Anda di halaman 1dari 5

1.

Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah Khulafaur Rasyidin atau
kekhalifahan kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kekhalifahan ini
didirikan pada 661 Masehi.
Pendiri sekaligus khalifah pertama Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abu
Sufyan atau sering disebut Muawiyah I. Muawiyah I pernah menjabat sebagai
Gubernur Syam pada masa Khulafaur Rasyidin, tepatnya pada pemerintahan Umar
bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Bani Umayyah menerapkan sistem perundang-undangan yang bersifat
kekeluargaan. Kerajaan Islam ini dipimpin oleh 14 khalifah. Khalifah pertama Bani
Umayyah adalah Muawiyah dan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad.
Muawiyah merupakan putra dari Abu Sufyan dan Hindun binti 'Utbah. Ia lahir
di Khif, Mina tepat 15 tahun sebelum hijrah. Dikutip dari buku Belajar dari Runtuhnya
Daulah-daulah Islam oleh Abdul Halim Uwais, keluarga ini memeluk Islam pada
masa penaklukan kota Mekkah.
Pendiri Bani Umayyah ini merupakan salah seorang penulis wahyu
Rasulullah SAW. Ia juga terlibat dalam peperangan melawan orang-orang murtad
bersama saudara dan ayahnya. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat
sebagai gubernur untuk beberapa daerah di Syam oleh khalifah Umar bin Khattab. Di
bawah kepemimpinan Muawiyah, seluruh wilayah di daerah syam berhasil disatukan.

Muawiyah wafat pada tahun 60 H. Kaum muslimin pada waktu itu membai'at putra
Muawiyah yang bernama Yazid untuk menjadi pengganti Muawiyah. Namun, Yazid
bin Muawiyah adalah seseorang yang wara' dan zuhud. Ia memilih untuk undur diri
dari kekhalifahan Bani Umayyah yang didirikan ayahnya.
Ia merupakan pria berkulit putih, berbadan tegap, tampan, berwibawa,
bersikap ibarat raja, suka bergaya mewah, menyukai makanan yang lezat dan gemar
akan kebersihan. Ia masuk Islam pada hari penaklukan kota Mekkah bersama
penduduk kota Mekkah lainnya.
Setelah masuk Islam, Rasulullah SAW berusaha membuat agar Muawiyah
lebih dekat dengan beliau. Muawiyah memiliki sikap dan sifat-sifat Sabar, cerdik,
toleran, dan pandai dalam mengendalikan diri, serta seorang yang pemaaf. Dari
sifat-sifat itu, Rasulullah SAW mengangkat Muawiyah menjadi anggota dari siding
penulis wahyu. Sikap optimis dan selalu memandang kedepan membuat Muawiyah
tidak pernah mengalami kegagalan dalam urusan yang diinginkan saat menjadi
khalifah selama 20 tahun. Kegagalan yang pernah dialami Khalifah Muawiyah adalah
ketika menaklukan kota Konstantinopel. Muawiyah juga dikenal sebagai tokoh yang
pandai dalam menarik perhatian musuh-musuhnya dan para penantangnya, yakni
dengan kesabaran dan kewibawaan seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW
kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Dalam diri Muawiyah, terdapat
semboyan, "Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku masih
cukup, aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa
mengatasi".
Menurut Yatim, bahwa kekuasan Bani Umayyah melalui peran sentral dari
Muawiyah Bin Abu Sufyan mengubah kekuasaan demokrasi Islam menjadi monarki
(kerajaan turun-temurun) Muawiyah juga dikatakan menghianati perjanjian yang
telah disepakati dengan Hasan Ibnu Ali dan kaum muslimin, yaitu berjanji apabila dia
tidak berkuasa lagi, maka pemimpin setelahnya akan dipilih sesuai dengan keinginan
seluruh kaum muslimin berdasarkan musyawarah, akan tetapi dengan otoriter
Muawiyah mengangkat anaknya Yazid untuk naik tahta sehingga menyebabkan
terjadinya perang saudara (Yatim, 2000). Pandangan berbeda dikemukakan oleh
Prof. Ahmad Syalabi dalam karyanya yang Sejarah Kebudayaan Islam 2. Dia
memberikan pujian dengan menyebut masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan
sebagai suatu era yang agresif dimana perhatiannya tertuju pada perluasan wilayah
dan penaklukan yang terhenti pada masa khalifaur Rasyidin. Muawiyah dinilai
berhasil juga melakukan penaklukan militer melawan bangsa Romawi hingga
pengepungan ke Konstantinopel, penaklukan di Afrika Utara dengan menyeberangi
Selat Giblatar hingga bisa menduduki Spanyol dan penaklukan hingga ke India
(Ahmad Syalabi, 1963). Senada dengan Prof. Ahmad Syalabi, Syed Mahmudunnasir
juga memuji Muawiyah Bin Abu Sufyan melalui buku karangannya yang berjudul
Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Tahun 2003), beliau menjelaskan bahwa Muawiyah
adalah seorang penguasa, politikus dan administrator dan seorang ahli pidato yang
ulung. Muawiyah juga sangat berjasa dalam membentuk angkatan darat yang kuat
dan efisien dengan mengandalkan pasukan dari orang-orang Siria yang taat dan
loyal serta mengadopsi pemerintahan Byzantium sebagai model sistem di
pemerintahan Dinasti Umayyah.
2. Dalam sejarah peradaban Islam, Damaskus menjadi pusat pemerintahan pertama di
luar Jazirah Arabia. Pendiri Dinasti Umayyah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan,
memindahkan ibu kota dari Madinah ke Damaskus pada 661. Kira-kira, 26 tahun
sebelumnya, Damaskus sudah berada di tangan Islam, yakni era Khalifah Umar bin
Khaththab. Sebagai kelanjutan dari masa khulafaur rasyidin, Dinasti Umayyah
menjadikan Damaskus sebagai tonggak peradaban umat Islam. Pada 707, di kota
tersebut berdiri rumah sakit sekaligus pusat studi kedokteran pertama. Hal itu atas
dukungan Khalifah Walid bin Abdul Malik.
Menurut sejarawan Thomas Goldstein, ada 30 rumah sakit di Damaskus sampai abad
ke-13. Sebelumnya, perpustakaan publik pertama juga berdiri di Damaskus pada 704.
Inisiatornya adalah Khalifah Khalid bin Yazid, yang tidak lain cucu pendiri Dinasti
Umayyah. Di perpustakaan inilah mula-mula pusat kegiatan intelektual berlangsung. Di
antaranya ada aktivitas filologi kesusastraan Arab serta kajian-kajian ilmu hadiyts, fiqih,
kalam, dan sejarah. Masa keemasan meliputi Damaskus begitu Sultan Nuruddin
berkuasa pada 1154. Pada eranya, banyak masjid, madrasah, dan pusat kesehatan
publik dibangun untuk menunjukkan pencapaian peradaban Islam. Demikian pula
dengan peningkatan kekuatan militer negara. Adapun aktivitas intelektual di Damaskus
pada zaman itu berkembang pesat, antara lain, lantaran kontribusi dari dua suku, yakni
Bani Asakir dan Bani Qudama. Sultan Nuruddin mendirikan pusat studi hadits pertama,
Dar al-Hadits di Damaskus. Madrasah yang khusus bagi mazhab Maliki, al-Shalahiyyah,
juga dibina. Begitu pula dengan madrasah al-‘Adiliyyah pada 1171, yang kini menjadi
Arab Academy.
3. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa
khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan
menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul,.
Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota
Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus
dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin
Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan
Balkanabad, Bukhara, Khwarezmia, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan
sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke
Multan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik.
Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat
Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat
daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat
ditundukkan, Thariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi
selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di
suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol
dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu
kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain
seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah
jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Pirenia.
Serangan ini dipimpin oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan
menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam
peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur
kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat
di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan
Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam
pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata
uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi
profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin Marwan
mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata
dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-
pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid
bin Abdul-Malik (705-715 M) meningkatkan pembangunan, di antaranya membangun panti-
panti untuk orang cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
5. umar bin Abdul Aziz merupakan salah satu khalifah pada zaman Bani
Umayyah. Prestasi Umar bin Abdul Aziz yang sangat gemilang membuatnya
dikenal oleh muslim di seluruh dunia.
Umar bin Abdul Aziz ditunjuk sebagai khalifah setelah Sulaiman bin Abdul Malik.
Beliau memiliki masa pemerintahan yang singkat, yakni selama 2 tahun. Namun
masa pemerintahan yang singkat membuatnya disebut dengan ‘lembaran putih’
masa Bani Umayyah. Ia memiliki periode yang berdiri sendiri dengan karakter yang
sama sekali tidak terpengaruh oleh berbagai kebijakan Bani Umayyah.
Umar bin Abdul Aziz merupakan sosok khalifah yang memiliki personifikasi bersih
dan takwa. Bahkan, ia menjadi khalifah yang sangat mencintai Islam dan
mendalaminya. Selain itu, ia juga memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk
menulis sebuah hadits yang merupakan perintah resmi pertama dari penguasa
Islam.
Saat berkuasa, ia juga menerapkan sebuah metode yang menjadi pegangannya.
Diantaranya seperti penjagaan harta umat Islam, efisiensi waktu dan tenaga,
kecepatan penanganan urusan, penyederhanaan birokasi, penyelesaian hakim,
kepala daerah, dan pejabat, perwujudan keseimbangan di tengah masyarakat,
penghapusan semua aktivitas yang tidak sejalan dengan Islam, dan dialog
persuasive dengan para pemberontak secara baik.
Kemudian terdapat sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz
ketika berkuasa. Mulai dari memecat para pejabat yang zhalim dan kemudian
menggantinya dengan pajabat baru yang adil dan benar, meski bukan dari golongan
Umayyah. Selain itu, ia juga menghapuskan hak istimewa yang diberikankan
kepadanya beserta keluarganya.
Sistem politik yang dibangun oleh Umar bin Abdul Aziz yang dianutnya adalah
sistem politik amar ma’ruf nahi mungkar. Ia menggunakan sistem politik yang lebih
memihak kepada rakyat yang lebih lemah. Bahkan ia juga menghilangkan sejumlah
deskriminasi pada masyarakat.
Sedangkan dalam mengelola pemeritahan, ia juga berhasil membawa sebuah
kemakmuran yang berlimpah. Hal tersebut membuat para muzakki atau pembayar
zakat kesulitan dalam memberikan zakat. Hal ini dikarenakan masyarakatnya
menjadi sangat makmur dalam kurun waktu 2 setengah tahun tersebut.
6. Runtuhnya Dinasti Umayyah bukanlah semata-mata disebabkan oleh serangan Bani
Abbas. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah, menyebutkan, terdapat sejumlah faktor
yang sangat kompleks yang menyebabkan tumbangnya kekuasaan Dinasti Umayyah.
Berikut penyebabnya:
* Pengangakatan lebih dari satu putra mahkota
Sebagian besar khalifah Bani Umayyah mengangkat lebih dari seorang putra mahkota.
Biasanya putra tertua diwasiatkan terlebih dahulu untuk menduduki takhta. Setelah itu,
wasiat dilanjutkan kepada putra kedua dan ketiga atau salah seorang kerabat khalifah,
seperti paman atau saudaranya. Putra mahkota yang lebih dahulu menduduki takhta
cenderung mengangkat putranya sendiri. Hal itu menimbulkan perselisihan.
* Timbulnya fanatisme kesukuan
Sejak pertama kali diturunkan ajaran Islam berhasil melenyapkan fanatisme kesukuan
antara bangsa Arab Selatan dan Arab Utara, yang telah ada sebelum Islam. Namun, pada
masa Bani Umayyah, fanatisme ini muncul kembali terutama setelah kematian Yazid bin
Muawiyah (Yazid I).
Bangsa Arab Selatan yang pada masa itu diwakili kabilah Qalb adalah pendukung utama
Muawiyah dan putranya, Yaid I. Ibu Yazid I, yang bernama Ma'sum, berasal dari kabilah
Qalb. Pengganti Yazid I, Muawiyah II, ditolak oleh bangsa Arab Utara yang diwakili oleh
kabilah Qais dan mengakui kekhalifahan Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair). Ketika terjadi
bentrokan antara kedua belah pihak, kabilah Qalb dapat mengalahkan kabilah Qais yang
mengantarkan Marwan I ke kursi kekhalifahan.
* Kehidupan khalifah yang melampaui batas
Beberapa khalifah Umayyah yang pernah berkuasa diketahui hidup mewah dan berlebih-
lebihan. Hal ini menimbulkan rasa antipati rakyat kepada mereka. Kehidupan dalam istana
Bizantium agaknya mempengaruhi gaya hidup mereka. Yazid bin Muawiyah (Yazid I),
misalnya, dikabarkan suka berhura-hura dengan memukul gendang dan bernyanyi bersama
para budak wanita sambil minum minuman keras. Yazid bin Abdul Malik (Yazid II) juga tidak
lebih baik dari Yazid I. Ia suka berfoya-foya dengan budak wanita. Putranya, al-Walid II,
ternyata tidak berbeda dengan ayahnya.
* Fanatisme kearaban Bani Umayyah
Kekhalifahan Bani Umayyah memiliki watak kearaban yang kuat. Sebagian besar
khalifahnya sangat fanatik terhadap kearaban dan bahasa Arab yang mereka gunakan.
Mereka memandang rendah kalangan mawali (orang non-Arab). Orang Arab merasa diri
mereka sebagai bangsa terbaik dan bahasa Arab sebagai bahasa tertinggi.
Fanatisme ini menimbulkan kebencian penduduk non-Muslim kepada Bani Umayyah. Oleh
karena itu, mereka ikut ambil bagian setiap kali timbul pemberontakan untuk
menumbangkan Dinasti Umayyah. Keberhasilan Bani Abbas dalam menumbangkan Bani
Umayyah disebabkan antara lain oleh dukungan dan bantuan mawali, khususnya Persia
yang merasa terhina oleh perlakuan pejabat Bani Umayyah.
* Kebencian golongan Syiah
Bani Umayyah dibenci oleh golongan Syiah karena dipandang telah merampas kekhalifahan
dari tangan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Menurut golongan Syiah, khilafah
(kepemimpinan atau kekuasaan politik) atau yang mereka sebut imamah adalah hak Ali dan
keturunannya, karena diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Anda mungkin juga menyukai