Dasar Teori
Kestabilan dari suatu jenjang individual dikontrol oleh kondisi geologi daerah setempat,
bentuk keseluruhan lereng pada daerah tersebut, kondisi air tanah setempat, dan juga oleh teknik
penggalian yang digunakan dalam pembuatan lereng. Faktor pengontrol ini jelas sangat berbeda
untuk situasi penambangan yang berbeda dan sangat penting untuk memberikan aturan yang
umum untuk menentukan seberapa tinggi atau seberapa landai suatu lereng untuk memastikan
lereng itu akan stabil.
Apabila kestabilan dari suatu jenjang dalam operasi penambangan meragukan, maka
kestabilannya harus dinilai berdasarkan dari struktur geologi, kondisi air tanah dan faktor
pengontrol lainnya yang terjadi pada suatu lereng. Kestabilan lereng pada batuan dipengaruhi
oleh geometri lereng, struktur batuan, sifat fisik dan mekanik batuan serta gaya-gaya luar yang
bekerja pada lereng tersebut.
Suatu cara yang umum untuk menyatakan kestabilan suatu lereng batuan adalah dengan
faktor keamanan. Faktor ini merupakan perbandingan antara gaya penahan yang membuat lereng
tetap stabil, dengan gaya penggerak yang menyebabkan terjadinya longsor. Secara matematis
faktor kestabilan lereng dinyatakan sebagai berikut :
F = R / Fp
Dimana :
F = faktor kestabilan lereng
R = gaya penahan, berupa resultan gaya-gaya yang membuat lereng tetap stabil
Fp = gaya penggerak, berupa resultan gaya-gaya yang menyebabkan lereng longsor
Pada keadaan :
F 1,0 = lereng dalam keadaan stabil
F = 1,0 = lereng dalam keadaan seimbang (akan longsor)
F 1,0 = lereng dalam keadaan tidak stabil.
Sinθ 24
X = Sinθ 45.Cos θ 2na
Sinθ 13
Y = Sinθ 35.Cos θ 1nb
Cos ψa−Cosψb . Cos θ na. nb
A= Sinψ 5. Sin 2 θ na .nb
Cos ψb−Cosψa . Cos θ na. nb
B= Sinψ 5. Sin 2 θ na .nb
Dimana a dan b adalah kemiringan (dip) dari bidang-bidang I dan II serta 5 adalah sudut
penunjaman perpotongan bidang lemah I dan II.
Jika pada bidang I dan II tidak terdapat kohesi, serta kondisi lereng kering, maka persamaan
diatas menjadi :
F = A tan a + B tan b
Dimana A dan B adalah suatu faktor tanpa satuan yang besarnya tergantung pada jurus
(strike) dan kemiringan (dip) kedua bidang lemahnya. Bidang lemah yang mempunyai
kemiringan lebih kecil selalu dinamakan bidang lemah I sedangkan bidang lemah yang
satunya lagi dinamakan bidang lemah II.
3. Longsoran guling
Dengan metode Hoek dan Bray terjadinya longsoran guling dapat dianalisa dengan
menggunakan model yang sederhana. Dengan menggunakan model ini digunakan untuk
menganalisa kasus-kasus yang sederhana. Sedangkan untuk menganalisa lereng yang
sebenarnya dilakukan analogi dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang ada
dilapangan.
4. Longsoran busur
Khusus untuk longsoran ini tidak ditampilkan disini, karena batuan yang akan dianalisa
diharapkan dalam keadaan segar.
E. Pembahasan Masalah
Dalam analisa ini masalah yang akan dibahas adalah mengarah pada design lereng. Hal ini
meliputi :
1. Penentuan metode analisis kestabilan lereng.
2. Alternatif sudut dan tinggi lereng
Ini dilakukan perhitungan faktor kestabilan lereng dengan metode Hoek dan Bray.
Perhitungan ini dilakukan untuk :
a. Lereng individual.
Dari hasil perhitungan, kemudian dibuat dalam grafik hubungan antara faktor keamanan
dengan sudut lereng atau antara tinggi lereng dengan sudut lereng.
b. Lereng total
Dari hasil perhitungan, kemudian dibuat grafik hubungan antara faktor keamanan dengan
sudut lereng atau antara tinggi lereng dengan sudut lereng.
c. Perhitungan dengan metode Hoek dan Bray.
Sebagai pembanding perhitungan dengan metode Bishop
3. Pemilihan Geometri lereng
4. Pemantauan lereng
5. Usaha untuk menstabilkan lereng