Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ARBITRASE INTERNASIONAL

DOSEN PENGAMPU :

Dr. FITRIYAH ALKAFF. MA

DISUSUN OLEH :

MELIZA

19.045.74234

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


STAI MAMBA’UL ULUM JAMBI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Jambi, Juni 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan.............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase Sebagai alternatif Penyelesaian Sengketa ......3
B. Lembaga Arbitrase Internasional....................................................................................4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................................12
B. saran..............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung
demikian pesat. Dinamika dan kepastian yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan
bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata
maupun lembaga hukum. Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak
memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang
sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan
melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan
melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal
maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang
yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.

Sementara itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum
berakibat juga terhadap pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani
sengketa-sengketa bisnis, tidak independen bahkan para hakimnya telah kehilangan
integritas moral dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, lembaga pengadilan yang
secara konkrit mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika
menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan
efisien.

Sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum
arbitrase bukan sesuatu yang baru dalam sistem  penyelesaian sengketa hukum di
Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer
walaupun sesungguhnya sudah lama diatur dalam sistem  hukum di Indonesia. Bahkan
pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di
kalangan para usahawan.

Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai
salah satu cara penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya
peranan arbitrase pun bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga, baik nasional
maupun internasional. Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi niaga,
baik nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi menimbulkan sengketa.

1
Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau aktivitas komersial itu secara
umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau sengketa komersial (selanjutnya disebut
dengan sengketa komersial). Demikian luasnya pengertian komersial sehingga meliputi
seluruh aspek kegiatan bisnis. Oleh sebab itu, dalam rangka disertasi ini sengketa
komersial tidak ditetapkan secara spesifik. Sengketa komersial dimaksud diambil secara
random (acak) dari kasus yang ada berdasarkan kebutuhan kajian ini. Bahkan sengketa
komersial dimaksud tidak ditentukan berdasarkan jenis objek sengketanya maupun
ragam kontrak bisnisnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar pertimbangan memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa?
2. Apa saja lembaga arbitrase Internasional?

C. Tujuan
1. Mengetahui dasar pertimbangan memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa.
2. Mengetahui lembaga arbitrase Internasional.
D.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa


Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang
makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi
Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk memasuki arena
ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan
dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan
internasional. Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat
dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Oleh
karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang
reliable, efektif, dan efisien.
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional terus
berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah berdampak terhadap peran
pengadilan negeri sebagai lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri
dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para
pengusaha, termasuk dalam
Soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-pihak dalam bisnis
menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui pengadilan negeri. Di
lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan adalah cara pandang hakim
terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi
hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut "keadilan hukum" (legal justice),
tetapi gagal menangkap "keadilan masyarakat" (social justice). Hakim telah
meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusan-putusannya.
Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan
pengadilan masih menunjukkan lebih kental "bau formalisme-prosedural" ketimbang
kedekatan pada "rasa keadilan warga masyarakat." Oleh sebab itu, sulit dihindari bila
semakin hari semakin berkembang rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi
pengadilan.
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses
pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku

3
bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila
terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.
Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, atas dasar
hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketasengketa bisnis
merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari
menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak
terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini
oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial. Adapun faktor
yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan metode pertentangan
(adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil
akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad
baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif.
Pada arbitrase para pihak tidak bertarung melainkan mengajukan argumentasi di
hadapan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh karena itu,
untuk mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam menjalankan tugasnya,
seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan kepastian hukum,
mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan
peranannya untuk membuka lebar-lebar akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa
harus terbelenggu pada aturan normatif yang rigid.

B. Lembaga Arbitrase Internasional


1. ICSID (International Center For The Settlment Of Investment Disputers)
ICSID (International Center for the Settlment of Investment Disputers)
adalah badan yang dilahirkan Bank Dunia. Konvensi yang mendirikan badan ini,
yaitu konvensi ICSID atau kadang-kadang disebut Konvensi Washington atau
Konvensi Bank Dunia, ditandatangani di Washington DC 18 Maret 1965. Badan
arbitrase ICSID berkedudukan di Washington dan berafiliasi dengan Bank Dunia.
Konvensi mulai berlaku pada 14 Oktober 1966, sebelum setelah 20 negara
meratifikasinya
Terbentuknya konvesni adalah sebagai akibat dari situasi perekonomian
dunia pada waktu 1950-1960an yaitu khususnya dikala beberapa negara berkembang
menasionalisasi atau mengekspropriasi perusahaan-perusahaan asing berada di
dalam wilayahnya. Tindakan ini mengakibatkan konflik-konflik ekonomi yang dapat
berubah menjadi sengketa politik atau bahkan sengketa terbuka (perang). Diantara

4
kasus-kasus nasionalisasi yang lansung mempengaruhi dan menggerakkan Bank
Dunia membentuk konvensi ini adalah kasus nasionalisasi perusahaan-perusahaaan
Perancis di Tunisia. Kasus ini bermula dengan tindakan DPR Tunisia (the Tunisian
National Assembly) yang mengeluarkan UU Nasionalisasi tanah-tanah milik orang
asing (khususnya Perancis) pada tanggal 10 Mei 1964.
Tindakan ini sangat mengejutkan pihak asing karena dengan adanya UU
tersebut berati tanah milik orang asing (Prancis) berikut kekayaan yang terkadung di
dalamnmya seluas 1 juta hektar ternasionalisasi. Dalam suatu pernyataanya,
Presiden Tunisia Habib Bourgouiba menyatakan bahwa selama ini Tunisia telah
cukup menderita di bawah ekspoiltasi Prancis selama 83 tahun. Beliau juga menolak
perjanjian yang diadakan sebelumnya antara Tunisia dan Prancis bahwa negerinya
dapat membeli hak milik asing (Prancis) yang masih ada berbasarkan ketentuan-
ketentuan hukum kolonial.
Bourgouiba melegalisasi tindakannya dengan alasan bahwa meskipun
tindakan atau kebijakannya nyata-nyata ditentang Pemerintah Prancis, namun
tidakan tersebut dilancarkan juga sebab merupakan “suatu masalah antara hidup dan
mati bagi Tunisia yang merupakan negara yang baru merdeka”
Presiden Prancis Jenderal Charles de Gaulle, pada waktu itu, berekasi keras
terhadap tindakan pemerintah bekas jajahannya. Beliau menyatakan tindakan
tersebut sebagai tindakan brutal dan serta merta membatalkan semua rencana
bantuan keuangan (ekonomi) negarannya kepada Tunisia. Hubungan kedua negara
pada waktu itu praktis sangat tegas dan panas. Kasus ini mengejutkan masyarakat
intenasional yang merasa khawatir hubungan kedua negara dapat menjurus kearah
tujuan perang terbuka yang sudah barang tentu dapat merunggut banyak korban
jiwa.
Pada waktu itu reaksi dari pemilik tanah dan investor Prancis yang tanah atau
perusahaanya dinasionalisasi, adalah mengajukan masalah ini kepada lembaga
internasional, antara lain Bank Dunia. Namun, upaya tersebut tidak membawa hasil
yang berarti karena lembaga-lembaga itu memang tidak memiliki wewenang sama
sekali dalam menangani kasus-kasus seperti nasionalisasi. Beberapa waktu
kemudian, setelah kasus tersebut mereda, Bank Dunia lalu memprakasi
pembentukan suatu badan arbitrase internasional yang akan mengenai sengketa-
sengketa penanaman modal antara investor asing dengan negara tuan rumah. Upaya

5
ini membawa hasilnya yaitu dengan ditandatanginya the Convention the Settlement
of Investment Disputes between States and Nationals of Other States.

Tujuan ICSID

Ada  dua tujuan utama dibentuknya Konvensi ini:

1. Menjembatani jurang atau mengisi kekosongan upaya hukum di dalam


menyelesaikan kasus-kasus penanaman modal yakni dengan memberikan suatu
mekanisme khusus berupa fasilitas arbitrase dan konsilidasi.
2. Mendorong dan melindungi arus modal dari negara maju kepada negara ketiga. 

Tujuan pertama konvensi ini terefleksi dari perannan ICSID. Wewenang


badan ini khusus dan terbatas pada sengketa modal saja yang dalah satu pihaknya
adalah negara penerima modal dengan penanam modal yang negaranya adalah juga
konvensi ICSID. Shihata, mantan sekjen ICSID, mengungkapkan dua tujuan
dibentukan ICSID, yaitu:

1. Memberikan forum penyelesaian sengketa yang sifatnya menjembatani


kepentingan dan keinginan para pihak yang bersengketa, yaitu negara penerima
modal dan investor
2. Mencegah politisasi penyelesaian sengketa internasional di bidang penanaman
modal.

Tujuan pertama tercermin dari komposisi badan kelengkapan ICSID yaitu


the Administrative Council (Council). Council terdiri dari satu orang perwakilan
dari setiap negara anggota konvensi. Setiap perwakilan memliki satu hak suara.
Dengan adanya hak suara yang sama diantara sesama negara anggota, konvensi
ICSID member jaminan suara yang sama di antara negara-negara anggotanya.
Shinata mengungkapkan bahwa tujuan kedua ICSID sebenarnya adalah yang
utama dan terpenting, ICSID berupaya memberikan suatu iklim investasi yang sehat
yang menimbulkan kepercayaan di antara negara penerima modal dengan investor.
Dengan adanya iklim investasi yang sehat ini memungkinkan peningkatan investasi
dari negara maju ke negara berkembang. Manakala suatu sengketa, the center akan
membentuk suatu panel arbitrase atau konsiliasi untuk menanganinya. Selanjutnya,

6
perananan the center hanyalah mengawasi jalannya persidangan dan memberikan
aturan-aturan hukum acaranya.

2. International Chamber Of Commerce (ICC)

ICC merupakan singkatan dari International Chamber of Commerce.


Organisasi ini didirikan pada tahun 1919 dengan memiliki tujuan untuk melayani
bisnis-bisnis yang ada di dunia dengan mempromosikan perdagangan dan investasi.
ICC telah membuat sejumlah aktivitas untuk mencapai tujuannya, yakni mendirikan
badan ICC international Court of Arbitration dalam hal mendengar dan
menyelesaikan sengketa pribadi antar partai.
International Chamber of Commerce (ICC; Indonesia: Badan Perdagangan
Internasional) merupakan sebuah organisasi nirlaba internasional yang bekerja
mempromosikan dan mendukung perdagangan global dan globalisasi. Berperan
sebagai perwakilan sejumlah bisnis dunia dalam ekonomi global, terhadap
pertumbuhan ekonomi, pembuatan lowongan kerja, dan kemakmuran. Sebagai
sebuah organisasi bisnis global, terdiri dari negara anggota, badan ini membantu
pembangunan global pada masalah bisnis. ICC memiliki akses langsung ke
pemerintah nasional di seluruh dunia melalui komite nasionalnya. (wikipedia)
Untuk mencapai tujuannya, ICC telah membuat sejumlah aktivitas. ICC
International Court of Arbitration merupakan sebuah badan yang mendengar dan
menyelesaikan sengketa pribadi antara partai. Pembuatan kebijakan mereka dan
pembelaannya menjadikan pemerintah nasional, sistem PBB dan badan global
lainnya mengetahui pemandangan bisnis dunia pada beberapa isu terhangat hari ini.
Sekretariat internasional organisasi dibentuk di Paris dan International Court of
Arbitration ICC didirikan tahun 1923. Presiden pertama ICC adalah Etienne
Clémentel. Bulan Desember 2004 Dewan Dunia memilih Yong Sung Park sebagai
Pimpinan ICC, Marcus Wallenberg sebagai Wakil Pimpinan dan Jean-Rene Fourtou
sebagai Pimpinan Kehormatan. Bulan Juni 2005, Guy Sebban terpilih menjadi
Sekretariat Internasional oleh Dewan Dunia.
Meskipun ICC bermarkas di Paris, sidang ICC dapat berlangsung dimana
saja dalam menerapkan hukum bagi para pihak telah sepakat untuk menggunakan
ICC. Kasus yang diserahkan melalui ICC akan di”adili” oleh arbitrator dengan
mendasarkan pada persoalan (kasus) yang menjadi kewenangan ICC. Dalam hal

7
para pihak yang bersengketa tidak sepakat terhadap beberapa isu (masalah) yang
berkembangan dalam penanganan kasus tersebut seperti penetapan tempat, dan lain
sebagainya maka ICC memiliki kewenangan untuk menetapkannya.
Dalam konteks keputusan (award) yang dihasilkan, award tersebut harus
mendapat persetujuan dari ICC (international court of arbitration) yang memiliki
kewenangan untuk membuat modifikasi. Menyangkut pembiayaan akan ditentukan
oleh kedua belah pihak secara bersama-sama dan merata, dimana sekretariat badan
arbitrase akan mensyaratkan pembayaran administrasi dan biaya arbitrator.
Perhitungan biaya (cost) didasarkan pada jumlah biaya yang telah ditentukan oleh
ICC dan jumlah biaya yang disengketakan. Sekretariat mensyaratkan pula biaya
deposit sebelum badan arbitrase memulai pekerjaannya. Oleh karena itu, dari segi
pembiayaan, cost yang dikeluarkan sangatlah besar.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut serta dalam
berkembangnya ICC. ICC Indonesia merupakan sebuah komite nasional
perpanjangan tangan dari ICC dan KADIN Indonesia. ICC Indonesia memiliki visi
untuk meningkatkan perdagangan internasional dengan para pembeli dari luar
negeri.

3. London Court Of International Arbitration ( LCIA )

LCIA adalah salah satu lembaga internasional terkemuka dunia untuk


penyelesaian sengketa komersial. LCIA menyediakan administrasi arbitrase yang
efisien, fleksibel dan tidak memihak serta proses ADR lainnya, terlepas dari lokasi,
dan berdasarkan sistem hukum apa pun. Sifat internasional dari layanan LCIA
tercermin dalam fakta bahwa, biasanya, lebih dari 80% pihak dalam kasus LCIA
yang tertunda bukan berkebangsaan Inggris.
LCIA memiliki akses ke arbitrator, mediator, dan pakar yang paling
terkemuka dan berpengalaman dari banyak yurisdiksi, dan dengan jangkauan
keahlian terluas. Layanan penyelesaian sengketa LCIA tersedia untuk semua pihak
yang berkontrak, tanpa persyaratan keanggotaan. Untuk memastikan layanan yang
hemat biaya, biaya administrasi LCIA, dan biaya yang dikenakan oleh pengadilan
yang ditunjuknya, tidak didasarkan pada jumlah yang dipermasalahkan. Biaya
pendaftaran dibayarkan dengan Permintaan Arbitrase dan, selanjutnya, tarif per jam
diterapkan oleh arbiter dan oleh LCIA.

8
LCIA adalah lembaga yang berbasis di London , Inggris Raya yang
menyediakan layanan arbitrase internasional . Markas administrasi LCIA berada di
London. LCIA adalah lembaga internasional, yang menyediakan forum untuk
proses penyelesaian sengketa untuk semua pihak, terlepas dari lokasi atau sistem
hukum mereka. Meskipun arbitrase dan sementara pengadilan arbitrase formal
adalah fokus utama lembaga, LCIA juga aktif dalam mediasi , suatu bentuk
penyelesaian sengketa alternatif (ADR). Pada tanggal 5 April 1883, Pengadilan
Umum Dewan Kota London membentuk komite untuk menyusun proposal untuk
pembentukan pengadilan untuk arbitrase domestik dan, khususnya, sengketa
komersial trans-nasional yang timbul dalam lingkup kota.
The Law Quarterly Review menulis di peresmian pengadilan Kamarnya
adalah untuk memiliki semua kebajikan yang tidak dimiliki undang-undang. Itu
harus cepat di mana hukum itu lambat, murah di mana hukum itu mahal, sederhana
di mana hukum bersifat teknis, seorang pembawa damai, bukan pencetus pertikaian.
Pada tahun 1884, komite mengajukan rencananya untuk pengadilan yang akan
dikelola oleh City of London Corporation , dengan kerjasama dari Kamar Dagang
& Industri London . Namun, meskipun rencana itu muncul dari kebutuhan yang
diidentifikasi dan mendesak, itu harus ditunda sambil menunggu berlakunya
Undang-Undang Arbitrase Inggris 1889. Pada April 1891, skema tersebut akhirnya
diadopsi dan pengadilan baru diberi nama The City of London Chamber of
Arbitration . Itu akan duduk di Guildhall di Kota, di bawah tuduhan administrasi
komite arbitrase yang terdiri dari anggota Kamar London dan Korporasi Kota.
Kamar itu secara resmi dilantik pada 23 November 1892, di hadapan
pertemuan besar dan terhormat, yang termasuk Presiden Dewan Perdagangan saat
itu. Minat yang cukup besar juga ditunjukkan oleh pers dan kalangan komersial
yang legal. Pada bulan April 1903, pengadilan diubah namanya menjadi
Pengadilan Arbitrase London dan, dua tahun kemudian, Pengadilan pindah dari
Guildhall ke lokasi terdekat Kamar Dagang London. Struktur administrasi
Pengadilan sebagian besar tetap tidak berubah selama tujuh puluh tahun ke depan.
Pada tahun 1975, Institut Arbiter (kemudian Chartered Institute) bergabung dengan
dua badan administrasi lainnya dan komite arbitrase sebelumnya menjadi Komite
Manajemen Bersama, berkurang dari semula dua puluh empat anggota menjadi
delapan belas, enam perwakilan dari masing-masing tiga organisasi . Direktur
Institut Arbiter menjadi Panitera Pengadilan Arbitrase London. Pada tahun 1981,

9
nama Pengadilan diubah menjadi Pengadilan Arbitrase Internasional London ,
untuk mencerminkan sifat pekerjaannya, yang pada waktu itu, sebagian besar
internasional.
LCIA tetap menjadi salah satu lembaga arbitrase internasional permanen
yang lebih besar saat ini. Ini mengumumkan aturan dan prosedurnya sendiri, yang
sering diadopsi dalam arbitrase ad hoc bahkan di mana LCIA sendiri tidak terlibat.
LCIA dibentuk sebagai perusahaan nirlaba yang dibatasi oleh jaminan . Dewan
Direksi LCIA (sebagian besar terdiri dari praktisi arbitrase terkemuka yang berbasis
di London) prihatin dengan operasi dan pengembangan bisnis LCIA dan dengan
kepatuhannya pada hukum perusahaan yang berlaku. Dewan tidak memiliki peran
aktif dalam administrasi prosedur penyelesaian perselisihan, meskipun Dewan
memiliki kepentingan yang layak dalam pelaksanaan fungsi administrasi LCIA.
Pengadilan LCIA adalah otoritas terakhir untuk penerapan Aturan LCIA yang tepat.
Fungsi utamanya adalah menunjuk pengadilan, menentukan tantangan bagi arbiter,
dan mengendalikan biaya. Meskipun Pengadilan LCIA bertemu secara teratur
dalam sesi pleno, sebagian besar fungsi yang harus dilakukan olehnya berdasarkan
aturan dan prosedur LCIA dilakukan, atas namanya, oleh Presiden, oleh Wakil
Presiden atau oleh Divisi Pengadilan. Pengadilan terdiri dari tiga puluh lima
anggota, yang dipilih untuk memberikan dan menjaga keseimbangan para praktisi
terkemuka dalam arbitrase komersial, dari area perdagangan utama dunia, dan yang
tidak lebih dari enam mungkin berkebangsaan Inggris. Di antara pihak-pihak lain,
Perjanjian Kayu Softwood 2006 antara Amerika Serikat dan Kanada membentuk
mekanisme penyelesaian sengketa berbasis di sekitar LCIA untuk masalah
perdagangan internasional kedua pihak mengenai kayu lunak.
Aturan arbitrase LCIA berlaku secara universal, sesuai untuk semua jenis
perselisihan yang dapat arbitrasi. Mereka menawarkan kombinasi fitur terbaik dari
sistem hukum perdata dan common law, termasuk khususnya:

 Fleksibilitas maksimum bagi para pihak dan pengadilan untuk menyetujui hal-
hal prosedural
 Kecepatan dan efisiensi dalam penunjukan arbiter, termasuk prosedur yang
dipercepat
 Cara mengurangi penundaan dan menangkal taktik menunda
 Ketentuan arbitrator darurat

10
 Kekuatan pengadilan untuk memutuskan yurisdiksi mereka sendiri
 Berbagai langkah sementara dan konservatif
 Kekuatan pengadilan untuk memerintahkan keamanan untuk klaim dan biaya
 Kekuatan khusus untuk bergabung dengan pihak ketiga dan konsolidasi
 Pengabaian hak banding
 Biaya dihitung tanpa memperhatikan jumlah yang disengketakan
 Setoran bertahap - para pihak tidak diharuskan untuk membayar seluruh
arbitrase di muka

C.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Arbitrase, baik nasional maupun internasional memiliki peran dan fungsi yang
makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Arbitrase
merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat dipilih di antara berbagai
sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini
sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang reliable, efektif, dan efisien.
Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses
pemeriksaan yang berbelit dan formalistik. Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku
bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila
terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri.
Lembaga Arbitrase Internasional sebagai berikut:

 International Center For The Settlment Of Investment Disputers (ICSID)


 International Chamber Of Commerce (ICC)
 London Court Of International Arbitration ( LCIA )

B. Saran
Melalui peradilan arbitrase memang memiliki banyak kelebihan, di samping itu
masyarakat tetap dihimbau untuk tetap menaati segala peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Tidak menutup kemungkinan di peradilan arbitrase bisa terjadi oknum-
oknum hukum yang menyelewengkan hak dan kewajiban mereka untuk keuntungan
pribadi semata. Untuk pemerintah harus lebih tegas lagi dalam membuat keputusan
khususnya jika ada permsalahan yang menyangkut dunia bisnis di tanah air agar tidak
menjadi aib bagi Republik Indonesia.

12
DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie, Zaeni. 2005. Hukum Bisnis (Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia). Jakarta :


PT. Raja Grafindo Persada

Gautama, Sudargo. 1990. Hukum Dagang & Arbitrase Internasional. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti

Harahap, M.Yahya. 2004. Arbitrase. Jakarta : SINAR GRAFIKA.

Rosyadi, Rahmat dan Ngatino. 2001. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum
Positif. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada

13

Anda mungkin juga menyukai