Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Abstrak: Artikel ini akan membahas tentang otokritik terhadap independensi Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa islam tertua di Indonesia. Dalam
mencermati perjalanan sejarahnya yang telah melampaui usia setengah abad, dinamika
HMI adalah sebuah catatan yang berkembang, dan diyakini sebagai salah institusi yang
telah memainkan peran fungsional-historisnya dalam mozaik sejarah perjuangan Indonesia.
Peran-peran historis yang telah secara inheren melekat dalam tubuh HMI semestinya
menjadi energi gerak dalam satu misi besar: transformasi sosial menuju Indonesia baru
dengan visi intelektualisme Islam yang kompatibel. Untuk mengantisipasi perubahan
masyarakat yang cepat, maka upaya-upaya mengubah orientasi, cara-pandang, metode,
paradigma, dan gerak juang HMI, dengan sendirinya menjadi sebuah kemestian sejarah,
khususnya dalam “membayangkan” masa depan bangsanya. Perlu sebuah otokritik yang
pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan budaya dalam suatu
komunitas masyarakat, golongan, keluarga, organisasi maupun lembaga yang dilakukan
oleh anggotanya sendiri, untuk kepentingan kelompok itu sendiri.
This article will discuss self-criticism towards the independence of the Islamic Student
Association (HMI) as the oldest Islamic student organization in Indonesia. In observing its
historical journey which has passed the age of half a century, the dynamics of HMI is a
developing record, and is believed to be one of the institutions that has played its
functional-historical role in the historical mosaic of the Indonesian struggle. The historical
roles inherent in HMI should be the driving force for one big mission: social transformation
towards a new Indonesia with a compatible vision of Islamic intellectualism. To anticipate
the rapid changes in society, efforts to change the orientation, perspective, method,
paradigm, and movement of HMI, naturally become a historical necessity, especially in
"imagining" the future of their nation. Self-criticism is needed which is basically an effort
to make cultural changes in a community, class, family, organization or institution carried
out by its own members, for the benefit of the group itself.
Melihat kondisi HMI saat ini sangat jauh dari harapan masyarakat. Jangankan
menjadi harapan masyarakat Indonesia, jangan-jangan HMI telah dilupakan umat. HMI
seakan ada namun tidak ada. Di dalam idiom bahasa Arab sering disebut, wujuduhu
ka’adamihi (adanya sama seperti tidak adanya). Datang tidak menambah bilangan dan
pulang tidak mengurangi jumlah. Ironisnya tidak saja pandangan miring ini muncul dari
masyarakat, tetapi juga muncul dari kader HMI sendiri. Kader HMI seolah kehilangan
ghirah dan semangat berorganisasi. Kader HMI tampaknya lebih tertarik berorganisasi
dengan keuntungan material yang langsung dapat diterima dan dirasakan, tidaklah
mengherankan banyak mahasiswa yang terlibat dalam suksesi Pilkada mendukung calon
tertentu dan melakukan apa pun demi calon yang memberinya keuntungan material. Tentu
saja pandangan ini tidak menafikan sebagian kecil kader HMI yang masih mampu
bertahan dan memelihara api HMI di dalam jiwanya, merekalah orang-orang yang serius
mengembangkan organisasi dan sangat memahami betul apa yang menjadi mission HMI
itu sendiri. Merekalah yang bergelut dengan buku dan diskusi kritis tentang berbagai
persoalan bangsa, merekalah kader yang tidak bisa dibayar hanya untuk menyuarakan
kepentingan tertentu. Sayang, jumlah mereka kecil dan suaranya sering tidak terdengar.
Akhirnya mereka juga tenggelam karena kelemahan mereka sendiri dalam manajemen isu.
Oleh sebab itu, di usia seperti orang yang tua renta ini. Tidak berdaya di pusaran arus
pragmatisme dan hipokritisme. Tentu saja kita tidak ingin HMI di usia senjanya harus
mati dengan teragis. Tidak mampu mengukir nama besarnya di era kontemporer ini,
padahal seperti yang dikatakan Khalil Gibran dalam Sayap-Sayap Patah, hidup tidak lebih
dari mengukir nama besar, tentu dengan prestasi besar. Perlunya sebuah revitalisasi HMI
harus segera diselamatkan bukan saja karena HMI itu begitu penting posisinya dalam
mempersiapkan kader bangsa, tetapi karena di dalam HMI sendiri bangsa ini pantas
menaruh harapan besar, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Jenderal Soedirman.
Kendatipun banyak organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra universiter, HMI tetap
memiliki keunggulan yang tidak dimiliki organisasi lainnya. Mungkin pernyataan ini
terkesan subjektif, namun berangkat dari beberapa penelitian baik dalam bentuk tesis
ataupun disertasi, sebagian besar telah membuktikan keunggulan HMI dalam motor
pembaharuan pemikiran Islam, terutama dalam konteks membangun hubungan yang
harmonis antara keislaman dan kebangsaan di negara ini. Keunggulan lainnya adalah
dalam pola dan sistem perkaderannya yang sebenarnya masih sangat kuat. Kendati hari ini
berkembang training-training motivasi, emosi dan spiritual, namun training HMI tetap
memiliki kelebihan-kelebihan. Kelebihan training-training HMI terutama training
formalnya (juga yang informal) ini juga terletak pada kemampuannya membuka mata
kader-kader HMI untuk melihat potensi yang dimilikinya sekaligus mengembangkannya
menjadi sesuatu yang luar biasa. Tegasnya, training HMI berhasil membuat kadernya
menemukan kehebatan dirinya untuk selanjutnya digunakan untuk membangun bangsa
dan umat dalam rangka mencari ridha Ilahi. Keunggulan lain dari organisasi warisan
Ayahanda Lafran Pane ini adalah watak dan sifatnya yang independen (hanif).
Sebagaimana yang telah disebut di muka, HMI tidak bergerak dalam politik praktis dan
tidak pula partisan.HMI tidak memiliki organisasi induk sebagaiman organisasi
mahasiswa lainnya. Kendatipun sepanjang sejarahnya HMI telah ditarik ke kanan dan ke
kiri oleh kepentingan politik tertentu, namun tetap saja tidak mampu merubah watak
indenpendennya. Independensi HMI inilah yang membuatnya tidak memiliki beban apa
pun (psikologis dan historis) untuk menyerukan kebenaran kepada siapa pun. HMI hanya
tunduk pada kebenaran. Sejatinya, kekuatan-kekuatan itulah yang harus dikembalikan ke
dalam HMI.Selama ini kekuatan tersebut tidak muncul, karena kader-kadernya telah
kehilangan orientasi dan tidak lagi berpijak pada mission HMI dalam melakukan
perjuangan. Tawaran ini tidak berarti HMI kembali ke masa lalu.Hanya saja yang
dimaksud dengan “kembali” adalah kembali pada nilai dasar, semangat dasar dan cita-cita
dasar kelahiran HMI. Nilai dasar inilah yang selanjutnya ditafsirkan secara kontekstual
dengan melihat fenomena kontemporer yang berkembang.
Metodologi
Di era revolusi industri 4.0 yang tengah mengarah ke revolusi industri 5.0 dewasa ini,
pemaknaan tentang kualitas insan cita pun mengalami perubahan dan penyesuaian.
Kualitas akademis bukan lagi hanya dinilai berdasarkan indikator gelar akademik (sarjana,
magister, doktor) saja, namun lebih pada karya yang mampu diwujudkan sebagai bukti
yang nyata. Misalnya karya ilmiah berupa buku, artikel jurnal, opini solutif, dan
sebagainya. Begitu juga dengan kualitas cita.
Jika berbicara tentang HMI, ini mestinya akan banyak hal yang menjadi sebuah
pembahasan penting dan itu selalu dijadikan sebuah progresifitas. Karena sejak dahulu,
dalam sejarahnya HMI dikenal oleh kaula muda maupun orang tua. Begitulah romansa
sejarah HMI yang diketahui oleh kader-kadernya dalam materi Sejarah Perjuangan HMI
(SPH). SPH tidak pernah lekang oleh waktu, tidak usang di makan zaman, hingga kisah
tersebut selalu menjadi sebuah bumbu pelengkap pada ajang rekrutmen kader.
Perlu sebuah otokritik yang pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk melakukan
perubahan budaya dalam suatu komunitas masyarakat, golongan, keluarga, organisasi
maupun lembaga yang dilakukan oleh anggotanya sendiri, untuk kepentingan kelompok itu
sendiri.
Tulisan ini merupakan sebuah kegelisahan sesaat melihat dan menganalisis HMI dahulu
dan kini. Hal ini bukan merupakan suatu yang menjijikkan untuk menjadi sebuah kajian.
Bahkan, ini merupakan bagian dari evaluasi terhadap diri sendiri khususnya dan bagi semua
anggota HMI umunya.
Begitu mesranya HMI dengan Orde Baru, sampai-sampai melahirkan HMI Majelis
Penyelamat Organisasi (MPO). Hingga saat ini, HMI diketahui ada 2 rumpun yang disebut
dengan HMI Dipo dan HMI MPO. Rumpun itu terjadi karena orang-orang HMI sendiri
yang memutuskan untuk memecah organisasinya tersebut.
HMI Dipo menganggap suatu keberhasilan dalam mengarungi Orde Lama dan berhasil
menumbangkan Orde Baru adalah suatu peluang kedekatan dengan birokrasi dan sistem
pemerintahan. Namun, berbeda dengan HMI MPO yang memilih jalannya dengan tetap
memegang teguh berdiri sendiri dan menjaga jarak dengan birokrasi serta sistem
pemeritahan.
Anggapan diatas bukanlah selayang pandang maupun kisah romansa sejarah yang di jalani
HMI. Melainkan sebuah temuan dan dirasakan oleh anggotanya sendiri. Tidak bermaskud
untuk memojokkan HMI pada suatu kekurangan, karena semua tahu bahwa HMI ini ialah
benda mati. Namun, di dalam HMI terdapat orang-orang yang hidup, dan beberapa oknum
memaknai dirinya sendiri hingga merasa paling senior. Bahkan oknum tersebut tidak segan
mengenalkan dirinya sebagai seorang yang merasa lebih tahu dan memahami tentang
apapun yang wajib dipelajari oleh anggota HMI dibawahnya.
Senioritas dalam kehidupan berkelompok itu tentu selalu ada. Namun, selalu disalahartikan
dan bertindak dengan kewenangan hasrat pribadinya. Bahkan lebih dari itu, dirinya selalu
merasa lebih berjasa terhadap sesuatu yang dapat dilaksanakan oleh juniornya dan sukses
demi mewujudkan keinginannya dengan iming-iming ‘demi perkaderan’. Sehingga, secara
tidak langsung atau otomatis, titah oknum senior itu menjadi sebuah kepatuhan atas segala
saran dan instruksinya yang belum tentu bisa dianalisa dibalik kebaikannya yang ‘demi
perkaderan’ tadi. Patutnya seorang anggota HMI dalam menjalani kehidupan berkelompok
itu bukan mendewakan seseorang yang diakui, atau bahkan mengakui dirinya sebagai salah
seorang yang mampu dan mengetahui segalanya.
Biasanya oknum seperti itu bisa kita temui usai dirinya melakukan jenjang training di LK 2
dan/atau menjadi salah satu pengurus cabang. Namun tidak sampai disitu saja, bahkan
hingga saat dirinya mendapat amanah di Badan Koordinasi (Badko) sampai Pengurus Besar
(PB) atau sudah tidak memiliki jabatan sekalipun (purna organisasi). Sayangnya, masih
selalu saja ada oknum yang merasa dan memaknai dirinya sebagai yang lebih tahu dan
paham betul tentang HMI. Padahal sebenarnya nihil, hanya saja dia memiliki sebuah
keahlian komunikasi dan pandai dalam mempengaruhi seseorang. Hanya butuh sebuah
pengakuan saja untuk keberadaannya tersebut.
Sudah seharusnya semua anggota HMI sadar betul dan mampu menilainya, agar
menanggalkan oknum senior yang seperti itu. Bukan berarti seorang anggota HMI tidak
memerlukan arahan atau upgrading dari para pendahulunya. Arahan senior ‘bisa jadi’
menjadi sebuah acuan untuk bergerak dan berprogres dalam organisasi.
Lebih jauh dari itu, harus diketahui mana senior yang benar-benar memberikan materi baik
dan mana yang sekedar ‘hanya’. Memang tidak bisa digeneralisir begitu saja. Perlu menjadi
catatan, dalam HMI dikenal juga alumni atau senior kultural.
Kemudian ketika berbicara tentang perkaderan, senior macam ini tidak lahir sendiri.
Melainkan dilahirkan oleh sebuah julukan umum yang ber-keterusan dari masa ke masa.
Sehingga oknum yang di anggap sebagai senior itu bisa semena-semena mengarahkan
dengan sebuah instruksi untuk melakukan suatu hal yang belum tentu benar adanya.
Baginya, yang terpenting dirinya ‘berhasil’ dalam mengarahkan juniornya untuk melakukan
hal yang belum tentu penting itu.
Perlu disadari, jika berbicara dari sudut perkaderan di HMI, tentunya anggota yang
memiliki keahlian tertentu berkesempatan menjadi seorang instruktur atau telah
mengikuti training Senior Course dan pernah menjadi Pengurus Badan Pengelola Latihan
(BPL). Anggota tersebut diharapkan senantiasa lebih bijaksana dalam menanggapi hal-hal
yang terjadi, namun bukan menjadi seseorang yang diam lalu merasa tidak tahu apa-apa.
Malah justru itu menjadi sebuah tanggungjawabnya dalam melakukan perubahan dan
berupaya membina kader HMI. Karena dalam setiap jenjang training di HMI, mulai dari
LK 1, LK 2 dan LK 3 kini semata-mata hanya untuk melanjutkan orientasi kedudukan
jabatan saja. Sebab itu, harus ada dari satu lini HMI yang mampu menjadikan
tujuan training sebagai suatu pengabdian dan menempa potensi diri.
Jikalau sudah lupa harus seperti apa berkehidupan di HMI ini, maka jangan pernah lupa
dengan satu bundel hasil Kongres mapun Pedoman-pedoman lainnya. Karena untuk apa
diperbaharui setiap dua tahun sekali jika tidak dipergunakan dengan semestinya. Ataukah
karena sudah berubah orientasi dan kepentingan, maka hal apapun menjadi sebuah
formalitas? Jika memang seperti itu, maka sia-sia saja berorganisasi. Dan kini sepertinya
HMI terus melorot dari segi kawah candra dimuka, kajian konseptual dan intelektual
seakan lenyap. Hanya saja kader HMI ini tidak pernah terlihat bodoh karena hebat beralibi
dan berwacana.
Jujur saja, HMI kini sudah tidak semenarik dahulu jika dilihat dari luar, tetapi jika dilihat
dari dalam, sebenarnya HMI ini organisasi unik dan menarik, segala hal diatur dengan
teratur. Namun kini terlalu banyak oknum yang memanfaatkan nama tenar HMI untuk
mendapatkan posisi nyaman dalam melanggengkan kepentingan pribadinya. Dengan
demikian, qpakah HMI sudah pantas untuk dibubarkan? Siapa yang berhak untuk
membubarkannya?
Berangkat dari forum tertinggi HMI tersebut, keraguan dan kepesimisan merangsang
kesadaran untuk berorganisasi pada cabang-cabang senusantara. Menjadi hal yang wajar
jika peserta Kongres sepulangnya dari arena tidak membawa apa-apa, termasuk konsep dan
gagasan besar dalam membangun negeri.
Kader HMI disetiap cabang tidak membutuhkan oleh-oleh cindremata dari Kongres (baju
kaos, kalung, topi, mainan kunci, dll), kader senusantara membutuhkan pembaharuan
konsep dan gagasan dalam menjawab dinamika serta persoalan diberbagai Perguruan
Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda, yang semakin hari jauh dari nilai-nilai keislaman dan
keindonesiaan.
HMI berfungsi sebagai organisasi kader dan berperan sebagai organisasi perjuangan,
menjadi tuntutan moral kepada setiap diri kader untuk menjaga identitas organisatorisnya.
Konflik didalam internal HMI menjadi perbincangan pada setiap pertemuan ke-HMI-an
antar kader-kadernya. Pertemuan-pertemuan tidak lagi membahas terkait dengan
bagaimana kondisi bangsa dan solusinya, namun lebih kepada konflik antar gerbong,
hegemoni kekuasaan (PB HMI, BADKO, Cabang, dan Komisariat), project politik
(Pilkada, Pileg, dan Pilpres), dan flayer eksistensi insubstansial.
Kondisi HMI kekinian dapat dianalogikan berupa monitor hemodinamik dan saturasi yang
bertujuan megidentifikasikan gelombang denyut jantung, tekanan darah, dan oksigen pada
tubuh seorang manusia. Alat medis tersebut mempresentasekan bahwa jika seseorang masih
dalam keadaan hidup, maka monitor menampilkan gelombang berbentuk zik-zak, sebalik
jika seorang manusia telah mati (tidak bernyawa) maka monitor menampilkan garis datar
(tidak bergelombang).
Eksistensi kebenaran atas keberadaan HMI sama halnya dengan gelombang yang di-
interpretasikan monitor hemodinamik dan saturasi tersebut, jika bergelombang zik-zak
berarti masih hidup (ada) dan jika datar (tidak bergelombang) berarti telah mati. Benar,
ruang diskusi internal HMI beberapa tahun terakhir terjebak pada doktriner “dinamika”,
tanpa mengetahui susbtansi “dinamika” itu sendiri. Dan akhirnya, HMI terjebak pada
budayabarudisorientasi.
Semangat berorganisasi yang dimiliki kader-kader HMI harus diakui keberadaannya,
namun semangatpun haruslah benar, yaitu semangat dengan berlandaskan nilai-nilai
keislaman dan keindonesiaan sebagai identitas kader HMI yang pernah melekat. Optimisme
dan pesimisme menjadi semangat yang tidak dapat terelakkan kehadirannya, filterisasi
berupa kajian dan analisis terhadap problematika kekinian di internal HMI harus
diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman.
HMI harus terperbaharui kembali melalui forum-forum intelektualnya HMI yang evaluatif
dan proyektif seperti Kongres, Musyawarah Daerah (Musda), Konferensi Cabang
(Konfercab), dan Rapat Anggota Komisariat (RAK), hindari hegemoni dan dominasi
kekuasaan yang cendrung menindas kemerdekaan individu secara moral dan struktural
yang berlindung dibalik proyeksi regenerasi.
Kembalikan hak atas forum-forum intelektualnya HMI dipenuhi dengan ide, gagasan, dan
gerakan yang substansial, sehingga kejayaan HMI kembali diraih secara universal. Sudah
saatnya HMI menentang kemunafikan berpikir yang pelan-pelan terbudaya dalam
tubuhnya, tujuan organisasi kekinian wajib hukumnya diwujudkan, namun jangan lupakan
tujuan awal didirikannya HMI yaitu mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat
indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.
Kondisi umat dan bangsa saat ini sangat memprihatinkan, dengan segala
bentuk ketimbangan dan kesemrawutan di mana-mana. Umat islam tidak lagi
memegang ukhuwah islamiyah dengan kuat sehingga perpecahan di kalangan umat
islam sendiri.
Kondisi tersebut mengharuskan pemuda bekerja keras dan saling bahu mebahu
sebagai tulang punggung bangsa untuk melakukan kebangkitan kedua sebagai mana
yang dilakukan tempo dulu dengan berdirinya boedi oetomo dan lahirnya sumpah
pemuda untuk mengisi kemerdekaaan bangsa dan mempertahankan kedaulatan negara.
Kader HMI sebagai bagian dari pemuda harus mengambil peran penting dalam
mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT dengan tetap
mempertahankan identitasnya sebagai organisasi kader dan membangun kembali
gerakan intelektual yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan
serta tetap pada independensinya seperti yang ada dalam gagasan pokok masyarakat
madani.
Insan cita HMI merupakan dunia cita ideal yang ingin diwujudkan oleh HMI
dalam pribadi seseorang manusia beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu
melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Dalam Tafsir Tujuan HMI, insan cita memiliki
insan pelopor yaitu insan yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka,
terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu
bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerja sesuai dengan yang
dicita dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan bertaqwa kepada
Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu, dan mampu beramal
saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
Masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT dalah gambaran
sederhana HMI tentang tatanan masyarakat yang dimimpikan untuk diwujudkannya,
dicita- citakannya, masyarakat yang dalam bahasa agama disebut sebagai baldatun
toyibbatun wa robbun ghafur yang merupakan fungsi dari Insan Cita yang akan dikader
oleh HMI.
Dengan kata lain, HMI perlu merumuskan sebuah gagasan besar tentang “trilogi”
yang berparadigma baru: Islam Jilid II-Indonesia Jilid II-Posmodernitas. Inilah yang
oleh Thomas Kuhn disebut sebagai paradigm shifting. Tantangan ini—khususnya dalam
“rumah tradisi pemikiran” HMI—semestinya menjadi genderang bagi bangkitnya kultur
akademik dan intelektual organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia ini. Setidaknya
menjadi ruang refleksi dan otokritik untuk mendorong Aku-ontologis, khususnya para
aktivis HMI dan mereka yang masih berharap tentang Indonesia Baru guna melakukan
inovasi dan reaktualisasi pemikiran keislaman baru dalam konteks Indonesia
kontemporer. Sebab, hanya dengan kesadaran ini, gelombang intelektualisme Islam Jilid
II bergerak dan pada urutannya akan menentukan kecenderungan-kecenderungan masa
depan bangsa ini.
HMI hanyalah salah satu dari banyaknya organisasi yang bergerak untuk
memberdayakan masyarakat, membantu masyarakat dan memastikan kebaikan
masyarakat. Bahkan, tidak sedikit kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakat hari ini hanya
dimotori oleh satu orang, sebut saja influencer yang memiliki kepedulian dan rasa
tanggungjawab terhadap situasi dan kondisi masyarakat. Pengetahuan yang jelas tentang
situasi dan kondisi yang tengah dihadapi masyarakat dewasa ini penting sebagai langkah
awal untuk merumuskan solusi dan aksi nyata yang berorientasi pada terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Swt
Daftar Pustaka
Ridha, Muhammad. 2021. Kualitas Insan Cita Dalam Mewujudkan Masyarakat Adil
Makmur di Era Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0. Banjarmasin: Research Gate.
AGAMA : ISLAM
UMUR : 20 TAHUN
STATUS : MAHASISWA