakannya dengan
tidak mengorbankan hak-hak orang lain.

Dengan cara demikian kehidupan masyarakat


akan mencerminkan etika social yang agamis dan
kehidupan beragama yang sosialis. Inilah etika yang
lahir dari moderasi yang kita inginkan , yang harus kita
bangun di tengah-tengah pergaulan masyarakat global-
plural saat ini. Mudah-mudahan , sebagai masyarakat
multi kultur kita tetap mampu memperteguh tata
kehidupan yang harmonis, rukun dan damai yang
memiliki etika social yang tinggi dengan ber-moderasi
yang tepat untuk kemajuan bangsa sa’at ini dan masa
yang akan datang. amin []

196 | H. Muhammad Nasir


BAGIAN KETIGA

MODERASI
DALAM MEMBANGUN
KELUARGA

MODERASI BERAGAMA | 197


1
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM
KELUARGA

Dalam kosmos jagad raya ini, ada keteraturan


yang telah terbentuk sejak masa terbentuknya alam
semesta. Ketentuan-ketentuan yang berlaku di alam
semesta dipandang sebagai sunnatullah (Ibnu
Mustafa, 2003) yaitu ketentuan Allah SWT atas alam
semesta dan tidak akan berubah kecuali atas
kehendak-Nya. Salah satu dari ketentuan Allah SWT
diciptakannya dalam kehidupan dunia ini serba
berpasangan antara satu dengan yang lainnya.
Sebagai bukti yang kita saksikan adalah bagaimana
Allah menciptakan manusia sebagai mahkluk sosial
untuk hidup dalam berpasangan antara laki-laki dan
perempuan, saling isi mengisi, bekerja sama satu
sama lainnya yang diwujudkan melalui perkawinan.
Sunnatullah yang mengatur tata kehidupan di alam
yang maha luas ini menjadi aturan hukum yang
berlaku secara qudrati dan ini sering disebut dengan
hukum alam. Hukum alam bagian yang tak
terpisahkan dengan hukum yang lainnya termasuk
hukum Islam yang menjadi pedoman hidup manusia.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya
sepanjang sejarahnya telah mengenal adanya
keluarga sebagai suatu persekutuan terkecil yang
akan membentuk suatu masyarakat dan bahkan

198 | H. Muhammad Nasir


dunia. Perkembangan manusia dalam wujud
demikian merupakan salah satu tujuan yang
disyariatkan Islam dalam menjaga kelangsungan
hidup dan keturunan dalam rumah tangga yang
harmonis dan seimbang. Rumah tangga yang
demikian terwujud melalui perkawinan yang bahagia
yang sering disebut dengan keluarga sakinah
mawaddah warahmah.
Salah satu disyariatkan agama Islam oleh
Allah untuk memelihara keturunan melalui
perkawinan, karena perkawinan merupakan salah
satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan
serta menjadi kunci ketentraman masyarakat agar
mencapai kehidupan yang penuh berkah yang
dilandasi oleh kasih sayang di antara keduanya.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat
1 sebagai berikut:

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada


Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya;
dan daripada keduanya Allah memperkembang

MODERASI BERAGAMA | 199


biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu (Qs; An-Nisa’ 1).

Namun seringkali sebagai masyarakat


memahami ajaran agama dari sudut pandang yang
sempit. Umpamanya hanya dari ukuran fiqih yang
mazhabisme yang memandang sesuatu dari segi
halal haram, boleh tidak boleh, tanpa melihat ajaran
agama dalam prinsip humanitas universal, sehingga
pemahaman seperti itu menjadikan pemahaman
yang sempit dan pada akhirnya tidak sesuai dengan
prinsip hukum yang sholihun likulli zamanin wa
makanin.
Di antara ajaran agama yang universal itu
adalah ajaran tentang perkawinan yang secara
normatif melibatkan dua jenis manusia, laki-laki dan
perempuan. Sering dipahami bahwa dalam
perkawinan antara jenis laki-laki dan perempuan
terdapat perbedaan yang tidak menguntungkan
yaitu dalam hal kesetaraan antara suami dan isteri.
Padahal jauh sebelumnya, Alquran secara normatif
telah menegaskan kesetaraan status laki-laki dan
perempuan. Konsep kesetaraan ini secara garis besar
terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, secara umum
bahwa penerimaan kedua jenis kelamin dalam ukuran

200 | H. Muhammad Nasir


yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak yang setara
dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Keduanya
memiliki hak yang sama untuk melakukan perjanjian
perkawinan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk
memiliki dan mengatur hak miliknya tanpa campur
tangan orang lain. Keduanya bebas memilih profesi
atau cara hidup. Keduanya setara dalam tanggung
jawab sebagaimana dalam kebebasannya (Asghar Ali
Enginer, 1996). Hal ini dapat dilihat dari beberapa
indikasi nas Alquran yang memberikan garis
persamaan tersebut dalam beberapa aspek. Di
antaranya adalah: Pertama, laki-laki dan perempuan
sebagai hamba Allah, Qs. (51) al-Zariyat: 56; (49) al-
Hijarat: 13; (16) al-Nahl: 79. Kedua, laki-laki dan
perempuan sebagai khalifah di muka bumi, Qs. (6) al-
An’am: 165, (2) al-Baqarah: 30. Ketiga, laki-laki dan
perempuan menerima perjanjian primordial dari
Tuhan, Qs. (7) al-A’raf: 172, (17) al-Isra’ 70, (5) al-
Maidah: 89, (60) al-Mumtahanah: 12. Keempat, Adam
dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis
dengan indikasi memakai kata ganti “ “ dalam
ayat sebagai berikut: Qs. (2) al-Baqarah: 35-36.

MODERASI BERAGAMA | 201


Artinya: Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh
kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-
makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang
kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang
menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu
dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami
berfirman "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi
musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat
kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai
waktu yang ditentukan". (Al-Baqarah: 35-36).

Fenomena sosial menunjukkan bahwa


perempuan sepanjang sejarah peradaban umat
manusia hanya memainkan peran sosial, ekonomi,
politik yang sangat kecil bila dibandingkan dengan
laki-laki. Dalam hukum Islam, perempuan hanya
dihargai separoh dari laki-laki dalam masalah diyad,
qishas, kesaksian, waris, dan aqiqah. Begitu pula
dalam institusi perkawinan. Para pakar hukum Islam
memakai pendekatan-pendekatan normatif--Qs. Al-
Nisa’: 34--untuk memarjinalkan peran perempuan.

202 | H. Muhammad Nasir


Pertama, proses perjanjian perkawinan bagin status
gadis diberlakukan kompetensi absolut (hak
ijbar/pemaksaan) orang tua sebagai wali untuk
menikahkannya. Kedua, peran domestik
(rumahtangga) isteri cukup menyita waktu untuk
berkiprah di dalam rumah. Kondisi ini mengurangi
prestasi dalam pengembangan peran sosial.
Institusi perkawinan Islam tidak terlepas dari
image di atas. Namun para pakar hukum Islam
mempunyai pandangan yang beragam tentang
status perempuan tersebut. Sebagian pakar hukum
Islam menerapkan hak kompetensi absolut wali
terhadap anak perempuannya yang belum pernah
menikah (Muhammad Abu Zahrah 1957).
Di sisi lain, ada para pakar hukum Islam yang
tidak menerapkan hak kompetensi absolut orang tua
atau wali tersebut dan menggantinya dengan
pengakuan setiap orang yang telah baligh dan cerdas
bak laki-laki maupun perempuan, dianggap cakap
untuk melakukan tindakan hukum termasuk di
dalamnya adalah melakukan perjanjian perkawinan
(Imam al-Sarakhsi 1989). Akar permasalahan
kesenjangan peran laki-laki dan perempuan dalam
institusi perkawinan terlihat pada corak masyarakat
yang cenderung patriarkhi ketika syariat Islam
diturunkan. Peran laki-laki mendominasi seluruh
aspek kehidupan menimbulkan superioritas kaum
laki-laki dari yang lain. Doktrin Islam dikembangkan
dalam satu komunitas umat manusia, memerlukan

MODERASI BERAGAMA | 203


waktu dan tahapan dalam mensosialisasikannya.
Proses sosialisasi berhadapan langsung dengan
dinamika kehidupan sosial, politik, ekonomi dan
teologi yang telah berdampak timbulnya manusia-
manusia kultural tempatan.
Umat Islam terpolarisasi pada dua kelompok
dalam menyikapi permasalahan hukum. Pertama,
melalui pendekatan normatif yang bersumber dari
Alquran dan hadits dan konsensus penduduk Kota
Madinah, Kedua, melalui pendekatan normatif nas
dan dianalisa secara rasional tanpa kehilangan ruh
makna nas. Kedua pendekatan ini menghasilkan
suatu produk ijtihad yang berbeda secara konseptual,
meskipun secara esensial keberagamaan hasil ijtihad
merupakan khazanah hukum Islam keberagamaan
hasil ijtihad merupakan khazanah hukum Islam
sangat berharga yang fungsi utamanya untuk
memediasi harmoni interaksi, baik hubungan antar
manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan
manusia dengan penciptanya.
Dalam perkawinan atau pernikahan,
perwalian merupakan salah satu syarat legal yang
harus dipenuhi. Dalam pendapat para Imam (Imam
mazhab) terdapat kesepakatan bahwa perkawinan
dipandang sah menurut agama apabila disertai
seorang wali. Istilah Wali, diambil dari kata dasar
wilayah. Pertama, wilayah bisa berarti pertolongan
(nusrah). Disebut dalam Alquran (surat al-Maidah
56):

204 | H. Muhammad Nasir


Artinya: Dan barang siapa mengambil Allah dan
Rasulnya, dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama)
Allah itulah yang pasti menang.

Kedua, wilayah juga berarti cinta (mahabbah), yang


dinyatakan dalam Alquran surat at-Taubah ayat 71,
sebagai berikut:

Artinya: Dan Orang-orang yang beriman laki-laki dan


perempuan, sebagian mereka adalah menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. (Qs. Al-Taubah 71).

Selain pengertian di atas, wilayah juga berarti


al-sulthan, kekuasaan dan kemampuan. Wali adalah
orang yang memiliki kekuasaan (shahibul al-sulthan)
sedangkan dalam istilah fiqih sendiri, wali adalah
orang yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan
tasharruf tanpa tergantung pada izin orang lain.
Imam Abu Hanifah membagi perwalian
kepada tiga bagian. Pertama, wali atas jiwa (Wilayah
‘ala al–nafs) ‘yang wilayahnya meliputi kepada unsur–
unsur kepribadian (Syakhsiyah; Personal affairs)
seperti mengawinkan, mengejar, dan sebagainya,

MODERASI BERAGAMA | 205


dan ini menjadi kekuasaan bapak dan kakek. Kedua,
kekuasaan atas harta (Wilayah “ala al–mal), yang
kekuasaannya menangani masalah harta benda
seperti mengambangkan harta, menjaga serta
membelanjakan. Kekuasaan ini juga milik bapak dan
kakek, atau orang yang diberi wasiat oleh mereka
berdua. Ketiga, wilayah atas jiwa dan harta secara
bersamaan, dan dalam hal ini pun, yang berkuasa
tetap bapak dan kakek. Sedangkan Imam Malik
berpendapat, perwalian terbagi menjadi dua, yaitu
khashshah (khusus) dan ‘ammah (umum). Perwalian
khusus adalah perwalian yang dimiliki oleh oleh
orang-orang tertentu seperti bapak, kakek, maupun
pemimpin negara.
Perwalian umum ialah yang dimiliki oleh
setiap laki-laki muslim. Aplikasi dari perwalian umum
ini adalah apabila perempuan yang ingin kawin
sedangkan ia tidak mempunyai bapak dan keluarga
lainnya. Atau ia seorang dani’ah, atau orang yang
tidak cantik, tidak berharta, dan tuna sosial. Seorang
laki-laki wajib menikahkannya untuk menjaga
marwah wanita dan martabatnya. Minta persetujuan
gadis atau janda dalam pernikahan menurut Malik
harus ada izin wali atau wakil terpandang dari
keluarga atau hakim untuk aqad nikah (Muhammad
Fuad al-Baqi’).
Menurut Syafi’i, konsep wali ada dua.
Pertama, wali ijabar, yaitu seorang yang memiliki hak
penuh untuk memaksa. Kekuasaan wali ijabar

206 | H. Muhammad Nasir


dipegang oleh bapak, kemudian kakek dari bapak jika
ia tidak mempunyai bapak seorang wali ijabar oleh
agama diberi hak untuk mengawinkan anaknya,
walaupun masih di bawah umur, tanpa meminta izin
sebelumnya. Kedua wali ijbar yaitu, seorang wali yang
tidak memiliki hak penuh untuk memaksa. Adapun
wali ikhtiyar adalah konsep perwalian yang hak
kepemilikannya diberikan kepada wali ‘ashobah yang
mengawinkan seorang perempuan tanpa seizinnya.
Izin ini tidak cukup dengan diammya perempuan.
Tetapi harus ada jawaban yang jelas. Kehadiran wali
dalam pernikahan menjadi salah satu rukun nikah.
Berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan aqad
nikah perkawinan tidak sah (Muhammad bin Idris as-
Syafii). Imam Ahmad bin Hambal juga menawarkan
konsep yang tidak jauh berbeda dengan konsep
perwalian yang diungkapkan oleh Imam-Imam
mazhab yang lain.
Ibn Hambal menyatakan bahwa perwalian
ijabar adalah milik bapak. Apabila tidak ada bapak,
posisi bapak bisa digantikan oleh Hakim. Pendapat
Ibn Hambal ini senada dengan pendapat Imam Malik
yang tidak memasukkan kakek dalam kategori wali
ijabar. Dalam penjelasan pengertian perwalian
ikhtiyar Ibnu Hambal juga sependapat dengan imam
yang lain. Yakni perwalian ikhtiar ini dimiliki oleh
semua wali. Wali dalam pernikahan menurut Imam
Ahmad bin Hambal termasuk rukun nikah yang harus
hadir ketika aqad nikah (Ibnu Qudamah, 1984).

MODERASI BERAGAMA | 207


Dalam konsep perwalian yang berhak menjadi
wali pada dasarnya mengikuti konsep ‘ashobah’.
Dalam konsep ‘ashobah’ orang yang berhak menjadi
wali adalah mereka yang berasal dari garis keturunan
laki-laki. Mulai dari ayah, kakek, saudara laki-laki
sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari
saudara laki-laki seayah, paman sekandung (adik
ayah), paman tunggal ayah, anak laki-laki dari paman
sekandung, anak laki-laki dari paman seayah, dan
yang terakhir adalah hakim, apabila tidak dijumpai
orang-orang tersebut di atas.
Apabila kita lihat konsep perwalian dari
pandangan fiqih di atas, tampaknya ada persamaan.
Paling tidak tiga dari empat mazhab--kecuali Hanafi--
bersepakat bahwa hak perwalian hanya
diperuntukkan bagi laki-laki. Hal ini semakin jelas lagi
ketika kita melihat syarat-syarat seorang wali yang
disepakati oleh hampir semua ahli fiqh baik klasik
maupun modern.
Wahbah az-Zuhaili seorang ahli fiqih
kontemporer dan seorang penulis yang produktif,
misalnya menyimpulkan bahwa syarat-syarat wali
manurut ijma’ ahli fiqh ada lima: Pertama, kamal al-
Ahliyah. Artinya orang yang benar-benar berhak atas
perwalian: dewasa, berakal, merdeka. Tidak boleh
menjadi wali orang yang memiliki hal yang
sebaliknya, yakni anak-anak, orang-orang yang lemah
aqalnya, dan budak. Kedua, adanya kesamaan agama

208 | H. Muhammad Nasir


antara wali dan orang yang diberi perwalian (al-
Muwalla alaih). Dengan demikian seorang non muslim
tidak boleh menjadi wali bagi seorang muslim. Ketiga,
seorang wali harus laki-laki. Pendapat ini dianut oleh
semua ahli fiqh di kalangan empat mazhab, kecuali
mazhab Hanafi (Sayyid Sabiq, 1986).
Sedangkan Sayyid Sabiq lebih maju
pemikirannya dibanding az-Zuhaili dalam
menentukan syarat-syarat wali. Pengungkapannya
tidak terlalu implisit, yang jelas dia mengungkapkan
bahwa syarat seorang wali ada empat: berakal,
dewasa, merdeka dan Islam. Ia tetap
mengungkapkan sekitar kontroversi kewalian
perempuan secara tendensius, dengan bahasa
“I’tibar wilayah al-mar’ah ‘ala nafsiha”, mayoritas
ulama fiqh berpendapat bahwa seorang perempuan
tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri dengan
orang lain.13 Kecuali Imam Abu hanifah, pernikahan
wanita tanpa wali, atau wanita menikahkan dirinya
sendiri adalah dibolehkan (Syam ad-Din as-Sarakhsy,
1989).
Dalam menentukan persyaratan perwalian
laki-laki, Jalaluddin Al-Mahalli, Wahbah az-Zihaili,
Imam syafi’i dan Ahmad bin Hambal mengambil
legitimasi ayat Alquran surat An-Nisa’ ayat 34:

MODERASI BERAGAMA | 209


Artinya: Bahwa ‘Laki-laki adalah pemimpin bagi
perempuan‘.

Ketidakbolehan perempuan menjadi wali


nikah dalam kitab al-Mahalli disebabkan oleh dua hal.
Pertama, karena tidak sesuai dengan kepantasan
adat (hukum adat). Kedua, tidak terdapat sumber
legitimasi dalam Alquran maupun hadist (Jalaluddin
al-Mahalli). Dilihat dasar hukum yang diajukan oleh
ulama fiqh, baik Jalaluddin al-Mahalli, Sayyid Sabiq,
serta ulama lainnya, tampak belum menunjukkan
adanya kepastian hukum dan dasar hukum yang jelas
mempersyaratkan bahwa seorang wali haruslah laki-
laki. Konsep superior kaum pria, bahkan didukung
pula oleh para fuqaha (ahli hukum Islam) yang
terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik serta kitab tafsir
lainnya, yang menyatakan bahwa laki-laki adalah
pemimpin, dan wanita tidak boleh menjadi seorang
pemimpin. Demikian pula dalam perwalian wanita
dalam pernikahan, wanita tidak boleh menjadi wali.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974, dalam bab II syarat-syarat perkawinan, tidak
dijelaskan bahwa wali merupakan syarat dalam
perkawinan. Tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam
dalam bab IV (Rukun dan Syarat Perkawinan) bagian
ketiga pasal 19 bahwa ‘wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya’. Sementara dalam pasal 20 ayat 1

210 | H. Muhammad Nasir


dinyatakan pula bahwa ‘yang bertindak sebagai wali
nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh.
Secara hokum, ketentuan itu belum
memberikan penjelasan yang kongkrit tentang
kedudukan wali dalam sistem perkawinan di
Indonesia, karena baik UU No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam masih
mengundang pertanyaan tentang sistem perwalian
dalam pernikahan. Adanya perbedaan antara laki-laki
dan wanita dalam hal perwalian, terlihat dalam kitab-
kitab klasik terdahulu merupakan suatu
pendiskriminasian terhadap perempuan, dengan
alasan yang belum tepat. Dengan demikian
permaslahannya adalah bagaimana kedudukan
perwalian perempuan menurut hukum Islam dan
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan? Bagaimana pula hak-hak wali dalam
perkawinan?

Makna Kedudukan Perempuan

Dalam dunia ilmu, teori menempati


kedudukan yang sangat penting, karena teori
memberikan sarana untuk dapat merangkum serta
memahami masalah yang dibicarakan secara lebih
baik. Hal-hal semula yang tanpak tersebar dan berdiri
sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya
satu sama lain secara lebih bermakna. Teori, dengan

MODERASI BERAGAMA | 211


demikian, memberikan penjelasan dengan cara
mengorganisasikan dan mensistematisasikan
masalah yang dibicarakannya (Satjipto Rahardjo,
2004).
Kedudukan perempuan dalam perwalian
perkawinan, belum pernah dibahas dalam penelitian-
penelitian, yang ada hanya karya yang mengupas
konsep keberanjakan hukum perkawinan dari
konvensional kontemporer secara umum tentang
hukum perkawinan. Persoalan perempuan, baik itu
masalah jender maupun masalah tentang status
perempuan dalam keluarga atau peran dan fungsi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Bahkan
tentang perempuan juga ditulis oleh seorang penulis
kenamaan, yakni John L. Eposito yang berjudul
“Women in Muslim Family Law”, yang mengupas
tentang status perempuan menurut konsep
tradisional dan konsep kontemporer dalam Undang-
Undang Perkawinan (John L. Eposito, 1982).
Dalam pengertian ini fokus tentang
perwalian perempuan menurut hukum Islam dan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Adapun kerangka teori yang digunakan
untuk melihat tipologi keberanjakan dari konsep
tradisional ke konsep kontemporer, yang pada
gilirannya untuk melihat status perempuan dalam hal
perwalian. Hal ini misalnya, hubungan keberadaan
dan kebebasan mempelai wanita dapat
dikelompokkan menjadi empat, yakni; harus ada wali

212 | H. Muhammad Nasir


atau izin wali, boleh nikah tanpa izin wali, atau tanpa
izin wali, harus ada persetujuan dari calon mempelai
wanita, ada hak ijbar wali.
Dalam pendapat para Imam mazhab,
umpamanya Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa
wanita boleh menikahkan diri sendiri tanpa wali.
Dasar yang digunakan adalah hadist bahwa janda
berhak pada dirinya daripada walinya. Masalah janda
adalah urusan dirinya sendiri yang tidak boleh
dicampuri wali. Dan kasus al-Khansa yang dinikahkan
bapaknya tanpa persetujuannya, yang ternyata
dibatalkan Nabi. Sementara Imam Abu Hanifah tidak
menghubungkannya dengan nash lain. Misalnya saja
hadist yang menyatakan harus ada wali dalam
pernikahan.
Abu Hanifah terkenal sebagai ulama yang
berfpikir rasional, responsive dan prediktif serta
dinamis. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungannya yang
tidak banyak mengenai hadist. Karena tuntutan
masyarakat yang lebih maju beragam karena ia
tinggal di pemukiman yang sudah maju, yakni Kuffah
yang multi kultur. Di samping Abu Hanifah bergumul
dengan Ilmu Syariah murni, ia juga seorang
pedagang. Sementara sifat egaliternya dipengaruhi
oleh keturunannya yang bukan non-Arab. Sedangkan
Imam Malik adalah adalah sebagai ulama yang
tradisional karena ia sangat menekankan pada teks
nash. Terhadap kasus yang tidak ditemukan dalam
Alquran dan hadits ia menggunakannya kepada

MODERASI BERAGAMA | 213


amaliyah penduduk Madinah dan sangat membatasi
penggunaan rasio, meskipun secara prinsip ia juga
menggunakan ra’yu di dalam masalah mursalah.35
Tetapi sikap menekankan hadist barangkali karena ia
tinggal di pusat hadist (Madinah). Sehingga ia
mengungkapkan wali dalam pernikahan merupakan
syarat. Tanpa wali pernikahan, tidak sah.
Sebagaimana yang terdapat dalam kitab hadistnya al-
Muwatta’.36
Sementara Imam Syafi’i yang terkenal sebagai
Imam yang moderat, mencoba mensintesakan aliran
tradisional dan moderat. Metode istimbat hukumnya
yang terkenal adalah qiyas.37 Lain halnya dengan
Imam Ahmad bin Hambal, dikenal dengan ahl al-
hadist,38 dan pemikir yang fundamental
(menekankan pada teks nash) dan sangat terbatas
menggunakan ra’yu. Hal ini karena pada saat ini
lingkungannya sangat mendewa-dewakan ra’yu.

35 Masalah Mursalah menurut ahli uashul adalah memberikan hukum


syara’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat dalam nash dan ijma’ atas dasar
memelihara kemasalahatan yang terlepas yaitu kemaslahatan yang tidak
ditegaskan oleh syara’ dan tidak pula ditolak..Lihat Djazuli, Nurol Aen, Ushul
Fiqh, ( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, h. 171-172.
36 Malik Bin Anas Op.Cit , h.325
37
I b I d, hal. 63.
38
Huzaimah Y. Tanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, ( Jakarta :
Logos, 1997 ), h.141

214 | H. Muhammad Nasir


Yakni berkembangnya aliran Mu’tazilah dan menjadi
mazhab resmi negara.
Pemikiran tentang ke-empat mazhab
tersebut, yang berkaitan dengan kedudukan atau
status wanita secara garis besar dikelompokan
diantaranya adalah aliran yang memposisikan wanita
lebih sejajar dengan hukum laki-laki, yakni pemikiran
mazhab Hanafi. Mazhab lainnya berpendapat kurang
memberikan kebebasan kepada wanita, serta
cenderung untuk menempatkan wanita inferior dari
laki-laki. Alur pemikiran yang demikian seakan-akan
ada kontroversi antara berbagai mazhab, sementara
dalam tendensi hukum adalah prinsip keadilan.
Begitu pun dalam perundang-undangan Indonesia
berusaha untuk memposisikan wanita ke posisi yang
lebih seimbang dan baik daripada pemikiran para
mazhab tersebut. Dengan kata lain dalam tataran
hukum antara laki-laki dan wanita harus ada
kesamaan posisi dalam setiap pribadi manusia. Oleh
sebab itu hukum Islam telah menempatkan secara
adil dengan mengatur dan memberikan petunjuk
bahwa kedudukan perempuan tidak dapat
ditentukan dengan hanya berdasarkan pengalaman
atau berdasarkan pemikiran rasional dan budaya
masyarakat, tetapi Islam memberi petunjuk bahwa
kedudukan perempuan ditentukan oleh kodrat
penciptaan manusia.
Perempuan tidak saja dijadikan sebagai obyek
hukum sebagaimana kebanyakan ulama dalam

MODERASI BERAGAMA | 215


memahami ayat-ayat tentang wanita, dan bahkan
lebih mendiskriminasikan kaum perempuan. Padahal
kaum perempuan bisa menjadi subyek hukum dalam
segala bidang dengan memandang situasi dan
kondisi serta kultur budaya yang semakin
berkembang dengan tidak mengabaikan norma-
norma agama.
Satu-satunya yang menyatakan perwalian
perempuan dalam sistem perkawinan dibolehkan
adalah Mazhab Hanafiyah. Ini membuktikan bahwa
perempuan bisa bertindak hukum dan dianggap
cakap, dan ia tidak saja sebagai obyek, namun juga
sebagai subyek dalam bertindak. Pemikiran Imam
Abu Hanifah dalam memahami suatu masalah tidak
saja berdasarkan nas, tetapi juga melalui ijtihad
dengan menggunakan rasio.
Imam Abu Hanifah memandang bahwa tidak
ada satu ayat pun yang melarang perempuan menjadi
wali. Pendapat yang mengharuskan perempuan
harus mendapat hak ijbar (pemaksaan) wali
merupakan pandangan para pakar fiqih yang
memahami makna suatu teks (nas Alquran dan
hadist) bahwa para wali bertanggung jawab
terhadap pengampuannya, dan hal ini seakan-akan
mendiskriminasikan pihak wanita dalam memilih
calon suaminya. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah
yang berpendapat bahwa hak ijbar hanya berlaku
bagi perempuan yang masih anak-anak atau belum
dewasa. Oleh sebab itu sesungguhnya hak ijbar

216 | H. Muhammad Nasir


(pemaksaan) wali adalah suatu tindakan yang
didasari tanggung jawab dan kasih sayang dan
dimaksudkan sebagai perlindungan dan tanggung
jawab ayah terhadap anaknya, supaya anak tidak
salah memilih pasangan hidup. Dengan itu pula hak
ijbar bukan hak memaksa, melainkan dimaknai
sebagai bentuk keharmonisan hubungan antara ayah
dan anak perempuannya.
Sejalan dengan itu, Imam syafi’i berpendapat
pula bahwa hak ijbar wali adalah dengan syarat yang
sangat ketat dan tidak bermakna suatu pemaksaan.
Adapun Undang-Undang perkawinan No.1 Tahun
1974 tidak memberikan batasan kewenangan orang
tua dalam dalam hal menentukan pasangan. Hanya
saja menentukan adanya persetujuan sebagai syarat
sahnya perkawinan dalam pasal 6 ayat 1. Dengan
demikian dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 dan sebagaimana dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 16: (1) Perkawinan
didasarkan atas persetujuan calon mempelai,
menghendaki adanya persetujuan orang tua
merupakan syarat sahnya perkawinan.
Persetujuan perempuan merupakan syarat
sahnya perkawinan. Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974,
sebagai syarat-syarat yang dimaksud dalam Undang-
Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 6 ayat 1
bahwa perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai. Dan kompilasi

MODERASI BERAGAMA | 217


hukum Islam pasal 16 ayat: (1) Perkawinan di
dasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2)
bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat
berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan,
lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam
arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Pasal 17:
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan pegawai
pencatat nikah menanyakan lebih dahulu
persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang
saksi nikah. (2) Bila ternyata perkawinan tidak
disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka
perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (3) bagi
calon mempelai yang menderita tuna wicara atau
tuna rungu persetujuan dinyatakan dengan tulisan
atau isyarat yang dapat dimengerti. Dengan demikian
persetujuan perempuan sebagai pihak yang akan
menikah mutlak diperlukan tanpa memandang status
janda atau gadis.
Islam secara ideal-normatif tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Apalagi mendiskriminasikan perempuan. Bahkan
Islam sebagai pembawa rahmat dan keselamatan
seluruh alam, menempatkan pengangkatan derajat
dan posisi perempuan sebagai bukti keutamaannya.
Dalam hukum perkawinan, perempuan yang baligh
dan cerdas dianggap cakap bertindak hukum
privat/perdata atau publik, tanpa harus tergantung
kurator (orang yang melakukan tindakan hukum atas
nama orang lain karena di bawah perwaliannya)

218 | H. Muhammad Nasir


adalah merupakan pemberdayaan kaum perempuan
di sektor hukum dan menciptakan paradigma
pemikiran hukum Islam baru tentang persamaan hak
dan kedudukan di hadapan hukum, dan
menghilangkan citra marginalisasi prempuan di
sektor hukum. []

MODERASI BERAGAMA | 219


2
MORALITAS KELUARGA DAN
DEMOKRASI

Membicarakan keluarga dalam konteks


kehidupan masyarakat modern saat ini merupakan
suatu keniscayaan. Masyarakat modern yang bersifat
pluralis, atomistik, hedonistik, impersonal dan penuh
dengan persaingan-persaingan dalam dunia pasar
dan kapitalisme, membuat orang tidak lagi
menemukan identitas individual, sosial dan
keluarga.39 Dalam masyarakat tersebut, jati diri
individual, sosial dan keluarga menjadi abstrak dan
berdasarkan pilihan bebasnya sendiri.
Kesadaran bahwa seseorang menjadi warga
suatu komunitas, sehingga berbuat baik terhadap
warga komunitas yang lain dan kemudian bagi
komunitasnya secara keseluruhan adalah baik untuk
dirinya sendiri. Pola kesadaran tersebut juga telah
menipis dan bahkan cenderung terdistorsi atau
menghilang. Moralitas keluarga tidak lagi dapat
didasarkan atas kesadaran untuk mengejar
keutamaan hidup manusia, karena apa yang disebut
keutamaan (prima facie) dan apa yang disebut

39Dra. Akif Khilmiyah, MA, Menata Ulang Keluarga Sakinah


(keadilan social dan humanisasi mulai dari rumah, Pondok
Pustaka Jokya, 2003, hal.72

220 | H. Muhammad Nasir


ketidakutamaan (not prima facie) semakin sulit
diperoleh kata sepakat. Terhadap persoalan seperti
ini, Jurgen Habermas, 40 seorang pewaris dan
pembaharu Mazhab Frangkfurt datang
menyentakkan kesadaran baru, yaitu “kesadaran
palsu” masyarakat modern. Melalui kontemplasi
historis-empirik terhadap moralitas kemoderenan, ia
merumuskan moralitas sebagai teori pembebasan
manusia dari segala bentuk dominasi dan pengaruh
ideologi-ideologi atau pandangan dunia (word view)
yang tampaknya memberi makna pada segi-segi
hidup tertentu, termasuk segi kehidupan
berkeluarga. 41 Menurut pendapat Jurgen Hebermas,
moralitas kemoderenan sudah ikut mempengaruhi
tatanan sosial keluarga yang saat ini telah merasuki
sendi-sendi kehidupan dasar keluarga.
Sendi kehidupan dasar yang dimaksud tidak
lain adalah dasar moral dan etika religius keluarga.
Kesadaran palsu akan moralitas dan etika religious ini
tampak dalam struktur sosial rumah tangga yang
sangat labil dan mudah terprovokasi oleh desakan-
desakan perubahan di masyarakat luar. Dalam
struktur sosial keluarga semacam itu. Aturan-aturan
moral dan etika religious tidak dapat diterapkan

40 Roos Poole, Morality and Modernity, diterjemahkan F. Budi


Hardiman, Moralirtas dan Modernitas dibawah Bayang-Bayang
Nihilisme, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 105
41 Lihat H. Held, Introduction to Critical Theory: Horkheimer to

Habermas, (London:, Hutchinson, 1980), h.342.

MODERASI BERAGAMA | 221


secara ketat. Orang tua tidak lagi dapat memaksakan
kehendak otoritasnya kepada anggota keluarga
(anak-anaknya) terhadap apa yang menjadi aturan
dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena hak-hak,
tanggung jawab dan kewajiban anggota keluarga
yang satu dengan yang lain merupakan hak dan
kewajiban yang mesti diterapkan secara demokratis.
Padahal orang tua sebagai pemimpin keluarga
mempunyai hak otoritas dengan tanggungjawab
penuh terhadap kelangsungan hidup keluarga.
Keluarga merupakan komponen masyarakat
terkecil yang terbentuk dari sekumpulan beberapa
individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak
yang dalam istilah sosial disebut sebagai keluarga inti
(nuclear family). Keluarga merupakan lembaga sosial
terkecil yang bersifat informal yang mendidik cikal
bakal anggota masyarakat. Baik atau tidaknya
masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh baik atau
tidaknya institusi keluarga. Dengan demikian sebagai
lembaga informal, keluarga sebenarnya sangat
berpotensi menjadi peletak dasar/pondasi bangunan
moral yang menjadi tujuan pendidikan keluarga.
Namun sayang sekali keluarga yang menjadi harapan
tempat tumbuh dan berkembangnya generasi baru
itu ternyata kurang dapat dihandalkan. Moralitas
keluarga sudah berada pada posisi yang kuat yang
dapat dijadikan model pelanjut generasi baru yang
akan menyelamatkan kekacauan moral saat ini.
Kehidupan keluarga berjalan seakan-akan didorong

222 | H. Muhammad Nasir


oleh keserakahan publik dalam mengejar popularitas
dan identitas, agar keuntungan, kesenangan dan
kekayaan dikuasai secara mutlak.
Pola interaksi sosial keluarga sudah
mengalami perubahan secara mendasar. Pengakuan
terhadap penghormatan status dalam keluarga
sudah mulai hilang. Hal ini terjadi disebabkan oleh
gaya hidup yang terlalu menyanjung hak-hak
manusiawi secara berlebihan sebagai akibat dari pola
penerapan demokrasi salah kaprah. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya suatu bentuk kebebasan
tak terbatas, sehingga kadang-kadang dalam
keluarga tidak dikenal lagi siapa menyapa apa. Antara
anak dengan orang tua dianggap teman. Orang tua
dengan anak dianggap sahabat. Kondisi demikian
merupakan penurunan nilai penghormatan kepada
orang tua yang mengakibatkan hilangnya tata
kesopanan, tata penghargaan dan tata
penghormatan yang selama ini menjadi dasar etika
pergaulan dalam interaksi sosial keluarga. Potret
pergaulan sosial keluarga seperti itulah yang menjadi
ciri keluarga di alam demokrasi saat ini, yang mesti
dikaji ulang agar keluarga betul-betul berfungsi
dalam membentuk masyarakat yang berperadaban.

Keluarga dan Demokrasi

Keluarga merupakan lembaga informal yang


mempunyai cita-cita luhur untuk mewujudkan tujuan

MODERASI BERAGAMA | 223


yang amat mulia. Lembaga keluarga dapat menjadi
penentu terwujudnya generasi masa depan yang
handal dan berprestasi dalam berbagai lapangan
kehidupan. Menggali potensi dan prestasi apa saja
dapat dimulai dari lembaga keluarga. Begitu
strategisnya lembaga keluarga keluarga dipandang
dari sisi urgensinya maka banyak para ahli telah
membicarakan dan melakukan penelitian terhadap
lembaga ini.
Kehidupan keluarga merupakan awal dari
kehidupan masyarakat yang ikut mempengaruhi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan
manusia yang berawal dari keluarga itu
sesungguhnya hanya dibentuk oleh dua pola yang
amat menentukan yaitu, pola kehidupan individual
(pribadi) dan pola kehidupan sosial (masyarakat).
Dalam dua pola inilah manusia tumbuh dan
berkembang menjadi sosok manusia. Pola kehidupan
individu merupakan pola yang tak terpisahkan dari
munculnya seorang pribadi. Kehidupan individu
sangat mencerminkan kelakuan (ego) dalam setiap
hal. Maka kalau kita menelusuri sejarah pemikiran
sosial pada abad modern, para ahli sosiologi selalu
menyandingkan kehidupan individu dengan
kehidupan masyarakat sipil.
Dalam abad modern, manusia dianggap
makhluk unik yang tidak dapat diurai karena individu
merupakan eksistensi manusia yang paling
diutamakan. Melecehkan hak individu adalah

224 | H. Muhammad Nasir


membunuh karakter, karena itu dunia Barat selalu
mengagungkan tipikal individual dalam konteks relasi
sosial dan hal itu mesti mendapat tempat di alam dan
dunia mana pun. Begitu pula golongan sosialis ketika
membicarakan individu selalu dibela. Apalagi
pembicaraan itu pada tataran ruang publik. Dalam
tataran ruang publik, individu ditampilkan menjadi
pribadi–pribadi yang menjadi aktor bagi dirinya
sendiri. Ia bebas mengeluarkan pendapat, hak
bersuara dengan kebebasan yang bertanggung
jawab.42 Walaupun substansinya sebagai makhluk
yang memiliki kebebasan tetapi tidak boleh lepas dari
ikatan kebebasan yang lain, yaitu kebebasan
masyarakat. Dalam hal ini Durkheim, seorang ahli
sosiolog berpendapat bahwa dalam individu
terdapat kesadaran yang terbagi dan terdapat konflik
antara tuntutan kemanfaatan (utilitarian) dan
kesakralan moralitas masyarakat.43 Dua kesadaran
ini, yaitu kesadaran murni individu dan kesadaran
masyarakat adalah ketegangan konstan dalam
kehidupan individu. Dari pandangannya ini berarti
individualism bukan egoisme utilitarian. Akan tetapi
yang terjadi di dunia modern saat ini, malah
sebaliknya di mana kehidupan pribadi yang muncul
egoisme-egoisme baru dalam bentuk pribadi yang
sangat bertentangan dengan kehidupan sosial.

42
Ibid
43Doyle PaulJohnson, Sotiological Theory, Clasical Founders and
Contemporary Perstives, terj, Robert.MZ, Lawang, dalam Teori Sosiologi Klasik
dan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1984, hal.185.

MODERASI BERAGAMA | 225


Artinya kehidupan yang ditampilkan adalah
kehidupan yang menantang moralitas sosial. Inilah
cermin kehidupan keluarga modern saat ini, di mana
landasan etik yang digunakan sangat bercirikan egois-
individualis yang sangat bertentangan dengan
moralis-sosialis. 44

Fungsi Keluarga dalam Pandangan Islam

Dalam Islam berkeluarga mempunyai tujuan


yang sangat mulia. Berkeluarga bukan hanya sekedar
penyaluran sex biologis semata, tetapi ada tujuan lain
yang lebih tinggi, yaitu tujuan kebahagiaan,
ketenangan, atau dalam istilah agama dinamakan
sakinah, mawaddah, warahmah, sebagaimana
Firman Allah dalam QS. Al-Rum ayat 21:

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya


ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir (Qs. 30: 21).

44 Dra. Akif Hilmiyah, MA. Op-cit, hal 72

226 | H. Muhammad Nasir


Keluarga merupakan komunitas terkecil
dalam struktur masyarakat. keluarga sebagai
komunitas pertama yang ditemui oleh seorang anak
yang akan berfungsi sebagai media tranformasi nilai-
nilai, baik disadari maupun tidak, yang sangat
berpengaruh dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Dari sinilah awal tumbuh dan
berkembangnya manusia-manusia baru yang akan
menjadi masyarakat sosial di kemudian hari. Baik
suatu keluarga akan baik pula masyarakat. Dan
sebaliknya, rusak keluarga maka akan rusak pula
masyarakat. Dengan demikian, Prof. Dr. M. Quraish
Shihab45 membagi fungsi keluarga Islam itu atas
beberapa fungsi yaitu:

1. Fungsi Keagamaan
Fungsi ini merupakan fungsi yang sangat
penting bagi keluarga masa depan. Keluarga mesti
dibangun atas dasar agama. Agama dijadikan
benteng keluarga dalam menaungi kehidupan sosial
agar nilai-nilai luhur menjadi cermin kepribadian anak-
anak dan anggota keluarga ketika dia berbaur
dengan lingkungan masyarakatnya. Allah SWT sangat
jelas memerintahkan kepada orang tua agar selalu
menjaga anak-anak dan keluarga dari kemurkaan

45 Prof. Dr. M. Qurayh Shihab, Perempuan, (Dari cinta sampai seks,

Dari nikah Mutah sampai nikah sunnah, dari bias lama sampai bias baru),
lentera Hati Jakarta, 2005, Hal. 123

MODERASI BERAGAMA | 227


Allah agar tidak terjerumus ke dalam api neraka,
sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam Qs. At-
Tahrim ayat 6.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah


dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan bau; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-
Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (Qs. 66: 6).

Untuk menanamkan nilai-nilai agama, orang


tua mesti menjadi teladan bagi anggota keluarga,
sebab kalau tidak bencana masa depan akan muncul
disebabkan oleh rusaknya generasi. Begitu besar
pengaruh orang tua dalam membina keluarga dan
anak-anak sehingga Rasulullah SAW jauh-jauh telah
mengingatkan dalam sabdanya, "Semua anak
terlahirkan membawa (potensi) fitrah (keberagaman
yang benar), kedua orang tuanyalah yang menjadikan
ia Nasrani atau Yahudi.” Untuk itu agar nilai-nilai Islam
dapat dilaksanakan secara benar oleh anak-anak,
maka orang tua berkewajiban meneruskan atau

228 | H. Muhammad Nasir


mewariskannya kepada generasi sesudahnya secara
berkesinambungan, baik secara verbal maupun non
verbal, yang dalam istilah Al-Qur’an disebut
“Uswatun Hasanah”.46

2. Fungsi Sosial Budaya


Pada fungsi ini keluarga diharapkan mampu,
mengantarkan, menjaga dan memelihara budaya
bangsa serta memperkayanya. Mempertahankan
nilai-nilai budaya bangsa berawal dari keluarga.
Ketahanan bangsa dan kelestarian budaya, hanya
dapat tercapai melalui ketahanan kekuarga yang
antara lain diwujudkan dengan menegakkan ma’ruf
(seluruh budaya bangsa yang bernilai positif yang
tidak bertentangan dengan nilai Islam). Ajaran Islam
sangat mendukung setiap hal yang dinilai oleh
masyarakat, sebagai sesuatu yang baik dan tidak
bertentangan dengan agama. Budaya positif suatu
bangsa atau masyarakat, dicakup oleh apa yang
diistilahkan oleh Alquran dengan kata ma’ruf.
Sebagaimana perintah Alquran dalam surat Ali Imran
ayat 104:

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan


umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh

46 Al-Quran dalam Surat Al-Ahzab ayat 21.

MODERASI BERAGAMA | 229


kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung (Qs. 3: 104).

3. Fungsi Cinta Kasih


Cinta kasih akan melanggengkan dan
lestarinya keluarga. Dalam cinta kasih terdapat unsur-
unsur psikologis yang sangat mendasar yang
dibutuhkan manusia, yaitu: perhatian, tanggung
jawab, penghormatan serta pengetahuan. Fungsi
cinta kasih tidak hanya terbatas antara suami isteri,
tetapi juga antara mereka dengan anak-anak, bahkan
dengan seluruh anggota keluarga. Tanpa cinta kasih
dan hubungan yang erat dengan anak akan
terhambat perkembangannya dan akan kehilangan
kesadarannya dan bahkan bisa menjadi makhluk
idiot. Sebagaimana kesimpulan hasil penelitian Dr.
Griffith Binning dari Kanada sebagaimana yang
dikutip oleh Leo F. Buscaglia dalam bukunya yang
berjudul Lore.47 Islam juga demikian, ketika seorang
anak digendong oleh Rasulullah SAW, tiba-tiba ia
pipis, maka dengan kasar ibu/pengasuhnya
merenggut sang anak hingga ia menangis. Rasulullah
SAW menegurnya sambil bersabda: “perlahan-
lahanlah! Sesungguhnya ini (Menunjuk kepada pakaian
beliau), dapat dibersihkan oleh air, tetapi apa yang
dapat membersihkan kekeruhan hati sang anak (akibat
renggutanmu yang kasar).”

47 Prof.dr.M.Quraish Shihab, Loc-Cit, Hal.128

230 | H. Muhammad Nasir


4. Fungsi Perlindungan
Rumah tangga adalah tempat di mana
anggota keluarga tinggal untuk istirahat dan
berlindung, baik berlindung dari bahaya-bahaya fisik
yang ditimbulkan oleh alam maupun perlindungan
secara psikologis dalam arti berlindung dari pengaruh
buruk perkembangan jiwa dan gangguan sosial
lainnya. Rumah tangga pada dasarnya merupakan
benteng di mana seluruh anggota keluarga tinggal,
berkembang dan beraktivitas. Anggota keluarga
saling membutuhkan akan rasa aman dari setiap
pengaruh dan gejala fisik dan psikis yang akan
merusak kelanggengan rumah tangga. Di sini peran
orang tua sangat dominan. Tanpa peran orang tua
anak-anak tidak akan bisa tumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan fisik dan mentalnya. Ini
semua perlu mendapatkan perlindungan dari orang
tua agar anak-anak berkembang baik fisik maupun
mental secara sempurna. Seorang suami
berkewajiban melindungi isteri sebagaimana fungsi
pakaian melindungi badan. Begitu sebaliknya sang
isteri, berfungsi sebagai pelindung suami. Allah
menegaskan dalam Qs. 2: 187

MODERASI BERAGAMA | 231


Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan
puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah
kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115]
dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa. (Qs. 2: 187).

232 | H. Muhammad Nasir


5. Fungsi Reproduksi

Fungsi reproduksi merupakan fungsi di mana


tempat anak-anak dilahirkan. Fungsi ini sering juga
disebut dengan fungsi biologis yaitu fungsi di mana
seorang ibu melahirkan anak-anak sebagai pewaris
keturunan. Dalam hal ini Allah SWT, berpesan kepada
suami sebagaimana dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 223:

Artinya: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat


kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk
dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah
kabar gembira orang-orang yang beriman. (Qs.2: 223).

Melahirkan anak secara fisik memang mutlak


oleh seorang ibu. Karena fitrah sang ibulah yang
melahirkan. Tugas selanjutnya adalah tugas bersama,
mendidik dan membesarkannya. Fungsi ini secara
psikologis di samping fungsi melahirkan secara fisik
wujud anak manusia, juga melahirkan generasi anak
manusia yang bertakwa, berilmu, dan beriman.

MODERASI BERAGAMA | 233


Makna ini sungguh amat berat kalau dibandingkan
dengan melahirkan secara fisik biologis. Hal ini
merupakan tantangan bagi orang tua ke depan.
Mereproduksi/melahirkan kembali generasi baru
merupakan cita-cita besar hidup berumahtangga.

6. Fungsi Sosial dan Pendidikan

Fungsi sosial dan pendidikan merupakan


fungsi penting dalam kehidupan keluarga. Di rumah
tangga anak-anak pertama kali dikenalkan dengan
lingkungan, yang diawali dengan mengenal siapa ibu
dan ayahnya yang pada akhirnya akan mengenal
lingkungan sosialnya. Fungsi ini bukan hanya sekedar
anak dapat mengenal lingkungan sekitarnya tetapi
sekaligus anak pertama kali mendapatkan
pendidikan keluarga. Sebelum anak mengenal
pendidikan formal di sekolah, terlebih dahulu anak
mengenal lingkungan keluarga di mana anak belajar
mengenal dan mengetahui sesuatu melalui kedua
orang tuanya. Kedua orang tualah yang berperan
besar dalam mendidik anak-anaknya. Pendidikan ini
kita kenal dengan pendidikan informal yaitu
pendidikan utama dan pertama bagi anak-anak dalam
keluarga. Rasulullah SAW bersabda: “Didiklah anak-
anakmu, karena mereka diciptakan untuk masa yang
berbeda dengan masamu”.

234 | H. Muhammad Nasir


7. Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi merupakan fungsi penting


dalam proses kehidupan keluarga. Tidak ada keluarga
yang bisa hidup bertahan tanpa didukung oleh unsur
ekonomi. Dengan ekonomi keluarga dapat
memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “Hendaklah
kamu sekalian mempunyai mata pencaharian untuk
menopang hidup dalam keluarga”.

8. Fungsi Pembinaan Lingkungan

Kebiasaan keluarga dalam ikut memelihara,


menjaga dan melestarikan lingkungan di mana
keluarga tersebut tinggal merupakan fungsi yang
sangat penting. Karakter keluarga yang terbentuk
dari sikap keluarga yang peka terhadap kelestarian
lingkungan akan berdampak kepada terwujudnya
ekosistem yang ramah, indah dan menyenangkan. Di
sini keluarga dituntut mampu menanamkan
kesadaran moral dan spiritual terhadap seluruh
anggota keluarga terhadap pemeliharaan eksistensi
lingkungan hidup. Menurut Otto Soemarwoto
memelihara lingkungan hidup merupakan kebutuhan
dasar manusia, yaitu,48 kebutuhan dasar yang
diangkat dari manfaat keberadaan lingkungan hidup,

48 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan,

P. Djambatan, Jakarta, 1989, Hal. 55.)

MODERASI BERAGAMA | 235


di antaranya adalah “kebutuhan dasar untuk
kelangsungan hidup hayati, kebutuhan hidup untuk
kelangsungan hidup manusiawi, dan kebutuhan
dasar untuk memilih.” Di sinilah letak pentingnya
pemeliharaan dan penjagaan lingkungan bagi
manusia. Oleh sebab itu keluarga harus mampu
menanamkan fungsi-fungsi tersebut agar lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan
hayati umumnya tetap terjaga dan lestari. Di samping
itu terdapat pula beberapa fungsi keluarga yang
menekankan kepada fungsi keluarga inti (ayah, ibu
dan anak-anak). Dalam pandangan ini, keluarga inti
berfungsi sebagai lembaga hubungan seksual yang
mendapat pengesahan masyarakat, fungsi ekonomi,
fungsi pengembangan keturunan, dan fungsi
pendidikan bagi anak-anak yang dilahirkan dalam
lingkungan keluarga tersebut.49
Keseluruhan fungsi-fungsi keluarga
sebagaimana yang kita kemukakan tersebut
dibangun dan dikembangkan di atas ajaran Islam.
Masing-masing anggota keluarga mempunyai
peranan yang sangat penting yang saling mendukung
untuk terwujudnya kehidupan bahagia dan sejahtera.
Pondasi kehidupan keluarga adalah ajaran agama
yang kuat, sedang jalinan perekatnya adalah hak dan
kewajiban terhadap suami, isteri dan anak-anak
secara seimbang dan adil. Inilah bentuk teladan
Rasulullah SAW dalam sunnahnya. Seluruh teladan

49
Ibid.

236 | H. Muhammad Nasir


Rasulullah SAW, selalu menunjukkan keseimbangan
tanggungjawab sesuai dengan kodrat yang telah
ditentukan melalui petunjuk agama.
Dalam pola lain yang kita tawarkan bahwa
keluarga muslim adalah keluarga yang memiliki intrik-
intrik kebiasaan dalam keseimbangan yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, umpamanya
dalam kehidupan keluarga terdapat ciri-ciri sebagai
berikut: 1. Ada musyawarah dalam keluarga; 2. Ada
pemimpin yang demokratis; 3. Ada pembagian kerja
yang adil dan seimbang; 4. Ada tanggung jawab
sebagai wujud ketaatan; 5. Ada negosiasi kekuasaan
antara suami isteri; 6. Tidak ada diskriminasi
berdasarkan perbedaan biologis; 7. Tidak ada
kekerasan dan monopoli dalam keluarga; 8. Ada
penghormatan dan penghargaan terhadap posisi ibu
rumah tangga.
Kehidupan keluarga di alam demokrasi saat
ini harus memiliki dasar-dasar yang kuat dengan pola
pembiasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai moral-
spiritual yang kuat dan mantap. Agama harus
dijadikan sebagai dasar pedoman dalam mengarungi
bahtera keluarga. Keluarga selain tempat berkumpul
juga berfungsi sebagai tempat penanaman agama
dan moral, sebagai tempat mengembangkan nilai-
nilai sosial budaya, menanamkan rasa cinta kasih,
perlindungan, sosialisasi pendidikan, ekonomi dan
sebagai tempat penanaman kecintaan kepada
lingkungan. Keluarga muslim adalah keluarga yang

MODERASI BERAGAMA | 237


menjadikan Islam sebagai dasar pijakan untuk
mengatur, menjaga dan membina rumah tangga.
Sehingga tujuan berumah tangga yaitu mewujudkan
kebahagiaan lahir bathin dapat terwujud yaitu
keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. []

238 | H. Muhammad Nasir


3
PRINSIP-PRINSIP MODERASI DALAM
PERNIKAHAN

Ketentuan-ketentuan yang berlaku di alam


semesta dipandang sebagai sunnatullah (Ibnu
Mustafa: 2003), yaitu ketentuan Allah SWT atas alam
semesta dan tidak akan berubah kecuali atas
kehendak-Nya. Salah satu dari ketentuan Allah SWT
diciptakannya dalam kehidupan dunia ini serba
berpasangan antara satu dengan yang lainnya.
Sebagai bukti yang dapat kita saksikan adalah
bagaimana Allah menciptakan manusia sebagai
makhluk sosial untuk hidup dalam berpasangan
antara laki-laki dan perempuan, saling isi mengisi,
bekerja sama satu sama lainnya yang diwujudkan
melalui perkawinan. Sunatullah yang mengatur tata
kehidupan di alam yang maha luas ini menjadi aturan
hukum yang berlaku secara qudrati dan ini sering
disebut dengan hukum alam. Hukum alam bagian
yang tak terpisahkan dengan hukum yang lainnya
termasuk hukum Islam yang menjadi pedoman hidup
manusia.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya
sepanjang sejarahnya telah mengenal adanya
keluarga sebagai suatu persekutuan terkecil yang
akan membentuk suatu masyarakat dan bahkan
dunia. Perkembangan manusia dalam wujud

MODERASI BERAGAMA | 239


demikian merupakan salah satu tujuan yang
disyariatkan Islam dalam menjaga kelangsungan
hidup dan keturunan dalam rumah tangga yang
harmonis dan seimbang. Rumah tangga yang
demikian terwujud melalui perkawinan yang bahagia
yang sering disebut dengan keluarga sakinah
mawaddah warahmah.
Salah satu disyariatkan agama Islam oleh
Allah untuk memelihara keturunan melalui
perkawinan, karena perkawinan merupakan salah
satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan
serta menjadi kunci ketentraman masyarakat agar
mencapai kehidupan yang penuh berkah yang
dilandasi oleh kasih sayang di antara keduanya.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 1
sebagai berikut:

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada


Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan
daripada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan

240 | H. Muhammad Nasir


(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu (Qs. An-Nisa: 1).

Namun seringkali sebagai masyarakat


memahami ajaran agama (baca: Islam) dari sudut
pandang yang sempit, umpamanya hanya dari ukuran
fiqih yang mazhabisme yang memandang sesuatu
dari segi halal haram, boleh tidak boleh, tanpa
melihat ajaran agama dalam prinsip humanitas
universal, sehingga pemahaman seperti itu
menjadikan pemahaman yang sempit dan pada
akhirnya tidak sesuai dengan prinsip hukum yang
sholihun likulli zamanin wa makanin.
Di antara ajaran agama yang universal itu
adalah ajaran tentang perkawinan yang secara
normatif melibatkan dua jenis manusia, laki-laki dan
perempuan. Sering dipahami bahwa dalam
perkawinan antara jenis laki-laki dan perempuan
terdapat perbedaan yang tidak menguntungkan
yaitu dalam hal kesetaraan antara suami dan isteri.
Padahal jauh sebelumnya, alquran secara normatif
telah menegaskan kesetaraan status laki-laki dan
perempuan. Konsep kesetaraan ini secara garis besar
terbagi menjadi dua, yaitu Pertama, secara umum
bahwa penerimaan kedua jenis kelamin dalam ukuran
yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak yang setara

MODERASI BERAGAMA | 241


dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Keduanya
memiliki hak yang sama untuk melakukan perjanjian
perkawinan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk
memiliki dan mengatur hak miliknya tanpa campur
tangan orang lain. Keduanya bebas memilih profesi
atau cara hidup. Keduanya setara dalam tanggung
jawab sebagaimana dalam kebebasannya (Asghar Ali
Engineer: 1996). Dari pandangan ini prinsip moderasi
dalam perkawinan harus di junjung tinggi. Antara
suami dan istri memiliki hak-hak dan kewajiban yang
seimbang, sehingga rumah tangga dapat berjalan
dengan wajar dan baik. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa indikasi nas Alquran yang memberikan
garis keseimbangan ataupun persamaan dalam
beberapa aspek. Di antaranya adalah pertama, laki-
laki dan perempuan sebagai hamba Allah (Qs. [51] al-
Zariyat: 56; [49] al-Hujarat: 13; [16] al-nahl: 79. Kedua,
laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di muka
bumi (Qs. [6] al-An’am: 165; [2] al-Baqarah: 30)
Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian
primordial dari Tuhan (Qs. [7] al-A’raf: 172; [17] al-Isra’:
70; [5] al-Maidah: 89; [60] al-Mumtahanah: 12.
Keempat, Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam
drama kosmis dengan indikasi memakai kata ganti “
“ dalam ayat sebagai berikut, Qs. [2] al-Baqarah: 35-
36:

242 | H. Muhammad Nasir


Artinya: Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah
oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati
pohon ini], yang menyebabkan kamu termasuk orang-
orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh
syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan
semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu!
Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi
kamu ada tempat kediaman di bumi, dan
kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
(Qs. Al-Baqarah: 35-36).

Fenomena sosial menunjukkan bahwa


perempuan sepanjang sejarah peradaban umat
manusia hanya memainkan peran sosial, ekonomi,
politik yang sangat kecil bila dibandingkan dengan
laki-laki. Dalam hukum Islam, perempuan hanya
dihargai separoh dari laki-laki dalam masalah diyat,
qishas, kesaksian, waris dan aqiqah. Begitu pula
dalam institusi perkawinan. Para pakar hukum Islam
memakai pendekatan-pendekatan normatif Qs. Al-
Nisa: 34 untuk memarjinalkan peran perempuan.

MODERASI BERAGAMA | 243


Pertama, proses perjanjian perkawinan bagi status
gadis diberlakukan kompetensi absolut (hak
ijbar/pemaksaan) orang tua sebagai wali untuk
menikahkannya. Kedua, peran domestik (rumah
tangga) isteri cukup menyita waktu untuk berkiprah
di dalam rumah. Kondisi ini mengurangi prestasi
dalam pengembangan peran sosial.
Institusi perkawinan Islam tidak terlepas dari
image di atas. Namun para pakar hukum Islam
mempunyai pandangan yang beragam tentang
status perempuan tersebut. Sebagian pakar hukum
Islam menerapkan hak kompetensi absolut wali
terhadap anak perempuannya yang belum pernah
menikah.
Di sisi lain, ada para pakar hukum Islam yang
tidak menerapkan hak kompetensi absolut orang tua
atau wali tersebut dan menggantinya dengan
pengakuan setiap orang yang telah baligh dan cerdas
bak laki-laki maupun perempuan, dianggap cakap
untuk melakukan tindakan hukum termasuk di
dalamnya adalah melakukan perjanjian perkawinan.
Di sisi lain, ada para pakar hukum Islam yang
tidak menerapkan hak kompetensi absolut orang tua
atau wali tersebut dan menggantinya dengan
pengakuan setiap orang yang telah baligh dan cerdas
baik laki-laki maupun perempuan, dianggap cakap
untuk melakukan tindakan hukum termasuk di
dalamnya adalah melakukan perjanjian perkawinan.

244 | H. Muhammad Nasir


Akar permasalahan kesenjangan peran laki-
laki dan perempuan dalam institusi perkawinan
terlihat pada corak masyarakat yang cenderung
patriarki ketika syariat Islam diturunkan. Padahal
secara fungsional kecenderungan itu harus dipahami
secara adil. Artinya pada tataran tertentu adakalanya
laki-laki yang dominan, dan pada tataran lain
perempuan yang mendominasi, sehingga tidak
menimbulkan image dan prinsip superioritas kaum
laki-laki dari yang lain.
Doktrin Islam dikembangkan dalam satu
komunitas umat manusia, memerlukan waktu dan
tahapan dalam mensosialisasikannya. Proses
sosialisasi berhadapan langsung dengan dinamika
kehidupan sosial, politik, ekonomi dan teologi yang
telah berdampak timbulnya manusia-manusia
kultural tempatan. Umat Islam terpolarisasi pada dua
kelompok dalam menyikapi permasalahan hukum.
Pertama, melalui pendekatan normatif yang
bersumber dari Al-Quran dan hadits dan konsensus
penduduk kota madinah,
Kedua, melalui pendekatan normatif nas dan
dianalisa secara rasional tanpa kehilangan ruh makna
nas. Kedua pendekatan ini menghasilkan suatu
produk ijtihad yang berbeda secara konseptual,
meskipun secara esensial keberagamaan hasil ijtihad
merupakan khazanah hukum Islam. Keberagamaan
hasil ijtihad merupakan khazanah hukum Islam
sangat berharga yang mana fungsi utamanya adalah

MODERASI BERAGAMA | 245


untuk memediasi harmoni interaksi, baik hubungan
antar manusia dengan manusia, manusia dengan
alam dan manusia dengan penciptanya.
Dalam pendapat para imam mazhab,
umpamanya Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa
wanita boleh manikahkan diri sendiri tanpa wali.
Dasar yang digunakan adalah hadist bahwa janda
berhak pada dirinya daripada walinya. Masalah janda
adalah urusan dirinya sendiri yang tidak boleh
dicampuri wali. Dan kasus al-Khansa yang dinikahkan
bapaknya tanpa persetujuannya yang ternyata
dibatalkan Nabi. Sementara Imam Abu Hanifah tidak
menghubungkannya dengan nash lain. Misalnya saja
hadist yang menyatakan harus ada wali dalam
pernikahan.
Abu Hanifah terkenal sebagai ulama yang
berpikir rasional, responsif dan prediktif serta
dinamis. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungannya yang
tidak banyak mengenai hadist, karena tuntutan
masyarakat yang lebih maju beragam karena ia
tinggal di pemukiman yang sudah maju, yakni Kuffah
yang multi kultur. Di samping Abu Hanifah bergumul
dengan Ilmu Syariah murni ia juga seorang pedagang.
Sementara sifat egaliternya dipengaruhi oleh
keturunannya yang bukan non-Arab. Sedangkan
Imam Malik adalah adalah sebagai ulama yang
tradisional karena ia sangat menekankan pada teks
nash. Terhadap kasus yang tidak ditemukan dalam
Alquran dan hadits ia menggunakannya kepada

246 | H. Muhammad Nasir


amaliah penduduk Madinah dan sangat membatasi
penggunaan rasio, meskipun secara prinsip ia juga
menggunakan ra’yu di dalam masalah mursalah.
Tetapi sikap menekankan hadist barangkali karena ia
tinggal di pusat hadist (Madinah). Sehingga ia
mengungkapkan wali dalam pernikahan adalah
merupakan syarat, tanpa wali pernikahan tidak sah,
sebagaimana yang terdapat dalam kitab
hadistnyanya al-Muwatta’.
Sementara Iman Syafi’I yang terkenal sebagai
Imam yang moderat, mencoba mensistesakan aliran
tradisional dan moderat. Metode istimbat hukumnya
yang terkenal adalah qiyas.
Lain halnya dengan Imam Ahmad bin Hambal,
dikenal dengan ahl al-hadist, dan pemikir yang
fundamental (menekankan pada teks nash) dan
sangat terbatas menggunakan ra’yu. Hal ini karena
pada saat ini lingkungannya sangat mendewa-
dewakan ra’yu yakni berkembangnya aliran
Mu’tazilah dan menjadi mazhab resmi negara.
Pemikiran tentang keempat mazhab
tersebut, yang berkaitan dengan kedudukan atau
status wanita secara garis besar dikelompokkan
menjadi dua: pertama, aliran yang memposisikan
wanita lebih sejajar dengan hukum laki-laki, yakni
pemikiran mazhab Hanafi. Kedua, mazhab lainnya
berpendapat kurang memberikan kebebasan kepada
wanita serta cenderung untuk menempatkan wanita
inferior dari laki-laki. Alur pemikiran yang demikian

MODERASI BERAGAMA | 247


seakan-akan ada kontroversi antara berbagai
Mazhab, sementara dalam tendensi hukum adalah
prinsip keadilan. Begitupun dalam perundang-
undangan Indonesia berusaha untuk memposisikan
wanita ke posisi yang lebih seimbang dan baik dari
pada pemikiran para mazhab tersebut. Dengan kata
lain dalam tataran hukum antara laki-laki dan wanita
harus ada kesamaan posisi dalam setiap pribadi
manusia.
Perempuan tidak saja dijadikan sebagai objek
hukum sebagaimana kebanyakan ulama dalam
memahami ayat-ayat tentang wanita dan bahkan
lebih mendiskriminasikan kaum perempuan. Padahal
kaum perempuan bisa menjadi subyek hukum dalam
sgala bidang dengan memandang situasi dan kondisi
serta kultur budaya yang semakin berkembang
dengan tidak mengabaikan norma-norma agama.
Satu-satunya yang menyatakan perwalian
perempuan dalam sistem perkawinan dibolehkan
adalah Mazhab Hanafiyah. Ini membuktikan bahwa
perempuan bisa bertindak hukum dan dianggap
cakap, dan ia tidak saja sebagai obyek. Namun juga
sebagai subyek dalam bertindak. Pemikiran Imam
Abu Hanifah dalam memahami suatu masalah tidak
saja berdasarkan nash, tetapi juga melalui ijtihad
dengan menggunakan rasio. Imam Abu Hanifah
memandang bahwa tidak ada satu ayat pun yang
melarang perempuan menjadi wali.

248 | H. Muhammad Nasir


Pendapat yang mengharuskan perempuan
harus mendapat hak ijbar (pemaksaan) wali
merupakan pandangan para pakar fiqih yang
memahami makna suatu teks (nas Al-Quran dan
hadist) bahwa para wali bertanggung jawab
terhadap pengampuannya dan hal ini seakan-akan
mendiskriminasikan pihak wanita dalam memilih
calon suaminya. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah
yang berpendapat bahwa hak ijbar hanya berlaku
bagi perempuan yang masih anak-anak atau belum
dewasa. Oleh sebab itu sesungguhnya hak ijbar
(pemaksaan) wali adalah suatu tindakan yang
didasari tanggung jawab dan kasih sayang dan
dimaksudkan sebagai perlindungan dan tanggung
jawab ayah terhadap anaknya, supaya anak tidak
salah memilih pasangan hidup. Dengan itu pula hak
ijbar bukan hak memaksa melainkan dimaknai
sebagai bentuk keharmonisan hubungan antara ayah
dan anak perempuannya. Sejalan dengan itu Imam
Syafi’i berpendapat pula bahwa hak ijbar wali adalah
dengan syarat yang sangat ketat dan tidak bermakna
suatu pemaksaan. Adapun Undang-Undang
perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak memberikan
batasan kewenangan orang tua dalam hal
menentukan pasangan. Hanya saja menentukan
adanya persetujuan sebagai syarat sahnya
perkawinan dalam pasal 6 ayat 1. Dengan demikian
dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
dan sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum

MODERASI BERAGAMA | 249


Islam pasal 16: (1) Perkawinan didasarkan atas
persetujuan calon mempelai, menghendaki adanya
persetujuan orang tua merupakan syarat sahnya
perkawinan. Persetujuan perempuan merupakan
syarat sahnya perkawinan. Menurut Hukum Islam
dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974,
sebagai syarat-syarat yang dimaksud dalam Undang-
Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 6 ayat 1
bahwa perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai. Dan kompilasi
hukum Islam pasal 16 ayat: (1) Perkawinan didasarkan
atas persetujuan calon mempelai; ( 2 ) bentuk
persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau
isyarat tapi dapat juga berupa diam, dalam arti
selama tidak ada penolakan yang tegas. Pasal 17: (1)
Sebelum berlangsungnya perkawinan pegawai
pencatat nikah menanyakan lebih dahulu
persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang
saksi nikah. (2) Bila ternyata perkawinan tidak
disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka
perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. (3) bagi
calon mempelai yang menderita tuna wicara atau
tuna rungu persetujuan dinyatakan dengan tulisan
atau isyarat yang dapat dimengerti. Dengan demikian
persetujuan perempuan sebagai pihak yang akan
menikah mutlak diperlukan tanpa memandang status
janda atau gadis.

250 | H. Muhammad Nasir


Islam secara ideal normatif tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Apalagi mendiskriminasikan perempuan. Bahkan
Islam sebagai pembawa rahmat dan keselamatan
seluruh alam, menempatkan pengangkatan derajat
dan posisi perempuan sebagai bukti keutamaannya.
Dalam hukum perkawinan, perempuan yang
baligh dan cerdas dianggap cakap bertindak hukum
privat/perdata atau publik, tanpa harus tergantung
kurator (orang yang melakukan tindakan hukum atas
nama orang lain karena di bawah perwaliannya)
adalah merupakan pemberdayaan kaum perempuan
di sektor hukum dan menciptakan paradigma
pemikiran hukum Islam baru tentang persamaan hak
dan kedudukan di hadapan hukum, dan
menghilangkan citra marginalisasi perempuan di
sektor hukum. Namun dalam hal-hal tertentu
perempuan harus tunduk kepada hukum karena
fitrahnya sebagai kaum hawa yang tidak bisa berdiri
sendiri. []

MODERASI BERAGAMA | 251


4
POLIGAMI DALAM HUKUM
KELUARGA

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan


pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta
bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang antara keduanya bukan
muhrim (Sulaiman Rasyid: 2003). Perkawinan atau
nikah merupakan salah satu syariat yang dianjurkan
oleh Rasulullah SAW. Pernikahan merupakan syariat
Tuhan untuk mengatur hubungan laki-laki dan
perempuan dalam ikatan keluarga yang penuh kasih
sayang (mawaddah warahmah). Sebab itu
perkawinan merupakan akad yang luhur dan suci
antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab
sahnya sebagai suami isteri dan dihalalkannya
hubungan sexual dengan tujuan mencapai keluarga
bahagia, kebajikan, dan saling menyantuni, atau lebih
dikenal dengan keluarga sakinah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (Bab II) dasar-
dasar perkawinan, pasal 2 dijelaskan bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan Ibadah (Kompilasi
Hukum Islam, 2000).

252 | H. Muhammad Nasir


Sedangkan dalam UU Perkawinan No. 1 tahun
1974, pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Sudarsono,
SH, 2005). Syariat perkawinan menurut Undang-
Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 diatur dalam
pasal 6, yaitu (1) Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai; (2) Untuk
melangsungkan perkawinan seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua; (3) Dalam hal salah
seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat dua pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau
dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya; (4) Dalam hal kedua orang tua
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu.
Perkawinan merupakan sunnatullah, dalam arti
bahwa mahkluk bernyawa itu diciptakan dengan
berpasang-pasangan , laki-laki dan perempuan (QS.
51: 49). Namun terdapat perbedaan yang besar
antara manusia yang memiliki nafsu dan akal, dengan
hewan yang hanya memiliki nafsu saja.
Dengan hanya memiliki nafsu ini, hewan
memang tidak memiliki budaya dan tidak bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,

MODERASI BERAGAMA | 253


kecuali dalam beberapa hal kecil untuk
mempertahankan hidupnya yang muncul
berdasarkan insting.
Oleh karena itu hewan bisa menyalurkan
nafsunya dengan sesukanya tanpa ada batasan. Lain
halnya dengan manusia. Ia tidak bisa menyalurkan
nafsunya seperti hewan, melainkan harus dengan
aturan-aturan yang berbentuk institusi perkawinan.
Menurut Islam, perkawinan merupakan
institusi legimitasi sakral ilahiah yang tidak sepi dari
dinamika perkembangan permasalahan yang
melingkupinya, baik yang berbentuk sosiologis–
antropologis maupun sosiologis-teologis. Secara
literal perkawinan atau pernikahan adalah berasal
dari kosa kata “nakaha, yankihu, dan nakahan” yang
mempunyai arti: kahwin atau nikah (al-Jurjani: 2003).
Semakna dengan kata “zaujan” artinya menikah.
“dhammu” yang artinya mengumpulkan dan
semakna juga dengan “Al-Wata’ (campur) atau “al-
a’qdu” (perjanjian perkawinan).
Menurut Ali Muhammad al-Jurjani,
memberikan pengertian pada esensi makna nikah itu
sendiri, yaitu terjadinya campur antara dua jenis
manusia berbeda jenis kelamin dalam satu payung
pernikahan. Sedangkan menurut Abd al-Rahman al-
Jaziri membagi pengertian pernikahan ke dalam
beberapa bagian (Ali Maqry al-Fayumy: 2004):
Makna “nikah” secara etimologi yaitu “al-Wata’ wa al-
dhammu” (campur menjadi satu) dan makna dasar

254 | H. Muhammad Nasir


atau syara’ dari kata nikah terbagi menjadi tiga
macam:
a. al-Aqad, bila ada redaksi kalimat yang
menggunakan kosa kata ‘nikah’ tanpa diikuti
oleh indikasi lainnya, baik yang terdapat
dalam Alquran maupun hadis, maka
mempunyai konotasi makna al-Wata’. Contoh
sebagai berikut:

Ayat ini dapat dipahami bahwa esensi


sesungguhnya dari larangan yang tersurat
adalah larangan bagi laki-laki untuk
mencampuri perempuan-perempuan yang
telah melakukan campur dengan ayahnya.
b. Makna sebenarnya adalah ‘al-Aqdu’
(perjanjian perkawinan) dan makna kiasannya
adalah ‘al-Wata’ (bercampur). Hal ini
didasarkan pada banyaknya pemakaian kata
“nikah” yang berkonotasi makna ‘al-Aqdu’
dalam nas, sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. Al-Baqarah 230:

Konotasi makna ‘tankihu’ dalam ayat ini


adalah mengadakan perjanjian perkawinan.

MODERASI BERAGAMA | 255


Inilah pendapat yang kuat di kalangan
Syafiiyah dan Malikiah.
c. Kata “nikah” mempunyai makna ganda antar
penyelenggaraan perjanjian perkawinan (al-
Aqad) dan bercampur (al-Wata’). Inilah
pendapat yang akomodatif di antara kedua
pendapat sebelumnya. Hal ini didasarkan
pada indikasi syara’ yang suatu saat
mengindikasikan makna al-aqad dan kadang-
kadang mengindikasikan makna al-Wata’,
karena keduanya adalah arti sesungguhnya
dari kata ‘nikah’. Makna nikah dalam
perspektif hukum Islam, seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah
adalah: ’Aqad yang menjadikan halalnya
campur antara suami isteri, memberikan hak
dan kewajiban sesuai dengan porsi tanggung
jawab masing-masing (Muhammad Abu
Zahra: 1957).

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun


1974 tentang Perkawinan, pengertian nikah atau
kawin adalah termuat dalam bab 1. ps. 1 bahwa
‘Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sementara menurut Kompilasi Hukum
Islam dalam bab 2 ps. 2 menyatakan bahwa

256 | H. Muhammad Nasir


perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mistaqan ghalizan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
dipahami bahwa institusi perkawinan adalah suatu
wadah yang melegitimasi bolehnya dua insan
berlainan jenis untuk hidup bersama secara sah,
membangun rumah tangga yang bahagia dan
harmonis, adanya pembagian hak dan kewajiban
secara adil dan berimbang. Institusi perkawinan
menurut prinsipnya minimal terdapat dua aspek yang
terkandung di dalamnya, yaitu pertama, aspek
legalitas. Aspek ini menjustifikasi sahnya hidup
bersama dua insan berlainan jenis kelamin dalam
naungan rumah tangga. Kedua, aspek sosiologis,
yaitu terbentuknya suatu unit rumah tangga dalam
suatu masyarakat yang menimbulkan interaksi
internal maupun eksternal. Adanya pembagaian
peran dan fungsi dalam komposisi keluarga,
pembagian hak dan kewajiban yang sesuai dengan
tugas yang diemban masing-masing. Fungsi dan
peran satu sama lain menempatkan masing-masing
pihak pada posisi yang saling menguntungkan dan
saling membutuhkan. Inilah jalinan peran dan fungsi
masing-masing anggota keluarga yang pada intinya
mendukung dan melestarikan kelangsungan institusi
perkawinan yang telah mereka bangun bersama.

MODERASI BERAGAMA | 257


Dalam hukum perkawinan Indonesia (UU. No.
1 Tahun 1974) pada dasarnya menganut azas
monogami yang secara tegas dinyatakan di dalam
Dasar Perkawinan, bahwa: Pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri dan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami. Menurut penjelasan di
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019 ditegaskan bahwa Undang-
Undang ini menganut azas monogami.
Lalu bolehkah seorang suami berpoligami?
Secara syar’i tidak ada larangan seorang suami
beristeri lebih dari satu (poligami) apabila telah
memenuhi syarat dan ketentuan hukum yang
ditetapkan. Untuk menentukan apakah seseorang
telah memenuhi syarat sesuai ketentuan hukum
syar’i pengadilan agama memiliki wewenang untuk
menetapkan dan memutuskan.
Pengadilan Agama dalam memberi putusan
selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam
pasal 4 dan 5, telah dipenuhi dengan
mempertimbangkan izin dari pihak istri pertamanya.
Izin yang dimaksud adalah izin dari perkawinan
dengan beberapa syarat dan alasan tertentu. Dalam
Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975 Bab VIII Ps.
41 dijelaskan bahwa pengadilan memeriksa
permohonan seorang suami mengenai:
(a) ada atau tidaknya alasan yang
memungkinkan seorang suami kawin lagi ialah (1)

258 | H. Muhammad Nasir


bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri; (2) bahwa istri mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan (3)
bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
(b) ada atau tidaknya persetujuan dari isteri,
baik persetujuan lisan maupun tulisan. Apabila
persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di
depan sidang pengadilan.
(c) ada atau tidaknya kemampuan suami
untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-
anaknya dengan memperhatikan: (1) surat
keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
(2) surat keterangan lain yang dapat diterima oleh
pengadilan.
(d) ada atau tidak adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka yang dengan pertanyaan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan
untuk itu.
Menurut Prof. Dr. Mr. Hazairin, bahwa
poligami dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 yaitu pasal 3 bagi umat Islam Indonesia
sebagai contoh pembaharuan tafsir sebagaimana
yang berlaku dalam praktik berdasarkan ajaran fiqih
mazhab Syafii. Orang bebas melakukan poligami
dengan empat isteri dengan tunduk dalam
pengawasan hakim. Artinya bahwa untuk
menjalankan hak untuk berpoligami diawasi oleh

MODERASI BERAGAMA | 259


Undang-Undang Perkawinan Nasional dengan
memberi syarat-syarat kapan poligami dapat
diperbolehkan dan kapan tidak dapat dibolehkan,
sebagai mana juga terdapat dalam QS. 4: 3
menghendaki syarat-syarat untuk berpoligami
tersebut:

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku


adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya. (Qs. Annisa’ 3).

Dalam ayat ini jelas diisyaratkan bahwa


poligami harus dengan berbagai pertimbangan
bahwa jika kamu takut tidak berlaku adil terhadap
anak-anak yatim maka bolehlah kamu kawini dua,
tiga, empat orang perempuan (yaitu perempuan
yang mempunyai anak yatim) itu, atau jika kamu
merasa tidak akan dapat berlaku adil terhadap
wanita-wanita yang kamu hendak kawini maka
janganlah kawini sampai empat, tiga, atau dua orang.

260 | H. Muhammad Nasir


Tetapi kawinilah seorang saja. Atau kawinilah
seorang hamba sahaya. Atau janganlah kawin dulu
sampai Allah memberikan kelapangan hidup (XXIV:
33).
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 pasal 3, 4, dan 5 dijelaskan bahwa
poligami itu ditundukkan kepada izin pengadilan.
Pasal-pasal itu hendaklah dibaca sejalan dengan pasal
63, di mana izin berpoligami itu diberikan oleh
pengadilan agama. Jika yang bermohon orang Islam,
dan oleh pengadilan umum jika yang bermohon itu
bukan orang Islam, maka izin itu diberikan oleh
pengadilan negeri. []

MODERASI BERAGAMA | 261


5
FITRAH
ENERGI SUCI MANUSIA

Betapa besar karunia Allah SWT kepada kita


semua. Betapa tidak terhingga nikmat-Nya untuk kita
semua. Ada yang kita sadari, namun lebih banyak
yang luput dari kesadaran kita. Marilah kita
renungkan betapa banyak kedurhakaan kita kepada-
Nya. Betapa hari demi hari yang kita jalani tidak luput
dari kelalaian untuk mengingat-Nya. Tapi dengan
semua kelalaian itu, Allah Azza wa Jalla tidak pernah
lalai dan bosan untuk terus-menerus mencurahkan
nikmat-Nya kepada kita. Semua kedurhakaan kita
tidak menghalangi Dia yang Mahaperkasa untuk
tetap menyelimuti kita dengan kasih sayang-Nya. Dan
bahkan sampai saat ini, Ia masih mengizinkan kita
untuk bersujud kepada-Nya, mengagungkan nama-
Nya, dan untuk bertaubat kepada-Nya.
Allah SWT, telah menciptakan manusia
dengan banyak potensi baik yang bersifat jasmaniah
maupun ruhaniah. Potensi yang sangat berharga dan
menentukan kedudukan manusia di sisi Tuhannya
adalah potensi ruhaniah. Potensi ruhaniah sering kita
sebut dengan fitrah, yaitu potensi suci manusia yang
bersifat ilahiah. Salah satu momentum untuk
menumbuhkan dan melihat potensi fitrah ini, maka
setelah Ramadhan kita mengagungkan hari raya idul

262 | H. Muhammad Nasir


fitri sebagai hari kemenangan. Idul Fitri merupakan
hari kebahagiaan dan kebanggaan bagi kita umat
yang beriman.
Kita kumandangkan lantunan suara takbir,
tasbih, tahmid, dan tahlil sebagai bentuk ungkapan
rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan
besar yang kita peroleh setelah menjalankan ibadah
puasa Ramadhan. Sebagaimana firman Allah SWT
(Qs. 2: 185):

Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan


bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”

Setelah menunaikan ibadah puasa dan atas


karunia-Nya berhari raya bersama, berbahagia,
bergembira, untuk momentum kemenangan
terhadap limpahan rahmat dan maghfiroh-Nya
sebagaimana yang tersurat dalam sebuah hadis
Qudsi:

‫ يَا َمالَ ِئ َك ِتى‬:‫ضانَ َو َخ َر ُج ْوا اِل َى ِع ْي ِد ُك ْم يَقُ ْو ُل هللاُ تَ َعال َى‬ َ ‫ش ْه َر َر َم‬ َ ‫صا ُم ْوا‬َ ‫اِ َذا‬
َ َ َ َ َ
‫ يَا ا ُ َّمة ُم َح َّم ٍد‬:ٌ‫ب ا ُ ْج َرهُ اَنى ق ْد غف ْرتُ لهُ ْم فيُنَا ِدى ُمنَاد‬َ ِّ ُ ْ
ُ ‫ُك ُّل عَا ِم ٍل يَطل‬
‫ يَا ِعبَا ِدى‬:‫ت فَيَقُ ْو ُل هللا ُ تَعَالَى‬ ٍ ‫سنَا‬ َ ‫سيِّئَاتِ ُك ْم َح‬َ ُ‫اِ ْر ِجعُ ْوااِلَى َمنَا ِزلِ ُك ْم قَ ْد بَ َد ْلت‬
‫ص ْمتُ ْم ِلى َواَ ْفطَ ْرت ُ ْم ِلى فَقُ ْو ُم ْوا َم ْغف ُ ْو ًرا لَ ُك ْم‬
ُ

MODERASI BERAGAMA | 263


Artinya: “Apabila mereka berpuasa di bulan Ramadhan
kemudian keluar untuk merayakan hari raya kamu
sekalian maka Allah pun berkata: 'Wahai Malaikatku,
setiap orang yang mengerjakan amal kebajian dan
meminta balasannya sesungguhnya Aku telah
mengampuni mereka'. Sesorang kemudian berseru:
'Wahai ummat Muhammad, pulanglah ke tempat
tinggal kalian. Seluruh keburukan kalian telah diganti
dengan kebaikan'. Kemudian Allah pun berkata:
'Wahai hambaku, kalian telah berpuasa untukku dan
berbuka untukku. Maka bangunlah sebagai orang yang
telah mendapatkan ampunan.”

Jati diri manusia yang paling asasi adalah


ruhaninya. Alquran menyebutkan bahwa ruhani
manusia itu secara azali baik dan suci, karena tercipta
dari asal yang baik dan suci pula. Allah SWT
meniupkan Ruh-Nya kepada jasad manusia. Sehingga
dengan bekal ruh ilahiah itu pula kelak manusia
memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan
Allah SWT. Inilah energi suci. Energi bathin yang
bergelora tanpa batas yang menggerakkan seluruh
niat dan aktivitas manusia dalam hidupnya. Energi itu
juga sering disebut dengan energi spiritual, yaitu
semangat iman yang ada dalam dada manusia.
Karena hakikat kemanusiaan kita bertumpu
pada realitas spiritual, maka dimensi spiritualitas itu
ibarat pohon yang akan berkembang sehat dan
berbuah banyak ketika mendapatkan cukup vitamin,

264 | H. Muhammad Nasir


yaitu dengan jalan mendekatkan diri kepada Zat yang
Maha spiritual, yaitu Allah SWT. Jiwa kita akan
senantiasa suci dan penuh kedamaian kalau kita
selalu mendekatkan diri kepada Yang Maha Suci dan
Maha Damai.
Berbagai bentuk ibadah yang kita lakukan
baik dalam bulan-bulan ramadhan, maupun di luar
Ramadhan, berfungsi sebagai sarana untuk
memelihara kesucian dan keagungan ruhani kita
sehingga dengan begitu bisa mengarahkan perilaku
jasmani dan intelektual kita kepada arah yang suci
dan agung pula. Sementara itu, hati mempunyai
fungsi untuk mengantarkan diri kita kepada ruhani
yang suci sehingga kita mencapai jiwa yang tenang.
Kalau di dalam Alquran disebutkan bahwa
manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah
SWT ini tidak berarti bahwa ibadah itu merupakan
tujuan akhir penciptaan manusia. Ibadah lebih
merupakan kata kerja yang secara esensial tujuannya
adalah untuk mendapatkan Ridha Allah SWT.
Rangkaian perintah ibadah yang kita lakukan
dapat dilihat sebagai kurikulum suci yang sengaja
dirancang oleh Allah SWT untuk menyelamatkan
perjalanan iman agar selalu berada dalam jalan yang
lurus (suci). Perjalanan yang ditempuh sesungguhnya
sangatlah jauh. Yaitu perjalanan yang melintasi
belantara dunia dan perjalanan akhirat yang belum
pernah terpikirkan oleh akal manusia. Karena
kehidupan saat ini sudah berada dalam perjalanan

MODERASI BERAGAMA | 265


duniawi, tentu sangat terikat oleh waktu dan tempat
sehingga masih dapat diukur dan diperkirakan oleh
manusia. Dalam hal ini banyak manusia yang
menjalani hidupnya dalam kelelahan dan
ketidakpastian. Sebab semua itu adalah karena
mereka terus menerus tergoda oleh godaan dunia
dan segala panoramanya. Mereka terus-menerus
mencurahkan perhatiannya kepada dunia dan segala
isinya. Dunia kita hari ini telah berada dalam zaman
modern dan maju. Di zaman ini manusia telah mampu
mengembangkan dan menemukan sesuatu yang
menjadi kebutuhan dunianya. Tetapi sangat sedikit
kita yang menemukan kesejatian kebutuhan hidup
akhiratnya.
Pengaruh duniawi yang begitu dahsyat,
seakan-akan menghilangkan daya energi ruhani
untuk sujud dan berserah diri kepada Tuhannya telah
membawa manusia tidak berdaya lagi dalam pilihan
imannya. Untuk itu tidak ada jalan lain kita harus
menghidupkan kembali potensi yang redup itu untuk
kembali berfungsi sebagai penggerak perilaku moral
atau akhlaq manusia dalam hidupnya. Secara fitrah
manusia itu adalah baik. Tetapi tidak ada jaminan
potensi itu bisa berkembang dengan baik sampai
akhir hayat manusia. Karena fitrah itu bisa
dipengaruhi oleh jiwa-jiwa buruk, atau niat jahat yang
dituruti.
Sebagai makhluk ruhani, manusia juga
sebagai makhluk jasmani sekaligus. Pilihan manusia

266 | H. Muhammad Nasir


untuk kehidupan tentu tidak lepas dari dua pilihan
tersebut. Dan kedua potensi tersebut harus berjalan
seimbang agar tidak pincang dalam berperilaku.
Perilaku itulah yang akan menjadi bangunan moral
atau akhlaq manusia dalam masyarakatnya. Dalam
potensi ruhani itulah bersemayam fitrah itu, untuk
kemudian hidup dan berkembang menjadi kekuatan
yang selalu merindukan Tuhan. Cerminan itulah
mewujud dalam akhlaqul karimah. Dan pada
akhirnya, akhlaq tersebut menjadi kepribadian
manusia yang tampil sebagai hamba yang bertaqwa.
[]

MODERASI BERAGAMA | 267


6
REVOLUSI SPIRITUAL
DAN IDUL FITRI

Di antara pesan Idul Fitri, yang setiap tahun


disambut oleh umat Islam adalah mengingatkan
kembali manusia kepada fitrahnya yang suci. Manusia
selalu tertipu dalam memahami dirinya yang
sebenarnya. Daya tarik dunia yang tak terkalahkan
selalu menjadikan manusia tak berdaya dalam
menghadapi godaan nafsu dalam dirinya. Sehingga
cahaya qalbu terang benderang tertutup oleh
gelapnya dosa yang telah melekat. Kita kadang tidak
mampu menempatkan hati kita di hadapan Allah
SWT. Kita menggenggam dunia dan melepaskan hati.
Padahal bila posisi hati kita betul, cahaya-Nya akan
mudah memantul. Hati ibarat cermin. Semakin jernih
cermin, semakin terang cahaya yang dipantulkan.
Akibatnya kita mudah melihat kebenaran,
merasakannya dan menjadikan kebenaran itu
sebagai nafas dalam kehidupan ini. Dengan cermin
jernih, gambaran dunia dan diri kita akan terlihat jelas
dan bersih. Kita akan terlindung oleh-Nya, dan pintu
perbendaharaan-Nya terbuka luas untuk kita.
Pandangan kita akan melewati batas ruang dan
waktu, sebab kekuasaan-Nya yang hadir dalam diri
kita.

268 | H. Muhammad Nasir


Dengan hadirnya kembali kesadaran diri,
maka setiap Idul Fitri menjadi hari kebahagiaan dan
kebanggaan bagi umat yang beriman. Di hari itu umat
Islam mengumandangkan lantunan takbir, tasbih,
tahmid, dan tahlil, sebagai bentuk ungkapan rasa
syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar
yang diperoleh setelah menjalankan ibadah puasa
Ramadhan. Sebagaimana firman Allah SWT:

ْ َ‫َولِتُ ْك ِملُوا ْا ِلع َّدةَ َولِت ُ َكبِّ ُرهللاَ َعلَى َما هَدَا ُك ْم ولَعَلَّ ُك ْم ت‬
َ‫ش ُك ُر ْون‬

Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan


bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”

Setelah satu bulan menunaikan ibadah puasa,


dan atas karunia-Nya orang-orang beriman dapat
berhari raya bersama, maka sudah sepantasnya pada
hari yang bahagia itu mereka bergembira, merayakan
sebuah momentum kemenangan dan kebahagiaan
berkat limpahan rahmat dan ampunan-Nya
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis Qudsi:

‫ يَا َمالَ ِئ َك ِتى‬:‫ضانَ َو َخ َر ُج ْوا اِل َى ِع ْي ِد ُك ْم يَقُ ْو ُل هللاُ تَ َعال َى‬ َ ‫ش ْه َر َر َم‬ َ ‫صا ُم ْوا‬َ ‫اِ َذا‬
َ َ َ َ َ َ َ
‫ يَا ا ُ َّمة ُم َح َّم ٍد‬:ٌ‫ب ا ُ ْج َرهُ اَنى ق ْد غف ْرتُ لهُ ْم فيُنا ِدى ُمناد‬ َ ِّ ُ ْ
ُ ‫ُك ُّل عَا ِم ٍل يَطل‬
‫ يَا ِعبَا ِدى‬:‫ت فَيَقُ ْو ُل هللا ُ تَعَالَى‬ ٍ ‫سنَا‬ َ ‫سيِّئَاتِ ُك ْم َح‬َ ُ‫اِ ْر ِجعُ ْوااِلَى َمنَا ِزلِ ُك ْم قَ ْد بَ َد ْلت‬
‫ص ْمتُ ْم ِلى َواَ ْفطَ ْرت ُ ْم ِلى فَقُ ْو ُم ْوا َم ْغف ُ ْو ًرا لَ ُك ْم‬
ُ

MODERASI BERAGAMA | 269


Artinya: “Apabila mereka berpuasa di bulan Ramadhan
kemudian keluar untuk merayakan hari raya kamu
sekalian maka Allah pun berkata: 'Wahai Malaikatku,
setiap orang yang mengerjakan amal kebajian dan
meminta balasannya sesungguhnya Aku telah
mengampuni mereka'. Sesorang kemudian berseru:
'Wahai ummat Muhammad, pulanglah ke tempat
tinggal kalian. Seluruh keburukan kalian telah diganti
dengan kebaikan'. Kemudian Allah pun berkata:
'Wahai hambaku, kalian telah berpuasa untukku dan
berbuka untukku. Maka bangunlah sebagai orang yang
telah mendapatkan ampunan.”

Jati diri manusia yang paling azazi adalah


ruhaninya. Alquran menyebutkan bahwa ruhani
manusia itu secara azali baik dan suci, karena tercipta
dari asal yang baik dan suci pula. Allah SWT
meniupkan Ruh kepada jasad manusia sehingga
dengan bekal ruh itu manusia memiliki kemampuan
untuk beraudiensi, berkontemplasi dalam
menyembah-Nya.
Selama Ramadhan hubungan manusia
dengan Allah SWT terwujud melalui rangkaian ibadah
dan amaliah. Baik ibadah wajib seperti puasa maupun
ibadah sunnah seperti tarawih dan witir atau ibadah
sunnah lainnya serta dengan amaliah sosial
kemanusiaan seperti zakat, infaq, dan sodaqah.
Seluruh rangkaian ibadah dan amaliah itu akan
menghidupkan dan membangkitkan energi spiritual

270 | H. Muhammad Nasir


yang terhimpit oleh debu-debu dosa keangkuhan dan
kezaliman manusia.
Karena hakikat kemanusiaan kita bertumpu
pada realitas spiritual, maka dimensi spiritualitas itu
muncul dan bangkit kembali tumbuh ibarat pohon
yang akan berkembang sehat dan berbuah banyak
ketika mendapatkan cukup vitamin, yaitu dengan
jalan riyadhah dan mendekatkan diri kepada Zat Yang
Maha spiritual yaitu Allah SWT. Jiwa kita akan
senantiasa suci dan penuh kedamaian kalau kita
selalu dekat dan mendekatkan diri kepada Dia Yang
Maha Suci dan Maha damai.
Berbagai bentuk ibadah yang kita lakukan
dalam bulan-bulan ramadhan, yang menjadi sarana
untuk memelihara kesucian dan keagungan ruhani
kita sehingga dengan begitu bisa mengarahkan
perilaku jasmani dan intelektual kita kepada arah
yang suci dan agung pula. Sementara itu hati
mempunyai fungsi untuk mengantarkan diri kita
kepada ruhani yang suci sehingga kita mencapai jiwa
yang tenang.
Kalau di dalam Alquran disebutkan bahwa
manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah
SWT, ini tidak berarti bahwa ibadah itu merupakan
tujuan akhir penciptaan manusia. Ibadah lebih
merupakan kata kerja yang secara esensial tujuannya
adalah untuk mendapatkan Ridha Allah SWT.
Rangkaian perintah ibadah Ramadhan dapat
dilihat sebagai kurikulum suci yang sengaja dirancang

MODERASI BERAGAMA | 271


oleh allah SWT untuk menyelamatkan perjalanan
iman agar selalu berada dalam jalan yang lurus (suci).
Perjalanan yang ditempuh sesungguhnya sangatlah
jauh. Yaitu perjalanan yang melintasi belantara dunia
dan perjalanan akhirat yang belum pernah
terpikirkan oleh akal manusia. Karena kehidupan ini
sudah berada dalam perjalanan duniawi tentu sangat
terikat oleh waktu dan tempat sehingga masih dapat
diukur dan diperkirakan oleh manusia. Dalam hal ini
banyak manusia yang menjalani hidupnya dalam
kelelahan dan ketidakpastian. Sebab semua itu
adalah karena mereka terus menerus tergoda oleh
godaan dunia. Mereka terus-menerus mencurahkan
perhatiannya kepada dunia. Kita telah berada dalam
zaman modern dan maju. Di zaman ini manusia telah
mampu mengembangkan dan menemukan sesuatu
bagi kepentingan dunianya. Namun harus seimbang
dengan kepentingan akhiratnya. Karena ke sanalah
manusia akan kembali. Di rumah abadi (akhirat)
adalah temapat diam selamanya. Di alam sana kita
membutuhkan spirit, semangat, yang berwujud amal
soleh yang kita lakukan ketika di alam dunia. Itulah
alam sesungguhnya, itulah kehidupan manusia yang
sebenarnya. Sebab itu sudah tak ragu lagi kita harus
bangkit untuk melakukan perubahan yang
sebenarnya yaitu perubahan kembali kepada jalan
spiritual (jalan ruhaniyah) dengan amal-amal saleh
sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT.

272 | H. Muhammad Nasir


Tahun boleh berganti, zaman boleh berubah,
tetapi manusia tetap sama selamanya sesuai dengan
desain Allah SWT. Manusia merupakan makhluk yang
selalu merindukan kebenaran dan akan merasa
tentram apabila mendapatkan kebenaran itu. Dan
sebaliknya, manusia akan galau, gelisah, apabila tidak
mendapatkan kebenaran itu. Kebenaran itu ada pada
spiritualitas manusia dalam keyakinan atau iman di
dada.
Kenyataan hidup yang penuh dosa harus
diubah menjadi hidup yang penuh pahala. Hidup yang
dihiasi dengan dengan bayangan dunia diganti
dengan bayangan surga. Dengan jalan ini berarti kita
telah melakukan evaluasi dan revolusi untuk
perubahan diri ke jalan Tuhan Yang Maha Lurus.
Itulah makna Idul Fitri yang hakiki, yang menjadi
tujuan ibadah pasca ramadhan.
Untuk itu, sebagai refleksi iman di dada, kita
merenung sejenak mendengarkan bahasa batin kita
yang terdalam. Yang selama ini terluka oleh dosa-
dosa kita yang telah lalu. Dengan meminta ampun
kepada Allah SWT. Dalam relung batin yang paling
dalam kita ungkapkan diri kita apa adanya.
Duhai Allah Yang Maha Pengasih, Yang
Mahalembut. Kami tidak pernah sanggup
menghitung karunia-Mu kepada kami. Seperti kami
tidak pernah sanggup menghitung berapa banyak
kedurhakaan kami kepada-Mu. Seharusnya kami
patuh pada perintah-Mu. Tapi kami lebih sering

MODERASI BERAGAMA | 273


durhaka. Seharusnya kami jauhi larangan-Mu. Tapi
kami lebih sering mengikuti hawa nafsu kami.
Duhai Allah Yang Maha Pengampun. Tidak
ada yang mampu mengampuni dan menutupi semua
dosa kami selain Engkau. Engkaulah penguasa
segalanya. Ampunilah dosa-dosa kami. Dosa-dosa
yang berserakan di sepanjang hidup kami. Ampuni
kelalaian kami mengingat-Mu. Ya Allah, jika Engkau
tak lagi berkenan mengampuni kami, maka entah ke
mana lagi kaki ini melangkah mencari pengampunan
itu.
Duhai Allah Yang Maha melihat, Yang Maha
mendengar. Hari ini, untuk kesekian kalinya kami
menundukkan jiwa kami dan mengakui betapa
seringnya kami durhaka kepada kedua orang tua
kami. Tidak jarang kami membantah dan berbicara
tidak pantas kepada mereka. Betapa seringnya kami
mengabaikan keperluan mereka. Kami seringkali lupa
bahwa merekalah pintu kami memasuki Surga-Mu, ya
Allah.
Duhai Allah Yang Maha luas ampunan-Nya.
Ampunilah semua kedurhakaan dan kelalaian kami
kepada mereka. Liputilah kedua orang tua kami
dengan ampunan dan rahmat-Mu. Terangi alam
kubur mereka yang telah tiada dan berikan kekuatan
beramal shaleh kepada mereka yang masih hidup. Ya
Allah, izinkan kami untuk berbakti sebaik mungkin
kepada mereka hingga kehidupan kami berakhir di
dunia ini.

274 | H. Muhammad Nasir


Ya Allah, Yang Maha Perkasa dan Maha
Bijaksana. Nun jauh di sana, ratusan bahkan ribuan
saudara kami sedang melewati episode-episode yang
berat dalam hidup mereka. Di Suriah, Irak, Palestina,
dan tempat lainnya. Saudara-saudara kami tetap
membesarkan dan mengagungkan Nama-Mu di
bawah cengkraman musuh-musuh-Mu yang zhalim.
Ya Allah, tidak ada satu pun yang luput dari
pengetahuan-Mu. Dengan kemahakuasaan-Mu,
segerakanlah pertolongan dan kemenangan untuk
mereka. Segerakanlah kehancuran dan kekalahan
kepada siapa pun yang berkonspirasi menzhalimi
mereka. Ya ‘Aziz, Ya Jabbar, Ya Dzal Jalaali wal
ikram….
Ya Allah, Tuhan Yang Maha Mendengar dan
Maha Melihat. Karuniakanlah kepada kami
pemimpin-pemimpin yang tidak pernah takut kecuali
kepada-Mu. Berikan hidayah kepada mereka untuk
selalu beribadah dan menegakkan ketetapanMu.
Karuniakanlah kepada kami para pemimpin yang
memimpin kami dengan cinta. Yang tulus memimpin
untuk kebaikan kami di dunia dan akhirat.
Ya Allah, Zat Yang Maha Mengabulkan doa.
Kabulkanlah doa kami. Penuhilah permintaan kami.
Kami adalah hamba-Mu yang lemah. Harapan kami
hanya kepada-Mu. Engkau Maha Mendengar.
Engkaulah Penguasa satu-satunya Yang Haq.
Engkaulah sebaik-baik pemberi yang diharap.

MODERASI BERAGAMA | 275


Mulai saat ini kami menyadari kembali bahwa
kesucian batin adalah tumpuan harapan setiap
hamba. Engkau Maha Suci. Engkau yang memegang
kesucian itu. Hari ini kami menghiba. Hati kami
meraba ke mana tempat kami membawa dosa-dosa
ini semua. Kami tidak sanggup lagi menggerakkan
bibir ini berucap menyampaikan kata-kata untuk
menunjukkan dosa-dosa yang begitu banyak. Kami
ingin berbenah. Kami ingin berubah dan kami ingin
sepenuhnya menjadi sang Hamba. Di hadapan-Mu
kami bersujud. Di mata-Mu kami berharap bangkitkan
hati kami dengan semangat iman yang tiada duanya.
Kesadaran akan kelemahan diri di hadapan
Allah SWT, dengan segala pengakuaan akan beban
dosa dalam hidup ini merupakan langkah yang tepat
untuk memperbaiki diri. Dan ini kita lakukan tidak
mesti menunggu datangnya Idul Fitri, melainkan
dilakukan sepanjang hayat kita. Ini adalah
pertaubatan seorang terhadap dosa di hadapan Allah
SWT. Jika itu kita lakukan secara terus menerus maka
akan terjadi perubahan dalam diri kita yang tercermin
dalam sikap yang ditampilkan. Perubahan sikap itu
adalah sebuah revolusi diri. Yaitu revolusi spiritual
yang membawa dampak secara positif dalam sikap
beragama dalam hidupnya. Hidup terasa lebih
nyaman, hidup akan lebih tenang dan hidup akan
lebih bermakna. Kesucian batin yang dirasakan
mendorong kita untuk hidup dalam genggaman ridha
Ilahi. []

276 | H. Muhammad Nasir


7
MEMBANGUN RUHANI UNTUK
KESEJAHTERAAN JASMANI

Setiap tahun datangnya Ramadhan selama


satu bulan, biasanya hati umat Islam kembali berada
dalam suasana hening dan khusu’ menikmati
lembutnya dekapan Ramadhan Mubarak. Selama itu
mereka senantiasa berusaha memisahkan dan
bahkan telah menjauhkan hiruk pikuk dunia dalam
irama batin yang mendalam sehingga terasa hidup ini
seakan-akan berjalan lebih cepat menuju rumah
keabadian.
Bulan Ramadhan merupakan bulan
dekonstruksi kemapanan hidup yang sebelumnya
cenderung pengap dan terkontaminasi. Lalu kita
rekonstruksi ulang untuk merevitalisasi kefitrian kita.
Melalui ibadah Ramadhan, diharapkan berlangsung
sebuah tranformasi diri dan sosial, sebuah gerak
sentripetal. Yaitu menyatunya orientasi hidup yang
semula terkeping-keping lalu menjadi utuh karena
diikat oleh kesadaran batin dan sikap pasrah total
kepada Allah SWT.
Salah satu target dan pesan Ramadhan adalah agar
kita mampu untuk menghayati doktrin suci agama
bahwa Allah itu dekat/omnipresent, yang selalu
mengawasi dan membimbing serta melindungi
setiap hamba-Nya yang bermohon kepada-Nya.

MODERASI BERAGAMA | 277


Melalui ibadah puasa, seseorang diajak menghayati
harkat kemerdekaannya dan menyadari bahwa
manusia pada dasanya makhluk yang bermoral yang
selalu mendambakan akhlak mulia serta ingin selalu
memegang amanah.
Dengan menghayati harkat kemerdekaannya
itu, perbuatan baik yang dilakukannya sama sekali
bukan karena mengharap pujian dari orang lain.
Tetapi semata-mata karena setia pada hati nurani dan
malu kepada Allah SWT. Oleh karenanya Rasulullah
SAW selalu menekankan bahwa puasa itu urusan
seseorang dengan Tuhannya. Tidak ada hak orang
lain untuk melakukan intervensi dan inspeksi apakah
seseorang tengah berpuasa atau tidak. Ini
dimaksudkan sebagai cara Allah SWT agar lewat
puasa, seseorang mukmin terlatih untuk selalu
bersifat jujur dan memiliki rasa malu sehingga
nuraninya akan terampil menjadi hakim jika dirinya
melakukan peruatan dosa.
Ramadhan mengajarkan sikap pengendalian
dan menahan diri dari perbuatan dosa yang akan
menggrogoti batin atau nurani kita. Pendidikan dan
latihan penyucian ruhani itu telah kita lakukan
dengan baik walaupun masih belum sempurna. Kita
telah berusaha membangun ruhani dengan
mensucikan diri selama Ramadhan. Sebab itulah Allah
mengingatkan kita dalam QS. Al-Baqarah ayat 188:

278 | H. Muhammad Nasir


Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (Qs.
Al-Baqarah 188).

Ayat tersebut menuntun kita bahwa setelah


kita sucikan diri dengan berbagai ibadah Ramadhan.
Jangan kita kotori lagi dengan memakan harta haram
dan dosa lainnya yang menghancurkan kesucian
nurani kita. Untuk itu kita mesti menahan diri secara
sungguh-sungguh agar tidak tergoda oleh
kenikmatan sesaat yang akan menghancurkan aset
dan sumber kebahagiaan sejati di masa mendatang.
Sebab ketidakmampuan kita menahan diri
merupakan akar dari krisis sosial dan moral yang
menimpa bangsa kita hari ini yang secara nyata telah
melahirkan pola hidup baru. Yaitu gaya hidup
hedonistis, berjangka pendek, dan materialistik,
sebagaimana yang kita rasakan.
Muara atau buah ibadah Ramadhan, baik itu
puasa ataupun ibadah lainnya seperti sholat, harus

MODERASI BERAGAMA | 279


bisa dirasakan oleh sesama manusia, antara lain
komitmen untuk menegakkan etika sosial dan akhlak
mulia dalam kehidupannya. Sehingga agenda besar
yang ingin dicapai oleh pesan Ramadhan adalah agar
kita menumbuhkan amal-amal sosial melalui etos
kerja keras (working ethos) dan etos memberi (giving
ethos). Sekali lagi, salah satu penyebab krisis bangsa
kita ini adalah karena working and giving ethos
dikalahkan oleh consumming and begging ethos. Yaitu
gaya hidup konsumerisme yang ditopang oleh
mental meminta-minta. Bukannya oleh tradisi kerja
keras. Sebuah masyarakat yang baik adalah sebuah
masyarakat yang mampu menahan diri dari sifat
konsumtif. Namun tetap memlihara etos kerja
produktif seraya menumbuhkan solidaritas sosial.
Dengan demikian nilai dari ibadah selama
Ramadhan secara kontinuitas berlanjut di luar
Ramadhan. Ini berarti bahwa korelasi antara ibadah
Ramadhan dan tindakan praksis dirasakan nyata.
Untuk itulah ibadah sholat yang kita lakukan
merupakan kesadaran vertikal-spiritual dan aksi sosial
yang disimbolisasikan dengan ucapan takbir di awal
sholat dan diakhiri dengan salam, merupakan bahasa
performatif dan deklaratif bahwa setiap muslim yang
selalu menegakkan sholat, baru akan bernilai dan
bermakna sholatnya kalau ditunjukkan dengan sikap
kepedulian sosial secara nyata. Dan begitu pun
dengan ibadah puasa yang merupakan wujud
ketaatan kepada Allah SWT. Namun efeknya harus

280 | H. Muhammad Nasir


bermanfaat bagi manusia sehingga di pengujung
Ramadhan ditutup dengan mengeluarkan zakat
fitrah serta mendirikan sholat berjamaah dan maaf-
memaafkan sembari memperbanyak takbir dan
tahmid menyambut hari kemengan Idul Fitri.
Ibadah Ramadhan juga telah mendidik ruhani
dan batin kita untuk menghilangkan sifat egoisme
dan kikir. Egois merupakan pola hidup dalam bingkai
diri sendiri yang merupakan penyakit modernisasi
dan globalisasi yang tak terhindari saat ini. Akibatnya
kedamaian jiwa dan ketenangan batin seringkali
direngkuh jika setiap orang tidak selalu berpikir
keuntungan pribadi.
Hidup yang hanya memikirkan diri sendiri
paling tidak akan menimbulkan akhlaq buruk, yaitu
rakus, tamak, dan bakhil. Karena dirinya selalu
merasa kekurangan, tidak pernah merasa puas, maka
sifat Qana’ah tidak bersemayam dalam hatinya.
Ibadah puasa yang kita lakukan di bulan
Ramadhan ini mengajak orang yang beriman kepada
tiga hal penting yang menjadi buah ibadah puasa,
yaitu: Pertama, kita diajak untuk menghayati ke-
Maha hadiran Allah SWT dalam hidup, sehingga di
mana pun dan kapan pun kita sanggup menahan diri
untuk tidak makan dan minum, meskipun lapar dan
haus, semata-mata kepasrahan kita kepada-Nya.
Kedua, dengan kesanggupan menunda kenikmatan
jasmani yang bersifat sesaat. Sesungguhnya kita
tengah melakukan investasi kenikmatan yang lebih

MODERASI BERAGAMA | 281


agung dan sejati di hari depan (akhirat). Ketiga, di
samping puasa mengajarkan berpandangan ke masa
depan (future oriented), puasa juga mengajarkan kita
untuk menumbuhkan dan mempertajam kepekaan
sosial, yaitu berbagi rasa dan berempati dengan
derita orang lain.
Dengan demikian, puasa Ramadhan
merupakan bulan di mana kita mempersiapkan diri
lahir dan batin. Untuk menjalani sisa hidup kita di 11
bulan yang akan datang yang tercermin dalam
perilaku hidup yang sesungguhnya. Bukan hidup
yang fatamorgana. Yang menipu dan
membingungkan. Mari kita pertahankan perilaku
hidup dalam ketaatan dan kita jauhkan perilaku hidup
dalam kemurkaan.
Ketaatan merupakan bangunan kepribadian
yang paling asasi dalam diri manusia. Ia akan menjadi
warna sekaligus cermin yang memantulkan
kecantikan budi dan kelembutan akhlaq dalam
interaksi kehidupannya. Setiap perilaku itu muncul,
setiap kali pula sanjungan dan pujian hadir di
hadapannya. Seluruh makhluk akan memujinya dan
menyayanginya. Sehingga apabila gambaran realitas
cinta sudah menjadi kepribadiannya, maka keelokan
dan kecantikan jasmani secara serta merta menjadi
indah dan elok.
Sebagai makhluk biologis manusia diciptakan
dengan sebaik-baik bentuk oleh Yang Maha Pencipta.
Bentuk rupa yang baik dan elok itu memiliki karakter

282 | H. Muhammad Nasir


perubahan bentuk secara terus-menerus disadari
ataupun tidak. Perubahan tersebut adalah
sunnatullah sebagai ciri kehidupan fana di dunia ini. Ia
tidak ada yang kekal dan abadi. Segalanya berubah
oleh pergeseran waktu dan perubahan masa.
Manusia lahir terus berproses menjadi besar untuk
selanjutnya menjadi tua dan pada akhirnya punah,
alias meninggal dunia. Begitulah terus menerus
proses kehidupan ini sampai ke titik akhir kehidupan
dunia, alias kiamat nanti.
Allah SWT tidak hanya menciptakan manusia
dalam bentuk biologis semata, tetapi manusia juga
disempurnakan dengan ruhaniah. Sebagai mahkluk
ruhaniah, manusia memiliki sifat-sifat suci yang
tertanam dalam lubuk hati yang dalam, yaitu nurani.
Dalam jiwa yang suci inilah manusia memiliki
kekuatan yang tidak terjangkau oleh akal karena
kekuatan itu berada dalam diri manusia yang menjadi
pendorong kebaikan perilaku, kebaikan budi, dan
akhlaq manusia. Antara jasmani dan ruhani tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Jasmani
mencerminkan ruhani, dan ruhani mencerminkan
jasmani. Kedua-duanya merupakan kekuatan dan
energi jiwa yang mencerahkan manusia. Dalam
pemahaman demikian, maka jasmani dan ruhani
harus menjadi perhatian yang sangat penting bagi
manusia. Karena pada prinsipnya jasmani adalah
karakter duniawi sedangkan ruhani adalah karakter
ukhrawi. Antara dua karakter ini sangat penting baik

MODERASI BERAGAMA | 283


duniawi maupun ukhrawi perlu dibangun dengan
baik.
Kebanyakan manusia yang lalai selalu sibuk
dengan membangun duniawi yang bersifat
jasmaniah. Sedangkan membangun akhirat yang
bersifat ukhrawi terlupakan. Oleh sebab itu kita harus
meluruskan dan mengembalikan paradigma selama
ini yang mana manusia selalu mengutamakan
memperbaiki jasmaniahnya dari pada ruhaniahnya.
Padahal sifat-sifat jasmaniyah relatif dan berubah.
Bahkan akan punah ditelan masa. Sedang sifat-sifat
ruhaniah kekal dan abadi dan tidak akan hilang
selamanya.
Sudah saatnya kita mengubah orientasi hidup
ini dengan mengutamakan perbaikan ruhaniah
daripada perbaikan jasmaniah. Memperbaiki ukhrawi
daripada memperbaiki duniawi. Inilah petunjuk Nabi
SAW ketika ditanya oleh sahabat tentang dunia.
Beliau tidak mengajarkan dunia kepada sahabat.
Tetapi Beliau Yang Mulia hanya mengatakan, “Antum
‘alamu bi ‘umuriddunyakum” (kamu lebih
mengetahui tentang urusan duniamu). Saatnya kita
membangun orientasi hidup dari orientasi dunia
(duniawi oriented) kepada orientasi akhirat (Ukhrawi
oriented). []

284 | H. Muhammad Nasir


BAGIAN KEEMPAT

PENUTUP
KHATIMAH

MODERASI BERAGAMA | 285


PENUTUP
KHATIMAH
Adalah suatu keniscayaan bahwa umat
beragama harus memposisikan diri sebagai umat
yang middle way bagi semua urusan kemanusiaan.
Yakni jalan lurus yang jauh dari ekstrimisme. Umat
dengan segala potensi ajarannya mengagungkan dan
menjunjung moderasi. Ummatan Wassatha (ummat
yang moderat) adalah satu umat yang ditunggu-
tunggu perannya di pentas dunia di pelataran
peradaban dunia modern. Umat beragama harus
membuktikan bahwa ajaran agama yang ada dalam
kitab suci mereka harus menjadi guideline untuk
menata dan meniti kehidupan yang lebih baik dan
bermakna.
Moderasi beragama harus melahirkan
peradaban besar dengan spektrum yang menjangkau
dan menguncangkan dunia. Kaidah-kaidah ajaran
agama (baca: Islam) yang menampilkan moderasi
dalam formatnya yang paling indah ialah
menjadikannya sangat mudah diterima oleh setiap
lapisan masyarakat dan manusia mana pun. Sebab
itulah moderasi beragama telah memberikan jaminan
ruang hidup abadi pada ajaran agama lain hingga
akhir zaman. Keluasan dan keluwesan serta
kelenturan ajaran pokok dan cabang, menjadikannya

286 | H. Muhammad Nasir


senantiasa mampu beradaptasi dengan situasi apa
pun di segala zaman dan waktu. “Shalehun li kulli
zaman wa makan”.
Moderasi beragama yang “built in” di tengah-
tengah kerisauan dan ketakutan terhadap intervensi
dan dominasi dunia globalisasi dan milenialisme,
tetap saja menjadi jaminan bahwa agama Islam tetap
unggul atas agama mana pun. Dan atas ideologi apa
pun yang diproduksi manusia. Moderasi dengan
wajah yang damai, toleran, dan adil merupakan
bagian ajaran penting yang mesti ditumbuhkan,
sehingga menjadi umat terbaik sebagaimana yang
diciptakan Allah SWT. Firman-Nya dalam Qs. Al-
Baqarah ayat 143:

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan


kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui

MODERASI BERAGAMA | 287


(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa
yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Qs.
Al-Baqarah 143).

Moderasi dengan wajahnya yang damai


menebarkan rahmat pada semesta, yang
menawarkan kemanusiaan dalam format yang
sebenarnya. Untuk itu dapat kita sajikan beberapa
karakter dasar moderat yang menjadi jati diri Islam
dalam berinteraksi dengan globalisasi pada abad
milenial saat ini, yaitu:
1. Moderasi Islam tidak menjadikan akal sebagai
hakim sebagai pengambil keputusan akhir jika
apa yang menjadi keputusan itu
berseberangan dengan nash, dan pada saat
yang sama, dia tidak menafikan akal untuk
bisa memahami nash.
2. Moderasi Islam memiliki sikap luwes dan luas
dalam beragama. Tidak keras dan tidak kaku
dalam sesuatu yang bersifat juz’i, namun
pada saat yang sama tidak menggampangkan
sesuatu yang bersifat ushul (fundamental)
sehingga dilanggar rambu-rambunya.
3. Moderasi Islam tidak akan pernah
mengkuduskan turats (khazanah pemikiran

288 | H. Muhammad Nasir


lama) jika sudah jelas-jelas ada
kekurangannya. Namun pada saat yang sama
tidak pernah meremehkannya jika di
dalamnya ada keindahan-keindahan hidayah.
4. Moderasi Islam merupakan pertengahan di
antara kalangan filsafat idealis yang hampir-
hampir tidak bersentuhan dengan realitas,
dan jauh dari sikap pragmatis yang sama
sekali tidak memiliki idealisme.
5. Moderasi Islam adalah sikap pertengahan
antara filsafat liberal yang membuka kran
kebebasan tanpa batas kepada setiap
individu, walaupun mengorbankan
kepentingan masyarakat dan jauh dari sikap
over-sosial dengan mengorbankan sama
sekali kepentingan individu.
6. Moderasi Islam bersikap lentur dan
senantiasa adaptatif dalam sarana namun
tetap kokoh dan ajeg sepanjang menyangkut
masalah prinsip dan dasar.
7. Moderasi Islam tidak pernah melakukan
tajdid dan ijtihad dalam hal-hal yang bersifat
pokok dan jelas dalam agama dan merupakan
masalah-masalah qath’i. Dan pada saat yang
sama tidak setuju dengan sikap taklid
berlebihan sehingga menutup pintu ijtihad.
Walaupun masalahnya adalah masalah
kontemporer yang sama sekali tidak terlintas
dalam benak ulama-ulama terdahulu.

MODERASI BERAGAMA | 289


8. Moderasi Islam tidak pernah meremehkan
nash dengan dalih maksud-maksud syariah
(maqashid syariah) dan pada saat yang sama
tidak mengabaikan maksud syariah dengan
dalih menjaga nash.
9. Moderasi Islam menentang sikap
keterbukaan tanpa batas dan ketertutupan
tanpa batas.
10. Moderasi Islam terbuka terhadap peradaban
mana pun dengan selektif yang sangat ketat.
Namun akan senantiasa mampu
mempertahankan jati dirinya tanpa
mengalami erosi orisinalitasnya.
11. Moderasi Islam mampu mengadopsi
pemikiran mana pun dan
mengembangkannya sepanjang tidak
perlawanan dengan nash yang shahih dan
berada di antara liberalisme dan kejumudan
pemikiran yang membawa kemunduran. []

290 | H. Muhammad Nasir


DAFTAR BACAAN
Abdul Mu’ti. Deformalisasi Islam (Moderasi Beragama
di Tengah Modernitas). Grafindo Khazanah Ilmu.
Jakarta. 2004
Ahmad Sathori Ismail. Dr. Prof. Islam Moderat
(Menebar Islam Rahmatallil ‘alamin). Pustaka Ikadi.
Jakarta. 2007
Bahrul Hayat, Phd. Mengelola Kemajemukan Umat
Beragama. PT Sa’adah Cipta Mandiri. Jakarta. 2001
Umar Shihab, Dr.Prof. Perbedaan Bukan Perpecahan.
Focus Grahamedia. Jakarta. 2014.
J. Athiyah Muhammad, Dr.Prof. Saleh Bergaul (Fiqih
Baru Untuk Perdamaian). Penerbit Marja. Bandung.
2003
Tobroni dan Syamsul Arifin. Islam Pluralisme Budaya
dan Politik (Refleksi Theologi Untuk Aksi dalam
Keberagamaan dan Pendidikan). Sipress. Yogyakarta.
1994.
H.M. Ridwan Lubis, Dr.Prof. Cetak Biru Peran Agama
(Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender, dan
Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural).
Puslitbang Kementerian Agama. Jakarta. 2005
Adi, Rianto. Metode Penelitian Sosial dan Hukum.
Garanit. Jakarta. 2000
Ahmad, Amrullah. Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional. Gema Insani Press. Jakarta.
1996

MODERASI BERAGAMA | 291


Al-Anshari, Zakaria. Al Syarqawi ala Al Tahrir. Al
Haramain. Jeddah. 1990
Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah Hukum
Perkawinan Islam. Pustaka Amani. Jakarta. 1989
Al Gundur, Ahmad, Al Talaq fi Syaria'ah al
Islamiyah Waal Qanun. Darul Ma'rifah. Mesir. Kairo.
1977
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Raja
Grafindo Persada. Jakarta. 1999
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Sinar Grafika. Jakarta. 2006
Al Jaziri, Abu Bakar Jabir. Pedoman Hidup Muslim,
terjemahan oleh Hasanuddin dan Didin Hafidhuddin.
Litera Antar Nusa. Jakarta. 1996.
Al Jazry, Abdurrahman. Kitab Al Fiqh Ala Al
Mazahib Al Arba'ah. Al Taufiqiyah. Mesir, Kairo, 1969
Al Juhaily, Wahbah. Al Fiqh Al Islam Wa Adillatuh.
Dar al Fikr. Mesir, Kairo 1989
Al Kahlani, Muhammad Ismail. Subulus Salam,
diterjemahkan oleh Abubakar Muhammad. Al
Ikhlas. Surabaya. 1995
Al Kurdi, Ahmad Al Hajj. Hukum-hukum Wanita
dalam Fiqih Islam. DIMAS. Semarang, 1990
Al Maraghi, Ahmad Musthafa. Terjemahan Tafsir
al Maraghi. Toha Putra. Semarang. 1980
Al Masri, Nasrat. Nabi Suami Teladan, terjemahan.
Gema Insani Press. Jakarta. 1994
Amini, Ibrahim. Hak-hak Suami dan Isteri. Cahaya.

292 | H. Muhammad Nasir


Jakarta. 2008
Anas, Ibrahim. Al Mu'jam Al Wasid. Dar Al Ma'arif.
Mesir, Kairo.1978
Anwar, Moh. Dasar-dasar Hukum Islam dalam
Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama.
Diponegoro. Bandung. 1991
Arabi, Ibnu. Tafsir al Qurtuby. Da ar Shafwat. Mesir,
Kairo. 1980.
Busyaeri, Kamraeni. Pendidikan Keluarga dalam
Islam. Bina Usaha. Yogyakarta, 1990
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam, Suatu
Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlu Sunnah
dan Negara-negara Islam. Bulan Bintang. Jakarta,
2005
Daradjat, Zakiyah. Ketenangan dan Kebahagiaan
dalam Keluarga. Bulan Bintang. Jakarta. 1984
Daud, Abu. Sunan Abu Daud. Dahlan. Bandung. 1966
Dzuhayati. Siti Ruhaini. Fiqh dan Permasalahan
Perempuan Kontemporer. Ababil, Yogyakarta. 1996
F. Mas'udi, Masdar. Islam dan Hak-hak Reproduksi
Perempuan. Mizan. Bandung. 1997
Fuad, Muhammad, Abdul al Baqiy. al Mu'jam al
Mufahras li Alfaz Al Quran. Dar al Fikr. Mesir, Kairo.
1981
Hambal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hambal.
Dar al Kutub al Alamiah. Beirut, Libanon, 1993
Hamdanah. Musim Kawin di Musim Kemarau
(Studi atas Pandangan Ulama
Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi

MODERASI BERAGAMA | 293


Perempuan). Bigraf
Publishing, Yogyakarta, 2005
Hamid, Zahri. Pokok-pokok Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia.
Binacipta, Bandung. 1976
Hamka. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Pustaka
Panjimas. Jakarta, 1980. Tafsir Al Azhar. Bulan
Bintang. Jakarta. 1990.
Hanitijo Soemitro, Ronny. Metodologi Penelitian
Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta,
1990
Hasyim, Ahmad Syafiq, Hal-hal yang Tak Terpikirkan
tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam
Sebuah Dokumentasi. Mizan. Bandung. 1975
Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia.
Tintamas. Jakarta. 1961
Hazm, Ibnu, Al Muhalla. Dar Ihyaa at Tuurast al Arabi.
Beirut. Libanon. 1997
Husein, Syahruddin. Suatu Pedoman ke Arah Ilmu
Hukum. USU Press, Medan, 1996
Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir
Al Qur'an Klasik dan Kontemporer. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 1997
Ismail, Ahmad bin. Adawat Al Hijab. Dar ar Shafwat.
Mesir, Kairo. 1991
Istiadah. Membangun Bahtera Keluarga Yang Kokoh,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
Jafizham, T. Persentuhan Hukum di Indonesia
dengan Hukum Perkawinan Islam. Percetakan

294 | H. Muhammad Nasir


Mestika. Medan. 1977
J. Schmidt, Alvin. Veiled and Silenced: How Culture
Shaped Sexist Theology Macon. Mercer University
Press. Georgia. 1989
Junus, Mahmud. Tarjamah Al Quran Al Karim. AL-
Ma'arif. Bandung, 1984
Langgulung, Hasan. Dasar-dasar Pendidikan Islam. Al
Husna. Jakarta. 1988
Latief, A. Jamil. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia.
Ghalia Indonesia. Jakarta. 1986
Lubis, M. Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Mandar
Maju. Bandung. 1994
Ma'luf, Luwice. Al Munjid fi al Lughah. Al Masyriq.
Beirut, Libanon. 1973
Maruzi, Muslich. Koleksi Hadits Sikap dan Pribadi
Muslim. Pustaka Amani. Jakarta. 1995
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Liberty.
Yogyakarta.1999
Mu'allim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran
Hukum Islam. UII Press. Yogyakarta. 1999
Abdullah, Taufik, & Rusli Karim, ed. Metodologi
Penelitian Agama. Tiara Wacana. Yogyakarta. 1990.
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia.
Pengalaman Islam. Paramadina. Jakarta 1999.
Eliade, Mircea, (ed.) Encyclopaedia of Religion, Vol.12.
MacMillan Publishing Company. 1987.
Ghazali, Adeng Muchtar. Ilmu Studi Agama. Pustaka
Setia. Bandung. 2005.

MODERASI BERAGAMA | 295


, (ed.). Otonomi Pendidikan. Lembaga
Penelitian UIN SGD Bandung. 2008.
Sumber diambil dari tulisan Hujair Sanaky.
Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia
Pasca Reformasi Antara Mitos dan Relitas.
www.sanaky.com. September 2006.
, Agama dan Kebergaman dalam Konteks
Perbandingan Agama. Pustaka Setia Bandung.
2004.
Halim, Abdul. Pendidikan: Simbol Peradaban. Sumber:
http://www.penulislepas.com; 16 April 2008.
Hidayat, Komarudin. Agama Untuk Kemanusiaan
dalam Andito (ed), Atas Nama Agama. Pustaka
Hidayah. Bandung. 1998.
http://qastalany.wordpress.com/2007/09/22/paradig
ma-pendidikan-Islam/ - _ftn3.
Jalal, Fasli. Reformasi Pendidikan dalam Konteks
Otonomi Daerah. Adicita. Yogyakarta. 2001.
Ma’arif, Syamsul. “Islam dan Pendidikan Pluralisme,
Menampilkan Wajah Islam Toleran melalui
Kurikulum PAI berbasis Kemajemukan”, Makalah
yang disampaikan dalam Annual Conference
Kajian Islam. Lembang Bandung, 26-30
November. 2006.
Ma’hady, Muhaemin el-, “Multikulturalisme dan
Pendidikan Multikultural (sebuah kajian awal)”,
dalam www.komunitasdemokrasi.or.id. 3
November 2008.

296 | H. Muhammad Nasir


Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban,
Membangun Makna dan relevansi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Paramadina. Jakarta. 1995.
Mahzar, Armahedi. Dalam pengantar untuk
terjemahan R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan
Fundamen-talis lainnya. Pustaka. Bandung. 1993.
Moreno, F.J., Agama dan Akal Fikiran. Terjemahan,
Rajawali. Jakarta, 1985.
Permata, Ahmad Norma, (ed.). Metodologi Studi
Agama. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2000.
Rachman, Budhy Munawar. “Resolusi Konflik Agama
dan Masalah Klaim kebenaran”, salah satu
kumpulan tulisan yang terdapat dalam buku
berjudul: Dari keseragaman Menuju
Keberagaman, Wacana Mult-Kultural Dalam
Media. Sandra Kartika dan M. Mahendra (editor).
Lembaga Studi Pers & Pembangunan. Jakarta,
1999.
Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis, Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman. Paramadina. Jakarta.
2001.
Rasjidi, M., Al-Djami’ah. Nomor Khusus, Mei 1968
Tahun ke VIII.
Robertson, Roland. Sosiologi Agama, terjemahan.
Tonis Bandung. 1985.
Wach, Joachin, the Comparative Study of Religions,
Diedit dan diberi pengantar oleh Joseph M.
Kitagawa, Columbia University Press, New York,

MODERASI BERAGAMA | 297


1958; Edisi Indonesia diterbitkan oleh Rajawali,
Jakarta, 1984.
H.M. Ridwan Lubis, dkk. Penuntun Kerukunan Hidup
Umat Beragama. Bandung. LPKUB Medan dan
Ciptapustaka Media Bandung, 2004.
WJS. Poerwadarminta, Logat Ketjil Bahasa Indonesia,
Jakarta, JR.Walter, 1954.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 8 dan 9, Balitbang dan Diklat
Kemenag RI, 2006.
Prof.Dr.H.M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama ,
Merajut Kerukunan, Keseataraan Gender, dan
Demokrasi dalam Masyarakat Multikultural,
Puslitbang Agama, Jakarta, 2006.
H.Haidhor Ali Ahmad (Ed), Revitalisasi Wadah
Kerukunan di berbagai daerah di Indonesia. Balitbang
Kemenag RI. 2009.
Pemda Kepulauan Riau, Kepulauan Riau Dalam angka.
(tahun 2011).
Dra. Akif Khilmiyah, MA. Menata Ulang Keluarga
Sakinah (Keadilan Sosial dan Humanisasi mulai dari
Rumah). Pondok Pustaka Jokya. 2003).
Roos Poole. Morality and Modernity, diterjemahkan F.
Budi Hardiman. Moralitas dan Modernitas di bawah
Bayang-Bayang Nihilisme. (Yogyakarta: Kanisius,1993)
Lihat H. Held. Introduction to Critical Theory:
Horkheimer to Habermas, (London:, Hutchinson,
1980).

298 | H. Muhammad Nasir


Doyle PaulJohnson. Sotiological Theory, Clasical
Founders and Contemporarty Perstives, terj, Robert.
MZ, Lawang. dalam Teori Sosiologi Klasik dan Modern.
PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.1984.
Prof, Dr. M. Quraysh Shihab. Perempuan (Dari Cinta
sampai seks. Dari Nikah Mutah sampai Nikah Sunnah.
Dari bias lama sampai bias baru). Lentera Hati. Jakarta.
2005.
Otto Soemarwoto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan. P. Djambatan, Jakarta, 1989.

MN

MODERASI BERAGAMA | 299


300 | H. Muhammad Nasir
Profil Penulis

H. Muhammad Nasir, yang lahir


di Desa Padang Mutung
Kabupaten Kampar Provinsi Riau
tanggal 03 September 1970
adalah Pegawai Kementerian
Agama sejak tahun 1997, yang
sekarang menjabat sebagai
Kepala Kantor Kementerian
Agama Kabupaten Lingga
Kepulauan Riau.
Penulis telah banyak berpengalaman dalam
berbagai profesi di samping sebagai Pegawai Negeri
Sipil. Di antaranya: Sebagai Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan Lubuk Baja Batam 2001-2005.
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Ibnu Sina Batam
1999-2006. Dosen Sekolah Tinggi Tehnologi (STT)
Tanjungpinang 2006-2009. Dosen Sekolah Tinggi
Agama Islam Miftahul ‘Ulum 2006-2010. Dosen
Sekolah Tinggi Agama Islam Sultan Abdurrahman
Kepri 2010-2012. Kepala Sub Bagian Informasi
Keagamaan, Hukmas, KUB dan Umum Kanwil
Kemenag Provinsi Kepri 2006-2012. Kepala SubBagian
Ortala dan Kepegawaian Kanwil Kemenag Kepri 2012-
2013 dan Kepala SubBagian Hukum dan KUB Kanwil
Kemenag Kepri 2013-2014. Kepala Kantor Kemenag

MODERASI BERAGAMA | 301


Tanjungpinang 2014-2017. Kepala Kemenag
Kabupaten Bintan 2017-2018 dan Kepala Kantor
Kemenag Kabupaten Lingga 2019-sekarang.
Pendidikan formalnya dimulai dari SD Negeri
Desa Padang Mutung Kampar (1984), MTs.N Kuok
Bangkinang (1987), Pendidikan Guru Agama Negeri
(PGAN) Pekanbaru (1990), dan S.1 Fakultas Tarbiyah
IAIN SUSQA Pekanbaru Riau (1990). Kemudian
melanjutkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Depok Jakarta tahun 1995. Sa’at ini sedang
melanjutkan pendidikan S3 di Universitas Islam
Negeri Jambi.
Penulis juga banyak menulis artikel di
berbagai media massa, di samping profesi sebagai
Muballigh juga sebagai narasumber dalam berbagai
latihan dan pembinaan kemasyarakatan, pendidikan
dan pembinaan mental remaja. Di antara buku-buku
penulis yang telah dipublikasikan: Mata Air Keimanan
Membangun Moral Agama (Secercah Hikmah
Goresan Pena sang hamba), Kepri, Penerbit, CV, Indo
Gian, Indonesia 2016. Bertutur Agama Mengambil
Hikmah, Kepri, Dicetak, CV. Indo Giant, Indonesia,
2015. Peran Strategis Profesionalisme Keguruan
(Paradigma Membangun Mutu Guru Madrasah),
Kepri, Penerbit, Kanwil kemenag Kepri, 2015. Serambi
Pemikiran Hukum (Analisis Beberapa Aspek
Pemikiran Hukum Di Indonesia), Kepri, Percetakan
CV. Indo Giant, Kepri Indonesia, 2015. Spiritualitas
Kepemimpinan Bagi Aparatur Sipil Negara, Kepri,

302 | H. Muhammad Nasir


Penerbit Kemenag Provinsi Kepri, Indonesia, 2015.
Sebening Hati Cinta Meraih Taqwa, (Belajar
Tasawwuf Sepanjang Hayat), Indramayu. Dicetak dan
diterbitkan oleh YM Publishing, 2019. Agama dan
Moralitas Era Milenian ( Membumukan Nilai Adab
dalam Kehidupan ), Penerbit Yayasan Mujaddid,
Anggota IKAPI Bandung, Indonesia, Percetakan, YM
Publising, Bandung Barat Indonesia, 2020. Moderasi
Beragama (Memperteguh Nilai-nilai Islam Aktualitas
Umat), Penerbit Kemenag Lingga Kepri, Percetakan,
YM Publising Bandung Barat Indonesia, 2021. []

MODERASI BERAGAMA | 303

Anda mungkin juga menyukai