Anda di halaman 1dari 3

Lari Dari Kebebasan

oleh Erich Fromm


Lari Dari Kebebasan
Erich Fromm,
Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1997
viii + 310 halaman
Ilusi Tentang Kebebasan
Kebebasan ternyata bukan soal penting bagi manusia. Sebab, ia tak pernah
ada dalam kenyataan.
Kebebasan ternyata memiliki ancamannya sendiri, paling tidak menurut
Erich Fromm, penulis buku ini. Dalam salah satu karya klasiknya yang
berjudul asli Escape from Freedom ini (terbit pertama kali pada 1941),
Fromm menelanjangi kontradiksi kebebasan manusia modern yang dianggap
menjadi nilai terpenting bagi individu (Barat). Dalam kebebasan, individu
ternyata justru memiliki hasrat tersembunyi untuk menanggalkan
kebebasannya itu.
Kebebasan manusia modern adalah utopia berwajah ganda. Seperti yang
diungkapkan Fromm, di satu sisi, kebebasan manusia modern adalah impian
berabad-abad. Dengan kebebasan, manusia bisa menumbuhkan dan memiliki
kekuatan, juga integrasi pribadi. Selain itu, ia pun mampu menguasai alam,
mengembangkan kekuatan akal-budinya, serta menumbuhkan solidaritas
dengan sesamanya.
Namun, di sisi lain, kebebasan individu melahirkan keterasingan dan
ketidakamanan (hlm. 35). Juga keraguan terhadap peran seseorang dalam
semesta, makna hidup, yang ujung-ujungnya melahirkan perasaan
ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan diri sebagai seorang individu.
Realitas terakhir inilah yang menjadikan manusia lari atau mengelak dari
kebebasannya.
Pada dasarnya, pelarian manusia dari kebebasan itu merupakan jalan
penyelamatan dari kondisi ketidakamanan dan ketidakberartian. Sebab,
manusia secara natural menginginkan hubungan akrab dengan dunia di luar
dirinya. Suatu keterasingan dan kesendirian akan melahirkan disintegrasi
mental, sebagaimana penderitaan fisik akan mengantarkan manusia pada
kematian (hlm. 17).
Ekonomi Kapitalisme
Terpecahnya kepribadian manusia modern adalah kunci pelarian individu
dari kebebasan. Keterpecahan ini, oleh Fromm, dilacak penyebabnya pada
perubahan kepribadian manusia yang muncul bersamaan dengan
berkembangnya ekonomi kapitalisme. Ekonomi kapitalisme memiliki ciri
yang menekankan aktivitas individualistik (hlm. 112). Dengan demikian,
individu dituntut untuk menentukan nasibnya sendiri. Keberhasilan atau
kegagalan dari apa dan bagaimana cara ia melakukan itu adalah urusan
individu sendiri semata.

1
Karakter ekonomi kapitalisme ini berperan dalam proses isolasi dan
pemisahan individu dari sesamanya. Dalam sistem kapitalisme, posisi
manusia tak lebih dari sekadar alat produksi yang egois dan mementingkan
diri sendiri. Sebagai alat produksi, manusia dimanfaatkan untuk mengejar
tujuan-tujuan (ekonomi) yang ditentukan dan berada di luar jangkauan
dirinya (hlm. 117). Tujuan itu sendiri bersifat abstrak, seperti akumulasi
modal, efisiensi, dan peningkatan produksi.
Pengepungan berbagai nilai abstrak yang memaksa dan mendikte itu
menjadikan individu kehilangan makna konkret pribadinya. Ia kehilangan
spontanitas dan keakraban dunia sosialnya. Hubungan sosial menjadi bersifat
instrumental dan didorong semata-mata oleh kepentingan. Tidak hanya itu.
Kehilangan visi individu dalam memahami realitas ekonomi dan politik yang
abstrak rupanya menambah perasaan ketidakberdayaan individu itu sendiri.
Begitu pula berbagai ancaman dunia modern, seperti perang, kelaparan,
pengangguran dan kejahatan, semakin membuat manusia tidak aman dan
tidak berdaya (hlm. 135).
Ketidakbermaknaan dan ketidakberdayaan mengubah sistem besar yang
melingkupinya, menjadikan individu merasa kecil dan tak berarti. Pada titik
ini, individu modern haus akan ilusi kebebasan yang tidak saja memberikan
ruang bagi inisiatif dan tanggung jawab pribadi, tapi sekaligus membuatnya
punya arti. Namun, ilusi itu tentu tak pernah kunjung terwujud.
Maka, demikian Fromm mengurutkan argumentasinya, individu modern
lebih memilih mengelakkan kebebasan untuk sebuah ilusi yang bisa
memberinya makna. Bentuk pelarian diri yang diuraikan Fromm adalah
otoritarisme, destruktivitas, dan penyesuaian diri otomatis. Individu
melakukan otoritarisme karena ia berusaha menggantikan rasa
ketidakberdayaannya dalam upaya mnguasai orang lain. Usaha ini
melahirkan mekanisme kedua, yaitu destruktivitas pada dunia luar.
Ilusi
Namun, dengan begitu, ia paling tidak, merasa mampu mengalahkan sumber
ketidakberdayaannya tersebut. Di sisi lain, identifikasi yang otomatis
terhadap dunia luar mengindikasikan bahwa ia tak menganggap dunia luar
sebagai ancaman (hlm. 189). Ketiga mekanisme pelarian diri ini memiliki
tujuan yang sama, yakni membuat individu memiliki arti bagi eksistensinya
di dunia abstrak kapitalisme. Dan serentak juga menghindarkan perasaan tak
berdaya, tak berarti, dan kesepian yang timbul karena kebebasan diri.
Dalam konstruksi dunia psikologis model Fromm-ian ini, kata yang
berhubungan dengan kebebasan terasa absurd. Kebebasan (atau demokrasi)
ternyata bukan soal yang paling penting di dunia manusia. Dan barangkali
manusia memang bukan makhluk yang paling butuh kebebasan. Karena
konsep manusia yang menuntut kebebasan individu, atau apapun simbolnya,
hanya sebuah konstruksi teoretis--dengan kata lain, sebuah ilusi.
Dalam arti primordial, kebebasan lebih terasa sederhana. Apabila manusia
sadar bahwa kebebasan membutuhkan berbagai perangkat yang menjadikan

2
kebebasan itu leluasa digerakkan, ilusi untuk menciptakan pelarian tentu tak
perlu. Sebab, kebebasan mutlak--juga pelarian mutlak--tidak pernah betul-
betul terjadi dalam kenyataan. Di tengahnya, manusia hanyalah makhluk
yang tidak pernah bebas dan tak pernah pula tidak bebas.
Achmad Chusairi,
Anggota Forum Kajian Bebas Sekolah, Yogyakarta
Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 25 Thn. II, 9 Juni 1997/4 Safar
1418 H.

Subject: [hikmah] Ilusi Tentang Kebebasan


Date: Mon, 15 Jan 2001 10:34:14 +0700
From: Mohamad Zaki Hussein <zaki@centrin.net.id>
Reply-To: hikmah@isnet.org

Anda mungkin juga menyukai