Anda di halaman 1dari 27

UPAYA ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN DAN IMPLIKASINYA DALAM

PENDIDIKAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik

Mata Kuliah: Sejarah Pendidikan Islam


Dosen Pengampu : Syamsul Arifin, S.Pd.i, M.A

Disusun oleh:
Eka Hunaini Wahyu Lestari
Alfina Damaiyanti

INSTITUT AGAMA
ISLAM

SYARIFUDDIN
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
WONOREJO, LUMAJANG, JATIM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Seiring dengan perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-
nilai agama berangsur-angsur bergeser bahkan berseberangan dengan ilmu. Bagi
kalangan ilmuwan Barat, agama adalah penghalang kemajuan karena beranggapan
jika ingin maju agama tidak boleh lagi mengurus masalah-masalah yang berkaitan
dengan dunia seperti politik dan sains.
Sejak terjadinya pencerahan (renaisance) di Eropa, perkembangan ilmu-
ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya
dipelopori oleh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang
berkembang dibentuk dari acuan pemikiran filsafat Barat yang dipengaruhi oleh
sekularisme dan materialisme. Ummat Islam mempelajari sains Barat tanpa
menyadari kaitan historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga ummat Islam pun
terjatuh dalam hegemoni Barat dan proses ini mengakibatkan esensi peradaban
Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban Barat yang sekuler.
Fenomena-fenomena yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan
begitu pesat tersebut memunculkan sebuah dampak yang begitu besar bagi umat
muslim. Sebab dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut memicu suatu
kebobrokan moral dan etika yang tidak berlandaskan agama Islam. Yang mana
Islam telah diakui sebagai agama yang paling benar dan berakhlak sekaligus
sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian muncullah sebuah
kekritisan dari seorang cendekiawan muslim yang mencetuskan gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Islamisasi merupakan sebuah karakter dan identitas Islam sebagai
pandangan hidup (worldview) yang didalamnya terdapat pandangan integral
terhadap konsep ilmu (epistemologi) dan konsep Tuhan (teologi). Bahkan bukan
hanya itu, Islam merupakan agama yang memliki pandangan fundamental tentang
Tuhan, kehidupan manusia, alam semesta dan lain sebagainya.
Secara historis, munculnya ide islamisasi ilmu pengetahuan ini diawali
ketika diadakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di
Makkah pada tahun 1997. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz
University ini berhasil membahas sebanyak 150 makalah yang telah ditulis oleh
sarjana-sarjana muslim dari 40 negara. Salah satu gagasan yang direkomendasikan
adalah mengenai islamisasi ilmu pengetahuan yang dilontarkan oleh Syed

2
Muhammad Naquib Al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “Preliminary
Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of
Education”, dan juga oleh Ismail raji Al-Faruqi dalam makalahnya yang berjudul
“Islamizing Social Science”. 1
Dari gagasan tersebut, maka ide islamisasi ilmu pengetahuan tersebar luas di
masyarakat muslim dunia. Namun, ide tersebut tidak serta merta diterima oleh
masyarakat. Ada pihak yang pro dan kontra terhadap gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan. Pihak yang pro terhadap adanya Islamisasi ilmu diantaranya Seyyed
Hossein Nasr, Ziaudin Sardar. Sedangkan yang kontra diantaranya adalah Fazlur
Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush, dan Bassan Tibi.
Mereka bukan menolak akan tetapi mengkritik adanya Islamisasi ilmu
pengetahuan. Mereka beralasan bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral, ia
bergantung pada pembawa dan pengembangnya. Karena itulah Islamisasi ilmu
pengetahuan tidaklah begitu penting tetapi yang penting justru adalah Islamisasi
subyek atau pembawa dan pengembang ilmu pengetahuan itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2. Siapa sajakah tokoh penggagas Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan bagaimana
pemikirannya terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan?
3. Bagaimanakah pro kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan di kalangan
cendekiawan Muslim?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Ketika mendengar istilah Islamisasi ilmu, ada sebuah kesan bahwa ada
sebagian ilmu yang tidak Islam sehingga perlu diislamkan. Dan untuk
1
Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial
Dan Keagamaan (Malang: UIN Malang Press, 2006), hal, 221.

3
mengislamkannya maka diberikanlah kepada ilmu-ilmu tersebut dengan label
“islam” sehingga muncullah istilah-istilah seperti ekonomi Islam, kimia Islam,
fisika Islam dan sebagainya.
Sebelum melangkah lebih jauh, istilah “islamisasi ilmu pengetahuan” perlu
dipertegas terlebih dahulu dan dilihat secara kritis. Webster’s New World College
Within Islam mendefinisikan Islamisasi sebagai to bring within Islam. Makna
yang lebih luas adalah menunjuk pada proses meng-Islam-kan. Hal yang harus di
islam-kan adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan itu sendiri atau
apapun obyek lainnya termasuk negara. 2
Islamisasi ilmu pengetahuan ini diterangkan secara jelas oleh al-Attas, yaitu
pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional yang
bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran
dan bahasa juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung
sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam
wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan
berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk
asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi.3
Berdasarkan pernyataan al-Attas ini menunjukkan bahwa  Islamisasi ilmu
pengetahuan diharapkan bisa membebaskan kaum muslim yang bertentangan
dengan Islam bahkan menjadikannya sekuler. Sehingga al-Attas berfikir
bagaimana bisa mengembalikan kejayaan kaum muslim dan mengembalikan
semuanya pada fitrahnya. Fitrahnya disini diartikan sebagai pemusatan ilmu
pengetahuan yang berkembang ataupun yang sudah ada kembali pada peradaban
Islam. Sebagaimana puncak kejayaan yang sudah pernah diraih oleh kaum
muslim.
Sedangkan menurut Ismail Raji al-Faruqi, dalam pendefinisian atau
pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa
pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali
ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir

2
Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial
Dan Keagamaan....ibid, hal, 238.
3
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas
(Bandung: Mizan, 2003) hal. 341

4
kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai
kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu
ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.4
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan
seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya menurut sudut
pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aI-Faruqi, islamisasi
ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara
menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan
memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin
harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam
metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya.
Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi
Islam yang bersumberkan pada tauhid.5
Menurut Osman Bakar, Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah program
yang berupaya memecahkan masalah-masalah yang timbul karena perjumpaan
antara Islam dengan sains modern sebelumnya. 6 Progam ini menekankan pada
keselarasan antara Islam dan sains modern tentang sejauh mana ilmu pengetahuan
dapat bermanfaat bagi umat Islam. Sedangkan M. Zainuddin menyimpulkan
bahwa Islamisasi pengetahuan pada dasarnya adalah upaya pembebasan
pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan kemudian
menggantikannya dengan pandangan Islam.7
Islamisasi pengetahuan dengan demikian dapat difahami sebagai upaya
membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan,
mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasional-
empirik atau semangat pengembangan ilmiah (scientific inquiry) dan filosofis,
yang merupakan perwujudan dari sikap concern, loyal dan komitmen terhadap
doktrin-doktrin dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran.8
4
Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan,
dan Arah Tujuan”, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), hal. 35-36
5
Tauhid merupakan sumber kebenaran dalam islam (the source of Islam). lihat dalam Ismail Raji
Al-Faruqi, Tauhid; Its Implication…, hal. 53-54
6
Osman Bakar,Tauhid dan Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal, 233.
7
Muhammad Zainuddin., Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam, (Malang: Bayu Media,
2003),hal, 160
8
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003) hal, 337.

5
Tampaknya harus diakui bahwa ketertinggalan masyarakat Islam dengan
Barat sudah sangat jauh khususnya dalam ilmu pengetahuan. Ketertinggalan
ilmuwan agama dan masyarakat Islam pada umumnya dalam memahami wahyu
sehingga mencapai tingkat kebenaran yang memadai barangkali karena tertinggal
dalam menguasai ilmu-ilmu non-agama, seperti ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
yang perkembangannya demikian cepat.
Ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan juga berakibat lemahnya penafsiran
terhadap al-Quran. Sebab, penafsiran al-Quran adalah kreativitas keilmuan yang
sangat potensial untuk dikembangkan dalam kerangka pembangunan sebuah
peradaban. Melalui penafsiran yang baru dan kontekstual terhadap al-Quran, cara
pandang kita terhadap suatu persoalan mendapatkan insight, wawasan, dan
perspektif yang baru pula.9

B. Penggagas Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Pemikirannya


1. Biografi Tokoh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Pemikirannya
Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan
a. Riwayat Hidup
Syed Naquib al-Attas adalah ilmuwan berkewarganegaraan
Malaysia. Lahir di Bogor, Jawa Barat, Indonesia pada 5 Sepetember 1931,
dari keluarga terpandang. Ayahnya bernama Syed Ali al-Attas. Pada usia
lima tahun ia pindah ke Malaysia bersama saudaranya, tapi pada masa
pendudukan Jepang,ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta
bahasa Arab di pesantren al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Pada tahun
1946 Naquib kembali ke Malaysia dan hidup bersama keluarga Tengku
Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Menteri Besar Johor.10
Pendidikan formal diawali di Sukabumi (Indonesia) dan English
College Johor Baru (Malaysia) kemudian The Royal Militery Academy,
Sandhurst, Inggris, selesai pada tahun 1955, dan akhirnya Kajian Ilmu-
Ilmu Sosial (Social Sciences Studies) Universitas Malaya, Kuala Lumpur,
Malaysia (1957-1959). Gelar MA diperoleh di McGill University, Kanada

9
Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial
Dan Keagamaan....ibid, hal, 240.
10
Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal, 332.

6
(1962) dalam bidang teologi dan metafisika, sedangkan gelar Ph.D
diperoleh di The School of Oriental and African Studies, The University of
London (1966) dalm bidang yang sama, dengan judul disertasi berjudul
The Mysticism of Hamzah Fansuri.11
Dalam perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali karirnya
menjadi seorang dosen di Malaysia. Pekerjaan dan jabatan yang pernah
dipegangnya anatara lain, Dekan Fakultas Sastra, Universitas Malaya,
Kuala Lumpur (1968-1970), Dekan Fakultas Sastra, Universitas
Kebangsaan malaysia di Kuala Lumpur (1970-1973), pendiri Institut
Bahasa, Kesusastraan dan Kebudayaan Melayu di Universitas Kebangsaan
Malaysia, Kuala Lumpur dimana ia menjabat sebagi direkturnya sejak
1970, Guru Besar dan Kesusatraan Melayu di Universitas Kebangsaan
Malaysia, Kuala Lumpur (dikukuhkan 14 Januari 1972), salah seorang
pendiri Institut Antarbangsa (International Islamic University, IIU)
Malaysia, Kuala Lumpur (27 Februari 1987), guru besar Pemikiran Dan
Peradaban Islam Di Universitas Islam Antarbangsa (dikukuhkan 1
Desember 1987), pendiri Institut Antarbangsa Pemikiran Dan Peradaban
Islam (International Institut Of Islamic Thought And Civilization, ISTAC)
yang diresmikan oleh Menteri Pendidikan Malaysia, Anwar Ibrahim, pada
22 November 1988. 12
Naquib al-Attas telah menulis sekitar 26 buku dan monograf dalam
bahasa Inggris dan Melayu, banyak dari buku dan monograf itu yang telah
diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu,
Malayam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jerman, India, Korea
Dan Albania.13 Sedangkan menurut laporan Panji Masyarakat14 al-Attas
selain telah menerbitkan buku, ia juga telah menerbitkan tiga puluh
makalah, dan sekitar tiga ratus kali menyampaikan kuliah umum di
pelbagai negara. Adapun karya-karya Naquib al-Attas adalah sebagai
berikut:

11
Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer,..Op,Cit, hal, 332
12
Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer..., ibid, hal, 333.
13
http://inpasonline.com/news/islmisasi-ilmu-pengetahuan-tinjauan-atas-pemikiran-syed-m-
naquib-al-attas-dan-ismail-r-al-faruqi/ diakses pada tanggal 24 Oktober 2013.
14
Panji Masyarakat adalah sebuah majalah yang terbit pada tahun 1988

7
a. Some Asppects Of Sufism: As Understood And Practiced Among The
Malays Shirley Gordon, Ed. (Malaysian Sociological Research Institut,
Singapura, 1963).
b. The Mysticism Of Hamzah Fansuri (disertasi Ph.D, Mei 1966)
University Of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1970.
c. Islam And Secularism (ABIM, Kuala Lumpur 1978) diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi Islam dan Sekularisme oleh Penerbit
Pustaka, Bandung, 1981.
d. A Commentary on The Hujjat al-Shiddiq of Nuur al-Din ar-Raniri
(Ministry of Culture, Kuala Lumpur, 1986)
e. The Oldest Known Malay Manuscript : A 16 th Century Malay
Translation of The ‘Aqa’id of al-Nasafi (University of Malaya, 1988).
f. Islam and the Philosophy of Sciencies (ISTAC, Kuala Lumpur, 1989).15
g. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalist, Kuala
Lumpur, 1966.
h. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu University of
Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.
i. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam,
edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
j. “A General Theory of The Islamization of the Malay Archipelago”,
Profiles of Malay Culture, Historiographi, Religion, and Politics, editor
Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
1976.
b. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Syed Muhammad Naquib Al-
Attas
Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat
dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan
peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah
pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban
Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan
yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real)

15
Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer..., ibid, hal, 334.

8
sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan
menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang
bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi
terlebih dahulu.16
Islamisasi ilmu, menurut Naquib, berarti pembebasan ilmu dari
penafsiran-penafsiaran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari
makna-makna serta ungkapan-ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini
muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral,
sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu
yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat
Islam, telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban Barat. Sementara
itu peradaban Barat sendiri, menurut Naquib, telah membawa
kebingungan. Peradaban yang lahir dari pengetahuan Barat telah
kehilangan hakikat sehingga menyebabkan kekacauan manusia,
kehilangan kedamaian dan keadilan. Pengetahuan mereka didasarkan atas
skeptisisme lalu “diilmiahkan” dalam metodologinya. Kenyatannya,
pengetahuan Barat telah melahirkan kekacauan (chaos) dalam Tiga
Karajaan Alam (Three Kingdom of Nature) hewani, nabati, dan mineral.17
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat
berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan
menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber
asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani.
Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di
masa klasik, warisan Yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan.
Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan
umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui
penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu
tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta
semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan
dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu

16
Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003),
hal, 338
17
Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer..., ibid, hal, 338.

9
dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai
kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak
mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai,
kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang
bertentangan.18
Di dalam bukunya The Concept of Education in Islam, Naquib
membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu:
1) Ilmu-ilmu agama. Yang meliputi:
a) Al-Quran: Qiraat, Tafsir, dan Ta’wil.
b) Hadits: sirah Nabi, sejarah dan pesan-pesan para rasul sebelumnya
dan riwayat-riwayat otoritatif.
c) Syariah: hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan praktik-praktik islam.
d) Teologi: Tauhid (tentang tuhan, wujudnya, sifatnya, asma-asmaNya
dan perbuatan-perbuatanNya).
e) Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontologi.
f) Ilmu-ilmu linguistik, tata bahasa, leksikografi, dan kesusastraannya.
2) Ilmu-ilmu rasional. Yang meliputi:
a) Ilmu-ilmu kemanusiaan.
b) Ilmu-ilmu alamiah.
c) Ilmu-ilmu terapan.
d) Ilmu-ilu teknologi.19

Ide islamisasi mengarah kepada ilmu-ilmu kelompok kedua yakni


ilmu-ilmu rasional. Karena itu, ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi
dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci Islam.
Namun, sebelum melakukan proses islamisasi, ada sesuatu yang
harus dilakukan, yakni islamisasi bahasa, karena bahasa adalah sesuatu
yang penting dan merupakan refleksi pemikiran dan pandangan

18
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno
(Bandung: Pustaka, 1981), hal, 197-198
19
Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer..., ibid, hal, 340.

10
masyarakat. Islamisasi bahasa ini merupakan langkah pilar utama dalam
islamisasi ilmu.20
Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-
Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama
ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep
kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Misalnya, dalam
budaya terdapat salah satu unsur budaya  adalah bahasa. Bahasa disini
memberi peluang terjadinya budaya yang menjadikan peradaban Barat.
Dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke
dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.21 Dalam
arti konsep kedua ini Al-Attas menindaklanjuti konsep yang pertama yakni
dengan memasukkan nilai-nilai Islam dalam unsur-unsur ilmu
pengetahuan tersebut. Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan
unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep
pokok dikeluarkan dari setiap ranting.
Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai
dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang
demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya
selama “virus”nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga
ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekuler pun
juga bukan. Padahal tujuan dari Islamisasi itu sendiri adalah untuk
melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan
dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk
mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga
menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut
akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman.22

2. Biografi Tokoh Ismail Raji Al-Faruqi dan Pemikirannya Terhadap


Islamisasi Ilmu Pengetahuan
20
Khudori Soleh, Pemikiran Islam Kontemporer..., ibid, hal
21
Rosnani Hashim, , Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah
Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-
September 2005) hal.35
22
Rosnani Hashim, , Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah
Tujuan, ibid, hal, 35.

11
a. Riwayat Hidup
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari
1921. Al-faruqi meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Ayahnya
bernama ‘Abd al-Huda al-Faruqi. Dikenal secara luas sebagai ahli ilmu
agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai
penganjur Pan-Islamisme. 23
Al-Faruqi memulai studi di College des Freres Libanon 1926-1936.
Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University,
Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat ia peroleh dari
universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai
pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan
bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah Galile yang kemudian
jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1947. Pada tahun berikutnya Al-Faruqi
memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan
studinya yang sempat terhenti.
Kemudian ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun
1948, hingga mencapai gelar master dalam bidang filsafat. Dua tahun
berikutnya ia kembali memperoleh gelar master di Harvard University, juga
dalam bidang filsafat. Untuk memperdalam keislaman, empat tahun
berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo Mesir. Selama
beberapa tahun kemudian ia menjadi Profesor tamu untuk studi keislaman di
McGill University (1958-1961) dan di Pana Central Institute of Islamic

23
Kafrawi Ridwan (Ed), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve 1993),
hal, 334. Pemikirannya tentang Pan-Islamisme (Persatuan Negara-negara Islam). Pemikiran Pan-
Islamismenya terus didengungkannya di tengah berkembangnya negara-negara nasional di dunia Islam
dewasa ini. Al Faruqi tak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme yang membuat umat Islam
terpecah-pecah. Baginya, sistem khilafah (kekhalifahan Islam) adalah bentuk negara Islam yang paling
sempurna.
Dalam cakupan universal, berbagai bangsa yang berusaha menegakkan keadilan disebut ummah.
Mereka boleh jadi hidup di teritorial yang berbeda, mengucapkan bahasa yang tidak sama, atau asal-usul
keturunan yang berlainan, tetapi mereka disatukan oleh wawasan dan solidaritas yang sama. Al Faruqi
menyebut konsep ini sebagai umatisme. Secara lebih mendalam, konsep bangsa dalam wawasan isalm
adalah dalam konteks umatisme. Untuk itu tidak dapat diabaikan sama sekali pengembangan kerja sama
antara sesama bangsa yang mewakili umat. Prioritas pertama haruslah diberikan untuk kerja sama dalam
lingkungan umat; setelah itu dengan bangsa-bangsa lain yang bersahabat, lihat dalam... Rifyal Ka’bah,
Wawasan Islam KeIndonesiaan dalam Konteks Islam Universal, dalam Pembaharuan Pemikiran Islam
di Indonesia,(Bandung: Mizan,1993), hal 24.

12
Research, Karachi, sebagai tamu untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama di
the University of Chicago, sebagai lektor kepala llmu agama pada Saracus
University (1964-1968).
Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968 untuk
menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang
didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1986.24 Selain mengajar, al-Faruqi
juga mendirikan  International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 1980
di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Kini lembaga tersebut memiliki banyak cabang di berbagai
Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya pada tahun 1972,
al-Faruqi telah mendirikan The Association of Muslim Social Scientist.
Kedua lembaga yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang
Ilmu-ilmu sosial Islam.
Al-Faruqi adalah ilmuwan yang produktif. Al-faruqi aktif dalam
menulis di majalah ilmiah populer dan ditulisan lainnya. Lebih dari dua
puluh buku dalam berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari
seratus artikel telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah
gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek
integrasi ilmu, yang dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu
pengetahuan. Beberapa karyanya adalah sebagai berikut: Christian Ethics:
A Systematic and Historical Analysis of Its Dominant Ideas, The Great
Asian Religions, Historical Atlas of the Religions of the World, Sources of
slamic Thought: Three Epistles on Tawhid by Muhammad ibn ‘Abd al
Wahhab, Islam and Culture, Islamic Thought and Culture, Islamization of
Knowledge, Tawhid: Its Implications For Thought And Life dan
lainnya. Beberapa karya penting Ismail Raji al-Faruqi sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dapat diamati dari
karya-karyanya tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam dianggap

24
John L.Esposito-John O Voll, Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 2. Al-Faruqi meninggal secara tragis bersama keluarganya karena di bunuh.
Saat itu, meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang lalu merembet pada kerusuhan di AS pada 1986.
Al-Faruqi beserta keluarganya (istrinya Lamiya al-Faruqi) tewas diserang oleh kelompok orang tak
dikenal di rumahnya Wyncote, Philadelphia, lihat dalam bukunya Ramayulis dan Samsul
Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam…, hal. 107-108

13
mempunyai nilai penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan umat
Islam juga yang terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar
biasa. Sehingga sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam
menanggapi pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.25
Diantara bukunya yang terpenting adalah: Tauhid :Its Implications
For Thought and Life (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara
lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan bahkan
lebih dari itu, tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia,
baik itu segi politik, sosial, dan budaya. Dari inilah kita dapat melihat titik
tolak pemikiran Al-Faruqi yang berimplikasi pada pemikirannya dalam
bidang-bidang lain. Dalam buku Islamization of Knowledge: General
Principle and Workplan (1982), walaupun ukurannya sangat sederhana,
namun menampilkan pikiran yang cemerlang dan kaya, serta patut dijadikan
rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu pengetahuan, di dalamnya
terangkum langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam proses
islamisasi tersebut.

b. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Ismail Raji Al-Faruqi


Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Faruqi dimaknai sebagai
upaya pengintegrasian disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan
Islam. Dengan demikian, umat Islam harus membagi, kemudian
mengklasifikasikan disiplin ilmu-ilmu modern yang sesuai dengan
pandangan dunia dan nilai-nilai Islam atau dengan versi lain islamisasi ilmu
pengetahuan, adalah suatu upaya untuk menyususun dan membangun
disiplin ilmu dengan memberikan dasar baru yang konsisten dengan Islam.
Bagi Al-Faruqi, pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan
menuang kemabali seluruh khazanah pengetahuan Barat dalam kerangka
Islam yang dalam praktiknya “tak lebih” dari usaha penulisan kembali
buku-buku teks dalam bebagai disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam.26

25
Dikutip dari Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam
Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1998), hal. 264-265

26
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, ibid, hal, 331.

14
Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang
berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan
semua pemikirannya terutama Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu saling
terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid.
Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan
esensi Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang
menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden,
penguasa segala yang ada.27 Tauhid adalah memberikan identitas peradaban
Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-bersama dan
menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral dan organis
yang disebut peradaban.
Dengan demikian pentingnya tauhid bagi Al-Faruqi sama dengan
pentingnya Islam itu sendiri. Tanpa Tauhid bukan hanya Sunnah Nabi/Rasul
patut diragukan dan perintah-perintahNya bergoncang kedudukannya,
pranata-pranata kenabian itu sendiri akan hancur. Keraguan yang sama yang
menyangkut pesan-pesan mereka, karena berpegang teguh kepada prinsip
Tauhid merupakan pedoman dari keseluruhan kesalehan, religuisitas, dan
seluruh kebaikan. Wajarlah jika Allah SWT dan RasulNya menempatkan
Tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya penyebab kebaikan dan
pahala yang terbesar. Oleh sebab itu pentingnya Tauhid bagi Islam, maka
ajaran Tauhid harus dimanifestasikan dalam seluruh aspek kehidupan dan
dijadikan dasar kebenaran Islam.
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-
langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan
ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki
makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.28 Al-
Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai
kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip
tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.

27
Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations For Thought And Life. (Wynccote USA: The
International Institute of Islamic Thought, 1982), hal, 17.
28
Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi…, ibid, hal, 36

15
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. 29

Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan


kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi,
ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada
umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh
Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi
landasan bagi para ilmuan.30
Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang
menyeluruh untuk program Islamisasi ilmu pengetahuannya yang
merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan
perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar
internasional yang diselenggarakan.31 Rencana kerja al-Faruqi untuk
program Islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai
disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga,
menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu
pengetahuan modern. Keempat, mencari cara-cara untuk melakukan sintesa
kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang
mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.32
Selanjutnya menurut Al-faruqi, kelima sasaran di atas dapat dicapai
melalui 12 tahapan sistematis sebagai berikut:
1. Penguasaan terhadap disiplin-disiplin ilmu modern.
Tahapan ini dimaksudkan agar disiplin ilmu modern dipilah
menjadi kategori-kategori (kategorisasi), prinsip-prisip, metodologi-
metodologi, problem-problem dan tema-tema yaitu suatu pemilahan yang
menggambarkan daftar isi dalam sebuah buku teks.

29
Lihat dalam Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute
of Islamic Thought, 1989), hal, 34-36.
30
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, ibid, hal, 48.
31
Ziaudin Sardar, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), hal, 44.
32
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, ibid, hal, 28.

16
2. Survey disipliner
Setelah pemilahan dilakukan maka suatu survey menyeluruh harus
ditulis untuk suatu disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan
ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya
beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya
dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh
utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan
disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.Tahapan itu perlu
dilakukan agar sarjana-sarjana muslim mampu menguasai disiplin ilmu
modern.
3. Penguasaan terhadap khazanah Islam
Disini yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan
pemikiran muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
4. Analisa terhadap khazanah Islam
Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikiran Islam
harus dianalisis dari perspektif masalah-masalah kini.
5. Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu
Relevansi dapat ditetapkan dengan mengajukan 3 persoalan.
Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Quran
hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah
yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin modern. Kedua, seberapa
besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah
diperoleh oleh disiplin modern tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-
bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak
diperhatikan oleh khazanah Islam ke arah manakah kaum muslim harus
mnegusahakan untuk mengisi kekurangan itu dan juga memformulasi
masalah-masalah dan memperluas visi disiplin tersebut.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern.
Jika relevansi islam telah disususun, maka ia harus dinilai dan
dianalisis dari titik pijak Islam.
7. Penilaian kritis terhadap khazanah islam

17
Sumbangan khazanah islam untuk setiap bidang kegiatan manusia
harus dianalisis dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
8. Survey mengenai problem-problem terbesar umat Islam
Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah
politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral, dan spiritual dari
kaum Muslimin.
9. Survey mengenai problem-problem umat manusia
Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat
manusia, harus dilaksanakan.
10.Analisis grafik dan sintesis
Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa
antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk
menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah
pemikir Islam harus berkesinambungan dengan prestasi-prestasi
moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke
horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin
modern.
11.Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja
(framework) Islam.
Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin ilmu
modern telah dicapai, buku-buku teks universitas harus ditulis untuk
menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.
12.Penyebarluasan ilmu pengetahuan
Penyebarluasan ini dimaksudkan untuk mensosialaisasikan ilmu
pengetahuan yang sudah diislamisasikan.33

Dari langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di


atas, nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan
usaha menuang kembali seluruh khazanah pengetahuan Barat ke dalam
kerangka Islam. Maka rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi
ini mendapat tantangan dari berbagai pihak, walaupun di lain pihak banyak

33
Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial
Dan Keagamaan....ibid, hal, 263-264.

18
juga yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya secara positif bahkan
menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT (The International Institute Of
Islamic Thought). Dan tidak sedikit pula meresponnya dengan pesimis
sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan lainnya seperti Fazlur
Rahman, yang melihat merupakan proyek yang sia-sia sama sekali tidak
kreatif. Untuk itu konsep islamisasi ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam
kerangka pemikiran secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kerancuan.
Salah satu langkah konkret Al-Faruqi mengenai gagasan islamisasi
ilmu pengetahuan yaitu dengan mendirikan IIIT (The International Institute
Of Islamic Thought). Ide pendirian IIIT ini tidak terlepas dari latar belakang
kondisi umat Islam yang secara global dan berabad-abad mengalami krisis
atau malaise.
Di antara kerjasama yang telah dijalin oleh IIIT ini antara lain:
1. Kerjasama dengan Universitas Islam Islamabad Pakistan dengan
mengadakan seminar The First International Conference Of Islamic
Thought And Islamization Of Knowledge (1982). Forum seminar ini
menghasilkan suatu pernyataan dan rumusan tentang arti islamisasi
pengetahuan, prinsip-prinsip metodologis dan tujuan-tujuan islamisasi
disiplin-disiplin yang sangat diperlukan bagi upaya mengislamkan
pendidikan. Disepakati pula kerja praktis untuk mewujudkan proses
Islamisasi pada masing-masing disiplin ilmu.
2. Kerjasama dengan The Association Of Muslim Social Scientist (AMSS)
Amerika dan Kanada dengan mengadakan seminar Ekonomi Islam ke-3
dengan tema Resource Mobilization And Invesment In An Islamic
Framework. Seminar yang diketuai oleh Zaidi Sattar ini diadakan di
Catholic University Washington DC tahun 1990 yang diikuti oleh para
ekonom dari seluruh dunia.
3. Kerjasama dalam bentuk penerbitan jurnal pemikiran Islam seperti jurnal
The American Journal Of Islamic Social Sciences (AJISS). Sebagai
contoh dalam jurnal No.3 Vol X tahun 1993 dimuat kajian tentang The
Methodology Of Islamic Behavioral Sciences oleh Mahmoud Abu Saud,
Islamic Sciences, The Making A Formal Intelectual Dicipline oleh Siraj

19
Hussain dan Counseling Values And Objective, A Comparison Of
Western And Islamic Perspektif karya Muntaz F. Jafari.
4. Penerbitan majalah yang berbahasa Arab dan Inggris, The Contemporary
Muslims yaitu wujud kerjasama dengan sebuah yayasan yang berpusat di
Kuwait yang bernama Al-Muslim Al-Mu’asir Foundation. Selain itu juga
kerjasama dengan The Islamic Foundation yang berpusat di Leicester
Inggris dengan melakukan penerbitan berkala yaitu The Muslim World
Book Review dan Index Of Islamic Literature.34

C. Pro dan Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan Di Kalangan Cendekiawan


Muslim
Diskursus seputar Islamisasi ilmu ini telah begitu lama menebarkan
perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkannya
sekitar 40 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus
bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut
momentum ini sebagai awal revivalisme (kebangkitan) Islam. Namun di pihak
lain menganggap bahwa gerakan "Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk
mengobati "sakit hati" (inferiority complex), karena ketertinggalan mereka yang
sangat jauh dari peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang
waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan
sendirinya.
Dalam pandangan Syed Hossein Nasr, integrasi yang diinginkan al-Faruqi
bukan saja sesuatu yang mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurutnya,
para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam
kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik
dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan
Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang
pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibn Khaldûn di masa lalu.35
Dukungan Islamisasi juga datang dari Ziauddîn Sardâr, pemikir muslim dari
Inggris, ia berpendapat bahwa Islamisasi ilmu akan menjadi issue populer dan

34
Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial
Dan Keagamaan....ibid, hal, 258.
35
Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi…, ibid, hal, 41.

20
berkembang di masa depan, meski kini masih berada pada tahap “bulan sabit
awal” seperti tercermin dari buku Ziauddin Sardar,  An Enly Crescent: The Future
of Knowledge and the Environment in Islam. 36 Namun Sardar dalam hal ini
memiliki paradigma yang berbeda. Bahwasanya bukan Islam yang perlu
direlevankan dengan ilmu pengetahuan modern. Justru sebaliknya, islamlah yang
harus dikedepankan, dalam arti, ilmu pengetahuan modern yang harus dibuat
relevan dengan Islam.
Bertolak dari pemikiran di atas, Sardar mengemukakan agar awal sekali
yang harus dibangun adalah pandangan dunia islam (Islamic worlview) atau
agenda yang pertama kali harus diagendakan adalah bagaimana membangun
epistemologi islam yang berdasarkan pada al-quran dan hadits ditambah dengan
memahami perkembangan dunia kontemporer.37
Maraknya perkembangan pemikiran seiring dengan lahirnya gagasan
Islamisasi ilmu ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide tersebut.
Mereka percaya bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang menjadi sumber
utamanya adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pelabelan
Islam atau bukan Islam pada segala ilmu. Sebut saja dalam hal ini Fazlur Rahman,
Muhsin Mahdi, Abdul Karim Soroush, Bassan Tibi, Hoodbhoy dan Abdul Salam.
Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena
tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam
menyalahgunakannya. Dan bahkan ia berkesimpulan bahwa kita tidak perlu
bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu
pengetahuan Islami. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk
berkreasi. Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas,
seperti senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung
jawab, ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar. Baik dan
buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya. Abdul
Salam, pemenang anugerah Nobel fisika berpandangan bahwa hanya ada satu

36
Ziauddin Sardar, Ed., An Enly Crescent: The Future of Knowledge and the Environment in
Islam, (London: Mansell, 1989), hal. 73.
37
Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial
Dan Keagamaan....ibid, hal, 264.

21
ilmu universal dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu Islam, seperti juga
tidak ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen.38
Senada dengan Abdul Salam, Pervez Hoodbhoy, yang juga pernah meraih
penghargaan Nobel, menyangsikan keberadaan sains Barat, sains Islam, sains
Yunani atau peradaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat universal
dan lintas bangsa, agama atau peradaban. Menurutnya tidak ada bahkan tidak
perlu sains Islam dan usaha untuk menciptakan sains Islam (Islamisasi ilmu)
merupakan pekerjaan sia-sia.39
Terlepas dari pro-kontra mengenai islamisasi ilmu pengetahuan yang
menjadi tantangan besar bagi kelanjutan proses Islamisasi dan merupakan the real
challenge adalah komitmen sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendiri.
Tantangan globalisasi yang terus berkembang seiring dengan perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi semakin membingungkan. Ilmu dianggap
sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya,
orientasinya pun ikut berubah, tidak lagi untuk meraih “keridhaan Allah” tetapi
untuk kepentingan diri sendiri. Universitas pun hanya berorientasi untuk
memenuhi kebutuhan pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja dan bukan
lagi merupakan pusat pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan. Sehingga
merupakan hal yang wajar jika al-Attas mengungkapkan bahwa tantangan terbesar
terhadap perkembangan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul dari
kalangan umat Islam itu sendiri. Dan tantangan yang tak kalah besarnya adalah
akibat kedangkalan pengetahuan umat Islam terhadap agamanya sendiri. Hal ini,
menurutnya, bisa dilihat dari karya tulis yang mereka hasilkan yang
mencerminkan bahwa mereka belum memahami Islam dengan baik.

38
http://stai-almuslim.blogspot.com/2013/05/blog-post.html diakses pada tanggal 23/10/2013.
39
http://stai-almuslim.blogspot.com/2013/05/blog-post.html diakses pada tanggal 23/10/2013.

22
BAB III
PENUTUP

Sejak terjadinya pencerahan (renaisance) di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu


rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori
oleh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari
acuan pemikiran filsafat Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme dan materialisme. Hal
tersebut menyebabkan dampak negatif terhadap umat Islam. Sebab dengan

23
perkembangan ilmu pengetahuan tersebut memicu suatu kebobrokan moral dan etika
yang tidak berlandaskan agama Islam. Oleh karena hal tersebut maka muncullah ide
islamisasi ilmu pengetahuan yang diprakarsai oleh Syed Naquib Al-Attas dan Ismail
Raji Al-Faruqi.
Islamisasi ilmu pengetahuan ini diterangkan secara jelas oleh al-Attas, yaitu
pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional yang
bertentangan dengan Islam dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan
bahasa juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan
tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya
cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil
terhadapnya. Selanjutnya al-attas sebelum melakukan proses islamisasi, ada sesuatu
yang harus dilakukan, yakni islamisasi bahasa.
Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu
melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses
pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan
peradaban Barat. Kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke
dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Sedangkan al-Faruqi, mendasarkan ilmu pengetahuan dengan tauhid kepada
Allah. Adapun langkah-langkah dalam Islamisasi ilmu terdiri dari 12 langkah yang
tersitematis dan banyak diapresiasi oleh banyak ilmuwan muslim di seluruh dunia.
Sebagai langkah nyata al-faruqi dalam Islamisasi ilmu adalah mendirikan IIIT (The
International Institute Of Islamic Thought).
Diskursus seputar Islamisasi ilmu ini telah begitu lama menebarkan perdebatan
penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkannya sekitar 40 tahun
yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu
pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai
awal revivalisme (kebangkitan) Islam. Ada pihak yang pro dan kontra terhadap gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan. Pihak yang pro terhadap adanya Islamisasi ilmu
diantaranya Seyyed Hossein Nasr, Ziaudin Sardar. Sedangkan yang kontra diantaranya
adalah Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush, dan
Bassan Tibi.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmad Na’im, dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta:


Jendela

Abdul Sani. 1998 Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam.


Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Al-Faruqi. 1982Tauhid: Its Implementations For Thought And Life. Wynccote USA:
The International Institute of Islamic Thought

25
Ismail Raji al-Faruqi, 1989. Islamization of Knowledge. Virginia: International Institute
of Islamic Thought.

John L.Esposito-John O Voll, 2002. Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer.


Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kafrawi Ridwan (Ed), 1993. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve

Khudori Soleh. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.

Mudjia Rahardjo. 2006 Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan
Islam, Sosial Dan Keagamaan.Malang: UIN Malang Press.

Muhaimin. 2003. Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan,


Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung:
Nuansa.

Muhammad Zainuddin. 2003. Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam. Malang: Bayu
Media.

Osman Bakar. 1994. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah.

Rosnani Hashim. Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah


Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam (INSIST: Jakarta,
Thn II No.6/ Juli-September 2005).

Syed Muhammad Naquib al-Attas. 1981. Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo
Djojosuwarno Bandung: Pustaka.

Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib al-Attas. Bandung: Mizan

Ziaudin Sardar.1998. Jihad Intelektual. Surabaya: Risalah Gusti

Ziauddin Sardar, Ed., 1989. An Enly Crescent: The Future of Knowledge and the
Environment in Islam. London: Mansell

http://stai-almuslim.blogspot.com/2013/05/blog-post.html diakses pada tanggal


23/10/2013.

26
http://inpasonline.com/news/islmisasi-ilmu-pengetahuan-tinjauan-atas-pemikiran-syed-
m-naquib-al-attas-dan-ismail-r-al-faruqi/ diakses pada tanggal 24 Oktober 2013.

27

Anda mungkin juga menyukai