Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
yang lebih berbahaya bila tidak diobati secepatnya. Ketepatan dan kepatuhan
penggunaan obat yang tidak sesuai standar dan tidak teratur merupakan hal
yang akan merugikan pasien itu sendiri dan merupakan faktor yang
menyebabkan kegagalan terapi yang sedang dijalani. Menurut data terakhir
pada bulan Januari 2012, angka kejadian hipertensi di Rumah Sakit
Bhayangkara menempati peringkat 3 dari 10 besar penyakit yang ada di
Rumah Sakit Bhayangkara, hal ini menjadi salah satu alasan dipilihnya
Rumah Sakit Bhayangkara menjadi tempat penelitian.
Dari Masalah yang dapat muncul akibat dari ketidakpatuhan terhadap
terjadinya kekambuhan hipertensi maka penderita sebenarnya hanya
memerlukan disiplin dan ketentuan menjalankan aturan hidup sehat,sabar dan
ikhlas dalam mengendalikan perasaan dan keinginan atau ambisi.Selain itu
mengontrol tekanan darah,minum obat dengan benar dan tepat serta jangan
pernah bosan dengan pengobatan yang sedang dijalani.
2
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui derajat tekanan darah pada pasien hipertensi sesuai dengan
JNC-VII
2. Mengetahui kepatuhan pasien hipertensi dalam melakukan kontrol ke
dokter
3. Mengetahui kepatuhan pasien hipertensi dalam mengkonsumsi obat
antihipertensi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
* Tanpa mengkonsumsi obat antihipertensi dan tidak akut. ketika tekanan darah sistolik
dan diastolik masuk ke dalam kategori yang berbeda maka katergori yang dipilih adalah
kategori yang lebih tinggi
4
140mmHg aatau lebih dan tekanan darah diastolic kurang dari 90 mmHg.
Penyebab sekunder dari dari kelainan ini dihubungkan dengan adanya
peningkatan curah jantung atau Cardiac output (anemia, tirotoksikosis, fistula
arteriovenous, Penyakit Paget pada tulang dan beriberi) atau peningkatan
volume sekuncup atau stroke volume (insufisiensi aorta dan blok jantung
total). 2
Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang menjadi semakin
penting. Prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya umur ke titik
di mana lebih dari setengah dari orang usia 60-69 tahun dan sekitar tiga-
perempat dari mereka 70 tahun dan lebih tua. Peningkatan terutama tekanan
darah sistolik bertanggung jawab dalam meningkatkan insiden dan prevalensi
hipertensi sejalan dengan pertambahan usia.3
Studi Jantung Framingham baru-baru ini menjelaskan risiko seumur
hidup hipertensi mencapai sekitar 90 persen untuk pria dan wanita yang tidak
hipertensi pada usia 55 atau 65 tahun dan selamat sampai usia 80-85. Bahkan
setelah disesuaikan dengan persaingan angka kematian, risiko seumur hidup
sisa hipertensi adalah 86-90 persen pada wanita dan 81-83 persen pada pria 3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Tekanan darah meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Tekanan
darah sistolik meningkat sepanjang hidup, tetapi tekanan darah diastolik
cenderung stabil pada usia dekade kelima. Dengan demikian, baik insiden dan
prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia, dan hipertensi
sistolik terisolasi menjadi subtipe yang paling umum pada orang tua. Untuk
orang setengah baya dengan tekanan darah normal yang hidup sampai usia 85
tahun, masa residual risiko mengembangkan hipertensi adalah 90%.2
Selain usia, faktor-faktor lain yang terkait dengan peningkatan risiko
hipertensi yang tidak dapat diubah (nonreversible) termasuk ras Afrika
Amerika atau memiliki riwayat keluarga hipertensi. Faktor yang dapat diubah
(reversible) termasuk memiliki tekanan darah dalam rentang prehipertensi,
kelebihan berat badan, memiliki gaya hidup yang kurang gerak, diet
5
mengkomsumsi tinggi natrium- rendah kaliu, asupan alkohol yang berlebih,
atau memiliki sindrom metabolik. Sindrom metabolik didefinisikan oleh
adanya tiga atau lebih dari kondisi berikut: obesitas perut (lingkar pinggang>
40 inci pada pria atau> 35 inci pada wanita), toleransi glukosa oral (glukosa
puasa ≥ 110 mg / dL), tekanan darah 130/85 mm Hg atau lebih tinggi,
meningkatkan tingkat plasma trigliserida (≥ 150 mg / dL), atau rendah high-
density lipoprotein (HDL) kolesterol (<40 mg / dL pada pria atau <50 mg / dL
pada wanita). Hal ini diduga bahwa resistensi insulin mungkin menjadi faktor
pathophysiologik yang mendasari untuk sindrom metabolik. Memperbaiki
faktor reversibel dapat menurunkan tekanan darah dan mencegah
perkembangan dari hipertensi. 2
Dalam usia dewasa muda dan usia pertengahan awal, hipertensi lebih
umum pada pria dibandingkan pada wanita. Pada orang yang lebih tua dari 60
tahun, sebaliknya adalah hipertensi lebih umum pada wanita dibandingkan
pada pria. Hipertensi lebih umum di ras Afrika Amerika daripada ras kulit
putih di segala usia, dan di kedua ras itu lebih umum di ekonomi yang
menengah ke bawah.2
Prevalensi hipertensi tergantung antara komposisi ras pada populasi
yang diteliti dan kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan kondisi. Dalam
populasi suburban kulit putih seperti dalam penelitian Framingham, hampir
seperlima dari individu memiliki tekanan darah 160/95 mmHg, sementara
setengahnya memiliki tekanan darah 140/90 mmHg. Prevalensi yang lebih
tinggi telah didokumentasikan dalam penduduk kulit putih. Pada perempuan
prevalensi berkaitan erat dengan usia, dengan peningkatan yang substansial
terjadi setelah usia 50. Peningkatan ini diduga berkaitan dengan perubahan
hormonal saat menopause, meskipun mekanismenya belum diketahui dengan
jelas. Dengan demikian, rasio frekuensi hipertensi pada wanita dibandingkan
pria meningkat 0,6-0,7 pada usia 30 hingga 1,1-1,2 pada usia 65.1
Data dari The National Health and Nutrition Survey (NHANES) telah
menunjukkan bahwa 50 juta atau lebih orang Amerika menderita hipertensi
yang menjalani beberapa bentuk pengobatan.1,2 Seluruh Dunia estimasi
6
prevalensi untuk hipertensi diperkirakan sebanyak 1 miliar orang, dan sekitar
7,1 juta kematian per tahun mungkin disebabkan hipertensi. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa tekanan darah suboptimal
(tekanan darah sistolik > 115 mmHg) bertanggung jawab atas 62 persen dari
penyakit serebrovaskular dan 49 persen dari penyakit jantung iskemik (IHD),
dengan sedikit variasi berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, tekanan darah
suboptimal tersebut merupakan faktor risiko nomor satu kematian di dunia.3.
Untuk orang-orang dengan hipertensi, kematian yang paling sering
disebabkan oleh komplikasi dari penyakit arteri koroner. Faktor-faktor yang
menambah risiko ini adalah penggunaan tembakau, hiperlipidemia, diabetes
mellitus, obesitas, gaya hidup yang kurang gerak, sindrom metabolik, jenis
kelamin (laki-laki dan pascamenopause pada perempuan), usia lebih tua dari
60 tahun, dan riwayat keluarga penyakit kardiovaskular premature (wanita
<65 tahun, laki-laki <55 tahun). Adanya kerusakan organ target (stroke,
hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif,
penyakit ginjal, retinopati, penyakit pembuluh darah perifer, dan demensia)
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular peristiwa ini berlanjut bahkan
jika tekanan darah telah dikontrol. Fakta ini berpendapat untuk identifikasi
dini dan pengobatan yang tepat hipertensi untuk menghindari perkembangan
cedera organ target.2
7
genetik dalam penyebab hipertensi, meskipun sebagian, adanya pengaruh
lingkungan secara bersama. Namun, sebagian besar faktor genetik
bertanggung jawab atas kejadian hipertensi dalam sebuah keluarga.
b. Janin faktor
Berat badan lahir rendah dikaitkan dengan hipertensi. Hubungan ini
mungkin karena adaptasi janin intrauterin abikbat kekurangan gizi dengan
perubahan jangka panjang dalam darah Kapal struktur atau fungsi penting
sisstem hormonal.
c. Faktor-faktor lingkungan
Di antara beberapa faktor lingkungan yang telah diduga berperan, berikut
ini tampaknya menjadi yang paling signifikan :
1) Obesitas. Orang gemuk memiliki tekanan darah yang lebih tinggi
dibandingkan orang kurus. Ada resiko, yang cenderung lebih tinggi
jika tekanan darah diukur dengan manset kecil. Sesuaikan ukuran
maset dengan lingkar lengan. Gangguan pernafasan saat tidur yang
bersamaan ditemukan pada pasien obesitas merupakan faktor risiko
tambahan.
2) Asupan. Kebanyakan penelitian telah menunjukkan hubungan yang
erat antara konsumsi alkohol dan hipertensi. Namun, subyek yang
mengonsumsi sejumlah kecil alkohol tampaknya memiliki tingkat
tekanan darah yang lebih rendah daripada mereka yang mengkonsumsi
alkohol dalam jumlah banyak.
3) Asupan Garam. Asupan Garam yang tinggi telah disarankan untuk
menjadi penentu utama dari perbedaan tekanan darah dalam populasi
di seluruh dunia. Populasi dengan asupan natrium lebih tinggi
memiliki tekana darah rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan
asupan natrium rendah. Migrasi dari pedesaan ke lingkungan
perkotaan dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah yang sebagian
terkait dengan jumlah garam dalam diet. Studi tentang pembatasan
asupan garam telah menunjukkan efek yang menguntungkan pada
tekanan darah pada pasien hipertensi. Sejumlah bukti telah
8
menjelaskan komsumsi tinggi kalium dapat melawan efek asupan
kadar garam yang tinggi.
4) Stres. Nyeri akut atau stress dapat meningkatkan tekanan darah.
Namun hubungan antaran nyeri kronik dan peningkatan tekanan darah
belum dapat dijelaskan dengan pasti.
d. Mekanisme Hormonal
e. Adanya sistem saraf otonom maupun Renin-angiotensis, peptide
nautriuetik dan sistem kalikrein-kinin memainkan peran dalam regulasi
perubahan tekanan darah jangka pendek dan telah dikaitkan dalam
patogenesis hipertensi. Penurunan renin, saltsensitive, hipertensi esensial
yang terjadi pada pasien yang mengalami retensi garam dan air dapat
dijelaskan.
f. Resistensi Insulin
Hubungan antara diabetes dan hipertensi telah lama telah diakui dan
sebuah sindrom telah dijelaskan dari adanya hiperinsulinemia, intoleransi
glukosa, penurunan tingkat kolesterol HDL, hipertrigliseridemia dan
obesitas sentral (semua yang berhubungan dengan resistensi insulin)
dalam hubungan dengan hipertensi. Hubungan ini (juga disebut sindrom
metabolik) merupakan faktor risiko utama untuk penyakit kardiovaskular.
2. Hipertensi Sekunder 4
Hipertensi sekunder adalah keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
akibat dari penyakit spesifik dan berpotensi dapat diobati. Bentuk-bentuk dari
penyeba hipertensi sekunder seperti yang ada di bawah ini:
a. Penyakit Ginjal
Sekitar 80% pasien penyakit ginjal mengalami hipertensi. Penyebab yang
palig sering adalah:
- Nefropati diabetik
- Glomerulonefritis Kronik
- Penyakit Polikistik pada dewasa
- Nefritis tubulointestinal Kronik
- Penyakit renovaskuler.
9
Hipertensi itu sendiri dapat menyebabkan atau memperburuk
penyakit ginjal. Mekanisme peningkatan tekanan darah ini akibat
retensi garam dan air, meskipun dapat pula ditemukan
ketidaksesuaian peningkatan level plasma rennin.
b. Penyakit Endokrin
- Sindrom Conn
- Adrenalhiperplasia
- Pheochromasitoma
- Sindrom Cushing
- Acromegali
c. Penyakit kardiovaskular Kongenital
Penyebab yang paling sering adalah coartasio aorta.
d. Obat-obatan
Banyak obat telah terbukti menyebabkan atau memperburuk hipertensi,
atau mengganggu respon terhadap beberapa agen antihipertensi: NSAID,
kontrasepsi oral, steroid, carbenoxolone, akar manis, simpatomimetik dan
vasopressin. Pasien yang memakai monoamine oxidase inhibitors yang
mengkonsumsi makanan yang mengandung tyramin dapat
mengembangkan paroksismal hipertensi berat.
e. Kehamilan
Curah jantung meningkat pada kehamilan tetapi, karena relatif besarnya
penurunan resistensi perifer, tekanan darah pada ibu hamil perempuan
biasanya lebih rendah dari pada mereka yang tidak hamil. Hipertensi
dicatat dalam 8-10% dari kehamilan; bila terdeteksi pada trimester pertama
kehamilan atau bertahan setelah melahirkan, biasanya karena sudah ada
hipertensi esensial sebelumnya. Hipertensi yang muncul pada paruh kedua
kehamilan atau 'hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan’ biasanya
sembuh setelah melahirkan. Ketika tekanan darah meningkat terhadap
pengobatan> 160/110 mmHg dibenarkan untuk diobati. Pre-eklampsia
adalah sindrom yang terdiri dari kehamilan yang diinduksi hipertensi
dengan proteinuria. penyebab primer tidak diketahui dengan pasti, tetapi
10
kemungkinan melibatkan gangguan sirkulasi uteroplasenta dan
mengakibatkan pembatasan pertumbuhan intrauterin. Hipertensi pada
kehamilan, bersama dengan emboli paru, adalah penyebab kematian ibu
yang paling umum, dengan kejadian 10 per 1 juta kehamilan. Selain itu,
penting kondisi eklampsia, yang berhubungan dengan berat hipertensi,
pada akhirnya dapat menyebabkan kejang-kejang, gangguan edema otak
dan paru, penyakit kuning, kelainan pembekuan dan kematian janin.
11
jantung selanjutnya dapat dikompromikan oleh berkurangnya aliran darah ke
miokardium, sehingga timbullah angina atau infark miokard (MI). Hipertensi
juga menyebabkan kerusakan pembuluh darah, yang menyebabkan percepatan
terjadinya aterosklerosis dan kerusakan organ target, seperti cedera retina,
gagal ginjal, stroke, dan aneurisma dan diseksi aorta. 5
Patofisiologi hipertensi sekunder berhubungan dengan penyakit yang
mendasarinya. Sebagai contoh: 5
1. Penyebab paling umum dari hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal
kronik. Kerusakan ginjal kronis akibat dari glomerulonefritis atau stenosis
arteri ginjal yang mengganggu ekskresi natrium, sistem renin-
angiotensin-aldosteron, atau perfusi ginjal, akhirnya menyebabkan
tekanan darah meningkat.
2. Dalam sindrom Cushing, peningkatan kadar kortisol meningkatkan
tekanan darah dengan meningkatkan retensi natrium ginjal, meningkatkan
kadar angiotensin II, dan respon pembuluh darah terhadap norepinefrin.
3. Dalam aldosteronisme primer, peningkatan volume intravaskular,
perubahan konsentrasi natrium dalam dinding pembuluh darah, atau
sangat
4. Tingginya kadar aldosteron menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan
resistensi perifer.
5. Pheochromocytoma adalah tumor sel chromaffin medula adrenal yang
mengeluarkan epinephrine dan norepinephrine. Epinefrin meningkatkan
kontraktilitas dan ritme jantung, sedangkan norepinefrin meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer.
12
Prehipertensi bukan kategori penyakit. Sebaliknya, prehipertensi
adalah sebutan yang dipilih untuk mengidentifikasi individu yang berisiko
tinggi akan mengalami hipertensi, sehingga baik pasien dan dokter patut
waspada terhadap risiko ini dan terdorong untuk campur tangan dan mencegah
atau menunda perkembangan dari penyakit tersebut. Individu yang
dikategorikan prehipertensi belum dianjurkan untuk terapi obat oral
berdasarkan tingkat tekanan darah dan harus secara tegas dan jelas disarankan
untuk memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi risiko berkembangnya
hipertensi di masa depan. Selain itu, individu dengan prehipertensi, yang juga
menderita diabetes atau penyakit ginjal, harus dipertimbangkan untuk terapi
obat yang sesuai jika modifikasi gaya hidup gagal untuk menurunkan tekanan
darah mereka menjadi 130/80 mmHg atau kurang.3
13
1. Peningkatan tekanan darah pada pembacaan setidaknya dua kali berturut-
turut setelah penyaringan awal
2. Nyeri kepala oksipital (kemungkinan memburuk pada di pagi hari sebagai
akibat dari peningkatan tekanan intrakranial); mual dan muntah juga dapat
terjadi
3. Epistaksis yang mungkin karena keterlibatan vaskular
4. Bruits (yang dapat didengar melalui aorta perut atau karotis, arteri ginjal,
dan femoralis) disebabkan oleh stenosis atau aneurisma
5. Pusing, kebingungan, dan kelelahan yang disebabkan oleh perfusi jaringan
menurun karena vasokonstriksi pembuluh darah
6. Penglihatan kabur sebagai akibat dari kerusakan retina
7. Nokturia disebabkan oleh peningkatan aliran darah ke ginjal dan
peningkatan filtrasi glomerular
8. Edema yang disebabkan oleh peningkatan tekanan kapiler.
Jika hipertensi sekunder ada, tanda-tanda dan gejala lain yang timbul
kemungkinan berhubungan dengan penyebabnya. Misalnya, Cushing sindrom
dapat menyebabkan obesitas dan striae trunkal berwarna ungu, sedangkan
pasien dengan pheochromocytoma dapat timbul sakit kepala, mual, muntah,
palpitasi, pucat, dan keringat berlimpah.5
2.7 Diagnosis
Beberapa pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis:5
1. Pengukuran tekanan darah yang berulang akan sangat bermamfaat
2. Unrinalisis dapat menunjukkan adanya protein, sel darah merah atau sel
darah putih, pada penyakit ginjal: adanya katekolamin yang dihubungkan
dengan pheochromasitoma, atau glukosa yang menunjukkan adanya
diabetes.
3. Pengujian laboratorium dapat mengungkapkan adanya peningkatan
nitrogen urea dan kadar kreatinin serum dari penyakit ginjal, atau
hipokalemia menunjukkan disfungsi adrenal (hiperaldosteronisme primer).
4. Hitung darah lengkap dapat mengungkapkan penyebab hipertensi
misalnya polisitemia dan anemia.
14
5. Excretory urography dapat mengungkapkan adanya atrofi ginjal yang
mengarah ke penyakit ginjal kronik. Satu ginjal lebih kecil dari ginjal
sebelahnya menunjukkan penyakit ginjal unilateral.
6. Elektrocardiografi (EKG) dapat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel
kiri atau iskemik jantung.
7. Foto X-ray dada dapat menunjukkan kardiomegali
8. Echokardiografi dapat mengungkapkan adanya hipertrofi ventrikel kiri.
2.8 Penatalaksanaan
Pasien dengan tekanan diastolik 90 mmHg atau tekanan sistolik 140
mmHg harus ditangani. Pasien dengan hipertensi sistolik terisolasi (level 160
mmHg dengan tekanan diastolik 89 mmHg) harus juga diobati jika mereka di
atas usia 65 tahun. Pasien dengan hipertensi dengan tekanan darah yang tidak
stabil atau hipertensi sistolik terisolasi yang tidak diobati harus memiliki
tindak lanjut pemeriksaan rutin pada interval 6 bulan karena hipertensi dapat
menjadi progresif dan / atau berkelanjutan. Akhirnya, pasien dengan penyakit
vaskular aterosklerotik atau diabetes mellitus dan tekanan darah diastolik
antara 85 dan 90 mmHg juga harus menerima terapi antihipertensi.1,2
Berapakah target penurunan tekanan darah yang semestinya?
Sebelumnya diasumsikan 140/90 mmHg adalah tingkat yang diinginkan. Hal
ini tampaknya masih wajar untuk pasien nondiabetes sejak studi Pengobatan
Optimal Hipertensi (HOT) tidak mendeteksi perbedaan yang signifikan dalam
risiko kardiovaskular antara pasien nondiabetes dirawat untuk tujuan
penurunan tekanan darah diastolic 90 mmHg dibandingkan 80 mmHg. 1,2
Sekitar kurang dari sepertiga dari pasien hipertensi di Amerika
Serikat diobati secara efektif. Jumlah kegagalan terhitung kecil terkait
dengan obat yang tidak merespon. Kebanyakan kegagalan akibat (1) gagal
mendeteksi hipertensi, (2) kegagalan institusi dalam pengobatan yang efektif
pasien hipertensi asimtomatik, dan (3) kegagalan hipertensi asimtomatik
pasien untuk mematuhi terapi. Untuk membantu mengatasi masalah
selanjutnya, pasien harus dididik untuk melanjutkan perawatan sekali untuk
15
rejimen yang efektif yang telah diidentifikasi. Efek samping dan
ketidaknyamanan pengobatan harus diminimalkan atau dihilangkan agar
pasien dapat bekerja sama. 1,2
a. Pengobatan Non-Farmakologi
Perubahan gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah dan harus
digalakkan untuk semua orang dengan prehipertensi. Modifikasi mungkin
cukup sebagai terapi awal untuk beberapa orang dengan hipertensi stadium
1. Perlu terapi tambahan bagi mereka dengan hipertensi yang lebih
parah.2,3
Pendekatan Diet untuk Menghentikan Hipertensi atau The Dietary
Approach to Stop Hypertension (DASH) efektif dalam menurunkan
tekanan darah pada pasien dengan prehipertensi atau hipertensi tahap .
Rencana makan DASH meliputi mengkonsumsi diet kaya buah-buahan,
sayuran (kalium yang tinggi), dan produk susu rendah lemak (kalsium
tinggi) dengan pengurangan kandungan dari lemak total dan jenuh. 2,3
Prevalensi hipertensi lebih besar pada orang-orang yang
mengalami obesitas. Peningkatan tekanan darah sering seiring dengan
berat badan, dan uji klinis banyak telah mendokumentasikan efektivitas
penurunan berat badan untuk menurunkan tekanan darah. Pengurangan
berat badan ke dalam kisaran normal (indeks massa tubuh 18,5-24,9)
adalah tujuan yang diharapkan. 2,3
Pembatasan asupan natrium setiap hari menjadi100 mEq (2,4 g
natrium atau 6 gr garam) menurunkan tekanan darah pada sejumlah pasien
tapi tidak semua pasien hipertensi. Sensitivitas terhadap garam lebih
umum pada orang-orang ras African American, obesitas, atau orang tua
atau yang memiliki hipertensi rendah renin, tingkat tekanan darah yang
lebih tinggi, atau penyakit ginjal kronik, efek antihipertensi dari banyak
obat yang ditingkatkan oleh pembatasan natrium. Juga, pembatasan
natrium meminimalkan kehilangan kalium yang menginduksi diuresis. 2,3
16
Latihan aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah
secara langsung dan secara tidak langsung dengan memfasilitasi
penurunan berat badan. Setidaknya 30 menit sehari-hari aktivitas aerobik,
seperti berjalan, harus digalakkan. 2,3
Pembatasan asupan alkohol setiap hari ]kurang dari 1 oz (30 ml)
dari etanol (<0.5 oz untuk perempuan atau laki-laki ringan) sering
dikaitkan dengan penurunan tekanan darah. Alkohol adalah sumber kalori,
dan penggunaannya sering dikaitkan dengan buruknya kepatuhan dengan
terapinantihipertensi. Asupan alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
hipertensi yang tidak stabil yang sulit untuk mengontrol dalam hubungan
dengan gejala lain (pembilasan dan takikardia) yang merujuk pada
penyakit pheochromocytoma. 2,3
Karena komplikasi dari penyakit arteri koroner yang paling umum
penyebab kematian pada orang hipertensi, semua risiko untuk penyakit
kardiovaskular harus ditangani. Manfaat penurunan tekanan darah
dikurangi pada perokok. Komponen sindrom metabolik hidup
berdampingan lebih sering pada orang hipertensi dibandingkan orang
normotensi. Pengobatan sindrom metabolik menurunkan risiko penyakit
jantung dan hipertensi yang sedang berkembang. Ini mencakup instruksi
dalam diet rendah lemak, penurunan berat badan; dorongan berolahraga
secara teratur, dan penggunaan obat-obatan untuk menurunkan kadar
serum lipid, tekanan darah, dan sensitivitas insulin bila diperlukan. 2,3
b. Pengobatan Farmakologi
Dalam lebih dari 50% dari orang dengan tahap 1 hipertensi,
tekanan darah dapat dikontrol dengan terapi obat tunggal. Faktor penting
untuk pertimbangkan ketika memilih obat untuk terapi awal adalah khasiat
sebagai monoterapi, rute eliminasi, interaksi obat, efek samping, dan
biaya. Pemilihan obat yang tepat adalah penting untuk menjaga kepatuhan
jangka panjang. 2,3
17
Pasien dengan hipertensi stadium 2, orang-orang dengan tekanan
darah awal lebih dari 20/10 mm Hg di atas batas, dan mereka ditargetkan
untuk menurunkan tekanan darah (penyakit ginjal kronis atau diabetes)
sering akan memerlukan dua atau lebih obat untuk mengontrol tekanan
darah. Pertimbangan terapi awal dengan kombinasi dua obat (salah
satunya adalah diuretik yang tepat untuk tingkat fungsi ginjal) harus
dipertimbangkan. 2,3
Pengobatan monoterapi meliputi diuretik tiazid, beta-bloker,
calcium channel blockers (CCB), ACE-inhibitors (ACEIs) dan Angiotensi
Receptor Blockers (ARBs). Kombinasi dosis rendah juga dapat digunakan
untuk terapi awal. Tiazid sebaiknya diberikan sebagai terapi awal pasien
hipertensi tanpa komplikasi yang tidak memiliki pilihan yang jelas untuk
jenis lain. 2,3
Obat kelas lain dipertimbangan untuk diberikan apabila diuretik
tidak efektif atau ada kontraindikasi atau dengan pengaturan obat lain
yang memiki alternative pada kondisi tertentu (misalnya ACEIs pada
pasien hipertensi dengan gagal jantung kongestif). Antagonis alfa yang
bekerja sentral (clonidin, methyldopa, guanabenz dan guanfacine) dan
vasodilator (hydralazine dan mnoxidil) dapat dipertimbangkan dalam
kondisi pseudotolasnsi. Pseudotoleransi adalah stimulasi reflex dari sistem
rennin-angiotensin-aldosteron atay sistem saraf simpatis yang
menyebabkan retensi cairan, peningkatan resistensi vascular, atau
peningkatan curah jantung dengan hilangnya kemanjuran dengan
penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu sejumlah obat tidak diberikan
sendiri. Obat efek sentral (-agonist cocok ketika diberikan dengan diuretic,
vasodilator paling baik diberikan sebagai obat ketiga dalam kombinasi
diuretic dan adrenergik inhibitor. Adapula obat yang lebih baik pada
sejumlah umur dan ras tertentu (diuretik dan CCB lebih efektif pada ras
Afro-Amerika dan pasien usia: beta-bloker , ACEI dan ARB lebih efektif
pada pasien kulit putih dan dan pasien yang lebih muda. Dengan terapi
kombinasi, memastikan obat bekerja kombinasi dan dua obat dari kelas
18
yang sama tidak boleh diberikan. Biasanya, salah satu obat kombinasi
adalah diuretik kelemahan dan impotensi. Impotensi merupakan efek
sampiang yang paling berpotensi pada semua obat anti hipertensi. 2,3
Dikenal ada 2 kelompok obat lini pertama yang lazim digunakan
untuk pengobatan awal hipertensi yang itu diuretic, beta-bloker, ACE-
inhbitor, ARB dan antagonis kalsium. Pada JNC-VII, penyekat reseptor
alfa adrenergik tidak dimasukkan dalam lini pertama.6
Berikut ini pembagian obat lini pertama hipertensi: 6
1. Diuretik
Diuretik bekerja dengan meningkatkan ekskresi natrium, air
dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler. Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek
proteksi kardiovaskuler diuretic belum dikalahkan oleh obat lain
sehingga diuretic dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi
ringan dan sedang. Bahkan bila menggunakan kombinasi dua atau
lebih antihipertensi, maka salah satunya adalah diuretik. 6
Sampai sekarang diuretik golongan tiazid merupakan obat
utama dalam terapi hipertensi. Sebagian penelitian besar membuktikan
bahwa diuretik terbukti paling efektif dalam menurunkan risiko
kardiovaskuler. 6
Diuretik bekerja dengan menghambat transport bersama Na-Cl
di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl-
meningkat.Beberapa obat golongan diuretic antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang
memiliki gugus aryl-sulfonamida. Pemberian 1x sehari. 6
2. Beta bloker
Beta-bloker bekerja dengan (1) menurunkan frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah
jantung, (2) hambatan sekresi rennin di sel jungstaglomeruler ginjal
dengan akibat penurunan kadar angiotensin II, (3) efek sentral yang
19
mempengaruhi aktivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron
adrenergik perifer dan oeningkatan sintesis prostasiklin. 6
Dari berbagai beta-bloker, atenolol merupakan obat yang sering
dipilih. Dosis lazim 50-100 mg per oral sehari. Metoprolol diberikan
dua kali sehari dengan dosis 50-100 mg. Labetolol diberikan dua kali
sehari maksimal 300 mg, dam karvedilol sekali sehari maksimal 50
mg. 6
4. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium meghambat influx kalsium pada sel otot
polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis
kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena
kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh
reflek takikardia dan vasokontriksi, terutama menggunakan golongan
20
dihidropiridin kerja pendek (nifedipin). Dossi nifedipin 3-4x sehari tab
100 mg. Sedangkan diltiazem 80-180 mg 3x sehari dan verapamil 80-
320 mg 2-3x sehari tidak menimbulkan takikardia karena efek
kronotropik negative langsung pada jantung. Bila reflex takikardia
kurang baik, seperti pada orang tua, maka pemberian antagonis
kalsium dapat menimbulkan hipotensi yang berlebihan. 6
b) Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian klien yang
dapat mempengaruhi kepatuhan.
21
c) Modifikasi faktor lingkungan dan social
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-
teman, kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
kepatuhan terhadap program pengobatan
e) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian
terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoatmodjo, 2007)12.
Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin
tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan
pengalamannya. Adanya unsur pengalaman yang semula tidak konsisten
dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata kembali atau
diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu konsistensi. (Azwar,
2007)13.
f) Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan
berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada
orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini sebagai
akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. (Notoatmodjo, 2007)12.
22
g) Dukungan Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri atas 2 orang atau
lebih, adanya ikatan persaudaraan atau pertalian darah, hidup dalam satu
rumah tangga berinteraksi satu sama lain, mempertahankan satu
kebudayaan (Effendy, 2006)14.
23
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
Faktor-faktor penyebab
Faktor-faktor penyebabhipertensi
hipertensi: : Faktor yang mempengaruhi kepatuhan :
1. Hipertensi primer 1. Demografi (usia, jenis kelamin,
1.
a. Hipertensi
Keturunan primer suku bangsa, status sosio-ekonomi
b. Ciri perseorangan dan pendidikan)
a. Keturunan 2. Pengetahuan
c. Kebiasaan hidup
b. Cirisekunder
2. Hipertensi perseorangan 3. Dukungan sosial (dukungan
a. Penyakit instrumental, emosional,
c. Kebiasaan hidup informatif, dan penghargaan)
b. Pengaruh sekunder : obat
4. Psikososial (sikap dan budaya)
3. 3 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel independen dalam penelitian ini adalah demografi, dan
dukungan sosial
24
2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum obat
antihipertensi.
25
Kepatuhan Menuruti aturan Kuesioner Kuesioner 3. Tidak Patuh Ordinal
meminum pengobatan dan <4
obat anti perilaku yang 4. Patuh > 4
hipertensi sesuai dengan
yang disarankan
oleh dokter atau
petugas kesehatan
lainnya.
26
BAB IV
KAJIAN ISLAM
yaa banii aadama khudzuu ziinatakum 'inda kulli masjidin wakuluu wasyrabuu
walaa tusrifuu innahu laa yuhibbu lmusrifiin
[7:31] Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.15
27
sesungguhnva tidak ada kebaikan pada makanan / minuman yang panas.’
(HR. Al-Hakim dan Ad-Dailami). Mendinginkannya tidak dengan ditiup
dengan napas karena ini juga dilarang oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam (HR ibnu Majah)
2. Tidak minum Alkohol dan apa saja yang merusak tubuh
Allah berfirman, “Mereka bertanya tentang “khamar’ dan judi,
katakanlah, pada keduanya ada bahaya yang besar dan pula manfaat
pada manusia, dan bahayanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-
Baqarah: 219).
Pada ayat lain dikatakan oleh Allah, “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. ‘(QS. 5: 90)
Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan, misalnya
alkohol. Oleh para ahli, alkohol diketahui dapat menimbulkan kerusakan
pada seluruh bagian tubuh manusia, seperti sistem syaraf, pembuluh darah,
jantung, hati, saluran cerna dll. Demikian pula bahan-bahan lain yang
dapat merusak sel-sel tubuh sehingga dapat menimbulkan gangguan fungsi
alat tubuh dan penyakit. Karena itu, maka segala penyebab kebinasaan
yang merusak itu wajib dijauhi, sebagaimana larangan Allah, “Jangan
campakkan dirimu ke dalam kebinasaan.‘ (QS Al-Baqarah: 195)
Termasuk disini adalah rokok yang sudah nyata menimbulkan kerusakan
jantung, pembuluh darah, cerna, gigi, paru-paru, nafas, kulit dan lain-lain.
28
tidur, sakit kepala, berdebar, sesak, tidak nafsu makan, mulas, mencret, sering
mau kencing, dan keluhan keluhan lain, sehingga akan mengganggu aktifitas
hariannya.
Ketenangan hati diperlukan untuk kesempurnaan / kelancaran kerja
seluruh alat tubuh.
Membaca serta memahami Al-Qur’an atau dzikrullah bagi seorang
mukmin merupakan obat untuk ketenangan hatinya.
Dalam Al-Quran, Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman yang
artinya, “Wahai sekalian manusia telah datang kepadamu pelajaran (Al
Quran) dari Tuhanmu, dan sebagai obat untuk yang ada dalam dada
(“qalbun”/ hati), dan petunjuk serta rahmat bagi mereka yang beriman.
“(Yunus;57).
Di surat lain, Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman yang artinya,
“Orang-orang yang beriman akan menjadi tenang hatinya dengan dzikir
kepada Allah, Ketahuilah bahwasanya dengan dzikir kepada Allah hati akan
menjadi tenang.” (QS.Ar-Raad: 28).
Demikian jaminan Allah bagi orang yang beriman.
Seorang yang benar-benar beriman menurut firman Allah Subhanallahu wa
Ta’ala yang artinya, “Adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
bergetarlah hatinya, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah
bertambahlah keimanannya, dan kepada Tuhannya mereka bertawakkal,
mereka mendirikan shalat dan menginfaqkan sebagian rezekinya,
demikianlah orang yang benar-benar beriman (QS. Al-Anfal: 2-4). Orang
yang beriman akan terjauh dan perasaan cemas, gelisah, resah, atau sakit hati
yang berlebihan dan semacamnya oleh karena dia percaya dengan yakin akan
adanya Allah yang Mengasih dan Maha penyayang kepada hambaNya serta
percaya akan ketentuan taqdir.
Dalam Al-Qur’an Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman yang
artinya, “Apabila hambaKu bertanya tentang Aku, katakanlah ahwasanya
Aku ini dekat sekali, kukabulkan permohonan hambaKu apabila memohon,
maka patuhlah kepadaKu dan berimanlah kepadaKu. “(QS. Al-Baqarah: 186)
29
Dengan pernyataan Allah ini seorang mukmin yang bertaqwa kepada
Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan selalu dalam keadaan tenang tidak akan
gelisah / resah / cemas walaupun menghadapi situasi yang bagaimanapun,
karena merasa Allah selalu bersamanya dan mendengar serta mengabulkan
permohonan hambaNya
30
BAB V
METODE PENELITIAN
5. 1 Desain Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah “Cross Sectional Study”, untuk
mengetahui hubungan antara evaluasi kepatuhan pasien hipertensi non
komplikasi terhadap pengunaan obat di RS.Bhayangkara dan pada penelitian
ini juga dilakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan
31
5.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data
5.5.1 Jenis data : Data Primer (langsung dari pasien)
5.5.2 Sumber Data : Wawancara, Quisioner, dan
pengukuran tekanan darah
langsung pada pasien
5.5.3 Instrumen Pengumpulan Data : Dalam penelitian ini instrumen
yang digunakan yaitu kuisioner dan
tensimeter
5.5.4 Cara Pengumpulan Data : Penelitian ini dilakukan dengan
cara observasi langsung ke
lapangan. Observasi tersebut
berupa wawancara, pemberian
kuisioner dan pengukuran tekanan
darah.
32
BAB VI
HASIL PENELITIAN
LUAS
LUAS
KETERANGAN :
Mallombassang
33
4. Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Mappa Oudang
6.1.1 Sejarah
Berawal dari perintah lisan PANGDAK XVIII SULSELRA BRIGJEN
IMAM SUPOYO kepada Kapten Polisi dr. ADAM IMAN SANTOSA pada
tanggal 2 Nopember 1965, untuk menempati dan memfungsikan bekas
SEKOLAH POLISI NEGARA DJONGAYA menjadi RUMAH SAKIT
KEPOLISIAN BHAYANGKARA MAKASSAR.
Satu bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 1 Desember 1965 mulai
difungsikan Poliklinik Umum dan bagian Kebidanan. Saat itu juga Lettu
Polisi dr. ZAINAL ARIFIN yang bertugas di Poliklinik Poltabes Makassar
mulai aktif di Poliklinik Umum dan dr. ABADI GUNAWAN di bagian
Kebidanan Rumah Sakit Kepolisian Makassar
Pada tanggal 1 Maret 1966 mulai difungsikan bangsal laki-laki, bangsal
wanita dan bangsal anak-anak.
Tanggal 1 Januari 1967 bagian rontgen difungsikan
Tanggal 2 Nopember 1968 diusulkan pendidikan SPK C dengan lama
pendidikan 2 (dua) tahun, oleh dr. ADAM IMAN SANTOSA dan
diteruskan oleh Pangdak VIII Brigjen Pol. Johny Anwar ke Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, sehingga bulan Juni 1969 Pendidikan SPK
C angkatan I dimulai atas ijin Depkes RI
Tanggal 1 Maret 1969 dilakukan renovasi gudang kaporlap SPN Jongaya
menjadi ruang pertemuan personil Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara.
Tanggal 10 Januari 1970 Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara diakui
secara resmi oleh Mabes Polri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. :
B/117/34/SB/1970 yang ditandatangani oleh Wakapolri Inspektur Jenderal
Polisi T.A.AZIZ, yang berbunyi sesuai teks aslinya sbb :
Menarik Surat Saudara tanggal 29 April 1969 No. Pol. : 346/Kes/III/69,
dengan ini dipermaklumkan, bahwa kami sangat menghargai usaha
tersebut dalam rangka meningkatkan kesedjahteraan, chususnja dalam
34
perawatan kesehatan anggota/pegawai sipil dan keluarganja, sekaligus
merupakan pengisian dari pada fungsi dan organisasi seksi kesehatan
Komdak XVIII/Sulselra.
Mengenai pembinaan selandjutnja dilaksanakan melalui Direktorat
Kesehatan Mabak meurut ketentuan2 jang berlaku dan menjesuaikan
dengan kemampuan keuangan jang ada.
Dengan demikian Rumah Sakit tersebut setjara resmi kami njatakan
menjadi :”Rumah Sakit Kepolisian R.I.” dan merupakan formasi organik
dari Seksi Kesehatan Komdak XVIII/Sulselra.
Tanggal 10 Desembar 1979 SPK C secara resmi ditutup dan diganti dengan
nama SPK Gaya Baru, yang hanya berlangsung selam 2 (dua) tahun yakni
tahun 1979 – 1980, dan pada tahun 1980 SPK Gaya Baru berubah menjadi
SPK dengan masa pendidikan 3 (tiga) tahun, dan pada tahun 1984
menerima anggata Polri dari seluruh Indonesia untuk dididik menjadi
tenaga kesehatan.
Perkembangan fisik Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara Makassar
dimulai pada tanggal 7 Oktober 1971 dengan diresmikannya ruang
Disdokkes dan Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara Makassar oleh
Kapolda Sulsel.
Pembangunan tahap pertama tahun 1973 yang ditandai dengan
diresmikannya ruang perawatan Perwira (paviliun). Tahun 1977 dengan
dukungan anggaran dari Menhankam Pangab Jenderal M.Yusuf,
dibangunlah sarana pendukung diagnostic dan sarana pelayanan kesehatan.
Pembangunan tahap kedua tahun 1983 terdiri atas Ruang Perawatan Anak 2
(dua) lantai, Ruang Fisioterapi dan Gizi serta Ruang Gawat Darurat. Tahun
1996 diresmikan ruang Otopsi dan Musholla, tahun 1997 diresmikan Ruang
ICU dan Ruang Operasi, tahun 2000 Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara
Makassar mendapat bantuan lunak dari Spanyol berupa peralatan
kesehatan.
35
Perkembangan pembangunan selanjutnya adalah pembangunan koridor
yang menghubungakan ruang-ruang perawatan maupun poliklinik, gedung
perawatan Garuda dan Kasuari yang berlantai 2 (dua).
Tanggal 1 Januari 1999 Gedung Kantin Bhayangkara, Gedung Primkoppol
dan tambahan Masjid Bhayangkara diresmikan oleh KADISDOKKES
POLDA SULSEL LETKOL POL. dr. S BUDI SISWANTO
Tanggal 10 Oktober 2001 Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara Makassar
berubah status menjadi Rumah Sakit tingkat II dengan Surat Keputusan
Kapolri No. Pol. : SKEP/1549/X/2001.
Untuk menghilangkan kesan bahwa Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara
hanya diperuntukkan bagi anggota Polri maka berdasarkan Surat Keputusan
Kapolda Sulsel No. Pol.:SKEP/321/X/2001 tanggal 16 Oktober 2001
diputuskan penggantian nama Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara
Makassar menjadi Rumah Sakit Bhayangkara Tk. II Mappa Oudang
Makassar yang diresmikan oleh Kapolda Sulsel Irjen Pol. Drs. FIRMAN
GANI, sekaligus meminta restu kepada adik kandung
Tanggal 14 Januari 2009, Depkes RI memberikan Sertifikat Akreditasi
Rumah Sakit Nomor : YM.01.10/III/125/09 dengan status Akreditasi Penuh
Tingkat Dasar yang berlaku tangal 14 Januari 2009 sampai dengan 14
Januari 2012 kepada Rumah Sakit Bhayangkara Mappa Oudang sebagai
pengakuan bahwa rumah sakit telah memenuhi standar pelayanan yang
meliputi : Administrasi Manajemen, Pelayanan Medis, Pelayanan Gawat
Darurat, Pelayanan Keperawatan, dan Rekam medis. Yang ditandatangani
atas nama Menteri Kesehatan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik
FARID W. HUSAIN.
Peresmian Gedung IGD pada tanggal 18 Maret 2009 oleh KAPOLDA
SULSEL IRJEN POL. Drs. MATHIUS SALEMPANG
Pada tanggal 15 Juli 2009 KETUA UMUM BHAYANGKARI NY.
NANNY BAMBANG HENDARSO meresmikan Renovasi Ruang
Cendrawasih
36
Peresmian Renovasi Ruang Perawatan Cendrawasih B pada tanggal 16
Desember 2009 oleh KAPOLDA SULSEL IRJEN POL. Drs. ADANG
ROCHJANA
Peresmian Renovasi Ruang Intermediate Care Unit, USG, Treadmill dan
Ruang Makan Karyawan oleh KAPOLDA SULSEL IRJEN POL. Drs.
ADANG ROCHJANA tanggal 17 Maret 2010
Tanggal 23 Nopember 2010, Menteri Keuangan RI mengesahkan
Penetapan Rumah Sakit Bhayangkara Tk. II Mappa Oudang Makassar pada
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai Instansi Pemerintah yang
menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK – BLU),
dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 440 / KMK.05 / 2010,
yang ditandatangani Menteri Keuangan AGUS D.W. MARTOWARDOJO.
Tanggal 8 Juni 2011 nomenklatur Rumah Sakit Bhayangkara Tk. II Mappa
Oudang Makassar berubah nama menjadi Rumah Sakit Bhayangkara
Makassar dengan kode Kemenkeu 646307.
Pada hari Jumat, tanggal 21 Oktober 2011 jam 14.00 wita secara resmi
KAPOLDA SULSEL INSPEKTUR JENDERAL POLISI Drs. H. JOHNY
WAINAL USMAN, MM melalukan peletakan batu pertama dalam rangka
dimulainya renovasi ruang : Perawatan dan Bedah sentral serta ICU yang
berlantai 3 (tiga).
37
6.1.2.2 Misi
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang prima dengan meningkatkan
kualitas disegala bidang pelayanan kesehatan, termasuk kegiatan
kedokteran kepolisian (forensik, perawatan tahanan, kesehatan kamtibmas
dan DVI) baik kegiatan operasional kepolisian, pembinaan kemitraan
maupun pendidikan dan latihan.
2. Menyelenggarakan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan anggaran secara transparan dan akuntabel.
3. Meningkatkan kualitas SDM yg professional, bermoral dan memiliki
budaya organisasi sebagai pelayan prima.
4. Mengelola seluruh sumber daya secara efektif, efisien dan akuntabel guna
mendukung pelaksanaan tugas pembinaan maupun operasional Polri.
38
6.1.4 Fasilitas Pelayanan
a. Pelayanan Rawat Jalan, terdiri atas :
1) Klinik Umum
2) Klinik Gigi
3) Klinik KB dan KIA
4) Klinik Kecantikan
5) Spesialis Penyakit Dalam
6) Spesialis Anak
7) Spesialis Bedah
8) Spesialis Obsgyn
9) Spesialis Ortopedi
10) Spesialis Mata
11) Spesialis Paru
12) Spesialis THT
13) Spesialis Saraf
14) Spesialis Jantung
15) Spesialis Jiwa
16) Spesialis Kulit dan Kelamin
17) Radiologi
18) Spesialisasi Lainnya, yang tidak memiliki poliklinik (bedah
urologi, bedah digestif, bedah plastik, rehab medik, gizi klinik,
dll)
39
6.2 Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Bhayangkara pada Poli Penyakit
Dalam. Variabel yang ditelitia dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,
dan dukungan keluarga pada pasien hipertensi sebagai responden terhadap
kepatuhan minum obat antihipertensi. Data diambil melalui wawancara dan
pengisian kuesioner.Sampel sebanyak 66 responden yang telah terdiagnosis HT
non Komplikasi atau Hipertensi Primer di Poli penyakit dalam RS.
Bhayangkara.
Jumlah 66 100
40
Perempuan 37 56.1
Laki-laki 29 43.9
Jumlah 66 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa distribusi jenis kelamin dalam
penelitian ini yaitu terbanyak responden perempuan dengan frekuensi 37
responden (56,1%) sedangkan responden laki-laki sebanyak 29 responden
(43,9%).
41
HT I 22 33.3
HT II 44 66.7
Jumlah 66 100
Sumber : Data Primer
42
Dalam RS. Bhayangkara Makassar. Pengujian hipotesis penelitian ini
menggunakan uji Chi Square. Pengujian data penelitian menggunakan bantuan
program SPSS versi 17.00 for window.
Syarat Uji Chi Square adalah sel yang mempunyai nilai expected kurang dari
5, maksimal 20% dari jumlah sel. Pada penelitian ini, setelah variable independen
yang terdiri dari umur, jenis kelamin dan dukungan keluarga terhadap variable
dependen Kepatuhan dimasukkan ke dalam diagram uji hipotesis tabel B x K,
terdapat 1 sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, sehingga untuk umur
digunakan uji alternatif Fisher sedangkan jenis kelamin dan dukungan keluarga
tetap menggunakan uji hipotesis Chi Square dan telah memenuhi syarat.
N % N % N %
< 45 1 1.5 8 12.1 9 13.6
0.041 0.067
≥45 27 40.9 30 45.5 57 86.4
43
6.4.2 Hubungan Jenis Kelamin terhadap Kepatuhan Minum Obat
Antihipertensi
Tabel 6.7 Hubungan Jenis Kelamin terhadap Kepatuhan Minum Obat di
Bhayangkara
44
Jumlah 28 42.4 38 57.6 66 100
45
BAB VII
PEMBAHASAN
46
3. Keterbatasan melakukan pendekatan dengan responden
Dalam pengumpulan data,peneliti tidak dapat melakukan
pendekatan yang lebih mendalam karena waktu yang diberikan dari
pihak Rumah Sakit tempat penelitian cukup terbatas.
47
hipertensi biasanya lebih banyak laki-laki memiliki gaya hidup yang cenderung
meningkat tekanan darahnya, namun perempuan dewasa mempunyai prevalensi
hipertensi yang lebih tinggi daripada laki-laki hal ini umumnya disebabkan karena
perempuan mengalami kehamilan dan menggunakan alat kontrasepsi hormonal
(Karyadi 2002).
Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh nilai P = 0,879 (p > 0,05) yang
berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
kepatuhan meminum obat. Hasil penilitian ini sesuai dengan Hilda pada tahun
2007, menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan kepatuhan dengan sampel yang diteliti berjumlah 94 orang dengan nilai p
value = 0,245.
48
BAB VIII
8.1 Kesimpulan
Penelitian Evaluasi kepatuhan hipertensi non hipertensi terhadap
pengunaan obat ini dilakukan di RS.Bhayangkara pada bulan Desember
2012 dengan responden yang didapatkan 66 orang penderita hipertensi non
komplikasi terhadap pengunaan obat yang diagnosis kliniknya oleh dokter
penyakit dalam,dari penelitian ini dapat disimpulkan :
8.1.1 Penderita hipertensi non komplikasi sebagian besar banyak terjadi pada
responden yang berumur ≥45 tahun dengan jenis kelamin perempuan
yang rata – rata mendapat dukungan dari keluarga untuk berobat teratur.
8.1.2 Tidak terdapat hubungan antara umur dengan kepatuhan minum obat pada
pasien hipertensi non komplikasi
8.1.3 Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan minum
obat pada pasien hipertensi non komplikasi.
8.1.4 Tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pada pasien hipertensi non komplikasi.
8.2 Saran
Agar penelitian ini dapat diteruskan oleh peneliti lain dengan menambah
jumlah variabel dan jumlah sampel penelitian, sehingga lebih memperkuat
kepustakaan yang diambil.
49
8.2.2 Bagi Instansi Pemerintahan/RS. Bhayangkara
Perlu ditingkatkan mutu pelayanan kepada pasien hipertensi. Dan
memberikan intervensi pengobatan hipertensi agar pengobatan pasien
hipertensi tidak terputus.
50
BAB IX
PENUTUP
JANUARI,2013
PENULIS
51
REFERENSI
52
12. Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan Ilmu Dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta
13. Azwar, 2007. Sikap Manusia dan Pengukurannya. Jakarta : PT. Rineka Cipta
14. Effendy. 2005. Keperawatan Keluarga. JAKARTA : EGC
15. nhouzhouzst.blogspot.com/2010/08/surah-al-araf-31/html
16. enkripsi.wordpress.com/2010/11/08/cara-sehat-menurut-agama-islam/
53
Skripsi Penelitian
Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2013
54
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
Skripsi, Januari 2013
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : Menurut data terakhir pada bulan Januari 2012, angka
kejadian hipertensi di Rumah Sakit Bhayangkara menempati peringkat 3 dari 10
besar penyakit yang ada di Rumah Sakit Bhayangkara.
TUJUAN PENELITIAN : Mengetahui hubungan antara kepatuhan pasien
penderita hipertensi non komplikasi terhadap pengunaan obat. Penelitian ini
dilaksanakan di Rumah Sakit Bhayangkara, Makassar pada tanggal 10 Desember
2012 – 10 Januari 2013.
METODE PENELITIAN : Rancangan penelitian ini menggunakan desain
“Cross Sectional Study”, dengan menggunakan data primer langsung dari
responden yang menderita hipertensi. Responden adalah semua penderita
hipertensi yang berobat di bagian Poli Penyakit Dalam RS. Bhayangkara dengan
jumlah responden 66 orang.
HASIL PENELITIAN : Hasil penelitian ini menggambarkan distribusi umur
terbanyak pada usia ≥45 tahun yakni sebanyak 57 responden (86,4%) dengan jenis
kelamin yang terbanyak adalah perempuan sebanyak 37 responden (56,1%),
dengan dukungan keluarga terbanyak adalah adanya dukungan sebesar 34
responden (51,5%), derajat hipertensi terbanyak adalah Hipertensi Grade II
sebanyak 44 responden (66.7%), dengan kepatuhan minum obat yang terbanyak
adalah 38 responden yang patuh (57,6%) dan secara statistik tidak terdapat
hubungan yang bermakna (>0,05).
KESIMPULAN : Tidak terdapat hubungan umur, jenis kelamin, dukungan
keluarga terhadap kepatuhan pasien hipertensi non komplikasi terhadap
penggunaan obat di RS. Bhayangkara.
KATA KUNCI : Kepatuhan pasien, hipertensi non komplikasi, penggunaan obat.
55
56