Oleh:
Usep Saepul Ahyar
1106117796
1
TEORI KRITIS: GRAMSCI DAN JURGEN HABERMAS
Adalah Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia yang mengembangkan lebih dalam
konsep hegemoni, sehingga menjadi gagasan sentralnya. Istilah hegemoni itu sendiri, pertama
kali digunakan bukan oleh Gramsci, tetapi oleh Plekhanov dan para pengikut Marxisme
Rusia lainnya, seperti Axelrod, Stalin dan Lenin, pada tahun 1880-an. Konsep hegemoni
digunakan untuk menunjukkan perlunya menggalang aliansi dengan kaum petani dalam
upaya meruntuhkan gerakan Tsarisme. Gagasan hegemoni lebih jauh lagi dikembangkan oleh
Lenin yang menjadikannya sebagai strategi revolusi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja
dan para anggotanya untuk tampil sebagai kelas hegemonik dalam rangka meraih dukungan
mayoritas.
Menurut Patria dan Arief, konsep hegemoni Gramsci lahir sebagai response terhadap
permasalahan Marxisme, dalam hal ini di Italia. Dimana proses revolusi tidak terjadi di Italia
dan dalam mencari tafsir Marxisme setelah kematian Marx, Engels, Lenin dan Stalin. Dengan
demikian, konsep Hegemoni ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan
pokok mengenai Marxisme, yakni; mengapa terjadi kesenjangan antara teori Marxis dengan
praktek politik kelas ploretariat? Dan Mengapa kelas ploretariat ”Barat” tidak meniru
revolusi Bolsheviks seperti di Rusia? Berikutnya sarana dan strategi apakah yang dapat
dilakukan untuk menutup kesenjangan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi
concern dari pemikiran Gramsci.2
1
Thomas R. Bates, review of Gramsci and the theory of hegemony, Journal of the History of Ideas, Vol. 36, No. 2 (Apr. - Jun., 1975),
University of Pennsylvania Press, http://www.jstor.org/stable/2708933
2
Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, 1999
2
Ide dasar dari teori hegemoninya gramsci adalah “bahwa orang tidak hanya diatur
dengan kekerasan/kekuatan. Di atas mereka ada ide-ide kelas penguasa yang dapat mengatur
mereka. Fakta ini menjadi sentral dalam teori Gramsci. Ide dapat menjamin "kesatuan
ideologis dari sebuah blok sosial secara keseluruhan." Inilah yang disebut oleh gramsci
sebagai hegemoni yang berarti kepemimpinan politik berdasarkan persetujuan umum yang
didukung oleh semacam Weltanschaung (pandangan dunia) dari kelas penguasa.3 Dengan
bahasa lain, Gramsci mendfinisikan hegemoni sebagai kepemimpinan kultural yang
dilaksanakan oleh kelas penguasa.4
Gramsci termasuk Marxis Kritis generasi pertama. Sebagai seorang Marxis, Gramsci
mennggunakan konsep hegemoni dalam tradisi Marxian, sebagai kritik atas ideologisasi
ajaran Marx, terutama determinisme ekonomi, dimana Marxisme direduksi menjadi hukum
sejarah yang otomatis dan tidak akan terelakkan. Ia menyebut kelompok ini sebagai
“deterministis, fatalistis dan mekanistis”.5
Gramsci tetap mempercayai adanya keteraturan sejarah, namun tidak setuju akan
sejarah yang otomatis, Ia berpendapat bahwa jika masyarakat menghendaki adanya revolusi
sosial, maka mereka harus bertindak untuk melakukannya. Berbeda dengan Marxis ortodok
yang memandang faktor utama (bahkan satu-satunya) penggerak perubahan adalah struktur
ekonomi, Gramsci justeru mengembangkan teori yang sedikit elitis, dimana faktor gagasan
intelektual yang akan mendorong revolusi atau perubahan sosial tersebut. Massa tidak akan
mampu membangkitkan gagasan perubahan, tetapi mereka, dengan bantuan elite sosial, akan
mampu menghayati, setelah itu mereka yang akan melaksanakannya. Jadi dalam hal ini, sama
dengan gagasan Marxis Kritis generasi pertama, seperti George Lukacs, Gramsci lebih
menekankan pada gagasan kolektif, dibanding dengan struktur sosial, seperti ekonomi.
Kata kunci (key word) untuk memahami konsep hegemoni dari Gramsci adalah
dominasi dan Sub-ordinasi. Hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan
kepada kelas bawah (sub-ordinat), sementara kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas
dominan tersebut. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui
bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat
atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran,
kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang
3
Thomas R. Bates, review of Gramsci and the theory of hegemony, Journal of the History of Ideas, Vol. 36, No. 2 (Apr. - Jun., 1975),
University of Pennsylvania Press, http://www.jstor.org/stable/2708933 .
4
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 176
5
Ibid, hlm. 175
3
menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka
yang ditentukan melalui institusi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk
menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa. Diantara sekian potensi
dominasi, negara adalah institusi yang paling subur dalam hal dominasi, sehingga wajar
apabila negara memiliki kecenderungan tinggi untuk menghegemoni masyarakatnya.
Habermas belajar filsafat di Gottingan (1956) dan menjadi asisten Adorno di Sekolah
Frankfurt. Habermas tertarik untuk mempelajari perilaku manusia dalam hubungannya
dengan teknologi. Ia Menjadi profesor filsafat dan sosiolog pada usia muda di Heidelberg.
Setelah itu kembali ke Frankfurt karena memperoleh tempat untuk mengajar di sana dan
mengembangkan tradisi berfikir Kritis yang telah dirintis oleh Marcuse, Adorno dkk.
Dalam konteks ini, Habermas juga menemukan masalah pada positivisme yang
digunakan untuk ilmu-ilmu kemasyarakatan dan aplikasi sebagai tekhnologi sosial. Namun,
Habermas mempunyai respons yang berbeda dengan pendahulunya yang menolak sama
sekali pemikiran modern tersebut. Habermas malah menemukan segi-segi positifnya. Unsur-
unsur modernitas sepeti tekhnologi, ilmu pengetahuan empiris dan positivisme, merupakan
6
Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, menyingkap kepentingan pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta, 2004, hlm. 85
4
faktor penting yang dapat membantu praxis dalam dimensi hidup manusia, yaitu kerja.
Dengan bantuan ilmu modern inilah, manusia dapat melepaskan diri (emansipasi) dari
belenggu lingkungan eksternalnya.7 Tetapi, jika ilmu-ilmu modern ini diterapkan dalam
konteks interaksi sosial, Habermas tetap mengkritiknya sebagai “ideologis” dan saintisme,
karena positivisme dapat mengklaim dirinya sebagai pengatahuan sejati yang melingkupi
seluruh bidang kehidupan manusia.
Habermas juga membuat terobosan baru dengan mengambil jalan ketiga yang
merupakan proyek lanjutan jalan pertama. Habermas tidak lagi hanya melakukan kritikan
terhadap rasio, namun mengubah arah analisis ke dalam bahasa (komunikatif). Habermas
meneruskan kembali proyek rasionalisasi yg telah dimulai sejak zaman pencerahan. Hal ini
membawa Teori Kritis selamat dari krisis besar yaitu pesimisme. Menurut Habermas, analisis
perkembangan masyarakat dari Marx telah gagal dan tidak terbukti. Karena realisasinya
hanya melihat perkembangan masyarakat yang bertumpu pada kepemilikan alat-alat
produksi.
Asumsi ramalan Marx, dinilai oleh Habermas telah terjadi kesalahan, dimana asumsi
Marxis menganggap negara akan dan harus hilang ketika masuk tahap masyarakat sosialis.
Kondisi tersebut tidak akan terjadi karena selain kapitalisme tidak hancur, akan sulit untuk
memisahkan negara dengan masyarakat. karena, Negara merupakan produk masyarakat yang
7
Ibid. Hlm. 85
8
Ibid. Hlm. 89
9
Ibid, hlm. 92
5
dimaksudkan untuk mendapatkan kemakmuran. Negara bukan diciptakan utk melakukan
penindasan seperti analisis Marx. Negara, dalam jangka panjang akan muncul kembali,
karena akibat kebebasan (yang kebablasan) yang pada gilirannya akan melahirkan dominasi
dan eksploitasi baru oleh pemain baru.
Kemacetan Teori Kritis terdahulu disebabkan oleh Marx yang menyempitkan praksis
pada ‘kerja’, sehingga ‘kritik’ dipahami sebagai penaklukan kelas tertentu atas kelas lainnya.
Dengan cara ini, kritik tak kurang dari rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan saja.
Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif.
Sehingga bisa dikatakan Habermas mengubah ‘paradigma kerja’ dalam Teori Kritis ke
‘paradigma komunikasi’. Pada tahun 60-an Habermas menyendirikan kritik sebagai
kepentingan emansipatoris, tetapi ia tetap mengisyaratkan bahwa kritik dan ilmu-ilmu kritis
termasuk praksis komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Thomas R. Bates, review of Gramsci and the theory of hegemony, Journal of the
History of Ideas, Vol. 36, No. 2 (Apr. - Jun., 1975), University of Pennsylvania Press,
http://www.jstor.org/stable/2708933
2. Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Pustaka
Pelajar, 1999
10
Fransisco Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius,1993
6
3. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media
Group, Jakarta, 2010.
4. Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, menyingkap kepentingan pengetahuan
bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta, 2004.
5. Fransisco Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius,1993