EGS-09050010
TUGAS
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
Mata kuliah : Keperawatan Gadar
Dosen Pengampu: Ns.Anto indriadi,S.Kep,MM
Disusun Oleh :
1. Code Red
Adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman kebakaran di lingkungan
rumah sakit (api maupun asap), sekaligus mengaktifkan tim siaga bencana rumah sakit
untuk kasus kebakaran. Dimana tim ini terdiri dari seluruh personel rumah sakit, yang
masing-masing memiliki peran spesifik yang harus dikerjakan sesuai panduan tanggap
darurat bencana rumah sakit. Misalnya; petugas teknik segera mematikan listrik di area
kebakaran, perawat segera memobilisasi pasien ke titik-titik evakuasi, dan sebagainya.
Tatalaksananya (RACE):
a. (R) REMOVE/RESCUE/SELAMATKAN setiap orang yang berada dalam area
kebakaran sambil meneriakkan: code red ---- code red
b. (A) ALERT/ALARM/SEBARLUASKAN dengan cara menelpon Operator
selanjutnya operator menghubungi pihak yang terkait antara lain petugas security,
selajutnya beritahu kawan terdekat. Bila api membesar telpon Dinas Pemadam
Kebakaran.
c. (C) CONFINE/ CONTAIN/SEKAT bila sekitar ruangan penuh api dan asap, bila
memungkinkan tutup pintu dan jendela untuk mencegah api menjalar.
d. (E) EXTINGUISH/PADAMKAN bila api masih memungkinkan/bila api masih
kecil. Jangan ambil resiko yang tidak perlu.
e. Bila cukup aman, matikan semua sarana seperti listrik, gas yang kemungkinan
berkaitan dengan api, tapi tetap pertimbangkan dengan cermat bila pasien masih
memerlukan.
f. Evakuasi pasien dan pengunjung ke daerah yang aman.
g. Tetap awasi pasien. Bila perlu dihitung per kepala atau absensi berurutan.
h. Kooperatif dengan semua intruksi yang diberikan oleh Staf Senior, Manajer on Duty
(MOD), ataupun petugas pemadam kebakaran
D. Code Blue
1. Definisi
Code blue adalah isyarat yang digunakan dalam rumah sakit yang menandakan
adanya seseorang yang menandakan mengalami seragan jantung ( Cardiac Arrest )
gagal nafas akut (Respiratory Arrest) dan situasi darurat lainnya yang menyangkut
dengan nyawa pasien. Dalam bahasa aslinya berbunyi sebagai berikut,"Code Blue is a
declaration of or a state of medical emergency and call for medical personnel and
equipment to attempt to resuscitate a patient especially when in cardiac arrest or
respiratory distress or failure". Code Blue merupakan stabilisasi kondisi gawat darurat
medis yang terjadi di dalam area sakit. Kondisi darurat medis ini membutuhkan
perhatian segera. Code blue terdiri dari dokter dan paramedis untuk menangani
seseorang dengan penyakit jantung ( cardiac arrest ) atau respiratory arrest dan
membutuhkan resusitasi jantung dan paru segera (Royal Brisbane and Women’s
Hospital Health Service District, 2007).
Code blue/kode biru adalah Kondisi gawat darurat yang terjadi di rumah sakit atau
suatu institusi dimana terdapat pasien yang mengalami cardiopulmonary arrest dan
merupakan kata sandi yang digunakan untuk menyatakan bahwa pasien dalam kondisi
gawat darurat. Code Blue Code blue adalah dan stabilisasi kondisi darurat medis yang
terjadi di dalam area rumah sakit.
Kondisi darurat medis ini membutuhkan perhatian segera. Sebuah code blue harus
segera dimulai setiap kali seseorang ditemukan dalam kondisi cardiac atau respiratory
arrest (tidak responsif, nadi tidak teraba, atau tidak bernapas) misalnya pasien yang
membutuhkan resusitasi kardiopulmoner (CPR). Code Blue Team Code blue team
adalah tim yang terdiri dari dokter dan paramedis yang ditunjuk sebagai "code-team",
yang secara cepat ke pasien untuk melakukan tindakan penyelamatan. Tim ini
menggunakan crash-cart, kursi roda/tandu, alat - alat penting seperti defibrilator,
peralatan intubasi, suction, oksigen, ambubag, obat-obatan resusitasi (adrenalin,
atropin, lignocaine) dan IV set untuk menstabilkan pasien. Tim Code Blue adalah Tim
yang terdiri dari dokter dan paramedis yang ditunjuk sebagai Code Blue Team, yang
secara cepat ke pasien untuk melakukan tindakan penyelamatan.
2. Tujuan
a. Untuk memberikan resusitasi dan stabilisasi yang cepat bagi korban yang mengalami
kondisi darurat cardio- respiratory arrest yang berada dalam kawasan rumah sakit.
b. Untuk membentuk suatu tim yang terlatih lengkap dengan perlatan medis darurat
yang dapat digunakan dengan cepat.
c. Untuk memulai pelatihan keterampilan BLS dan penggunaan defibrillator eksternal
otomatis (AED) untuk semua tim rumah sakit baik yang berbasis klinis maupun non
klinis.
d. Untuk memulai penempatan peralatan BLS di berbagai lokasi strategis di dalam
kawasan rumah sakit untuk memfasilitasi respon cepat bagi keadaan darurat medis.
e. Untuk membuat rumah sakit mampu menangani keadaan medis yang darurat.
3. Pengorganisasian Tim Code Blue
a. Organisasi
Organisasi Blue Team ini terdiri dari :
1) Koordinator Team
2) Penanggung jawab Medis
3) Perawat Pelaksana
4) Kelompok Pendukung
b. Uraian tugas
1) Koordinator Team
Dijabat oleh dokter ICU/NICU, bertugas :
a) Mengkoordinir segenap anggota tim.
b) Bekerjasama dengan diklat membuat pelatihan Kegawatandaruratan yang
dibutuhkan oleh anggota tim.
2) Penanggungjawab Medis
Dokter Jaga / Dokter Ruangan VKOK, Ibu, Anak, Perina, bertugas:
a) Mengidentifikasi awal / triage pasien di ruang perawatan.
b) Memimpin penanggulangan pasien saat terjadi kegawatdaruratan
c) Memimpin tim dalam pelaksanaan RJP
d) Menentukan sikap selanjutnya
3) Perawat Pelaksana, Perawat PN
a) Bersama dokter penanggungjawab medis mengidentifikasi/triage pasien di
ruang perawatan.
b) Membantu dokter penanggungjawab medis menangani pasien gawat dan gawat
darurat di ruang perawatan.
4) Tim Resusitasi
Perawat terlatih dan dokter ruangan / jaga.
a) Memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien gawat / gawat darurat diruang
perawatan.
b) Melakukan resusitasi jantung paru kepada pasien gawat darurat diruang
perawatan.
d) Dasar peralatan resusitasi kit yang dibutuhkan oleh code blue team zona risiko
tinggi dan ETD / sekunder tim tanggap :
1. Oksigen tabung dan pipa
2. Masker
3. Pocket mask
4. Bag-valve mask
5. Pedoman defibrilator atau AED (ke dalam disiplin lain ETD dan KIV)
6. Sekali pakai sarung tangan steril
7. Oro-faring dan naso-faring saluran udara
8. Extraglottic perangkat (LMA / LT)
9. Kursi roda atau tandu
10. Stetoskop
11. Alat suntik dan jarum
12. Infus set (termasuk semangat usap, branula dan plester)
13. Glucometer
14. Obat-Dextrose 50%, Dekstrosa 10%, Normal saline / Hartmann 's,
Adrenalin, Atropin, Amiodarone, Diazepam, GTN Tab dan Aspirin
15. Sphygmomanometer
16. Obor cahaya
e) Lanjutan pelatihan BLS dapat diperoleh melalui komite CPR
Ketika muncul code blue, tim dokter dan paramedis yang ditunjuk
sebagai "code-team", bergegas ke pasien untuk melakukan tindakan
penyelamatan. Tim ini menggunakan crash-cart, kursi roda / tandu, yang berisi
alat - alat penting seperti defibrilator, peralatan intubasi, suction, oksigen,
ambubag, obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin, lignocaine) dan IV set untuk
menstabilkan pasien. Tim akan mempraktekkan keterampilan BLS
dan Advanced Cardiac Life Support (ACLS) untuk resusitasi pasien.
Peralatan resusitasi diletakkan di area yang sering membutuhkan bantuan
resusitasi sehingga bila code blue muncul tim yang ditunjuk sebagai code blue.
Tim akan segera dapat mengakses peralatan tersebut. Jika code blue disebut di
suatu daerah tanpa crash-cart, tim yang ditunjuk code blue akan
membawacrash-cart atau kit resusitasi.
b. Komunikasi
Tersedia Medical Emergency Call Centre (MECC) yaitu panggilan khusus
yang mengaktifkan tim Code Blue Respon Primer
c. Koordinasi dengan ruangan lain
Panggilan akan diperoleh dari ruangan lain yang tidak memiliki tim tanggap
darurat. Jika tidak ada rencana tanggap darurat di tempat, ETD akan mendapatkan
panggilan mengenai kebutuhan mereka untuk perawatan medis darurat dan berkoordinasi
dengan mereka tentang bagaimana untuk mendirikan tanggap darurat medis
menggunakan sistem code blue .
d. Algoritma Code Blue
e. Prosedur Code Blue
Kebijakan Pada keadaan gawat darurat perawat yang tergabung dalam team blue code
Policy dapat melakukan penanganan kegawatan di bawah tanggung jawab dokter
anastesi.
3. Team blue code terdiri dari perawat terlatih dan berpengalaman yang
telah mengikuti kursus BTCLS.
4. Team BlueCode terdiri dari 4 team untuk masing-masing shift yaitu
team perawatan, team poliklinik, team Gadar dan team anastesi.
5. Penanganan kegawatan di ruang rawat inap dan rawat jalan dapat
melakukan ” Paging JEC ”
Referensi ISO ISO 9001:2008 Klausul 4.1, 4.2.1, 7.1, 7.5.1, 7.5.3, 8.2.3, 8.2.4
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi, Fase Subpresi, Fase Pra
Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase Rehabilitasi. Fase-fase ini dapat berjalan dengan baik
bila ada ketersediaan sumber-sumber yang memadai. Beberapa referensi ada pula yang
menyebutkan bahwa SPGDT dibagi menjadi 3 subsistem, yaitu : sistem pelayanan Pra Rumah
Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit, sistem pelayanan antar rumah sakit. Ketiga subsistem
ini bersifat saling terkait didalam pelaksanaannya. Pada pelaksanaanya bergantung kepada
kebijakan Negara yang bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah frekuensi
kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian dan dampaknya. Misalnya
terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka dapat diprediksi : frekuensi, Kecelakaan Lalu
Lintas (KLL), Buruknya kualitas “Helm” sepeda motor yang dipakai, Jarangnya orang
memakai “Safety Belt”, tempat kejadian tersering dijalan raya yang padat atau dijalan
protocol, korban kecelakaan mengalami luka mengalami luka diberbagai tempat atau
multiple injuries. Contoh lain bila terkait dengan bencana alam, maka dapat diprediksi :
daerah rawan gempa, frekuensi gempa, jenis bangunan yang sering hancur, kelompok
korban, dan jenis bantuan tenaga kesehatan yang paling dibutuhkan pada korban gempa.
Melatih tenaga kesehatan dan awam untuk pengelolaan korban gawat darurat. Pelatihan
dapat berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON (Pengelolaan Pasien Gawat Darurat
Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi Serangan Jantung dan CADR (Community
action & Disaster Response ) untuk pengawal pribadi, pasukan keamanan/ polisi, pecinta
alam, guru olahraga/ senam ; atau pelatihan Dasi pena (Pemuda Siaga Pencana) untuk
Senkom, pramuka, pemuda dan tokoh masyarakat.
b. Fase Supresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan atau terjadi bencana
yang dapat menimbulkan korban masal maka kita dapat melakukan supresi. Supresi atau
menekan agar terjadi penurunan korban gawat darurat dilakukan dengan berbagai cara :
perbaikan kontruksi jalan, peningkatan pengetahuan peraturan lalu lintas, perbaikan kualitas
“Helm” pengetatat melalui UU lalu lintas atau peraturan ketertiban berlalu lintas, pengetatat
peraturan keselamatan kerja, peningkatan patroli keamanan atau membebuat pemetaan daerah
bencana.
1) Komunikasi
Lalulintas komunikasi yang vital diperlukan dalam penanggulangan bencana
diantaranya mencakup : pusat komunikasi ke ambulan, pusat komunikasi ke rumah
sakit, pusat komunikasi ke instalasi terkait lain, ambulan ke ambulan, ambulan ke
rumah sakit, masyarakat terlatih ke pusat komunikasi atau pelayanan kesehatan.
Pusat komunikasi memiliki tugas menerima dan memberikan informasi,
memonitor, bekerjasama termasuk memberikan komando penanggulangan
bencana baik secara lintas propinsi, nasional, maupun internasional. Di pusat
komunikasi dapat dilibatkan “orang awam”, yaitu mereka yang menemukan
korban kali pertama, atau yang memberikan pertolongan pertama. “orang awam”
ini dapat dilatih, sehingga disebut awam khusus. Orang awam khusus yang
terorganisir dengan baik antara lain pramuka, Palang Merah Remaja, siswa
sekolah, mahasiswa, hansip atau petugas keamanan, atau karang taruna.
Pendidikan masyarakat melibatkan latihan masyarakat sebagai penolong pertama.
Dengan mewajibkan semua pelajar mendapatkan pendidikan pertolongan pertama
sebelum lulus dari SLTP dan pertolongan pertama lanjutan sebelum lulus dari
SLTA atau sebelum mendapat SIM, maka kita dapat memastikan bahwa dalam
dua generasi yang akan datang, tiap orang di tempat kecelakaan atau pada penyakit
akut akan lebih sanggup menyelamatkan nyawa dan extremitas sampai tiba
bantuan profesional.
Awam khusus dapat dilatih sehingga memiliki kemampuan cara minta
tolong, cara memberikan bantuan hidup dasar, cara menghentikan perdarahan, cara
memasang balut bidai, cara mengangkat dan mengirim korban. Keterampilan
untuk awam khusus dapat ditingkatkan sesuai dengan bidang tugas yang diemban
setiap hari, misalnya pengetahuan dan keterampilan mengenai biomekanik
kecelakaan lalu lintas dan luka tembak atau tusuk untuk polisi. Dengan demikian
korban dapat ditolong dengan benar dan optimal.
a. Pre-Hospital
Dalam rentang kondisi hospital ini dapat terjadi dimana saja serta dalam setiap waktu,
maka peran serta masyarakat, awam khusus ataupun petugas kesehatan diharapkan dapat
melakukan tindakan penanganan kondisi kegawatdaruratan yang berupa:
1) Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang berisiko
menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca yang menggantung atau
dicurigai masih terdapat bom. Petugas kesehatan hanya boleh memberikan
pertolongan apabila kondisi sudah aman dari risiko jatuhnya korban berikutnya.
2) Melakukan triase atau memilah dan menentukkan kondisi korban gawat darurat
serta memberikan pertolongan pertama sebelum petugas kesehatan yang lebih ahli
dating untuk membantu.
3) Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
4) Melakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih aman atau
dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban.
5) Mempersiapkan masyarakat, awam khusus dan petugas kesehatan melalui
pelatihan siaga terhadap bencana.
b. In Hospital
Pada tahap ini, tindakan menolong korban gawat darurat dilakukan oleh petugas
kesehatan. Di rumah sakit pada umumnya ditolong oleh petugas kesehatan di dalam
sebuah tim yang multi disiplin ilmu. Tujuan pertolongan di rumah sakit adalah adalah
1) Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana sesuai dengan
kondisinya.
2) Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut.
3) Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang akurat.
4) Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke masyarakat
setidaknya setara bila dibanding sebelum bencana menimpanya.
5) Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk mengenali kondisinya
dengan segala kelebihan yang dimiliki.
c. Post-Hospital
Pada kondisi post-hospital hampir semua pihak menyatakan hampir sudah tidak
ada lagi kondisi gawat darurat. Padahal, kondisi gawat darurat ada yang terjadi justru
setelah diberi pelayanan di rumah sakit, yaitu korban perkosaan. Karena mengalami
trauma psikis yang mendalam, misalnya merasa tidak berharga, harga diri rendah, malu
dan tidak punya harapan sehingga korban-korban perkosaan mengambil jalan pintas
dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan pelayanan dalam rentang post-
hospital adalah:
1) Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban.
2) Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh dan
berkembang.
3) Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang-orang terdekat dan
masyarakat yeng lebih luas.
4) Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan nyata korban
5) Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupanya pada masa yang akan
datang
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan cedera atau
sakit akut yang membutuhkan intervensi segera untuk menyelamatkan nyawa atau
mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa sakit pada pasien. Pasien gawat
darurat merupakan pasien yang memerlukan pertolongan segera dengan tepat dan
cepat untuk mencegah terjadinya kematian atau kecacatan. Prinsip pada penanganan
penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta harus dilakukan segera oleh
setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para
medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat
terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja. Code blue addalah isyarat yang
digunakan dalam rumah sakit yang menandakan adanya seseorang yang menandakan
mengalami seragan jantung ( Cardiac Arrest ) gagal nafas akut (Respiratory
Arrest).Code Blue merupakan stabilisasi kondisi gawat darurat medis yang terjadi di
dalam area sakit. Kondisi darurat medis ini membutuhkan perhatian segera. Code
blue terdiri dari dokter dan paramedis untuk menangani seseorang dengan penyakit
jantung ( cardiac arrest ) atau respiratory arrest dan membutuhkan resusitasi jantung
dan paru segera.Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang
dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat
untuk mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktifitasnya dapat
didipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.
B. Saran
Kegawatdaruratan harus cepat dan tepat serta harus dilakukan segera oleh setiap
orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter),
baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan
menimpa siapa saja.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Fredy. 2006. Kumpulan Materi Mata Kuliah Gadar. Diakses pada tanggal 18
Januari 2018
Boswick, John A. 1997. Perawatan Gawat Darurat (Emergency Care). Jakarta : EGC
Institute For Clinical Systems Improvement. 2011. Health Care Protocol: Rapid
Response TeamDiakses tanggal 17 Januari 2018
Margaretha, Caroline. 2013. Konsep Keperawatan Gawat Darurat. Diakses pada tanggal
18 Januari 2018
Panduan Implementasi Kode-Kode Emergency Rumah Sakit Islam Siti Rahmah. 2014.
RSI Siti Rahmah
Panduan Penggunaan Troli Emergency. 2016. Yusrendra
Royal Brisbane and Women’s Hospital Health Service District. 2007. Kode Biru Manual.
Diakses pada tanggal 17 Januari 2018
Saed, MD & Amin, Mohd. 2011. Code Blue System. Diakses tanggal 17 Januari 2018
Saanin, S. 2012. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). BSB
Dinkes Sprovinsi Sumatera Barat